Anda di halaman 1dari 51

REFERAT

GANGGUAN BELAJAR PADA ANAK

Disajikan Untuk Memenuhi Tugas


Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Kesehatan Jiwa

Disusun oleh :
LIA PRAMITA
I4061191023

Pembimbing
Mayor CKM (K) dr. Lollytha C. Simanjutak, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT TK.II DUSTIRA CIMAHI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2019

0
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Referat dengan judul:

“Gangguan Belajar Pada Anak”

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa

Cimahi, Oktober 2019,

Pembimbing, Disusun oleh:

Mayor CKM (K) dr. Lollytha C. Simanjuntak, Sp.KJ Lia Pramita

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Proses belajar merupakan suatu proses yang berkesinambungan dalam
membentuk sumber daya manusia yang tangguh. Seorang anak perlu
dirangsang untuk mengembangkan rasa cinta akan belajar, kebiasaan-
kebiasaan belajar yang baik dan rasa diri sebagai pelajar yang sukses.
Namun demikian, proses pembelajaran tidak selalu berjalan mulus.
Seringkali ditemukan kesulitan/gangguan belajar pada anak-anak.
Kesulitan/Gangguan belajar (Learning Disorders) adalah suatu gangguan
neurologis yang mempengaruhi kemampuan untuk menerima, memproses,
menganalisis atau menyimpan informasi. Gangguan Belajar juga dapat
diartikan sebagai defisit anak dan remaja di dalam mencapai keterampilan
membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran, memberikan
alasan, atau matematika yang diharapkan, dibandingkan dengan anak lain
berusia sama dan dengan kapasitas intelektual yang sama.1
Survey nasional terbaru menemukan bahwa 8 persen dari anak-anak AS
mengalami kesulitan belajar. Disinyalir, jumlah anak laki-laki dengan
kesulitan belajar jumlahnya tiga kali lebih banyak dibandingkan anak
perempuan. Penjelasan untuk perbedaan gender ini di antaranya adalah
kerentanan biologis yang lebih besar di antara anak laki-laki dan bias
penunjukkan (referral bias, yaitu anak laki-laki cenderung ditunjuk oleh
guru untuk konseling karena perilaku mereka).2
Anak dengan Gangguan Belajar mungkin mempunyai tingkat
intelegensia yang sama atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan teman
sebayanya, tetapi sering berjuang untuk belajar secepat orang di sekitar
mereka. Dibandingkan dengan anak-anak yang tidak memiliki kesulitan
belajar, anak-anak yang memiliki kesulitan belajar kemungkinan besar
memiliki prestasi akademis yang buruk, angka dikeluarkan dari sekolah
(dropout) yang tinggi, serta riwayat pascapendidikan menengah dan

2
perkerjaan yang buruk Meskipun demikian, di samping masalah yang
mereka jumpai, banyak anak yang memiliki keterbatasan tumbuh dewasa
dengan kemampuan menjalani kehidupan normal dan terlibat dalam
perkerjaan yang produktif.3
Masalah yang terkait dengan kesehatan mental dan gangguan belajar
yaitu kesulitan dalam membaca, menulis, mengeja, mengingat, penalaran,
serta keterampilan motorik dan masalah dalam matematika. Hal ini
merupakan masalah, baik di sekolah maupun di rumah karena
gangguan/kesulitan belajar yang tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan berbagai bentuk gangguan emosional/psikiatrik yang akan
berdampak lebih buruk lagi bagi perkembangan kualitas hidup anak di
kemudian hari. Oleh karena itu, referat ini dibuat untuk memberikan
gambaran ringkas mengenai Gangguan Belajar terutama dalam hal gejala
klinis, diagnosis serta penanganan yang tepat pada pasien dan keluarga
pasien.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gangguan Belajar


Gangguan Belajar adalah defisit anak dan remaja di dalam mencapai
keterampilan membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran,
memberikan alasan, atau matematika yang diharapkan, dibandingkan
dengan anak lain berusia sama dan dengan kapasitas intelektual yang sama.1
Menurut National Joint Comitte on Learning Disabilities (NJLD),
gangguan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang
dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam memperoleh dan
menggunakan kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, menulis,
mengeluarkan pendapat dan matematika. Kelainan tersebut intrinsik dari
individu dan disebabkan karena disfungsi sistem syaraf pusat. Kesulitan
belajar ini dapat menyertai kelainan lain seperti kelainan sensoris, retardasi
mental, kelainan sosial dan emosional atau pengaruh lingkungan (seperti
perbedaan budaya,atau intruksi yang salah dan faktor psikolinguistik), tapi
bukan akibat langsung dari kelainan atau pengaruh tersebut.

2.2. Faktor Penyebab Gangguan Belajar


Secara umum faktor yang menyebabkan gangguan belajar dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :4
1. Faktor Internal
Faktor internal ini dapat diartikan faktor yang berasal dari dalam
individu itu sendiri, atau dengan kata lain adalah faktor yang berasal
dari anak itu sendiri. Faktor-faktor yang termasuk dalam bagian ini,
yaitu :
a. Inteligensi (IQ) yang kurang baik
b. Gangguan ringan pada otak (minimal brain dysfunction)
c. Bakat yang kurang atau tidak sesuai dengan bahan pelajaran yang
dipelajari atau diberikan oleh guru

4
d. Faktor emosional yang kurang stabil
e. Aktivitas belajar yang kurang. Lebih banyak malas daripada
melakukan kegiatan belajar
f. Kebiasaan belajar yang kurang baik. Belajar dengan penguasaan
pada tingkat hafalan, tidak dengan pengertian (insight), sehingga
sukar ditransfer ke situasi yang lain
g. Penyesuaian sosial yang sulit
h. Latar belakang pengalaman yang pahit
i. Cita-cita yang tidak relevan (tidak sesuai dengan bahan pelajaran
yang dipelajari)
j. Latar belakang pendidikan yang dimasuki dengan sistem sosial dan
kegiatan belajar mengajar di kelas yang kurang baik
k. Ketahanan belajar (lama belajar) tidak sesuai dengan tuntutan waktu
belajarnya
l. Keadaan fisik yang kurang menunjang. Misalnya cacat tubuh yang
ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, dan
gangguan psikomotor. Cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta,
tuli, hilang tangan dan kaki, dan sebagainya
m. Tidak ada motivasi dalam belajar
Selain faktor di atas, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor kesehatan
mental dan tipe belajar pada anak, yang meliputi tipe visual, motoris dan
campuran.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri,
meliputi :
a. Faktor Keluarga, beberapa faktor dalam keluarga yang menjadi
penyebab gangguan belajar pada anak sebagai berikut :
 Kurangnya kelengkapan belajar anak dirumah, sehingga
kebutuhan belajar yang diperlukan tidak ada akan
menghentikan kegiatan belajar anak beberapa waktu

5
 Anak tidak memiliki ruang dan tempat belajar yang khusus
dirumah
 Perhatian keluarga tidak memadai
 Kedudukan anak dalam keluarga yang menyedihkan. Orang
tua yang pilih kasih dalam mengayomi anak
b. Faktor sekolah, faktor sekolah yang dianggap dapat menimbulkan
gangguan belajar di antaranya :
 Hubungan guru dan anak didik yang kurang harmonis
 Guru menuntut pembelajaran diatas kemampuan anak
 Guru tidak memiliki kecakapan dalam usaha mengetahui
kesulitan belajar anak didik
 Suasana sekolah yang kurang menyenangkan

Sementara Kirk & Ghallager (1986) menyebutkan faktor penyebab


gangguan belajar sebagai berikut:13
1. Faktor Disfungsi Otak
Penelitian mengenai disfungsi otak dimulai oleh Alfred Strauss di
Amerika Serikat pada akhir tahun 1930-an, yang menjelaskan
hubungan kerusakan otak dengan bahasa, hiperaktivitas dan
kerusakan perceptual. Penelitian berlanjut ke area neuropsychology
yang menekankan adanya perbedaan pada hemisfer otak. Menurut
Wittrock dan Gordon, hemisfer kiri otak berhubungan dengan
kemampuan sequential linguistic atau kemampuan verbal; hemisfer
kanan otak berhubungan dengan tugas-tugas yang berhubungan
dengan auditori termasuk melodi, suara yang tidak berarti, tugas
visual-spasial dan aktivitas non verbal. Temuan Harness, Epstein,
dan Gordon mendukung penemuan sebelumnya bahwa anak-anak
dengan kesulitan belajar (learning difficulty) menampilkan kinerja
yang lebih baik daripada kelompoknya ketika kegiatan yang mereka
lakukan berhubungan dengan otak kanan, dan buruk ketika
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan otak kiri. Gaddes

6
mengatakan bahwa 15% dari anak yang termasuk underachiever,
memiliki disfungsi system syaraf pusat (dalam Kirk & Ghallager,
1986).
2. Faktor Genetik
Hallgren melakukan penelitian di Swedia dan menemukan bahwa,
yang faktor herediter menentukan ketidakmampuan dalam membaca,
menulis dan mengeja diantara orang-orang yang didiagnosa
disleksia. Penelitian lain dilakukan oleh Hermann (dalam Kirk &
Ghallager, 1986) yang meneliti disleksia pada kembar identik dan
kembar tidak identik yang menemukan bahwa frekwensi disleksia
pada kembar identik lebih banyak daripada kembar tidak identik
sehingga ia menyimpulkan bahwa ketidakmampuan membaca,
mengeja dan menulis adalah sesuatu yang diturunkan.
3. Faktor Lingkungan dan Malnutrisi
Kurangnya stimulasi dari lingkungan dan malnutrisi yang terjadi di
usia awal kehidupan merupakan dua hal yang saling berkaitan yang
dapat menyebabkan munculnya kesulitan belajar pada anak.
Cruickshank dan Hallahan (dalam Kirk & Ghallager, 1986)
menemukan bahwa meskipun tidak ada hubungan yang jelas antara
malnutrisi dan kesulitan belajar, malnutrisi berat pada usia awal akan
mempengaruhi sistem syaraf pusat dan kemampuan belajar serta
berkembang anak.
4. Faktor Biokimia
Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap kesulitan
belajar masih menjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan oleh
Adelman dan Comfers (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan
bahwa obat stimulan dalam jangka pendek dapat mengurangi
hiperaktivitas. Namun beberapa tahun kemudian penelitian Levy
(dalam Kirk & Ghallager, 1986) membuktikan hal yang sebaliknya.
Penemuan kontroversial oleh Feingold menyebutkan bahwa alergi,
perasa dan pewarna buatan hiperkinesis pada anak yang kemudian

7
akan menyebabkan kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet
salisilat dan bahan makanan buatan kepada anak-anak yang
mengalami kesulitan belajar. Pada sebagian anak, diet ini berhasil
namun ada juga yang tidak cukup berhasil. Beberapa ahli kemudian
menyebutkan bahwa memang ada beberapa anak yang tidak cocok
dengan bahan makanan.

