Anda di halaman 1dari 31

Case Report Session

NSTEMI (Non-ST segment Elevation Myocardial Infarction)

Disusun Oleh:

Sri Yulia Esti 1940312009


Fajria Khalida 1940312010
Hendi Rinaldi 1940312064
Sri Fadilla 1940312054
Radya Andhika Bagaskara 1940312056

Preseptor :
dr. Kino, Sp.JP (K)

BAGIAN ILMU KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II ILUSTRASI KASUS ............................................................................3
BAB III DISKUSI ...........................................................................................12
BAB IV KESIMPULAN .................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................27

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian di dunia.
Diperkirakan terdapat 17,9 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskuler
pada tahun 2015.1 Sindroma koroner akut merupakan salah satu penyakit
kardiovaskuler yang cukup sering ditemui. Penyakit ini terjadi akibat adanya
penyumbatan aliran arteri koroner yang dapat menyebabkan kurangnya asupan
oksigen ke miokard bahkan dapat berujung pada kematian jaringan miokard atau
nekrosis.2 World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 melaporkan
penyakit kardiovaskuler menyebabkan 17,5 juta kematian atau sekitar 31% dari
keseluruhan kematian secara global dan yang diakibatkan sindrom koroner akut
sebesar 7,4 juta.3
Sindroma koroner akut ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dan pemeriksan biomarka jantung.
Sindroma koroner akut dapat dibagi menjadi 1) UAP (unstable angina pectoris);
2) NSTEMI (Non-ST segment Elevation Myocardial Infarction); dan 3) STEMI
(ST Segment Elevation Myocardial Infarction).4
Diagnosis NSTEMI dan UAP ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten. NSTEMI dan UAP
dibedakan berdasarkan hasil pemeriksaan biomarka jantung. Bila hasil
pemeriksaan biokimia biomarka jantung terjadi peningkatan yang bermakna,
maka diagnosisnya adalah NSTEMI, sedangkan jika biomarka jantung tidak
meningkat secara bermakna maka diagnosisnya adalah UAP.4
Langkah awal untuk mengatasi masalah SKA adalah pemberian terapi
inisial sedini mungkin untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan jantung
yang lebih luas. Terapi awal yang dapat diberikan adalah MONA (morfin,
oksigen, nitrat, dan aspirin) atau dikenal juga sebagai MONACO (dengan
tambahan pemberian Clopidogrel, suatu inhibitor reseptor ADP).4

1
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, diagnosis, dan
penatalaksanaan pada kasus Non-ST Segment Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI).
1.3 Tujuan Penulisan
Menambah pengetahuan mengenai Non-ST Segment Elevation Myocardial
Infarction (NSTEMI).

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini disusun dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk
pada berbagai literatur.

2
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas
- Nama : Tn. AN
- Umur/Tanggal Lahir : 48 Tahun / 8 Nobember 1961
- Kelamin : Laki-laki
- Pekerjaan : Pedagang
- Nomor RM : 01.02.15.21
- Tanggal Pemeriksaan : 28 Oktober 2019
- Alamat : Jln Wirasakti no 1-54, Surau Gadang Nanggalo,
Padang
- Status Perkawinan : Sudah Menikah
- Negeri Asal : Indonesia
- Agama : Islam
- Nama Ibu Kandung : Ny. Y
- Suku : Minang
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
 Nyeri dada yang meningkat sejak 1 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


 Nyeri dada meningkat sejak 1 jam SMRS, dirasakan di bagian tengah dada
seperti diremas, menjalar ke punggung, dan berdurasi sekitar >30 menit lebih
dan tidak membaik dengan obat bawah lidah. Keringat dingin (+), mual (+),
muntah (-), pingsan (-)
 Riwayat nyeri dada sebelumnya (+), hilang timbul sejak tahun 2017, pada
bulan Juni pasien sudah pernah dilakukan pemasangan 1 stent di RSUP Dr.
M. Djamil Padang. Sejak itu pasien rutin kontrol ke Sp.JP dan mendapat obat
NTG 500 mcg, ISDN 5 mg, Aspilet 1x80 mg, Bisoprolol 1x5mg, namun ± 1
tahun terakhir pasien tidak lagi mengonsumsi obat tersebut. Dalam 2 bulan ini
pasien mengalami kenaikan BB yang signifikan (8 kg) karena makan yang
tidak terkontrol.

3
 Sesak napas (-), Riwayat Sesak napas (-), DOE (-) sesak saat beraktivitas
berat, dan naik tangga, PND (-), ortopneu (-)sembab kaki (-).
 Berdebar-debar (-), pusing (-), pingsan (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


 Stroke (-)
 Asma (-)
 Gastritis (-)

Faktor Risiko CAD


Tidak Dapat dimodifikasi Dapat dimodifikasi
Usia (48 tahun) Hipertensi (+) sejak 3 tahun yang lalu,
kontrol tidak teratur
Jenis kelamin (laki-laki) Dislipidemia (+)
FH (+) riwayat hipertensi Smoker (+) bungkus sehari sejak SMP,
dan stroke pada kedua orang berhenti 2 tahun yang lalu
tua pasien
Obesitas (+)  IMT = 25,7 kg/m2
DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluarga hipertensi dan stroke (+), yaitu kedua orang tua pasien,
ayah sudah meninggal

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan


 Pasien seorang pedagang, perokok berat (Indeks Brinkman = 1118)

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
 Keadaan Umum : sedang
 Kesadaran : CMC
 Tekanan Darah : 104/61 mmHg
 Nadi : 74 kali/menit
 Suhu : 370 C

