Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

ST-ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI)


INFEROPOSTERIOR AND RIGHT VENTRICEL

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Laporan Kasus


Kepaniteraan Klinik Kardiologi

Disusun Oleh:
Muhammad Irfan, S.Ked NIM.I4061162022

Pembimbing:
dr. Sherly Yosephina, Sp. JP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RUMAH SAKIT TK II DUSTIRA
CIMAHI
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah di setujui laporan kasus dengan judul:

ST-ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI)

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Kardiologi

Telah disetujui,
Cimahi, Februari 2019

Pembimbing Penulis

dr. Sherly Yosephina, Sp. JP Muhammad Irfan

i
BAB I
PENYAJIAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. AH
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 47 tahun
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pekerjaan : TNI-AD
Pendidikan : SMA
Alamat : Kp. Ciherang RT/RW 01/01 Leles Sagalaherang Subang
Masuk RS Via IGD : 03 Maret 2019

1.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri dada
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Dustira Cimahi dengan keluhan dada terasa
nyeri dan terasa panas yang dirasakan menembus hingga ke punggung dan
menjalar hingga lengan kiri sejak 3 jam SMRS. Nyeri dada pertama kali muncul
secara tiba-tiba saat pasien beristirahat. Nyeri dada berupa rasa tertekan/berat di
sebelah tengah - kiri dada. Nyeri dada dirasakan pasien dengan durasi lebih dari
20 menit dan bertambah berat. Keluhan nyeri dada belum pernah dirasakan
sebelumnya.
Pasien tidak mengeluh sesak maupun batuk. Pasien juga mengatakan
kaki bengkak (-), demam (-), pusing (-), pingsan (-). Pasien juga mengeluhkan
nyeri ulu hati disertai mual, muntah (-). BAK (+) dan BAB (+) normal.

1
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Pasien memiliki riwayat sakit maag
 Riwayat serangan stroke disangkal
 Riwayat penyakit asma atau paru lainnya disangkal
 Riwayat kolesterol tinggi disangkal
 Riwayat diabetes/kencing manis disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan serupa
 Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung
koroner di usia muda
 Tidak ada anggota keluarga yang meninggal mendadak
Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien memiliki riwayat merokok (sekitar 1 bungkus per hari). Pasien lumayan
sering berolahraga seperti jogging pada pagi atau sore hari.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
Berat Badan : 62 kg
Tinggi Badan : 167 cm
Status Gizi : 22,23 kg/m2 (normal)
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Denyut Nadi : 60 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Temperatur : 36,5°C
Saturasi O2 : 98%

2
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/+)
Telinga : Sekret (-), aurikula hiperemis (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-)
Hidung : Sekret (-), deformitas (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), hepatojugular refluks (-), distensi vena
jugular (-)
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri baik statis maupun dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus taktil sama kiri dan kanan, massa (-), nyeri tekan (-),
krepitasi (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis ICS V linea midclavicula sinistra, thrill (-)
Perkusi : Batas atas jantung pada ICS II linea parasternalis sinistra dan
dextra, batas jantung kanan pada ICS IV linea parasternalis
dekstra, batas jantung kiri pada ICS V linea midklavicula
sinistra.
Auskultasi : S1/S2 regular, murmur (-), S3 gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Soepel, massa (-), nyeri tekan (+) epigastrium, liver span
normal, shifting dullness (-)
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Hangat, edema piting peritibial (-/-), CRT <2 detik

3
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi Rutin (3/3/2019)
Hemoglobin : 15,7 g/dl
Eritrosit : 5,9 x 106/µl
Leukosit : 15.800/µl
Hematokrit : 45,8%
Trombosit : 297.000/µl
MCV : 77,6 fl
MCH : 26,6 pg
MCHC : 34,3 g/dl
RDW : 13,6%
Ba/Eo/Sg/Li/M : 0,3/0,2/77,5/17,8/4,2%
Kimia Klinik (3/3/2019)
Ureum : 31 mg/dl
Kreatinin : 1,3 mg/dl
GDS : 130 mg/dl
Kolestrol total : 174 mg/dl
Trigliserida : 141 mg/dl
LDL Kolestrol : 110 mg/dl
HDL Kolestrol : 35 mg/dl
Natrium : 144 mmol/l
Kalium : 3,8 mmol/l
Klorida : 110 mmol/l
Troponin I : 10.00 ng/ml
CKMB : 18 u/l
HBsAg : non reaktif

