Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

STEMI ANTEROSEPTAL

RSUD Cengkareng

Disusun oleh:
dr. Louis Ryandi

Pembimbing:
dr. Hanny Dewajanti

Penanggung Jawab:
dr. Titos Ahimsa, Sp.PD-KGEH.

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG


JAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN PORTOFOLIO
STEMI ANTEROSEPTAL

Disusun oleh:
dr. Louis Ryandi

Telah disetujui dan disahkan oleh:


Dokter Pembimbing

dr. Hanny Dewajanti


BAB I
STATUS PASIEN

1.1. Identitas
Nama : Tn. L
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 13 April 1979
Usia : 41 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : karyawan swasta
Status Pernikahan : Menikah
Tingkat Pendidikan : SMP
Alamat : Penjaringan, Jakarta Utara
No. Rekam Medis : 34-47-06

1.2. Anamnesis
Dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 11 September 2020 pukul 09.55 di IGD.

Keluhan Utama
Nyeri dada di sebelah kiri 3 jam yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang keluhan nyeri dada di sebelah kiri sejak 3 jam yang lalu. Keluhan nyeri
dada muncul pada saat pasien sedang dalam perjalanan menuju kantor. Pasien
mengatakan keluhan nyeri dada menjalar ke tangan kiri. Pasien juga mengeluh sesak.
sesak muncul saat timbul nyeri dada baik dalam keadaan istirahat maupun beraktivitas.
Pada saat timbul nyeri dada, pasien mengatakan badan keringat dingin. Sebelum ke
RSUD Cengkareng pasien sudah di bawa ke klinik terlebih dahulu dan telah dilakukan
pemeriksaan rekam jantung dan mendapatkan obat clopidogrel dan aspilet. Keluhan lain
seperti demam, batuk, pilek, dan mencret disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit diabetes mellitus (DM) tipe 2. Riwayat
tekanan darah tidak tahu karena tidak pernah periksa, riwayat jantung (-), stroke
hemoragik (-), stroke iskemik dalam 6 bulan terakhir (-), kerusakan system saraf dan
neoplasma (-), trauma operasi / trauma kepala berat , 3 minggu (-), perdarahan saluran
cerna dalam 1 bulan terakhir (-), penyakit perdarahan (-), diseksi aorta (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga dengan penyakit yang serupa.

Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien adalah seorang kepala keluarga dan memiliki 2 orang anak. Pasien memiliki
kebiasaan merokok 2 bungkus / hari.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 11 September 2020 pukul 10.00 di IGD.

Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Skala Nyeri : 8 (Visual Analog Scale/VAS)
Tekanan Darah : 149/89 mmHg
Nadi : 65 kali/menit, reguler, kuat
Pernapasan : 28 kali/menit, tampak sesak
Suhu Tubuh : 36,7 ºC
Saturasi Oksigen : 98%

Pemeriksaan Sistematis
Kepala : Normosefali, tidak ada lesi ataupun deformitas
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks cahaya +/+
THT : Tidak ditemukan adanya kelainan
Jantung : Bunyi jantung 1/2 reguler, murmur (-), gallop S3 (-).
Paru : Suara napas terdengar ronki -/-, wheezing -/-.
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), bising usus (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik.
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Elektrokardiografi
Dilakukan pada tanggal 11 September 2020 pukul 10.05.

Kesan : ST elevasi pada V1, V2, V3, dan V4

Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pada tanggal 11 September 2020 pukul 12.20.