2.3. Jenis-Jenis Gangguan Belajar


2.3.1. Gangguan Membaca (Dyslexia)
A. Definisi Dyslexia
Dyslexia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak
adekuat, kesulitan dan Lexis/Lexia artinya kata/bahasa. Dyslexia adalah
seorang anak yang mengalami gagal belajar membaca yang diakibatkan
karena fungsi neurologis (susunan dan hubungan saraf) tertentu, atau
pusat saraf untuk membaca tidak berfungsi sebagaimana diharapkan. Di
dalam DSM-IV-TR, gangguan membaca didefinisikan sebagai
pencapaian membaca di bawah tingkat yang diharapkan untuk usia,
pendidikan, dan intelegensi anak. Hendaya ini secara signifikan
mengganggu keberhasilan akademik atau aktivitas harian yang
melibatkan membaca. Gangguan ini ditandai dengan gangguan
kemampuan mengenali kata, membaca dengan lambat dan tidak akurat,
serta pemahaman yang buruk. Di samping itu, anak dengan gangguan
defisit atensi/hiperaktivitas (ADHD) memiliki risiko tinggi gangguan
membaca.1

B. Epidemiologi Dyslexia
Suatu studi pada anak usia sekolah di Amerika Serikat yang
memiliki gangguan membaca sekitar 2-8%. Anak laki-laki tiga hingga
empat kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan, memiliki
ketidakmampuan membaca. Anak laki-laki dengan gangguan membaca
mungkin lebih sering dirujuk untuk evaluasi dibandingkan anak
perempuan karena masalah perilaku yang sering terkait.1

8
C. Etiologi Dyslexia
Etiologi/penyebab dyslexia antara lain : 1
 Faktor genetik atau keturunan. Penelitian yang dilakukan oleh
Gregorenko menyebutkan 20-65% anak dyslexia juga memiliki
orangtua yang mengalami kesulitan membaca. Banyak studi
menyokong hipotesis bahwa faktor genetik memainkan peran
utama pada adanya gangguan membaca. Studi menunjukkan bahwa
35 hingga 40 persen kerabat derajat pertama anak dengan gangguan
membaca juga memiliki derajat tertentu hendaya membaca.
Beberapa studi terkini mengesankan bahwa pemahaman fonologis
terkait dengan kromosom 6. Lebih jauh lagi, kemampuan
identifikasi kata tunggal terkait dengan kromosom 15.
 Masalah dalam migrasi neuron/saraf. Penelitian oleh Simos
menunjukkan bahwa anak dyslexia memiliki pola aktivitas yang
berbeda dengan anak normal, anak normal menggunakan hemisfer
kiri sedangkan anak dyslexia menggunakan hemisfer kanan.
Insiden gangguan membaca yang lebih tinggi terdapat pada anak
dengan intelegensi normal yang mengalami serebral palsy. Insiden
gangguan membaca sedikit meningkat terdapat di antara anak-anak
yang mengalami epilepsi. Komplikasi selama kehamilan; kesulitan
pranatal dan perinatal termasuk prematuritas; dan berat lahir rendah
lazim ada di dalam riwayat anak dengan gangguan membaca. Anak
dengan lesi otak pasca lahir di lobus oksipital kiri, yang
menimbulkan kebutaan lapang pandang, dapat memiliki gangguan
membaca sekunder, demikian juga anak dengan lesi di splenium
korpus kalosum yang menyekat transmisi informasi visual dari
hemisfer kanan yang intak ke area bahasa di hemisfer kiri.

D. Gambaran Klinis Dyslexia

9
Anak yang mengalami gangguan membaca biasanya dapat
diidentifikasi pada usia 7 tahun (kelas 2). Kesulitan membaca tampak
jelas pada saat keterampilan membaca diharapkan dikuasai saat siswa
kelas satu. Anak kadang dapat mengompensasi gangguan membaca
pada tingkat dasar dengan menggunakan memori dan kesimpulan,
terutama ketika gangguan ini disertai dengan intelegensi yang tinggi.
Pada keadaan seperti ini, gangguan tidak terlihat nyata sampai usia 9
tahun (kelas 4) atau lebih. Masalah-masalah yang terkait mencakup
kesulitan berbahasa, sering ditunjukkan dengan gangguan diskriminasi
bunyi dan kesulitan merangkai kata-kata dengan sesuai. 1
Ciri-ciri anak yang mengalami dyslexia adalah sebagai berikut : 6
 Inakurasi dalam membaca seperti membaca lambat kata demi kata jika
dibandingkan dengan anak seusianya, intonasi suara turun naik tidak
teratur
 Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan
proporsional
 Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya antara “kuda”
dengan “daku”
 Ketidakteraturan terhadap kata yang hanya sedikit perbedaannya
misalnya “buah” dan “bau”
 Kesulitan dalam memahami apa yang dibaca, dalam arti anak tidak
mengerti apa isi cerita/teks yang dibacanya
 Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi
sebuah kata
 Melakukan penambahan dalam suku kata (Addition), misalnya “batu”
menjadi “baltu”
 Menghilangkan huruf dalam suku kata (Omission), misalnya “masak”
menjadi “masa”
 Membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri kanan
(inversion/mirroring), misalnya “dadu” menjadi “babu”

10
 Membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik atas bawah
(reversal), misalnya “papa” menjadi “qaqa”
 Mengganti huruf atau angka (substitution) misalnya “lupa” menjadi
“luga” atau “3” menjadi “8”.
Dyslexia termasuk salah satu karakteristik yang dimiliki oleh anak
kesulitan belajar dan masuk dalam kategori masalah prestasi akademis.
Masalahnya dibagi dalam tiga aspek, aspek yang pertama adalah decoding
atau mengalami kesulitan dalam mengubah bahasa tulisan menjadi lisan,
misalnya kesulitan dalam menyebutkan huruf-huruf yang membentuk kata
topi yaitu t, o, p, dan i. Aspek yang kedua adalah kelancaran (fluency atau
reading fluency), adalah kemampuan untuk mengenali kata demi kata
dengan cepat, membaca kalimat atau wacana yang lebih panjang, dan
dapat dengan mudah menghubungkannya. Aspek yang ketiga adalah
mengerti isi bacaan (comprehension).5

E. Pedoman Diagnostik Dyslexia


Pedoman diagnostik gangguan membaca (dyslexia) dapat
menggunakan The helpful Test of Word Reading Efficiency (TOWRE)
dengan karakteristik sebagai berikut: 7
 Kemampuan membaca anak harus secara bermakna lebih rendah
tingkatannya daripada kemampuan yang diharapkan berdasarkan pada
usianya, intelegensia umum, dan tingkatan sekolahnya.
 Gangguan perkembangan khas membaca biasanya didahului oleh
riwayat gangguan perkembangan berbicara atau berbahasa.
 Hakikat yang tepat dari masalah membaca tergantung pada taraf yang
diharapkan dari kemampuan membaca, berbahasa dan tulisan. Namun
dalam tahap awal dari belajar membaca tulisan abjad, dapat terjadi
kesulitan mengucapkan huruf abjad, menyebut nama yang benar dari
tulisan, memberi irama sederhana dari kata-kata yang diucapkan, dan
dalam menganalisis atau mengelompokkan bunyi (meskipun ketajaman

11
pendengaran normal). Kemudian dapat terjadi kesalahan dalam
kemampuan membaca lisan, seperti :
 Terdapat kata atau bagiannya yang mengalami penghilangan,
penggantian, penyimpangan, atau penambahan
 Kecepatan membaca yang lambat
 Salah memulai, keraguan yang lama atau kehilangan bagian dari
teks dan tidak tepat menyusun kalimat
 Susunan kata yang terbalik dalam kalimat, atau huruf yang terbalik
dalam kata
Dapat juga terjadi defisit dalam memahami bacaan, seperti
diperlihatkan oleh contoh :
 Ketidak mampuan menyebut kembali isi bacaan
 Ketidakmampuan untuk menarik kesimpulan dari materi bacaan
 Lebih mengutamakan pengetahuan umum dalam menjawab suatu
pertanyaan dalam bacaan daripada menggunakan informasi yang
terdapat dalam bacaan tersebut
 Gangguan emosional dan/atau perilaku yang menyertai biasanya timbul
pada masa usia sekolah. Masalah emosional biasanya lebih banyak pada
masa tahun pertama sekolah, tetapi gangguan perilaku dan sindrom
hiperaktivitas hampir selalu ada pada akhir masa kanak dan remaja.

F. Pemeriksaan Penunjang Dyslexia


Tidak ada tanda fisik atau ukuran laboratorium spesifik yang
membantu di dalam menegakkan diagnosis gangguan membaca.
Diagnosis gangguan membaca ditegakkan setelah mengumulkan data
dari tes intelegensi standar dan penilaian pencapaian pendidikan.
Rangkaian diagnostik umumnya mencakup tes mengeja standar,
komposisi tulisan, memroses dan menggunakan bahasa oral serta
membuat salinan. Subtes membaca yaitu Woodcock-Johnson Pyscho-
Educational Battery-Revised, dan Peabody Individual Achievement
Test-Revised berguna untuk mengidentifikasi ketidakmampuan

12
membaca. Rangkaian proyektif penapisan dapat mencakup gambar
manusia, tes menceritakan gambar, dan melengkapi kalimat. Evaluasi
harus mencakup pengamatan sistematik mengenai variabel perilaku.1

G. Prognosis Dyslexia
Anak dengan gangguan membaca mendapatkan pengetahuan dari
bahasa lebih lama daripada teman lainnya, Pada kasus yang berat dan
bergantung pada pola defisit dan kekuatan, terapi remedial dapat
dilanjutkan hingga sekolah menengah atau tingkat SMU. 1

H. Terapi Dyslexia
Banyak program terapi remedial yang efektif dimulai dengan mengajari
anak tersebut untuk membuat hubungan yang akurat antara huruf dan
bunyi. Setelah keterampilan itu dikuasai, terapi remedial dapat
menargetkan komponen maembaca yang lebih besar, seperti suku kata
dan kata. Fokus pasti setiap program membaca hanya dapat ditentukan
setelah dlakukan penilaian akurat mengenai defisit spesifik seorang
anak serta kelemahannya. Strategi koping mencakup kelompok
membaca kecil dan terstruktur akan memberikan perhatian individual
sehingga membuat anak tersebut lebih mudah untuk meminta bantuan.
Program instruksi membaca dimulai dengan memusatkan pada setiap
huruf dan bunyi, kemudian meningkat ke penguasaan inti fonetik
sederhana, diikuti dengan menyatukan unit-unit ini menjadi kata dan
kalimat. Program terapi remedial membaca lainnya, seperti program
Merill dan SRA Basic Reading Program, dimulai dengan
memperkenalkan keseluruhan kata terlebih dahulu, kemudian mengajari
anak bagaimana memecahnya dan mengenali bunyi suku kata serta
setiap huruf di dalam kata tersebut. Pendekatan lain, seperti Bridge
Reading Program, mengajari anak dengan gangguan membaca untuk
mengenali keseluruhan kata melalui penggunaan bantuan visual dan
memintas proses “membunyikannya”. 1
2.3.2. Gangguan Matematika (Dyscalculia)

