Anda di halaman 1dari 18

UNIVERSITAS TADULAKO

TUTORIAL NEUROLOGI
“Seizure ec Trauma Capitis Post KLL”

BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF

1. Muh. Ilham Hidayat N11121079


2. Andi Moch.Ictiar N11121038
3. Annisa Muwaffaq N11121110
4. Niswatul Magfirah N11121087
5. Indira Putri N11121074
6. Indallahi Nur Hijriani N11121124

Pembimbing : dr. Alfrida, M.Wara, M.Kes, Sp. N

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : 1. Muh. Ilham Hidayat N11121079


2. Andi Moch.Ictiar N11121038
3. Annisa Muwaffaq N11121110
4. Niswatul Magfirah N11121087
5. Indira Putri N11121074
6. Indallahi Nur Hijriani N11121124

Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Tutorial : Trauma Capitis Post KLL
Bagian : Ilmu Penyakit Saraf

Bagian Ilmu Penyakit Saraf


RSUD Undata Palu
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, 21 Juli 2022

Pembimbing

dr. Alfrida, M.Wara, M.Kes, Sp. S

2
STATUS NEUROLOGI

Nama : Tn. A Tgl Pemeriksaan : 19/07/2022


Umur : 19 Tahun
Kelamin : Laki-laki Bangsal/kamar: Ruangan Nangka RS Madani
Agama : Islam Masuk RS. Tgl 18/07/2022 jam 17.48
Suku/bangsa : Indonesia Keluar RS. Tgl....................jam........
Alamat : Jl. Soekarno Hatta Meninggal Tgl.....................jam........

Diagnosa Masuk :
Diagnosa Keluar : Code :

1. ANAMNESE :
1. Keluhan Utama : Kejang
2. Anamnesis terpimpin :
- Informasi mengenai keluhan utama :
Seorang laki laki 19 tahun dibawa keluarganya ke IGD dengan keluhan
kejang. Kejang dialami sebanyak 2 kali. Bangkitan pertama dialami pasien setelah
kecelakaan lalu lintas pada sore dan yang kedua saat berada bangsal rumah sakit
pada malam hari. Durasi kejang lama sekitar 10 menit. Awalnya kaku kemudian
gerakan tak terkendali seluruh tubuh. Setelah, kecelakaan pasien dibawah
kerumahnya dengan kondisi kebingungan dan berbicara tidak jelas. Riwayat pingsan
pascatrauma sekitar 10 menit. Keluhan disertai dengan sakit kepala berat dan
penurunan ingatan setelah ditabrak mobil hingga dirumah sakit. Muntah sebanyak 2
kali. Keluhan lain seperti pegal dibagian belakang leher sampai ke pinggang, terasa
sakit saat digerakan atau ditekan. BAB dan BAK dalam batas normal. Sesak dan
demam disangkal oleh pasien.
- Informasi riwayat penyakit terdahulu :
Hipertensi (-), DM (-), epilepsi (-), Tidak ada riwayat kejang sebelumnya .
- Informasi penyakit keluarga :
Tidak ada keluhan yang sama dalam keluarga.
- Informasi mengenai hobi/pekerjaan :
Pasien merupakan pelajar di sekolah menengah pertama.

II. PEMERIKSAAN FISIS


Pemeriksaan Umum
- Kesan : Sakit Sedang - Tensi : 110/80 mmHg - Anemis : (-/-)
- Kesadaran : E4V5M6 - Nadi : 80 x / menit - Ikterus : (-/-)
3
- Gizi : Baik - Suhu : 36,60C - Sianose : (-/-)
- Pernafasan : 20 x/menit

TORAKS : - Inspeksi : Simetris bilateral


- Palpasi : VF kiri = kanan
* Paru-paru : - Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
*Jantung : - Perkusi : Batas Jantung : Dalam batas normal
- Auskultasi : BJ SI& SII murni reguler
ABDOMEN : - Inspeksi : Tampak datar, kesan normal
- Palpasi/Perkusi : Lemas/Tegang : Lemas
Hepar : Pembesaran (-)
Lien : Pembesaran (-)