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hemoglobin 13,9 g/dL 11,7-15,5
Hematokrit 40 % 35-47
Leukosit 20 1000/µL 3,6-11,0
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 0 % 2-4
Batang 0 % 3-5
Segmen 86 % 50-70
Limfosit 8 % 25-40
Monosit 6 % 2-8
Trombosit 292 1000/µL 150-440
Natrium 139 mEq/L 136-146
Kalium 3,5 mEq/L 3,5-5,0
Klorida 104 mEq/L 98-106
CRP Kuantitatif 0,41 mg/dL ≤ 0,3
Ureum 20 mg/dL 21-43
Kreatinin 0,8 mg/dL 0,5-1,0
eGFR 113,4 - ≥ 90
Glukosa Sure Step 108 mg/dL < 110
Keton Darah 0,0 mmol/L < 0,6
CK-MB 22 U/L <24
Troponin I 0,032 ng/mL < 0,034
IgM COVID-19 Rapid Non-Reaktif - Non-Reaktif
IgG COVID-19 Rapid Non-Reaktif - Non-Reaktif

Pemeriksaan Radiologi
Rontgen Thorax PA
Dilakukan pada tanggal 11 September 2020 pukul 14.21
Cor :
 Tampak gambaran jantung membesar (CTR>50%)
 Aorta elongatio
 Fibroinfiltrat di kedua paru
 Hilus bilateral berbercak kasar
Pulmo :
 Tak tampak coin lesion
 Corakan bronkovaskular prominen
 pleura normal
Sinus dan diafragma normal
tulang-tulang dan jaringan lunak normal
Kesan :
 Cardiomegaly (HHD?)
 Suspect BP

CT Scan Thorax
Dilakukan pemeriksaan CT Scan Thorax tanpa kontras IV bolus pada tanggal 11
September 2020.

Pada window mediastinum:


 Tak tampak lesi solid di lapang paru bilateral.
 Tak tampak pembesaran kgb. paratrakheal, mediastinal dan paraaorta.
 Tak tampak peipadatan di paru bilateral, maupun efusi pleura.
 Jantung membesar, dan pembuluh darah: elongatio aorta.
 Lumen bronkhus utama bilateral tidak menyempit, normal.
Pada window parenchyma paru:
 Tak tampak infiltrat di paru bilateral.
 Aerasi palu bilateral masih baik.
 Tak tampak lesi naduler di paru bilateral.
 Bronkhovaskular paru bilateral: prominen.
 Tak tampak destruksi tulang-tulang costae dan clavicula. sternum serta vertebra
thoracal.
Kesan:
 Cardiomegnly (HHD).
 Paru tak jelas tampak tanda abnormalitas.

1.5. Diagnosis Kerja


1. STEMI Anteroseptal

1.6. Penatalaksanaan
1. Clopidogrel 4 tab
2. Aspilet 2 tab
3. Nitrat 5 mg
4. RL/12 jam
5. Oksigen 4lpm
6. Streptokinase
7. Rencana PCI pada tanggal 14 September 2020

1.7. Observasi Lanjut


11 September 2020 pukul 10.50
S : Pasien masih nyeri dada
O : TSS, CM, TD 155/97, HR 62, RR 20, S 36,4, SpO2 98%
A : STEMI anteroseptal
P : morfin 3mg, 10 menit masih nyeri boleh di ulang
cedocard drip 2mg/jam max 10 mg bila sesak dan nyeri

12 September 2020 pukul 16.00


S : nyeri dada (-), tidak ada keluhan lagi.
O : TSS, CM, TD 120/75, HR 80, RR 20, S 36,4, SpO2 98%
A : STEMI anteroseptal
P : Lanjutkan terapi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindrom Koroner Akut


2.1.1. Pendahuluan
Sindrom koroner akut masih merupakan suatu masalah penyakit
kardiovaskular yang lama dimana angka morbiditas dan mortalitasnya
tinggi. Spektrum klinis SKA meliputi gejala-gejala yang menunjukkan
adanya suatu iskemia miokard akut seperti angina pectoris stabil, infark
miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI), dan infark miokard akut
dengan elevasi ST (STEMI). Data di Amerika Serikat, menunjukkan
lebih 1 juta orang tiap tahunnya menderita infark miokard, dimana
diperkirakan 300.000 meninggal akibat infark miokard akut sebelum
masuk rumah sakit.1 Dan dari penderita infark miokard akut tersebut,
sepertiga diantaranya mempunyai spektrum infark miokard dengan
elevasi ST (STEMI).2