13
A. Definisi Dyscalculia
Dyscalculia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak
adekuat, kesulitan dan Calculia/Calculare artinya berhitung. Dyscalculia
adalah gangguan pada kemampuan kalkulasi secara sistematis. Biasanya
anak yang tidak memahami proses matematis, ditandai dengan kesulitan
mengerjakan tugas yang melibatkan angka atau simbol matematis. Anak
dengan gangguan matematika memiliki kesulitan mempelajari dan
mengingat angka, tidak dapat mengingat fakta dasar mengenai angka,
dan lambat serta tidak akurat di dalam menghitung. Pencapaian yang
buruk di dalam empat kelompok keterampilan telah diidentifikasi di
dalam gangguan matematika; keterampilan linguistik (yang terkait
dengan pemahaman istilah matematis dan mengubah soal tertulis menjadi
simbol matematika), keterampilan persepsi (kemampuan mengenali dan
memahami simbol dan mengurutkan serangkaian angka), keterampilan
matematis (penambahan, pengurangan, pengalian, pembagian dasar, dan
serangkaian operasi matematika dasar), serta keterampilan atensional
(menyalin angka dengan tepat serta mengamati simbol-simbol
operasional dengan benar).1

B. Epidemiologi Dyscalculia
Prevalensi gangguan matematika diperkirakan terjadi dalam kira-
kira 1 persen anak usia sekolah, yaitu satu dari lima anak dengan gangguan
belajar. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hingga 6 persen anak-
anak usia sekolah memiliki kesulitan dalam matematika. Gangguan
matematika lebih sering terjadi pada anak perempuan.1

C. Etiologi Dyscalculia
Timbulnya gangguan matematika serupa dengan gangguan belajar
lain, cenderung disebabkan sebagian oleh faktor genetik. Suatu teori awal
mengajukan defisit neurologis di hemisfer serebri kanan, terutama pada
area lobus oksipitalis. Regio ini bertanggung jawab untuk memproses

14
stimulus visuospasial yang selanjutnya bertanggung jawab untuk
keterampilan matematis. Saat ini penyebabnya dianggap multifaktor,
sehingga faktor kematangan, kognitif, emosional, pendidikan, dan
sosioekonomik turut berperan di dalam berbagai derajat dan kombinasi
untuk gangguan matematika. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi
gangguan ini, di antaranya adalah sebagai berikut :1
 Kelemahan pada proses penglihatan atau visual
Anak yang memiliki kelemahan ini kemungkinan besar akan
mengalami dyscalculia. Ia juga berpotensi mengalami gangguan dalam
mengeja dan menulis dengan tangan
 Bermasalah dalam hal mengurutkan informasi
Seorang anak yang mengalami kesulitan dalam mengurutkan dan
mengorganisasikan informasi secara detail, umumnya juga akan sulit
mengingat sebuah fakta, konsep ataupun formula untuk menyelesaikan
kalkulasi matematis. Jika problem ini yang menjadi penyebabnya, maka
anak cenderung mengalami hambatan pada aspek kemampuan lainnya,
seperti membaca kode-kode dan mengeja, serta apa pun yang
membutuhkan kemampuan mengingat kembali hal-hal detail
 Fobia matematika
Anak yang pernah mengalami trauma dengan pelajaran matematika bisa
kehilangan rasa percaya dirinya. trauma tersebut bisa disebabkan oleh
beberapa hal. Misalnya, gurunya suka marah-marah, galak atau
memiliki wajah seram sehingga membuat anak-anak menjadi takut dan
mengakibatkan dirinya sulit menerima pelajaran tersebut. Selain itu
ketakutan yang sebenarnya dari pelajaran matematika adalah anak takut
jika jawaban yang didapatkannya salah, karena jawaban yang salah
berarti kegagalan sehingga anak dituntut untuk selalu bisa memberikan
jawaban yang benar. Padahal jawaban yang salah bukanlah suatu
kegagalan, tapi justru bisa membuat anak lebih memahami konsep
matematika dan menganalisis pikirannya. Anak yang pernah mengalami
trauma dengan pelajaran matematika bisa kehilangan rasa percaya

15
dirinya. Jika hal ini tidak diatasi segera, ia akan mengalami kesulitan
dengan semua hal yang mengandung unsur hitungan.

D. Gambaran Klinis Dyscalculia


Gambaran gangguan matematika yang lazim ditemukan mencakup
kesulitan dengan berbagai komponen matematika, seperti mempelajari
nama angka, mengingat tanda untuk penambahan dan pengurangan,
mempelajari tabel perkalian, menerjemahkan soal dalam kata menjadi
perhitungan, dan melakukan perhitungan dengan kecepatan yang
diharapkan. Penderita dyscalculia umumnya anak-anak, tetapi tidak secara
spesifik menyerang tingkat usia tertentu. Gangguan ini terutama terjadi
pada saat anak menginjak umur sekolah sekitar usia 7 tahun. Dyscalculia
dapat terdeteksi pada usia tersebut karena pada saat itu anak mulai sekolah
dan belajar berhitung. Penderita dyscalculia umumnya memiliki IQ
normal, namun ada juga yang IQ nya melebihi rata-rata atau cukup tinggi.
Anak dyscalculia dapat berinteraksi normal seperti anak biasa, komunikasi
dan sosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya. Artinya dia dapat hidup
dengan baik meskipun mengalami kesulitan dalam berhitung. Persoalan
yang dihadapi anak dengan dyscalculia lebih pada kehidupannya sehari-
hari. Beberapa hal berikut dapat digunakan untuk melihat gejala atau ciri-
ciri dyscalculia :7
 Tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, malah
seringkali mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-
kata tertulis
 Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-harinya, ia sulit
menghitung transaksi (belanja), termasuk menghitung kembalian uang.
Seringkali anak tersebut jadi takut memegang uang, menghindari
transaksi, atau apa pun kegiatan yang harus melibatkan uang
 Sering sulit membedakan tanda-tanda dalam hitungan
 Sulit membedakan angka yang mirip, misalnya angka 6 dengan 9, 17
dengan 71

16
 Sulit membedakan bangun-bangun geometri
 Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah,
mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan
angka atau urutan
 Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-
angka, seperti proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret
hitung serta deret ukur
 Terkadang mengalami disorientasi, seperti disorientasi waktu dan arah.
Si anak biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga
tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.
Selain gejala tersebut, dyscalculia dapat pula diamati tanda-tanda seperti
berikut ini :
 Proses penglihatan atau visual lemah dan bermasalah dengan spasial
(kemampuan memahami bangun ruang). Dia juga kesulitan
memasukkan angka-angka pada kolom yang tepat
 Kesulitan dalam mengurutkan, misalkan saat diminta menyebutkan
urutan angka.
 Kebingungan menentukan sisi kiri dan kanan
 Beberapa anak juga ada yang kesulitan menggunakan kalkulator
 Umumnya memiliki kemampuan bahasa yang normal (baik verbal,
membaca, menulis atau mengingat kalimat yang tertulis)
 Memberikan jawaban yang berubah-ubah (inkonsisten) saat diberi
pertanyaan penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian
 Kesulitan mengingat skor dalam pertandingan olahraga
 Orang dengan dyscalculia tidak bisa merencanakan keuangannya
dengan baik dan biasanya hanya berpikir tentang keuangan jangka
pendek

E. Pedoman Diagnostik Dyscalculia

17
Pedoman diagnostik gangguan matematika (dyscalculia) adalah
Keymath Diagnostic Arithmetic Test dengan prinsip sebagai berikut :
 Gangguan ini meliputi hendaya yang khas dalam kemampuan berhitung
yang tidak dapat diterangkan berdasarkan adanya retardasi mental
umum atau tingkat pendidikan di sekolah yang tidak adekuat.
Kekurangannya ialah penguasaan pada kemampuan dasar berhitung
yaitu tambah, kurang, kali, bagi (bukan kemampuan matematik yang
lebih abstrak dalam aljabar, trigonometri, geometri atau kalkulus)
 Kemampuan berhitung anak harus secara bermakna lebih rendah
daripada tingkat yang seharusnya dicapai berdasarkan usianya,
intelegensia umum, tingkat sekolahnya, dan terbaik dinilai dengan cara
pemeriksaan untuk kemampuan berhitung yang baku
 Keterampilan membaca dan mengeja harus dalam batas normal sesuai
dengan umur mental anak
 Kesulitan dalam berhitung bukan disebabkan pengajaran yang tidak
adekuat, atau efek langsung dari ketajaman penglihatan, pendengaran,
atau fungsi neurologis, dan tidak didapatkan sebagai akibat dari
gangguan neurologis, gangguan jiwa, atau gangguan lainnya

F. Pemeriksaan Penunjang Dyscalculia


Tidak ada tanda atau gejala fisik yang menunjukkan gangguan
matematika, tetapi uji edukasional dan ukuran fungsi intelektual standar
diperlukan untuk menegakkan diagnosis ini.1

G. Prognosis Dyscalculia
Anak dengan gangguan matematika biasanya dapat diidentifikasi
pada usia 8 tahun (kelas 3). Pada beberapa anak, gangguan ini dapat
terlihat pada usia 6 tahun (kelas 1); pada anak lain, bisa terlihat hingga
usia 10 tahun (kelas 5) atau lebih. Di sisi lain, anak dengan gangguan
matematika sedang yang tidak mendapatkan intervensi bisa mengalami
komplikasi, termasuk kesulitan akademik yang berlanjut, rasa malu konsep

18
diri yang buruk, frustasi, dan depresi. Komplikasi ini dapat menimbulkan
keengganan untuk datang ke sekolah, bolos, dan akhirnya putus asa
mengenai keberhasilan akademiknya.1

H. Terapi Dyscalculia
Saat ini terapi yang paling efektif untuk gangguan matematika
menggabungkan antara mengajarkan konsep matematika dengan visual,
auditory, motoric, dan repetisi terus-menerus di dalam menyelesaikan soal
matematika. Defisit keterampilan sosial dapat turut berperan di dalam
keengganan anak untuk meminta bantuan sehingga anak yang
diidentifikasi dengan gangguan matematika bisa mendapatkan keuntungan
dari mendapatkan keterampilan menyelesaikan masalah di dalam
lingkungan sosial juga di dalam matematika.8

2.3.3. Gangguan Ekspresi Tertulis (Dysgraphia)


A. Definisi Dysgraphia
Dysgraphia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak
adekuat, kesulitan dan Graphia artinya menulis. Dysgraphia adalah
gangguan ekspresi tulisan yang ditandai dengan keterampilan menulis
yang secara signifikan di bawah tingkat yang diharapkan untuk usia dan
kapasitas intelektual anak. Kesulitan ini mengganggu kinerja akademik
dan tuntutan untuk menulis dalam kehidupan sehari-hari. Banyak
komponen gangguan ekspresi tertulis mencakup mengeja yang buruk,
kesalahan tata bahasa dan tanda baca, serta tulisan tangan yang buruk.1
B. Epidemiologi Dysgraphia
Prevalensi gangguan menulis saja belum dipelajari, tetapi
gangguan membaca, diperkirakan terjadi pada kira-kira 4 persen anak usia
sekolah. Diperkirakan bahwa rasio gender pada gangguan menulis serupa
dengan gangguan membaca, terjadi sekitar tiga kali lebih banyak pada
laki-laki. Gangguan menulis sering terjadi bersama dengan gangguan
membaca, tetapi tidak selalu. Anak dengan gangguan menulis memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai gangguan belajar dan bahasa

