Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A216111/ Maret 2018

** Pembimbing/ dr. Rini Kartika, M.Kes

ALERGI MAKANAN

Priskila Anestasia S* dr. Rini Kartika, M.Kes**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PUSKESMAS TAHTUL YAMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2018
BAB I
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : An. MA / Laki-laki / 8 tahun 3 bulan
b. Pekerjaan/Pendidikan : -
c. Alamat : RT.03 Tahtul Yaman

II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga


a. Status Perkawinan :-
b. Jumlah anak/saudara : Anak pertama dari 2 bersaudara
c. Status ekonomi keluarga : cukup ( > 1.500.000/bulan)
d. Kondisi Rumah : Rumah semi permanen beratap seng
dengan dinding kayu serta lantai kayu. Terdiri dari satu ruang tamu,
ruang keluarga, dua buah kamar tidur, satu ruang makan dengan dapur,
dan satu kamar mandi. Pencahayaan dan pertukaran udara di dalam
rumah ini tergolong cukup. Sumber air keluarga adalah air sumur dan
sudah ada sumber listrik.
e. Kondisi Lingkungan Keluarga dan Kebiasaan: Pasien merupakan anak
pertama dari dua bersaudara, tinggal bersama ayah dan ibunya.
Sumber penghasilan keluarga berasal dari penghasilan ayah yang
bekerja swasta.

III. Aspek Psikologis di Keluarga :


- Pasien merupakan anak pertama
- Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya
- Hubungan dengan anggota keluarga baik

IV. Keluhan Utama :


Bintik-bintik kemerahan seluruh badan sejak 1 hari yang lalu

1
V. Riwayat Penyakit Sekarang : (autoanamnesis dan alloanamnesis)
Pasien dibawa oleh orangtua pasien ke Puskesmas Tahtul Yaman
dengan keluhan bintik-bintik kemerahan seluruh tubuh sejak satu hari yang
lalu, bintik-bintik kemerahan disertai rasa gatal, sehingga pasien menggaruk
bintik kemerahan tersebut. Awalnya bintik-bintik kemerahan timbul
dibagian leher kemudian meluas hingga ke lengan dan badan.
Diketahui sebelumnya pasien memakan kerupuk udang, beberapa
jam setelah memakan kerupuk udang pasien mengeluh timbul bintik
kemerahan di lehernya yang terasa gatal. Ibu pasien kemudian mengolesi
bintik-bintik kemerahan tersebut dengan bedak caladine. Karena belum
membaik, keesokan harinya pasien dibawa oleh ibunya ke Puskesmas
Tahtul Yaman.
Ibu pasien menyangkal riwayat minum obat (-), riwayat terkena
serbuk tanaman maupun bahan kimia disangkal, riwayat demam (-).

VI. Riwayat Penyakit Dahulu/keluarga :


- Pasien pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya, kurang lebih 5
tahun yang lalu.
- Riwayat alergi obat (-)
- Riwayat asma (-)
- Riwayat rhinitis alergi (+) ayah pasien
- Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (+) ibu pasien sejak kecil
juga pernah mengalami keluhan yang serupa saat makan udang

VII. Pemeriksaan Fisik :


Keadaan Umum
1. Keadaan umum : tampak sakit ringan
2. Kesadaran : compos mentis
3. Suhu : 37,0°C
4. BB : 20kg
5. TB : 121cm

2
6. Kesan Gizi : Gizi Baik
7. Nadi : 86 x/menit
8. Pernafasan
- Frekuensi : 24 x/menit
- Irama : reguler
- Tipe : abdominothorakal

9. Kulit
- Turgor : baik
- Lembab / kering : lembab
- Lapisan lemak : cukup

Pemeriksaan Organ
1. Kepala Bentuk : normocephal
Simetri : simetris
2. Mata Exopthalmus/enophtal : (-)
Kelopak : normal
Conjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterik (-)
Kornea : normal
Pupil : bulat, isokor, reflex cahaya
+
/+
Lensa : normal, jernih
Gerakan bola mata : baik
3. Hidung : tak ada kelainan
4. Telinga : tak ada kelaan
5. Mulut Bibir : lembab, bengkak (-)
Bau pernafasan : normal
Gigi geligi : lengkap
Palatum : deviasi (-)
Gusi : warna merah muda,

3
perdarahan (-)
Selaput Lendir : normal
Lidah : putih kotor (-), ulkus (-)
6. Leher KGB : tak ada pembengkakan
Kel.tiroid : tak ada pembesaran
JVP : normal
7. Thorax Bentuk : simetris
Pergerakan dinding dada : tidak ada yang
tertinggal.
Pulmo