2.1.2. Definisi

Berdasarkan konsensus para ahli dan  guideline, infark miokard


akut didefinisikan sebagai terdeteksinya peningkatan dan atau penurunan
biomarker jantung paling sedikit satu nilai diatas ambang batas atas dan
diikuti oleh paling tidak satu dari : gejala-gejala iskemik, perubahan
segmen ST-T yang signifikan atau adanya LBBB baru, terbentuknya
gelombang Q patologis pada EKG, pada pencitraan terdapat hilangnya
viabilitas miokardium atau pergerakan segmen dinding miokard yang
abnormal, teridentifikasinya thrombus intrakoroner pada angiografi atau
otopsi.3,4 Istilah infark miokard harus digunakan ketika ada bukti
terdapatnya nekrosis miokardium dalam lingkup klinis iskemia
mikardium.4

Kriteria lain untuk menegakkan diagnosis infark miokard yaitu


terbentuknya gelombang Q patologis pada serial EKG. Pasien mungkin
tidak ingat kapan tepatnya gejala iskemik muncul, biomarker enzim
jantung mungkin sudah kembali ke nilai normal tergantung dari lamanya
kejadian infark.3,5 Selain itu, pemeriksaan secara patologis bisa juga
digunakan untuk mengidentifikasi adanya infark miokard dan
menggambarkan apakah proses tersebut merupakan suatu infark yang
lama atau baru.5

2.1.3. Faktor Risiko


Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah
yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor
risiko yang masih dapat diubah,sehingga  berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid,
hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi
lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.6
Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA.
Penelitian angiografi menunjukkan bahwa sebagian besar IMA
disebabkan oleh trombosis arteri koroner. Gangguan pada plak
aterosklerotik yang sudah ada (pembentukan fisura) merupakan suatu
nidus untuk pembentukan trombus.7
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung
mengalami ruptur jika  fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich
core). Gambaran patologis klasik pada STEMI terdiri atas  fibrin rich
red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik.8
Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu
aktivasi trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal
yang poten). Selain itu, aktivasi trombosit memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Reseptor mempunyai afinitas
tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang terlarut
(integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana
keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet
yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan platelet dan agregasi
setelah mengalami konversi fungsinya.8,9
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator  pada
sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan
konversi protombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi
fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri atas agregat trombosit dan fibrin.8,9
Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain
emboli arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme
koronaria terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan
berbagai penyakit inflamasi sistemik.10

2.1.4. Klasifikasi dan Stratifikasi Resiko

Infark miokard diklasifikasikan kedalam beberapa tipe


berdasarkan perbedaan gambaran klinis dan prognosis, patologis,
maupun strategi penatalaksanaan.3 ECS dalam universal definition of
myocardial infarction menggolongkan infark miokard menjadi 5 tipe
seperti dibawah ini :

1. Infark Miokard Tipe 1


Merupakan IM spontan yang berhubungan dengan ruptur plak
atherosklerosis, ulserasi, erosi, atau robekan yang menyebabkan
terbentuknya thrombus intralumen. Dapat terjadi pada satu atau
lebih pembuluh darah koroner.
2. Infark Miokard Tipe 2
Cedera miokard disertai nekrosis pada kondisi-kondisi selain CAD
yang menyebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan
oksigen miokard seperti pada disfungsi endotel, spasme koroner,
emboli coroner, bradi/takiaritmia, anemia, hipo/hipertensi.
3. Infark Miokard Tipe 3
Mati mendadak dengan didahului gejala iskemik miokard dan perubahan
pada EKG yang terjadi sebelum sampel darah diperiksa atau kenaikan serum
biomarker enzim jantung.
4. Infark Miokard Tipe 4
Infark miokard yang berhubungan dengan PCI (4a) maupun stent
thrombosis (4b).
5. Infark Miokard Tipe 5
Infark miokard yang berhubungan dengan CABG.11

Stratifikasi Risiko
Selain klasifikasi diatas, untuk menentukan diagnosis dan prognosis
luaran klinis serta prediksi mortalitas pada penderita dengan STEMI dapat
digunakan klasifikasi berdasarkan Killip, seperti pada tabel berikut.2

