Pembimbing:
2024
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom koroner akut (SKA) adalah kumpulan tanda dan gejala yang
merupakan karakteristik dari suatu patologi yang mendasari yaitu iskemia miokard
dengan atau tanpa adanya infark. 1
Pasien dengan kecurigaan SKA dibagi menjadi
infark miokard akut (IMA) dan unstable angina (UA), 2
sehingga SKA mencakup
unstable angina (UA), Non ST elevasi myocardial infarction (NSTEMI), dan ST
elevasi myocardial infarction (STEMI). 3
1
nyeri yang kemudian tatalaksana ini dibagi menjadi tatalaksana NSTE-ACS dan
STEMI. 2
Tujuan penulisan kasus ini untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
terkait SKA dari segi definisi, epidemiologi, diagnosis, tatalaksana serta
prognosisnya. Selain itu untuk melihat hubungannya dengan kejadian serebrovaskular
yaitu infark cerebri.
2
BAB II
KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. S
NRM : 259197
MRS : 13 Januari 2024
Umur : 46 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Anamnesis : 18 Januari 2024
2.2 Anamnesis
Alloanamnesis dengan: Tn. S dan Istri
a. Keluhan Utama
Penurunan Kesadaran
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar oleh rekan kerjanya ke emergency RS Siloam
Balikpapan dengan keluhan jatuh ditempat kerja lalu pingsan tiba-tiba +- 1 jam
SMRS. Muntah 1x isi makanan, nyeri kepala (+), bicara pelo (-), kelemahan anggota
gerak (+) kiri.
Sebelumnya pasien mengeluh nyeri dada kiri 1 minggu sebelum kejadian, saat
beraktivitas, tembus ke belakang, tidak menyebar ke bahu/leher/lengan kiri, terasa
seperti ada yang mengikat, durasi +- 15 menit, disertai keringat dingin, dan berkurang
dengan istirahat. Pasien tidur menggunakan 1 bantal, terbangun malam hari karena
sesak disangkal, rasa berdebar-debar disangkal. Keluhan lain seperti batuk, pilek,
demam disangkal. Nafsu makan dan minum baik, BAB dan BAK normal.
3
Riw Keluhan serupa disangkal
Hipertensi (+) tidak terkontrol
Diabetes Melitus disangkal
Asma disangkal
Hipertiroid disangkal
Penyakit Jantung disangkal
d. Riwayat Penggunaan Obat: Tidak Ada
e. Riwayat kebiasaan: Merokok sejak usia 16 tahun +- 1 bungkus rokok isi 12
batang
b. Status Generalisata
a. Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+),
pupil isokor kanan=kiri
b. Leher : peningkatan JVP (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran KGB (-)
c. Thorax : Simetris hemithorax sinistra dan dextra
• Paru : suara dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), penggunaan
otot tambahan (-)
4
• Jantung : S1-S2 tunggal reguler, murmur (-/-), gallop (-/-)
d. Abdomen : Supel, BU (+) normoperistaltik, nyeri tekan (-), timpani di
seluruh kuadran
c. Ekstremitas: Akral hangat (+/+), CRT<2” (+/+), pitting oedem (-/-),
Motorik Dextra: 5/5
Motorik Sinisttra: 1/1
Basofil 1 0.0-1.0 %
Neutrofil 62 50.0-70.0 %
Limfosit 23
Monosit 10 2.0-11.0 %
NLR 2.71
5
Table 2.2 Serum Elektrolit 13/01/2024
Parameter Hasil Rujukan
Natrium 139 135- 145
Kalium 3.4 3.5-5.0
Klorida Darah 105 96.0-108.0
Trigliserida 86
HDL kolesterol 31
6
Interpretasi
- Irama sinus
- Rate 68-70x/menit
- Axis Normal
- ST Elevasi V2-V4
- Q Patologis V2-V4
7
Interpretasi CT Scan Kepala Non-Kontras 13/01/2024
Kesan: Curiga infark hiperakut lobus frontal kanan
Tidak tampak perdarahan intrakanial
8
Penurunan kesadaran tiba-tiba
Kelemahan anggota gerak kiri (S)
Muntah
Nyeri dada
Keringat Dingin
Leukositosis
Peningkatan troponin T
Hipokalemia
HDL kolesterol rendah
EKG: ST Elevasi dan Q patologis V2-V4,
Infark hiperakut lobus frontalis kanan
CAG: CAD 2 VD
2.5. Diagnosis
Infark Cerebri Akut dengan Sindrom Koroner Akut (STEMI)
2.6 Tatalaksana
Oksigen nasal kanul 2 lpm
IVFD
Trombolisis: Alteplase 5 ml bolus dalam 1 menit, 45 ml habis dalam 1 jam
Citicolin 2x500 mg
Pantoprazole 2x40 mg
Rosusvastattin 1x20 mg
Asam Asetilsalisilat 1x80 mg
Clopidogrel 1x75 mg
9
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epidemiologi
Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu dari 3 penyebab kematian
terbanyak di dunia dan merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di
seluruh dunia. Sekitar 7,5 juta kematian disebabkan oleh penyakit jantung iskemik,
dan pada tahun 2019 diperkirakan terdapat 5,8 juta kasus baru penyakit jantung
iskemik di 57 negara anggota ESC. 2,4
3.1.3 Patofisiologi
SKA umumnya merupakan manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah akibat perubahan komposisi plak dan penipisan
11
tudung fibrosa yang menutupi plak. Kejadian ini diikuti proses agregasi trombosit dan
aktivasi jalur koagulasi sehingga terbentuk trombus yang kaya trombosit, trombus ini
nantinya akan menyumbat pembuluh darah koroner secara total ataupun parsial, atau
menjadi emboli yang menyumbat pembuluh darah koroner yang lebih distal. Kejadian
ini menyebabkan berkurangnya aliran darah koroner, jika suplai oksigen berhenti
selama lebih kurang 20 menit maka akan menyebabkan nekrosis miokardium
sehingga terjadi infark miokard. 5
Proses aterogenik dimulai pada masa remaja tanpa memandang jenis kelamin
dan ras. Faktor risiko seperti hipertensi, merokok, diabetes melitusm obesitas, dan
kecenderungan genetik dapat mempercepat proses tersebut. Pembentukan plak
didahului oleh lapisan lemak, akumulasi lipid dan sel inflamasi, yang mungkin hilang
atau berkembang menjadi plak aterosklerotik, dengan kandungan sel busa dan lipid
yang lebih tinggi. 4
3.1.4 Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada (angina)
tipikal ataupun atipikal. 5
Diperlukan anamnesa yang komprehensif untuk
membedakan karakteristik angina termasuk sifat, onset dan durasi, lokasi dan
penyebarannya, faktor pencetus, faktor yang mengurangi keluhan, dan gejala terkait. 7
12
dapat berlangsung selama beberapa menit atau bertahan hingga > 20 menit. Keluhan
angina tipikal sering disertai keringat dingin, mual/muntah, nyeri perut, sesak napas,
dan sinkop. Sedangkan keluhan angina atipikal berupa nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, gangguan pencernaan, atau sesak napas yang sulit dijelaskan. 5 Angina
atipikal banyak ditemukan lansia, perempuan, dan pasien dengan diabeter, penyakit
ginjal kronik, dan demensia. 4
Ringkasan keluhan SKA: 4
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik segera pasien terduga SKA sangat disarankan pada kontak
medis pertama. Pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan dengan EKG awal.