19
lainnya termasuk gangguan membaca, gangguan matematika, dan
gangguan bahasa ekspresif serta repesitif. Anak dengan gangguan menulis
diyakini memiliki risiko tinggi untuk mengalami kesulitan keterampilan
sosial, dan beberapa di antaranya terus memiliki kepercayaan diri yang
buruk serta mengalami gejala depresif. 1
C. Etiologi Dysgraphia
Secara spesifik penyebab dysgraphia tidak diketahui secara pasti,
namun apabila dysgraphia terjadi secara tiba-tiba pada anak maupun orang
dewasa maka diduga disgrafia disebabkan oleh trauma kepala yang
mungkin disebabkan kecelakaan, penyakit, dan yang lainnya. Seperti
halnya dyslexia, dysgraphia juga disebabkan faktor neurologis, yakni
adanya gangguan pada otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan
kemampuan membaca dan menulis. Anak mengalami kesulitan dalam
harmonisasi secara otomatis antara kemampuan mengingat dan menguasai
gerakan otot menulis huruf dan angka. Kesulitan ini tidak terkait dengan
masalah kemapuan intelektual, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak
mau belajar. Selain itu, tampaknya faktor genetik memainkan peranan di
dalam timbulnya gangguan ekspresi tertulis. Predisposisi herediter
terhadap gangguan ini disokong dengan temuan bahwa sebagian besar
anak dengan gangguan ekspresi tertulis memiliki kerabat derajat pertama
dengan gangguan ini. Anak dengan rentang perhatian yang terbatas dan
sangat mudah teralih perhatiannya dapat merasakan bahwa menulis
merupakan tugas yang melelahkan.1
D. Gambaran Klinis Dysgraphia
Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan dysgraphia, antara lain
sebagai berikut : 1
 Anak dapat berkomunikasi dengan baik namun bermasalah dalam
kemampuan menulis
 Menggunakan tanda baca yang tidak benar, ejaan yang salah,
mengulang kalimat atau perkataan yang sama
 Salah dalam mengartikan pertanyaan yang diberikan

20
 Sulit menulis nomor dalam urutannya
 Tidak konsisten dalam membuat tulisan yang bervariasi dalam
kemiringan huruf dan ukuran tulisan
 Kalimat atau kata ditulis tidak lengkap dan sering terdapat huruf atau
kata yang terlewat
 Garis dan batas halaman kertas tidak sama antara satu halaman dengan
halaman yang lain
 Jarak antar kata tidak konsisten
 Menggenggam alat tulis dengan sangat erat, biasanya anak dengan
dysgraphia menulis dengan bertumpu pada pangkal lengan dan
memegang pensil hingga menempel di kertas
 Sering berbicara sendiri saat menulis
 Selalu memperhatikan tangan yang sedang menulis
 Lambat dalam menulis
Anak dengan gangguan ekspresi tertulis memiliki kesulitan di awal
sekolahnya dalam mengeja kata-kata dan di dalam mengekspresikan
pikirannya sesuai dengan norma tata bahasa yang sesuai usia. Gambaran lazim
gangguan ekspresi tertulis ini mencakup kesalahan pengejaan, kesalahan tata
bahasa, kesalahan tanda baca, penyusunan paragraf yang buruk, dan tulisan
tangan yang buruk. Gambaran lain yang terkait pada gangguan ini mencakup
penolakan atau keengganan untuk pergi ke sekolah dan melakukan pekerjaan
rumah tertulis yang ditugaskan, kinerja akademik yang buruk di area lain
(contoh: matematika), penghindaran umum terhadap pekerjaan sekolah, bolos,
defisit atensi, dan gangguan tingkah laku. Banyak anak dengan gangguan
ekspresi tertulis menjadi frustasi dan marah karena perasaan kekurangan dan
kegagalan kinerja akademik. Pada kasus yang berat, gangguan depresif dapat
timbul akibat semakin tumbuhnya rasa isolasi, asing, dan putus asa. 1
E. Pemeriksaan Penunjang Dysgraphia
Meskipun tidak ada stigmata fisik pada gangguan menulis, tes
pendidikan digunakan dalam menegakkan diagnosis gangguan ekspresi

21
tertulis. Tes bahasa tertulis yang sekarang tersedia mencakup TOWL,
DEWS, dan Test of Early Written Languange (TEWL). Seorang anak yang
dicurigai memiliki gangguan ekspresi tertulis pertama kali harus diberikan
tes intelektual standar, seperti WISC-III atau Wechsler Adult Intelligence
Scale yang telah direvisi (WAIS-R) untuk menentukan kapasitas
intelektual keseluruhan seorang anak.1
F. Prognosis Dysgraphia
Pada kasus yang berat, gangguan ekspresi tertulis tampak nyata
pada usia 7 tahun (kelas dua), pada kasus yang lebih ringan, gangguan ini
bisa tidak terlihat jelas hingga usia 10 tahun (kelas lima) atau lebih.
Sebagian besar orang dengan gangguan ekspresi tertulis ringan atau
sedang cukup baik jika mereka mendapatkan edukasi remedial pada waktu
yang tepat di awal masa sekolah dasarnya. Gangguan ekspresi tertulis yang
berat memerlukan terapi remedial yang ekstensif dan berkelanjutan
sepanjang bagian akhir masa SMU dan bahkan hingga akademi. Prognosis
bergantung pada keparahan gangguan, usia atau kelas ketika intervensi
remedial dimulai, lama dan keberlanjutan terapi, dan ada atau tidak adanya
masalah perilaku atau emosional sekunder atau terkait.1
G. Terapi Dysgraphia9
Terapi remedial untuk gangguan ekspresi tertulis mencakup praktik
langsung mengeja dan menulis kalimat, serta mengkaji ulang aturan tata
bahasa. Pemberian terapi menulis kreatif dan ekspresif yang intensif,
berkelanjutan dan dirancang khusus secara individual dan satu-satu
tampak memberi hasil yang baik.

22
2.3.4 Attention Deficit/Hyperactive Disorder
A. Definisi
Gangguan defisit atensi atau hiperaktifitas (attention-
deficit/hyperactivity disorder-ADHD) adalah suatu keadan yang terdiri
atas pola tidak menunjukkan atensi yang persisten dan/atau perilaku yang
impulsive serta hiperaktif, yang bersifat lebih berat daripada yang
diharapkan pada anak dengan usia dan dalam tingkat perkembangan yang
sama. Untuk memenuhi kriteria diagnosis ADHD, beberapa gejala harus
terdapat saat usia anak kurang dari 7 tahun, meskipun banyak yang baru
terdiagnosis setelah berusia 7 tahun, saat perilaku mereka menimbulkan
masalah di sekolah maupun tempat lain yang terkat dengan aktifitas anak
sehari-hari. Kondisi dimana tidak adanya atensi dan/atau hiperaktifias-
impulsivitas harus sedikitnya mengganggu fungsi secara sosial, dan
akademik yang sesuai dengan perkembangan anak. Gangguan ADHD ini
tidak boleh tumpang tindih dengan diagnosis gangguan kejiwaan lain
seperti skizofrenia, maupun disebabkan oleh gangguan jiwa lain.14

B. Klasifikasi
Klasifikasi ADHD berikut dibagi berdasarkan presentasinya pada
individu, berikut ini dibagi menjadi tiga jenis:14
1) Combined presentation: terdapat adanya enam atau lebih
manifestasi klinis dalam satu cluster
2) Predominantly Innattentive: terdapat enam atau lebih gejala
inattentive, dengan 3-5 gejala hiperaktivitas-impulsivitas
3) Innattentive presentation (Restrictive): terdapat gejala inattentive
sejumlah enam atau lebih, dengan kurang dari 2 gejala
hiperaktivitas-impulsivitas
4) Predominently hiperaktif: terdapat gejala inattentive sejumlah
kurang dari atau sama dengan 5 dengan lebih dari 6 gejala
hiperaktivitas-impulsivitas.
C. Epidemiologi

23
Prevalensi ADHD secara global adalah sekitar 5,3 % terjadi pada
anak dan 2,5 % terjadi pada dewasa. Hal ini disebabkan oleh karena anak-
anak yang mengalami ADHD pada usia anak-anak akan memiliki
kecemderungan sebesar 40-60 % untuk tetap berkembang menjadi ADHD
pada saat usia dewasa. Di Amerika Serikat sendiri angka kejadian ADHD
bervariasi mulai dari 2 sampai dengan 20 persen terjadi pada anak anak
yang duduk di sekolah dasar. Angka konservatif adalah 3 hingga 7 persen
pada anak anak sekolah dasar prapubertas. Gejala ADHD sering mucul
pada usia 3 tahun, tetapi diagnosis umumnya belum ditegakkan sampai
anak tersebut masuk ke dalam lingkungan yang terstruktur seperti taman
kanak-kanak dan sekolah dasar, dimana pada kondisi itu mulai tampak
gejala anak yang hiperaktif-impulsif dan kurang perhatian terhadap
pelajaran dibandingkan teman sebayanya yang normal.14
Poli jiwa anak dan remaja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mencatat
pada tahun 2003, terdapat 51 anak yang didiagnosis ADHD dari 215 anak
sekolah dasar yang datang.15 Sedangkan menurut Saputro (2005) di
Indonesia, populasi anak Sekolah Dasar yang menderita ADHD adalah
16,3% dari total populasi yaitu 25,85 juta anak. Berdasarkan data tersebut
diperkirakan tambahan kasus baru ADHD sebanyak 9000 kasus. Sebagian
besar orang tua ataupun guru masih menganggap anak dengan gangguan
tersebut sebagai anak nakal atau malas.

D. Etiologi dan Faktor Risiko


Telah banyak diteliti dan dipelajari, namun belum ada penyebab
pasti yang dapat dijadikan penyebab ADHD.14 sebagian anak dengan
ADHD tidak menunjukan tanda-tanda cedera struktural yang besar pada
SSP. Sebaliknya, sebagian besar anak dengan gangguan neurologisyang
diketahui yang disebabkan oleh cedera otak tidak menunjukan defisit
atensi dan hiperaktivitas. Faktor penyumbang yang diajukan untuk ADHD
adalah pemaparan toksin prenatal, prematuritas, dan kerusakan mekanis
prenatal pada SS janin.

