Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SARAF TUTORIAL KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN 15 Juni 2022


UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT PALU

TUTORIAL KLINIK
KEJANG

Disusun Oleh:

Rahman Kapitanhitu (21 21 777 14 450)

Pembimbing:
dr. Alfrida M. Wara, M.Kes, Sp.S

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN KEDOKTERAN SARAF
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Rahman Kapitanhitu, S.Ked (21 21 777 14 450)

Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Al-Khairaat Palu
Judul Tutorial : Kejang
Bagian : Ilmu Penyakit Saraf

Bagian Ilmu Penyakit Saraf


RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, 15 Juni 2022

Pembimbing

dr. Alfrida M.Wara, M.Kes., Sp.S


IDENTITAS PASIEN
• Nama : Nn. NEJ
• Umur : 26 tahun
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Agama : Islam
• Suku/Bangsa : Indonesia
• Alamat : Jl. Sis Aljufri

SKENARIO
Seorang perempuan usia 26 tahun di bawa ke IGD RS Anutapura Palu
dengan keluhan kejang disertai badan kaku. Sejak 3 hari yang lalu (+). Saat
kejang air liur keluar dari mulut, bola mata mengarah keatas, extremitas atas flexi,
extremitas atas bawah kaku, penurunan kesadaran (+). Pasien mengalami demam
(+), Muntah (-), Sakit Kepala (-). Riwayat kejang sebelumnya (+) Riwayat trauma
(+) pada usia 3 tahun dimana kepala dan bokong terbentur. Riwayat keluarga (+)
kakak kandung mengalami keluhan yang sama.

PEMERIKSAAN
Kesan : Sakit sedang
Gizi : Baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah: 80/60 mmHg
Nadi : 69 x/menit
Suhu : 36,2˚C
Pernapasan : 14x/menit

PEMERIKSAAN FISIK
 TORAKS :
Paru-paru :
 Inspeksi : simetris bilateral
 Palpasi : nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
 Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
 TORAKS :
Jantung :
 Inspeksi : Tidak tampak iktus cordis
 Palpasi : Tidak teraba iktus cordis
 Perkusi : Batas jantung – paru dalam batas
normal
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler,
murmur (-)
 ABDOMEN :
 Inspeksi : tampak datar
 Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
Massa abnormal (-)
 Perkusi : Dalam batas normal
 Auskultasi : Peristaltik normal

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
 GCS: E4MxVx
1. Kepala: normocephal
2. N. cranialis:
 N. I (Olfactorius): Tidak dilakukan pemeriksaan
 N. II (Optikus):
 Visus : Sulit dinilai
 Lapangan pandang : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Funduskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 N. III (Occulomotoris):
 Gerakan bola mata : Sulit dinilai
 Nistagmus : tidak ada
 Ptosis : tidak ada
 Exopthalmus : tidak ada
 Pupil : isokor bulat 2,5 mm/2,5 mm
 Refleks pupil
o Langsung :+/+
o Tidak langsung :+/+
 N. V (trigeminus):
 Sensorik
o N-V1 (ophtalmicus) : Sulit dinilai
o N-V2 (maxillaris) :Sulit dinilai
o N-V3 (mandibularis) : Sulit dinilai
 Motorik : Inspeksi (Istirahat)
 Refleks dagu : Normal
 Refleks kornea : TDP
 N. VII (facialis):
Sensoris (indra pengecap): Tidak dilakukan pemeriksaan
Motorik
Dalam keadaan istirahat
o Angkat alis : simetris kiri=kanan
o Menutup mata : kiri=kanan
o Menggembungkan pipi: TDP
o Menyeringai : sulcus nasolabialis
kiri=kanan
o Gerakan mimik: TDP
 N. VIII (vestibulocochlearis):
o Pendengaran: Sulit dinilai
o Tes rinne/weber: TDP
o Fungsi vestibularis: TDP
 N. IX/X: (Glossopharingeus/vagus):
o Posisi arkus faring: Sulit dinilai
o Reflex telan/muntah: TDP
o Pengecap 1/3 lidah bagian belakang :TDP
o Fonasi: Sulit dinilai
o Takikardi/bradikardi: Normal
 N. XI (Accesorius):
o Kekuatan M. Sternocleidomastoideus : TDP
o Kekuatan M. Trapezius : TDP
 N.XII (hypoglosus):
o Tremor lidah : TDP
o Atrofi lidah : TDP
o Deviasi lidah : TDP
o Fasikulasi : TDP