Pemeriksaan fisik pasien SKA berfungsi untuk menyingkirkan diagnosis banding dan
identifikasi risiko tinggi pasien SKA. Penilaian ketidakstabilan hemodinamik dan
elektrisitas, dan tanda-tanda serangan jantung perlu dibuat dan ditatalaksana secara
cepat. Pemeriksaan ini berfokus pasa denyut nadi besar (utama), pengukuran tekanan
darah pada kedua lengan, auskultasi jantung dan paru, serta penilaian tanda-tanda
gagal jantung. 2,4
3. Elektrokardiogram (EKG)
Elektrokardiogram (EKG) istirahat 12 sadapan adalah alat diagnostik lini
pertama SKA pada pasien yang dicurigai SKA, pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan
dalam 10 menit pertama pasien tiba di unit gawat darurat (UGD) atau pada kontak
pertama dengan tim medis UGD pada periode pre rumah sakit. Hasil pemeriksaan
13
EKG mungkin normal pada 1/3 pasien, kelainan lain yang mungkin ditemukan adalah
elevasi segmen ST, depresi segmen ST, dan perubahan gelombang T. 4
14
Gambar 3. 2 Lokasi Infark berdasarkan sadapan EKG 6
4. Marker Biokimia
Marker biokimia melengkapi pemeriksaan klinis dan EKG 12 sadapan dalam
menentukan diagnosis, stratifikasi risiko, dan tatalaksana pasien dengan dugaan SKA.
4
Cedera miokardium dapat terdeteksi ketika kadar biomarker sensitif dan spesifik
dalam darah meningkat seperti CKMB, dan troponin (T atau I). 8 Pengukuran
15
biomarker cedera miokardium, troponin dengan sensitivitas tinggi, wajib dilakukan
pada semua pasien dengan dugaan SKA. 4
Troponin jantung merupakan biomarker penanda cedera kardiomiosit yang
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan CKMB dan mioglobin. Jika gambaran klinis
mengarah ke iskemik miokard, peningkatan dinamis troponin diatas persentil 99
inidvidu sehat menunjukkan IMA. Kadar troponin jantung pada pasien IMA
meningkat dengan cepat (sekitar 1 jam setelah onset, jika menggunakan alat
sensitivitas tinggi) dan tetap meningkat dalam jangka waktu yang lama, biasanya
beberapa hari. 4
Hasil biomarker yang negatif pada 1 kali pemeriksaan awal tidak dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis IMA. Pemeriksaan biomarker hendaknya
diulang dalam 8-12 jam setelah onset angina. Gambar dibawah menunjukkan puncak
peningkatan troponin dan berapa lama menetap setelah onset. 4
5. Non-Invasive Imaging
a. Ekokardiografi
Transthoracic echocardiography (TTE) secara rutin harus dilakukan pada
UGD dan unit nyeri dada. Pada kasus dugaan SKA yang tidak pasti TTE berguna
untuk mengidentifikasi tanda-tanda yang menunjukkan adanya iskemik yang sedang
16
berlangsung atau riwayat infark miokard. Namun, pemeriksaan ini tidak dapat
menyebabkan penundaan pemindahan pasien ke cardiac catheterization laboratory
jika terdapat kecurigaan oklusi arteri koroner akut. TTE juga berguna menentukan
alternatif etiologi angina lain seperti penyakit aorta akut atau emboli paru. 2
6. Coronary Angiography
Coronary Angiography adalah pemeriksaan baku emas untuk membuktikan
atau menyingkirkan diagnosis coronary artery disease (CAD), dan untuk menilai
karakteristik dan lokasi lesi penyebab atau lesi lain yang berpotensi membutuhkan
17
revaskularisasi seperti pada gambar dibawah. 2 Pemeriksaan ini memberikan
informasi mengenai keberadaan dan keparahan CAD sehingga dianjurkan segera
dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis
banding yang tidak jelas. 4
Revaskularisasi koroner dengan metode percutaneous
coronary intervention disarankan pada hampir semua pasien SKA dan dilaksanakan
segera setelah pemeriksaan diagnostik coronary angiography. 2
3.1.5 Tatalaksana
1. Tatalaksana Emergensi 2
Tatalaksana SKA dimulai sejak diagnosis kerja SKA ditegakkan baik itu di
pusat kesehatan pertama. Diagnosis SKA dibuat berdasarkan gejala iskemia miokard
dan EKG 12 sadapan, disarankan pada semua pasien yang dicurigai SKA untuk
memulai pemantauan EKG sesegera mungkin untuk mendeteksi kemungkinan aritmia
yang mengancam jiwa.
Pemberian oksigen pada pasien SKA dianjurkan jika pasien mengalami
hipoksemia dengan saturasi <90%. Pemberian oksigen pada pasien dengan saturasi
>90% tidak memberikan manfaat klinis sehingga tidak disarankan.
Nitrat sublingual berguna untuk meringankan gejala iskemik. Pasien dengan
EKG yang sesuai dengan STEMI sedang berlangsung jika setelah pemberian
nitrogliserin gejalanya berkurang/hilang perlu dilakukan pemeriksaan ulang EKG 12
18
sadapan. Hilangnya gambaran elevasi segmen ST disertai dengan hilangnya gejala
iskemik menandakan spasme koronen dengan/tanpa infark miokard. Nitrat tidak
boleh diberikan pada pasien hipotensi, bradikardi/takikardi, infark miokard ventrikel
kanan, atau penggunaan inhibitor fosfoditerase 5 dalam 24-48 jam sebelumnya.
