Anda di halaman 1dari 16

KASUS

Nama : Ny. YN
Umur : 31 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Alamat : Semarang
Nomor CM : 01.01.72.37

SUBJEKTIF
Anamnesa: Dilakukan secara Alloanamnesa pada tanggal 7 Agustus 2017, di ruang
ICU RISA pukul 11.00 WIB
KELUHAN UTAMA: Lemas
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien G2P0A0 demam ±3 hari, tidak mau makan sehingga BB pasien semakin
turun. Pasien merasakan lemah anggota gerak sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien merasa lemah di tungkai bawah yang awalnya dimulai dengan kedua
ujung ibu jari kaki pasien terasa kebas. Kelemahan terjadi perlahan-lahan.
Awalnya penderita merasa kram-kram di kaki selama dua hari, Keesokan harinya
rasa kebas menjalar sampai ke kedua telapak kaki pasien dan diikuti oleh lemah
anggota gerak bawah. Rasa lemah tidak hilang setelah pasien beristirahat. Pasien
lalu dibawa ke RS Sultan Agung tanggal 4 agustus 2017. Selama dirawat pasien
mengeluh sesak (napas gasping), tanggal 6 agustus pasien dipindahkan ke ICU
karena penurunan kesadaran, demam. Satu hari kemudaian pasien mengalami
IUFD dengan gagal nafas akut.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya.


riwayat trauma (-), riwayat DM (-).
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.


RIWAYAT SOSIAL EKONOMI :
Pasien tinggal bersama suami dan anaknya. Biaya pengobatan ditanggung oleh
BPJS. Kesan ekonomi kurang.
OBJEKTIF
Status Presens (7 Agustus 2017)
 Keadaan Umum : Lemas
 Kesadaran : composmentis, GCS (E4VetM6)
 Tekanan Darah : 112/67 mmHg
 Nadi : 90x/menit
 RR : 20x/menit
 Suhu : 36,90C
Pemeriksaan Fisik

 Kulit : Turgor kulit normal


 Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
 Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran pada KGB leher, aksila, dan
inguinal
 Thoraks : Normothoraks
 Pulmo
o Inspeksi : Simetris kiri = kanan dalam keadaan statis dan
dinamis
o Palpasi : Fremitus normal, kiri = kanan
o Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
o Auskultasi : Vesikuler, rhonki (-/+), wheezing (-/-)
 Cor
o Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
o Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
o Auskultasi : Irama reguler, bising (-), gallop (-)
 Abdomen
o Inspeksi : Perut tampak cembung
o Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Corpus Vertebrae
o Inspeksi : Deformitas (-)
o Palpasi : Massa (-), deformitas (-)
Status Neurologi

 Kesadaran : GCS (E4VetM6)


 Tanda Rangsangan Meningeal :
o Kaku kuduk :-
o Brudzinski I :-
o Brudzinski II :-
o Kernig :-
 Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial :
o Pupil : Isokor, Ф 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+
 Pemeriksaan Nn. Cranialis :
o N. III, IV, VI : - bola mata posisi ortho, ptosis tidak ada, Pupil bulat,
isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+), diplopia (-), ptosis (-), strabismus (-),
nistagmus (-/-). gerakan mata kebawah normal.

Superior Inferior
Motorik
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Tidak dapat Tidak dapat
Pergerakan N N
digerakan digerakan
Kekuatan 5 5 1 1
Tonus otot N N N N

Bentuk otot N N N N
Refleks
N N Menurun Menurun
Fisiologis
Refleks Patologis _ _ _ _
Pemeriksaan Koordinasi :
Cara berjalan Tidak dilakukan Disartria Tidak dilakukan
Romberg tes Tidak dilakukan Disgrafia Tidak dilakukan
Ataksia Tidak dilakukan Supinasi-pronasi Tidak dilakukan
Reboundphenomen Tidak dilakukan Tes jari hidung Tidak dilakukan
Test tumit lutut Tidak dilakukan Tes hidung jari Tidak dilakukan
Pemeriksaan Sensorik :
o Raba : -
o Nyeri : +
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Radiologi

Thorax Besar ( non kontras)