4
 Pernafasan : 20 kali/menit
 Saturasi O2 : 98%
 Tinggi Badan : 165 cm
 Berat Badan : 70 kg
 IMT : 25,7 kg/m2
 Kulit : Tidak ada kelainan
 KGB : Tidak ada pembesaran KGB superfisial
 Kepala : Normosefal, simetris
 Rambut : Tidak ada kelainan
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-.
 Telinga : Tidak ada kelainan
 Hidung : Tidak ada kelainan
 Tenggorokan : Tidak ada kelainan
 Gigi dan Mulut : Tidak ada caries dentis
 Leher : JVP 5 + 0 cmH2O
 Paru:
o Inspeksi :Bentuk dada normal
Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
o Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
o Perkusi : Sonor
o Auskultasi : Suara nafas vesikular, rhonki -/-, wheezing -/-
 Jantung:
o Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi : Iktus kordis teraba di 2 jari lateral LMCS RIC V
o Perkusi : Batas atas jantung RIC II sinistra, kanan di LSD, kiri di 2
jari lateral LMCS RIC V
o Auskultasi : S1 dan S2 reguler, Murmur (-),Gallop (-)
 Perut:
o Inspeksi : Distensi (-)
o Palpasi : Supel, NT (-), NL (-), H/L tidak teraba
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : BU (+) N

5
 Ekstremitas : Akral Hangat, CRT 2 detik, pitting edema (-) kedua
tungkai

2.4 Pemeriksaan Penunjang


EKG

o Irama : Sinus Bradikardi


o Frekuensi : 50 kali per menit
o Axis : Normal
o Gelombang P : Normal
o PR Interval : 0,14 detik
o QRS Duration : 0,08 detik
o ST Segment : slight elevasi di II, III, aVF
o Gelombang T : normal
o Kelainan : LVH (-), RVH (-)

6
Foto Polos Thorax

CTR 60%, infiltrat (-), kranialisasi (-), Apex jantung tertanam, segmen Aorta
normal, segmen Pulmonal normal, Pinggang jantung (+)

Laboratorium

27/10/19 28/10/19
Hb 12,4 mg/dl
Leukosit 10.400 /mm3
Trombosit 360.000/mm3
Hematokrit 38 %
GDS 133 mg/dl
Natrium 140 mmol/L
Kalsium 9,0 mg/dl
Kalium 3,7 mmol/L
Klorida Serum 109 mmol/L
Troponin I 96 ng/L 256 ng/L
Total Kolesterol 261 mg/dl
HDL 41 mg/dl
LDL 149 mg/dl
Trigiliserida 356 mg/dl
Ur/ Cr 39/1,0 mg/dl
HbsAg Non reaktif

7
Pemeriksaan Penunjang Lainnya
o TIMI Score
 Usia 48 tahun (0)
 > 3 faktor risiko (1)
 Penggunaan ASA dalam 7 hari terakir (1)
 Stenosis 50% pada angiogram sebelumnya (0)
 2 episode nyeri saat istirahat dalam 24 jam (1)
 Deviasi segmen ST > 1mm (0)
 Peningkatan marka jantung (1)
Skor TIMI 4/7
o Grace Score
 Usia 48 tahun (18)
 Denyut jantung 56 kali/ menit (0)
 TD sistol 154 (26)
 Kreatinin 1,0 mg/dl (2)
 Killip (8)
 Henti Jantung saat tiba di RS (0)
 Deviasi segmen ST (30)
 Peningkatan marka jantung (15)
 Grace Skor: 99

2.5 Diagnosis Kerja


 UAP dd NSTEMI TIMI Score 4/7 Grace Score 99
 Riwayat PTCA 1 Stent DES di mid LAD + POBA di D1 pada CAD 1 VD
(complete revasc) (2017)
 Hipertensi stage I
2.6 Terapi
 Loading ASA 160 mg
 Loading Clopidogrel 300 mg
 ASA 1 x 80 mg
 Clopidogrel 1 x 75 mg
 Antikoagulan sesuai CCT

8
2.7 Follow up
Tanggal Hasil Pemeriksaan Terapi
27/10/19 S/Nyeri dada menurun
O/KU : Sedang
Kes : CMC
TD : 178/99 mmHg
HR : 56x/i
RR : 18x/i
Jantung : S1 S2 Reguler,
Murmur (-) Gallop (-)
PARU : SN Vesikuler
+/+, Rh -/- wh -/-
Extremitas : Hangat,
edema -/-
A/ NSTEMI TIMI 4/7
GS 97
HT stage 2
Riwayat ptca 1 stent
2017
P/ Cath (30/10/2019)
Cek profil lipid
(28/10/2019)
28/10/19 S/Nyeri dada menurun IVFD RL 500cc/24 jam
O/KU : Sedang Drip NTG 10mcg/i
Kes : CMC Aspilet 1x80 mg
TD : 131/78 mmHg Clopidogrel 1 x 75 mg
HR : 56x/i Atrovastatin 1x 40 mg
RR : 20x/i Ramipril 1x5 mg
Jantung : S1 S2 Reguler, Bisoprolol 1x5 mg
Murmur (-) Gallop (-) Laxadin 1x10cc
PARU : SN Vesikuler Lansoprazole 1x30 mg
+/+, Rh -/- wh -/- Lovenox 2x0,6cc
Extremitas : Hangat,
edema -/-
A/ NSTEMI TIMI 4/7
GS 97 dengan dynamic
ST-T Changes
Hipertensi Stage 1
Riwayat ptca 1 stent
2017 di mid LAD
POBA di D1 pada CAD
IVD
P/ Cath (30/10/2019)

29/10/19 S/Nyeri dada (-) IVFD RL 500cc/24 jam

9
O/KU : Sedang Drip NTG 10mcg/i
Kes : CMC Aspilet 1x80 mg
TD : 104/61 mmHg Clopidogrel 1 x 75 mg
HR : 74x/i Atrovastatin 1x 40 mg
RR : 20x/i Ramipril 1x5 mg
Jantung : S1 S2 Reguler, Bisoprolol 1x5 mg
Murmur (-) Gallpo (-) Laxadin 1x10cc
PARU : SN Vesikuler Lansoprazole 1x30 mg
+/+, Rh -/- wh -/- Lovenox 2x0,6cc
Extremitas : Hangat,
edema -/-
A/ NSTEMI TIMI 4/7
GS 97 dengan dynamic
ST-T Changes
Riwayat ptca 1 stent
2017 di mid LAD
POBA di D1 pada CAD
IVD
P/ Cath (30/10/2019)