2. NSTE-ACS
Tatalaksana pasien NSTE-ACS bertujuan untuk meredakan iskemia segera
dan mencegah efek samping yang serius seperti kematian, infark miokard berulang,
dan artemia yang mengancam jiwa. Tatalaksana NSTE-ACS didasarkan pada hasil
stratifikasi risiko. 4
a. Anti Iskemik
Dewasa ini pedoman menekankan penggunaan anti iskemik dini untuk
meningkatkan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Tujuan terapi iskemik
adalah meredakan gejala dan mencegah gejala sisa SKA termasuk infark miokard
berulang, gagal jantung, dan kematian. 9
Nitrat
Nitrat merupakan vasodilator yang meningkatkan aliran darah miokard
dengan menurunkan preload (venodilatasi sistemik) dan afterload (pelebaran arteri
sistemik), sehingga mengurangi tekanan dinding ventrikel dan memiliki efek
antiplatelet ringan. Peningkatan denyuk jantung dan kontraktilitas miokard akibat
nitrat dapat dikurangi dengan penggunaan bersama beta blocker. Berdasarkan
pengamatan klinis dan prinsip patofisiologisnya nitrat menunjukkan efektivitas dalam
menghilangkan rasa nyeri atau tidak nyaman yang disebabkan oleh infark miokard. 9
19
Kontraindikasi absolut nitrat adalah penggunaan inhibitor fosfodiseterase tipe
5 (PDE-5) dalam waktu 24-48 jam diantaranya sildenafil, vardenafil, atau tadalafil
karena dapat menyebabkan hipotensi yang berat. 10
Kontraindikasi relatif nitrat adalah
hipotensi (TDS<90 mmHg), infark ventrikel kanan, obstruksi ventrikel kiri, atau
emboli paru signifikan secara hemodinamik. 9
Beta Blocker
Beta blocker dapat menurunkan detak jantung, kontraktilitas, dan tekanan
darah yang mengakibatkan penurunan konsumsi kebutuhan oksigen miokard dan
dapat mengurangi kejadian iskemia atau infark berulang dan meningkatkan prognosis
pada pasien NSTE-ACS. 10,11
Melambatnya denyut jantung dengan beta blocker juga
meningkatkan durasi diastol sehingga meningkatkan aliran darah koroner dan
kolateral. Efek ini terutama disebabkan oleh antagonis kompetetitif reseptor B1 di
kardiomiosit. 10
Dalam uji klinis pada pasien dengan IMA pemberian beta blocker IV dini dan
pemberian oral jangka panjang terbukti mengurangi kejadian infark berulang, aritmia
ventrikel, dan kematian. Bila setelah pemberian nitrat IV iskemia tetap ada, dapat
diberikan beta blocker IV diikuti pemberian oral. 9
Jika ada kekhawatiran intoleransi
beta blocker, sebaiknya memilih obat spesifik b1 kerja pendek seperti metoprolol atau
esmolol. Dosis metroprolol IV 5 mg selama 1-2 menit dapat diulang setiap 5 menit
dengan total dosis 15 menit. Kontraindikasi beta blocker diantaranya sinus bradikardi
(denyut jantung <50x/menit), hipotensi (TDS <90 mmHg), atau ada tanda gagal
jantung yang signifikan (ronki pada basal paru). 9,10
Calcium Channel Blockers (CCB)
Calcium channel blockers (CCB) adalah vasodilator yang memiliki berbagai
efek pada kontraktilitas jantung, detak jantung, dan konduksi atrioventrikuler (AV). 11
20
CCB efektif mengurangi iskemia pasien NSTE-ACS dan iskemia persisten
setelah diterapi dengan dosis penuh nitrat dan beta blocker, sehingga pemakaiannya
direkomendasikan oleh AHA untuk pasien dengan iskemi persisten atau
kontraindikasi beta blocker. 9
b. Anti Koagulan
Antikoagulan parenteral harus diberikan ketika diagnosis NSTE-ACS
ditegakkan, kecuali pasien memiliki kontraindikasi absolut (misalnya perdarahan
yang tidak terkontrol). 9
Pasien NSTE-ACS yang akan menjalani angiografi invasif
dan diindikasikan PCI segera (<24 jam setelah diagnosis) dianjurkan pemberian
antikoagulan parenteral setelah diagnosis, secara historis unfractioned heparin (UFH)
merupakan pilihan terbaik. Enoxaparin dapat dipertimbangkan sebagai alternatif
pengganti UFH. Untuk pasien dengan NSTE-ACS yang diperkirakan tidak akan
menjalani angiografi segera, fondaparinux (dengan bolus UFH pada saat PCI) lebih
disarankan dibandingkan enoxaparin, meskipun enoxaparin harus dipertimbangkan
jika fondaparinux tidak tersedia. 2
21
atrial fibrilasi (AF), atau katup jantung prostetik mekanis harus diberikan warfarin,
kombinasi dengan aspirin dosis rendah jika risiko perdarahan tidak signifikan. 2,10
c. Anti Platelet 11
22
d. Revaskularisasi
Revaskularisasi untuk NSTE-ACS bertujuan mengurangi gejala,
mempersingkat lama rawat inap, dan meningkatkan prognosis. Indikasi dan waktu
revaskularisasi miokard serta pendekatan yang dipilih (PCI atau CABG) bergantung
pada banyak faktor termasuk kondisi pasien, adanya gambaran risiko, penyakit
penyerta, serta luas dan keparahan lesi yang diidentifikasi melalui angiografi
koroner. 9
Meskipun belum banyak penelitian acak yang membandingkan terapi
farmakologis vs revaskularisasi, revaskularisasi PCI dan CABG pada pasien NSTE-
ACS, revaskularisasi koroner direkomendasikan pada pasien dengan penyakit jantung
koronenr (PJK) yang signifikan bila memungkinkan, mengingat tingginya risiko
kekambuhan pada pasien. Umumnya PCI lebih disenangi dan menjadi teknik
revaskularisasi pilihan untuk sebagian besar pasien NSTE-ACS sedangkan CABG
hanya diindikasikan pada 4-10% kasus. 11
CABG direkomendasikan pada pasien dengan masalah pada left main artery
coroner (LMA), pasien dengan gangguan pembuluh darah multipel (melibatkan 3
pembuluh darah epikardial utama atau arteri desenden arterior kiri proksimal
ditambah arteri kedua), dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) < 50% dan/atau
diabetes melitus (DM). Namun beberapa pasien ini dapat pula menjadi kandidat PCI
multivessel. Penggunaan skor SYNTAX membantu memutuskan pilihan PCI atau
CABG. 9–11
Waktu pemilihan tatalaksana invasif dapat dibagi menjadi tiga kelompok: (1)
invasif segera (<2 jam setelah datang ke rumah sakit) pada pasien dengan risiko
sangat tinggi, (2) invasif dini (<24 jam) pada pasien dengan risiko tinggi, dan (3)
pendekatan invasif tertunda (>48 jam) pada pasien pada risiko menengah. Gambar
3.7 merangkum rekomendasi pedoman mengenai waktu pendekatan invasif. 9
2. STEMI
a. Oksigen
23
Pengukuran oksigen perifer direkomendasikan pada semua pasien STEMI.