X foto thorax AP
Terpasanf ET dengan ujung distal setinggi VTh3
COR : CTR : tidak dapat dinilai. Bentuk dan letak jantung normal
PULMO :
Corakan bronkovascular meningkat
Tampak bercak pada perihiler kiri
Tampak penebalan hilus kiri
Tampak opasitas homogeny, batas tegas pada lapangan atas paru kanan,
disertai penarikan fissure minor dan trachea
Difragma dan sinus kostofrenikus baik
KESAN
KEDUDUKAN ETT BAIK
COR : BENTUK DAN LETAK JANTUNG NORMAL
PULMO
BRONKOPNEUMONIA
PENEBALAN HILUS KIRI  CURIGA LIMFADENOPATI
ATELEKTASIS PADA LAPANGAN ATAS PARU KANAN

ASSESMENT
Diagnosis neurologi

 Diagnosis klinis : Guillain Barre Syndrome


 Diagnosis topik : Radiks N. Spinalis
 Diagnosis etiologi : Autoimun

PLANNING
Rencana Terapi

 IVFD RL 12 jam / kolf


 Lerofloxacin inj 1x500mg
 Paracetamol 1 gram k/p
 Simvastatin 1x20mg
 Asam folat 1x1 mg
 Ranitidine inj 2x1A
 Inj Methicobal 2 x 1 amp
 IVIG Dosis 0.4 gr/kg BB/hari selama 5 hari.
Rencana Penatalaksanaan
 Plasmaforesis
Prognosis
 Ad vitam : ad bonam
 Ad fungsionam : ad bonam
 Ad sanationam : ad bonam
BAB 1
LATAR BELAKANG
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering
dijumpai pada usia dewasa muda. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit
ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post
Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain
Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.1,2
Insiden rata-rata per tahun 0,4-1,7 per 100.000 populasi. Insidensi lebih tinggi pada
perempuan dibanding pria dan lebih banyak terjadi pada usia muda. Sindrom ini dicirikan
oleh kelumpuhan otot ekstremitas yang akut dan progresif.2,3 sekitar 60% dari kasus SGB
didahului oleh infeksi saluran respirasi maupun gastrointestinal. Berdasarkan penelitian,
diketahui infeksi bakteri Camphylobacter jejuni paling sering mendahului kejadian Guillain
Barre. Selain itu infeksi virus seperti Epstein Barr, Citomegalovirus, HIV juga berhubungan
dengan kejadian SGB.3
Guillain Barre merupakan salah satu penyebab kelumpuhan otot yang dapat mengenai
semua usia. Insidensi lebih tinggi pada perempuan dibanding pria dan lebih banyak terjadi
pada usia muda.2,3 Kelumpuhan otot yang disebabkan oleh Guillain Barre bersifat asending,
yang artinya didahului oleh kelumpuhan anggota gerak bawah, kemudian akan terus
mengenai anggota gerak atas. Salah satu komplikasi Gullain Barre yang dapat mengancam
jiwa yaitu kelumpuhan otot-otot pernafasan yang akan mengakibatkan gagal nafas pada
pasien.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flaksid yang
terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialis.1 Guillain Barre sering juga disebut sebagai acute
idiopathic demyelinating polyradiculoneuritis (AIDP) yang artinya proses demielinasi pada
Guillain Barre bersifat akut.
2.2 Epidemiologi
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0,4 - 1,7 kasus per 100.000 orang
pertahun. Insidensi lebih tinggi pada perempuan dibanding pria dan lebih banyak terjadi pada
usia muda.2,3 Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan
paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia
dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.1
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi
gastrointestinal.1,3
2.3 Etiologi
Etiologi SGB masih belum diketahui secara pasti. Teori yang dianut sekarang adalah
suatu kelainan imunologik, baik secara primary imune response maupun immune mediated
response. Beberapa keadaan / penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya
dengan terjadinya SGB antara lain1:
1. Infeksi.
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Infeksi akut yang sering
berhubungan dengan SGB adalah infeksi dari virus (CMV, EBV, HIV, varisela) dan
bakteri (Campilobakter jejuni, Mycoplasma pneumonia). Dua pertiga penderita
berhubungan dengan penyakit infeksi. Interval antara penyakit yang mendahului dengan
awitan biasanya 2-3 minggu. Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza,
infeksi saluran nafas bagian atas atau saluran pencernaan.2
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistemik seperti: keganasan, SLE, tiroiditis, penyakit addison
5. Kehamilan/ dalam masa nifas
2.4 Patogenesis
Delapan puluh persen pasien dengan SGB memiliki riwayat pendahulu seperti infeksi,
pembedahan dan trauma.5 Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain
yang mencetuskan terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah1:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
adalah infeksi virus. Terjadi reaksi inflamasi pada saraf yang terganggu. Infiltrat terdiri atas
sel-sel mononuklear terutama sel limfosit. Terdapat juga sel makrofag, sel polimorfonuklear.
Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. 1
Organisme yang menyebabkan infeksi terdahulu mengaktivasi sel T, setelah masa
laten beberapa hari sampai minggu, sel B dan T spesifik antigen teraktivasi. IgG yang
diproduksi sel B dapat dideteksi pada serum pada berbagai konsentrasi. Antibodi ini
memblok konduksi impuls sehingga terjadi akut paralisis atau mengaktivasi komplemen dan
makrofag yang menyebabkan lesi pada mielin.4 Penelitian terbaru menyatakan bahwa
