Anda di halaman 1dari 31

Case Report Session

TINEA KAPITIS FAVOSA

Oleh:

M Fadhlillah Ghivari 1840312407


Diyanah Nuraini 1840312747

Preseptor:
Dr. dr. Qaira Anum, SpKK(K), FINSDV, FAADV
dr. Tutty Ariani, SpDV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL
PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan kasus dengan judul
“Tinea Kapitis Favosa” ini dapat kami selesaikan dengan baik dan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.

Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan


penulis mengenai Tinea Kapitis Favosa, serta menjadi salah satu syarat dalam
mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Kami sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah
banyak membantu dalam pembuatan laporan kasus ini, khususnya Dr. dr. Qaira
Anum, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan dr. Tutty Ariani, SpDV sebagai
pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan saran,
perbaikan dan bimbingan kepada kami. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan
kepada rekan-rekan sesama dokter muda dan semua pihak yang telah banyak
membantu dalam penyusunan laporan kasus ini yang tidak dapat kami sebutkan
satu per satu disini.
Dengan demikian, kami berharap laporan kasus ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan serta meningkatkan pemahaman semua pihak tentang
Tinea Kapitis Favosa.

Padang, 25 September 2019

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Tinea kapitis merupakan penyakit dermatofitosis pada kulit kepala dan


rambut. Dermatofita masuk ke dalam stratum korneum scalp, diikuti dengan
peradangan batang rambut, kemudian menyebar ke folikel-folikel rambut lainnya
dan menyebabkan terbentuknya lesi non-inflamasi dan inflamasi. Kelainan ini
dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan, alopesia, dan kadang terjadi
1,2
gambaran klinis yang berat. Faktor respon imun host dapat berperan dalam
manifestasi klinis respon imun selular maupun reaksi hiprensitivitas tipe lambat.
Gejala klinis berdasarkan penyebab dibedakan menjadi infeksi ektothrix
dan infeksi endothrix. Gray patch merupakan contoh varian ektothrix, sedangkan
black dot, kerion dan favus merupakan varian dari endothrix. Trichophyton spp.
sering menyebabkan infeksi endothrix sedangkan Microsporum spp. sering
menyebabkan infeksi ektothrix.2
Berdasarkan penelitian retrospektif oleh Andina, dkk., dari data pasien
tinea kapitis yang berobat di Poliklinik IKKK RSCM, Jakarta periode Januari
2005 hingga Desember 2010. Dilaporkan 23 kasus tinea kapitis, yang merupakan
0,53% (23 dari 4274) dari seluruh pasien dermatomikosis yang berobat antara
tahun 2005 sampai 2010. Usia awitan 22 bulan sampai 65 tahun, dengan
persentase tertinggi (73,91%) pada golongan usia 0 sampai 14 tahun. Bentuk
klinis tersering adalah inflamasi (65,21%). Pada 26,08% kasus disertai bentuk
dermatofitosis lain. Kultur tumbuh 56,52% spesimen, dengan spesies terbanyak
Microsporum canis (69,23%).4
Diagnosis tinea kapitis ditegakkan melalui gambaran klinis dan bila perlu
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan lampu Wood,
pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20%, pemeriksaan kultur fungi,
dan atau dengan pemeriksaan histopatologis. 1,2,5
Obat antifungi pada dasarnya ada yang bersifat fungisidal dan fungistatik.
Terapi dermatofitosis awal sering dengan griseofulvin yang bersifat fungistatik.
Terbinafin sebagai alternatif lain untuk terapi awal tinea kapitis dan merupakan
contoh antifungi yang bersifat fungisidal dan dapat diberikan sebagai pengganti

3
griseofulvin. Selain itu ada juga golongan azole seperti itrakonazole, flukonazole,
ketokonazole, vorikonazole yang bersifat fungistatik. Kortikosteroid dapat
digunakan untuk pengobatan tinea kapitis tipe kerion.1,5
Dalam aplikasi klinis pada pasien di Poliklinik IKKK RSCM, yang
sebagian besar disebabkan oleh spesies Microsporum canis mendapat terapi utama
griseofulvin (73,91% kasus yang dapat diamati), dengan rerata masa terapi lima
minggu. Terapi lain dilakukan dengan itrakonazol dan terbinafin. Efek samping
akibat griseofulvin yang tampak pada tiga pasien, berupa erupsi obat alergik tipe
fotodermatitis dan peningkatan enzim hati.4
Infeksi jamur superfisial (mikosis superfisialis) di Indonesia cukup banyak
terjadi termasuk tinea kapitis. Hal ini disebabkan oleh keadaan di Indonesia
sendiri yang merupakan negara beriklim tropis, memiliki suhu dan kelembaban
yang tinggi, sehingga mendukung pertumbuhan jamur.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tinea Kapitis atau ringworm of the scalp merupakan kelainan pada rambut
dan kulit kepala yang disebabkan oleh infeksi dari spesies dermatofita. Golongan
jamur ini mempunyai sifat keratolitik, dermatofita terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.1

2.2 Etiologi
Tinea Kapitis dapat disebabkan oleh spesies Microsporum dan
Trichophyton.1 Setiap negara dan daerah memiliki perbedaan pada spesies
penyebab tinea kapitis misalnya di Amerika Serikat, dalam hal frekuensi T.
tonsurans lebih dari 95 % menyebabkan tinea kapitis, dibandingkan dengan yang
disebabkan oleh M. canis yang tentunya lebih jarang terjadi.2 Di Inggris M. canis
tetap menjadi penyebab umum yang menyebabkan Tinea Kapitis, yang bisa
didapatkan dari kucing maupun anak anjing.6