Pemeriksaan Kanan Kiri


Inspeksi simetris simetris
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler (+) Normal, Vesikuler (+) normal.
Wheezing (-), rhonki Wheezing (-), rhonki
(-) (-)

Jantung

Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi Ictus cordis teraba di ICS IV 1 jari medial linea


midclavicula sinistra, tidak kuat angkat

Perkusi Batas-batas jantung :


Atas : ICS II kiri
Kanan : linea sternalis dextra
Kiri : ICS IV 1 jari medial linea midclavicula
sinistra
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

8. Abdomen

Inspeksi Datar, sikatrik (-), venektasi (-), spider naevi (-)

4
Palpasi Nyeri tekan regio epigastrium (-), defans musculer
(-), hepatomegali (-), splenomegali (-), ginjal tidak
teraba, nyeri ketok costovertebra (-/-)

Perkusi Timpani

Auskultasi Bising usus (+) normal

9. Ekstremitas Atas
Edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik,
10. Ekstremitas bawah
Edema (-), akral hangat., CRT < 2 detik,

Status Dermatologi :
Lokasi : leher, lengan atas dan bawah, punggung
Effloresensi : papul eritematosa miliar, berbatas tegas, distribusi
regional, daerah sekitar tidak ada kelainan.

VIII. Diagnosis :
- Dermatitis alergi ec makanan (T62.2)

IX. Diagnosis Banding


- Miliaria
- Dermatitis atopic

X. Pemeriksaan Anjuran
- Darah rutin
- Pemeriksaan kadar IgE serum
- Uji tusuk kulit (Skin Prick Test)
XI. Manajemen
a. Promotif :

5
- Menjelaskan pada ibu pasien mengenai penyakit alergi makanan yang
pasien, faktor risiko yang terdapat pada pasien, bagaimana mencegah
penyakit timbul kembali
- Menjelaskan bagaimana cara meningkatkan kesehatan lingkungan di
antaranya dengan menambah pencahayaan di dalam rumah, mungkin
dengan menambah jendela sehingga pertukaran udara juga menjadi
lebih baik, membersihkan ventilasi yang tertutup debu, mencuci sprei,
boneka dan sarung bantal dua minggu sekali, tidak menggantung
pakaian terlalu banyak, menguras bak mandi 2-3 minggu sekali, serta
meningkatkan kebersihan diri dengan mencuci tangan sebelum dan
sesudah makan, mencuci tangan setelah bermain di luar, memastikan
alat-alat makan sudah dicuci dengan bersih sebelum digunakan,
memotong kuku anak 1-2 minggu sekali.
- Menggunakan sabun mandi yang tidak iritatif (sabun bayi).
b. Preventif :
- Menghindari hal yang diduga sebagai faktor pencetus: udang dan
berbagai olahannya
- Jangan menggaruk-garuk lesi karena dapat menimbulkan luka dan
infeksi sekunder.
c. Kuratif :
Non Medikamentosa
 Hindari hal-hal yang diduga sebagai faktor pencetus: udang dan
berbagai olahannya
 Untuk mengurangi rasa gatal dapat diolesi dengan bedak menthol
misalnya caladine.
Medikamentosa
 Chlorpheniramine maleat 4 mg 3 x 1 tab
 Dexamethasone 0,5 mg tab 2 x 1 tab
 Salycyl talk 2%
RESEP

6
Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Tahtul Yaman
Jl. H. Tomok, Tahtul Yaman, Pelayangan, Kota
Jambi, Jambi 36265
Dr. Priskila Anestasia
SIP. G1A216111
STR. 1116121

Tanggal:

Pro :
Umur :
Alamat :

d. Tradisional
- Resep : Siapkan minyak kayu putih dan minyak zaitun, campurkan
kedua minyak tersebut kemudian tambahkan satu sendok makan
menthol Kristal kemudian dapat langsung diolesi di lokasi yang
terkena.
e. Rehabilitatif
- Ibu dan ayah pasien disarankan untuk lebih memperhatikan dan
mengawasi makanan dan minuman yang dikonsumsi pasien (jauhi hal
yang bisa sebagai faktor pencetus).
- Segera bawa pasien ke pelayanan kesehatan terdekat bila keluhan
muncul kembali.