Pemeriksaan Psikiatris
- Emosi dan afek : TDP - Penyerapan : TDP
- Proses berfikir : TDP - Kemauan : TDP
- Kecerdasan : TDP - Psikomotor : TDP
Status Neurologis : G C S = E4 V5 M6
1. Kepala :
- Posisi : Central - Bentuk/ Ukuran : Normocephal
- Penonjolan : Tidak ada - Auskultasi : Tidak ada
2. Nervus cranialis :
- N.I (olfaktorius) :
Penghidu : Normosmia
- N.II (optikus) : OD OS
- Ketajaman Penglihatan TDP TDP
- Lapangan Penglihatan TDP TDP
- N.III, IV, VI
- Celah kelopak mata
- Ptosis (-) (-)
- Exoftalmus (-) (-)
- Posisi bola mata sentral sentral
- Pupil : - Ukuran/bentuk bulat dan tepi regular. bulat dan tepi reguler

4
- Isokor/anisokor isokor isokor
- Refleks cahaya langsung
/tak langsung RCL (+)/ RCTL (+) RCL (+)/ RCTL (+)
- Refleks akomodasi TDP TDP
- Gerakan bola mata :
- Parese kearah TDP TDP
- Nistagmus TDP TDP
- Doll’s Phenomenon (+) (+)

- N.V (Trigeminus) :
*Sensibilitas : - N.V1 : +/+
- N.V2 : +/+
- N.V3 : +/+
*Motorik : Inspeksi
(istirahat/menggigit) : Normal
*Refleks dagu/masseter : Normal
*Refleks Cornea : Normal

- N.VII (Facialis) :
*Motorik : m. Frontalis m. Orbik. okuli m. orbik. Oris
- istirahat : simetris simetris simetris
- Gerakan mimik : TDP TDP TDP
*Pengecap 2/3 lidah bagian depan : TDP

- N. VIII (Auskultasi) :
*Pendengaran : +/+
*Test rinne/weber : TDP
*fungsi vestibularis : TDP

- N. IX/X (Glossopharingeus/vagus) :
*Posisi arkus pharinks (istirahat/AAH) : Simteris
*Refleks telan/muntah : (+)
*Pengecap 1/3 lidah bagian belakang : Tidak dilakukan pemeriksaan
*Fonasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

5
*Takikardi/bardikardi : (-)

- N. XI (Accecorius) :
*Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan : Normal
*Angkat bahu : Normal

- N. XII (Hypoglosus)
*Deviasi lidah : (-)
*Fasciculasi : (-)
*Atrofi : (-)
*Tremor : (-)
*Ataxia : (-)

3. Leher :
*Tanda-tanda perangsangan selaput otak : - Kaku kuduk : (-)
- Kernig’s sign : (-)/(-)
*Tanda-tanda iritasi radix : - Lasegue sign : (-)/(-)
- Patrick sign : (-)/(-)
- Kontra Patrick sign : (-)/(-)
*Kelenjar Lymphe : Pembesaran (-)
*Arteri karotis : Palpasi : Teraba
Auskultasi : Normal
*Kelenjar gondok : Pembesaran (-)

4. Abdomen :
*Refleks kulit dinding perut : Normal

5. Kolumna vetebralis :
- inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan
- palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
- pergerakan : Tidak dilakukan pemeriksaan
- perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan

6. Extremitas : Superior Inferior

6
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
- Motorik
 Pergerakan
Lateralisasi ekstremitas dextra
 Kekuatan
 Tonus otot Hipotonus Normal Hipotonus Normal
 Bentuk otot Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
- Otot yang terganggu : - - - -
- Refleks fisiologis :
 Biceps ++ ++ KP + +
R
 Triceps ++ ++ AP + +
R
 Radius ++ ++
 Ulna ++ ++