2.3 Epidemiologi
Tinea kapitis lebih sering mengenai balita dan anak-anak usia sekolah (6-
10 tahun). Penyakit ini lebih sering terjadi pada orang kulit hitam dibandingkan
kulit putih di Amerika Serikat.2 Tinea kapitis telah dianggap sebagai masalah
kesehatan masyarakat yang serius selama beberapa dekade, jarang terjadi pada
orang dewasa dan lebih sering menyerang wanita di sekitar menopause dan wanita
tua mungkin karena perubahan pH kulit kepala dan peningkatan asam lemak yang
mempunyai peran protektif.7

2.4 Patogenesis
Golongan jamur dermatofita menyerang jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku.1,8

Infeksi disebabkan oleh arthrospora atau conidia. Secara umum,


dermatofita dapat masuk ke tubuh melalui kulit yang terluka, bekas luka, dan luka

5
bakar. Patogen sebagian besar masuk melalui jaringan mati, lapisan kulit yang
mengandung keratin, menghasilkan ekso-enzim pektinase dan menyebabkan
reaksi peradangan pada lokasi infeksi.3 Reaksi peradangan ini dapat menimbulkan
berbagai gambaran klinis pada lokasi infeksi seperti kemerahan (rubor), bengkak
(indurasi), panas dan alopesia. Pergerakan hifa jamur tumbuh secara sentrifugal
menjauh dari lokasi infeksi pada stratum korneum menimbulkan gambaran klasik
lesi cincin.3,8

Gambar 1. Skema Masuknya Dermatofita ke Sistem Host 8

Infeksi jamur pada folikel rambut, menyebabkan jamur terus bertumbuh ke


dalam lapisan kulit hingga folikel rambut kemudian menyebar ke atas pada lokasi
pertumbuhan rambut (dapat dilihat dipermukaan kulit pada hari ke 12-14) dan
rambut menjadi rapuh kemudian tampak kerusakan rambut yang nyata pada
minggu ketiga.8

6
Gambar 2: Infeksi dermatofita pada folikel rambut.
Infeksi mengenai batang rambut (bintik merah) mengakibatkan kerusakan dan
rambut mudah patah. Apabila infeksi dermnatofita lebih jauh ke dalam hingga
folikel rambut dapat menyebabkan respon inflamasi yang lebih dalam (bintik
hitam). Manifestasinya terbentuk nodul inflamasi yang lebih dalam, pustula
folikular, dan abses2

2.5 Klasifikasi2,9
2.5.1 Infeksi Ektothrix
Invasi terjadi pada batang rambut luar. Hifa fragmen ke
arthroconidia, menyebabkan kerusakan kutikula. Infeksi ini disebabkan
oleh Microsporum spp. (M. audouinii dan M. canis). Gray patch
merupakan variasi ektothix yang menunjukkan lesi non-inflamasi.

Gambar 3. Dermatophytic folikulitis.


Tipe ektothrix: mycelia dan arthroconidia terlihat pada permukaan folikel rambut
(extrapilary). Tipe endothrix: hifa dan arthroconidia terdapat dalam batang rambut
(intrapilary).2
2.5.2 Infeksi Endothrix
Infeksi terjadi di dalam batang rambut tanpa kerusakan kutikula.
Arthroconidia ditemukan dalam batang rambut. Infeksi ini disebabkan

7
oleh Trichophyton spp. (T. tonsurans di Amerika Utara, T. violaceum di
Eropa, Asia, sebagian Afrika).

Black Dot
Merupakan varian endothrix yang menyerupai dermatitis
seboroik.

Kerion
Merupakan varian endothrix dengan plak inflamasi.

Favus
Merupakan varian endothrix dengan arthroconidia dalam batang
rambut. Sangat jarang di Eropa Barat dan Amerika Utara. Di
beberapa bagian dunia (Timur Tengah, Afrika Selatan) masih
endemik .

2.6 Gejala Klinis


Gejala klinis tinea kapitis sangat bervariasi, tergantung pada organisme
penyebab, jenis invasi rambut dan tingkat respon inflamasi penderita. Umumnya
akan memberikan gambaran rambut rontok dalam berbagai tingkat skala. 5
Kelainan pada tinea kapitis dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-merahan,
alopesia dan kadang terjadi gambaran yang lebih berat yang disebut kerion,
limfadenopati servical dan oksipital.7
2.6.1 Gray Patch
Gejala klinis terutama disebabkan oleh M. audouinii dan M.ferrigineum
yang sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit timbul akibat invasi rambut
ektothrix.7 Gejala dimulai dengan papul kemerahan disekitar rambut, lama
kelamaan akan melebar secara sentrifugal dan membentuk bercak yang berubah
menjadi pucat, bersisik, dan lesi terasa gatal. Tampak minimal inflamasi,
pembentukan skuama masif, dan gambaran plak anular batas tegas, tertutup
skuama putih, sedangkan pada M.canis gambaran klinis hampir sama tetapi lebih
menunjukkan gambaran peradangan. Warna rambut berubah menjadi abu-abu dan
tidak berkilat lagi karena tertutup arthrospora. Rambut mudah patah dan terlepas
dari akarnya, sehingga mudah tercabut sehingga dapat terbentuk alopesia
setempat.1,9

8
Gambar 4. Tinea Kapitis tipe Gray patch.2

2.6.2 Black dot


“Black dot” tinea kapitis sering disebut sebagai tipe seborrhoic like.9 Tipe
ini terutama disebabkan oleh T. tonsurans dan T. violaceum. Gambaran klinis
yaitu karena arthrospora terdapat didalam batang rambut sehingga rambut sangat
rapuh dan patah pada permukaan scalp, tepat pada muara folikel. Ujung rambut
yang hitam di dalam folikel rambut ini memberikan gambaran khas yaitu black
dot. Ujung rambut yang patah dapat tumbuh kedalam, masuk ke bawah
permukaan kulit. Gambaran lesi yang terbentuk dapat multipel dengan tepi anular.
1
Lesi ini cenderung tersebar disertai rambut rontok minimal dan peradangan
minimal sehingga menyerupai dermatitis seboroik atau psoriasis.2