24
Berbagai teori seperti, faktor genetika, faktor kerusakan otak, faktor
neurokimiawi dan faktor psikososial. Terdapat beberapa hal yang diduga
menjadi penyebab terjadinya ADHD, secara umum karena
ketidakseimbangan kimiawi atau kekurangan zat kimia tertentu di otak
yang berfungsi untuk mengatur perhatian dan aktivitas. Beberapa
penelitian menunjukan adanya kecenderungan faktor keturunan (herediter)
tetapi banyak pula penelitian yang menyebutkan bahwa faktor-faktor
sosial dan lingkunganlah yang lebih berperan.14
1) Faktor Genetik
Bukti adanya dasar genetik untuk ADHD mencakup corcodance yang
lebih tinggi pada kembar monozigot dibandingkan dizigot. Saudara
kandung anak hiperaktif juga memiliki risiko kira-kira dua kali untuk
memiliki gangguan dibandingkan populasi umum. Gejala kandung
tersebut bisa memiliki gejala hiperaktif yang menonjol, sedangkan
saudara kandung yang lain dapat mempunyai gejala defisit yang
menonjol. Pola biologis pada anak-anak dengan gangguan ini
memiliki resiko yang lebih tinggi untuk ADHD dibanding orang ta
adoptif. 14
2) Faktor Kerusakan Otak
Disebutkan bahwa beberapa anak yang menderita ADHD memiliki
kerusakan ringan pada sistem saraf pusat dan perkembangan otak
selama masa periode janin dan perinatal. Kerusakan ini diduga
disebabkan oleh gangguan sirkulasi, toksik, metabolik, mekanik atau
fisik pada otak. Rapoport dkk dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa anak dengan ADHD mengalami pengecilan lobus prefrontal
kanan, nukleus kaudatus kanan, globus palidus kanan serta pada
vermis.15
Lobus prefrontal terlibat dalam proses editing perilaku,
mengurangi distraktibilitas, membantu kesadaran diri dan waktu
seseorang. Nukleus kaudatus dan globs palidus menghambat respon

25
otomatis yang datang pada bagian otak, sehingga koordinasi
rangsangan tersebut tetap optimal.14
3) Faktor Neurokimia
Pada pasien ADHD diperkirakan terjadi mutasi gen, sehingga terjadi
peningkatan ambilan kembali dopamin ke dalam sel neuron di sitem
limbik dan lobus prefrontal akibat perubahan aktivitas Dopamine
Transporter Gene.14,15
4) Faktor neurofisiologis
Hubungan fisiologis adalah adanya berbagai pola elektroensefalogram
(EEG) abnormal nonspesifik yang tidak beraturan dibandingkan
dengan kontrol normal. Sejumlah studi yang menggunakan positron
emmision tomography (PET) menemukan aliran balik serta laju
metabolik di area laju frontalis anak-anak dengan ADHD
dibandingkan dengan kontrol. Pemindaian PET juga menunjukan
bahwa remaja perempuan dengan gangguan ini memiliki metabolisme
glukosa yang berkurang secara global dibandingkan dengan kontrol
normal perempuan. Dan laki-laki serta dengan laki-laki dengan
gangguan ini. Satu teori menjelaskan temuan ini delobus frontalis
anak-anak dengan menganggap bahwa anak-anak dengan ADHD
melakukan mekanisme inhibisinyab dengan tidak adekuat pada
struktur yang lebih rendah, suatu efek yang menghasilkan inhibisi.14
5) Faktor Psikososial
ADHD dipengaruhi kemunculan dan keterlanjutannya bisa karena
peristiwa siklik yang memberikan stress, gangguan keseimbangan
keluarga.14,15

E. Manifestasi Klinis
Ciri khas anak dengan gangguan ini yang paling sering
disebutkan, dalam urutan frekuensi, hiperaktivitas, hendaya motorik
perspektual, labilitas emosi, defisit koordinasi umum, defisit atensi
(rentang atensi singkat, mudah teralih perhatiannya, perseverasi, gagal
menyelesaikan tugas, inatensi, konsentrasi buruk), impulsivitas (bertindak

26
sebelum berpikir, pergeseran tiba-tiba dalam aktivitas, kurang teratur,
melompat di kelas), defisit daya ingat dan berpikir, ketidakmampuan
belajar spesifik, defisit pendengaran dan bicara, serta tanda neurologis
ekuifokal dan ketidakteraturan EEG. Kesulitan di sekolah, baik
dalambelajar atau berperilaku, adalah masalah lazim yang sering timbul
bersama dengan ADHD; kesulitan ini kadang-kadang datang akibat
gangguan komunikasiatau gangguan belajar yang ada atau akibat
mudahteralih perhatian atau atensi yang berfluktuasi, dan menghambat
perolehan, retensi, dan penunjukan pengetahuan. Kesulitan ini terutama
diamati secara khusus pada tes kelompok.14

F. Diagnosis
Diagnosis ADHD dapat dilakukan berdasarkan pedoman yang di
keluarkan oleh American Psychiatric Association, yang menerapkan
kriteria untuk menentukan gangguan pemusatan perhatian dengan
mengacu kepada DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders.16
1) Kurang Perhatian
Pada kriteria ini, anak ADHD paling sedikit mengalami enam atau
lebih dari gejala-gejala berikutnya, dan berlangsung selama paling
sedikit 6 bulan sampai suatu tingkatan yang maladaptif dan tidak
konsisten dengan tingkat perkembangan.
a. Seringkali gagal memerhatikan baik-baik terhadap sesuatu yang
detail atau membuat kesalahan yang sembrono dalam pekerjaan
sekolah clan kegiatan - kegiatan lainnya,
b. Seringkali mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian
terhadap tugas-tugas atau kegiatan bermain,
c. Seringkali tidak mendengarkan jika diajak bicara secara
langsung,
d. Seringkali tidak mengikuti baik-baik instruksi dan gagal dalam
menyelesaikan pekerjaan sekolah, pekerjaan,atau tugas di

27
tempat kerja (bukan disebabkan karena perilaku melawan atau
kegagalan untuk mengerti instruksi),
e. Seringkali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas dan
kegiatan,
f. Seringkali kehilangan barang benda penting untuk tugas-tugas
clan kegiatan, misalnya kehilangan permainan;kehilangan tugas
sekolah;kehilangan pensil, buku, dan alat tulis lain,
g. Seringkali menghindari, tidak menyukai atau enggan untuk
melaksanakan tugas-tugas yang membutuhkan usaha mental
yang didukung, seperti menyelesaikan pekerjaan sekolah atau
pekerjaan rumah,
h. Seringkali bingung/terganggu oleh rangsangan dari luar, dan
i. Seringkali cepat lupa dalam menyelesaikan kegiatan sehari-hari.
2) Hiperaktivitas Impulsifitas
Paling sedikit enam atau lebih dari gejala-gejala hiperaktivitas
impulsifitas berikutnya bertahan selama paling sedikit 6 bulan sampai
dengan tingkatan yang maladaptif dan tidak dengan tingkat
perkembangan.
Hiperaktivitas
a. Seringkali gelisah dengan tangan atau kaki mereka, dan sering
menggeliat di kursi,
b. Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau dalam
situasi lainnya di mana diharapkan agar anak tetap duduk,
c. Sering berlarian atau naik-naik secara berlebihan dalam situasi
di mana hal ini tidak tepat. (Pada masa remaja atau dewasa
terbatas pada perasaan gelisah yang subjektif),
d. Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat dalam
kegiatan senggang secara tenang,
e. Sering 'bergerak' atau bertindak seolah-olah 'dikendalikan oleh
motor', dan sering berbicara berlebihan.
Impulsivitas

28
a. Mereka sering memberi jawaban sebelum pertanyaan selesai.
b. Mereka sering mengalami kesulitan menanti giliran.
c. Mereka sering menginterupsi atau mengganggu orang lain,
misalnya rnemotong pembicaraan atau permainan.
d. Beberapa gejala hiperaktivitas impulsifitas atau kurang
perhatian yang menyebabkan gangguan muncul sebelum anak
berusia 7 tahun.
e. Ada suatu gangguan di dua atau lebih seting/situasi
f. Harus ada gangguan yang secara klinis, signifikan di dalam
fungsi sosia!, akademik, atau pekerjaan.
g. Gejala-gejala tidak terjadi selama berlakunya PDD, skizofrenia,
atau gangguan psikotik lainnya, dan tidak dijelaskan dengan
lebih baik oleh gangguan mental lainnya.

Kesulitan diagnosis biasanya dialami pada pasien dengan gejala yang


muncul sebelum usia 3 tahun. Sulit membedakan ADHD dengan gangguan
perkembangan pervasif seperti autis. Kita dapat membedakannya dengan
mengetahui gejala yang diamali pasien. Berikut adalah pedoman diagnosis
autisme pada anak menurut PPDGJ III.17
a. Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan
dan atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun,
dan dengan ciri kelainan fungsi dalam 3 bidang, yaitu interaksi sosial,
komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.
b. Biasanya tidak jelas ada periode perkembangan yang normal
sebelumnya, tetapi bila ada, kelainan perkembangan sudah menjadi
jelas sebelum usia 3 tahun, sehingga diagnosis sudah dapat
ditegakkan. Tetapi gejala – gejalanya dapat didiagnosis pada semua
kelompok umur.
c. Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik.
Berbentuk apresiasi yang tidak adekuat terhadap isyarat sosio-
emosional, yang tampak sebagai kurangnya respon terhadap emosi

29
orang lain atau kurangnya modulasi perilaku dalam konteks sosial,
yaitu buruk dalam menggunakan isyarat sosial dan integrasi yang
lemah dalam perilaku sosial, emosional dan komunikatif dan
khususnya kurangnya respon timbal balik sosio-emosional.
d. Terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Kurangnya
penggunaan keterampilan bahasa yang dimiliki dalam hubungan
sosial, hendaya dalam permainan imaginatif dan imitasi sosial,
keserasian buruk dan kurangnya timbal balik dalam percakapan,
buruknya keluwesan dalam berbahasa, ekspresif dan kreativitas dan
fantasi dalam proses pikir yang relatif kurang, kurangnya respon
emosional terhadap ungkapan verbal dan nonverbal orang lain,
hendaya dalam menggunakan variasi irama atau penekanan sebagai
modulasi komunikatif, kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan
atau memberi arti tambahan dalam komunikasi lisan.
e. Pola perilaku minat yang terbatas, berulang dan streotipik.
Kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam berbagai aspek
kehidupan sehari – hari. Ini biasanya berlaku untuk kegiatan baru dan
kebiasaan sehari – hari serta pola bermain. Terutama pada masa kanak
– kanak dini, dapat terjadi kelekatan yang khas terhadap benda –
benda yang aneh, khususnya benda yang tidak lunak. Anak dapat
memaksakan suatu kegiatan rutin dalam ritual yang sebetulnyya tidak
perlu, dapat terjadi preokupasi yang streotipik pada suatu minat seperti
tanggal atau jadwal, sering terdapat streotipi motorik, sering
menunjukan minat khusus terhadap segi – segi nonfungsional dar
benda – benda ( misal bau dan rasanya), terdapat penolakan terhadap
perubahan rutinitas atau dalam detail dari lingkungan hidup pribadi
( misal perpindahan lemari ).
f. Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan
autisme, terdapat tiga perempat kasus yang terdapat retardasi mental.

