Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS INDIVIDU

KARSINOMA NASOFARING

Oleh:

Caprisia Tiaravicka Hasanah

Pembimbing:

dr. Irawan, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan

hidayah-Nya, penulisan laporan kasus stase syaraf ini dapat diselesaikan dengan

baik. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW,

keluarga, para sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

Laporan kasus yang akan disampaikan dalam penulisan ini mengenai

“Karsinoma Nasofaring”. Penulisan laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi

tugas individu stase syaraf.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada dr. Irawan,

Sp.S selaku pembimbing kami, yang telah membimbing dan menuntun kami dalam

pembuatan laporan kasus ini.

Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu kami tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang membangun. Akhirnya,

semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat.

Lamongan, 26 Oktober 2017

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa rosenmuller
dan dapat menyebar ke dalam atau keluar nasofaring menuju dnding lateral,
posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi dan orofaring serta
metastasiske kelenjar limfe leher. Indonesia termasuk salah satu Negara dengan
prevalensi penderita karsinoma nasofaring yang termasuk tinggi di luar China.

Di Indonesia, Karsinoma Nasofring menempati urutan ke-5 dari 10 besar


tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke-1 di bidang
Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan karsinoma nasofaring. Prevalensi karsinoma nasofaring di Indonesia
adalah 6,2/100.000 penduduk dengan 13.000 kasus karsinoma nasofaring baru
setiap tahunnya. Insiden kejadiankarsinoma nasofaring di Medan pada tahun 2000
adalah 4,3/100.000 penduduk. Di Indonesia Karsinoma Nasofaring paling banyak
dijumpai diantara tumor ganas di bidang THT dan usia terbanyak yang menderita
adalah usia 40 tahun keatas.
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : Tn. Askuri

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 53 thn

Alamat : Pucangan RT 1 RW 1 Pucangan Palang, Tuban

Suku Bangsa : Jawa / Indonesia

Agama : Islam

Status : Menikah

Pekerjaan : Wiraswasta

Tanggal Pemeriksaan : IGD 10 Oktober 2017 pukul 20:57

Ruangan 10 Oktober 2017 pukul 23.03

2.2 Anamnesis

Keluhan utama: Penurunan kesadaran

RPS : pasien dikeluhkan mengalami penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS,


keluhan muncul bertahap sampai tidak sadar, pasien tidak sadar selama 30 menit
kemudian. Nyeri kepala sebelumnya +, mual -, muntah -, pasien juga mengeluhkan
sulit makan sejak 1 minggu SMRS, 1 bulan ini pasien tidak bisa menelan, pasien
jug mengeluhkan telinga kiri sering berdenging. BAB dan BAK dalam batas
normal.

RPD: HT 10 tahun, DM -, CVA 9 tahun yang lalu

RPK: Riwayat penyakit yang sama (-)