(buku acs 2018) Pemberian oksigen tidak secara rutin direkomendasikan, dan hanya
diberikan pada pasien dengan hipoksemia signifikan dan terbukti klinis mengalami
gagal jantung, pemberian suplementasi oksigen juga dapat meningkatkan resistensi
pembuluh darah koroner dan menyebabkan peningkatan ukuran infark. 12,13
Oksigen
diindikasikan pada pasien hipoksemia dengan SaO2 <90% atau PaO2 <60 mmHg,
pada pasien dengan edema paru berat, intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis
mungkin diperlukan untuk memperbaiki hipoksemia dan mengurangi kerja
pernapasan. 5,12
b. Farmakoterapi periprosedural 5
24
pemberian antikoagulan IV. Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160-320 mg),
pilihan penghambat P2Y12: ticagrelol dosis loading 180 mg kemudian 2x90 mg/hari,
clopidogrel loading dosis 300 mg kemudian 75 mg/hari.
c. Nitrat
Nitrat sublingual diindikasikan pada sebagian besar pasien SKA mengingat
kemampuannya meningkatkan aliran darah koroner melalui vasodilatasi koroner dan
menurunkan preload ventrikel. Pasien STEMI dengan infark ventrikel kanan atau
dengan hipotensi (TDS <90 mmHg), terlebih diikuti dengan bradikardi merupakan
kontraindikasi pemberian nitrat. 12
d. Analgesik
Meskipun telah banyak analgesik yang diketahui dapat dipakai sebagai pereda
nyeri pada pasien STEMI, morfin masih menjadi pilihan yang paling disenangi
klinisi, kecuali pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap morfin. Dosis awal
morfin 4-8 mg IV dapat diberikan secara IV dilanjutkan dengan dosis 2-8 mg diulang
dalam 5-15 menit hingga nyeri berkurang atau muncul efek samping seperti
hipotensi, deperi pernapasan, atau muntah. Berkurangnya kecemasan dengan
analgesia yang berhasil akan mengurangi kegelisahan pasien dan aktivitas sistem
saraf otonom, akibatnya kebutuhan metabolik jantung menurun, dan kemungkinan
efek menguntungkan pada penyembuhan miokard. 12
e. Revaskularisasi/Reperfusi
Pemilihan strategi bergantung pada waktu pertama kali gejala muncul hingga
diagnosis STEMI ditegakkan dan perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk
memindahkan pasien ke laboratorium kateterisasi dan mendapat reperfusi dengan
PCI. Pemilihan strategi reperfusi berlaku pada pasien STEMI yang datang dengan
onset gejala <12 jam. Terdapat banyak bukti bahwa primary PCI lebih unggul
25
dibandingkan fibrinolysis dalam mengurangi kematian, infark berulang, dan stroke.
Namun dalam beberapa keadaan fibrinolisis dapat dipertimbangkan. 4
Pasien dengan gejala klinis STEMI dalam waktu 12 jam setelah onset dengan
elevasi segmen ST yang persisten atau LBBB baru, atau diduga baru, PCI atau FL
segera harus dilakukan sedini mungkin. Terdapat kesepakatan umum bahwa terapi
reperfusi harus dipertimbangkan jika terdapat bukti klinis atau elektrokardiografi
mengenai iskemia yang sedang berlangsung, atau keduanya, bahkan jika dilaporkan
onset gejala >12 jam yang lalu. Hal ini karena timbulnya gejala yang pasti seringkali
tidak jelas, dan terkadang gejala nyeri dan perubahan EKG tersendat-sendat. Pilihan
antara PCI primer dan fibrinolisis sering kali bertumpu pada perkiraan penundaan
antara pusat kesehatan pertama dan implementasi PCI primer. Jika penundaan ini
diperkirakan >120 menit, maka fibrinolisis menjadi pilihan, idealnya diberikan 30
menit dari pusat kesehatan pertama dapat dilihat pada gambar dibawah ini. 14
Fibrinolisis
Jika staf medis terlatih atau staf kesehatan terkait dapat menafsirkan EKG di
lokasi, atau mengirimkan EKG untuk interpretasi jarak jauh, disarankan untuk
memulai terapi fibrinolitik di lingkungan pra-rumah sakit. Agen spesifik fibrin
(tenecteplase, alteplase, atau reteplase) adalah pilihan. Tujuannya adalah memulai
26
terapi fibrinolitik dalam waktu 10 menit setelah diagnosis STEMI. Inisiasi terapi
fibrinolitik tidak boleh tertunda dengan menunggu hasil pengujian biomarker jantung,
dosis dan kontraindikasi fibrinolisis dapat dilihat pada gambar dibawah. 2
27
f. Tatalaksana Jangka Panjang
Pedoman saat ini merekomendasikan pola makan yang bervariasi, dengan
penyesuaian asupan kalori yang bertujuan untuk menghindari obesitas, peningkatan
konsumsi buah-buahan dan sayuran, bersama dengan sereal dan roti gandum, ikan
(terutama varietas berminyak), daging tanpa lemak, dan produk susu rendah lemak.
Pasien STEMI dengan indeks massa tubuh (IMT) ≥30 kg/m2, atau lingkar pinggang
>102 cm pada pria atau >88 cm pada wanita, sebaiknya mencapai IMT optimal <25
kg/m2. 2,14
Aspirin harus dilanjutkan tanpa batas waktu pada pasien yang menderita
STEMI, umumnya dengan dosis rendah (75-100 mg/hari), pasien yang intoleran
28
terhadap aspirin dapat menggunakan clopidogrel 75 mg/hari sebagai gantinya.
Penggunaan DAPT sebaiknya disesuaikan dengan modalitas pengobatan pasien.
Rivaroxaban dosis rendah (2,5 mg), antagonis faktor Xa oral, terbukti mengurangi
semua penyebab kematian, kematian akibat kardiovaskular, IMA, dan stroke, bila
ditambahkan ke aspirin dan clopidogrel. Selain itu golongan statin harus digunakan
untuk membantu menurunkan kadar LDL, dan TDS dipertahankan <140 mmHg. 2,5
3.1.6 Prognosis
Pronosis SKA dapat bervariasi bergantung oleh beberapa faktor seperti,
luasnya infark, fungsi ventrikel kiri, dan luas CAD. Sekitar 7% pasien SKA
meninggal di Rumah Sakit dan 20% meninggal dalam waktu 2 tahun. 1
3.2.2 Epidemiologi 17
29
Stroke termasuk stroke iskemik dan stroke hemoragik mengenai 13,7 juta
orang/tahun secara global dan merupakan penyebab kematian kedua dengan angka
kematian 5,5 juta/tahun. Sekitar 1 dari 4 orang dewasa akan mengalami stroke di
masa hidupnya, dan ada >80 juta penyintas stroke di dunia.
30
c. Penurunan Perfusi
Hipoperfusi sistemik menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak.
Penyebab yang paling sering adalah masalah pada pompa jantung akibat
infark miokard atau aritmia, dan hipotensi sistemik akibat blood loss atau
hypovolemia. Dalam kasus ini penurunan perfusi bersifat general, berbeda
dengan trombosis dan emboli yang bersifat lokal.
Ketiga mekanisme iskemia otak dapat menyebabkan cedera jaringan sementara atau
permanen, cedera permanen disebut dengan infark. Pembuluh darah kapiler atau
31
pembuluh darah lain dalam jaringan iskemik juga dapat mengalami cedera sehingga
reperfusi dapat menyebabkan kebocoran darah ke dalam jaringan iskemik yang
menyebabkan infark hemoragik.
Tingkat kerusakan otak bergantung dengan lokasi infark dan seberapa lama
perfusi yang buruk terjadi, serta kemampuan oembuluh darah kolateral untuk
memberikan perfusi ke jaringan yang berisiko. Tekanan darah sistemik, volume, dan
kekentalan darah juga mempengaruhi aliran darah ke daerah iskemik. Cedera otak
dan pembuluh darahnya dapat menyebabkan edema otak.