XII. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanactionam : Bonam
BAB II

7
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Alergi Makanan

The American of Allergy and Immunology and the National Institute of


Allergy and Infectious Diseases(National Institutes of Health=NIH) menetapkan
beberapa istilah. Reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan, disebut juga
reaksi simpang makanan (adverse food reaction) adalah istilah umum yang
dipakai untuk menyatakan reaksi yang timbul setelah memakan sesuatu makanan.
Reaksi alergi makanan adalah reaksi simpang makanan akibat respons imunologik
yang abnormal, sedangkan intoleransi makanan akibat mekanisme non
imunologis.1

2.2 Alergen Makanan

Makanan antara lain terdiri dari lemak, karbohidrat dan protein. Bahan
makanan yang sering bersifat alergen adalah glikoprotein yang larut dalam air
dengan berat molekul antara 10.000 - 60.000 Dalton. Umumnya alergen ini stabil
pada pemanasan, tahan terhadap asam dan enzim protease. Jadi hanya sebagian
kecil saja makanan yang dilaporkan bersifat alergen yang dapat memberikan
reaksi alergi makanan; misalnya susu sapi, telur, kacang, ikan, kacang kedele, dan
gandum (Tabel 1). Susu sapi terdiri dari kurang lebih 25 macam protein yang
memproduksi antibodi spesifik pada manusia. Antigen yang tersering pada susu
sapi adalah casein dan whey. Whey terdiri dari blaktoglobulin, a-laktalbumin,
bovin serum albumin dan bovin gamaglobulin. Alergen dalam jumlah sedikitpun
dapat mensensitisasi dan menimbulkan gejala pada individu atopik. Beberapa
mikrogram alergen inhalan dapat merangsang pembentukan IgE. Dalam hal
makanan, tidak dapat diduga berapa banyak protein yang diserap dan berapa lama
kontak dengan sistem imun serta berapa cepat alergen yang dimakan, dipecah
untuk dapat diserap. Diperkirakan 1 mikrogram blaktoglobulin sudah dapat
mensensitisasi. Sensitisasi makanan dapat juga melalui air susu ibu. Bahan
penyedap dan zat warna juga dapat sebagai alergen misalnya aspartane (pemanis),
zat warna kuning, merah, hijau, nitrit, monosodium glutamat, dan antioksidan.2

8
2.3 Patofisiologi Alergi Makanan
2.3.1 Peran IgE
Kegagalan tubuh untuk dapat mentoleransi suatu makanan akan
merangsang imunoglobulin E (IgE), yang mempunyai reseptor pada sel mast,
basofil dan juga pada sel makrofag, monosit, limfosit, eosinofil dan trombosit
dengan afinitas yang rendah. Ikatan IgE dan alergen makanan akan melepaskan
mediator histamin, prostaglandin dan leukotrien dan akan menimbulkan
vasodilatasi, kontraksi otot polos dan sekresi mukus yang akan menimbulkan
gejala reaksi hipersensitivitas tipe I. Sel mast yang aktif akan melepaskan juga
sitokin yang berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I yang lambat. Bila alergen
dikonsumsi berulang kali, sel mononuklear akan dirangsang untuk memproduksi
histamin releasing factor (HRF) yang sering terjadi pada seorang yang menderita
dermatitis atopi.2,3

2.3.2 Peran Non IgE

9
Banyak dilaporkan bahwa mekanisme imun yang lain. (selain reaksi
hipersensitivitas tipe I) dapat sebagai penyebab alergi makanan, namun bukti
secara ilmiah sangat terbatas. Dilaporkan bahwa penelitian membuktikan reaksi
hipersensitivitas tipe III berperan, tapi sedikit bukti yang menyokong penyakit
kompleks imun antigen makanan. Reaksi hipersensitivitas tipe IV timbul beberapa
jam kemudian, tetapi bukti yang pasti juga belum cukup.2,3