RPsos: -

Riw. Pengobatan : pasien rutin control ke poli THT karena terdapat faringitis kronis
2.3 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Lemah
 Kesadaran : Somnolen
 GCS : 356
Vital Sign
Pemeriksaan IGD
 Tekanan darah : 125/53 mmHg
 Nadi : 75 x / menit
 Frekuensi nafas : 25 x / menit
 Temperatur : 36.4 0C
Pemeriksaan Ruangan
 Tekanan darah : 121/86
 Nadi : 97 x / menit
 Frekuensi nafas : 21 x / menit
 Temperatur : 36 0C
Status Generalis
Kepala/Leher
Inspeksi : anemia -, ictus -, sianosis -, dispsneu -, mata cowong -, KGB +, JVP -
Thorax
Paru : Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris,
retraksi -
Palpasi : Thrill -, fremissment -, krepitasi -
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler/vesikuler
Rh -/-, Wh -/-
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis -, voussure cardiac -
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, thrill/fremissment -
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : S1S2 Tunggal, Murmur -, gallop –
Abdomen : Inspeksi : Flat
Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium -, hepar lien tidak
teraba
Perkusi : Tymphany
Auskultasi : BU + N
Ekstremitas : Inspeksi : Deformitas (-) Edema (-)
Palpasi : Hangat, kering, merah, CRT<2 detik
Status Neurologis
Pemeriksaan Ruangan
1. Kepala
 Posisi : Normal
 Penonjolan : Tidak ada
 Bentuk dan ukuran : Normocephali
 Leher :Benjolan sinistra ukuran 3x3 cm, mobile,
konsistensi padat kenyal
2. Nervus Cranialis
Nervus I (olfakorius):
Penghidu : tidak dievaluasi
Nervus II (optikus)
 Tajam Penglihatan : visus ODS > 2/60
 Lapang pandang : dbn/dbn
 Funduskopi : Tidak dievaluasi
Nervus III, IV, VI
 Celah kelopak mata
 Ptosis: : -/-
 Exsoftalmus : -/-
 Pergerakan bola mata : -/-
Pupil
 Ukuran : 3 mm/3 mm
 Bentuk : bulat / bulat
 Reflek cahaya langsung : -/-
 Reflek cahaya tidak langsung : -/-
 Nistagmus: -/-
Nervus IV (Tokhlearis)
 Posisi bola mata : normal ditengah / normal ditengah
 Pergerakan bola mata : dbn / dbn
Nervus VI (Abdusens)
 Pergerakan bola mata: dbn / dbn
Nervus V (Trigeminus)
Sensibilitas : N. V I : normal / normal
N. V II : normal / normal
N. V III : normal / normal
Motorik : Inspeksi : wajah simetris
Palpasi : normal / normal
Mengunyah : normal
Menggigit : normal
Reflek dagu / masseter : tidak dievaluasi
Reflek kornea : tidak dievaluasi
Nervus VII (fasialis)
Inspeksi : Normal simetris
Motorik
 M. Frontalis : normal / normal
 M. Orbicularis oculi : normal / normal
 M. Orbicularis oris : normal / normal
Sensorik
 Pengecapan 2/3 depan lidah: tidak dievaluasi
Nervus VIII (vestibulocochlearis)
 Detik arloji : tidak dilakukan
 Suara berbisik : normal / menurun
 Tes weber : tidak dilakukan
 Tes rinne : tidak dilakukan
Nervus IX (glossofaringeus)
 Sensibilitas faring : tidak dilakukan
 Pengecapan 1/3 belakang : tidak dilakukan
Nervus X (Vagus)
 Posisi arkus faring : dalam batas normal
 Reflek muntah : tidak dievaluasi
Nervus XI (aksesorius)
 Mengangkat bahu : normal / normal
 Memalingkan wajah : normal / normal
Nervus XII (Hipoglossus)
Deviasi lidah : atrofi, fasikulasi, parese N.XII tipe perifer
Fasikulasi :-
Tremor :-
Atrofi :-
3. Leher
 Tanda-tanda perangsangan selaput otak
Kaku kuduk :-
Brudzinsky I :-
Brudzinsky II :-
Brudzinsky III :-
Brudzinsky IV :-
Kernig’s sign :-
 Kelenjar limfe: membesar
 Arteri karotis: bruit -
 Kelenjar gondok: tidak membesar
4. Abdomen
Reflek kulit dinding perut :-
5. Ekstremitas
Motorik
- Pergerakan : normal / normal
- Kekuatan : 5/5
5/5
- Tonus otot : normal
- Tremor :-
Reflek fisiologis :
- BPR : +2 / +2
- TPR : +2 / +2
- KPR : +2 / +2
- APR : +2 / +2
Reflek patologis :
- Hoffman-tromner : - / -
- Babinski :-/-
- Chaddock :-/-
- Gordon :-/-
- Schaefer :-/-
- Oppenheim :-/-
- Mendel Bechtrew : - / -
- Rossolimo :-/-
Sensibilitas
- Eksteroseptif
Nyeri : normal / normal
Suhu : tidak dievaluasi
Rasa raba halus : dalam batas normal / dalam batas normal
- Proprioseptif
Rasa sikap /posisi : dalam batas normal
Rasa getar : tidak dievaluasi
- Fungsi kortikal
Stereognosis : tidak dievaluasi
Barognosis : tidak dievaluasi

Gangguan koordinasi
- Tes jari hidung : dalam batas normal / dalam batas
normal
- Tes pronasi supinasi : dalam batas normal / dalam batas
normal
- Tes tumit lutut : tidak dievaluasi
Tes profokasi:
Patrick : tidak dievaluasi
Contra Patrick : tidak dievaluasi
Lasseque : tidak dievaluasi
Gait : tidak dievaluasi
Pemeriksaan fungsi luhur
- Afek / emosi : dalam batas normal
- Kemampuan bahasa : dalam batas normal
- Memori : dalam batas normal
- Visuospasial : dalam batas normal
- Intelegensia : tidak dievaluasi
2.4 Pemeriksaan Laboratorium
Gula Darah Acak : Hasil 152
Kalium Serum : Hasil 3.0 [3.6 – 5.5]
Natrium Serum : Hasil 140 [135 – 155]
Chlorida Serum : Hasil 104 [70 – 108]
Leukosit : Hasil 11.1 [4.0 – 11.0]
Neutropil : Hasil 85.3 [49.0 – 67.0]
Limposit : Hasil 11.6 [25.0 – 33.0]
Monosit : Hasil 3.1 [3.0 – 7.0]
Eosinopil : Hasil 0.0 [1.0 – 2.0]
Basofil : Hasil 0.0 [0.0 – 1.0]
Eritrosit : Hasil 5.12 [3.80 – 5.30]
Hemoglobin : Hasil 9.1 [ P 13.0 – 18.0, L 14.0 – 18.0]
Hematokrit : Hasil 29.7 [ L 40 – 54, P 35 – 47]
MCV : Hasil 85.00 [ 87.00 – 100.00]
MCH : Hasil 17.80 [ 28.00 – 36.00]
MCHC : Hasil 30.60 [ 31.00 – 37.00]
RDW : Hasil 14 [ 10 – 16.5]
Trombosit : Hasil 346 [ 150 – 450]
MPV : Hasil 7 [ 5 – 10]
LED1 : Hasil 58 [ 0 – 1]
LED2 : Hasil 74 [ 1 – 7]
CT scan kepala tanpa kontras : tidak dilakukan
CT scan kepala dengan kontras : tidak dilakukan
CT scan nasofaring : didapatkan massa nasofaring kiri dengan ukuran sekitar 3,3 x
4,3 yang meluas ke area musculus pterygoid kiri dan colli kiri sepanjang 8 cm, area
depan sampai submandibular kiri.