terjadinya destruksi mielin dicetuskan oleh aktivasi komplement.
Aktivasi cascadekomplemen dimediasi oleh ikatan antara antibodi dengan sel Schwann dan
mengakibatkan degenerasi mielin. Akson biasanya menjadi target, terutama setelah
infeksi Campylobacter jejuni.5
2.5 Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu1,3,6:
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Mediasi oleh antibodi, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri sebelumnya, gambaran
elektrofisiologi berupa demielinisasi, remielinisasi muncul setelah reaksi imun berakhir,
merupakan tipe SGB yang sering dijumpai di Eropa dan Amerika.6
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Merupakan bentuk murni dari neuropathy axonal, dimana acute motor axonal
neurophaty (AMAN), terjadi degenerasi dari axon motorik, tanpa adanya demielinisasi.
Gejala ditandai dengan adanya kelemahan otot bagian distal, terkadang dapat disertai
paralisis otot pernafasan. Sensorik tidak mengalami gangguan. Dari pemeriksaan
laboratorium ditemukan peningkatan protein pada cairan serebrospinal sementara dari
pemeriksaan elektrofisiologi menunjukkan absen/turunnya saraf motorik dan saraf
sensorik. Penyembuhan lebih cepat, sering terjadi pada anak, dan merupakan tipe SGB
yang sering di Cina dan Jepang. 6,7
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Degenerasi terjadi pada akson sensorik dan motorik, sehingga manifestasi klinisnya berupa
kelemahan motorik dan sensorik, terkadang dengan paralisis otot pernafasan. Kebanyakan
pasien menjadi tetraplegi dan kesulitan bernafas hanya dalam waktu yang singkat.7
4. Miller Fisher’s Syndrome
Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia, areflexia dan
oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi dalam waktu 1-3 bulan.6
5. Acute Pandysautonomia
Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi sistim simpatis dan parasimpatis,
gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, hipertensi, disaritmia), gangguan
penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan pada mata dan anhidrosis, penyembuhan
bertahap dan tidak sempurna, sering dijumpai juga gangguan sensorik.6
2.6 Gejala Klinis dan Kriteria Diagnosa
SBG ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-
refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam
disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik
perifer.2 Parestesi dan hilang rasa pada jari-jari kaki dan tangan merupakan gejala yang paling
awal terjadi. Manifestasi klinik mayor berupa kelemahan pada anggota gerak dalam 1 sampai
2 minggu atau bisa lebih lama. Biasanya mengenai ekstremitas bawah terlebih dahulu
dibanding ekstremitas atas. Manifestasi klasik dari GBS ditandai dengan adanya kelemahan
yang terjadi secara akut progresif, simetris, dan dimulai dari bawah ke atas, arefleksia, dan
abnormalitas sensorik. 4,7 Dapat mengenai nervus kranialis terjadi pada 45 % sampai 70 %
kasus. Defisit nervus kranial yang sering terkena adalah nervus III, IV, VI, VII, IX, X. Paresis
nervus VII biasanya bilateral, terjadi hampir pada sebagian pasien.8 kegagalan otot
pernafasan dapat terjadi rata-rata dalam 1 minggu setelah onset parestesi.5
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu1,2:
a. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
o Terjadinya kelemahan yang progresif
o Hiporefleksi
b. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
Ciri-ciri klinis:
- Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu,
50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.1,2
- Relatif simetris
- Gejala gangguan sensibilitas ringan, hipotoni dan hiporefleksi selalu ditemukan.
- Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat
terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
- Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai
beberapa bulan.
- Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala
vasomotor.
- Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
- Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial
- Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
c. Varian:
- Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
- Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
Pada gangguan neurogenik dengan demielinisasi sering terjadi kehilangan refleks
fisiologi pada tahap awal penyakit, seperti yang terjadi pada Guiilain Barre Syndrome. Hal
ini terjadi karena adanya blok dan ketidaksesuaian serabut saraf aferen dan eferen.8Fase
progresif dari SGB berlangsung dalam beberapa hari hingga empat minggu dan diikuti
dengan fase plateau, saat gejala berada dalam keadaan persisten sebelum diakhiri dengan
masa resolusi dari gejala yang lamanya bervariasi.6
Sementara kriteria diagnostik Sindrom Guillain Barre menurut Daroff (2012) yang
diadaptasi dari Assessment of current diagnostic criteria for Guillain Barre Syndrometahun
1990 dibagi menjadi tiga kriteria yaitu8:
1) manifestasi klinis yang diperlukan untuk diagnosis yaitu kelemahan progresif pada
kedua ektremitas dan arefleksia;
2) manifestasi klinis yang mendukung diagnosis yaitu:
- progresivitas dalam beberapa hari sampai 4 minggu,
- relatif simetris, dapat mengenai sistem sensorik,
- kelumpuhan kedua otot wajah (bifacial palsies),