Tabel 1. Klasifikasi Killip

Killip Class Clinical Presentation Hospital


Mortality (%)
I 6
Tidak didapatkan adanya tanda dan gejala-
gejala gagal jantung
II Gagal jantung ringan- sedang didapatkan 17
adanya S3 gallop, ronkhi basah pada basal
paru, hipertensi vena pulmonalis
III Didapatkannya adanya gagal jantung berat 38
dengan edema paru
IV Didapatkan stok kardiogenik 81

2.1.5. Patofisiologi
Sebagian besar infark miokard terjadi karena adanya ruptur plak
atheroma pembuluh darah koroner arteri yang menyebabkan terjadinya
manifestasi akut dari infark miokard.1  Lebih dari 90 % penyebab infark
miokard dikarenakan robekan atau disrupsi plak atherosklerotik.6 Hal
ini berhubungan dengan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan
lapisan fibrous penutup plak. Robeknya lapisan fibrous tersebut kedalam
lumen arteri memicu terjadinya proses agregasi trombosit yang kaya
trombosit (white thrombus) dan pembentukan thrombus intra koroner.11 
Akibat lanjut dari trombus ini akan menyumbat lumen arteri koroner bisa
parsial maupun total atau menjadi mikroemboli yang menyumbat arteri
koroner yang lebih distal.1,11 
Bila thrombus menyumbat secara parsial akan timbul manifestasi
sebagai angina pectoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard tanpa
elevasi segmen ST (NSTEMI). Akan tetapi, bila thrombus menyumbat
secara total tanpa adanya aliran kolateral menyebabkan terjadinya infark
miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI). 1,6Terbentuknya
thrombus selain diakibatkan oleh ruptur plak juga disebabkan oleh
adanya disfungsi endotel. Disfungsi endotel menyebabkan kehilangan
fungsi normalnya yang mempunyai efek proteksi terhadap thrombus dan
vasodilator.11 
Proses lanjutan yang terjadi akibat ruptur plak dan disfungsi
endotel yaitu : aktivasi dan agregasi trombosit, aktivasi kaskade
koagulasi, vasokonstriksi pembuluh koroner, kehilangan fungsi normal
endotel yang mempunyai efek antitrombotik dan pada akhirnya
terbentuklah thrombus intrakoroner.11
Gambar 1. Patofisiologi Trombosis

2.1.6. Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, elektrokardiografi, pemeriksaan biomarker jantung, maka diagnosis
awal seseorang dengan kecurigaan infark miokard akut dapat ditegakkan
sekaligus menyingkirkan penyebab yang lain.
Diagnosis infark miokard mempunyai dua komponen utama.
Komponen patologis dimana memerlukan bukti adanya kematian sel
miokard sebagai konsekuensi dari iskemik yang berkepanjangan. Dan
diagnosis klinis dengan menilai riwayat penyakit dari anamnesis
ditunjang dengan pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi,
biomarker jantung, dan pemeriksaan pencitraan.5,10
Gambar 2. Alur Diagnosis STEMI