2.5 Ringkasan

Pasien laki-laki usia 53 tahun datang ke IGD RSML dengan keluhan


penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS, keluhan muncul bertahap sampai tidak
sadar, pasien tidak sadar selama 30 menit kemudian. Nyeri kepala sebelumnya +,
mual -, muntah -, pasien juga mengeluhkan sulit makan sejak 1 minggu SMRS, 1
bulan ini pasien tidak bisa menelan, pasien jug mengeluhkan telinga sering
berdenging. BAB dan BAK dalam batas normal. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan umum lemah dengan GCS 356, Pemeriksaan di IGD Tekanan darah :
125/53, Nadi : 75 x / menit, RR : 25 x / menit, Temp : 36,4 0C dan pada pemeriksaan
di ruangan tekanan darah : 121/86, nadi : 97 x / menit, RR : 21 x / menit, Temp : 36
0
C, tidak didapatkan tanda meningeal sign, dari pemeriksaan neurologis di ruangan
didapatkan defisit neurologis pada nervus cranialis berupa gangguan pada N VIII
sinistra dan parese N XII dekstra tipe perifer, pada pemeriksaan motorik didapatkan
normal dengan reflek fisiologis dalam batas normal serta pada pemeriksaan reflek
patologis didapatkan hasil yang negatif. Hasil laboratorium menunjukkan
peningkatan jumlah neutrofil, penurunan limfosit, penurunan hemoglobin,
hematocrit, MCV, MCH, MCHC dan terdapat laju endap darah. Dan pada
pemeriksaan CT scan nasofaring didapatkan massa nasofaring kiri dengan ukuran
sekitar 3,3 x 4,3 yang meluas ke area musculus pterygoid kiri dan colli kiri
sepanjang 8 cm, area depan sampai submandibular kiri.

2.6 Diagnosis

Diagnosis klinik : disfagia, tinnitus auricular sinistra, gangguan N VIII


sinistra, parese N XII dekstra tipe perifer

Diagnosis topis : Nasofaring


Diagnosis etiologis : Karsinoma nasofaring

2.7 Planning Diagnosis

(-)

2.8 Planning Terapi

- MRS tirah baring, head up 30 derajat

- Oksigen nasal kanul 3 lpm

- Inf Asering 1500cc/24 jam

- Inj Antrain 3x1 gr

- Inj Ranitidin 2 x 50 mg

- Inj Citicholin 3 x 250 mg

- Pasang DK

- Konsul Sp.S dan Sp. THT


BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Karsinoma Nasofaring

3.1.2 Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan

lateral. Ke depan berhubungan dengan dinding kaku diatas, belakang dan lateral.

Ke depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana sehingga sumbatan

hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Demikian juga penyebaran tumor

ke lateral akan menyumbat muara tuba eustachius dan akan mengganggu

pendengaran serta menimbulkan cairan di telinga tengah. Ke arah belakang dinding

melengkung ke atas dan ke depan dan terletak di bawah korpus os sfenoid dan

bagian basilar dari os oksipital. Di belakang atas torus tubarius terdapat resesus

faring atau fossa Rossenmuleri dan tepat di ujung atas posteriornya terletak foramen

laserum. Tumor dapat menjalar ke arah intrakranial dalam dua arah, masing–

masing menimbulkan gejala–gejala neurologik yang khas. Perluasan langsung

melalui foramen laserum ke sinus kavernosus dan fossa kranii media menyebabkan

gangguan saraf otak III, IV, VI, dan kadang–kadang II. Sebaliknhya, penyebaran

ke kelenjar faring lateral di dan sekitar selubung karotis/jugularis pada ruang

retroparotis akan menyebabkan kerusakan saraf otak ke IX, X, XI dan XII. Saraf

otak ke VII dan ke VIII biasanya jarang terkena.

Jaringan limfe. Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yag terutama

mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retofaring krause (kelenjar Rouvire).

Terdapat hubungan bebas melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan

mediastium melalui ruang retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.


3.1.2 Definisi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring adalah penyakit keganasan (kanker) sel yang

terbentuk di jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx

(tengorokan), di belakang hidung. (National Cancer Institute, 2011). Sedangkan

menurut Munir (2010) karsinoma nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal

dari epitel nasofaring. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa rosenmuller dan

dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak.

Gambar 3.1
Anatomi Nasofaring

3.1.3 Epidemiologi Karsinoma Nasofaring

Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000

penduduk. Namun relatif sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China.

Di RRC, walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada

berbagai daerah lain di dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000,

pada pria 2,49/100.000, dan pada wanita 1,27/100.000.


Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah leher yang terbanyak

ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan

karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus

paranasal (18%), larynx (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring

dalam presentase rendah.