G. Tatalaksana
a. Terapi Farmakologi

30
Agen farmakologi untuk ADHD adalah stimulan SSP, terutama
detroamphetamine (dexedrine), methylphenidate, dan pemoline (cylert).
Food and drug administration (FDA) mengizinkan dekstroamphetamine
pada anak berusia 3 tahun dan lebih dan methylpenidate pada anak yang
berusia 6 tahun atau lebih; keduanya adalah obat yang paling sering
digunakan.
Mekanisme kerja yang tepat dari stimulan tetap tidak diketahui.
Mendapat respon paradoksikal oleh anak hiperaktif tidak lagi diterima.
Methylpenidate telah terbukti sangat efektif pada hampir ¾ anak dengan
ADHD dan memiliki efek samping yang relatif kecil. Methylpenidate
adalah medikasi kerja singkat yang biasanya digunakan secara efektif pada
jam-jam sekolah, sehingga anak dengan gangguan defisit-atensi atau
hiperaktivitas dapat memperhatikan tugasnya dan tetap berada di ruang
kelas. Efek samping obat yang paling sering adalah nyeri kepala, nyeri
lambung, nyeri lamung, mual, dan insomnia. Beberpa anak mengalami
efek rebound dimana mereka menjadi agak mudah marah dan tampak agak
hiperaktif selama waktu yang singkat saat mesikasi dihntikan. Banyak
anak-anak dengan riwayat tic motorik, harus digunakan dengan berhati-
hati, karena, pada beberapa kasus, methylpenidate dapat menyebabkan
eksaserbasi gangguan tic. Permasalahan ain yang sering tentang
metylphenodate adalah apakah obat akan menyebabkan supresi
pertumbuhan. Selama periode pemakaian metylpenidate adalah disertai
dengan supresi pertumbuhan, tetapi anak cendrung tumbuh saat mereka
diberikan libur obat pada musimpanas atau pada akhir minggu. Pertanyaan
penting tentang pemakaian metylpenidate adalah bagaimana obat
menormalkan prestasi sekolah. Penelitian terkahir menumukan bahwa
kira-kira 75% anak dengan hiperaktif menunjukan perbaikan bermakna
dalam kemampuan mereka untuk memperhatikan dikelas dan pada
pengukuran efisiensi akademik saat diobati dengan metylpenidate. Obat
telah ditunjukan memperbaiki skor anak hiperaktif pada tugas yang

31
membutuhkan kegigihan, seperti kinerja kontinyu dan asosiasi
berpasangan. 16

Antidepresan.
Antidepresan termasuk imipramin (tofranil), desipramine dan notriptyline
(pamelor), telah digunkan untuk mengobati ADHDdengan suatu
keberhasilan. Pada anak-anak dengan gangguan kecemasan dan komorbid
dan pada anak-anak dengan gangguan tic yang menghalangi pemakaian
stimulan, antidepresan mungkin berguna, walaupun, untuk
hiperaktivitasnya sendiri, stimulan adalah lebih manjur. Antidepresan
memerlukan monitoring yang cermat pada fungsi jantung. Beberapa
penelitian melaporkan kematian mendadak anak pada ADHD yang sedang
dobati dengan desipramine. Mengapa kematian terjadi, adalah tidak jelas,
tetapi kematian mendorong perlunya follow up yang ketat pada setiap anak
yang mendapatkan trisiklik.

Memonitor terapi stimulan 14


Pada tingkat dasar, bersamaan dengan parameter praktek Aerican
Academy of Child and adolescent Psychiatry (AACP) yang paling kini,
sebelum memulai pengobatan stimulan, dianjurkan pemeriksaan berikut
ini:
- Pemeriksaan fisik
- Tekanan darah
- Denyut nadi
- Berat badan
Dianjurkan bahwa anak dan remaja yang akan diterapi dengan stimulan
diperiksa tinggi, berat badan dan tekanan darah setiap tga bulan dan
ppemeriksaan fisiksetiap tahun.14

Evaluasi perkembangan terapetik


Monitor dimulai saat dimulainya obat. Pada sebagian besar pasien,
stimulan mengurangi overaktivitas, perhatian yang mudah teralih,

32
impulsivitas, meledak-ledak dan iritabilitas. Tidakada bukti yang
menunjukan bahwa obat secara langsung memperbaiki hendaya belajar
yang sebelumnya telah ada, meskipun jika defisit atensi menghilang, anak
dapat belajar dengan lebih efektif dibandingkan sebelumnya. Disamping
itu, anak-anak dengan ADHD tidak lagi secara terus menerus ditegur
karena perilaku mereka. 17
Jika telah diberikan dosis efektif, maka perlu dilakukan review secara
teratur untuk mengecek tingkat perilaku dan efek sampingnya, tinggi/berat
badan dan tekanan darah. Keadaan berat badan ideal serta pengukuran
tinggi badan dan penghitungan centil velocity memungkinkan untuk
deteksi dini masalah pertumbuhan yang signifikan, meskipun ini jarang
terjadi.

2) Terapi Psikososial 15
a. Pelatihan keterampilan sosial bagi anak ADHD
Anak dengan ADHD memiliki ggejala agresivitas dan
impulsitas sehingga tidak dapat menjalin relasi yang optimal
dengan teman sebayanya. Dampaknya, anak ini sering dikucilkan
oleh teman sebayanya dan kesulitan mencari teman baru. Tanpa
sadar lingkungan telah memberikan label negatif terhadap anak
tersebut seperti nakal atau bodoh. Oleh karena itu, diperlukan
pelatihan keterampilan bagi anak ini, dengan harapan ia akan
mengerti norma – norma sosial yang berlaku dan berperilaku serta
bereaksi sesuai norma.
b. Edukasi bagi orangtua dan guru
Banyak orangtua yang belum mengerti tentang gangguan ADHD,
sehingga membuat mereka ragu untuk mendiagnosis dan menterapi
anaknya. Untuk itu, perlu dilakukan modifikasi perilaku pada
orangtua anak dengan ADHD ini.
c. Modifikasi perilaku

33
Menggunakan prinsip Antecedents Behaviour and Consequences
(ABC) . Antecedents yaitu semua bentuk sikap, perilaku dan
kondisi sebelum anak melakukan perilaku tertentu, misalnya cara
orangtua menginstruksikan pada anak. Behaviour adalah perilaku
yang ditampilkan anak. Consequences adalah reaksi orangtua
setelah anak melakukan sesuatu.
Contoh terapi perilaku yang dapat digunakan seperti :
 Ciptakan rutinitas, berusaha untuk mengikuti jadwal yang
sama setiap hari dari bangun tidur hingga tidur lagi,
 Menata Rumah, letakkan perlengkapan sekolah, sepatu, baju
dan mainan di tempat yang sama setiap hari, sehingga ia tidak
pernah merasa kehilangan.
 Jauhkan gangguan, matikan tv, radio, komputer ketika anak
sedang belajar.
 Mempersempit pilihan, misalnya hanya memberi pilihan antara
dua benda saja, sehingga anak tidak teroverstimulasi.
 Menerapkan tujuan perilaku dan penghargaan, gunakan sebuah
papan tulis tentang list goal yang akan dilakukan oleh anak dan
berikan penghargaan jika ia sudah melaksanakannya.
 Disiplin, tidak dengan membentak, tetapi dengan memberikan
hukuman yang baik jika anak melakukan perilaku yang tidak
baik.
 Membantu anak menemukan bakat atau talenta mereka,
temukan minat dan bakat anak – anak, misalnya musik,
olahraga dan lain– lain.
d. Edukasi dan pelatihan pada guru
Peran guru sangat penting, karena biasanya masalah terbesar anak
dengan ADHD adalah pada bidang akademis. Kita harus
mengedukasi guru untuk menghindari pandangan negatif terhadap
anak ADHD. Harus perlu diingat untuk menghindari stigmatisasi
anak ADHD seperyi anak nakal, anak bodoh atau anak malas.

34
e. Dukungan kelompok dan keluarga
Penelitian menyebutkan bahwa dukungan orang tua dan kelompok
yang lebih nyaman akan membuat anak secara terbuka
mengemukakan masalah mereka serta lebih mudah
mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Dengan cara seperti ini
mereka akan mendapatkan dukungan emosional untuk menjadi
lebih baik.
3) Diet atau Nutrisi
Diet yang baik sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan kesehatan anak. Nutrisi yang tepat, termasuk berbagai
vitamin, mineral, asam amino, dan asam lemak esensial (EFA),
terutama sangat diperlukan pada tahun – tahun pertama kehidupan
demi mendukung perkembangan otak dan mencegah gangguan
neurologis. Pada anak – anak, kurangya komponen makanan seperti
protein dan kurangnya kalori dapat mempengaruhi kemampuan
belajar dan kemampuan anak dalam berperilaku. Kekurangan vitamin
dan mineral juga dapat mengganggu kemampuan belajar anak selama
satu tahun.

H. Prognosis
Pada kira-kira 15-20 persen kasus,gejala ADHD menetap sampai
masa dewasa. Mereka dengan gangguan mungkin menunjukan penurunkan
hiperaktivitas tetapitetap imppulsif dan rentan terhadap kecelakaan.
Walaupun pencapain pendidikan mereka lebih rendahdaripada orang tanpa
ADHD,riwayat pekerjaan awal mereka tidak berbeda dari orang dengan
pendidikanyang sama.16
Anak-anak dengan ADHD yang gejalanya menetap sampai masaremaja
adalah berada dalam isiko tinggi untuk mengalami gangguan konduksi..
kira-kira 50% anakdengan gangguan konduksi akan berkembang dengan
kepribadian antisosial di masa dewasanya. Anak-anak dengan ADHD dan

35
konduksi juga berada dalam resiko mengalami gangguan berhuungan
dengan zat.16

2.3.5 Intellectual Dissability


A. Definisi
Menurut American Association on Intellectual and Developmental
Dissabilites (AAIDD) dan Individuals with Dissabilities Education Act
(IDEA) membaginya menjadi tiga kriteria yang memiliki maknanya
tersendiri yaitu: 18
 Intelektual dibawah rata-rata
Nilai test intelektual yang didapatkan berada dibawah 2 standar deviasi
(SD). Jika nilai mean pada suatu test adalah 10 dengan SD 15,
sedangkan nilai skor dibawah 70 maka sesuai dengan kriteria ini,namun
tidak semua hasil intelektual dibawah rata-rata merupakan intelektual
disorder karena masih banyak terdapat kemungkinan untuk terjadinya
positif palsu.
 Kemampuan adaptasi yang rendah
Adaptasi merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap orang,
kemampuan adaptasi dapat dibagi dalam tiga bentuk berdasarkan
klasifikasi yaitu DSM-IV-TR, AAIDD, dan IDEA.
Klasifikasi DSM-IV-TR
 Communication
 Self-care
 Home living
 Social and interpersonal skills
 Use of community resources
 Self-direction
 Functional academics
 Work
 Leisure

36
 Health and safety

Untuk diagnosis intellectual disability dapat ditegakkan ketika


masa perkembangam sebelum usia 18 tahun, namun kemampuan
kognitif dan adaptasi mungkin masih belum bermanifestasi sebelum
usia 18 tahun.

B. Etiologi 1
Terdapat 2 populasi yang bersifat overlapping dalam kasus anak
dengan intellectual dissabilty, yaitu yang berhubungan dengan lingkungan,
dan yang berhubungan dengan sebab biologi. Intellectual disability banyak
ditemukan pada anak yang memiliki ibu tidak menamatkan sekolah
menengah atas/sederajat, namun ini dapat memberikan kesan bahwa
penyebabnya adalah genetik yang diturunkan oleh orang tua dan
lingkungan social ekonomi yaitu kemiskinan dan kekurangan nutrisi.
Untuk penyebab biologi dapat disebabkan oleh kelainan kromosom seperti
multiple, Williams syndrome, sex kromosom, dan juga dapat disebabkan
oleh faktor yang terjadi selama masa kehamilan atau embryogenesis.

