Anda di halaman 1dari 22

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin REFERAT

TINEA PEDIS

Disusun Oleh:

Ningsih Cutrianti

N 111 22 147

Pembimbing Klinik

dr. Seniwaty, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU FAKULTAS

KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO

PALU
2023

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ningsih Cutrianti

No. Stambuk : N 111 22 147

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Judul Referat : Tinea Pedis

Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin

RSUD Undata Palu

Fakultas Kedokteran

Universitas Tadulako

Palu, Oktober 2023

Pembimbing Klinik Mahasiswa

dr. Seniwaty, Sp.KK Ningsih Cutrianti

N111 22 147
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI

Tinea pedis adalah infeksi kulit dari jamur superfisial pada kaki .
(1)
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama
mengenai sela jari dan telapak kaki.(2) Tinea pedis merupakan
golongan dermatofitosis pada kaki.(3)

Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis.


Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk atau stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut
dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.
Dermatomikosis merupakan arti umum, yaitu semua penyakit jamur
yang menyerang kulit. (2)

2. EPIDEMIOLOGI

Hampir semua orang dalam populasi umumnya terkena jamur


yang menyebabkan Tinea pedis. Sistem kekebalan tubuh masing-
masing orang menentukan apakah hasil infeksi dari eksposur tersebut.
Sebagai orang usia dewasa, retak kecil berkembang di kulit kaki,
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi tinea.(5) Prevalensi Tinea
pedis sekitar 10%, terutama disebabkan oleh oklusif alas kaki.(3)
Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan
jamur, sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut
Adiguna MS, insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai rumah
sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%.
Meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum.
Dermatomikosis atau mikosis superfisialis cukup banyak
diderita penduduk negara tropis. Di Indonesia angka yang tepat,
berapa sesungguhnya insiden dermatomikosis belum ada. Di
Denpasar, golongan penyakit ini menempati urutan kedua setelah
dermatitis. Angka insiden tersebut diperkirakan kurang lebih sama
dengan di kota-kota besar Indonesia lainnya. Di daerah pedalaman
angka ini mungkin akan meningkat dengan variasi penyakit yang
berbeda. Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan pada penderita
dermatomikosis yang dirawat di IRNA Penyakit Kulit Dan Kelamin
RSU Dr. Soetomo Surabaya dalam kurun waktu antara 2 Januari 1998
sampai dengan 31 Desember 2002. Dari pengamatan selama 5 tahun
didapatkan 19 penderita dermatomikosis. Kasus terbanyak terjadi pada
usia antara 15-24 tahun (26,3%), penderita wanita hampir sebanding
dengan laki-laki(10:9). Dermatomikosis terbanyak ialah Tinea kapitis,
Aktinomisetoma, Tinea kruris et korporis, Kandidiasis oral, dan
Kandidiasis vulvovaginalis.(6)

3. ETIOLOGI

Sebagian besar kasus tinea pedis yang disebabkan oleh dermatofita


jamur yang menyebabkan infeksi di superfisial kulit dan kuku dengan
menginfeksi keratin dari lapisan atas epidermis di kaki (Al Hasan, 2004).
Tinea ini paling sering disebabkan oleh spesies anthropophilik seperti
Trichophyton rubrum (80 %), Tricophyton mentagrophytes (20%),
Epidermophyton floccosum (10%) dan oleh M. canis dan T. Tonsurans
jarang terjadi yang diteliti oleh British Infection Association (Chadwick P,
2013).
Tabel 2.x Agen penyebab tinea pedis

1. Trichophyton rubrum (T. rubrum)


Ciri khas dari respon imun terhadap T. rubrum adalah bahwa ia
memiliki kapasitas untuk menginfeksi baik secara langsung disebut
Immediate (IH) atau respon tidak langsung disebut Delayed Type
Hypersensitivity (DTH). Ini tergantung pada tubuh, dan paparan
sebelumnya dari antigen. Umumnya, respon DTH dikaitkan dengan infeksi
akut, dengan peningkatan jumlah inflamatori. Respon IH dikaitkan dengan
infeksi dermatofitosis kronis. Gejalanya, tanpa durasi adalah ciri khas dari
respon DTH.