Anamnesis
Keluhan penderita dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri
dada yang tipikal (typical angina) atau atipikal (angina ekuivalen).
Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan,berat, seperti ditindih benda
berat, terbakar didaerah retrosternal, dapat menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, bahu, punggung, atau epigastrium.2 Pada penderita dengan
STEMI keluhan seperti ini dirasakan seperti angina pectoris tetapi
lebih berat, dengan durasi yang lebih lama (lebih dari 20 menit), dan
tidak berkurang dengan istirahat atau pemberian preparat nitrat. Gejala
penyerta yang sering terdapat pada penderita infark miokard antara lain :
diaforesis, mual-muntah, nyeri abdomen, palpitasi, sesak nafas, dan
sinkop.1,2 
Walapun nyeri dada tipikal merupakan tanda khas infark, akan
tetapi tidak semua pasien merasakannya.9 Kira-kira sekitar 30% pasien
infark miokard adalah asimptomtik atau datang dengan keluhan
atipikal.4  Pada pasien angina atipikal sering dijumpai keluhan nyeri
didaerah penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan, sesak nafas
yang tidak dapat diterangkan atau mendadak rasa lemah yang tidak
dapat diterangkan.2,9 Keluhan atipikal ini sering dijumpai  pada pasien
usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, post operatif pasien.2
Diagnosis menjadi lebih kuat bila keluhan tersebut ditemukan
pada pasien dengan karakteristik : pria, diketahui mempunyai
penyakit atherosklerosis atau pernah mengalami infark miokard, CABG
atau PCI, mempunyai faktor resiko tinggi (hipertensi, diabetes mellitus,
merokok, dislipidemia, riwayat penyakit  jantung koroner dalam
keluarga atau meninggal mendadak sebelum usia 55 tahun pada laki-
laki dan 65 tahun pada perempuan).9 Mengidentifikasi faktor-faktor
resiko terutama pada mereka yang mempunyai faktro resiko tinggi bisa
membantu dalam menegakkan diagnosis infark miokard.1
Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan infark miokard sering datang dengan penampakan
gelisahdan tidak nyaman. Mereka yang sudah mempunyai gangguan
pada fungsi ventrikel kiri dapat muncul manifestasi takipneu, takikardia,
ronkhi paru, dan bunyi jantung ketiga. Terdapatnya bising sistolik
menunjukkan adanya disfungsi katub mitral maupun ruptur septum
ventrikel sebagai kamplikasi adanya iskemik.1 Pada pasien dengan
infark ventrikel kanan dapat dijumpai peningkatan tekanan vena jugular,
tandakusmaul dan bunyi jantung ketiga pada ventrikel kanan. Pada
pasien dengan disfungsi ventrikel berat terdapat tanda-tanda syok seperti
hipotensi, diaforesis, akral dingin, pucat, oligouria, dan perubahan status
mental.1,6
Tabel 3. Tanda dan Gejala Infark Miocard Akut

Elektrokardiografi
Pemeriksaan elektrokardiografi memegang peranan yang
penting dalam penatalaksanaan infark miokard tidak hanya sebagai alat
7
diagnostik tetapi juga untuk menentukan prognosis dari infark. EKG
merupakan suatu bagian integral dari diagnosis kerja pasien yang
dicurigai menderita infark miokard dan harus tersedia dan
diinterpretasikan secara tepat (dalam waktu 10 menit) setelah
3
presentasi klinis. Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan
lain yang mengarah kepada iskemik miokard harus menjalani
pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang
4
gawat darurat.
Gambaran EKG pada penderita STEMI dengan onset akut diawali
dengan peningkatan amplitudo gelombang T, diikuti oleh elevasi
segmen ST dalam beberapa menit. Gelombang R dapat meningkat
pada fase awal dan kemudian segera mengalami penurunan lalu diikuti
2
oleh terbentuknya gelombang Q.  Gambaran evolusi EKG pada STEMI
6,10
dapat dilihat pada bagan dibawah ini.
Kriteria
diagnosis EKG pada STEMI yaitu : adanya elevasi segmen
ST diatas titik J (J  point)  pada 2 sadapan yang berurutan dengan nilai :
≥ 0,1 mV pada semua sadapan selain V2-V3 dimana pada sadapan
tersebut kenaikannya ≥ 0,2 mV pada laki-laki ≥ 40 tahun, ≥ 2,5 mV
3,4
pada laki-laki < 40 tahun, atau ≥ 0,15mV pada perempuan.  Yang
dimaksud sadapan yang berurutan yaitu kelompok sadapan anterior
(V1-V6), sadapan inferior (II,III,aVF), atau sadapan lateral/apikal
(I,aVL). Sadapan tambahan meliputi V3R dan V4R yang
menggambarkan dinding ventrikel kanan serta V7-V9 pada dinding
3
basal inferior (posterior).