Gambar 5. Tinea Kapitis tipe Black dot 2

2.6.3 Kerion1,5,9

9
Kerion merupakan reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis,
berupa edema yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel radang yang
padat disekitarnya. Gambaran klinis ditandai dengan adanya nyeri, plak atau
nodul yang meradang mungkin soliter atau multiple, diatasnya didapatkan pustula
maupun krusta yang tebal. Limfadenopati regional dengan demam dan nyeri dapat
terlibat apabila lesi luas. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan
berakibat alopesia yang menetap. Dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh
infeksi endothrix baik disebabkan oleh T. tonsurans atau T. violaceum, terutama
di daerah perkotaan. Selain itu, biasanya juga disebabkan oleh spesies zoofilik
(T.verrucosum dan T.mentagrophytes) atau geofilik (M.gypseum).

Gambar 6. Tinea Kapitis tipe Kerion2

2.6.4 Favus
Gejala tinea yang jarang didapatkan, disebabkan T. schoenleinii, dapat
menyerang kulit dan kuku. Gambaran klinis awalnya menunjukkan eritema
perifolikular dan rambut kusut, kemudian ditandai dengan krusta kekuningan yang
dikenal sebagai skutula disekitar rambut berisi debris kulit dan hifa yang
menembus batang rambut. Skutula memiliki berbau yang khas yaitu berbau tidak
sedap seperti tikus “moussy odor” dan rambut secara ekstensif akan hilang
menjadi alopesia dan atrofi.2

10
Gambar 7. Tinea Kapitis tipe Favus 2

2.7 Diagnosa Banding 1,2,9

Tabel 1. Diagnosis
Jenis Lesi DiagnosisBanding
BandingTinea Kapitis Berdasarkan Jenis
9
Gray Patch LesiPsoriasis,
Dermatitis seboroik, Dermatitis atopik, Lichen
simplex chronicus, Alopesia areata
Black Dot Dermatitis seboroik, Psoriasis, Seborrhiasis, Dermatitis
atopik, Lichen simplex chronicus, Chronic cutaneous lupus
erythematosus, Alopesia areata
Kerion Selulitis, Furunkel, Karbunkel
Favus Impetigo, Ektima, Skabies berkrusta

2.7.1 Dermatitis Seboroik


Dermatitis seboroik merupakan kelainan kulit yang berhubungan erat
dengan keaktifan glandula sebasea, dengan manifestasi klinis yaitu mengenai kulit
kepala berupa skuama halus dan kasar, berminyak dan kekuningan pada area
seboroik yang menjadi ciri khasnya, serta batasnya tidak tegas. Rambut pada
penderita dermatitis seboroik cenderung rontok, mulai di bagian vertex dan
frontal. Sering meluas ke dahi, glabela, telinga post auricular dan leher. Dapat
pula meluas ke daerah seboroik lainnya yaitu daerah sternal, areola mammae,
lipatan payudara, interskapular, ummbilikus, lipat paha, dan daerah anogenital.
2.7.2 Psoriasis

11
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin,
auspitz dan kobner. Penyakit ini mengenai semua umur namun umumnya pada
dewasa dan pria lebih banyak dibandingkan wanita. Predileksi psoriasis adalah
scalp, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta lutut serta lumbosacral.
Alopesia yang terjadi bukan disebabkan karena psoriasis tetapi alopesia
androgenetik.
Seborrhiasis atau dikenal juga dengan sebutan psoriasis seboroik
(sebopsoriasis) merupakan kondisi kulit yang memiliki gambaran klinik gabungan
antara psoriasis dengan dermatitis seboroik. Gambaran klinis ditandai dengan plak
tertutup skuama tebal yang biasanya kering menjadi agak berminyak dan agak
lunak pada hair line dan scalp. Selain berlokasi pada tempat yang lazim seperti
wajah, anterior chest, juga terdapat pada area seboroik lainnya.
2.7.3 Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik merupakan peradangan kulit kronis dan residif, yang
umumnya terjadi selama masa anak-anak, penderita biasanya memliki riwayat
atopi. Manifestasi klinis penderita umumnya memiliki kulit yang kering, gejala
utama di dapatkan pruritus hilang timbul sepanjang hari namun hebat pada malam
hari, sehingga penderita akan menggaruk dan timbul berupa papul, likenifikasi,
eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, krusta. Predileksi pada anak biasanya di muka
dan pipi sedangkan dewasa pada lipat siku, lipat lutut, samping leher dan sekitar
mata. Terdapat criteria diagnosis menurut Hanifin dan Rajka yaitu kriteria mayor
(pruritus, morfologi dan distribusi lesi khas, didapatkan dermatitis kronik dan
sering kambuh, riwayat atopi) dan minor (xerosis, daerah mata berwarna gelap,
pytiriasis alba, gatal waktu berkeringat, keratosis pilaris, dll)
2.7.4 Liken Simpleks Kronikus
Liken Simpleks Kronikus merupakan peradangan kulit yang bersifat
kronis, penderita biasanya mengeluh sangat gatal pada lesi. Bentuk khas yaitu lesi
biasanya tunggal, pada awalnya berupa plak eritematosa, sedikit edematosa, lama
kelamaan kulit menjadi tebal dan terdapat likenifikasi akibat garukan atau gesekan
yang berulang, kulit sekitarnya hiperpigmentasi dan batas tidak jelas.