Gambar 2.x Morfologi dari Trichophyton rubrum


 Koloni : Putih bertumpuk di tengah dan maroon pada tepinya
berwarna merah cheri pada PDA
 Mikroskopik. : Beberapa mikrokonida berbentuk air mata, sedikit
makrokonidia berbentuk pensil
2. Trichophyton Mentagrophytes
Morfologi mikroskopis pada Trichophyton Mentagrophytes, septate
hifa dapat dilihat. Mikrokonidia di dalam selubung, bubuk kultur hadir
menghasilkan banyak bulatan, pada konidiofor bercabang 2 dan
bergerombol seperti anggur. Kultur microconidia dengan ciri bulu halus
lebih kecil, berbentuk air mata, dan jumlahnya lebih sedikit.
Trichophyton mentagrophytes adalah tumbuh secara moderat yang
matur pada 7 sampai 10 hari. Hasil kultur dapat bervariasi dalam
manifestasi dari kapas, berbulu halus dan berwarna putih untuk serbuk,
granular dan buff. Koloni mungkin muncul berwarna merah muda atau
kuning. Sebaliknya, mungkin warna kultur tidak berwarna, kuning, coklat
atau merah.
Gambar 2.x Morfologi dari Trichophyton Mentagrophytes
 Koloni: putih hingga krem dengan permukaan seperti tumpukan
kapas pada PDA tidak muncul pigmen.
 Gambaran mikroskopik: mikrokonidia yang bergerombol, bentuk
cerutu yang jarang, terkadang hifa spiral.

Media agar garam Sabouraud adalah tes yang sangat baik untuk
membedakan T. mentagrophytes dari T. Rubrum. Sebagai koloni T.
Mentagrophytes tumbuh dengan sangat baik pada media agar ini
dibandingkan T. Rubrum. Pada media agar ini dan biasanya menghasilkan
warna pigmen khas coklat gelap kemerahan. Sebaliknya, T. Mentagrophytes
akan menghasilkan warna kuning-coklat sampai merah muda-coklat pada
tiap pigmen dengan media agar Lactritmel dan Trichophyton. Pada agar
pepton 1%, T. mentagrophytes variasi interdigitale memiliki permukaan
seperti berbulu halus. Sedangkan T. Mentagrophytes variasi
mentagrophytes memiliki karakteristik seperti granular (Sousa, et al,. 2013).

4. PATOGENESIS

Patogenesis dermatofita memiliki 3 step: (7)


1. Adherence/pengikatan. Fungi selalu mempunyai hambatan dalam
proses infeksinya, fungi harus resisten terhadap sinar UV, tahan terhadap
berbagai temperatur dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal kulit,
spingosine yang di hasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yg diproduksi
oleh glandula sebasea bersifat fungistatik (menghambat pertumbuhan
jamur). Mulainya diproduksi asam lemak pada anak anak post-pubertas
mungkin menerangkan menurunnya kejadian Tinea kapitis secara drastis.(7)
2. Penetrasi setelah fase adherence, spora akan tumbuh dan memasuki
stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat dari waktu deskuamasi
epidermis. Penetrasi juga di dukung dengan keluarnya enzim proteinase,
lipase dan musinolitik yang juga membantu dalam pembuatan nutrisi fungi.
Trauma dan maserasi merupakan faktor penting dalam memudahkan
penetrasi fungi terutama pada kasus Tinea pedis. Fungal mannans yang ada
di dinding sel dermatofita juga dapat menurunkan poliferasi sel keratinosit.
Pertahanan terbaru pada lapisan epidermis yang lebih dapat tercapai
diantaranya berkompetisi dengan besi dan juga penghambatan pertumbuhan
jamur oleh progesteron.(7)
3. Development a host response/respon host. Proses inflamasi yang
terjadi sangat tergantung dari sistem imun host dan juga oleh jenis
organisme. Beberapa fungi dapat menghasilkan faktor kemotaktik dengan
berat melekul rendah seperti yang dihasilkan bakteri. Antibodi tidak terlihat
pada infeksi dermatofita, tetapi hanya menggunakan jalur reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Infeksi yang sangat ringan sering hanya
menimbulkan inflamasi yang ringan juga, pertama muncul berupa eritema
dan scale / skuama yang menandakan terjadinya peningkatan pergantian
keratinosit (keratinocyte turnover). Antigen dermatofit diproses oleh sel
langerhans epidermis dan dipresentasikan di nodus limpa lokal menuju ke
limfosit T. Kemudian limfosit T mengalami poliferasi dan bermigrasi ke
lokasi untuk membunuh jamur dan pada waktu ini lesi menjadi mendadak
inflamasi. Oleh sebab ini barier epidermal menjadi permeable terhadap
transferin dan migrasi sel.(7)

5. TRANSMISI
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia.
Antropofilik ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam
renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan
(silent “carrier”).
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia.
Zoofilik ditularkan melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui bulu
binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada
rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan
utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia.
Geofilik menginfeksi manusia secara sporadis dan menimbulkan reaksi radang. Untuk
dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh
non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan
mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu
bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan
biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau
radang
6. GAMBARAN KLINIK

Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:

Tabel 2.x Manifestasi klinis pada Tinea Pedis


1. Interdigitalis. Di antara jari IV dan jari V terlihat fisura yang
dilingkari sisik halus dan tipis, dapat meluas ke bawah jari (subdigital)
dan telapak kaki. Kelainan kulit berupa kelompok vesikel. Sering
terjadi maserasi pada sela jari terutama sisi lateral berupa kulit putih
dan rapuh, berfisura dan sering disertai bau. Bila kulit yang mati
dibersihkan, akan terlihat kulit baru yang pada umumnya telah
diserang jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun
dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan. Pada suatu
ketika dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi
selulitis, limfangitis, limfadenitis dan erisipelas, dengan gejala-gejala
konstitusi.(8)
Gambar.1 Tinea pedis, Interdigitalis.(9)

2. Moccasin foot, tipe papuloskuamosa hiperkeratotik yang menahun.


Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat
kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama
terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat
papul dan kadang-kadang vesikel. Sering terdapat di daerah tumit,
telapak kaki, dan kaki bagian lateral, dan biasanya bilateral.(8)

Gambar 2. Tinea pedis pada telapak kaki(9)

3. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-


kadang bula. Kelainan ini mula-mula terdapat di pada daerah sela jari,
kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki, dan jarang pada
tumit. Lesi-lesi ini mungkin berasal dari perluasan lesi daerah
interdigital. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah
pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik berbentuk lingkaran yang
disebut kolaret. Infeksi sekunder dapat terjadi, sehingga dapat
menyebabkan selulitis, limfangitis, dan kadang-kadang menyerupai
erisipelas. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk
menemukannya, sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk
diperiksa untuk diperiksa secara sediaan langsung atau untuk dibiak.(8)
Gambar 3. Tinea pedis; Vesiko Bulosa, dengan hiperpigmentasi dari lesi
yang inflamasi.(10)

4. Bentuk yang terakhir adalah bentuk akut ulseratif pada telapak dengan
maserasi, madidans, dan bau. Diagnosis Tinea pedis lebih sulit karena
pemeriksaan kerokan kulit dan kultur sering tidak ditemukan jamur.(8)

Gambar 4. Tinea pedis Type Ulseratif.(9)

Gambar 4. Tinea pedis tipe Ulseratif.(9)


7. DIAGNOSIS

Athlet’s foot biasanya dapat didiagnosis dengan inspeksi dari kulit,


tetapi jika diagnosis tidak pasti, maka dilakukan pemeriksaam kalium
hidroksida dari kerokan kulit dan diperiksa menggunakan mikroskop
(dikenal sebagai tes KOH). Tes ini dapat membantu penegakan diagnosis
dari Athlet’s foot dan membantu menyingkirkan kemungkinan penyebab
yang lain, seperti kandidiasis, keratolisis, erithrasma, dermatitis kontak,
eksim, atau psoriasis. Dermatofitosis diketahui menyebabkan Athlet’s foot
dan akan menunjukkan beberapa hifa bersepta dan bercabang pada
mikroskop.(11)
Pada lampu wood (black light), meskipun berguna dalam
mendiagnosis infeksi jamur pada kulit kepala (Tinea kapitis), biasanya tidak
membantu dalam mendiagnosis Athlet’s foot, karena dermatofit umum yang
menyebabkan penyakit ini tidak berfluoresensi dibawah sinar ultraviolet.(12)

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan langsung


menggunakan mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian
dengan pembesaran 10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100
biasanya tidak diperlukan. Sediaan basah dilakukan dengan meletakkan
bahan diatas gelas alas, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KoH.
Konsentrasi larutan untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan
kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KoH, ditunggu 15-20
menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat
proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah diatas api kecil.
Pada saat mulai keluar uap pada sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup.
Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KoH, sehingga tujuan
yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata
dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KoH, misalnya tinta Parker
superchoom blue black. Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah
hifa, sebagai 2 garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang maupun spora
berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati. (2)
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar
dextrosa Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja
(kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimit. Kedua zat tersebut
diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur
kontaminan.(2)
Gambar 5 : KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)

Gambar 6 : Gambaran histopatologi dari Tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial
dari epidermis
9. DIAGNOSA BANDING

Berdasar Budimulya (2006) dan Perdoski (2001) Tinea pedis harus


dibedakan dari beberapa penyakit lain dikaki sebagai diagnosis banding
diantaranya adalah : (11)