- Klonus Lutut : -/-


Kaki : -/-
- Refleks patologis : Hoffman : - /- Babinski : -/-
Tromner : - /- Chaddock : - /-
Gordon : - /-
Schaefer : - /-
Oppenheim: - /-
- Sensibilitas :
 Ekstroseptif :
- Nyeri Normal Normal Normal Normal
- Suhu TDP TDP TDP TDP
- Rasa raba halus Normal Normal Normal Normal
 Propioseptif
- Rasa sikap Normal Normal Normal Normal
- Rasa nyeri dalam Normal Normal Normal Normal
 Fungsi kortikal
- Rasa diskriminasi Normal Normal Normal Normal
- Stereognosis Normal Normal Normal Normal

7
7. Pergerakan abnormal yang spontan :-
8. Gangguan koordinasi :
- tes jari hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan
- tes tumit : Tidak dilakukan pemeriksaan
- tes pronasi-supinasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
- tes pegang jari : Tidak dilakukan pemeriksaan
9. Gangguan keseimbangan : Tes romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan
10. Gait : Tidak dilakukan pemeriksaan
11. Pemeriksaan fungsi luhur
- reaksi emosi : TDP - fungsi psikosensorik (gnosis) : TDP
- fungsi bicara : TDP - fungsi psikomotorik (praksia) : TDP
- intelegensia : TDP

III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


- Darah :

WBC 12,37 x103/mL (4,0 – 11,0 x103/mL)

RBC 5.0 x106/mL (4,1 – 5,1 x106/mL)

HGB 15.0 g/dL (14 – 18 g/dL)

HCT 42% (36-47 %)

PLT 232 x 103/mL (150 – 450 x103/mL)

UREA 12 mg/dL (<50 mg/dl)

KREATININ 1,2 mg/dL(0,6 – 1,1 mg/dl)

GDS 109 mg/dL (70 – 200 mg/dL)

IV. PEMERIKSAAN RADIOLOGI dan PEMERIKSAAN LAIN : -

V. RESUME
Seorang laki-laki 19 tahun MRS dengan keluhan konvulsi. Konvulsi dialami sebanyak
2 kali. Bangkitan pertama dialami pasien setelah kecelakaan lalu lintas pada sore dan yang
8
kedua saat berada bangsal rumah sakit pada malam hari. Durasi konvulsi sekitar 10 menit.
Awalnya tonik kemudian dilanjutkan fase klonik. kebingungan dan berbicara tidak jelas
post trauma. Syncope posttrauma (+), Chepalgia (+), Vomitus (+) sebanyak 2 kali.
Myalgia dari cervical hingga lumbal.
Pemeriksaan fisik ditemukan Kesan sakit sedang, Kesadaran compos mentis, GCS
E4V5M6. TD: 120/80 mmHg, HR: 80 x/menit, RR: 20 x/menit, S: 36,7C. Pada hasil
pemeriksaan neurologis tidak ditemukan deficit neurologis.

VI. DIAGNOSIS
Diagnosa Klinis : Seizure
Diagnosa Topis : Korteks serebri
Diagnosa Etiologi : Trauma Capitis

VI. TATALAKSANA
Perbaiki Airway, Breathing, Circulation
Medikamentosa :
- IVFD RL 20 tpm
- Manitol 100g/24 jam/iv
- Neurosanbe kp/20
- Omeprazole 40g/24 jam/iv
- Piracetam 3g/8 jam/iv
- Phenytoin 100mg 2x1
- Eprinoc 50 mg 2x1