12
Predileksinya di scalp, tengkuk, samping leher, lengan bagian ekstensor, pubis,
vulva, skrotum, perianal, paha bagian medial / atas, lutut, tungkai bawah lateral,
pergelangan kaki bagian depan, dan punggung kaki.
2.7.5 Alopesia Areata
Gejala klinis alopesia areata ditandai dengan bercak berbentuk bulat atau
lonjong dan terjadi kerontokan rambut pada kulit kepala, alis, janggut, dan bulu
mata. Tepi lesi dapat eritema pada stadium awal penyakit tetapi warna kembali
normal pada stadium selanjutnya. Terdapat tanda exclamation hair mark, yakni
rambut bila dicabut terlihat bulbus yang atrofi, sisa rambut terlihat seperti tanda
seru dimana batang rambut yang ke arah pangkal makin halus sedangkan rambut
disekitarnya tampak normal tetapi mudah dicabut. Etiologi alopesia areata belum
diketahui, sering dihubungkan dengan adanya infeksi lokal, kelainan endokrin dan
stress emosional.
2.7.6 Chronic cutaneous lupus erythematosus (CCLE)
Gambaran klinis dari CCLE ditandai dengan papul kemerahan yang dapat
menjadi plak, batas tegas, dengan skuama melekat. Predileksinya sering pada
wajah, scalp, lengan bawah, tangan, jari-jari tangan dan kaki. CCLE pada scalp
dapat memberi gambaran eritema dengan complete hair loss, atrofi, dan white
scarring.
2.7.7 Selulitis
Selulitis merupakan kelainan kulit berupa infiltrat yang difus pada
subkutan dengan tanda-tanda radang akut. Terdapat gejala konstitusi seperti
demam dan malaise. Predileksinya biasanya di tungkai bawah.
2.7.8 Furunkel & Karbunkel
Furunkel merupakan radang folikel rambut dan sekitarnya biasanya
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Sedangkan karbunkel adalah kumpulan
dari furunkel. Gejala klinis biasanya pasien mengeluh nyeri, lesi berupa nodus
eritematosa, ditengahnya terdapat pustule. Tempat predileksinya ialah tempat
yang banyak mendapat gesekan, misalnya aksila dan bokong.

2.7.9 Impetigo

13
Impetigo merupakan pioderma superfisialis (terbatas pada epidermis).
Terdapat 2 bentuk yakni impetigo krustosa dan impetigo bulosa. Predileksi
impetigo krustosa di muka, sekitar lubang hidung dan mulut berupa eritema,
vesikel cepat pecah sehingga tampak krusta tebal warna kuning seperti madu.
Predileksi impetigo bulosa di ketiak, dada, punggung berupa eritema, bula, dan
bula hipopion, kadang tampak vesikel/bula pecah membentuk koleret dengan
dasar yang masih eritematosa.
2.7.10 Ektima
Ektima merupakan ulkus superficial yang disebabkan oleh infeksi
Streptococcus. Gejala klinisnya tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning, jika
krusta diangkat ternyata lekat dan tampak ulkus dangkal. Tempat predileksi utama
yaitu daerah tungkai bawah yang relative banyak mendapat trauma

2.8 Diagnosis
Gambaran klinis bervariasi tergantung organisme penyebab, tipe invasi,
dan derajat respon inflamasi host. Gambaran klinis pada umumnya meliputi
alopesia, skuama, inflamasi folikular, eritema. Pada anak-anak, gambaran klinis
berupa skuama pada kulit kepala disertai rasa gatal dan alopesia. Diagnosis hanya
berdasarkan gambaran klinis saja terutama pada anak-anak sering kali sulit,
sehingga bila curiga tinea kapitis dapat dilakukan pemeriksaan KOH dan atau
kultur untuk menunjang diagnosis.7 Selain itu beberapa pemeriksaan laboratorium
dapat digunakan untuk menunjang pemilihan obat terapi sistemik yang sesuai
5
dengan organisme penyebab. Cara pengambilan spesimen dapat dilakukan
dengan cara, rambut dicabut dari daerah kulit yang berkelainan kemudian kulit di
daerah terinfeksi dikerok untuk mengumpulkan skuama. 1,5
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain:

Pemeriksaan Lampu Wood 5
Pemeriksaan ini berguna pada infeksi spesies Microsporum spp.
(M.canis, M. audouinii dan M. ferrugineum) menunjukkan fluoresensi
hijau terang dari rambut yang terinfeksi dibawah pemeriksaan lampu
Wood. Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu (artinya
warna tetap ungu) pada infeksi nonfluorescent M. gypsium dan

14
Trichophyton spp. (kecuali T. schoenleinii dapat memberi hasil fluoresensi
positif hijau gelap).

Pemeriksaan Sediaan Langsung dengan KOH 10-20% 2
Cara pengambilan sampel adalah membersihkan kulit yang akan
dikerok dengan kapas alkohol 70%, kemudian membuat kerokan kulit
pada bagian yang aktif. Sediaan diletakkan diatas gelas obyek dan ditetesi
1-2 tetes larutan KOH 10% untuk kulit dan larutan KOH 20% untuk
rambut dan kuku. Setelah tercampur, biarkan 15-20 menit untuk
melarutkan jaringan atau dihangatkan diatas nyala api selama beberapa
detik (hindari terjadi penguapan yang dapat membentuk kristal KOH)
untuk mempercepat proses lisis. Sediaan kemudian dilihat dibawah
mikroskop.
1 Infeksi Ektothrix : Hifa dan arthroconidia menutupi bagian luar batang
rambut dengan kerusakan kutikel, tetapi sisanya di permukanan
rambut. Bentuk ini merupakan karakteristik dari Microsporum spp.
(M. Canis dan M. audouinii), tetapi juga dapat pada T.verrucosum.
2 Infeksi Endothrix : Batang rambut terisi dengan hifa dan arthroconidia.
Bentuk ini merupakan karakteristik dari Trichophyton spp.
(T.violaceum dan T.tonsurans)
3 Favus: Terdapat rantai arthrospora yang renggang dan celah-celah
udara pada batang rambut.