1. Dermatitis Kontak Alergi


Dermatitis dengan gejala gatal disertai eritema, vesikel, skuamasi
terutama pada jari-jari, punggung, dan kaki. Diakibatkan oleh kontak
dengan zat yang menyebabkan alergi.(11)
2. Psoriasis Pustulosa
Kelainan kulit berupa plak bersisik putih yang terdapat pada daerah
lutut, siku, dan kulit kepala. Selain itu juga, terdapat pada jari-jari
tangan dan jari-jari kaki dengan penampakan plak-plak yang licin dan
merah dan permukaan yang mengalami maserasi.(11)
3. Skabies Pada Kaki
Gejala gatal pada badan, sela jari tangan, lipat paha, dan lipatan siku
yang disebabkan oleh tungau (kutu) skabies.(11)

10. PENATALAKSANAAN

Secara umum penatalaksanaan Tinea pedis didasarkan atas klasifikasi


dan tipenya.(13)
Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea pedis dan pengobatannya
Tipe Organisme Gejala Klinis Pengobatan
Penyebab
Moccasin Trichophyton Hiperkeratosis yang Antifungal
difus, eritema dan topikal disertai
rubrum retakan pada dengan obat-
permukaan telapak obatan keratolitik
Epidermophyton
kaki; pada asam salisilat,
floccosum
umumnya sifatnya urea dan asam
Scytalidium kronik dan sulit laktat untuk
hyalinum disembuhkan; mengurangi
S. dimidiatum berhubungan hiperkeratosis;
dengan defisiensi dapat juga
Cell Mediated ditambahkan
Immunity (CMI) dengan obat-
obatan oral
Interdigital T. mentagrophytes Tipe yang paling Obat-obatan
sering; eritema, topikal; bisa juga
(var. interdigitale)
krusta dan maserasi menggunakan
T. rubrum yang terjadi pada obat-obatan oral
E. floccosum sela-sela jari kaki, dan pemberian
S. hyalinum antibiotik jika
terdapat infeksi
S. dimidiatum
bakteri; kronik :
Candida spp. ammonium
klorida
hexahidrate 20 %
Inflamasi / T. mentagrophytes Vesikel dan bula Obat-obatan
Vesikobulosa pada pertengahan topikal biasanya
(var.
kaki; berhubungan cukup pada fase
mentagrophytes)
dengan reaksi akut, namun
dermatofit apabila dalam
keadaan berat
maka indikasi
pemberian
glukokortikoid
Ulseratif T. rubrum Eksaserbasi pada Obat-obatan
daerah interdigital; topikal; antibiotik
T.
Ulserasi dan erosi; digunakan
mentagrophytes
biasanya terdapat apabila terdapat
E. floccosum infeksi sekunder infeksi sekunder
oleh bakteri;
biasanya terdapat
pada pasien
imunokompromais
dan pasien diabetes

A. ANTIFUNGAL TOPIKAL
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang
terlokalisir. Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal,
biasanya terjadi dermatitis kontak alergi, yang biasanya terbuat dari
alkohol atau komponen yang lain. (13)
a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis Tinea pedis tetapi
lebih cocok pada pengobatan Tinea pedis interdigitalis karena
efektif pada dermatofit dan kandida.(13)
 Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas
dengan menghambat pertumbuhan bentuk yeast jamur.
Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan sampai waktu
2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa
terbakar, eritema, edema dan gatal.(13)
 Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal
berspektrum luas golongan Imidazol; menghambat sintesis
ergosterol, menyebabkan komponen sel yang mengecil
hingga menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan
selama 2-4 minggu.(13)
 Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur
dengan menghambat biosintesis ergosterol sehingga
permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan keluarnya
zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel
jamur. Lotion 2 % bekerja pada daerah-daerah
intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka waktu
2-6 minggu.(13)
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk
sebagian besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap
kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan
hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan
dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis,
tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam
salisilat 10 %.(13)
c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum
luas dengan antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga
dapat digunakan dalam berbagai jenis jamur.(13)
 Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk
dermatofitosis, kandidiasis dan tinea versikolor.
Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang
dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat
terjadi walaupun jarang terjadi.(13)
d. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat
ini juga berguna pada Tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi
hiperkeratotik kronik).(13)
 Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol,
yang mengakibatkan kematian sel jamur. Jangka waktu
pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki
keefektifan yang sama dengan terbinafine 10% dalam
mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih kecil
dan lebih aman.(13)
e. Antijamur Topikal Lainnya.(13)
 Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat
dan asam salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 %
dan 3 %) ini dikenal sebagai salep Whitfield. Asam
benzoat memberikan efek fungistatik sedangkan asam
salisilat memberikan efek keratolitik. Asam benzoat hanya
bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai
setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas
seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat
pemakaian, juga ada keluhan yang kurang menyenangkan
dari para pemakainya karena salep ini berlemak.(13)
 Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya
menimbulkan efek fungistatik tetapi dalam dosis tinggi
dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek
fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk salep
campuran yang mengandung 5 % undesilenat dan 20%
seng undesilenat.(13)
 Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur
sintetik, berbentuk kristal kekuningan, sukar larut dalam
air tetapi larut dalam alkohol. Haloprogin tersedia dalam
bentuk krim dan larutan dengan kadar 1 %.(13)
B. ANTIFUNGAL SISTEMIK
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal
gagal dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat
diatasi dengan pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara
lain (13)
1. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik.
Griseofulvin dalam bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan
dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-
anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung
pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas
penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar
tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali
sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan dosis tunggal
harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar
penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah
penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang
dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang
didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat
berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan
diare. Obat tersebut juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat
mengganggu fungsi hepar.(13)
2. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk
dermatofitosis yaitu ketokonazole yang bersifat fungistatik.
Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan
obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2
minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan
kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.(13)
3. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal
yangdapat digunakan sebagai pengganti ketokonazole yang
bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh
hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan
jamur dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan
dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting
dalam sela membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk
penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya
cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3
hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat
memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat
menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat
meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan
pada Tinea pedis tipe moccasion.(13)
4. Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat
diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu,
dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung berat badan.
Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase
sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin
ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering
gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri
lambung, diare dan konstipasi yang umumnya ringan. Efek
samping lainnya dapat berupa gangguan pengecapan dengan
presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau
seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat
sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi
hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus. Terbinafin baik
digunakan pada pasien Tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya
kronik. Pada suatu penelitian ternyata ditemukan bahwa
pengobatan Tinea pedis dengan terbinafine lebih efektif
dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.(13)