EKG juga dapat


menentukan lokasi infark, area kerusakan
miokard maupun konsekuensi yang muncul akibat lesi tersebut seperti
12
pada tabel dibawah.
Pada STEMI
angka mortalitasnya meningkat dengan peningkatan
besar dan jumlah elevasi ST. Prediktor mortalitas lain yang dapat dilihat
13
dari EKG 12 sadapan meliputi LBBB dan infark anterior.

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium khususnya biomarker jantung sudah

sejak lama digunakan dalam mendiagnosis infark miokard. Kenaikan

dari kreatin kinase (CK), dan sub tipe miokard (CK-MB), troponin (T

dan I), mioglobin, AST, dan LDH dapat terjadi pada semua pasien

dengan nekrosis miokard pada pasien infark miokard.14  Kerusakan pada

miokard menyebabkan pelepasan dari protein dam enzim tersebut

kedalam sirkulasi sehingga bisa terdeteksi dalam darah. Kardiak troponin

sangat dianjurkan sebagai biomarker untuk kerusakan miokard karena

mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. CK-MB bisa dipilih

sebagai alternatif terbaik bila pemeriksaan troponin tidak dapat

dilakukan.2 
Biomarker CKMB, karena lebih cepat terdeteksi dan dan hilang
dari dalam sirkulasi, maka dapat digunakan pada : pasien dengan
presentasi klinis awal atau dini saat gejala muncul, untuk menentukan
onset cidera jika troponin meningkat, dan untuk mendeteksi reinfark
1
saat datang ke runah sakit. Pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan biomarker pada penderita infark miokard direkomendasikan
pada saat pasien datang ke rumah sakit, pada 6 – 9 jam onset, dan 12-24
jam jika sampel awal mempunyai nilai negatif dan pasien mempunyai
kecurigaan yang tinggi untuk infark miokard.1,3,14

Selain
pemeriksaan serum biomarker, pemeriksaan laboratorium
lain yang direkomendasikan pada penderita STEMI yaitu : darah rutin
lengkap, elektrolit lengkap, BUN, kreatinin, gula darah, profil lipid,
13
INR, aPTT.

2.1.7. Tatalaksana
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari
evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial
yang terus berkembang ataupun konsensus dari para ahli sesuai
pedoman ( guideline).8
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti
platelet, memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman
( guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari
ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan
dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada.8,15
a. Tatalaksana awal
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar
diakibatkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi
dalam 24 jam pertama onset gejala dan lebih dari separuhnya
terjadi pada jam pertama, sehingga elemen utama tatalaksana pra
hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain8,13,15:
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan
medis. 
2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien
disebabkan oleh lamanya waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini dapat
diatasi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga
profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.8,15
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan
jika ada paramedik di ambulans yang sudah terlatih untuk
menginterpretasikan EKG dan managemen STEMI serta ada
kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada
pemberian terapi. 8,13,15
2. Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi atau
menghilangkan nyeri dada, mengidentifikasi cepat pasien yang
merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko
rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI. 8,13,15

3. Tatalaksana umum

1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien


dengan saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI
tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.

2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan


aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis
dengan interval 5 menit.

 Morfin: sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan


merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin
dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
 Aspirin: merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang
dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindroma
koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit
yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai
dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di
ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan
dosis 75-162 mg.
 Beta blocker: Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri
dada, pemberian beta blocker intravena dapat efektif.
Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg
tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat
frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah
sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki
tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit
setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol
oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan
dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam. 8,13