4
Elektrokardiografi (3/3/2019)

Interpretasi
Irama : Junctional rhytm
Frekuensi : frekuensi atrial 47 bpm ventrikel 45 bpm
Axis : Normal axis
Gelombang P : Normal (lebar <3 mm, tinggi <2,5 mm)
Interval P-R : Memanjang (>0,2 detik)
Gelombang QRS : Normal (0,08 detik)
Segmen ST : elevated ST segment pada sadapan II, III, aVF, ST depresi
tipe down sloping pada sadapan I, aVL, ST depresi tipe
horizontal pada sadapan V1, V2
Gelombang T : T inversi pada sadapan V4-V6, I, aVL

5
QT interval : QTc = 0,395 detik (QTc normal)
Kesimpulan : Junctional rhytm, AV blok derajat 3, dengan HR : atrial 47
bpm ventrikel 45 bpm, STEMI Inferior dan Suspek Right
ventricular myocardial infarction (RVMI) dan Susp. STEMI
Posterior

Elektrokardiografi kanan (3/3/2019)

Interpretasi
Irama : Junctional Rhytm
Frekuensi : frekuensi atrial 47 bpm ventrikel 45 bpm
Axis : Normal axis
Gelombang P : Normal (lebar <3 mm, tinggi <2,5 mm)

6
Interval P-R : Memanjang (>0,2 detik)
Gelombang QRS : Normal (0,08 detik)
Segmen ST : elevated ST segment pada sadapan II, III, aVF, V2-V6,
ST depresi tipe down sloping pada sadapan I, aVL
Gelombang T : T inversi pada sadapan I, aVL
QT interval : QTc = 0,395 detik (QTc normal)
Kesimpulan : Junctional rhytm, AV blok derajat 3, dengan HR : atrial 47
bpm ventrikel 45 bpm, STEMI Inferior dan Right ventricular
myocardial infarction (RVMI)

Elektrokardiografi Posterior (3/3/2019)

7
Interpretasi
Irama : Junctional rhytm
Frekuensi : frekuensi atrial 47 bpm ventrikel 45 bpm
Axis : Normal axis
Gelombang P : Normal (lebar <3 mm, tinggi <2,5 mm)
Interval P-R : Memanjang (>0,2 detik)
Gelombang QRS : Normal (0,08 detik)
Segmen ST : elevated ST segment pada sadapan II, III, aVF, V8-V9,
ST depresi tipe down sloping pada sadapan I, aVL
Gelombang T : T inversi pada sadapan I, aVL
QT interval : QTc = 0,395 detik (QTc normal)
Kesimpulan : Junctional rhytm, AV blok derajat 3, dengan HR : frekuensi
atrial 47 bpm ventrikel 45 bpm, STEMI Inferior dan Posterior
dan Susp. Right ventricular myocardial infarction (RVMI)

Kesimpulan akhir EKG: Junctional rhytm, AV blok derajat 3, dengan HR :


frekuensi atrial 47 bpm ventrikel 45 bpm. STEMI Inferior dan Posterior dan
Right ventricular myocardial infarction (RVMI)

1.5. RESUME MEDIS


Pasien datang ke IGD RS Dustira Cimahi dengan keluhan dada terasa
panas dan nyeri dada yang dirasakan menembus hingga ke punggung dan
menjalar hingga lengan kiri sejak ±3 jam SMRS. Nyeri dada pertama kali muncul
secara tiba-tiba saat pasien beristirahat. Nyeri dada berupa rasa tertekan/berat di
sebelah tengah - kiri dada. Nyeri dada dirasakan pasien dengan durasi lebih dari
20 menit dan bertambah berat. Keluhan nyeri dada belum pernah dirasakan
sebelumnya. Pasien menyangkal riwayat penyakit jantung, kolesterol tinggi,
diabetes dan tekanan darah tinggi. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki
riwayat penyakit jantung koroner. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
darah 100/60 mmHg dengan nadi 45 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup,