9
LEARNING OBJECTIVE

1. Mengapa terjadi penurunan kesadaran pada pasien ?


Jawab :
Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat dari
berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing pada akhirnya
mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung maupun tidak langsung.
Penurunan kesadaran dapat dibagi berdasarkan etiologi, lokasi, dan karakteristik lesi.
Berdasarkan etiologi, penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh kelainan struktural
(lesi diskret pada bagian atas batang otak dan bagian bawah diensefalon atau lesi yang
mengenai kedua hemisfer) dan kelainan metabolik (yang mengakibatkan gangguan
aktivitas neuron). Berdasarkan lokasi lesi, penurunan kesadaran dapat terjadi akibat: a)
lesi difus kedua hemisfer; b) yang bisa diakibatkan oleh kelainan metabolik; c) lesi di
diensefalon atau hipotalamus di mesensefalon [midbrain) atas; d) pons atas seperti pada
emboli di arteri basi- lar; dan e) pons.
Penurunan kesadaran juga dapat disebabkan oleh lesi kompresi dan lesi destruksi.
Penurunan kesadaran akibat lesi kompresi, yaitu: 1) lesi secara langsung mengakibatkan
distorsi ARAS; 2) lesi menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial secara difus
sehingga mengakibatkan terganggunya aliran darah ke otak; 3) lesi menyebabkan
iskemia lokal; 4) lesi menyebabkan edema otak; dan 5) lesi menyebabkan herniasi.
Contoh lesi kompresi adalah tumor, hematoma, dan abses. Lesi kompresi umumnya
hanya mengenai satu bagian korteks atau substansia alba, namun seringkali
menyebabkan kerusakan struktur yang lebih dalam. Kerusakan struktural ini umumnya
diakibatkan oleh pergeseran salah satu atau beberapa bagian otak akibat efek desak
ruang. Pergesaran ini mengakibatkan herniasi dan kompresi pada mesensefalon dan
RAS.
Sementara itu, penurunan kesadaran pada lesi destruksi disebabkan oleh
kerusakan langsung struktur RAS, seperti lesi pada diensefalon atau batang otak yang
bilateral, atau dapat juga fokal namun mengenai mesensefalon atau kaudal diensefalon.
Lesi destruksi kortikal dan subkortikal harus bersifat bila- teral dan difus untuk dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran, misalnya lesi akibat gangguan metabolik, infeksi,
dan trauma. Ketidakseimbangan aktivitas metabolik pada neuron di korteks serebral dan
nukleus sentral di otak merupakan salah satu jenis gangguan yang dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran. Etiologinya dapat berupa hipoksia, iskemia global, hipoglikemia,
kondisi hiper dan hipoosmolar, asidosis, alkalosis, hipokalemia, hiperamonemia,
hiperkalsemia, hiperkarbia, intoksikasi obat, dan defisiensi vitamin. Penurunan kesadaran
tersebut disebabkan oleh reduksi metabolisme akibat menurunnya aliran darah ke otak.

Sumber :
- Tahir, A. M. 2018. Patofisiologi Kesadaran Menurun. UMI Medical Journal. 3
(1): 1-9.

10
- Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017. Buku
Ajar Neurologi. Jakarta: Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