Sebesar 2% dari kasus. karsinoma nasofaring adalah penderita anak dan di

Guangzhou ditemukan 1% karsinoma nasofaring dibawah 14 tahun. Pada penelitian

yang dilakukan di medan (2008), kelompok umur penderita karsinoma nasofaring

terbanyak adalah 50-59 tahun (29,1%). Umur penderita yang paling muda adalah

21- tahun dan yang paling tua 77 tahun. Rata-rata umur penderita pada penelitian

ini adalah 48,8 tahun.

Karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada laki-laki dengan

penyebab yang masih belum dapat diungkap secara pasti dan mungkin berhubungan

dengan adanya faktor genetika, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain.

3.1.4 Etiologi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, factor

genetic, factor lingkungan dan juga infekksi virus Epstein-Barr.

A.) Faktor Genetik

Analisis korelasi menunjukkan gen (Human Leukocyte Antigen) HLA dan

gen pengode enzime sitokorm p4502E (CYP2EI) kemungkinan adalah gen

kerentanan terhadap kanker nasofaring, Mereka berkaitan dengan timbulnya

sebagian besar kanker nasofaring. Tahun 2002, RS Kanker Universitas

Zhongshan memakai 382 buah petanda mikrosatelit polimorfisme 22 helai

autosom genom manusia. Dengan melakukan pemeriksaan genom total


terhadap keluarga insiden tinggi kanker nasofaring berdialek Guangzhou di

propinsi Guangdong, gen kerentanan nasofaring ditetapkan berlokasi di

4p1511-q12.

B.) Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia,

termasuk asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau

bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas.

Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan

dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan

dengan keganasan lain tidak jelas . Tingginya kadar nitrosamin diantaranya

dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan

asin Guangzhou juga berhubungan.

C.) Infeksi Epstein-Barr Virus

EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya

karsinoma nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan

memengaruhi DNA sel sehingga mengalami mutasi, khususnya

protooncogen menjadi oncogene.

Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma

nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum

pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer

maupu n sekunder telah dibukt ikan mengandung antibody IgG terhadap

antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini

(EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer

yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang
mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini

berhubungan dengan karsinoma nasofaring tidak berdifrensiasi

(undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi (non-

keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak

berhubungan dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam

limfoepitelioma.

3.1.5 Patofisiologi Karsinoma Nasofaring

Lokasi predileksi karsinoma nasofaring adalah dinding lateral nasofaring

(terutama di recessus pharyngeus) dan dinding supero-posterior. Sel karsinoma

nasofaring 95% ke atas berdiferensiasi buruk, tingkat keganasan tinggi. Tingkat

kegananasan karsinoma nasofaring tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung

berekspansi hingga menginfiltrasi ke struktur yang berbatasan. Ke atas, dapat

langsung merusak basis kranial. Juga dapat melalui foramen spinosum, kanalis

karotis internal atau sinus sfenoid dan selula etmoidal posterior dll. Lubang saluran

atau retakan alamiah menginfiltrasi kranial, mengenai saraf kranial; ke anterior

menyerang rongga nasal, sinus maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke

dalam orbita, juga dapat melalui intrakranium, fisura orbitalis superior atau kanalis

pterigoideus, resesus pterigopalatina lalu ke orbita. Ke lateral tumor dapat

menginfiltrasi celah parafaring, fosa intratemporal dan kelompok otot kunyah dll.

Ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal.

Ke inferior mengenai orofaring bahkan laringofaring.

Submukosa nasofaring kaya akan jaringan limfatik, drainase limfatik dapat

melintasi garasi tengah ke sisi leher kontra-lateral. Penyebaran limfogen ke kelenjar

limfe leher dari kanker nasofaring terjadi secara dini. Lokasi metastasis kelenjar
limfe tersering ditemukan pada kelenjar limfe profunda leher atas di bawah otot

digastrik, yang kedua adalah kelenjar limfe leher profunda kelompok tengah dan

kelenjar limfe rantai nervus aksesorius di trigonum servikal posterior.

Metasasis jauh kanker nasofaring berkaitan erat dengan metastasis ke


kelenjar leher, menyusul limfadenopati servikal, jumlahnya bertambah, peluang
metastasis juga meningkat jelas.
Lokasi metastasis jauh tersering adalah ke tulang, lalu ke paru, dan sering
terjadi metastais ke banyak organ sekaligus (Desen, 2008) tetapi, jarang ke hati.
3.1.6 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring
Sekitar 3 dari 4 pasien mengeluh benjolan atau massa di leher ketika
pertama kali datang ke dokter. Hal ini di sebabkan oleh karena kanker telah
menyebar ke kelenjar getah bening di leher, menyebabkan mereka menjadi lebih
besar dari normal (kelenjar getah bening yang seukuran kacang mengumpuli sel
sistem imun di seluruh tubuh). Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 4
kelompok yaitu :
1. Gejala nasofaring: berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, dan
pilek.
2. Gejala telinga: gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat
dengan muara tuba eustachius ( fossa roodden muller). Gangguan dapat
berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga (otalgia) hingga nyeri dan
infeksi telinga yang berulang.
3. Penderita karsinoma nasofaring sering mengalami satu atau lebih dari 4

kelompok gejala yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial dan

pembesaran kelenjar limfa leher. Gejala neurologis akibat penjalaran tumor

primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii

medial sehingga mengenai saraf cranial anterior berturut-turut yaitu saraf

VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan.

Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Sedangkan penjalaran yang


mengenai saraf cranial posterior yaitu saraf VII sampai XII dan cabang

saraf simpatikus servikalis yang menimbulkan sindroma Horner.

N IX: gangguan pengecapan yang terjadi pada sepertiga belakang lidah dan

terjadi kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior.

N X: hiper/hipo/anastesi pada mukosa palatum mole, faring dan laring

diikuti gangguan respirasi dan salivasi.

N XI: kelumpuhan dan atrofi pada otot-otot trapezius,

sternokleidomastoideus, serta hemiparesis palatum mole.

N XII: terjadi hemiparalisis dan atrofi pada sebelah lidah.

Jika penjalaran melewati foramen jugulare yang disebut sindrom

jackson, dan jika mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral serta

dapat terjadi destruksi tulang tengkorak dengan prognosis yang buruk.

4. Gejala atau metastasis di leher: dalam bentuk benjolan di leher yang

mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak ada keluhan

lain.

5. Gejala metastasis jauh: ke hati, paru, ginjal, limpa, tulang, dsb.

3.1.7 Stadium Karsinoma Nasofaring

Untuk penentuan stadium dipakai sistem TIM menurut UICC (2002) dikutip

dari buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher Roezin

(2010).
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N2 M0
T2a N1 M0
T2b N0,N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a,T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IVb semua T N3 M0
Stadium IVc semua T semua N M1

Keterangan :
T :Tumor
T0 :Tidak tampak tumor.
T1 :Tumor terbatas di nasofaring.
T2 :Tumor meluas kejaringan lunak.
T2a :Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring (perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor kearah
postero-lateral melebihi fasia faring-basiler.
T2b :Disertai perluasan ke parafaring.
T3 :Tumor menginvasi struktur tulang dan/ atau sinus paranasal.
T4 :Tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf
cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator.
N :Nembesaran kelenjar getah bening.
NX :Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai.
N0 :Tidak ada pembesaran.
N1 :Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar
kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraclavicular.
N2 :Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar
kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraclavicular.
N3 :Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar,
atau terletak dalam fossa supraclavikular.
N3a :Ukuran lebih dari 6 cm.
N3b :Di dalam fossa supraclavicular.
M :Metastasis.
MX :Metastasis jauh tidak dapat dinilai.
M0 :Tidak ada metastasis jauh.
M1 :Terdapat metastasis jauh.
3.1.9 Diagnosis Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring dapat ditegakkan diagnosisnya secara dini, untuk itu
harus melakukan hal-hal berikut ini:
a. Tingkat kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien
Pasien dengan epistaksis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli
unilateral, lymphadenopathy leher tak nyeri, cephalgia, ruda paksa saraf
kranial dengan kausa tak jelas, dengan keluhan lain harus diperiksa teliti
rongga nasofaringnya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik.
b. Pemeriksaan kelenar limfe leher
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan rantai arteri vena transversalis koli apakah terdapat
pembesaran.
c. Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior, dengan atau tanpa
menggunakan kateter.
 Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter
Nasofaringoskopi indirek menggunakan kaca dan lampu khusus untuk
menilai nasofaring dan area yang dekat sekitarnya.
Pada pasien dewasa yang tidak sensitif, pemeriksaan ini dapat dilakukan.
Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan dapat tampak
dengan mudah.
 Rinoskop posterior menggunakan kateter
Nasofaringoskopi direk, dokter menggunakan sebuah fibreoptic scope
( lentur, menerangi, tabung sempit yang dimasukkan ke rongga hidung
atau mulut) untuk menilai secara langsung lapisan nasofaring.
Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung
kanan dan kiri, setelah tampak di orofaring, uung katater tersebut dijepit
dengan pinset dan ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan masing-
masing ujung kateter yang lainnya.
d. Pemeriksaan saraf kranial
Ditujukan pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah
kadang perlu diperiksa berulang kali barulah ditemukan hasil positif .
e. Pencitraan
 Computed tomography (CT) scan nasofaring
Makna klinis aplikasinya adalah: (1) membantu diagnosis; (2)
memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat; (3) secara tepat
menetapkan zona target terapi; merancang medan radiasi; (4) memonitor
kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tindak lanjut .
 Chest x-ray
Jika pasien telah didiagnosa karsinoma nasofaring, foto polos x-ray dada
mungkin dilakukan untuk menilai penyebaran kanker ke paru .
 Magnetic resonance imaging (MRI) scan
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak
membuat potongan melintang, sagital koronal, sehingga lebih baik dari
CT. MRI selain dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring
dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang.
Dalam membedakan antara pasca fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi
tumor, MRI juga lebih bermanfaat.
 Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters)
Untuk memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak serta
adanya metastasis jauh.
 Pencitraan tulang seluruh tubuh
Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke tulang,
lebih sensitif dibandingkan ronsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 3-
6 bulan dibandingkan ronsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya
tampak tampak sebagai akumulasi radioaktivitas; sebagian kecil tampak
sebagai area defek radioaktivitas .
 PET (Positron emission tomography)
Disebut juga pencitraan biokimia molekular metabolik in vivo. Pasien
akan menerima injeksi glukosa yang terdiri dari atom radioaktif. Jumlah
radioaktif yang digunakan sangat rendah. Karena sel kanker di dalam
tubuh bertumbuh dengan cepat, kanker mengabsorpsi sejumlah besar gula
radioaktif.
f. Biopsy nasofaring
Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah mikroskop oleh
patologi untuk memastiakan tanda-tanda kanker.
g. Pemeriksaan histopatologi
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid)
pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma
tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi.
h. Pemeriksaan serologis EBV
Bagi salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko tinggi
kanker nasofaring:
 Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA >=
1:80;
 Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-Imunoglobulin)
EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.
 Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang
tinggi kontinu atau terus meningkat.
3.2 Nervus Cranialis
3.2.1 Anatomi Fisiologi Nervus Kranialis
12 pasang saraf cranial muncul dari berbagai bagian batang otak.