C. Epidemiologi 1
Statistika amerika menyebutkan bahwa 2.5% populasi memiliki
intellectual disability dan hanya 1.1% dari anak usia sekolah atau sekitar
556.000 yang menerima pelayanan khusus dukungan sekolah karena
sulitnya mendiagnosis intellectual disability.

D. Manifestasi Klinis 1
Umur Klinis
Newborn Kelainan kongenital, disfungsi organ
2-4 bulan Gagal berinteraksi dengan
lingkungan, tidak focus mendengar

37
atau melihat
6-18 bulan Gross motor delay
2-3 tahun Keterlambatan berbicara
3-5 tahun Kesulitan berbicara, dan
keterlambatan penyesuaian
lingkungan termasuk dalam
bermain, terlambat dalam fine motor
skills
>5 tahun Prestasi akademik, gangguan prilaku
(konsentrasi, kecemasan, mood)

E. Skrining Diagnosis 1
Skrining diagnosis intellectual disability dapat menggunakan
Vineland Adaptive Behaviour Scale (VABS) yang merupakan semistruktur
wawancara dengan orang tua, pengasuh, dan guru yang menilai dalam 4
domain yaitu komunikasi, kemampuan keseharian, sosialisasi dan
kemampuan motorik.

F. Tatalaksana 18,19
 Manajemen Interdisiplin
Manajemen interdisiplin yang melibatkan banyak pihak mulai dari
dokter,nutrisionist, perawat, audiology,neurology dan lainnya dapat
memberikan masukan untuk penatalaksanaan lanjutan terbaik bagi
pasien
 Re-evaluasi
Evaluasi secara periodik diperlukan pada pasien intellectual disability
untuk melihat perkembangan yang telah dicapai baik dalam
lingkungan keluarga,sekolah dan bermain agar dapat memberikan
informasi tambahan yang diperlukan untuk pemberian terapi
selanjutnya
 Edukasi dan konseling keluarga
 Hiburan Rekreasi

38
2.3.6 Language Development and Communication Disorders
A. Epidemiologi 1
Gangguan bicara dan bahasa sangat umum terjadi pada usia
prasekolah. Hampir 20% dari anak usia 2 tahun mengalami keterlambatan
bicara. Pada usia 5 tahun, sekitar 6% anak-anak diidentifikasi memiliki
gangguan bicara, 5% memiliki gangguan bicara dan bahasa, dan 8%
memiliki gangguan bahasa. Anak laki-laki hampir dua kali lebih mungkin
memiliki gangguan bahasa atau bahasa yang dikenali sebagai anak
perempuan.
B. Etiologi1
Kemampuan bahasa normal adalah fungsi kompleks yang tersebar
luas melintasi otak melalui jaringan syaraf yang saling berhubungan dan
tersinkronisasi untuk aktivitas tertentu. Faktor genetik nampak memainkan
peran penting dalam mempengaruhi bagaimana anak-anak belajar
berbicara. Penelusuran yang hati-hati terhadap riwayat keluarga dapat
mengidentifikasi masalah bahasa atau bicara yang dialami anak saat ini
atau pada masa yang lalu.
Anak-anak yang memiliki orang tua dengan kesulitan bahasa
mungkin diperkirakan mengalami rangsangan bahasa yang buruk dan
mendapatkan model bahasa yang tidak tepat namun, studi pada pasien
kembar menunjukkan konkordansi tingkat untuk skor tes bahasa rendah
dan / atau riwayat terapi wicara sekitar 50% pada pasangan dizigotik,
meningkat menjadi lebih dari 90% pada pasangan monozigot. Anak yang
mengalami gangguan bahasa biasanya memiliki spektrum gangguan
bahasa ekspresif dan reseptif serta masalah dalam memahami tatabahasa.
C. Patogenesis 1
Gangguan bahasa dikaitkan dengan defisit fundamental kapasitas
otak untuk memproses informasi yang kompleks dengan cepat. Biasanya
gangguan terjadi serentak antara evaluasi kata (semantik), kalimat
(sintaks), prosodi (nada suara), dan isyarat sosial yang akhirnya

39
menghambat kemampuan anak untuk memahami dan merespon dengan
tepat komunikasi verbal. Keterbatasan jumlah informasi yang bisa
disimpan dalam memori kerja verbal yang selanjutnya membatasi tingkat
informasi bahasa yang mampu diproses.
Studi elektrofisiologi menunjukkan latensi abnormal pada fase
awal proses pendengaran pada anak-anak dengan gangguan bahasa.
Neuroimaging mengidentifikasi berbagai kelainan anatomi di daerah otak
yang penting untuk pengolahan bahasa. MRI pada anak-anak dengan
gangguan bahasa tertentu (SLI) mengungkapkan adanya lesi pada white
matter , kehilangan volume white matter, pembesaran ventrikel, grey
matter fokal heterotopia di bagian kanan dan kiri parietotemporal putih
materi, morfologi abnormal gyrus frontal inferior, pola asimetri atipikal
pada korteks bahasa, atau peningkatan ketebalan korpus callosum pada
minoritas anak-anak yang terkena dampak.
D. Manifestasi Klinis 1
Gangguan primer perkembangan wicara dan bahasa sering terjadi
tanpa adanya disfungsi kognitif atau motorik yang lebih umum. Gangguan
komunikasi adalah komorbid yang paling umum pada orang dengan
gangguan kognitif umum (gangguan intelektual atau autisme), anomali
struktural organ-organ bicara (Insufisiensi velofaringeal dari celah langit-
langit), dan kondisi neuromotor yang mempengaruhi koordinasi motorik
lisan (dysarthria atau gangguan neuromuskular lainnya).

E. Klasifikasi 2
Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental Psikiatrik Amerika
Serikat, Edisi Kelima (DSM-5) mengatur gangguan komunikasi menjadi :
1) gangguan bahasa (yang menggabungkan ekspresif dan campuran g
angguan bahasa reseptif-ekspresif), gangguan suara ucapan
(fonologis), dan gangguan kelancaran berbahasa (gagap)

40
2) gangguan komunikasi sosial (pragmatik), yang bersifat persisten
kesulitan dalam penggunaan sosial komunikasi verbal dan nonverbal

Dalam praktik klinis, gangguan bicara dan bahasa pada masa anak-anak
dikategorikan menjadi : 1,2
1) Spesific Language Impairment (Kerusakan Bahasa Tertentu)
Disebut sebagai dysphasia perkembangan atau gangguan
perkembangan bahasa . SLI ditandai dengan perbedaan yang
signifikan antara tingkat kognitif anak secara keseluruhan (biasanya
kecerdasan nonverbal) dan tingkat bahasa fungsional. Anak-anak ini
biasanya mengalami defisit dalam pengertian dan penggunaan kata
baik secara semantik maupun struktur bahasa. Seringkali, anak-anak
dengan SLI mengalami keterlambatan mulai pandai bicara. Dan yang
paling penting, mereka biasanya mengalami kesulitan memahami
bahasa lisan.
Banyak anak dengan SLI pada gangguan bahasa menunjukkan pola
perkembangan bahasa yang holistik, mereka biasanya mengulangi
hafalan kalimat atau dialog dari film atau cerita (echolalia). Berbeda
dengan kesulitan bicara mereka, anak-anak dengan SLI tampak belajar
secara visual dan menunjukkan kemampuan mereka pada kecerdasan
non verbal. Setelah anak-anak dengan SLI menjadi pembicara yang
fasih, umumnya mereka kurang mahir menghasilkan narasi lisan
dibandingkan dengan teman sebayanya. Cerita mereka cenderung
lebih pendek dan mencakup proposisi lebih sedikit, terutama ide
cerita, atau elemen tatabahasa dalam cerita yang mereka buat.
Meski mereka mengalami kesulitan berinteraksi dengan rekan
sebayanyakarena terjadi gangguan komunikasi, namun biasanya
mereka da[pat bermain dengan baik dengan teman sebayanya. Mereka
terlibat dalam permainan berpura-pura, menunjukkan imajinasi,
berbagi emosi (afektif), dan menunjukkan perilaku referensi bersama
yang sesuai untuk usia mereka

41
a. Gangguan Bahasa Tingkat Tinggi
Seiring anak dewasa, kemampuan berkomunikasi secara
efektif dengan orang lain tergantung pada penguasaan berbagai
keterampilan yang menjembataninya untuk memahami kata-kata
dan aturan tata bahasa tertentu. Kemampuan bahasa tingkat tinggi,
termasuk pengembangan kosakata lanjutan, pengertian hubungan
kata, keterampilan penalaran, kemampuan untuk memahami
berbagai hal melalui perspektif orang lain, dan kemampuan untuk
memparafrase dan kemampuan mengulang kata-kata. Selain itu,
kemampuan bahasa tingkat tinggi termasuk pragmatis.
Keterampilan ini yang menjadi dasar interaksi sosial.
Keterampilan meliputi pengetahuan dan pemahaman
tentang percakapan seseorang, pengetahuan tentang konteks sosial
di mana percakapan itu berlangsung, dan pengetahuan umum
tentang dunia sosial dan linguistik Orang yang mengalami
gangguan dalam hal ini biasanya mengalami kesulitan membentuk
dan mempertahankan hubungan. Di sekolah, anak-anak dengan
SPCD dapat dikecualikan secara sosial dan / atau diintimidasi
b. Kecacatan Intelektual
Sebagian besar anak dengan tingkat kecacatan intelektual
ringan belajar berbicara lebih lambat dari normal. Mereka
mengikuti urutan bahasa yang normal dengan lambat namun akan
kesulitan dengan konsep bahasa tingkat tinggi. Orang dengan
tingkat kecacatan intelektual sedang sampai parah dapat
mengalami kesulitan dalam memperoleh keterampilan komunikasi
dasar. Sekitar setengah dari orang dengan IQ <50 mampu
berkomunikasi menggunakan kata tunggal atau ungkapan
sederhana dan sisanya biasanya menggunakan bahasa nonverbal.
c. Gangguan Perkembangan Autisme dan Pervasif
Pola pengembangan bahasa yang tidak teratur adalah salah
satu bentuk utama dari Autisme dan gangguan perkembangan
pervasif lainnya. Profil bahasa anak autis sering tidak dapat

42
dibedakan dengan anak yang mengalami SLI. Namun poin kunci
dari perbedaan antara kondisi ini adalah kurangnya hubungan
sosial timbal balik yang mencirikan anak autis, dan terdapatnya
keterbatasan dalam kemampuan untuk mengembangkan permainan
fungsional, simbolis, atau berpura-pura, dan adanya gangguan
obsesif terhadapa suatu hal yang sama serta penolakan terhadap
perubahan. Sekitar 75-80% anak autis juga cacat intelektual, dan
hal ini dapat membatasi kemampuan mereka untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi fungsional
Kemampuan bahasa pada anak autis bisa berkisar dari
tidak punya sama sekali hingga kemampuan yang utuh dalam
memahami struktur bahasa, tapi tetap terbatas dalam
memfungsikan bahasa secara sosial. Orang autis memiliki
keahlian yang sangat khusus, namun tersembunyi. Kecerdasan
tersebut bisa berupa perhitungan kalender dan hyperlexia . Regresi
dalam bahasa dan keterampilan sosial terjadi pada sekitar
sepertiga anak autis, biasanya sebelum usia 2 thn. Tidak ada
penjelasan untuk fenomena ini.
d. Asperger Syndrome
Meski memiliki banyak karakteristik yang sama dengan
autisme, individu dengan Asperger Sindrom biasanya menunjukkan
perkembangan bahasa yang normal pada awal kehidupannya.
Namun saat mereka dewasa, gangguan dalam ketertiban sosial dan
bahasanya biasanya menjadi ciri menonjol dari gangguan ini.
Anak-anak dengan sindrom Asperger biasanya memiliki rentang
minat yang sangat terbatas namun sangat digandrungi, sehingga
mengganggu pembelajaran keterampilan lain dan kemampuan
adaptasi sosial mereka. Anak-anak ini mungkin sering tampak
bertele-tele, suka berbicara panjang tentang topik yang mereka
minati dengan sedikit sekali perhatian terhadap reaksi orang lain.
Intonasi bicara mereka bisa tidak sesuai dengan isi pembicaraanya,

43
dan seringkali volume yang digunakan saat bicara tidak sesuai
dengan keadaan.