30/10/2019 S/Nyeri dada (-) IVFD RL 500cc/24 jam


O/ KU : Sedang Aspilet 1x80 mg
Kes : CMC Clopidogrel 1 x 75 mg
TD : 131/80 mmHg Atrovastatin 1x 40 mg
HR : 74x/i Ramipril 1x5 mg
RR : 20x/i Bisoprolol 1x5 mg
Jantung : S1 S2 Reguler, Laxadin 1x10cc
Murmur (-) Gallpo (-) Lansoprazole 1x30 mg
PARU : SN Vesikuler
+/+, Rh -/- wh -/-
Extremitas : Hangat,
edema -/-
A/ NSTEMI TIMI 4/7
GS 97 dengan dynamic
ST-T Change
Riwayat PTCA di mid
LAD, poba DI d1 pada
CAD IVD (2017)
HT Stage II (terkontrol)
P/ PCI (30/10/2019)
30/10/2019 (Cath Lab) S/Nyeri dada (-)
O/ KU : Sedang
Kes : CMC
TD : 140/90 mmHg
HR : 67x/i
RR : 20x/i
Telah dilakukan PTCA 1
Stent dari distal RCA

10
(Critical stenosis di
Distal RCA pada CAD
3VD. Timi flow 3 MBG
3.
Masalah (-)
Komplikasi (-)
A/ Post PTCA 1 stent di
distal RCA pada CAD 3
VD
P/ Cek Ur/Cr
(31/10/2019)

11
BAB III
DISKUSI KASUS
Seorang pasien laki-laki usia 48 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tanggal 26 Oktober 2019 pukul 23.00 WIB dengan diagnosis
klinis awal pasien adalah Unstable Angina Pectoris (UAP) dd NSTEMI.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

Anamnesis
Pasien Tn. AN datang dengan keluhan utama nyeri dada yang memberat 1
jam sebelum masuk rumah sakit. Pada pasien dengan keluhan nyeri dada perlu
kita tanyakan lebih lanjut perihal nyeri dada tersebut, yaitu :
‒ S (Site) : dimana lokasi nyeri, apakah bisa ditunjuk dengan satu jari
‒ O (Onset) : sejak kapan nyeri, onset diambil dari kapan nyeri terhebat
‒ C (Characteristic) : tajam, seperti diremas, ditekan
‒ R (Radiation) : apakah nyeri menjalar ke lengan, leher, punggung
‒ A (Association) : apakah ada gejala penyerta seperti mual muntah, pusing,
palpitasi
‒ T (Timing) : apakah nyeri bervariasi dalam satu hari
‒ E (Exacerbating and relieving factor) : apakah nyeri membaik dengan
bernapas, postur
‒ S (Severity) : apakah nyeri mengganggu aktivitas harian atau tidur

Dari hasil anamnesis didapatkan nyeri dada yang dirasakan Tn. AN dirasakan
di bagian tengah dada, memberat sejak 1 jam sebelum masuk RS, nyeri seperti
diremas, menjalar ke punggung, dan berdurasi sekitar >30 menit lebih, disertai
keringat dingin dan mual, nyeri meningkat dengan aktivitas dan saat itu nyeri
tidak berkurang walaupun sudah beristirahat.

UAP, NSTEMI (Non-Segment ST Elevation Myocardial Infarction) dan


STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction) merupakan kelompok Sindroma
Koroner Akut (SKA) yang menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. World
Health Organization (WHO) pada tahun 2015 melaporkan penyakit
kardiovaskuler menyebabkan 17,5 juta kematian atau sekitar 31% dari

12
keseluruhan kematian secara global dan yang diakibatkan sindrom koroner akut
sebesar 7,4 juta. 3 Sebagian besar pasien Sindroma Koroner Akut (SKA) datang
dengan nyeri dada seperti terasa berat, rasa seperti ditekan atau dicengkram di
belakang sternum, bisa menjalar ke rahang, bahu, punggung atau lengan. Namun,
pada usia lanjut (> 75 tahun), wanita dan diabetes, keluhannya tidak khas.
Biasanya pasien datang dengan keluhan yang atipikal seperti sinkope, lemas,
delirium dan sering disertai dengan gagal jantung. Oleh karena itu, pada pasien
dengan keluhan nyeri dada perlu ditanyakan beberapa. 5

Presentasi angina pada SKA :


1. Angina Tipikal persisten selama lebih dari 20 menit (80% pasien)
2. Angina awitan baru (de novo) Kelas III (20% pasien)
3. Angina stabil yang destabilisasi (angina kresendo/ progresif) yaitu angina
yang makin lama, lebih sering, atau menjadi berat, minimal Kelas III pada
klasifikasi CCS.
4. Angina pascainfark-miokard (terjadi dalam 2 minggu setelah infark
miokard).4

Nyeri yang terjadi pada pasien ini disebabkan adanya proses iskemik sel-
sel miokardium akibat trombus yang menyumbat arteri koroner dari plak
ateroskelosis yang ruptur.

Gambar 3.1. Proses terbentuk trombus.6

13
Pada SKA, plak aterosklerosis yang telah terbentuk sejak usia lebih dari 10
tahun dapat mengalami ruptur akibat perubahan komposisi plak dan penipisan
tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut. Hal tersebut akan mengaktifkan jalur
koagulasi dan menyebabkan pembentukan agregasi platelet sehingga terbentuklah
trombus. Trombus inilah yang menyumbat lumen arteri koroner sehingga aliran
darah dapat terhambat, baik secara parsial maupun total.4 Menurunnya aliran
darah arteri koroner menyebabkan berkurangnya perfusi ke miokardium. Hipoksia
yang terjadi pada miokardium akan meningkatkan metabolisme anaerob yang
akan melepaskan mediator seperti adenosin dan laktat sehingga terjadi asidosis
intraseluler. Keadaan ini akan menyebabkan kromatin menggumpal dan terjadi
denaturasi protein. Mediator seperti adenosin dan laktat akan dihantarkan ke
ujung-ujung saraf aferen terus- menerus sehingga menimbulkan sensasi nyeri.6