8
respirasi 20 kali/menit, saturasi oksigen 98%, bunyi jantung S1/S2 reguler, suara
nafas dasar paru vesikuler. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan kadar leukosit 15.800/µl. Pada hasil EKG didapatkan sinus
bradikardi, AV blok derajat 1, reguler dengan HR 45x/m, STEMI Inferior dan
Posterior dan Right ventricular myocardial infarction (RVMI).

1.6. DIAGNOSA
Diagnosa Klinis
STEMI Inferior, Posterior dan Kanan Killip I
Bradikardi e.c AV blok derajat I
Diagnosa Anatomi
Infarct miokard inferior, posterior and right ventricular
Diagnosa Etiologis
Atherosclerosis

1.7. PENATALAKSANAAN
Terapi Nonfarmakologi
 Rawat ICCU
 Bed rest, posisi kepala elevasi 30°
Terapi Farmakologi
o IVFD RL 500 cc/24jam
o Oksigen via nasal kanul 3-4 liter per menit jika saturasi <90%
o Fibrinolitik jika tidak ada kontraindikasi
o Inj. Arixtra 2,5mg IV segera setelah fibrinolitik, dilanjutkan 1 x 2,5 mg
SC (selang 24 jam dari yang pertama)
o PO. Clopidogrel (Plavix) loading dose 300 mg selanjutnya 1x75 mg
o PO. Miniaspi loading 160 mg dilanjutkan PO. Aptor 1x100 mg
o PO. Recansa 1x20 mg
o PO. Lactulac 0-0-15cc
o PO. Alprazolam 0,25 mg p.r.n

9
o PO. ISDN 5 mg p.r.n
o R/ PCI (bila gagal fibrinolitik)

1.8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam

1.9. FOLLOW-UP
4 Maret 2019
S : nyeri dada (+)
O : Kesadaran CM, TD : 85/56 mmHg, HR: 38bpm, RR: 22x/m, SpO2: 98%,
S1S2 reguler, rhonki (-/-), whezzing (-/-). Akral dingin, CRT > 2 detik.
A : STEMI infero-posterior + RVMI, Bradikardi ec AV block derajat I dan
syok kardiogenik.
P : + Dopamin 5 u/kg/menit, loading cairan bila tensi tidak naik, Rencana PCI
elektif

5 Maret 2019
S : Nyeri dada (+)
O : Kesadaran CM, TD: 140/90 mmHg, HR: 63x/menit, SpO2: 99%, S1S2
reguler, rhonki (-/-), whezzing (-/-), akral hangat, CRT < 2 detik.
A : STEMI infero-posterior + RVMI, Bradikardi ec AV block derajat I dan
syok kardiogenik perbaikan
P : Rujuk RSPAD

10
Lampiran EKG saat penggunaan trombolitik

11
12
13
BAB II
PEMBAHASAN

Sindrom koroner akut (SKA) dibagi menjadi 3 jenis bila ditinjau dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan
pemeriksaan marka jantung. Adapaun jenis-jenis dari sindrom koroner akut yaitu:
Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction); Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI:
non ST segment elevation myocardial infarction); dan angina pektoris tidak stabil
(UAP: unstable angina pectoris).1
Infark miokard didefinisikan secara patologis sebagai kematian sel
miokardial akibat iskemia yang berkepanjangan. Infark miokard dengan elevasi
segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh
darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi
koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu
hasil peningkatan marka jantung.1
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi
sehingga terbentuk trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini
akan menyumbat lubang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial;
atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal.1
Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama

14
kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark
miokard).1
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada,
diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai
berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.1

Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA1


Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/
beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai
keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop.1