2.4 Manifestasi Klinis Alergi Makanan


Manifestasi alergi makanan tipe IgE dapat bermacam- macam, tergantung
dari tempat dan luas degranulasi sel mast, mulai dari urtikaria akut sampai reaksi
anafilaksis yang fatal. Organ target yang sering terkena adalah kulit, saluran
cerna, saluran napas atas, bawah dan sistemik.2
a. Kulit
Urtikaria akut dan angioedema akibat kontak dan memakan sesuatu
sering terjadi dan penyebabnya mudah diketahui, misalnya tangan
seseorang menjadi bengkak dan gatal setelah mengupas udang atau bibir
seorang anak bengkak setelah minum susu atau makan kacang. Sedangkan
urtikaria menahun atau berulang alergennya sukar diketahui dan jarang
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I saja, mungkin gabungan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe IV.6
Patogenesis dermatitis atopik (DA) pada anak masih belum
diketahui dengan pasti apakah disebabkan oleh alergi makanan. Masih
banyak kontroversi mengenai hal ini. Dengan sistem double blind placebo
controle food challenge (DBPCFC) pada beberapa penelitian didapat 1/3
dari pasien DA sedang dan berat disebabkan oleh IgE mediated makanan,
setelah diberikan diet eliminasi gejala DA membaik. Delapan puluh tujuh
persen alergi makanan pada anak disebabkan oleh alergen telur, susu sapi,
kacang, kacang kedele, dan gandum.

b. Saluran Cerna

10
Alergi makanan dapat menimbulkaan gejala sistemik saluran cerna
seperti nausea, muntah, diare, gembung, sering flatus, kolik dan konstipasi
menahun. Diperkirakan IgE memegang peranan pada penyakit
gastroenteritis eosinofilik. Pada pasien dengan gastroentiritis eosinofilik
terdapat gejala nausea, muntah, gagal tumbuh dan peningkatan eosinofil
darah tepi dan pada biopsi saluran cerna tampak tumpukan infiltrasi sel
eosinofil, dengan disertai intoleran berbagai makanan dan peningkatan
kadar IgE disertai rinitis dan asma alergik.5,6
c. Saluran Napas
Pasien asma yang disebabkan oleh alergi makanan umumnya
terdapat pada anak usia muda dan sebagian besar didahului oleh dermatitis
atopik. Gejala pada saluran napas berupa mengi, batuk dan sesak. Anak
dengan DA disertai alergi makanan cenderung akan berkembang menjadi
asma yang dicetuskan oleh makanan, dan sebagian besar akan menjadi
asma menahun yang sukar di obati.5,6
d. Rinitis Alergik
Rinitis terdapat pada 70% anak dengan alergi makanan yang
dibuktikan dengan DBPCFC, dan sebagian besar juga menderita penyakit
alergi lain, misalnya alergi pada kulit dan saluran cerna. Rinitis alergik
lebih sering terjadi pada bayi dan anak.2
e. Anafilaksis
Terjadi dalam beberapa menit sampai 2 jam setelah mengkonsumsi
makanan. Semua jenis makanan dapat menyebabkan reaksi anafilaksis,
tetapi alergen tersering adalah kacang, tree nuts, ikan dan kerang. Gejala
sistemik diikuti kelainan organ lain seperti kulit, saluran cerna dan saluran
napas. Kadang kadang dapat terjadi kelainan kardiovaskular seperti
hipotensi, aritmia dan renjatan. Pernah dilaporkan terjadi reaksi anafilaksis
setelah memakan sesuatu yang diikuti olah raga dalam waktu 2-4 jam,
sedangkan bila tidak diikuti olah raga, reaksi tidak terjadi. Spasme bronkus
akibat alergi makanan pernah dilaporkan pada anak dengan asma yang
berakibat fatal.2,6

11
2.6 Diagnosis Alergi Makanan
Diagnosis alergi makanan ditegakkan berdasarkan pada anamnesis
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang2
a. Anamnesis
Dalam anamnesis perlu ditanyakan mengenai:
- Mengenal makanan yang dicurigai
- Jarak antara gejala yang timbul dan memakan makanan yang dicurigai
- Mengenal gejala yang ditimbulkan
- Jumlah makanan yang menimbulkan gejala
- Apakah gejala selalu timbul bila memakan makanan yang dicurigai?
- Berapa jarak waktu antara gejala terakhir dengan gejala yang baru
timbul?
- Apakah ada faktor lain yang mempermudah timbulnya gejala misalnya
setelah latihan olahraga
b. Pemeriksaan fisik
Apakah terdapat tanda dari penyakit atopi seperti kulit kering, bersisik,
likenifikasi yang sering tampak pada pasien dermatitis atopik; allergic
shiners, Siemen grease, mukosa hidung bengkak dan pucat yang sering
tampak pada rinitis alergik; dan gejala mengi serta batuk berulang pada
pasien asma. Juga penting menilai status gizi anak apakah sudah terjadi
kurang gizi akibat diet yang diberikan.
c. Pemeriksaan penunjang
1. Catatan buku harian pasien, untuk mencatat semua jenis makanan dan
gejala yang timbul dalam jangka waktu tertentu
2. Uji kulit untuk menyaring apakah terdapat alergi makanan IgE
mediated.