Iskemia miokard terjadi ketika ada ketidakseimbangan pasokan-


permintaan antara kebutuhan energi miokardium dan oksigen dan pasokan
substrat lain yang dikirim melalui perfusi miokard. Dengan berkurangnya aliran
arteri koroner, terjadi sejumlah perubahan listrik, mekanik, dan kimia terjadi di
daerah iskemik miokardium. Dengan meningkatnya hipoksia jaringan, respirasi
intraseluler bergeser dari aerobik ke bentuk anaerobik. Simpanan Adenosine
triphosphate (ATP) cepat habis, menyebabkan adenosine diphosphate (ADP),
denosine monophosphate (AMP), dan adenosine menumpuk di jaringan. Pada titik
ini, daerah iskemik miokardium kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan potensial membran negatif. Pengurangan persediaan ATP dan /
atau perubahan ketersediaan kalsium menyebabkan berhentinya kontraksi
jantung.7

Ini diikuti oleh distensi miokardium iskemik, yang mungkin terjadi


sebagai akibat dari peregangan karena ditarik oleh otot non-iskemik yang
berdekatan (dan masih berkontraksi). Perubahan karakteristik metabolik terjadi
pada jaringan iskemik, termasuk akumulasi jaringan laktat, ion H +, fosfat, dan
kalium. Ada juga peningkatan tekanan karbondioksida jaringan (pCO2), sebagai
produk sampingan dari metabolisme seluler tanpa adanya mekanisme jalan keluar
selama stasis yang menjadi ciri iskemia. Selain itu, kalsium mitokondria

14
meningkat, suatu proses yang selanjutnya dapat berkontribusi pada kontraktur
iskemik dan bahkan mungkin kematian utama miosit yang rentan. Dalam upaya
autoregulasi untuk meningkatkan aliran darah, arteriol menunjukkan respons
vasodilatasi yang mendalam, yang dalam kondisi nonobstruktif dapat
mengakibatkan pemulihan aliran nutrisi; Namun, dalam kondisi iskemik yang
parah, seringkali sia-sia. Jika obstruksi total aliran darah berlangsung selama 20
menit, nekrosis miokard dapat diamati. Namun, dalam keadaan di mana reperfusi
miokard kembali terbentuk dengan sangat cepat, fungsi mekanik dapat kembali
mendekati level garis dasar. 7

Ketika jaringan miokard iskemik menjalani pemeriksaan histopatologis


yang terperinci, perubahan struktural yang khas dapat terlihat, salah satu yang
paling awal meliputi penurunan ukuran dan jumlah glikogen di dalam miosit.
Jumlah glikogen berkurang secara signifikan setelah 30 menit iskemia dan hampir
menghilang selama 2,5 jam berikutnya. Myofibril kemudian tampak dalam
keadaan relaks. Jaringan iskemik menunjukkan pembesaran yang jelas pada ruang
interfibrilar dan subkolemmal dengan pembengkakan tubulus transversal (tubulus
T). Mitokondria juga tampak bengkak dan menunjukkan penurunan kepadatan
matriks. Pembengkakan ini mencerminkan perubahan dalam distribusi cairan
intraseluler dan peningkatan kadar air miokard, yang dapat mewakili peningkatan
hampir 50% setelah periode yang lama dari aliran darah yang terganggu. Selain
kontribusi dari pergeseran cairan intraseluler, ada ekspansi dari kadar air
ekstraseluler, mungkin disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh
darah di pembuluh di zona iskemik.7

Secara klinis seringkali sulit untuk mengetahui di mana keseimbangan ini


terletak atau apakah terapi yang diberikan akan mempercepat atau menyelamatkan
kematian miosit. Proses iskemik dapat dianggap menyebabkan kematian miosit
yang ireversibel jika besar dan durasinya cukup sehingga sel melanjutkan
perjalanannya menuju kematian bahkan setelah pemulihan suplai darah. Miosit
yang mati menunjukkan penampilan histologis yang khas, termasuk adanya pita
kontraksi dan kepadatan amorf dalam mitokondria yang bengkak. Kerusakan
permanen pada mitokondria dan membran sel menyebabkan pelepasan banyak

15
protein intrasitoplasmik ke dalam darah yang dapat dideteksi dalam plasma untuk
mengukur tingkat nekrosis miokard secara diagnostik pada pasien dan yang
mungkin menandakan respons "bahaya" primitif yang memicu aktivasi kekebalan.
Penanda kematian miosit jantung muncul dalam plasma karena integritas
membran plasma terganggu; ini termasuk enzim seperti laktat dehidrogenase,
kreatinin fosfokinase (CK), serum glutamat oksaloasetat transaminase, dan protein
intraseluler lainnya, seperti mioglobin, troponin I dan T, dan rantai halus myosin
spesifik jantung. Faktor lain yang berkontribusi terhadap keluarnya penanda-
penanda ini ke dalam darah adalah reperfusi miokardium setelah periode iskemia.
Integrasi area di bawah kurva aktivitas-waktu memberikan perkiraan kasar
perluasan dan tingkat infark, meskipun kehadiran reperfusi menyebabkan puncak
washout awal yang dapat membingungkan interpretasi kuantitatif informasi ini. 7

Nyeri dada juga dapat disebabkan oleh kelainan non iskemik seperti aorta
diseksi, mioperikarditis, pleuritis, emboli paru, kostokondritis, gangguan
gastrointestinal, dan psikogenik sehingga penting untuk mengetahui karakteristik
nyeri dada pasien.

Tabel 3.1 Diagnosis Banding Nyeri Dada Non Iskemik6,7

Kelainan Karakteristik Nyeri Dada


Diseksi aorta Nyeri tajam seperti disayat/dirobek yang menjalar
umumnya ke punggung (a. torakalis) atau sesuai lokasi
diseksi
Mioperikarditis Nyeri memberat saat berbaring dan membaik saat duduk
atau membungkuk
Pleuritis Nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi
atau Batuk
Emboli paru Nyeri dada peluritis terlokalisasi yang disertai sesak
nafas hebat.
Ganguan Disertai/diawali nyeri/nyeri tekan/lepas perut sesuai
gastrointestinal proyeksi organ abdomen, memburuk/muncul setelah
(GERD, akut makan/menelan, atau heart burn
kolesistitis dll)
Kostokondritis Nyeri terlokalisir yang meningkat dengan
penekanan (palpasi)