15
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas
yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau
usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau
demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan
ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas,
terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Mengingat
adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan SKA, maka
terminologi angina ini lebih mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain untuk
tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis indikasi
kontra terapi fibrinolysis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada
tajam dan berat yang menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop),
riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit serebrovaskular.1
Adapun keluhan pasien ini lebih mengarah kepada keluhan angina tipikal
antara lain keluhan nyeri dada yang dirasakan menembus hingga ke punggung dan
menjalar hingga lengan kiri, berupa rasa tertekan/berat di sebelah tengah - kiri dada,
dengan durasi lebih dari 20 menit.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia..1
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak
kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi.
Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 10
menit harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen
ST.1

16
ST elevasi (diukur pada J point) mengindikasikan adanya oklusi arteri
koroner akut bila ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang
elevasi segmen ST pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV, pada pria usia ≥40
tahun adalah ≥0,2 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen
ST di lead V2-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV dan/atau ≥0,10 mV pada
sadapan lainnya.3
Pada pasien dengan inferior MI, direkomendasikan untuk merekam sadapan
precordial kanan (V3R - V4R) dan mencari elevasi segmen ST untuk
mengidentifikasi MI pada ventrikel kanan. Selain itu, depresi pada sadapan V1-3
yang menunjukkan iskemik miokardial, terutama saat gelombang T terminal positif
(ekuivalen dengan elevasi ST) serta dikonfirmasi dengan elevasi segmen ST ≥ 0,05
mV yang direkam pada sadapan V7-9 untuk mengidentifikasi MI posterior.3
Pada pasien dengan EKG standar 12-lead yang menunjukkan inferior MI, kita
dapat memperkirakan kemungkinan adanya infark ventrikel kanan dengan cara
melihat pada sadapan III yang mana ST elevasi nya lebih tinggi jika dibanding
pada sadapan II dan ST elevasi pada sadapan aVF lebih besar daripada ST depresi
pada sadapan V2. Serta terdapatnya reciprocal ST depresi pada lead lateral.4

17
Evolusi gelombang EKG pada STEMI5,6,7
Pada hasil EKG didapatkan sinus bradikardia, AV blok derajat 1, reguler
dengan HR 45x/m, STEMI Inferoposterior dan Right ventricular myocardial
infarction (RVMI).

Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG1

18
Pemeriksaan marka jantung pada pasien ini menunjukkan hasil troponin I >
10.00 ng/ml (normal <0.02 ng/ml) yang menandakan bahwa terjadi cedera
miokardial pada organ jantung pasien tersebut. Adapun pemeriksaan marka jantung
yang dikenal saat ini antara lain adalah Cardiac troponin I (cTnI) dan T (cTnT).
Cardiac troponin I (cTnI) dan T (cTnT) adalah komponen kontraktil dari sel
miokardial dan diekspresikan secara eksklusif pada organ jantung. Peningkatan
nilai cTnI belum pernah dilaporkan terjadi terkait dengan cedera jaringan non-
cardiac. Sebaliknya, keadaan ini berbeda halnya dengan cTnT. Data biokimiawi
menunjukkan bahwa otot skeletal yang cedera mengekspresikan protein yang
terdeteksi oleh pemeriksaan cTnT, sehingga mengakibatkan terjadinya beberapa
kondisi dimana terjadi peningkatan cTnT berasal dari otot skeletal semata, tanpa
disertai kondisi penyakit jantung iskemik.2
cTnI dan cTnT merupakan biomarker pilihan untuk evaluasi cedera
miokardial, dan pemeriksaan high-sensitivity (hs)-cTn direkomendasikan untuk
pemeriksaan penunjang klinis rutin. Biomarker jantung lain seperti creatine kinase
MB isoform (CK-MB) bersifat kurang sensitif dan spesifik daripada cTnI dan
cTnT. Cedera miokardial didefinisikan saat terdapat peningkatan cTn darah di atas
persentil ke-99 dari nilai batas atas. Cedera miokardial dianggap akut bila terjadi
peningkatan atau penurunan dari nilai cTn.2