Beberapa saraf cranial hanya tersusun dari serabut sensorik, tetapi sebagaian

besar tersusun dari serabut sensorik dan serabut motorik.

1. Nervus Olfaktorius ( N I )

Merupakan saraf sensorik. Saraf ini berasal dari epithelium olfaktori

mukosa nasal. Berkas serabut sensorik mengarah ke bulbus olfaktori dan

menjalar melalui traktus olfaktori sampai ke ujung lobus temporal (girus

olfaktori), tempat persepsi indera penciuman berada.

2. Nervus Optikus ( N II )

Merupakan saraf sensorik. Impuls dari batang dan kerucut retina dibawa

ke badan sel akson yang membentuk saraf optic. Setiap saraf optic keluar

dari bola mata pada bintik buta dan masuk ke rongga cranial melaui

foramen optic. Seluruh serabut memanjang saat traktus optic, bersinapsis

pada sisi lateral nuclei genikulasi thalamus dan menonjol ke atas sampai

ke area visual lobus oksipital untuk persepsi indera penglihatan.

3. Nervus Okulomotorius ( N III )

Merupakan saraf gabungan, tetapi sebagian besar terdiri dari saraf

motorik. Neuron motorik berasal dari otak tengah dan membawa impuls

ke seluruh otot bola mata (kecuali otot oblik superior dan rektus lateral),

ke otot yang membuka kelopak mata dan ke otot polos tertentu pada

mata. Serabut sensorik membawa informasi indera otot (kesadaran

perioperatif) dari otot mata yang terinervasi ke otak.


4. Nervus Troklearis ( N IV )

Adalah saraf gabungan , tetapi sebagian besar terdiri dari saraf motorik

dan merupakan saraf terkecil dalam saraf cranial. Neuron motorik berasal

dari langit-langit otak tengah dan membawa impuls ke otot oblik superior

bola mata. Serabut sensorik dari spindle otot menyampaikan informasi

indera otot dari otot oblik superior ke otak.

5. Nervus Trigeminus ( N V )

Saraf cranial terbesar, merupakan saraf gabungan tetapi sebagian besar

terdiri dari saraf sensorik. Bagian ini membentuk saraf sensorik utama

pada wajah dan rongga nasal serta rongga oral.

Neuron motorik berasal dari pons dan menginervasi otot mastikasi

kecuali otot buksinator. Badan sel neuron sensorik terletak dalam ganglia

trigeminal. Serabut ini bercabang ke arah distal menjadi 3 divisi :

1.) Cabang optalmik membawa informasi dari kelopak mata, bola mata,

kelenjar air mata, sisi hidung, rongga nasal dan kulit dahi serta

kepala.

2.) Cabang maksilar membawa informasi dari kulit wajah, rongga oral

(gigi atas, gusi dan bibir) dan palatum.

3.) Cabang mandibular membawa informasi dari gigi bawah, gusi,

bibir, kulit rahang dan area temporal kulit kepala.

6. Nervus Abdusen ( N VI )

Merupakan saraf gabungan, tetapi sebagian besar terdiri dari saraf

motorik. Neuron motorik berasal dari sebuah nucleus pada pons yang
menginervasi otot rektus lateral mata. Serabut sensorik membawa pesan

proprioseptif dari otot rektus lateral ke pons.

7. Nervus Fasialis ( N VII )

Merupakan saraf gabungan. Meuron motorik terletak dalam nuclei pons.

Neuron ini menginervasi otot ekspresi wajah, termasuk kelenjar air mata

dan kelenjar saliva. Neuron sensorik membawa informasi dari reseptor

pengecap pada dua pertiga bagian anterior lidah.

8. Nervus Vestibulokoklearis ( N VIII )

Hanya terdiri dari saraf sensorik dan memiliki dua divisi. Cabang koklear

atau auditori menyampaikan informasi dari reseptor untuk indera

pendengaran dalam organ korti telinga dalam ke nuclei koklear pada

medulla, ke kolikuli inferior, ke bagian medial nuclei genikulasi pada

thalamus dan kemudian ke area auditori pada lobus temporal. Cabang

vestibular membawa informasi yang berkaitan dengan ekuilibrium dan

orientasi kepala terhadap ruang yang diterima dari reseptor sensorik pada

telinga dalam.