16
Keluhan SKA biasanya juga disertai dengan keringat dingin akibat respon
simpatis, mual dan muntah karena stimulasi vagal, rasa lemas dan tidak
bertenaga.5 Selain nyeri dada, keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan
kelainan organ lain terutama yang juga berhubungan dengan sistem
kardiovaskular juga perlu ditanyakan. Keluhan seperti sesak napas, ortopnea,
dipsnea nocturnal paroksismal, udem pada tungkai, perlu ditanyakan untuk
menyingkirkan kecurigaan gagal jantung pada pasien. Pasien tidak mengeluhkan
sesak nafas, saat beraktivitas dan berbaring. Pasien terbangun malam hari karena
sesaknya tidak ada, pasien tidak mengeluhkan kaki sembab, dan tidak memiliki
riwayat sesak nafas sebelumya. Hal ini dapat menyingkirkan adanya kongesti paru
yang terjadi akibat gagal jantung.
Pasien juga tidak mengeluhkan berdebar-debar, pusing, dan pingsan,
kemungkinan pasien ini tidak mengalami aritmia. Hal ini perlu ditanyakan karena
hipoksia miokardium dapat menurunkan adenosin tripospat (ATP) yang
menyebabkan gangguan elektrolit dan memicu perubahan potensial membran
sehingga timbul aritmia. Namun, pasien harus dipasang monitor EKG karena bisa
saja rasa berdebar-debar pada pasien dapat terabaikan karena nyeri dada yang
lebih dominan.8
Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan nyeri dada seperti diremas di
tengah dada hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu dan memberat 1 jam SMRS
dengan durasi >20 menit dan terkadang tidak hilang dengan istirahat. Hal ini
memenuhi kriteria diagnosis untuk nyeri dada khas angina. Dengan adanya nyeri
yang tidak hilang dengan istirahat, kita dapat mengelompokkan pasien ke dalam
Sindrom Koroner Akut (UAP/NSTEMI/STEMI). Untuk membedakan ketiga
Sindroma Koroner Akut, kita bisa melihat dari hasil pemeriksaan
elektokardiografi dan enzim.4,5
Riwayat penyakit dahulu seperti asma, gastritis dan stroke tidak ada. Asma
perlu ditanyakan pada pasien SKA karena akan diberikan pengobatan seperti beta
bloker yang harus berhati-hati dalam pemberiannya. Penghambatan reseptor beta
dapat menyebabkan vasokonstriksi pada bronkus dan dapat mecetuskan
eksaserbasi asma, sehingga pemilihan beta bloker kardio selektif harus
dipertimbangkan. Selain itu, pasien SKA juga akan diberikan antiplatelet seperti

17
aspirin sebagai tatalaksana awal. Aspirin merupakan golongan AINS yang non
selektif sehingga aktivasi siklooksigenase (COX-1) terganggu pada lambung dan
menghambat prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Hal ini dapat memperberat
gastritis yang diderita pasien. Adanya stroke dapat memperkuat kemungkinan
adanya kejadian aterosklerosis yang sama (sekuele) pada pembuluh darah
koroner.8
Dari anamnesis juga didapatkan bahwa pasien telah mendapatkan terapi
pemasangan stent 1 buah pada tahun 2017. Stent jantung (Coronary stent) adalah
sebuah pipa berlubang dari logam yang dapat dikembangkan dalam
revaskularisasi untuk membuka arteri koroner yang menyempit (stenotik) atau
tersumbat.9 Tujuan revaskularisasi adalah meningkatkan survival atau mencegah
infark ataupun untuk menghilangkan gejala. Sebuah pipa kecil (kateter) yang
berisi kamera optik fiber akan dimasukkan dari arteri femoral dan diarahkan ke
arteri koroner yang menyempit atau tersumbat. Zat pewarna akan disuntikkan dan
mengambil gambar dari berbagai sudut. Sinar X khusus dilakukan pada arteri
koroner yang disebut angiogram. Sinar X memperlihatkan zat berwarna yang
disuntikkan langsung ke dalam arteri koroner dan direkam pada film-cine atau
video.

Kateter kemudian didorong kedepan sampai balon berada di dalam blokade.


Balon dikembangkan dan balon akan mengkompresi plak ateroma dan menekan
arteri sehingga mengembang. Jika stent ada pada balon, stent akan berkembang
dan akan menekan dinding pembuluh darah bagian dalam. Stent diimplantkan atau
ditinggalkan pada tubuh untuk mendukung arteri dari dalam agar tetap
mengembang.9

Setelah terapi stent tersebut, pasien rutin kontrol ke dokter spesialis


jantung dan mendapatkan obat NTG 500 mcg, ISDN 5 mg, Aspilet 1x80 mg,
Bisoprolol 1x5mg. NTG (Nitrogliserin) dan ISDN (Isosorbic Dinitrate)
memberikan efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan
volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi miokardium berkurang.
Nitrat juga memberi efek dilatasi arteri koroner, baik yang normal maupun yang
telah mengalami aterosklerosis. Aspilet merupakan antiplatelet yang menghambat

18
agregasi dan aktivasi platelet melalui penghambatan jalur siklooksigenase
sehingga tidak terjadi penyempitan lumen arteri koroner. Sedangkan bisoprolol
merupakan obat penghambat beta selektif yang pada kasus ini berfungsi sebagai
anti iskemik. Bisoprolol memiliki efek terhadap reseptor beta-1 yang
mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Bisoprolol menurunkan
penggunaan oksigen otot jantung dengan cara menurunkan frekuensi denyut
jantung, tekanan darah dan kontraktilitas. Suplai oksigen meningkat karena
penurunan frekuensi denyut jantung sehingga perfusi coroner membaik saat
diastole.10

Dari anamnesis pasien juga mengaku mengalami kenaikan BB yang


signifikan, yakni 10 kg dalam 2 bulan akibat kurang mengontrol makan. Hal ini
kemungkinan berdampak pada kenaikan lemak pada tubuh pasien, yang
dibuktikan dengan pemeriksaan profil lipid. Adanya kadar kolesterol yang tinggi
pada pemeriksaan profil lipid menjadi faktor risiko kardiovaskuler yang bisa
dimodifikasi pada pasien ini. Selain itu, pada pasien juga ditemukan faktor risiko
lain seperti hipertensi, rokok, dan riwayat ibu dengan penyakit hipertensi dan
stroke. Hipertensi pada pasien sudah diketahui sejak 3 tahun yang lalu, namun
pasien tidak kontrol teratur. Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak SMP dan
dalam sehari biasanya mengisap 3 bungkus rokok isi 12 batang. Pasien mengaku
telah berhenti merokok 2 tahun ini. Berarti pasien merupakan perokok dengan
indeks brinkmann berat.