- disfungsi otonom,
- periode recovery 2-4 minggu setelah periode progresif.
3) pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis:
- peningkatan protein dalam cairan serebrospinal dengan sel < 10 sel/µl
- gambaran elektrodiagnostik pada konduksi nervus lambat atau terhambat
Derajat penyakit SGB didasarkan pada skala disabilitas dari Hughes (Tabel 1). Pada
SGB berat, pasien memiliki skala ≥ 4.6
Tabel 1. Skala disabilitas Sindrom Guillain Barre menurut Hughes.6
0 Sehat
1 Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan manual
2 Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan
pekerjaan manual
3 Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4 Kegiatan terbatas di tempat tidur/kursi (bed / chair bound)
5 Membutuhkan bantuan ventilasi
6 Kematian
2.7 Diagnosis Banding
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria diagnostik
dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan jenis
polineuropati lain seperti: Mielitis akuta, Poliomyelitis anterior akuta,Porphyria intermitten
akuta, Polineuropati post difteri, hypocalemia, meningeal carsimatosis, neuromuscular
transmission disorders, uremic polyneuropathy, diabetic
polyradiculoneuropathy, dan hypophosphatemia,1,8
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasa digunakan untuk mendukung diagnosis Guilllain
Barre Sindrom antara lain:9
o Pemeriksaan darah rutin, titer EBV, Campylobacter, HIV, CMV, RF, ANA, hepatitis.
o EMG., akan terlihat adanya blok konduksi dengan kecepatan rendah, penurunan
konduksi gelombang-F
o Biopsi, akan terlihat demielinasi fokal.
o LP: peningkatan jumlah protein setelah beberapa hari. Jumlah sel biasanya normal,
namun terkadang diikuti peningkatan monosit
2.9 Terapi
Untuk Sindrom Guillain Barre dapat dikatakan tidak ada drug of choice. Terapi diberikan
untuk mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem
imunitas (imunoterapi).1 Pada pasien dengan SGB ringan, diberikan terapi suportif dengan
pemantauan ketat dan persiapan bila pasien secara klinis mengalami perburukan.6
a. Kortikosteroid
Manfaat kortikosteroid untuk terapi SGB masih kontroversial. Kebanyakan penelitian
mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat
untuk terapi SGB. Namun, apabila terjadi keadaan gawat akibat terjadinya paralisis otot-
otot pernafasan maka kortikosteroid dosis tinggi dapat dilakukan.1
b. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Plasmaferesis diindikasikan pada kasus yang nonambulatory,
atau yang penyakitnya berlangsung secara agresif.6 Pemakain plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan
alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis
lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).1 Plasmaferesis
atau plasma exchange merupakan terapi yang pertama kali terbukti efektif pada kasus
SGB berat. Perbaikan klinis pasien nampak nyata dalam kemampuan berjalan tanpa
dibantu, waktu penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, dan gejala sisa lebih ringan.6
Pada anak yang menderita SGB, plasmaferesis jarang dilakukan karena prosedur ini
membutuhkan persiapan yang lebih kompleks seperti unit perawatan intensif (ICU), akses
vena sentral dan mesin plasmaferesis. Selain plasmaferesis, hanya intravenous
immunoglobulin (IVIg) yang terbukti efektif dalam mengurangi kegawatan dan
memperpendek perjalanan penyakit.6
c. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping / komplikasi lebih ringan. Dosis 0.4 gr/kg BB/hari
selama 5 hari.8 Pemberian IVIg diduga dapat menetralisasi antibodi mielin yang beredar
dengan berperan sebagai antibodi anti–idiotipik, menurunkan sitokin proinflammatorydan
menghadang kaskade komplemen.6
d. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah1:
- 6 merkaptopurin (6-MP)
- Azathioprine
- cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
Pengobatan suportif untuk Gullain Barre antara lain10:
- Monitor kapasitas vitas pernafasan dan kekuatan inspirasi negatif (negative inspiratory
force; NIF). Jika kapasitas vita < 20 mL/kg atau NIF kurang dari – 30cm H2O, bawa
pasien ke ICU dan lakukan intubasi. Jangan tunggu sampai saturasi oksigen drop.
- Swallowing assessment
- Monitoring fungsi jantung
- Berikan obat anti nyeri seperti gabapentin, pregabalin atau tramadol
- Profilak DVT
- Regimen untuk kostipasi
- Fisioterapi untuk mencegah kontraktur dan mempercepat proses penyembuhan
2.11 Prognosa
Pada umumnya prognosa relatif baik. 90-95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa
dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain1,2:
- pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
- mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
- progresifitas penyakit lambat dan pendek
- pada penderita berusia 30-60 tahun
- tidak terjadi kelumpuhan total
Angka kematian pada GBS ± 5 %. Kebanyakan pasien membaik pada beberapa
bulan. Jika tanpa pengobatan, sekitar 35 % dari pasien memiliki kelemahan residual,
atrofi, hiporefleksia dan kelemahan otot wajah. Prognosis buruk pada pasien dengan
usia tua, didahului penyakit GI track.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Japardi, Iskandar. 2002. Sindroma Guillain Barre. USU.