Beberapa hal harus diperhatikan pada uji kulit:2,7

12
- Beberapa jenis makanan tidak dapat dilakukan uji kulit sebab tidak
stabil misalnya buah, jeruk, pisang, pear, melon, kentang dan wortel.
- Anak di bawah usia 1 tahun sering memberikan hasil uji kulit negatip
palsu, yang sebenarnya ia alergi makanan IgE mediated. Namun uji
kulit makanan masih tetap diperlukan terutama pada anak di bawah
umur 1 tahun. Bila hasil uji kulit positif, lebih mempunyai arti alergi
makanan, karena kadar IgE nya yang masih rendah.
- Anak di bawah usia 2 tahun mempunyai ukuran uji kulit lebih kecil.
- Hasil uji kulit terhadap makanan yang negatif berarti alergi makanan
IgE mediated dapat disingkirkan (prediksi negatif akurasinya >95%)
sedangkan bila uji kulit terhadap makanan positif kemungkinan
seorang memang alergi makanan IgE mediated hanya 50% (prediksi
positif akurasinya <50%).
- Bila uji kulit negatif tetapi pada anamnesis dugaan kuat terhadap alergi
suatu makanan pada sindrom oral alergi (oral allergy syndrome), dapat
dilakukan uji dengan menggunakan zat makanan tersangka dalam
bentuk segar, misalnya susu sapi langsung dari kartonnya, putih telur
langsung dari telur segar langsung pada bibir dan mulutnya.
- Uji kulit tidak dikerjakan pada pasien dengan reaksi anafilaksis.
- Uji kulit intradermal tidak dilakukan pada alergi makanan, disebabkan
bahaya terjadinya reaksi anafilaksis
3. Provokasi double blind placebo control food challenge (DBPCFC)
adalah pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi
makanan. Provokasi makanan dapat dilakukan secara terbuka, single-
blinded (pasien tidak mengetahui makanan yang diberikan), atau
double-blinded (pasien, dokter dan stafnya tidak mengetahui makanan
yang diberikan). Keuntungan pada double-blinded, dapat mengurangi
angka positif palsu. Lima puluh persen uji provokasi terbuka yang
memberikan hasil positif bila diulangi dengan cara DBPCFC akan
memberikan hasil negatif. Sebaliknya bila uji provokasi terbuka

13
negatif akan memastikan bahwa alergi terhadap makanan tersebut
dapat disingkirkan.7
Pada umumnya dikerjakan terlebih dahulu provokasi terbuka, bila
hasilnya positif baru dilanjutkan dengan DBPCFC. Bock dan Sampson
melaporkan bahwa pada uji DBPCFC terdapat 1,8% dan 4,6% hasil
negatif palsu disebabkan dosis yang kurang dan terdapat gejala kontak
dermatitis, sedangkan hasil positif palsu sangat kecil 0,5-0,9%.
Pemilihan untuk melakukan provokasi terbuka atau tertutup tergantung
dari beberapa faktor-klinis. Provokasi terbuka sebaiknya dilakukan
pada makanan yang kemungkinan sangat kecil akan memberikan hasil
positif misalnya uji kulit negatif dan pada anamnesis dugaan sangat
kecil serta pada pasien yang uji kulit positif terhadap beberapa jenis
makanan sedangkan anamnesis tidak menyokong.
Pada provokasi terbuka, setiap bentuk makanan dapat diberikan
asalkan dapat diukur jumlahnya. Dimulai dengan dosis sangat kecil
dan dinaikkan bertahap sampai jumlah dosis yang memberikan gejala
tercapai dalam waktu 1 jam. Pada anak kecil sebaiknya makanan
tersebut berupa jus buah dengan rasa yang disenanginya. Provokasi
secara DBPCFC sebaiknya dilakukan pada pasien yang sangat
mungkin alergi terhadap makanan tersebut seperti pada telur, susu dan
kacang ,dengan uji kulit positif dan disertai dermatitis atopik. Pada
provokasi DBPCFC makanan tersangka dibuat bubuk dan dimasukkan
ke dalam kapsul serta plasebo juga dimasukkan kedalam kapsul yang
serupa.

Persiapan untuk Provokasi Makanan


- Penghindaran makanan tersangka minimal 2 minggu atau lebih.
- Penghindaran antihistamin.
- Penghindaran bonkodilator, cropmolyn, nedocromil dan steroid
inhalasi 6-12 jam sebelum provokasi dilakukan.