Pemeriksaan Fisik

IMT

Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupupakan
alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa,
khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat
badan kurang dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan
berat badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratif. Oleh
karena itu, mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat
mencapai usia harapan hidup yang lebih Panjang.8

19
Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO,
yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan. Disebutkan
bahwa batas ambang normal untuk laki-laki adalah: 20,1–25,0; dan untuk
perempuan adalah : 18,7-23,8. Untuk kepentingan pemantauan dan tingkat
defesiensi kalori ataupun tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO/WHO
menyarankan menggunakan satu batas ambang antara laki-laki dan perempuan.
Ketentuan yang digunakan adalah menggunakan ambang batas laki-laki untuk
kategori kurus tingkat berat dan menggunakan ambang batas pada perempuan
untuk kategorigemuk tingkat berat. Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang
dimodifikasi lagi berdasarkan pengalam klinis dan hasil penelitian dibeberapa
negara berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk
Indonesia adalah sebagai berikut:

Gambar 1 Klasifikasi IMT Menurut WHO dan Departemen Kesehatan.11

Pada pasien ini didapatkan IMT 25,7, di mana terdapat kelebihan berat
badan tingkat ringan menurut klasifikasi nasional dan obesitas I menurut
klasifikasi WHO. Obesitas adalah faktor resiko independen untuk terjadinya
12
penyakit jantung koroner . kegemukan dan obesitas juga mempengaruhi
resistensi insulin dan Diabetes Melitus Tipe2, yang akan mempercepat
pengembangan PJK dan prognosis semakin Buruk.13 Selain itu, resistensi insulin
dan diabetes tipe 2 dapat menyebabkan komplikasi ginjal, okular, neurologis dan
serebrovaskular14. penurunan berat badan merupakan salah satu intervensi yang
efektif pada pasien PJK dengan obesitas. Penurunan berat badan dapat sangat
mempengaruhi sejumlah faktor resiko utama termasuk hipertensi, dislipidemia
dan resistensi insulin.15 Pedoman aktivitas fisik yang direkomendasikan untuk

20
orang Amerika sekitar 150 menit per minggu dengan olahraga moderat.namun hal
ini harus dibarengi dengan adanya restriksi kalori.16

Pemeriksaan palpasi iktus kordis

Pada pemeriksaan fisik jantung, pada palpasi iktus kordis teraba 2 jari
lateral LMCS RIC V. Lokasi normal dari palpasi iktus kordis adalah ruang sela
iga 5 atau 4 di sebelah medial linea midklavikularis. Namun pada peningkatan
muatan volume (peningkatan pre load) akan menimbulkan dilatasi ventrikel
disamping penebalan dinding. Sehingga pada perabaan akan bergeser ke kiri dan
ke bawah.17 Pembesaran Ventrikel kiri didapatkan jika pemindahan denyut apeks
>2cm ke bagian lateral garis midklavikular kiri atau di bawah ruang interkostal 5.
Terdapat dua pengecualian, yaitu jika LVH tejadi seiring dengan RVH atau jika
trakea deviasi ke sebelah kiri.18

Pemeriksaan Penunjang
Sindroma Koroner Akut dapat dibedakan dari hasil pemeriksaan
elektokardiografi dan enzim.
Pemeriksaan EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis
pertama. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan
perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus.
Jika pada pemeriksaan awal menunjukkan kelainan non diagnostik,
sedangkan angina masih berlangsung, maka perlu dilakukan pemeriksaan ulang
10-20 menit kemudian (rekam juga V7-V9). Apabila EKG ulang tetap
menunjukkan kelainan yang non diagnostik dan marka jantung negatif, sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam
untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina yang berulang.
Dari hasil EKG pasien ditemukan adanya irama sinus dengan frekuensi sebesar 50
kali per menit, sehingga dapat dikatakan sebagai seinus bradikardi. Selain itu juga
ditemukan adanya elevasi segmen ST pada lead II, III dan aVF pada hasil
pemeriksaan EKG pasien. Namun, elevasi yang ditemukan belum melewati nilai
ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI, sehingga pasien ini dapat
disingkirkan diagnosis STEMI.

21
Setelah dilakukan pemeriksaan EKG, pada pasien ini juga dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan selain
bertujuan untuk mengetahui status hematologis umum pasien, juga untuk melihat
kadar biomarka jantung yang spesifik terhadap kejadian infark miokardium. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar yang melebihi batas normal yaitu,
kadar kolesterol total pasien 261 mg/dl, LDL 149 mg/dl dan trigliserida 356
mg/dl. Dari hasil pemeriksaan ini dapat diketahui bahwa fraksi lipid pada pasien
ini mengalami kenaikan, sehingga dapat dikatakan sebagai dislipidemia.
Dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko utama kejadian aterosklerosis
pada sindrom koroner akut. Dislipidemia ini juga perlu diatasi dalam regimen
tatalaksana yang diberikan kepada pasien.
Pada pemeriksaan laboratorium juga diketahui kadar troponin I pasien
yang pada pemeriksaan kedua didapatkan kadarnya sebesar 256 ng/dl. Hasil ini
masuk ke dalam kriteria rule in MCI, sehingga dapat disingkirkan diagnosis UAP
pada pasien ini.
Terapi
Pada pasien ini diberikan terapi medikamentosa, diantaranya yaitu:
 Loading ASA 160 mg
Aspirin menyebabkan perpanjangan masa pendarahan. Hal ini
bukan karena hipoprotombinemia, tetapi karena asetilasi siklooksigenase
trombosit sehingga pembentukan TXA2 terhambat. Dosis tunggal 650 mg
aspirin dapat memperpanjang masa pendarahan kira-kira 2 kali lipat. Pada
pemakaian obat anti koagulan jangka panjang sebaiknya hati hati
memberikan aspirin, karena bahaya pendarahan mukosa lambung. Aspirin
dosis kecil digunakan untuk profilaksis trombosis koroner dan serebral.
Aspirin tidak boleh diberikan pada pasien dengan kerusakan hati berat,
hipoprotrombinemia, defisiensi vitamin K dan hemofilia, sebab dapat
menimbulkan pendarahan.
Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 (TXA2) di dalam
trombosit dan protasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan menghambat
secara irrevesibel enzim siklooksigenase (akan tetapi enzim
siklooksigenase dapat diproduksi kembali oleh sel endotel). Penghambatan