I. PROGNOSIS

Pengobatan yang diterapkan dalam beberapa minggu pada kaki


biasanya dapat menyembuhkan Tinea pedis (Athlete’s Foot) pada penderita
dengan gejala yang baru. Infeksi Tinea pedis kronis atau berulang juga bisa
disembuhkan dengan cara ini, tetapi mungkin memerlukan perubahan
signifikan dalam perawatan kaki dan beberapa minggu pengobatan. Kasus
yang lebih parah mungkin memerlukan obat oral. Bahkan setelah
pengobatan berhasil, penderita tetap berisiko terhadap infeksi ulang jika
mereka tidak mengikuti pedoman pencegahan. (14)

Sebagian besar kasus Athlete’s foot sembuh dalam waktu dua minggu.
Kasus yang lebih parah dapat mencapai waktu satu bulan atau bahkan lebih
lama dengan asumsi penyebabnya adalah infeksi jamur.(15)
DAFTAR PUSTAKA

1) Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. in Tinea pedis: An


Update. Asian Journal of Medical Sciences 2 (2011)
2) Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p.
89- 104
3) Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 6th ed. New york: McGraw-Hill; 2003. p
4) Price SA, Wilson LM. in Patofisiologi.Konsep Klinik Proses-Proses
Penyakit. Edisi Empat.EGC.1995
5) Claire J. Carlo, MD. Patricia MacWilliams Bowe, RN, MS. Tinea
pedis(Athlete’s Foot)
6) Penyakit Dermatofitosis in kuliah itu keren.blogspot.com/2011/03/pengakit
dermatofitosis.html
7) Dermatofitosis Tinea Kapitis in
http://doktercilix.clogsopot.com/2012/11/dermatifitosis.tinea-kapitis.html
(diakses tanggal 16 Januari 2014)
8) Tinea pedis et Manum in online medica wiki encyclopedia
http://wikimed.blogbeken.com/htm (diakses tanggal 16 Januari 2014)
9) Dawber R, Bristow I, Turner W. Text atlas of podiatric dermatology. UK:
Oxford; 2005. p. 65-6
10) Hainer BL. Dermatothyte infections. Am Fam Physic 2003
11) www.library.upnvj.ac.id/pdf/4s1kedokteran/207311032/bab%202.pdf
12) http://en.wikipedia.org/wiki/Athlete%27s_foot (diakses tanggal 16 Januari
2014)
13) http://tipsdokterumum.blogspot.com/2012/05/tineapedis.html (diakses
tanggal 16 Januari 2014)
14) Http://www.sparkpeople.prognosis tinea pedis.com (diakses tanggal 16
Januari 2014)
15) http://www.emedicinehealth.com/athletes_foot/page9_em.htm (diakses
tanggal 16 Januari 2014)

Anda mungkin juga menyukai