2. Apa penyebab terjadinya kejang ?


Jawab :
Kejang terjadi bila terdapat depolarisasi berlebihan pada neuron dalam sistem saraf
pusat. Depolarisasi terjadi akibat adanya potensial membran sel neuron yang
dipengaruhi oleh keseimbangan antara Exitatory Post Synaptic Potential(EPSP) dan
Inhibitory Post Synaptic Potential(IPSP). Bila EPSP dan IPSP ini tidak seimbang
akan terjadi bangkitan epilepsy. Beberapa neurotransmiter berperan dalam proses
eksitasi. Eksitator asam amino terutama L-glutamat, mempunyai peranan
utama dalam terjadinya bangkitan. Terdapat peningkatan pele-pasan glutamat di
otak yang berhubungan dengan aktivitas epileptik. GABA merupakan neuro-
transmiter inhibisi yang utama di susunan saraf pusat. Inhibisi GABAergic dapat
terjadi di presinaptik (pelepasan GABA dari saraf terminal GABAergicke dalam
presinaptiksaraf terminal menyebabkan penurunan pelepasan neurotransmiter) atau di
postsinaptik (disebabkan oleh interaksi antara GABA dengan reseptor spesifik
postsinaptik). GABA berikatan dengan 2 macam reseptor yaitu GABA-A dan
GABA-B untuk menghasilkan inhibisi neuron. GABA dikatabolisme di
postsinaptik oleh GABA-transaminase. Tidak berfungsinya sistem GABA ini
dapat disebabkan oleh adanya defek pada pelepasan GABA di sinaps atau reseptor
GABA postsinaptik. Pada kondisi normal, EPSP diikuti segera oleh inhibisi
GABAergic. Hipersinkronisasi sel-sel neuron terjadi bila mekanisme eksitasi
lebih dominan. Jika aktivitas sel-sel neuron yang hipersinkronisasi ini berjalan
terus, akan lebih banyak lagi sel-sel neuron yang teraktivasi dan
menyebabkan bangkitan epilepsi. Hipersinkronisasi yang abnormal dapat memberikan
karakteristik yang abnormal pada elektroensefalogram. Kecepatan untuk
menjalarnya lepas muatan listrik sangat bervariasi, dapat merambat pada permukaan
korteks serebri dengan kecepatan beberapa milimeter permenit seperti yang
terjadi pada bangkitan fokal motor dari Jackson, dapat pula menjalar melalui
jaringan korteks dengan kecepatan 10 –40 cm/detik. Pada beberapa jenis
bangkitan, penjalaran sangat cepat sehingga seluruh otak termasuk kedua hemisfer
serebri terlibat secara simultan disertai gerakan tonik klonik yang masif. Terdapat
dua macam penjalaran, spread yaitu penjalaran percontinuitatum dan propagation
penjalaran melalui jaras aksonal.

Sumber :
- Kurniawaty, Y., & Kalanjati, V. P. (2013). Mekanisme gangguan neurologi pada
epilepsi. Majalah Biomorfologi, 26(1), 16-21.

3. Mengapa bisa terjadi muntah pada pasien ?


Jawab :
TTIK (Tekanan Tinggi Intrakranial) dapat mengakibatkan kerusakan otak melalui
beberapa mekanisme. Yang utama adalah efek TTIK terhadap aliran darah otak.
11
Mekanisme kedua adalah akibat pergeseran garis tengah otak yang menyebabkan distorsi
dan herniasi jaringan otak. Formasi edema pada perdarahan intraserebri melalui tiga fase;
pada beberapa jam pertama setelah PIS terjadi pembentukan clot. Sel darah merah yang
intak dalam area hematom tidak menyebabkan edema. Setelah kaskade koagulasi
menjadi aktif dalam 24 - 48 jam berikutnya, trombin menjadi aktif dan merusak
integritas sawar darah otak, mengakibatkan cairan intravaskuler masuk ke ruang
ekstraseluler. Fase ketiga muncul saat sel-sel darah merah hematom mulai lisis.
Hemoglobin dan produk-produk degradasinya disimpan dalam parenkim otak,
menyebabkan reaksi inflamasi poten dan pembentukan edema. Darah di subaraknoid
menyebabkan vasospasme yang akan meningkatkan resistensi serebrovaskuler,
menurunkan aliran darah serebri meskipun tekanan perfusi serebri normal. Tekanan
intrakranial akan terus meningkat, sehingga membahayakan tekanan perfusi serebri.
Tekanan perfusi serebri akan nol jika tekanan intrakranium sama dengan rata-rata arteri.
Otak menjadi iskemik disertai kerusakan neurologis ireversibel. Kematian otak terjadi
saat tekanan intrakranial sama dengan tekanan arteri. Muntah terjadi karena adanya
distorsi batang otak saat tidur, sehingga biasanya muncul pada pagi hari saat bangun
tidur. Biasanya tidak disertai mual dan sering proyektil.

Sumber :
- Affandi, I. G., & Panggabean, R. (2016). Pengelolaan Tekanan Tinggi
Intrakranial pada Stroke. Cermin Dunia Kedokteran, 43(3), 180-184.