22
enzim siklooksigenase terjadi karena aspirin mengasetilasi enzim tersebut.
Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembentukan TXA2, akibatnya
terjadi pengurangan agregasi trombosit. Sebagai anti trombotik dosis
efektif aspirin 80-320 mg per hari. Dosis lebih tinggi selain meningkatkan
toksisistas (terutama pendarahan) juga menjadi kurang efektif karena
selain menghambat TXA2 juga menghambat pembentukan protasiklin.
 Loading Clopidogrel 300 mg
 Drip NTG 10mcg/i
Nitrat Organik menurunkan kebutuhan dan meningkatkan suplai
oksigen dengan cara mempengaruhi tonus vaskular. Nitrat organik
menimbulkan vasodilatasi semua sistem vaskular. Pada dosis rendah nitrat
organik menimbulkan venodilatasi sehingga terjadi pengumpulan darah
pada vena perifer dan dalam splanknikus. Venous pooling ini
menyebabkan berkurangnya aliran balik darah ke jantung, sehingga
tekanan pengisian ventrikel kiti dan kanan (pre load) menurun. Dengan
cara ini, maka kebutuhan oksigen miokard akan menurun.Tekanan
vaskular paru menurun. Karena kapasitas vena meningkat maka dapat
terjadi hipotensi ortostatik dan sinkop. Dilatasi arteriol temporal dan
meningeal dapat menimbulkan kemerahan di muka (flushing) dan sakit
kepala berdenyut.
Pada dosis lebih tinggi, selain vena , nitrat organik juga dapat
menimbulkan dilatasi arteriol perifer sehingga tekanan darah sistolik dan
diastolik menurun (afterload). Penurunan tekanan darah sistemik ini dapat
memicu terjadinya angina jika perfusi koroner berkurang atau adanya
refleks takikardia.
Nitrat organik memperbaiki sirkulasi koroner pada pasien
arterosklerosis koroner bukan dengan cara meningkatkan aliran koroner
total, tetapi dengan menimbulkan redistribusi aliran darah pada jantung.
Daerah subendokard yang sangat rentan terhadap iskemia akrena letak
anatomis dan struktur pembuluh darah yang mengalami kompresi setiap
sistol akan mendapatkan perfusi yang lebih baik pada pemberian nitrat.

23
Hal ini karena nitrat menyebabkan dilatasi pembuluh darah koroner
yang besar di daerah epikardial dan bukan pembuluh darah kecil (arteriol),
sehingga tidak terjadi steal phenomenon.
 Atorvastatin 1x 40 mg
Studi klinis terapi statin secara konsisten menunjukkan
peningkatan indeks hiperekogenisitas (menunjukkan peningkatan jaringan
fibrosa), dan pengurangan dalam kumpulan lipid plak, tetapi hanya sedikit
penurunan volume plak.19 Perubahan-perubahan dalam struktur plak ini
mungkin telah meningkatkan fungsi endotel dan mengurangi
trombogenitas trombosit, yang diterjemahkan ke dalam hasil yang lebih
baik pada Myocardial Ischemia Reduction with Aggressive Cholesterol
Lowering with Atorvastatin (MIRACL)20 dan Pravastatin Acute Coronary
Treatment (PACT) Studi pengurangan kolesterol awal pada pasien ACS.
Stabilisasi plak juga dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dalam
laju perkembangan penebalan intima-medial karotid, yang mungkin
21
disebabkan oleh regulasi sintesis kolagen tipe IIIa atau efek anti-
aterogenik.21
 Ramipril 1x5 mg
ACE-I juga menunjukkan efek antiproliferatif (pengurangan
hipertrofi pembuluh darah dan jantung dan matriks ekstraseluler
proliferasi) dan mengurangi remodeling ventrikel setelahnya infark
miokard.22,23 Mereka membalikkan remodeling ventrikel dengan
mengurangi preload / afterload ventrikel, mencegah efek proliferatif dan
simpatik semua aktivitas saraf dan dengan menghambat aldosteron yang
diinduksi hipertrofi jantung dan fibrosis interstisial dan perivaskuler.24,25
Pada jantung yang hipertrofi ACE-I mengurangi hipertrofi jantung dan
memperbaiki fungsi diastolik. ACE-I juga mencegah apoptosis miosit
jantung pada jantung yang mengalami pressure overload.
 Bisoprolol 1x5 mg
Beta Blocker bermanfaat untuk mengobati pasien dengan ACS.
Golongan obat ini dapat menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung
dengan cara menurunkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah dan

24
kontraktilitas. Suplai oksigen juga meningkat karena penurunan frekuensi
denyut jantung sehingga perfusi koroner membaik saat diastole. Beta
blocker memiliki kontraindikasi pada pasien dengan hipotensi, bradikardia
simptomatik, blok AV derajat 2-3 , gagal jantung kongestif, eksaserbasi
serangan asma, dan diabetes melitus dengan episode hipoglikemia.
 Lovenox 2x0,6cc
Enoxparin merupakan salah satu LMWH (Low Molecular Weight
Heparin). Efek anti koagulan heparin timbul karena ikatannya dengan AT-
III. AT-III berfungsi menghambat protease faktor pembekuan darah
termasuk faktor Iia (trombin), Xa, Ixa, dengan cara membentuk kompleks
yang stabil dengan protease faktor pembekuan. Heparin yang terikat
dengan AT-III mempercepat pembentukan kompleks tersebut sampai 1000
kali. Bila kompleks AT III protease sudah terbentuk heparin dilepaskan
untuk selanjutnya membentuk ikatan yang baru dengan anti trombin.
Heparin dengan berat molekul rendah efek koagulannya terutama
melalui penghambatan faktor Xa oleh antitrombin, karena umumnya
molekulnya tidak cukup panjang untuk mengkatalisis penghambatan
trombin.
Agarobat dapat efektif mencegah pembekuan dan tidak
menimbulkan pendarahan maka diperlukan penentuan dosis yang tepat.
Monitoring dapat dilakukan dengan pemeriksaan PT dan Aptt. Trombosis
umumnya dapat dicegah bila aptt 1,8-2,5 kali nilai normal.