Kondisi penyebab peningkatan nilai kardiak troponin2

19
Pemeriksaan troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam
setelah awitan SKA, sehingga hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina.
Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar troponin pada
pasien IMA meningkat di dalam darah perifer 3-4 jam setelah awitan infark dan
menetap sampai 2 minggu. Peningkatan biomarka jantung hanya menunjukkan
adanya nekrosis miosit, namun tidak tidak dapat dipakai untuk menentukan
penyebab nekrosis miosit tersebut (koroner atau nonkoroner). Troponin I/T juga
dapat meningkat akibat kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma
kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan
non-kardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar,
gagal napas, penyakit neurologi akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I
memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali
pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas
yang lebih tinggi dari troponin T.1

Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung


Stratifikasi resiko pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan menggunakan
kelas Killip. Klasifikasi kelas killip merupakan klasifikasi risiko berdasarkan
indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut dan ditujukan
untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari.1,8

20
Klasifikasi Kelas Killip1,8
Penatalaksanaan IMA-EST dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk
diagnosis dan pengobatan. Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat
berdasarkan riwayat nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih, yang
tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin.3 Namun ada hal yang perlu diingat
bahwa pemberian nitrat pada RVMI harus hati-hati karena dapat menurunkan
preload yang berujung pada drop nya tekanan darah.4 Pengawasan EKG perlu
dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan IMA-EST. Diagnosis IMA-EST perlu
dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12 sadapan,
selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung keberhasilan
tatalaksana (kelas I level B).3

Skema waktu penanganan pasien STEMI3

21
Semua rumah sakit dan sistem emergensi medis yang terlibat dalam
penanganan pasien IMA-EST harus mencatat dan berusaha untuk mencapai target
waktu tertentu. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama
≤ 10 menit. Terapi reperfusi diindikasikan pada semua pasien dengan gejala
iskemia ≤ 12 jam dan terdapat elevasi segmen ST yang persisten (kelas I level A).
Strategi primary PCI direkomendasikan daripada fibrinolitik sesuai target waktu
yang ditetapkan (kelas I level A). Jika strategi reperfusi adalah dengan fibrinolysis,
target waktu untuk menginjeksikan bolus fibrinolitik adalah dalam waktu 10 menit
dari diagnosis STEMI ditegakkan (kelas I level B).

Ringkasan target waktu penting pada penanganan akut STEMI3


Terapi fibrinolitik direkomendasikan dalam 12 jam dari onset gejala jika
primary PCI tidak dapat dilakukan dalam 120 menit dari diagnosis STEMI dan
tidak terdapat kontraindikasi (kelas I level A). Keuntungan absolut terbesar dari
terapi reperfusi dengan fibrinolitik dapat dilihat pada pasien dengan risiko tertinggi,
meliputi pasien tua, dan saat terapi reperfusi diberikan < 2 jam setelah onset gejala.

22
Semakin lama gejala pasien telah dirasakan, terutama setelah 3 jam, semakin lebih
dipertimbangkan lagi untuk memilih terapi reperfusi dengan primary PCI (bila
dibandingkan dengan terapi fibrinolitik) karena efikasi dan keuntungan klinis terapi
fibrinolitik berkurang seiring waktu dari onset gejala bertambah lama.3

Kontraindikasi terapi fibrinolitik


Pasien yang telah diberi terapi bolus fibrinolitik direkomendasikan untuk
ditransfer ke fasilitas dengan PCI sesegera mungkin. Rescue PCI diindikasikan
pada kasus fibrinolysis yang gagal seperti resolusi segmen ST < 50% dalam 60 –
90 menit pemberian fibrinolitik atau adanya ketidakstabilan hemodinamis maupun
kelistrikan jantung, perburukan iskemia atau nyeri dada yang persisten. Sedangkan
strategi routine early PCI diindikasikan setelah keberhasilan fibrinolysis, terutama
2 – 24 jam setelah fibrinolysis.3