9. Nervus Glosofaringeal ( N IX )

Merupakan saraf gabungan. Neuron motorik berawal dari medulla dan

menginervasi otot untuk wicara dan menelan serta kelenjar saliva parotid.

Neuron sensorik membawa informasi yang berkaitan dengan rasa dari

sepertiga bagian posterior lidah dan sensasi umum dari faring dan laring

; neuron ini juga membawa informasi mengenai tekanan darah dari

reseptor sensorik dalam pembuluh darah tertentu.


10. Nervus Vagus ( N X )

Merupakan saraf gabungan. Neuron motorik berasal dari dalam medulla

dan menginervasi hampir semua organ toraks dan abdomen.

Neuron sensorik membawa informasi dari faring, laring, trakea,

esophagus, jantung dan visera abdomen ke medulla dan pons.

11. Nervus Aksesorius ( N XI )

Merupakan saraf gabungan, tetapi sebagian besar terdiri dari serabut

motorik. Neuron motorik berasal dari dua area : bagian cranial berawal

dari medulla dan menginervasi otot volunteer faring dan laring, bagian

spinal muncul dari medulla spinalis serviks dan menginervasi otot

trapezius dan sternokleidomastoideus. Neuron sensorik membawa

informasi dari otot yang sama yang terinervasi oleh saraf motorik ;

misalnya otot laring, faring, trapezius dan otot sternokleidomastoid.

12. Nervus Hipoglosus ( N XII )

Termasuk saraf gabungan, tetapi sebagian besar terdiri dari saraf

motorik. Neuron motorik berawal dari medulla dan mensuplai otot lidah.

Neuron sensorik membawa informasi dari spindel otot di lidah.

3.2.2 Hubungan Karsinoma Nasofaring dan Nervus Kranialis

Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius.

Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang

disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala

yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang

telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat

penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi


cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga

akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan

pendengaran.

Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya

rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan

hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang,

jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga

berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi

akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana.

Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan

gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung

ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga

dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-

lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita

radang.

Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas

ke arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat

mengenai saraf otak dan menyebabkan ialah penglihatan ganda

(diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul

kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan

penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat

penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat

kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan


hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada

beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.

3.2.3 Terapi Karsinoma Nasofaring


a) Stadium I : Radioterapi.
b) Stadium II&III : Kemoradiasi.
c) Stadium IV dengan N<6cm : Kemoradiasi.
d) Stadium IV dengan N>6cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi.
Berikut penjelasannya :
a. Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray
energi atau radiasi tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat
pertumbuhan sel kanker. Ada dua tipe terapi radiasi. Terapi radiasi external
menggunakan mesin yang berada di luar tubuh untuk memberikan radiasi
kepada kanker. Terapi radiasi internal menggunakan zat radioaktif yang
dimasukkan melalui jarum, radioaktive seeds, wires atau kateter yang
ditempatkan secara langsung kedalam atau di dekat kanker. Cara pemberian
terapi radiasi tergantung pada tipe dan satdium kanker yang diobati.
Sumber radiasi menggunakan radiasi γ Co-60, radiasi β energi tinggi
atau radiasi X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi
luar isosentrum, dibantu brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah
radioterapi stereotaktik.
b. Kemoterapi
Pemberian kemoterapi diberikan dalam banyak siklus, dengan setiap
periode diikuti dengan adanya waktu istirahat untuk memberikan kesempatan
tubuh melakukan recover. Siklus-siklus kemoterapi umumnya berakhir
hingga 3 sampai 4 minggu. Kemoterapi sering tidak dianjurkan bagi pasien
yang kesehatannya memburuk. Tetapi umur yang lanjut bukanlah penghalang
mendapatkan kemoterapi.
Cisplatin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk
mengobati karsinoma nasofaring. Cisplatin telah digunakan secara tunggal
sebagai bagian dari kemoradiasi, tetapi boleh dikombinasikan dengan obat
lain, 5-fluorourasil (5-FU) jika diberikan setelah terapi radiasi. Beberapa obat
lain boleh juga berguna untuk mengobati kanker yang telah menyebar. Obat-
obat ini termasuk: Carboplatin, Oxaliplatin, Bleomycin, Methotrexate,
Doxorubicin, Epirubicin, Docetaxel, dan Gemcitabine. Sering,
pengkombinasian 2 atau lebih obat-obat ini yang digunakan (American
Cancer Society, 2011). Tetapi berbagai macam kombinasi dikembangkan,
yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai
inti.
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitocyn C dan 5-fluorouracil
oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radiosensitizer”
memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien
karsinoma nasofaring.
c. Terapi bedah
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta tidak adanya
ditemukan metastsis jauh. Juga dilakukan pada karsinoma nasofaring dengan
diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I, II,
adenokarsinoma, komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi, dll)
d. Terapi paliatif
Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan
beban penderita kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang
tidak dapat disembuhakn lagi. Tujuan terapi paliatif adalah:
· Meningkatkan kualitas hidup penderita
· Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
· Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
· Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya
· Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka
cita atas kematian penderita.
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan
radiasi. Mulut rasa kering disebabkan oleh kelenjar liur mayor maupun
minor sewaktu penyinaran. Tidak dapat banyak dilakukan selain
menasihatkan penderita untuk makan dengan banyak kuah, membawa
minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan
yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya liur.
BAB 4
PEMBAHASAN