2) Mutisme Selektif
Mutisme selektif didefinisikan sebagai kegagalan untuk berbicara
dalam situasi sosial tertentu. Biasanya gangguan bicara merupakan
gejala dari gangguan kecemasan yang mendasarinya. Anak-anak
dengan mutasi selektif bisa berbicara dengan normal di keadaan
tertentu, seperti di dalam rumah mereka atau saar mereka hanya
dengan orang tua mereka, namun mereka gagal berbicara di keadaan
lain seperti di sekolah atau di tempat lain di luar rumah mereka.
Gejala yang terkait dengan mutisme selektif biasanya dapat berupa
rasa malu, penarikan diri, ketergantungan pada orang tua, dan perilaku
oposisi. Sebagian besar kasus mutisme selektif bukan hasil dari
trauma terhadap suatu peristiwa, melainkan merupakan manifestasi
dari kegelisahan yang kronis . Seringkali, satu atau kedua orang tua
dari seorang anak dengan mutisme memiliki riwayat gejala
kecemasan, diantaranya rasa malu masa kecil, kecemasan sosial, atau
serangan panik. Ini menunjukkan ecemasan anak merupakan sifat
keluarga, namun ada juga yang bersifat idiopatik. Pengobatan
mutisme selektif harus fokus pada mengurangi kecemasan umum
daripada berfokus hanya pada perilaku bisu. Mutisme selektif
mencerminkan kesulitan interaksi sosial bukan gangguan pengolahan
bahasa.

3) Gangguan Motoric Bicara


a. Dysarthria
Gangguan motorik bicara dapat disebabkan oleh serebral
palsy, muscular dystrophy, myopathy, facial palsy. Menyebabkan
gangguan pada kemampuan berbicara dan yang lainnya seperti
tersenyum dan mengunyah. Kekurangan tenaga dan kontrol otot
menghasilkan sifat kata seperti menyatunya huruf vokal.
Kemampuan berbicara sering menjadi lebih lambat dan sulit.

44
fungsi velofaringeal yang kurang dapat menyebabkan resonansi
campuran nasal (hyper atau hyponasal).
b. Gangguan apraxia pada anak
Kesulitan dalam perencanaan dan pergerakan dalam
berbicara dapat menyebabkan gangguan inkonsistensi dalam
berbicara. Ketika disuruh untuk mengulang atau menirukan
pembicaraan atau suara anak yang memiliki gangguan apraxia akan
kesulitan menirukannya.
4) Gangguan Fonologi
Anak yang memiliki gangguan fonologi dapat dilihat
dengan adanya kesalahan dalam artikulasi yang bukan disebabkan
oleh kelainan pada neuromotorik namun karena ketidakmampuan
untuk memahami dan mencocokkan suara yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kata. Berbeda dengan gangguan apraxia, gangguan
fonologi menghasilkan kata yang lancar walaupun tidak dapat
dipahami maknanya dikarenakan banyaknya kesalahan dalam
artikulasi. Anak yang memiliki gangguan fonologi risiko
merupakan faktor risiko tinggi dalam gangguan belajar dan
membaca.
5) Gangguan Pendengaran
Ketidakmampuan dalam mendengar merupakan salah satu
faktor mayor dalam gangguan perkembangan bicara. 16-30 / 1000
anak yang memiliki gangguan pendengaran yang sedang sampai
berat merupakan faktor yang cukup berpengaruh dalam proses
pendidikan. Tipe gangguan pendengaran yang paling sering terjadi
adalah tipe konduksi atau defisit sensorineural. Walaupun hampir
tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis jenis gangguan
pendengaran pada anak, namun derajat gangguan pendengaran,
umur onset, dan lamanya gangguan sangat berpengaruh dalam
kemampuan akademik anak.

45
F. Evaluasi Diagnosis
Evaluasi untuk dilakukannya pemeriksaan bicara jika 1,7
Umur Reseptif Ekspresif

15 bulan Tidak mampu focus Tidak bisa lebih dari 3


pada 5-10 objek kata

18 bulan Tidak mampu Belum bisa


mengikuti perintah menggunakan kata
sederhana panggilan (mama, papa)

24 bulan Tidak mampu Tidak bisa menggunakan


menunjuk bagian lebih dari 25 huruf
tubuh atau gambar
yang diberi nama

30 bulan Tidak memberi Tidak mampu


respon anggukan menggunakan 2 frase,
atau menggeleng termasuk menggunakan
terhadap pertanyaan kombinasi kata kerja dan
benda

36 bulan Tidak mampu Kosakata kurang dari 200


menuruti perintah 2
langkah

G. Penatalaksanaan
Pemberian terapi dalam tatalaksana gangguan bicara pada anak dapat
meliputi berbagai disiplin ilmu yang terkait dan dapat dibagi menjadi:
 Lexicon: memperbanyak kosakata
 Semantics: meningkatkan pemahaman kata
 Pragmatics: meningkatkan pengetahuan dalam meluaskan pemahaman
kata kebentuk kalimat dan menggunakannya dalam interaksi social
Terapi yang dijalani dapat dalam bentuk personal, kelompok kecil,
bahkan interaksi kelas yang membantu dalam bentuk membuat situasi

46
lebih natural agar kelompok belajar mampu mengembangkan diri
masing-masing.

H. Prognosis 4,6
Anak dengan gangguan keterlambatan berbicara memiliki prognosis
yang lebih baik untuk pembelajaran, kemampuan berbahasa, dan interaksi
sosial terutama yang telah mendapat terapi dan tidak memiliki faktor
komorbid seperti intelegensi nonverbal yang rendah, gangguan psikiatri,
dan gangguan neurologis.

47
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan Belajar adalah defisit anak dan remaja di dalam mencapai


keterampilan membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran,
memberikan alasan, matematika, dan konsentrasi dari yang diharapkan,
dibandingkan dengan anak lain berusia sama dan dengan kapasitas intelektual
yang sama. Gangguan Belajar disebabkan oleh berbagai faktor, yakni faktor
internal dan faktor eksternal. Jenis-jenis gangguan belajar antara lain gangguan
membaca (dyslexia), gangguan matematika (dyscalculia), gangguan ekspresi
tertulis (dysgraphia), dan gangguan konsentrasi / Attention Deficit Hyperactive
Disorder (ADHD), intellectual dissability, dan gangguan bicara dan berbahasa.
Prognosis gangguan belajar tergantung pada keparahan gangguan, usia atau kelas
ketika intervensi remedial dimulai, lama dan keberlanjutan terapi, dan ada atau
tidak adanya masalah perilaku atau emosional sekunder atau terkait. Jika
gangguan belajar terdiagnosis lebih awal, maka terapi dapat diberikan lebih awal
sehingga prognosis semakin baik.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Desmond p, Sally e, Mindo J. Learning Disorders. dalam (Kliegman,


Stanton). Nelson Textbook of Pediatrics 20th edition. Philadelphia:library of
congress cataloging-in publication data;2016
2. Dhamayanti M, Herlina M. Skrining Gangguan Kognitif dan Bahasa dengan
Menggunakan Capute Scales (Cognitive Adaptive Test/Clinical Linguistic &
Auditory milestone Scale-cat/Clams). Bandung: Sari pediatri Ikatan Dokter
Anak Indonesia;2009
3. Lenge M, Thompson B. Early Identification and Interventions for Children at
Risk for Learning Disabilities. Pennsylvania: International journal of Special
Education;2006; Vol 21 no.3
4. Sadock, B.J. & Sadock, V.A. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Terjemahan
Oleh: Profitasari & Nisa, M.T. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
Indonesia;2004
5. Liederman J, Kantrowitz L, & Flannery K. Male vulnerability to reading
disability is not likely to be a myth: A call for new data. J Learn Disabil;
2005; 38: 109–129.
6. Mercer, Cecil D. & Paige C. Pullen. Students with Learning Disabilities.
Virginia: Merrill/Prentice Hall; 2005
7. Kerig, P. K, & Wenar, C. Developmental Psychopathology: From infancy
through adolescence 5th ed. New York: Mc Graw Hill; 2006
8. Subini, Nini. Mengatasi Kesulitan Belajar Pada Anak. Yogyakarta:
Javalitera.; 2011
9. Endyarni B, Fadlyana E, Gunardi H, Rusmil K, Dhamayanti M, Narendra
MB, dkk. Gangguan Belajar pada Anak. Dalam (Pudjiadi AH, Hegar B,
Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, dkk ed). Pedoman
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ed 2. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011
10. Mahrezi A, Futaisi A, Marri W. Learning Disabilites Opportunities and
chalanges in Oman. Oman: Sultan Qaboos Med J; 2016; Vol.16 p.129-131

49
11. M Rogaeih, B Fetemeh. Occupational therapy interventions effect on
mathematical problems in students with special learning disorders
(dyscalculia). Iran: Iranian rehabilitation Journal; 2009,Vol.7 No.10
12. K Liane, M Aster. The Diagnosis and Management of Dyscalculia. Germany.
Deutches Ärzteblatt International. Vol 45. No. 767-778
13. Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. Psikologi abnormal
jilid dua edisi kelima. Jakarta : Erlangga; 2002
14. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri klinis Edisi 2. Jakarta: EGC; 2010
15. Utama H. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta. Badan Penerbit FKUI: 2010
16. Kaplan Hi, Sadock BJ and Grebb JA. Sinopsis psikiatri. Jilid 2. Binarupa
Aksara: Jakarta; 2010
17. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ – III.
Jakarta: FK Unika Atma Jaya; 2001
18. Liederman J, Kantrowitz L, & Flannery K. Male vulnerability to reading
disability is not likely to be a myth: A call for new data. J Learn Disabil.;
2005.38: 109-129.
19. Mercer, Cecil D. & Paige C. Pullen. Students with Learning Disabilities.
Virginia: Merrill/Prentice Hall; 2005

50

Anda mungkin juga menyukai