Kultur fungi 2,5
Pemeriksaan ini untuk mengetahui jenis jamur yang menginfeksi
yaitu dilakukan dengan menanamkan sampel pada media agar dextrose
sabouraud. Pertumbuhan dermatofita biasanya tampak pada 10-14 hari.

Dermoscopy 5

Immunologic Study dan Pemeriksaan Histopatologi 7

2.9 Penatalaksanaan

15
Berdasarkan British Association of Dermatologists Guidelines for the
Management of Tinea Capitis, tujuan pengobatan antara lain adalah
mengeliminasi organisme penyebab, mengurangi gejala, mencegah jaringan parut,
dan mengurangi transmisi penularan ke orang lain.

Terapi topikal
Terapi topikal sebagai monoterapi tidak direkomendasikan sebagai
management tinea kapitis. Terapi topikal digunakan untuk mengurangi
transmisi spora, shampo povidone-iodine, zinc pyrithione, ketokonazole
1,5
2% dan selenium sulfida 1% menunjukan efektifitas pada kasus ini.
Shampo diaplikasikan pada kulit kepala dan rambut selama 5 menit,
seminggu 2 x, kurang lebih dalam 2-4 minggu atau dapat seminggu 3 x
hingga pasien secara klinis dan mikologi dinyatakan sembuh. Selanjutnya
dapat diberikan krim atau lotion topikal fungisidal sekali setiap hari
selama 1 minggu. Terbinafine solution 0,01% dapat membunuh
arthroconidia pada kelima spesies Trichophyton setelah terpapar selama
15-30 menit. 10,11

Terapi oral
Griseofulvin ataupun terbinafine menjadi pilihan terapi awal (first-
line treatments) secara umum terbinafine lebih efektif melawan spesies
Trichophyton (T.tonsurans, T.violaceum, T.soudanense) sedangkan
Griseofulvin lebih efektif melawan spesies Microsporum (M.canis,
M.audouinii). 1,5
1 Griseofulvin
Merupakan obat fungistatik dan menghambat mitosis dermatofita
dengan berinteraksi dengan mikrotubulus dan mengganggu spindle
mitosis, sehingga merupakan pilihan terapi baik untuk dermatofita
11
yang sedang aktif tumbuh. Dosis yang dapat diberikan untuk anak-
anak 10-25 mg / kgBB dan untuk dewasa 0,5-1 g single dose atau
dosis terbagi selama 6-12 minggu rata-rata 8 minggu. Lama
pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab dan keadaan
imun penderita. Pada infeksi Trichophyton dosis perlu ditingkatkan
dan pengobatan lebih lama (12-18 minggu). Efek samping yang sering

16
muncul adalah gangguan gastrointestinal seperti diare, kemerahan dan
nyeri kepala. Obat ini juga bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu
fungsi hepar. 1,5
2 Terbinafine
Termasuk obat kelas allyamine, generasi baru agen antifungi. Sifat
terbinafine adalah fungisidal dengan menghambat squalene epoxidase,
enzim pengikat membran dalam jalur biosintesis untuk membentuk
sterol dari membran sel fungi.11 Lebih efektif terhadap infeksi
Trichophyton daripada infeksi Microsporum. Dosis bergantung berat
badan. Berat badan < 20 kg diberikan 62,5 mg / hari, berat badan 20-
40 kg dapat diberikan 125 mg/hari sedangkan berat badan > 40 kg
dapat diberi 250 mg/hari selama 2-4 minggu. Efek samping gangguan
gastrointestinal dan kemerahan lebih rendah. 1,5
3 Itrakonazole
Merupakan obat yang memiliki kerja fungistatik ataupun fungisidal
tergantung konsentrasi di jaringan, namun mode aksi utama adalah
fungistatik dengan menghambat enzim dependent sitokrom P-450,
11
memblok sistesis ergosterol, komponen utama membran sel fungi.
Dosis yang dapat diberikan adalah 100-200 mg selama 2-4 minggu
untuk dewasa atau 5 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu untuk anak-
anak. Itrakonazole juga dapat dipakai sebagai second line treatment
ataupun first-line treatments karena memiliki aktifitas melawan baik
Microsporum spp. ataupun Trichophyton spp. dan apabila digunakan
sebagai terapi awal maka untuk terapi berikutnya dapat diganti
terbinafine apabila infeksi disebabkan oleh Trichophyton spp. dan
ganti terapi dengan Griseofulvin bila disebabkan oleh Microsporum
spp. 1,5
4 Flukonazole
Dapat digunakan sebagai terapi alternatif dari terbinafine, tetapi jarang
dipakai. 5

5 Ketokonazole

17
Terutama digunakan untuk kasus yang resisten terhadap griseofulvin.
Dosis yang dapat diberikan adalah 3-6 mg / kgBB/hari untuk anak-
anak atau 200 mg / hari untuk dewasa selama 10 hari – 2 minggu.
Ketokonazole kontraindikasi pada pasien dengan kelainan hepar
karena bersifat hepatotoksik. 1,5
6 Kortikosteroid
Baik oral maupun topikal dapat digunakan untuk tinea kapitis tipe
kerion atau tinea kapitis reaksi berat atau tinea kapitis dengan bentuk
lesi kerion untuk menghambat respon inflamasi host, mengurangi
keluhan umum dan gatal, serta dapat meminimalkan risiko jaringan
parut, namun penggunaannya masih kontroversial. 5,12
Prednisolon dapat digunakan sebagai pengobatan oral dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 7 hari, walaupun hal ini tidak dianjurkan
sebagai bagian routine care kerion. Selain itu, mereka menyatakan
untuk reaksi dermatophytid (autoeczematization), topikal steroid
mungkin diperlukan untuk mengontrol gejala namun biasanya terapi
oral antifungi tidak perlu dihentikan. 11
Laura E. Proudfoot, Elisabeth M. Higgins, dan Rachael Morris-Jones
dalam penelitiannya yang berjudul A Retrospective Study of the
Management of Pediatric Kerion in Trichophyton Tonsurans Infection
menyarankan pengobatan kerion didasarkan pada dermatofita yang
menginfeksi. Kortikosteroid oral dan intralesi tidak perlu ditambahkan
pada terapi antifungal pada anak-anak dengan tinea kapitis kerion. 12
7 Antihistamin
Pada pasien dengan keluhan gatal, antihistamin dapat mengurangi
keluhan dan dapat mencegah distribusi spora melalui garukan (finger
scratching). 11