4. Tatalaksana di rumah sakit (ICCU)


1) Aktivitas: pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2) Diet: pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan
mulut dalam 4-12 jam
3) Sedasi: pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang.
Diazepam 5mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2
mg, diberikan 3-4 kali/hari
4) Saluran pencernaan (bowels): istirahat di tempat tidur dan
efek menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri
sering mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan
penggunaan kursi komod di samping tempat tidur, diet tinggi
serat, dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti
dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari). 8,13

b. Terapi pada pasien STEMI


1. Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta
mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang
menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.8 Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time
untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit
atau door to balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90
menit. 8,13
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan
prediktor penting terhadap luas infark dan outcome
pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam menghancurkan
trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat
menghentikan infark miokard dan menurunkan angka kematian.8
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko
perdarahan pada pasien. Jika terapi reperfusi bersama-sama
(tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko  perdarahan
dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk
memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi
farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama
apakah PCI dapat dikerjakan.8
1) Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa
didahului fibrinolitik disebut PCI primer ( primary PCI). PCI
efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika
dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI
primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri
koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis
jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI
primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama
pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau
gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika
bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan
obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil
dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya
sarana, hanya di beberapa rumah sakit. 8,15
2) Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat
kontraindikasi.Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi
arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat
fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang
bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi
plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin. 8,15
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada
dan penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit
pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil
pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG datang
dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :8
Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intracranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut
dalam 3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali
menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3
bulan

Kontraindikasi relatif
1) Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2) Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180
mmHg atau TDS>110 mmHg)
3) Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia,
atau diketahui patologi intrakranial yang tidak termasuk
kontraindikasi
4) Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit)
atau operasi besar (<3 minggu)
5) Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu 6) Pungsi
vaskular yang tak terkompresi
6) Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari
sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat
ini
7) Kehamilan
8) Ulkus peptikum aktif
9) Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin
tinggi risiko perdarahan.
Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin.
Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh
diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya
antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat
mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah.16
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global
Use of Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1)
trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar
15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan
SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan
risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.17
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi
dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada
GUSTO III trial dengan dosis bolus lebih mudah karena
waktu paruh yang lebih panjang.18
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup
memperbaiki spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi
terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1).
Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase
mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan
yang sama dibandingkan dengan tPA.19

Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu


terapi yang manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai
beberapa risiko seperti perdarahan.

2. Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana
semua pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan
menggunakan anti-platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin),
anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low
Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-
inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.13, 16, 20
1) Anti Trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama
fase awal STEMI berperan dalam memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait
infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.
Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan
mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar
49%.21
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk
mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang
menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan
abciximab dan  stenting dengan placebo dan  stenting, dengan
hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi
segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab
dan stenting.22 
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek
klinis adalah unfractionated heparin (UFH). UFH intravena
yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan
obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis
dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang
terkait infark.Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60
U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg
perjam (maksimum 1000 U/jam) .Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus
mencapai 1,5-2 kali.8 
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel
kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus
mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial
merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan
harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh
(UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi
warfarin minimal 3 bulan.8
2) Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti
aspirin untuk pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan
dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani
reperfusi primer atau fibrinolitik.13,20
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry
investigators mempelajari pengaruh clopidogrel di samping
aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan dengan
atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian
kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian,
reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam
penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa
terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1
tahun tertinggi (18%).23

3) Beta blocker
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan
manfaat yaitu manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan
secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika
obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark.
Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan
kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi
luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia
ventrikel yang serius.8
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk
sebagian besar pasien termasuk yang mendapatkan terapi
inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi
(pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau
riwayat asma).8
4) ACE Inhibitor
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI
dan memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas
dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian
SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor
ACE pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau
infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi
ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang juga
lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE
menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama
pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus
dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal
jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global,
atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau
pasien hipertensif.8

2.1.8. Komplikasi
1. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks
ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata,
lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.8
2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama
kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia
mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada
awal (10 hari infark) dan sesudahnya.8
3. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan
90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang
menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner
multivesel.8
4. Infark Ventrikel Kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan
yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali)
dengan atau tanpa hipotensi.8
5. Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem
saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di
zona iskemi miokard.8
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat
beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien
STEMI.8
7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya
aritmia sebelumnya dalam 24 jam pertama.8
8. Fibrilasi atrium
9. Aritmia supraventricular
10. Asistol Ventrikel
11. Bradiaritmia dan Blok
12. Komplikasi Mekanik
13. Ruptur muskulus papilaris, ruptur septm ventrikel, rupture dinding
ventrikel.8
2.1.9. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA20 :
1. Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.