14
- Tersedia obat untuk mengatasi reaksi anafilaksis yang mungkin
akan timbul.
- Pasien dipuasakan 2-3 jam sebelum provokasi dilakukan.
- Dosis pertama harus lebih kecil dari dosis yang menyebabkan
gejala alergi, maksimum 400mg.
- Dosis total 8-10gram dalam bentuk kering.
- Pasien harus diobservasi sampai 2 jam setelah diadakan
provokasi.
4. Uji invitro untuk IgE mediated adalah Radio Alergo Sorbent Test
(RAST), uji ini akan mendapatkan IgE spesifik makanan yang sangat
berkorelasi dengan uji kulit. CAP sistim FEIA (Pharmacia & Upjohn,
Uppsala Sweden) dapat menentukan secara kuantitatif kadar makanan
tersangka serta nilai positip dan negatipnya mempunyai nilai ketepatan
lebih besar. Kadar IgE spesifik makanan berkorelasi dengan gejala
klinis dan DBPCFC lebih dari 95% bila kadar telur 6 kUa/L, susu 32
kUa/L, kacang 15 kUa/L dan ikan 20 kUa/L.
5. Kadar histamin yang dilepaskan basofil dan sel mast dapat diukur
tetapi hasilnya tidak lebih sensitif daripada uji kulit.
6. Pemeriksaan kadar IgE spesifik tali pusat bayi baru lahir dapat
menentukan derajat atopi bayi, bila kadar IgE spesifik tali pusat bayi
terhadap susu sapi tinggi berarti telah terjadi sensitisasi intrauterin.

2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Terapi Non-farmakologik
Setelah diagnosis alergi makanan ditegakkan, maka eliminasi makanan
harus dilakukan dengan ketat. Pada penelitian terhadap 400 orang anak dengan
alergi makanan, 2/3 nya alergi terhadap 1 macam makanan saja dan hanya 9%
alergi terhadap lebih dari 5 macam makanan. Reaksi alergi makanan umumnya
sangat spesifik untuk 1 jenis makanan, sehingga tidak perlu menghindarkan
semua makanan yang termasuk golongan botanik yang sama. Penghindaran yang
ketat harus dilakukan juga oleh keluarga pasien dalam menghindarkan serta

15
membantu untuk mencarikan makanan pengganti sehingga terpenuhi makanan
yang rasanya enak dan disukai anak. Mengetahui dengan pasti makanan yang
akan diberikan untuk anak seperti membaca semua label makanan yang tercantum
pada botol atau kaleng apakah mengandung produk dari makanan yang harus
dihindarkan. Seperti produk dari susu sapi (casein, whey, lactoglobulin, dan lain-
lain). Pada Tabel 2,3,4, dan 5 dapat dilihat daftar makanan yang mengandung
susu sapi, kedele, telur dan kacang.2

Terapi alergi makanan adalah menghindari makanan penyebab atau diet


eliminasi, hanya dilakukan 10-14 hari. Diet eliminasi ini berdasarkan diet
eliminasi dasar dimana makanan yang dieliminasi berdasarkan riwayat atau hasil
pemeriksaan IgE positif atau skin prick test. Pada eliminasi diet yang berat,
dilakukan untuk waktu yang pendek (<1-2 minggu) dan hati-hati bila makanan
yang diduga tersebut tidak menghilangkan gejala, adanya sensitivitas makanan
multipel, makanan tersebut bukan menjadi penyebab timbulnya gejala.

2.7.2 Terapi Farmakologik


Reaksi alergi makanan yang ringan dapat diobati dengan antihistamin dan
pada reaksi sedang dapat ditambahkan kortikosteroid. Untuk reaksi berat, obat
pilihan adalah epinefrin/adrenalin, dosis 0,15-0,30 mg intramuskular pada lateral
paha.8
Pemakaian obat untuk profilaksis dipilih untuk alergi makanan yang sulit
dihindarkan seperti sodium kromoglikat dan ketotifen. Mekanisme sodium

16
kromoglikat adalah mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan sel lain seperti
eosinofil, netrofil dan trombosit. Dosis 40 mg/kgBB. Kerja ketotifen adalah
mencegah pelepasan mediator sel mast, mencegah degranulasi eosinofil.8