Total waktu penanganan pasca fibrinolitik3

23
Istilah dalam terapi reperfusi3
Oksigen diindikasikan pada pasien hipoksia dengan saturasi oksigen arteri
(SaO2) < 90% (kelas I level C). Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
hiperoksia berbahaya pada pasien dengan MI tanpa komplikasi, terutama akibat
peningkatan cedera miokardial. Sehingga, pemberian oksigen rutin tidak
direkomendasikan saat SaO2 ≥ 90% (kelas III level B).
Rekomendasi koterapi pada IKP primer antara lain: Terapi inhibitor P2Y12
poten (prasugrel atau ticagrelor) atau clopidogrel direkomendasikan sebelum (atau
paling tidak saat) IKP dan dipertahankan selama 12 bulan, kecuali terdapat
kontraindikasi seperti risiko perdarahan berlebih (kelas I level A). Aspirin (oral atau
i.v.) direkomendasikan sesegera mungkin pada semua pasien tanpa kontraindikasi
tertentu. Antikoagulan direkomendasikan bagi semua pasien disamping terapi
antiplatelet selama IKP primer. Fondaparinux tidak direkomendasikan untuk IKP
primer. Adapun dosis terapi antiplatelet dan antikoagulan parenteral terlampir pada
tebel di bawah ini.3

24
Dosis antiplatelet dan parenteral antikoagulan pada koterapi IKP primer3
Rekomendasi koterapi pada terapi reperfusi fibrinolitik antara lain: Terapi
aspirin oral atau i.v. diindikasikan sebagai koterapi fibrinolitik (kelas I level B).
Clopidogrel diindikasikan disamping aspirin (kelas I level A). DAPT (Dual Anti
Platelet Theraphy) dalam bentuk aspirin dan inhibitor P2Y12 diindikasikan hingga
1 tahun pada pasien yang menjalani fibrinolysis dan IKP lanjutan (kelas I level C).
Terapi antikoagulan direkomendasikan pada pasien yang diterapi dengan litik
hingga revaskularisasi dilakukan atau durasi rawat inap hingga 8 hari dengan
pemberian enoxaparin i.v. diikuti s.c. (lebih dipilih dibandingkan UFH) (kelas I
level A). Adapun dosis koterapi antiplatelet dan antikoagulan parenteral pada terapi
reperfusi fibrinolitik terlampir pada tebel di bawah ini.3

25
Dosis koterapi antiplatelet & parenteral antikoagulan terapi fibrinolitik3

Strategi terapi reperfusi berdasarkan waktu gejala muncul3

26
Intervensi koroner perkutan (IKP) primer merupakan IKP emergensi dengan
balloon, stent, atau alat lainya, yang dikerjakan pada arteri yang infark (infarct-
related artery/IRA) tanpa terapi fibrinolitik sebelumnya. Pasien yang gagal
menerima terapi reperfusi dalam waktu yang direkomendasikan (12 jam pertama)
harus segera dievaluasi secara klinis untuk mengesampingkan adanya
ketidakstabilan hemodinamis dan kelistrikan jantung. Strategi IKP primer harus
dipertimbangkan pada pasien stabil asimtomatik antara 12 – 48 jam setelah onset
gejala. IKP rutin tidak diindikasikan pada IRA (infarct rekated artery) tersumbat
total yang telah melewati masa 48 jam pertama dari onset gejala akibat peningkatan
risiko komplikasi.3

Dosis antiplatelet & parenteral antikoagulan pada pasien tanpa terapi


reperfusi3
Terapi medis yang dapat diberikan pada pasien yang tidak menerima terapi
reperfusi meliputi DAPT, antikoagulan dan terapi pencegahan sekunder. Terapi
farmakologis yang diberikan pada pasien berupa terapi reperfusi dengan pemberian
fibrinolitik segera dan dilanjutkan dengan pemberian arixtra 2,5 mg IV segera
setelah pemberian fibrinolitik, selanjutnya arixtra diberikan 1x2,5mg SC 24 jam
setelah pemberian pertama. Hal ini dilakukan sebagai penatalaksanaan pertama
yang dilakukan, karena belum dapat dilakukan primary IKP. Pasien juga diberikan
loading CPG 300 mg → 1x75 mg, Aspilet loading 160 mg, Aptor 1x100 mg. Pasien