18
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. SA
Umur : 6 Tahun/ 22 Maret 2013
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jalan Gajah Mada No 11, Kampung Olo, Padang
Status Perkawinan : Belum Menikah
Negeri Asal : Indonesia
Agama : Islam
Nama Ibu Kandung : Ny. EA
Suku : Chaniago, Minangkabau
Tanggal Pemeriksaan : 25 September 2019

ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berusia 6 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Dr M. Djamil Padang pada tanggal 25 September 2019, dengan:
Keluhan Utama
Benjolan yang terasa semakin nyeri dan gatal pada belakang kepala sejak
± 1 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


 Benjolan yang terasa semakin nyeri dan gatal pada belakang kepala sejak
± 1 minggu yang lalu.
 Awalnya ± 1 bulan yang lalu, benjolan hanya berupa bercak putih seperti
serbuk sebesar uang logam dengan dasar kemerahan yang terasa gatal,
namun lama kelamaan bercak tersebut membesar dan menebal serta
muncul beberapa bercak serupa di bagian lain pada kepala. Bercak serupa
dibagian tubuh lain tidak ada.
 Rasa gatal dirasakan hilang timbul dan semakin hebat bila pasien

19
berkeringat. Pasien sering terbangun di malam hari karena merasa gatal
pada kepalanya. Rasa gatal berkurang apabila digaruk.
 Bercak tersebut saat ini mengeluarkan bau yang tidak sedap sejak ± 1
minggu ini.
 Orang tua pasien membawa pasien berobat ke puskesmas dan diberi obat
oles berupa krim warna putih yang dipakai 2 kali sehari serta obat makan
berupa CTM yang diminum 1 kali sehari. Pasien hanya mengkonsumsi
obat dari puskesmas selama 3 hari dan keluhan tidak berkurang.
 Kemudian, orang tua pasien membawa pasien berobat ke klinik dan diberi
2 jenis obat sirup, namun orang tua pasien lupa nama obatnya. Pasien
hanya mengkonsumsi obat tersebut 2 kali dan keluhan tidak berkurang.
 Lalu, orang tua pasien mengobati pasien dengan ramuan tradisonal yang
dibuat dari tanaman yang disebut daun racun dan kunyit. Ramuan tersebut
dioleskan di benjolan kepala pasien sebanyak 1 kali sehari dan sudah
digunakan sejak ± 1 minggu ini, namun keluhan tidak berkurang. Saat ini,
pada benjolan tersebut timbul nanah sejak ± 3 hari ini.
 Pasien mandi 2x/hari, mencuci rambut 1x/hari dengan shampoo bayi dan
mengganti baju setiap kali habis mandi.
 Pasien memakai perlengkapan mandi dan handuk sendiri. Handuk di cuci
setiap 1 minggu sekali.
 Pasien sering mengikat rambut nya dalam keadaan basah dan langsung
menggunakan jilbab untuk pergi ke sekolah. Jilbab diganti setiap hari.
 Teman di kelas pasien pernah mengalami keluhan yang sama berupa
bercak putih yang semakin membesar dan menyebar di kepala nya. Pasien
sering bermain dengan teman nya tersebut dan pasien pernah memegang
kepala temannya.
 Riwayat memelihara kucing dengan bulu yang rontok ada, kucing bebas
berkeliaran di dalam rumah dan pasien sering bermain dengan kucing.
 Riwayat bermain di luar dan bercocok tanam tanpa menggunakan alas kaki
tidak ada.
 Ventilasi di rumah pasien ada, keluarga pasien sering membuka jendela,
sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah pasien dan lantai rumah

20
terbuat dari ubin.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan serupa berupa bercak yang terasa gatal di kepala tidak
ada.
 Riwayat keluhan berupa bercak yang terasa gatal di bagian tubuh lain tidak
ada.

Riwayat Penyakit Keluarga/Riwayat Atopi/Alergi


 Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan bercak putih
dengan dasar merah yang terasa gatal pada tubuh sebelumnya.
 Riwayat alergi obat disangkal.
 Riwayat alergi makanan disangakal.
 Riwayat kaligata disangkal.
 Riwayat bersin-bersin di pagi hari disangkal.
 Riwayat sesak berulang dengan bunyi menciut disangkal.
 Riwayat mata merah berair-air disangkal.
 Riwayat alergi serbuk bunga disangkal.
 Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat atopi seperti
yang disebutkan di atas.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis

Keadaan umum : Sakit ringan

Kesadaran : Komposmentis Kooperatif

Nadi : 78x/menit

Nafas : 14x/menit

Suhu : Afebris

Tinggi Badan : 112 cm

Berat Badan : 20 kg

IMT : 15,94 kg/m2

21

Status Gizi : Underweight

Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sclera ikterik (-/-)

Kuku : Tidak ditemukan kelainan

Rambut : Rambut mudah rontok, botak setempat ada

KGB : Tidak ada pembesaran KGB

Pemeriksaan Thorak : Dalam batas normal

Pemeriksan Abdomen : Dalam batas normal

Status Dermatologikus
 Lokasi : Kepala bagian belakang, samping kiri, samping kanan dan
atas
 Distribusi : Terlokalisir
 Bentuk : Bulat – Tidak khas
 Susunan : Tidak khas
 Batas : Tegas
 Ukuran : Plakat
 Efloresensi : Plak hipopigmentasi dengan permukaan verukosa, Plak
eritem, skuama putih kasar, krusta, erosi, ekskoriasi, pus.
Status Venerologikus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kelainan Selaput Lendir: Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Kuku : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Rambut : Tidak ditemukan kelainan
Kelenjar Getah Bening : Tidak ditemukan pembesaran KGB