3.2.4 Diagnosis
Gejala klinis stroke meliputi defisit klinis fokal yang muncul secara
mendadak/tiba-tiba dan merujuk pada lokasi di system saraf pusat (SSP). Gejalanya
dapat berupa hemiparesis, hemianestesia (mati rasa pada separuh badan), afasia
(gangguan Bahasa), hemianopia homonym (kehilangan separuh penglihatan yang
sama pada setiap mata), dan kurangnya perhatian hemispatial. 19
32
Penting untuk membedakan diagnosis stroke iskemik dan stroke hemoragik,
namun hal ini tidak bisa dilakukan hanya dengan penilaian klinis saja dan
pemeriksaan radiologi menjadi kunci untuk mendiagnosis. 19
33
Pemeriksaan diffusion-weighted magnetic resonance imaging (MRI) adalah
rangkaian pemeriksaan yang paling sensitif dalam mendeteksi infark iskemik akut
dan dapat menunjukkan jaringan yang mengalami infark dalam beberapa menit
setelah timbulnya stroke, jauh lebih awal dibanding pemeriksaan CT atau MRI yang
lain. 16
3.2.5 Tatalaksana
Tujuan utama tatalaksana pada stroke iskemik adalah perbaikan defisit akut
dan pencegahan stroke sekunder. Selain itu mengurangi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi seperti hipertensi, merokok, kontrol glukosa, dan menurunkan kadar
lipid saat ini juga menjadi tujuan utama. 16
Tatalaksana stroke akut dibagi menjadi 3 bagian besar: tatalaksana fase akut
dengan memulihkan sirkulasi dan menghentikan proses patologis yang sedang
berlangsung, terapi fisik dan rehabilitasi, serta pencegahan stroke. 16
1. Terapi Reperfusi
34
Dengan diperkenalkannya agen trombolitik dan berkembangnya prosedur
endovaskular untuk trombektomi, saat ini tatalaksana stroke akut menekankan pada
pemulihan cepat perfusi pembuluh darah otak yang tersumbat. Dalam proses ini
didominasi dengan penentuan cepat kelayakan pasien untuk mendapat
revaskularisasi/reperfusi melalui intravena atau intra-arteri. 16
a. Trombolisis Intravena
Alteplase dan tenecteplase adalah dua obat utama trombolisis
intravena. Alteplase adalah bentuk rekombinan dari activator plasminogen
jaringan (tPA) yang memecah plasminogen menjadi plasmin, plasmin
kemudian mendegradasi fibrin dan melarutkan trombus. Plasmin dengan cepat
diinaktivasi oleh antiplasmin sehingga memiliki waktu paruh yang pendek
akibatnya alteplase diberikan sebagai bolus awal diikuti dengan infus selama
1 jam. Terapi ini dianggap sebagai trombolitik standar dan
disarankan/ditetapkan secara luas. 16
Waktu optimal pemberian alteplase telah banyak diteliti, hasil uji coba
yang dilakukan National Institute of Neurogical and Communicative
Disorders and Stroke menunjukkan manfaat klinis pemberian alteplase dalam
waktu 3 jam sejak timbulnya stroke (terakhir kali pasien diketahui sehat).
Hasil uji meta-analisis menunjukkan manfaat klinis yang signifikan dengan
pemberian alteplase hinga 4,5 jam pertama setelah onset dan efek terapinya
berkurang jika lebih dari 4,5 jam. Dosis alteplase adalah 0.9 mg/kgBB, 10
persen diberikan secara bolus dan sisanya diberikan secara infus dalam waktu
1 jam. 16
35
Efek samping utama trombolisis adalah perdarahan sehingga selain
jangka waktu pemberian dan bukti radiologis menunjukkan jaringan otak yang
dapat diselamatkan banyak faktor lain yang mempengaruhi kelayakan
trombolisis intravena. 16
b. Trombektomi Endovaskular
Pengangkatan bekuan intravascular secara intra-arteri(trombolisis
intra-arteri) semakin banyak digunakan untuk memulihkan aliran darah pada
pembuluh darah besar yang tersumbat. Pedoman awal terapi trombektomi
endovascular merekomendasikan pengobatan dalam waktu 6 jam setelah
serangan stroke, namun jangka waktunya diperpanjang menjadi 8 jam bahkan
16-24 jam setelah serangan stroke dengan pemilihan pasien yang tepat.
Kriteria utama pemilihan pasien pada beberapa uji coba adalah sumbatan pada
intracranial internal carotid artery, middle cerebral artery, dan anterior
cerebral artery (jarang). 16
Pasien yang tidak memenuhi syarat terapi trombolisis intravena karena
risiko perdarahan sistemik dapat diobati dengan trombektomi endovascular.
Trombektomi endovaskular memiliki kontadiksi yang kecil pada pasien
dengan target sumbatan yang sesuai dan fungsi premorbid yang baik. 19
2. Antiplatelet 19
Pemberian aspirin dalam kurun 48 jam dapat mengurangi risiko stroke
berulang dan meningkatkan outcome. Manfaat aspirin memang lebih kecil
dibandingkan dengan terapi reperfusi namun dapat diterapkan secara luas dan lebih
murah. Clopidogrel sedikit lebih efektif dibandingkan dengan aspirin namun
memiliki harga yang lebih mahal. Kombinasi aspirin dan clopidogrel yang diberikan
36
dalam 12 jam setelak stroke ringan dan TIA yang pemberiannya dilanjutkan selama
sekitar 3 minggu mengurangi kejadian stroke berulang pada pasien dengan risiko
tinggi.
2. Rehabilitasi 16
Idealnya rehabilitasi dimulai segera dalam beberapa hari setelah serangan
stroke terkecuali pada pasien dengan kondisi yang parah. Anggota tubuh yang
lumpuh harus mulai melakukan gerakan pasif beberapa kali dalam sehari, hal ini
bertujuan menghindari kontraktur terutama pada bahu, siku, pinggul, dan pergelangan
kaki. Penilaian terhadap kesulitan menelan juga harus dilakukan sejak dini selama
penyesuain dan pemulihan pola makan, jika terdapat risiko aspirasi pemasangan pipa
nasogastrik dapat dilakukan. Terapi wicara dan bahasa sangat bermanfaat untuk
mengidentifikasi risiko aspirasi dan tentu meningkatkan MORAL pasien dan
keluarganya.
Kebanyakan pasien hemiplegi mendapatkan kembali kemampuan berjalannya
dalam waktu 3-6 bulan dan hal ini menjadi tujuan utama rehabilitasi. Ketika fungsi
motorik membaik dan mentalitas pasien terjaga intruksi aktivitas harian dan
penggunaan alat khusus dapat membantu pasien menjadi lebih mandiri. Penelitian
menunjukkan besarnya intesitas terapi fisik berbanding lurus dengan kemampuan
berjalan dan ketangkasan. Hasil ini dapat dicapai dengan penambahan 30 menit/hari,
5 hari/minggu, selama 20 minggu diluar terapi fisik konvensional yang dikhususkan
pada kaki atau lengan.