27
yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda
(DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum
angiografi (Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan (kelas I-C) dan rekomendasi
ini juga berlaku pada pasien yang tidak mendapatkan terapi reperfusi.3 Pasien ini
juga mendapatkan terapi berupa PO. Recansa (Rosuvastatin) 0-0-20 mg. Hal ini
telah sesuai dengan rekomendasi ESC untuk memulai terapi statin intensitas tinggi
seperti atorvastatin 40 – 80 mg atau rosuvastatin 20 – 40 mg sedini mungkin,
kecuali dikontraindikasikan dan mempertahankan terapi ini dalam jangka panjang
(kelas I level A).3
Pada pasien ini juga terdapat atrioventricular (AV) block derajat 1. AV block
terjadi akibat komplikasi infark. Sampai saat ini mekanisme terjadinya gangguan
aritmia akibat infark terkhusus terjadinya AV blok pada STEMI masih belum jelas.
Terdapat dua hipotesis yang diduga dapat menyebabkan hal ini terjadi yaitu:
pertama akibat cardio-inhibitory reflex yang berasal dari refleks vagal pada iskemik
ventrikel kiri, terutama dinding infero-posterior. Kedua akibat terjadinya iskemik
AV node. AV blok sering dilaporkan lebih banyak akibat infark jantung kanan.9,10
Selain terjadinya AV blok, pasien juga sempat mengalami syok saat
perawatan di ICCU. Syok yang terjadi pada pasien ini terutama karena kegagalan
pompa ventrikel kanan. Selain itu, dapat pula terjadi karena low cardiac output,
yang salah satu penyebabnya adalah kurangnya preload yang tejadi karena
pemberian terapi golongan nitrat. Pasien membaik kembali setelah diberikan
dopamin (menstimulasi reseptor dopaminergik dan adrenergik, sehingga akan
menstimulasi pompa jantung).3

28
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis berupa nyeri dada yang tipikal, disertai dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan STEMI
Inferior, Posterior dan Kanan Killip I serta Bradikardi dengan junctional rhytm e.c AV
blok derajat 3

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi Keempat. Perhimpunan


Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2018
2. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD;
Writing Group on the Joint ESC/ACC/AHA/WHF Task Force for the
Universal Definition of Myocardial Infarction. Fourth universal definition of
myocardial infarction. Eur Heart J 2018.
3. ESC Guidelines for the Management of Acute Myocardial Infarction in
Patients Presenting with ST-segment Elevation. European Heart Journal. 2017
4. Nagam MR, Vinson DR, Levis JT. ECG Diagnosis: Right ventricular
myocardial infarction. Prem J. 2017; 21:16-105.
5. Kusumoto F, et al. ECG Interpretation: From Pathophysiology to Clinical
Application. New York: Springer Science+Business Media LLC; 2009.
6. Lily LS, et al. Pathophysiology of Heart Disease: Collaborative project of
medical students and faculty. Edition 6th. China: Wolters Kluwer; 2016.
7. Fuster V, et al. Hurst’s The Heart. Edition 14th. New York: McGraw-Hill
Education; 2017.
8. Mann DL, Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E. Braunwald’s Heart
Disease: A textbook of cardiovascular medicine. Edition 10th. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2015.
9. Hashmi KA, Shehzad A, Hashmi AA, Khan A. Atrioventricular block after
acute myocardial infarction and its association with other clinical parametes in
Pakistani patients: an institutional perspective. BMC Res Notes. 2018; 11:329.
10. Kusumoto FM, Schoenfeld MH, Barrett C, dkk. 2018 ACC/AHA/HRS
Guidline on the evaluation and management of patients with bradycardia and
cardiac conduction delay. Journal of the American college of cardiology. 2018.

30

Anda mungkin juga menyukai