22
Gambar 1 Lesi Tinea Kapitis Favosa

Gambar 2 Lesi Tinea Kapitis Favosa

23
Gambar 3 Lesi Tinea Kapitis Favosa

Gambar 4 Tinea Kapitis Favosa

24
Resume
Seorang pasien perempuan berumur 6 tahun dating ke poliklinik kulit dan
kelamin pada tanggal 25 September 2019 dengan keluhan utama benjolan yang
terasa semakin nyeri dan gatal pada belakang kepala sejak ± 1 minggu yang lalu.
Dari anamnesis didapatkan awalnya banjolan timbul ± 1 bulan yang lalu berupa
bercak putih seperti serbuk sebesar uang logam dengan dasar kemerahan yang
terasa gatal, namun lama kelamaan bercak tersebut membesar dan menebal serta
muncul beberapa bercak serupa di bagian lain pada kepala. Rasa gatal dirasakan
hilang timbul dan semakin hebat bila pasien berkeringat. Pasien sering terbangun
di malam hari karena merasa gatal pada kepalanya. Rasa gatal berkurang apabila
digaruk. Bercak tersebut saat ini mengeluarkan bau yang tidak sedap sejak ± 1
minggu ini. Pasien sering mengikat rambut nya dalam keadaan basah dan
langsung menggunakan jilbab untuk pergi ke sekolah. Teman di kelas pasien
pernah mengalami keluhan yang sama berupa bercak putih yang semakin
membesar dan menyebar di kepala nya. Pasien sering bermain dengan teman nya
tersebut dan pasien pernah memegang kepala temannya. Pasien memelihara
kucing dengan bulu yang rontok, kucing bebas berkeliaran di dalam rumah dan
pasien sering bermain dengan kucing.
Status dermatologikus lokasi di kepala bagian belakang, samping kiri,
samping kanan dan atas distribusi terlokalisir, bentuk bulat hingga tidak khas,
susunan tidak khas, batas tegas, ukuran plakat, efloresensi plak hipopigmentasi
dengan permukaan verukosa, plak eritem, skuama putih kasar diatasnya, krusta,
erosi, eksoriasi dan pus.

DIAGNOSIS KERJA
Tinea Kapitis Favosa

DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis Seboroik

25
PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN
Pemeriksaan mikologik dengan KOH 10%
Pemeriksaan Lampu Wood didapatkan flouresensi berwarna kuning kehijauan

Gambar 5 Pemeriksaan Woods Lamp pada Tinea Kapitis Favosa

PEMERIKSAAN LABORATORIUM ANJURAN


Dianjurkan untuk melakukan kultur jamur.

PENATALAKSANAAN
Umum
- Edukasi kepada pasien untuk menjaga hygiene diri.
- Cuci handuk, jilbab, pakaian dan alas tidur yang terkontaminasi jamur
dengan air panas untuk mencegah penyebaran jamur tersebut.
- Pisah handuk untuk mengeringkan kepala dan badan untuk mnecegah
penyebaran jamur.
- Bersihkan kepala setiap hari menggunakan shampoo dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
- Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk mencegah
penyebaran jamur dari kepala.
- Potong kuku dan mencuci tangan setiap habis beraktivitas diluar.
- Biasakan mengeringkan rambut setiap habis mencuci rambut dan sebelum
menggunakan jilbab.

26
- Hindari mengikat rambut selagi masih basah.
- Hindari menggaruk bagian kepala yang gatal.
- Hindari kontak langsung dengan teman yang mengalami gejala yang sama.
- Hindari kontak langsung dengan kucing peliharaan.
- Jika memungkinkan, berikan periksakan kucing peliharaan ke dokter
hewan dan berikan kandang yang terkena sinar matahari pada kucing agar
tidak bebas berkeliaran di rumah.
- Hindari menggunkan jilbab bergantian denga orang lain untuk mencegah
penularan.
- Konsumsi makanan yang bergizi, minum susu dan hindari makanan pedas.
- Hentikan pengobatan tradisional dari daun dan kunyit.
- Konsumsi obat dari RS dengan rutin baik obat topikal maupun sistemik

Khusus
- Topikal : Sampo katekonazol 2% 2 x 1 selama 2 – 4 minggu.
- Sistemik : Griseofulvin fine particle 10 – 25 mg/kgBB 1 x 1 selama
8 minggu.

27
dr. Diyanah
Praktik Umum
SIP : 25/D/121996
Praktik Hari Kerja Pukul 18.00 – 20.00 WIB
Alamat : Jalan Perintis Kemerdekaan no 100 Padang
No. Telp : (0751)23456

Padang, 25 September 2019

R/ Tab Griseovulvin 500 mg No LVI

S.1.d.d. tab I Dh
R/ Katekonazol shampoo 2% tube No I

S.u.e 2.d.d applic loc dol


Dh

Pro : Nn. SA
Umur : 6 Tahun
Alamat : Jalan Gajah Mada No 11, Kampung Olo, Padang
Nama Ibu Kandung : Ny. EA

PROGNOSIS
Quo Ad Sanam : Bonam
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Kosmetikum : Dubia Ad Malam
Quo Ad Functionam : Bonam