3.1.6 Prognosis
Stroke iskemik memiliki prognosis yang lebih baik dibanding stroke
hemoragik. Berdasarkan penelitian kohort Sennfält, ddk (2018) dalam 30 hari setelah
stroke hanya 69,3% pasien stroke hemoragik yang masih hidup dibandingkan pasien
stroke iskemik ada 88,9% pasien. Namun, diantara penyintas 30 hari ini keberlangsungan
hidup jangka panjang antara pasien stroke iskemik dan hemoragik hampir sama. Dalam 5
37
tahun 97% pasien dengan stroke hemoragik meninggal atau memiliki ketergantungan
fungsional sedangkan pada stroke iskemik hanya 70.6%. 21
Risiko berulangnya stroke (iskemik atau hemoragik) pada pasien stroke
iskemik dengan AF dikaitkan dengan skor CHA2DS2-VASc yang tinggi, skor NIHSS
saat masuk tinggi, ukuran infark yang besar, dan jenis antikoagulasi yang digunakan.
38
BAB IV
PEMBAHASAN
Telah diperiksa seorang laki-laki inisial Tn.S usia 47 tahun dengan diagnosis
Infark Cerebri Akut disertai Sindrom Koroner Akut (SKA), pada kesempatan ini akan
dibahas mengenai diagnosis, tatalaksana, dan prognosis masing-masing diagnosis dan
hubungan keduanya.
4.1 Diagnosis
1. Sindrom koroner akut (SKA)
Sindrom koroner akut (SKA) adalah kumpulan tanda dan gejala yang
merupakan karakteristik dari suatu patologi yang mendasari yaitu iskemia miokard
dengan atau tanpa adanya infark. 1
Pasien dengan kecurigaan SKA dibagi menjadi
infark miokard akut (IMA) dan unstable angina (UA), 2
sehingga SKA mencakup
unstable angina (UA), Non ST elevasi myocardial infarction (NSTEMI), dan ST
elevasi myocardial infarction (STEMI). 3
Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada (angina)
tipikal ataupun atipikal. Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat di daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung selama beberapa menit atau bertahan
hingga > 20 menit. Keluhan angina tipikal sering disertai keringat dingin,
mual/muntah, nyeri perut, sesak napas, dan sinkop. Sedangkan keluhan angina
atipikal berupa nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan, atau
sesak napas yang sulit dijelaskan. 5 Pada kasus ditemukan gejala angina tipikal
nyeri dada tembus ke belakang, muncul saat aktivitas, durasi +- 15 menit,
disertai berkeringat dingin, berkurang dengan istirahat.
39
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan dengan EKG awal. Pemeriksaan fisik
pasien SKA berfungsi untuk menyingkirkan diagnosis banding dan identifikasi risiko
tinggi pasien SKA. Penilaian ketidakstabilan hemodinamik dan elektrisitas, dan
tanda-tanda serangan jantung perlu dibuat dan ditatalaksana secara cepat.
Pemeriksaan ini berfokus pasa denyut nadi besar (utama), pengukuran tekanan darah
pada kedua lengan, auskultasi jantung dan paru, serta penilaian tanda-tanda gagal
jantung. 2,4
Pada pasien tidak tambak adanya tanda-tanda kegagalan hemodinamik
dimana TD?, dan denyut jantung masih ?
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram (EKG) istirahat 12 sadapan adalah alat diagnostik lini
pertama SKA pada pasien yang dicurigai SKA, pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan
dalam 10 menit pertama pasien tiba di unit gawat darurat (UGD) atau pada kontak
pertama dengan tim medis UGD pada periode pre rumah sakit. Penilaian elevasi
segmen ST dilakukan pada titik J dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan,
depresi segmen ST resiprokal (sadapan yang berhadapan pada permukaan tubuh
elevasi segmen ST) dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di
mid-anterior (elevasi di V3-V6). 5 Pada pasien dilakukan pemeriksaan EKG istirahat
dengan kesan ST elevasi di lead V2-V4 dan Q patologis di lead V2-V4 hal ini
menegakkan diagnosis SKA: STEMI.
Pengukuran biomarker cedera miokardium, troponin dengan sensitivitas
tinggi, wajib dilakukan pada semua pasien dengan dugaan SKA. 4 Jika gambaran
klinis mengarah ke iskemik miokard, peningkatan dinamis troponin diatas persentil
99 inidvidu sehat menunjukkan IMA. Kadar troponin jantung pada pasien IMA
meningkat dengan cepat (sekitar 1 jam setelah onset, jika menggunakan alat
sensitivitas tinggi) dan tetap meningkat dalam jangka waktu yang lama, biasanya
beberapa hari. 4
Pada pasien dilakukan pengukuran biomarker troponin T
beberapa hari setelah onset gejala dengan hasil 658 dimana peningkatan ini
40
sangat signifikan. Sehingga diagnosis infark miokard akut dapat ditegakkan.
Respon leukosit selama fase akut infark miokard dianggap sebagai ekspresi reaktan
fase akut. Respons ini dipicu oleh kerusakan nekrotik, dan dianggap sebagai
komponen utama dari proses reparatif. Oleh karena itu, semakin besar area nekrosis
miokard, semakin besar pula respons leukosit pada tingkat sistemik dan lokal. 24 Pada
kasus terjadi peningkatan leukosit hingga 14.000, yang menandakan fase akut
infark miokard.
Coronary Angiography adalah pemeriksaan baku emas untuk membuktikan
atau menyingkirkan diagnosis coronary artery disease (CAD), dan untuk menilai
karakteristik dan lokasi lesi penyebab atau lesi lain yang berpotensi membutuhkan
revaskularisasi seperti pada gambar dibawah. 2
Pemeriksaan ini memberikan
informasi mengenai keberadaan dan keparahan CAD sehingga dianjurkan segera
dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis
banding yang tidak jelas. 4
Revaskularisasi koroner dengan metode percutaneous
coronary intervention disarankan pada hampir semua pasien SKA dan dilaksanakan
segera setelah pemeriksaan diagnostik coronary angiography. 2
Angiografi pada
kasus dilakukan setelah dipastikan bahwa ini bukan kasus stroke perdarahan dengan
hasil LAD stenosis 90-95%, LCX stenosis 20-30% dengan kesan CAD 2 VD.
2. Infark Cerebri
Stroke didefinisikan sebagai disfungsi neurologis mendadak akibat gangguan
pasokan darah, oksigen, dan glukosa ke otak. (the hospital neurology) Stroke iskemik
didefinisikan sebagai adanya infark pada otak, tulang belakang atau retina. (adams)
Stroke termasuk stroke iskemik dan stroke hemoragik mengenai 13,7 juta orang/tahun
secara global dan merupakan penyebab kematian kedua dengan angka kematian 5,5
juta/tahun. 17
41
Gejala klinis stroke meliputi defisit klinis fokal yang muncul secara
mendadak/tiba-tiba dan merujuk pada lokasi di sistem saraf pusat (SSP). Gejalanya
dapat berupa hemiparesis, hemianestesia (mati rasa pada separuh badan), afasia
(gangguan Bahasa), hemianopia homonim (kehilangan separuh penglihatan yang
sama pada setiap mata), dan kurangnya perhatian hemispatial. 19
Gejala klinis yang ditemukan pada pasien adalah penurunan kesadaran dan
kelemahan anggota gerak separuh badan secara tiba-tiba, dimana pada
pemeriksaan motorik ditemukan penurunan kekuatan motorik anggota gerak kiri
menjadi 1/1.