4. Mengapa pasien sempat mengalami amnesia ?


Jawab :
Cedera otak paling ringan adalah konkusi. Cedera ini mengakibatkan penurunan
kesadaran untuk beberapa saat dan amnesia, retrograde (sebelum kecelakaan) atau
anterograde (postraumatik) amnesia. Model eksperimen dan data neuropatologik yang
terbatas yang berhubungan dengan kematian pasien konkusi karena penyebab lain tidak
dapat memberikan bukti yang meyakinkan, pada mikroskop cahaya, adanya lesi
patologik didalam otak. Trauma yang mengakibatkan rotasi kepala seringkali
menyebabkan penurunan kesadaran.
Konkusi diklasifikasikan berdasarkan hebatnya derajat cedera primer dan hasil disfungsi
neurologis. Lesi grade I menyebabkan kebingungan (confusion) sementara, lalu segera
kembali ke kesadaran normal dan tanpa amnesia; grade II, kebingungan yang sedikit
lebih berat dan sedikit amnesia (hanya postraumatik), grade III, kebingungan yang sangat
berat pada awalnya, dengan amnesia postraumatik dan retrograde; grade IV (konkusi
klasik), kehilangan kesadaran singkat, periode kebingungan yang bervariasi, dan amnesia
postraumatik dan retrograde.

Sumber :
- Arifin, M. Z. HEAD INJURY MANAGEMENT PENGELOLAAN
PENDERITA CEDERA KEPALA.

5. Mengapa pasien mengalami sakit kepala ?


Jawab :
12
Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam ruang tengkorak yang dilindungi dari
tekanan luar. Tekanan ini dinamik dan berfluktuatif secara ritmis mengikuti siklus
jantung, respirasi, dan perubahan proses fisiologis tubuh; secara klinis bisa diukur dari
tekanan intraventrikuler, intraparenkimal, ruang subdural, dan epidural. i daerah edema,
autoregulasi serebral terganggu. Vasodilator melebarkan lumen pembuluh darah serebral
yang sehat; tetapi pembuluh darah di wilayah yang sembab tidak dapat berbuat serupa.
Darah akan dialirkan melalui arteri serebral sehat yang berdilatasi, sehingga hanya
jaringan otak yang sehat saja yang menerimanya. Daerah edema tidak kebagian, bahkan
ikut tersedot. Fenomena ini dikenal sebagai cerebral steal syndrome. Sebaliknya,
vasokonstriksi akibat hipokapnia atau agen anestesi tertentu, seperti thiopentone, akan
mengurangi aliran darah ke jaringan otak yang sehat menghasilkan redistribusi darah ke
daerah iskemik.Nyeri kepala terjadi karena dilatasi vena, sehingga terjadi traksi dan
regangan struktur-sensitif-nyeri, dan regangan arteri basalis otak. Nyeri kepala dirasakan
berdenyut terutama pagi hari saat bangun tidur. Kadangkala penderita merasa ada rasa
penuh di kepala. Nyeri kepala bertambah jika penderita bersin, mengejan, dan batuk.
Sumber :
- Affandi, I. G., & Panggabean, R. (2016). Pengelolaan Tekanan Tinggi
Intrakranial pada Stroke. Cermin Dunia Kedokteran, 43(3), 180-184.

6. Tatalaksana pada pasien ?


Jawab :
Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang tanpa efek samping. Obat-obat lini
pertama untuk epilepsi antara lain:
1. Karbamazepine, untuk kejang tonik-klonik dan kejang fokal. Tidak efektif untuk
kejang absens. Dapat memperburuk kejang myok- lonik. Dosis total 600-1200 mg
dibagi menjadi 3-4 dosis per hari Lamotrigine, efektif untuk kejang fokal dan kejang
tonik-klonik. Dosis 100-200 mg sebagai monoterapi atau dengan asam valproat. Dosis
200-400 mg bila digunakan bersama dengan fenitoin, fenobarbital, atau
karbamazepine.