28
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien perempuan berumur 6 tahun dating ke poliklinik kulit dan


kelamin pada tanggal 25 September 2019 dengan keluhan utama benjolan yang
terasa semakin nyeri dan gatal pada belakang kepala sejak ± 1 minggu yang lalu.
Dari anamnesis didapatkan awalnya banjolan timbul ± 1 bulan yang lalu berupa
bercak putih seperti serbuk sebesar uang logam dengan dasar kemerahan yang
terasa gatal, namun lama kelamaan bercak tersebut membesar dan menebal serta
muncul beberapa bercak serupa di bagian lain pada kepala. Rasa gatal dirasakan
hilang timbul dan semakin hebat bila pasien berkeringat. Pasien sering terbangun
di malam hari karena merasa gatal pada kepalanya. Rasa gatal berkurang apabila
digaruk. Bercak tersebut saat ini mengeluarkan bau yang tidak sedap sejak ± 1
minggu ini. Pasien sering mengikat rambut nya dalam keadaan basah dan
langsung menggunakan jilbab untuk pergi ke sekolah. Teman di kelas pasien
pernah mengalami keluhan yang sama berupa bercak putih yang semakin
membesar dan menyebar di kepala nya. Pasien sering bermain dengan teman nya
tersebut dan pasien pernah memegang kepala temannya. Pasien memelihara
kucing dengan bulu yang rontok, kucing bebas berkeliaran di dalam rumah dan
pasien sering bermain dengan kucing.
Status dermatologikus lokasi di kepala bagian belakang, samping kiri,
samping kanan dan atas distribusi terlokalisir, bentuk bulat hingga tidak khas,
susunan tidak khas, batas tegas, ukuran plakat, efloresensi plak hipopigmentasi
dengan permukaan verukosa, plak eritem, skuama putih kasar diatasnya, krusta,
erosi, eksoriasi dan pus.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosa kerja pasien ini
adalah tinea kapitis favosa. Tinea korporis favosa merupakan salah satu istilah
pada tinea yang mempunyai arti khusus yaitu dermatofitosis yang terutama
disebabkan oleh Tricophyton schoenleini. Gambaran klinis dimulai di kepala
sebagai titik kecil di bawah kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang
menjadi krusta berbentuk cawan (skutula). Krusta ditembus oleh satu atau dua
rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan basah.
Rambut tidak berkilat dan akirnya terlepas. Skutula disekitar rambut berisi debris
kulit dan hifa yang menembus batang rambut. Skutula memiliki bau yang khas
yaitu berbau tidak sedap seperti tikus “moussy odor” dan rambut secara ekstensif
akan hilang menjadi alopesia dan atrofi.
Tatalaksana pasien ini adalah selain memberi edukasi tentang penyakit
juga anjuran untuk menjaga hygiene diri, hindari kontak dengan orang yang juga
sedang mengalami infeksi kulit yang sama, hindari kontak dengan binatang
peliharaan dan asupan nutrisi yang bergizi. Tatalaksana khusus berupa terapi
topikal pada pasien ini diberikan shampo antimikotik yaitu sampo katekonazol 2%
yang digunakan 2 kali sehari selama 2 – 4 minggu. Selain itu, terapi sistemik juga
diberikan pada pasien ini karena tidak disarankan bila hanya memberikan terapi
topikal saja pada tinea kapitis favosa yaitu antifungal sistemik berupa
Griseofulvin fine particle 10 – 25 mg/kgBB yang digunakan 1 kali sehari selama
8 minggu.
Prognosis pada pasien ini adalah quo ada sanationam bonam, quo ad vitam
bonam, quo ad functionam bonam dan quo ad kosmetikum dubia ad malam
karena biasanya lesinya menjadi sikatrik dan terjadi alopesia permanen.

8
DAFTAR PUSTAKA

1 Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.
2 Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, et al.
2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed. New York Mc
Graw Hill.
3 Lakshmipathy, D. T., and Kannabiran, K. 2010. Review on
dermatomycosis:pathogenesis and treatment. Natural Science: Vol.2, No.7,
726-731.
4 Sari, A.B., dkk. 2012. Tinea Kapitis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN
dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Periode Tahun 2005 – 2010. MDVI 2012;
39/3:113 – 117. Diakses dari
http://www.perdoski.org/index.php/public/information/mdvi-detail-
content/143 tanggal 17 September 2017
5 L.C. Fuller et al. 2014. British Association of Dermatologists Guidelines for
the Management of Tinea Capitis. British Journal of Dermatology.
6 Brent D. Michaels, James Q. Del Rosso Sanchez. 2012. Tinea Capitis in
Infants, Recognition, Evaluation, and Management Suggestions. The Journal
of Clinical Aesthetic Dermatology.
7 N Rebollo, AP López-Barcenas, R Arenas. 2008. Review Article : Tinea
Capitis. Actas Dermosifiliogr Mexico City.
8 Kao, Grace F. 2014. Tinea Capitis. Medscape. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1091351-overview tanggal 17
September 2017.
9 Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. 2013. Fitzpatrick’s Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology, Seventh Edition. New York Mc Graw
Hill.
10. Kakourou, T. and Uskal, U. 2010. Guidelines for the Management of Tinea
Capitis in Children. PediatricDermatology Vol.27No.3226–228,2010.
WileyPeriodicals,Inc.
11. Bennassar, A., and Grimalt, R. 2010. Management og Tinea Capitis in
Childhood. Dove Press Journal: Clinical, Cosmetic and Investigational
Dermatology 2010:3 89–98.
12. Proudfoot, LE., Higgins, E. M., and Morris-Jones, R. 2011. A Retrospective
Study of the Management of Pediatric Kerion in Trichophyton Tonsurans
Infection. Pediatric Dermatology. Vol 28, Issue 6: Nov/Dec 2011. Pages 655–
657. Diakses
darihttp://onlinelibrary.wiley.com/enhanced/doi/10.1111/j.1525-
1470.2011.01645.x/ tanggal 17 September 2017.

Anda mungkin juga menyukai