2.7.2.1 Antihistamin
Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamine terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamine. Terdapat
empat tipe reseptor histamin—H1, H2, H3 dan H4. Reseptor H1 dan H2
diekspresikan secara luas dan merupakan target bagi obat yang bermanfaat secara
klinis. Reseptor H3 dan H4 diekspresikan hanya dalam beberapa tipe sel, dan
perannya dalam kerja obat masih belum jelas.9

2.7.2.1.1 Antihistamin H1
Istilah antihistamin, tanpa perubahan sifat, merujuk pada penghambat
reseptor- H1 klasik. Senyawa ini tidak memengaruhi pembentukan atau pelepasan
histamin; senyawa ini menghambat respon jaringan target yang diperantarai
reseptor. Penghambat reseptor H1 dibagi menjadi obat generasi pertama dan
kedua. Obat generasi pertama, yang lebih lama, masih digunakan secara luas
karena obat ini efektif dan murah. Walaupun demikian, sebagian besar obat ini
menembus SSP dan menyebabkan sedasi. Lebih lanjut, obat-obat ini cenderung
berinteraksi dengan reseptor lainnya, menimbulkan berbagai efek samping yang
tidak diinginkan. Sebaliknya, agen generasi kedua bersifat spesifik untuk reseptor
H1 dan toksisitas agen ini terhadap SSP lebih lebih kecil daripada obat generasi
pertama karena agen ini tidak menembus sawar darah-otak. Antihistamin generasi
pertama yaitu Chlorpheniramine, Cyclizine, Dipenhydramine, Dimenhydrinate,
Doxepin, Doxylamine, Hydroxyzine, Meclizine dan Promethazine, sedangkan
antihistamin H1 generasi kedua yaitu Acrivastine, Cetirizine, Desloratadine,
Fexofenadine dan Loratadine.

2.7.2.1.2 Antihistamin H2
Penghambat reseptor Histamin-H2 mempunyai sedikit, jika ada, afinitas
untuk reseptor H1. Walaupun antagonis reseptor-histamin H2 (antagonis H2)

17
menghambat kerja histamin pada semua reeptor H2, kegunaan klinis utamanya
adalah sebagai penghambat sekresi asam lambung dalam pengobatan ulkus dan
nyeri ulu hati. Dengan menghambat secara kompetitif pengikatan histamin pada
reseptor H2, agen-agen ini menurunkan konsentrasi cAMP intraseluler dan, dengan
demikian sekresi asam lambung. Obat antihistamin yaitu cimetidine, ranitidine,
famotidine, dan nizatidine.

2.7.3 Kortikosteroid
Kelenjar adrenal terdiri dari korteks dan medula. Medula menyekresikan
epinefrin, sedangkan korteks menyintesis dan menyekresikan dua kelas utama
hormon steroid—adrenokortikosteroid (glukokortikoid dan mineralokortikoid)
dan androgen adrenal. Korteks adrenal dibagi menjadi tiga zona yang menyintesis
berbagai steroid dari kolesterol dan kemudian menyekresikan hormon tersebut.
Zona glomerulosa yang terletak pada zona luar menghasilkan mineralokortikoid
(misalnya aldosteron), yang bertanggung jawab dalam meregulasi metabolisme
garam dan air. Zona fasikulata yang terletak pada zona tengah menyintesis
glukokortikoid (misalnya kortisol) yang terlibat dalam metabolisme normal dan
resistensi terhadap stres. Zona retikularis yang terletak pada zona dalam
menyekresikan androgen adrenal (misalnya dehydroepiandrosterone). Obat
kortikosteroid yaitu Beclomethasone, Betamethasone, Cortison,
Desoxycorticosterone, Dexamethasone, Fludrocortisone, Hydrocortisone,
Methylprednisolone, Prednisolone, Prednisone, Triamnicolone. Salah satu
kegunaan terapeutik kortikosteroid adrenal adalah untuk terapi alergi.9

2.7.4 Epinefrin
Epinefrin merupakan golongan obat agonis adrenergik kerja langsung.
Obat-obat ini bekerja langsung pada reseptor α dan β dan menghasilkan efek yang
serupa dengan efek yang timbul akibat perangsangan saraf simpatis atau
pelepasan hormon epinefrin dari medula adrenal. Epinefrin berinteraksi dengan
reseptor α maupun β. Pada dosis kecil, efek β (vasodilatasi) pada sistem vaskular
mendominasi, sedangkan efek α (vasokonstriksi) paling kuat pada dosis tinggi.