2. Asam valproat, efektif untuk kejang fokal, kejang tonik-klonik, dan kejang absens.
Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2 dosis per hari.
3. Obat-obat yang tersedia di puskesmas
1. Fenobarbital, dapat dimulai dengan dosis 60mg/hari per oral dinaikkan 30 mg
setiap 2-4 minggu hingga tercapai target 90-120 mg/hari.
2. Fenitoin (300-600 mg/hari per oral dibagi menjadi satu atau dua dosis)
3. Karbamazepine (800-1200 mg/ hari per oral dibagi menjadi tiga hingga empat
dosis). Obat ini merupakan obat pilihan untuk pasien epilepsi pada kehamilan.

Terapi lain berupa terapi non-farmakologi dan terapi bedah (lobektomi dan lesionektomi)

Sumber :
- Kristanto, A. (2017). Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP
Sanglah Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis, 8(1), 69-73.

13
7. Pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan untuk menemukan diagnosis pasti
pada pasien ?
Jawab :

Pemeriksaan Penunjang
1. Computerized Tomograhy Scanner (CT SCAN): mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI): Digunakan sama dengan CT scan dengan/
tanpa kontras radio aktif
3. Serebral Angiography: Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan
jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma
4. Elcktrocncephalograph (EEG): Untuk memperlihatkan keadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
5. Sinar- X; Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
6. Brainstem Auditory Evoked Response (BAER): Mengoreksi batas fungsi korteks dan
otak kecil
7. Positron Emossion Temoghraphy (PET): mendeteksi perubahan aktivitas
metabolisme otak.

Sumber :
- Muttaqin, A. 2012. Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan system saraf.
Jakarta : Salemba Medika

8. Syarat pemberhentian pemberian obat anti konvulsi ?


Jawab :
Terapi epilepsi dimulai dengan monoterapi menggunakan OAE yang dipilih sesuai jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi, kondisi penderita dan ketersediaan obat.
Penghentian OAE pada penderita epilepsi dilakukan jika penderita telah bebas kejang
selama minimal dua tahun dan gambaran EEG tidak didapatkan kelainan. Penghentian
OAE dimulai dari satu OAE yang bukan OAE utama, dengan penurunan dosis yang
dilakukan secara bertahap, yaitu dosis diturunkan 25 % dari dosis semula setiap bulan
dalam jangka waktu 6 bulan.

Sumber :
- Kristanto, A. (2017). Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP
Sanglah Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis, 8(1), 69-73.

9. Apa yang harus diketahui pada pasien dengan kasus kejang ?


Jawab :
14
Dalam melakukan anamnesis terhadap kejang ada beberapa pertanyaan yang perlu
diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum, selama dan sesudah serangan
kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut
biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada
kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami pasien.
Adapun beberapa Langkah yang harus dilakukan dokter adalah sebagai berikut:
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia
serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang
yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal,
kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung
muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan
kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke
atau tumor otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada waktu
serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang dirasakan pasien
menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila
muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “
aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan
epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak
enak di lambung, gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan
gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus
oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini
disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh
pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan
serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat
menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata yang
mengetahui serangan kejang berlangsung. Serangan kejang yang berasal dari lobus
frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi.
Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan
bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat
menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah
tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum
meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah
serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal period ” Sesudah
mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi
dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami
serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang
disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia
dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di
hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan
kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik klonik
dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan
15
kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus
frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang
tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur,
konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik
dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan
mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya
dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk
mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti kejang.
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini
mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau
belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik
bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan
tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang
secara lengkap.
10.Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat serangan
kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah
supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“
, sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk
mengurangi bahaya terjadinya luka.
11.Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan mengetahui
gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi
derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena
kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat
dan penyakit lain yang menyertai.

Sumber :
- Lumbantobing SM. 2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
FKUI.