25
BAB IV
KESIMPULAN

1. NSTEMI adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan oleh oklusi parsial
atau emboli distal arteri koroner, yang dikarakteristikkan dengan gejala
iskemia miokardium berupa angina pectoris, disertai adanya peningkatan
dari biomarker jantung yang menunjukkan nekrosis pada miokardium dan
tanpa adanya elevasi segmen ST pada gambaran EKG.
2. Gejala NSTEMI meliputi: nyeri dada yang berlangsung lebih dari 20 menit
yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin, serta adanya riwayat
Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan penjalaran nyeri ke leher, rahang
bawah atau lengan kanan.
3. Pada NSTEMI diagnosis secara cepat diperlukan untuk mencegah
kerusakan miokard yang lebih luas. Terapi yang dapat diberikan
MONACO sebagai terapi inisial serta revaskularisasi untuk memperbaiki
aliran darah pada arteri coroner yang tersumbat.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Ruan Y, Guo Y, Zheng Y, Huang Z, Sun S, Kowal P, et al. Cardiovascular


disease ( CVD ) and associated risk factors among older adults in six low-
and middle-income countries : results from SAGE Wave 1. BMC Public
Health. 2018;1–13.
2. Task A, Members F, Roffi M, Valgimigli M, Bax JJ, Borger MA, et al.
2015 ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment elevation Task Force for
the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting
without Persistent ST-Segment Elevation of t. Eur Heart J. 2016;37:267–
315.
3. Tumade, B. Jim, E.L. & Joseph VFF. Prevalensi Sindrom Koroner Akut di
RSUP Prof.Dr.R.D Kandou Manado Periode 1 Januari 2014. J e-Clinic.
2014;4(1):223–300.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indoneisa (PERKI).
Pedoman Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Edisi IV. 2018.
5. Hussain M, Mamun A al, Peters S, M MW, Huxley R. The Burden of
Cardiovaskuler Disease Attributable to Major Modifiable Risk Factors in
Indonesia. J Epidemiol. 2016;26(10):515–21.
6. Menon V. Acute Myocardial Infarction. In: Manual of
CardiovascularMedicine. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, a Wolters Kluwer Business; 2013. p. 2–35.
7. Fuster V, Walsh R, Harrington R, Hunt S, Prystowsky E, King III SB, et al.
Hurst’s the Heart. New York: McGraw-Hill;
8. Rhee J, Sabattne M, Lillly L. Acute Coronary Syndromes. Boston:
Lippincott Williams & Wilkins; 2011. 163–180 p.
9. Kang S. Coronary artery bypass grafting versus drug-eluting stent
implantation for left main coronary artery disease (from a two-center
resgistry). Am J Cardiol. 2010;105(3):343–51.
10. Inidijah S, Fajri P. Farmakologi : Obat-obat jantung. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia;
11. Kementrian Kesehatan Indonesia. Fact Sheet Kit Informasi Obesitas. 2014.
12. Wilson P, D’Agostino R, Sullivan L. Overweight and obesity as
determinants of cardiovascular risk : the Framingham experience. Arch
intern Med. 2002;162:1867–72.
13. Grundy S, Cleeman J, Daniels S. American Heart Association: National
Heart, Lung and Blood Institute Diagnosis and Management of the

27
metabolic syndrome : an American Heart Association/National Heart, Lung
and Blood Institute Scientific Statement. Circulation. 2005;112:2735–52.
14. American Diabetes Association [Internet]. [cited 2017 Jan 5]. Available
from: http://www.diabetes.org/living-with-diabetes/complications/
15. Ades P, Savage P, Toth M. High-Calorie-expenditure Exercise : a new
approach to cardiac rehabilitation for overweight coronary patients.
Circulation. 2009;119:2671–8.
16. https://www.cdc.gov/physicalactivity/basics/adults/index.htm Accessed
3/28/17
17. Bickley L. Bates Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. 8th
ed. Jakarta: EGC; 2009. 293 p.
18. Rampengan, Homenta S. Buku Praktir Kardiologi. 1st ed. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2014.
19. Schartl M, Bocksch W, Koschyk D, Voelker W, Karsch K, Kreuzer J. Use
of intravascular ultrasound to compare effects of different strategies of
lipid-lowering therapy on plaque volume and composition in patients with
coronary artery disease. Circulation. 2001;104:387–92.
20. Hompson P, Meredith I, Amerena J, Campbell T, Sloman J, Harris P.
Effect of pravastatin compared with placebo initiated within 24 hours of
onset of acute myocardial infarction or unstable angina: The Pravastatin in
Acute Coronary Treatment (PACT) trial. Am Hear J. 2004;148:e2.
21. Yusef S, Sleight P, Pogue J. Effects of an angiotensin-converting-enzyme
inhibitor, ramipril, on cardiovascular events in high-risk patients. The heart
outcomes prevention evaluation study investigators. N Eng J Med.
2000;342:145.
22. Paul M, Ganten D. The molecular basis of cardiovascular hypertrophy: the
role of the renin–angiotensin system. 1992;19(Suppl. 5):S51–8. J
Cardiovasc Pharmacol. 1992;19(5):51–8.
23. Schiffrin E, Deng L. Comparison of effects of angiotensin I-converting
enzyme inhibition and b-blockade for 2 years on function of small arteries
from hypertensive patients. Hypertension. 1995;25:699–703.
24. Giannettasio C, Grassi G, Seravalle G. Investigation of reflexes from
volume and baroreceptors during converting-enzyme inhibition in humans.
Am Hear J. 1989;117:740–5.
25. Schmieder R, Martus P, Klingbeil A. Reversal of left ventricular
hypertrophy in essential hypertension: A meta-analysis of randomized
double-blind studies. JAMA. 1996;275:1507–13.

28
29

Anda mungkin juga menyukai