Pada laporan ini diajukan kasus penderita laki-laki berusia 53 tahun yang
datang ke IGD RSML dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Keluhan
tersebut disertai dengan kelemahan kaki sebelah kanan serta parese pada nervus
VIII sinistra dan parese N XII dekstra. Dari riwayat anamnesis pasien memiliki
riwayat stroke 9 tahun yang lalu, hipertensi 10 tahun, dan diabetes mellitus
disangkal.
Pada pemeriksaan umum yang dilakukan saat pasien datang ke IGD
didapatkan GCS 356, tekanan darah 125/53, Nadi 75 x / menit, RR 25 x / menit
0
temp 36,4 C. Tidak didapatkan tanda-tanda anemis maupun ikterik pada
konjungtiva dan sklera juga pada pemeriksaan leher, thorax, abdomen dan
extrimitas dalam batas normal. Pada peneriksaan neurologis di IGD didapatkan
tanda meningeal sign negatif sedangkan pemeriksaan motorik kekuatan otot
ekstremitas atas 4/5 dan ekstremitas bawah 4/5 dan sensorik dalam batas normal.
Pasien juga terdapat gangguan pada nervus VIII sinistra dan parese nervus XII
dekstra.

Selama masa perawatan, pasien mendapatkan terapi supportif berupa infus


RL 1500 cc dalam 24 jam, inj Antrain (Natrium Metamizole) 3 x 1 gram, ranitidine
2 x 50 mg untuk mencegah stress ulcer dan inj citicholin 3x250mg sebagai
neuroprotektan, head up 30 derajat guna mencegah peningkatan tekanan intra
kranial.

Perawatan selama 7 hari memberikan perkembangan yang baik terlihat dari


pemeriksaan yang dilakukan per tanggal 17 Oktober 2017 didapatkan hasil
kesadaran normal dengan GCS 456 dan pemeriksaan motorik kekuatan otot
ekstremitas atas 5/5 dan ekstremitas bagian bawah 5/5, membaik dibandingkan
pemeriksaan di IGD. Refleks fisiologis didapatkan dalam batas normal, dan refleks
patologis ditemukan negatif. Namun masih ditemukan gangguan nervus VIII
sinistra dan parese nervus XII dekstra tipe perifer.
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Karsinoma nasofaring adalah penyakit keganasan (kanker) sel yang terbentuk


di jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan), di
belakang hidung. (National Cancer Institute, 2011). Sedangkan menurut Munir
(2010) karsinoma nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal dari epitel
nasofaring. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa rosenmuller dan dapat
meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak. Gejala karsinoma nasofaring
dapat dibagi atas 4 kelompok yaitu : gejala nasofaring, gejala telinga, gejala hidung
dan gejala metastasis di leher.
Penderita karsinoma nasofaring sering mengalami satu atau lebih dari 4

kelompok gejala yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial dan

pembesaran kelenjar limfa leher. Gejala neurologis akibat penjalaran tumor primer

ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga

mengenai saraf cranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV,

sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan

parese saraf V. Sedangkan penjalaran yang mengenai saraf cranial posterior yaitu

saraf VII sampai XII dan cabang saraf simpatikus servikalis yang menimbulkan

sindroma Horner.
DAFTAR PUSTAKA

American cancer society, 2011. Nasopharingeal cancer. USA: American Cancer


Society.Diunduh:http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webco
ntent/003124-pdf.pdf (pada tanggal 29 Juli 2016)
Baehr, Mathias, Frotscher, Michael, 2005, Duus’ Topical Diagnosis in Neurology,
Stuttgart – New York: Thieme
Bahrudin, Moch, 2012, Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis,
Malang: UMM press
Bahrudin, Moch, 2013, Neurologi Klinis, Malang: UMM press
Brennan, B., 2006. Nasopharyngeal Carcinoma. BioMed Central Ltd. USA.
Diunduh: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/ (pada
tanggal 28 Juli 2016).
Davis, Larry E, Richardson, Sarah Pirio, 2015, Fundamentals of Neurologic
Disease, 2nd Ed, London: Springer
Desen, W., 2008. Buku ajar onkologi klinis edisi kedua. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 263-278.
Munir, D., 2010. Karsinoma Nasofaring Kangker Tenggorok; Edisi Revisi. USU
Press. Medan. Diunduh: http://usupress.usu.ac.id/terbitan-2010/366-
karsinoma-nasofaring-kangker-tenggorok-edisi-revisi.html (pada tangal 28
Juli 2016).
National Cancer Institute at the national institutes of health, 2011.
Nasopharyngeal Cancer Treatment (PDQ®). USA: National Cancer
Institute. Diunduh:
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patient
/All Pages/Print (pada tanggal 28 Juli 2016).
Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi, Efianty
A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-
Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.

Anda mungkin juga menyukai