10. Tipe tipe kejang?


Jawab :
Klasifikasi bangkitan Epileptik menurut ILAE 1981:

1. Bangkitan Umum

Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada awal kejadian kejang.
Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial simpleks atau kejang parsial
kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan kejang umum tonik-klonik sekunder.

1.1. TONIK – KLONIK (GRAND MAL)

16
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan sering
penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh menegang (tonik)
dan diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan sewak- tu-waktu terputus
menyebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat terakumu- lasi
dalam mulut, terkadang bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat terjadi kehilangan
kontrol kandung kemih. Kejang biasanya berlangsung sekitar dua menit atau kurang.
Hal ini sering diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit kepala dan
nyeri juga biasa terjadi setelahnya.
1.2. ABSENS (PETIT MAL)
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi pada orang
dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak perhatian. Sering ada
riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali mendadak ditandai dengan menatap,
hilangnya ekspresi, tidak ada respon, menghenti- kan aktifitas yang dilakukan.
Terkadang dengan kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas. Durasi kurang lebih
10 detik dan berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali sadar dan
melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan tentang kejang
yang terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan yang normal. Kejang pada
anak-anak biasanya teratasi seiring dengan pubertas.
1.3. MIOKLONIK
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens terjadi pada
anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan mengakibatkan menjatuh- kan dan
menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran tidak terganggu, penderita dapat merasa
kebingun- gan dan mengantuk jika beberapa episode terjadi dalam periode singkat.
Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-klonik.
1.4. TONIK
Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh, menyebabkan orang
menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Pemulihannya cepat namun
cedera yang terjadi dapat bertahan. Kejang tonik dapat terjadi pula saat tertidur.
1.5. ATONIK
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menye- babkan penderita lemas dan
terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan luka pada kepala. Tidak
ada tanda kehilangan kesadaran dan cepatpemulihankecualiterjadicedera.

2. Bangkitan Parsial / Fokal

Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan dengan kejadian lain. Terjadi
pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area lain. Jika menyebar, akan menjadi
kejang umum (sekunder), paling sering terjadi kejang tonik klonik. 60 % penderita epilepsi
merupakan kejang parsial dan kejang ini terkadang resisten terhadap terapi antiepileptik.

2.1. PARSIAL SEDERHANA


Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warn- ing” dan terjadi sebelum kejang
parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan kesadaran, dengan
durasi kurang dari satu menit.
2.2. PARSIAL KOMPLEKS
17
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai dan penyebaran di
otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan tatapan kosong, kehilangan
ekspresi atau samar-samar, penampilan bingung. Kesadaran terganggu dan orang
mungkin tidak merespon. Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang tidak biasa.
Perilaku umum termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau bergumam.
Kejang parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang,
penderita sering bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang.

Sumber :
- Kristanto, A. (2017). Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP
Sanglah Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis, 8(1), 69-73.

11. Komplikasi untuk trauma kapitis ?


Jawab :
Komplikasi neurologis yang palingumum terjadi adalah kejang, stroke, infeksi,
hidrosefalus dan edema serebral. Sedangkanuntuk komplikasi non- neurologis
yangpaling umum adalah pneumonia, infarkmiokard, Ards, vascular thrombosis vena,
delirium, dan ulkus dekubitus yang didapat di rumah sakit. Adanya komorbiditas
danpenurunan GCS terkait dengan faktor risiko kedua jenis komplikasi tersebut.
Komplikasi neurologis dikaitkan dengan risiko kematianyang lebih tinggi daripada
komplikasi non- neurologis. Ventilasi mekanis adalah faktor yang paling mempengaruhi
komplikasi neurologis dan non-neurologis. Komplikasi yang terjadi mungkin timbul dari
efek langsung dari cedera atausebagai akibat dari efek samping terapi.

Sumber :
- Ulkhaq, D. L. M., Sulistyani, S., Nursanto, D., & Setiawan, I. (2020). FAKTOR-
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMPLIKASI TRAUMATIC BRAIN
INJURY.

18

Anda mungkin juga menyukai