2. Perdossi. 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada University Press: Jakarta. Hal
307-310.
3. Ropper, Allan H, Martin A. Sammuels. 2009. Adams and Victor’s Principles of
Neurology 9th edition. Mc Graw Hill Medical E-book. p1261-1270.
4. Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology 2nd Edition. Medical E-book.
Georg Thieme Verlag: Stuttgard. p 326-327.
5. Wijdicks, Eelco. 2003. The Clinical Practice of Critical Care Neurology 2nd Edition.
Oxford University Press: New York. p 405-410.
6. Lukito, Vimaladewi, Irawan Mangunatmadja, Antonius H. Pudjiadji, Tatang M.
Puspandjono. 2010. Plasmaferesis Sebagai Terapi Sindrom Guillain-Barre Berat pada
Anak. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 6, April 2010.
7. Feldman, Eva L, Woflgang Grisold, James W Russell, Udo A. Zifko. 2005. Atlas of
Neuromuscular desease. E-book. Springer-Verlag: Austria. p 288-291.
8. Daroff, Robert B., Gerald M. Fenichel, Joseph Jancovic, John C. Mazziotta. 2012.
Bradleys Neurology in Clinical Practice 6th Edition Volume 1. Medical E-book. Elsevier:
Philadelphia. p 299, 1956-1964
9. Flaherty, Alice W & Natalia Rost. 2007. The Massachusetts General Hospital Handbook
of Neurology 2nd Edition. Lippincott Williams & Wilkins: Massachusetts. p 37.
10. Gilman, Sid, William J. Herdman, Hadi Manji, Sean Connolly, Neil Dorward, Neil
Kitchen, et al. 2010. Oxford American Handbook of Neurology. Medical E-book. Oxford
University Press: New York. p 96-98.

Anda mungkin juga menyukai