Pemeriksaan Penunjang
Dalam pembuatan diagnosis stroke penting untuk membedakan stroke
iskemik dan stroke hemoragik, namun hal ini tidak bisa dilakukan hanya dengan
penilaian klinis saja dan pemeriksaan radiologi menjadi kunci untuk mendiagnosis.
Computed tomography (CT) kepala non kontras merupakan pemeriksaan yang paling
mudah dan tersedia secara luas untuk membedakan stroke iskemik akut dengan
intracerebral hemorrhage (ICH). 20
Pada pasien dilakukan pemeriksaan CT kepala
non kontras dengan kesan curiga infark hiperakut lobus frontal kanan dan tidak
tampak perdarahan intrakanial. Sesuai dengan teori dimana infark tidak
menyebabkan perubahan yang konsisten pada CT kepala non kontras dalam 6 jam
pertama setelah timbulnya stroke, infark dicurigai bila pasien memiliki defisit
nerurologis secara tiba-tiba dengan temuan CT yang normal. 19
4.2 Tatalaksana
4.2.1 Tatalaksana SKA
Primary PCI adalah pilihan terapi yang lebih disukai bila dapat dilakukan
dengan cepat oleh tim berpengalaman termasuk ahli jantung intervensi dan staf yang
terampil. 4 Tatalaksana yang diberikan pada kasus berupa reperfusi/revaskularisasi
menggunakan teknik PCI, PCI dikerjakan bersamaan dengan teknik diagnostik
42
CAG. Sesuai dengan teori PCI yang dapat dikerjakaan bersamaan dengan teknik
diagnostik CAG merupakan fitur yang disenangi oleh klinisi, selain itu PCI
memberikan hasil awal dan tingkat pengurangan komplikasi yang baik. 25
Aspirin harus dilanjutkan tanpa batas waktu pada pasien yang menderita
STEMI, umumnya dengan dosis rendah (75-100 mg/hari), pasien yang intoleran
terhadap aspirin dapat menggunakan clopidogrel 75 mg/hari sebagai gantinya.
Penggunaan DAPT sebaiknya disesuaikan dengan modalitas pengobatan pasien.
Rivaroxaban dosis rendah (2,5 mg), antagonis faktor Xa oral, terbukti mengurangi
semua penyebab kematian, kematian akibat kardiovaskular, IMA, dan stroke, bila
ditambahkan ke aspirin dan clopidogrel. Selain itu golongan statin harus digunakan
untuk membantu menurunkan kadar LDL, dan TDS dipertahankan <140 mmHg. 2,5
Pada pasien diberikan DAPT asam asetilsalisilat 1x80 mg, dan clopidogrel 1x75
mg, serta rosuvastatin 20mg yang merupakan golongan statin.
4.3 Prognosis
43
4.3.1 Prognosis SKA
Pronosis SKA dapat bervariasi bergantung oleh beberapa faktor seperti,
luasnya infark, fungsi ventrikel kiri, dan luas CAD. Sekitar 7% pasien SKA
meninggal di Rumah Sakit dan 20% meninggal dalam waktu 2 tahun. 1
Pedoman
American Heart Association/American College of Cardiology saat ini
merekomendasikan skor GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events) dan
TIMI (Trombolisis pada Infark Miokard) untuk menilai prognosis infark miokard
(MI). Perubahan karakteristik epidemiologi MI dan ketersediaan biomarker baru
memerlukan penilaian terhadap kinerja skor ini dalam praktik kontemporer. Pada
pasien hasil skor TIMI adalah 4 yang artinya risiko mortalitas dalam 30 hari
sebesar 7,3% , sedangkan skor GRACE pasien adalah 80 poin artinya
kemungkinan meninggal sebesar 2%.
44
saat masuk tinggi, ukuran infark yang besar, dan jenis antikoagulasi yang digunakan.
Skor NIHSS >25 masuk dalam kategori stroke sangat berat, 15-24 kategori stroke
berat, 5-14 stroke ringan-sedang, dan skor <5 stroke ringan. 16
45
CCI diklasifikasikan menjadi 3 tipe. Tipe pertama infark cerebri dan infark
miokard terjadi dalam waktu yang bersamaan dan terjadi secara simultan didiagnosis
dengan adanya defisit neurologis fokal akut menandakan stroke akut, dan nyeri dada
dengan peningkatan enzim jantung dan perubahan EKG yang mengindikasikan infark
miokard. Tipe 2 adalah stroke iskemik akut setelah kejadian infark miokard baru-baru
ini (3 bulan sebelumnya). Tipe ketiga adalah infark miokard akut setelah kejadian
stroke iskemik baru-baru ini (3 bulan sebelumnya). 27 Berdasarkan teori pasien
diklasifikasikan sebagai CCI tipe 1 dimana kejadian stroke iskemik akut dan
infark miokard akut terjadi secara bersamaan.
Insiden dan prevalensi stroke iskemik akut dan infark miokard akut secara
bersamaan masih belum diketahui karena jarang ditemukan. Namun, insiden yang
dilaporkan dalam studi observasional dan laporan kasus menemukan bahwa 58%
pada pasien dengan stroke iskemik akut atau TIA mengalami CAD, dan telah
dilaporkan sebesar 12,7% kejadian CCI pada geriatri yang diskrinning untuk infark
miokard akut dalam 72 jam setelah masuk rumah sakit akibat stroke iskemik. 28
46
akut seperti gambar dibawah. Penggunaan PCI dan pemasangan stent memerlukan
infus heparin peri prosedural dan pemberian DAPT jangka panjang, hal ini dikaitkan
dengan peningkatan risiko hemoragik pada pasien stroke iskemik akut, namun bukti
klinis jangka panjang mengenai hal ini belum jelas. 28
47
Secara khusus, perdarahan intrakranial (ICH) merupakan kekhawatiran utama
karena berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Dalam
percobaa PLATO, kejadian ICH pada pasien yang diobati dengan ticagrelor adalah
0,34% dan 0,19% pada pasien yang diobati dengan clopidogrel. Jika terjadi CCI,
risiko ICH pasti akan lebih besar dan dengan demikian semakin mempersulit proses
pengambilan keputusan. Tidak ada bukti uji coba yang mendukung keamanan PCI
pada pasien CCI namun ada beberapa laporan CCI simultan dengan pendekatan
manajemen yang berbeda-beda. Seri kasus oleh Tobias, dkk. menyimpulkan bahwa
PCI aman pada pasien dengan stroke/TIA dan sindrom koroner akut bersamaan
dengan kejadian ICH yang lebih rendah pada pasien yang menjalani PCI. 30 Ada
beberapa strategi untuk menghindari perdarahan akibat PCI dapat dilihat pada gambar
dibawah. 31
48
49
BAB V
KESIMPULAN
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Sunderland N. Acute Coronary Syndrome. In: Camm CF, Camm AJ, editors. Clinical Guide
to Cardiology. 1st ed. Chicester: Jonh wiley and Sons, Ltd; 2016. p. 119–37.