3.Pemeriksaan Motorik:
Superior Inferior
D S D S
 Motorik:
Pergerakan sdn sdn sdn sdn
Kekuatan tdp tdp tdp tdp
Tonus otot N N
Bentuk otot Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
 Reflex fisiologi
o Biceps N N N N
o Triceps N N N
N
o Patella N N
o Achilles N N N N
 Klonus: Lutut: -/-
Kaki: -/-
 Reflex patologis:
Hoffman: -/-
Tromner: -/-
Babinski: -/-
Chaddock: -/-
Gordon: -/-
Schaefer: -/-
Oppenheim: -/-
Rosolimo: -/-
 Sensibilitas:
o Ekstroseptif
Nyeri: TDP
Suhu: TDP
Rasa raba halus: TDP
o Propioseptif
Rasa sikap: TDP
Rasa nyeri dalam: TDP
 Sistem koordinasi
o Finger to nose test : TDP
o Telunjuk ke telunjuk : TDP
o Tes tumit : TDP
o Tes supinasi pronasi : TDP
Gangguan keseimbangan: tidak dilakukan pemeriksaan
 Susunan saraf otonom
BAB : -
BAK : lancar
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Darah Lengkap:
 WBC : 6,8
 RBC : 4,9
 HGB : 10,5 g/dL
 HCT : 33.8
 PLT : 397

 Radiologi: (-)

KATA KUNCI
1. Perempuan usia 26 tahun
2. Keluhan kejang disertai badan kaku sejak 3 hari yang lalu
3. Saat kejang air liur keluar dari mulut, bola mata mengarah keatas
4. Extremitas atas flexi, extremitas atas bawah kaku, penurunan kesadaran
(+)
5. Pasien mengalami demam (+), Muntah (-), Sakit Kepala (-).
6. Riwayat kejang sebelumnya (+), Riwayat trauma (+) pada usia 3 tahun
dimana kepala dan bokong terbentur.
7. Riwayat keluarga (+) kakak kandung mengalami keluhan yang sama

PERTANYAAN
1. Definisi dan etiologi kejang
2. Klasifikasi kejang
3. Mekanisme terjadinya kejang
4. Langkah-langkah diagnosis kejang
5. Penatalaksanaan awal kejang
6. Diagnosis utama dan diagnosis banding terkait skenario
7. Prognosis kejang terkait skenario
JAWABAN

DEFINISI DAN ETIOLOGI KEJANG


Kejang merupakan aktivitas listrik otak abnormal yang tidak terkendali yang
dapat menyebabkan perubahan tingkat kesadaran, perilaku, memori, atau
perasaan. Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara
dan tiba – tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal didalam
otak. Jika gangguan aktivitaslistrik ini terbatas pada area otak tertentu, maka dapat
menimbulkan kejang yang bersifat parsial, namun jika gangguan aktivitas listrik
terjadi di seluruh area otak maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat umum

Beberapa penyebab umum tercantum di bawah ini:

1) Gangguan elektrolit (hipoglikemia, hiponatremia, hipernatremia,


hipokalsemia, lainnya)
2) Efek toksik akut (antidepresan, simpatomimetik, lainnya)
3) Withdrawal syndromes/Sindrom penarikan (etanol, benzodiazepin,
lainnya)
4) Ketidakteraturan dengan obat antiepilepsi yang diresepkan
5) Sepsis
6) Infeksi SSP
7) Cedera otak hipoksia
8) Cedera otak traumatis
9) Tumor : biasanya glioma metastatik atau agresif, lebih jarang (10-15%)
10) Peradangan (lupus serebritis, ensefalitis reseptor anti-NMDA, lainnya)
11) Demam
KLASIFIKASI KEJANG

Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan


klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-
faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau
idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan
klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan
elektroensefalogram.

Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :

1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
 Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
 Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
 Dengan gangguan kesadaran saja
 Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik
atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum

2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)


1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara
tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa
detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat,
pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir
selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu remaja atau
diganti dengan serangan tonik-klonik.
2) Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang
singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau
asinkronis. Muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok
otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya
berlangsung sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran
selama serangan. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan
ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat.
3) Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba
meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap
yang khas. Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau
pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang
menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Biasanya kesadaran hilang
hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh.
Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-
angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px
bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. Biasanya penderita akan
kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan
ini jarang terjadi.
5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng
singkat. Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1
menit sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa
predominasi pada satu anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi
lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu
saat lain.
6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang
klasik epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan
atau pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh
kehilangan kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan
jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak
kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan
kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki).
Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau
bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan,
penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya
terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.

3. Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

PATOMEKANISME KEJANG
Dasar serangan kejang ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada duajenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi muatan listrik dan neurotransmitter
inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat
disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan
neurotransmitter inhibisiyang terkenalialah gamma amino butyric acid (GABA)
danglisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis melepas kan muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls . Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai
potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksipotensial akan
mencetus kan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepaskan
muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat
mengubah fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilalui oleh ion
Cadangan Na dari ruangan ekstrake dan intra seluler. Influks Ca akan
mencetuskan letupan depolarisasi membran dan melepaskan muatan listrik
berlebihan, tidakteratur dan terkendali. Lepasnya muatan listrik dengan jumlah
besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan kejang.Suatu sifat
khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat
pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron
sekitar tempat epileptic. Sela ini juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik
yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus menerus melepaskan muatan.
Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah
kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.

LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS KEJANG

1. Anamnesis
⁃ Pada anamnesis harus meliputi deskripsi mengenai aura atau gejala
prodromal jika ada, deskripsi bangkitan klinis, dan gejala post
iktal. Sangat pemnting untuk mendapatkan deksripsi detail
mengenai bangkitan pertama, kondisi pasien saat terjadi bangkitan
dan mengenai adanya perubahan jenis kejang terkait usia dan terapi
⁃ Perlu digali pula mengenai faktor presipitasi dan hal-hal yang
mempengaruhi kejang, misalnya ada stimulus emosional, siklus
bangun tidur, gangguan toksik, metabolik, dan kondisi fisiologis
termasuk menstruasi dan kehamilan
⁃ Perlu mengetahui ada riwayat kejang, penggunaan obat-obatan,
riwayat medis masa lalu, dan penggunaan obat-obatan terlarang.
2. Pemeriksaan fisik
⁃ Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan fisik umum dan
pemeriksaan neurologis dengan memperhatikan deteksi defisit
fokal. Jika seseorang mengamati kejang, mereka mungkin melihat
mata terbuka, tidak ada respons terhadap rangsangan verbal atau
nyeri selama kejadian, dan gerakan motorik dalam fase berirama
konsisten dengan kejang tonik-klonik umum.
3. Pemeriksaan Penunjang
⁃ pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap
⁃ Radiologi: Ct-scan dan MRI
⁃ EEG untuk melihat aktivitas listrik otak

PENATALAKSANAAN AWAL KEJANG

Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup


penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara
lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek
samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan
angka kesakitan dan kematian.

Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka


mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik
GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara
lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin),
felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam
(Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin),
pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat
(Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan
terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian
menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi
hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik.
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek
samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat
bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan
otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron
sebagai aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-
5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor
NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang
bisa menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor
NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan
ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat
tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data
penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita
epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi
dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan
obat CNS lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai
antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein
SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di
sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam
mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai
antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian
levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai
antikonvulsan.

Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk


epilepsi yakni:

1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien
dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan
pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai
dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.

4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol


bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis
terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.

5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan


tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya :


1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga
pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.

2. Fenitoin :  Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan
klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen

3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA , menurunkan


eksitabilitas glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.

4. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang


konduktan kalsium (T) dan kalium.

5. Levetiracetam : Tidak diketahui

6. Gabapetin :  Modulasi kalsium channel tipe N

7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent

8. Okskarbazepin :  Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,


modulasi aktivitas channel.

9. Topiramat :  Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated


chloride, modulasi efek reseptor GABA.

10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi


glutamate.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat


dihentikan tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap
setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang.

Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE


yakni:

1. Syarat umum yang meliputi :


- Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga
dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.

- Gambaran EEG normal

- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6bulan.

- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1


OAE yang bukan utama.

2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE

- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.

- Epilepsi simtomatik

- Gambaran EEG abnormal

- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.

- Penggunaan OAE lebih dari 1

- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas


bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
DIAGNOSIS UTAMA DAN DIAGNOSIS BANDING TERKAIT
SKENARIO

- Diagnosa utama
a. Diagnosa klinis: Seizure
b. Diagnosa topis: Korteks serebri
c. Diagnosa Etiologi: Epilepsi

- Diagnosis banding
a. Encephalitis : Inflamasi jaringan otak yang disebabkan oleh
mikroorganisme. Penyebab encephalitis virus tersering adalah herpes,
varicella zoster, cytomegalovirus. Gejala klinis encephalitis yaitu flu-like
syndrome dengan demam tinggi, sakit kepala berat, nausea-vomiting,
kejang, penurunan kesadaran dan defisit neurologis fokal.
b. Status epileptikus

PROGNOSIS KEJANG TERKAIT SKENARIO

Prognosis kejang tergantung dari jenis kejang yang dialami. Bangkitan pertama
tanpa provokasi memiliki angka rekurensi 23-71%. Pemberian terapi anti epilepsi
menurunkan dan menunda resiko kejang berulang namun tidak mempengaruhi
prognosis epilepsi dalam jangka panjang. Prognosis juga terkait dengan kepatuhan
minum obat pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Huff JS, Murr N. Seizure. [Updated 2021 Jan 17]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430765/
2. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi). 2012. Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Jakarta: Penerbit Perdossi;.

3. Haurer Stephen L. Harrison”s Neurology In clinical Medicine. Usa : Mc


Graw Hill Education, 2013.
4. Rianawati S R, Munir B. 2017. Buku ajar neurologi. Sagung seto. Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya.
5. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
6. Utama H. 2015. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi.
5th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
7. Kennedy, Peter GE. Viral Encephalitis. J Neurol (2005) 252:268-72.
8. Bahan Ajar Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran universitas Hasanuddin
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-1-_-
Kejang.pdf

Anda mungkin juga menyukai