18
Salah satu kegunaan epinefrin adalah untuk syok anafilaktik. Epinefrin
merupakan obat pilihan untuk penatalaksanaan reaksi hipersensitivitas tipe I
akibat alergen. Injeksi intramuskular pada paha (vastus lateralis) pada orang
dewasa lebih baik dibandingkan dengan injeksi intramuskular atau subkutaneus
pada lengan (deltoid).9

2.8 Komplikasi
Reaksi hipersensitivitas yang non IgE pada kasus alergi makanan potensial
terjadinya komplikasi seperti perdarahan saluran cerna, diare, malabsorpsi dan
dehidrasi. Pada hipersensitifitas tipe IgE (reaksi anafilaktik) dapat menimbulkan
kondisi fatal. Meskipun kacang tanah, tree nuts dan kerang-kerangan paling
banyak menjadi penyebab namun reaksi anafilaksis dapat dicetuskan oleh
beberapa alergen makanan lain.8

2.9 Prognosis
Belum diketahui penyembuhan alergi terhadap makanan ini, eliminasi
ketat terhadap makanan yang menimbulkan alergi dan mempersiapkan
pengobatan bila timbul reaksi alergi. Alergi terhadap kacang tanah, ikan, kerang
cenderung menetap, lifelong.2

19
BAB III

ANALISIS KASUS

Hubungan anamnesis dan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan


sekitar:
 Pasien tinggal di rumah semi permanen beratap seng dengan dinding kayu
serta lantai kayu. Terdiri dari satu ruang tamu, ruang tv, dua buah kamar
tidur, satu ruang makan dengan dapur, dan satu kamar mandi.
Pencahayaan dan pertukaran udara di dalam rumah ini tergolong cukup.
Sumber air keluarga adalah air sumur dan sudah ada sumber listrik.
 Tidak ada hubungan..

Hubungan diagnosis dengan lingkungan keluarga dan kebiasaan:


 Pasien merupakan anak pertama, tinggal bersama ayah dan ibunya.
Sumber penghasilan keluarga berasal dari penghasilan ayah yang bekerja
swasta.
 Tidak ada hubungan.

Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien
ini:
 Genetik; faktor genetik juga berperan penting pada alergi makanan,
walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominant. Dari
anamnesis diketahui bahwa ibu pasien juga mengalami keluhan serupa
terutama bila memakan udang. Selain itu, ayah pasien juga memiiki
riwayat rhinitis alergi. Hal ini dapat menyebabkan risiko alergi pada anak
yang lebih besar karena didapatkan riwayat alergi pada kedua orangtua.

Analisis untuk mengurangi paparan:


 Hindari mengkonsumsi faktor pencetus yang sudah diketahui
 Jangan menggaruk-garuk lesi karena dapat menimbulkan luka dan infeksi
sekunder.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Bock SA. Prospective appraisal of complaints of adverse reaction to foods


in children during the first 3 years of life. Pediatrics 1987; 79:683-8.
2. Siregar SP. Alergi makanan pada bayi dan anak. Sari Pediatri 2001; 3:
168-74
3. Burks Wesley A. Childhood food allergy. Immunol and Allergy Clin
North Amer 1999; 19:397-407.
4. Siregar P Sjawitri, Ida Mardiati, Akib Arwin. Cows milk allergy. Paediatr
Indones 1999; 39:83-7.
5. Christanto A dan Oedono T. Manifestasi alergi makanan pada telinga,
hidung dan tenggorokan. 2011. Diunduh dari
http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_187Manifestasialergimakanan.pdf
(diakses tanggal 16 Maret 2018)
6. Siregar P Sjawitri, Bambang Madiyono, Amar W, Adisasmito. Risk
factors of respiratory allergy among children with atopic dermatitis.
Paediatr Indones 1999; 39:134-44.
7. Rizal NI dkk. Kesesuaian antara skin prick test dan tes provokasi makanan
pada penderita rinitis alergi di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
2015. Diunduh dari
http://eprints.unsri.ac.id/6720/1/KESESUAIAN_ANTARA_HASIL_SKI
N_PRICK_TEST_DAN_TES_PROVOKASI_MAKANAN_PADA_PEN
DERITA_RINITIS_ALERGI.pdf (diakses tanggal 16 Maret 2018)
8. Setyohadi B dkk. Eimed PAPDI. Jakarta: Interna Publishing; 2016
9. Finkel R, Clark MA, Cubeddu LX. Lipincott’s illustrated reviews:
pharmacology. 4th ed. 2009. Lippincot’s William and Wilkins.

21
Lampiran

22

Anda mungkin juga menyukai