2. Byrne RA, Rossello X, Coughlan JJ, Barbato E, Berry C, Chieffo A, et al. 2023 ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes. Eur Heart J. 2023 Oct
7;44(38):3720–826.
3. Baber U, David Holmes, Jonathan Halperin, Valentin Fuster. DEFINITIONS OF ACUTE
CORONARY SYNDROMES. In: Hurst’s The Heart. 14th ed. New York: McGraw-Hill
Education; 2017. p. 946–52.
4. James S. Acute Coronary Syndrome. In: The ESC Textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd
ed. Oxford: Oxford University Press; 2019. p. 1209–74.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut. 4th ed. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI);
2018.
6. Sarat Chandra K, Swamy A. Acute Coronary Syndromes. Chandra KS, Swamy A, editors.
CRC Press; 2020.
7. Gulati M, Levy PD, Mukherjee D, Amsterdam E, Bhatt DL, Birtcher KK, et al. 2021
AHA/ACC/ASE/CHEST/SAEM/SCCT/ SCMR Guideline for the Evaluation and Diagnosis
of Chest Pain: A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association
Joint Committee on Clinical Practice Guidelines. Vol. 144, Circulation. Lippincott Williams
and Wilkins; 2021. p. E368–454.
8. Thygesen K, Joseph S Alpert, Allan S Jaffe, Harvey D White. The universal definition of
myocardial infarction. In: The ESC Textbook of Intensive and Acute Cardiovascular Care.
2nd ed. Oxford: Oxford University Press; 2015. p. 356–64.
9. GIUGLIANO RP, EUGENE BRAUNWALD. Non–ST Elevation Acute Coronary
Syndromes. In: BRAUNWALD’S HEART DISEASE A TEXTBOOK OF
CARDIOVASCULAR MEDICINE. 14th ed. Philadelphia: Elsevier; 2022. p. 714–36.
10. Moliterno DJ, James L. Januzzi Jr. Evaluation and Management of Non–ST-Segment
Elevation Myocardial Infarction. In: Hurst’s The Heart. 14th ed. New York : McGraw Hill
Education; 2017. p. 995–1014.
11. Bueno H, José A Barrabés. Non-ST-segment elevation acute coronary syndromes. In: The
ESC Textbook of Intensive and Acute Cardiovascular Care. 2nd ed. Oxford: Oxford
University Press; 2015. p. 409–19.
51
12. BOHULA EA, DAVID A. MORROW. ST- Elevation Myocardial Infarction: Management.
In: BRAUNWALD’S HEART DISEASE A TEXTBOOK OF CARDIOVASCULAR
MEDICINE. 12th ed. Philadelphia: Elsevier; 2022. p. 662–710.
13. Manesh R. Patel, Mandeep Singh, Bernard J. Gersh, William O’Neill. ST-Segment Elevation
Myocardial Infarction. In: Hurst’s The Heart. 14th ed. New York: McGraw Hill Education;
2017. p. 1017–49.
14. Cheong A, Gabriel Steg, Stefan K James. ST-segment elevation myocardial infarction. In:
The ESC Textbook of Intensive and Acute Cardiovascular Care. 2nd ed. Oxford: Oxford
University Press; 2015. p. 372–84.
15. Schneck M, Karen Orjuela, Clio Rubinos. Stroke Neurology. In: The Hospital Neurology
Book. New York: McGraw-Hill Education; 2016. p. 187–210.
16. Ropper AH, Samuels MA, Klein J, Prasad S. Stroke and Cerebrovascular Diseases: Adams
and Victor’s PRINCIPLES OF NEUROLOGY. 20th ed. New York: McGraw Hill LLC.;
2023. 772–871 p.
17. Caplan LR. Caplan’s Stroke: A Clinical Approach. 5th ed. Cambridge: Cambridge University
Press; 2016.
18. Biller J, Schneck MJ, Ruland S. Ischemic Cerebrovascular Disease. In: BRADLEY and
DAROFF’S NEUROLOGY in Clinical Practice. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2022. p. 964–
1013.
19. Campbell BCV, De Silva DA, Macleod MR, Coutts SB, Schwamm LH, Davis SM, et al.
Ischaemic stroke. Nat Rev Dis Primers. 2019 Dec 1;5(1).
20. Esenwa CC, Mayer SA. Acute Ischemic Stroke. In: Merritt’s Neurology. 14th ed. Singapore:
Wolters Kluwer; 2022. p. 1138–87.
21. Norrving B. Oxford Textbook of Stroke and Cerebrovascular Disease. 1st ed. Oxford: Oxford
University Press; 2014.
22. Grotta JC, Gregory W. Albers, Joseph P.Broderick, Arthur L.Day, Scott E. Kasner, Eng H. Lo,
et al. Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and Management. 7th ed. Philadelphia: Elsevier;
2022.
23. Campbell BCV, De Silva DA, Macleod MR, Coutts SB, Schwamm LH, Davis SM, et al.
Ischaemic stroke. Nat Rev Dis Primers. 2019 Dec 1;5(1).
24. Núñez J, Núñez E, Sanchis J, Bodí V, Llàcer A. Prognostic Value of Leukocytosis in Acute
Coronary Syndromes: The Cinderella of the Inflammatory Markers. Vol. 13, Current
Medicinal Chemistry. 2006.
52
25. David A. Morrow, James De Lemos. Stable Ischemic Herat Disease. In: Braunwald’s Heart
Disease a Textbook of Cardiovascular Medicine. 12th ed. Philadelpia: Elsevier; 2022. p. 739–
81.
26. Lee K, Park W, Seo KD, Kim H. Which one to do first?: a case report of simultaneous acute
ischemic stroke and myocardial infarction. Journal of Neurocritical Care. 2021 Dec
1;14(2):109–12.
27. Habib M. Cardio-Cerebral infarction syndrome: definition, diagnosis, pathophysiology, and
treatment. J Integr Cardiol. 2021;7(1).
28. Ibekwe E, Kamdar HA, Strohm T. Cardio-cerebral infarction in left MCA strokes: a case
series and literature review. Neurological Sciences. 2022 Apr 1;43(4):2413–22.
29. Habib M, Alhout S. Concurrent Cardio-Cerebral Infarction: Meta-Analysis. Mathews J Case
Rep. 2023 Jan 1;8(2).
30. Hon Yong T, Hao Jason See iD J, Wah Liew iD B. STEMI during Cardiocerebral Infarction
(CCI): Is it Safe to Perform Primary Percutaneous Coronary Intervention? 2022;
31. Capodanno D, Bhatt DL, Gibson CM, James S, Kimura T, Mehran R, et al. Bleeding
avoidance strategies in percutaneous coronary intervention. Vol. 19, Nature Reviews
Cardiology. Nature Research; 2022. p. 117–32.
53