Pengobatan Antiretroviral di
Indonesia 2014
(Ringkasan)
Kementerian Kesehatan RI
Konseling, Pemeriksaan dan Diagnosis HIV
KTS dan TIPK
• Konseling dan Tes HIV Sukarela: Konseling yang dilakukan atas dasar
permintaan dan atau kesadaran seorang klien untuk mengetahui faktor
risiko dan status HIV-nya. Langkah-langkah KTS meliputi:
a. Konseling pra tes
b. Tes HIV
c. Konseling pasca tes
• Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan: Tes HIV dan konseling pada
suatu keadaan klinis sebagai langkah efektif dan efisien dalam
mengidentifikasi ODHA, bertujuan untuk menemukan diagnosis HIV dan
memfasilitasi ODHA mendapatkan pengobatan lebih dini. Selain itu juga
untuk memfasilitasi pengambilan keputusan klinis terkait pengobatan
yang dibutuhkan dan yang mungkin tidak diambil tanpa mengetahui
status HIV-nya. Tes HIV dengan TIPK tidak dilakukan dalam hal pasien
menolak secara tertulis.
TIPK diindikasikan pada:
• setiap orang dewasa, remaja, dan anak-anak yang datang
dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang mengindikasikan
atau patut diduga telah terjadi infeksi HIV, terutama pasien TB
dan IMS;
• asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin;
• bayi atau anak yang lahir dari ibu terinfeksi HIV;
• anak dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi di wilayah
epidemik meluas atau anak dengan malnutrisi yang tidak
menunjukkan respons yang baik dengan pengobatan nutrisi yang
adekuat;
• laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan
pencegahan HIV
Pada wilayah epidemi meluas, TIPK harus dianjurkan pada semua
orang yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan sebagai
bagian dari standar pelayanan.
Alur Pemeriksaan
Tes HIV
Usia > 18 bln
Interpretasi Hasil Tes HIV
Hasil Tes Kriteria Tindak Lanjut
Positif Bila hasil A1, A2 dan A3 reaktif Rujuk ke Pengobatan HIV
Negatif • Bila hasil A1 non-reaktif • Bila tidak berisiko, dianjurkan perilaku hidup
• Bila hasil A1 reaktif ttp pd sehat
pengulangan A1 dan A2 • Bila berisiko, dianjurkan pemeriksaan ulang
non-reaktif minimum 3, 6 dan 12 bulan dari pemeriksaan
• Bila salah satu reaktif ttp pertama
tidak berisiko
Indeterminate • Bila 2 hasil tes reaktif • Tes perlu diulang dgn spesimen baru
• Bila hanya 1 tes reaktif ttp minimal setelah 2 minggu dari pemeriksaan
mempunyai risiko atau pertama
pasangan berisiko • Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan
dgn pemeriksaan PCR
• Bila sarana pem PCR tidak ada, rapid tes
diulang 3, 6 dan 12 bulan dari pemeriksaan
pertama. Bila sampai 1 tahun hasil tetap
“indeterminate” dan faktor risiko rendah,
hasil dapat dinyatakan sebagai negatif
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksazol
(dewasa)
Kriteria Inisiasi Kriteria Pemberhentiana
Jumlah CD4 < 200 sel/mm3 dan Jumlah CD4 > 200 sel/mm3
berapapun stadium klinis setelah 6 bulan ARTc
atau Jika tidak ada CD4: PPK dpt
Stadium klinis 3 atau 4 dihentikan setelah 2 tahun ART
atau
Semuanyab
a kotrimoksasol diberhentikan juga bila ODHA dengan sindrom Stevens-Johnson, penyakit hati berat, anemia atau pansitopenia
berat, atau HIV negatif. Kontraindikasi kotrimoksasol: alergi sulfa, penyakit liver berat, penyakit ginjal berat, dan defisiensi G6PD.
b pada semua ODHA tanpa melihat CD4 atau stadium klinis pada daerah dengan prevalensi HIV tinggi.
c pada wilayah dengan prevalensi infeksi bakteri tinggi atau endemis malaria, batasan CD4 yang digunakan adalah <350 sel/mm3.
a Jangan memulai TDF jika CCT < 50 ml/menit, atau pada kasus diabetes lama,
hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
b Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 7 g/dL sebelum terapi
c Kombinasi dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV
Toksisitas ARV Lini Pertama
a Anemia berat adalah Hb < 7,5 g/dl (anak) < 8 g/dl (dewasa) dan neutropenia berat jika hitung
neutrofil < 500/mm3. Singkirkan kemungkinan malaria pada daerah endemis.
b Batasannya adalah intoleransi saluran cerna refrakter (berulang) dan berat yang dapat
substitusi setelah pemakaian lama d4T ke TDF, harus diperhatikan bagaimana supresi virus dan
riwayat kepatuhan ODHA.
e Toksisitas SSP ini bersifat self-limiting. Karena EFV menyebabkan pusing, dianjurkan untuk
g Ruam kecil sampai sedang dan toksisitas hati dapat diatasi dengan pemantauan, terapi
simtomatik dan perawatan suportif. Ruam yang berat didefinisikan sebagai lesi luas dengan
deskuamasi, angioedema, atau reaksi mirip serum sickness, atau lesi disertai gejala
konstitusional seperti demam, lesi oral, melepuh, edema fasial, konjungtivitis seperti Sindrom
Stevens-Johnson. Pada ruam yang berat, apalagi jika disertai peningkatan SGOT >5 kali BAN,
dapat mengancam jiwa, oleh karena itu hentikan NVP atau EFV. Kedua obat NRTI lainnya
diteruskan hingga 1-2 minggu ketika ditetapkan paduan ARV berikutnya mengingat waktu paruh
yang lebih pendek disbanding NVP atau EFV.
h Hepatotoksisitas yang dihubungkan dengan pemakaian NVP jarang terjadi pada anak terinfeksi
a Pada ODHA dengan kepatuhan dan hasil pengobatan ARV yang baik, frekuensi
pemantauan CD4 dan HIV RNA dapat dikurangi
b Tes HIV RNA (viral load) sangat dianjurkan untuk menentukan kegagalan terapi
Kegagalan Terapi
Alur Evaluasi Terapi ARV
Paduan ART Lini Kedua Dewasa
a Rifampisin sebaiknya tidak digunakan pada pemakaian LPV/r. Paduan OAT yang
dianjurkan adalah 2SHZE, selanjutnya diteruskan dengan HE dengan evaluasi rutin
kelainan mata. Namun, pada infeksi meningitis TB yang perlu tetap menggunakan
rifampisin maka LPV/r dapat digunakan dengan dosis ganda LPV/r 800 mg/200 mg
2x sehari atau 2 x 2 tablet.
Efek Samping ARV Lini Kedua