Tabel 3. Klasifikasi Killip

2. Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks


jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)

Tabel 4. Klasifikasi Forrester


DAFTAR PUSTAKA

1. Griffin, B. P., Eric J. T. Manual of Cardiovascular Medicine. 3rd edition.


2009. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins.
2. Fuster V, Walsh RA et al. ST Elevation Myocardial Infarction in Hurst’s The
Heart. 13th ed. 2011. Mc Graw-Hill.
3. Thygesen K, Alpert JS, White HD, et al. Third Universal definition of
myocardial infarction. 2012. European Heart Journal;
10.1093/eurheartj/ehj184.
4. Steg G, James SK, et al. European Society Cardiology. ESC Guidelines for
the management of acute myocardial infarction in patients presenting with
ST-segment elevation. 2012. European Heart Journal.
Doi:10.1093/eurheartj/ehs215
5. Billimoria AR. Acute Myocardial Infarction-the Changing Face. JAPI 2011;
vol 59
6. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran. 2005; 147: 6-9
7. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta:
EGC. 2007.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010. 
9. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007
10. Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwald’s Heart Diseases: A
Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier. 2011
11. Lilly LS, Harvard Medical School. Pathophysiology of heart disease : a
collaborative project of medical students and faculty. 5th ed. 2011. Baltimore,
MD: Lippincott Williams & Wilkins.
12. Kosowsky JM. The Diagnosis and Treatment of STEMI in Emergency
Departement. EBMedicine. 2009; vol 11, no.6.
13. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the
ACC/AHA 2004 guidelines for the management of patients with ST-
elevation myocardial infarction: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. J
Am Coll Cardiol 2008;51:210-47.
14. Pandey R. Diagnosis of Acute Myocardial Infarction. JAPI; 2011 vol 59.
15. Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrison’s Principles of Internal
Medicine. New South Wales: McGraw Hill. 2010.
16. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for
reperfusion therapy in emergency department patients with suspected acute
myocardial infarction. American College of Emergency Physicians Clinical
Policies Subcommittee (Writing Committee) on Reperfusion Therapy in
Emergency Department Patients with Suspected Acute Myocardial Infarction.
Ann Emerg Med. 2006;48:358 –3  83.
17. Rieves D, Wright G, Gupta G. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT)
Evidence of Earlier Death for Men thanWomen after Acute Myocardial
Infarction. Am J Cardiol.2000; 85 : 147-153
18. International Joint Efficacy Comparison of Thrombolytics. Randomized,
Double-blind Comparison of Reteplase Doublebolus Administration with
Streptokinase in Acute Myocardial Infarction. Lancet.1995; 346 : 329-336.
19. Manning, JE "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York.
2004. p.227.
20. Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of acute
myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-segment
elevation: the Task Force on the Management of ST-Segment Elevation
Acute Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology. Eur
Heart J 2008;29:2909 –2 945.
21. ISIS 2 Collaborative Group: Randomized trial of intravenous streptokinase,
oral aspirin, both or neither among 17.187 cases of suspected AMI.
Lancet.1986; 1:397.
22. Montalescot G, Barragan P, Wittenberg O, et al, for the ADMIRAL
(Abciximab before Direct Angioplasty and Stenting in Myocardial Infarction
Regarding Acute and Long-Term Follow Up) Investigators. Platelet
Glycoprotein IIb/IIIa inhibition with coronary stenting for acute myocardial
infarction. N Engl J Med. 2001;344:1895-903.
23. Zeymer U, Gitt AK, Jünger C, et al. Acute Coronary Syndromes (ACOS)
registry investigators Effect of clopidogrel on 1-year mortality in hospital
survivors of acute ST- segment elevation myocardial infarction in clinical
practice. Eur Heart J 2006;27:2661 –6  6.

Anda mungkin juga menyukai