Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

VERTIGO

Disusun oleh :
dr. Herwiq Ismail

Pembimbing :
dr. Zainuddin, Sp. M

Pendamping :
dr. Rini Astuti Wardhani
dr. Rakhmadi Sya’ban Nur

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KUDUNGGA SANGATTA
KUTAI TIMUR
2019
STATUS PASIEN

2.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn L N

Umur : 61 tahun

Jenis kelamin : Laki - Laki

Alamat :-

Status : Menikah

Agama : Islam

Tanggal MRS : 26 JULI 2019

2.2. ANAMNESIS

Tipe Anamnesis : Autoanamnesis

 Keluhan Utama :

Pusing (+)

 Riwayat Penyakit Sekarang :

Seorang pasien masuk rumah sakit umum daerah Kudungga dengan keluhan

pusing keluhan dialami sejak 4 hari yang lalu, pasien juga mengalami mual (+),

muntah (+) frek 2x berisi makanan dan minuman yang di konsumsinya, nyeri ulu

hari (+), buang air besar dalam batas normal, nyeri kepala (-), demam (-), batuk

(-), lendir (-), sesak (-), nyeri dada (-), nyeri perut (-), buang air kecil dalam batas

normal.

 Riwayat penyakit dulu :

Hipertensi disangkal, DM disangkal, Sering mengalami hal yang serupa (+).


2.3. PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan umum

o Sakit ringan saat kambuh

o Composmentis (GCS 15)

o Gizi Normal

o Berat Badan : 50 kg

o Tinggi Badan :160 cm

o IMT : 19,53

 Tanda Vital

o Tekanan darah : 120/90 mmHg

o Nadi : 88 x/menit

o Pernapasan : 20 x/menit

o Suhu :36,90C

 Status General

o Bentuk kepala : Normocepali

o Rambut : Hitam

o Simetris : kiri-kanan

 Mata

o Eksoptalmus : -/-

o Konjungtiva : Anemis (-/-)

o Sklera : Ikterik (-/-)

o Pupil : Bulat Isokor kiri-kanan

 Hidung

o Pendengaran : Dalam batas normal


o Nyeri Tekan : (-/-)

 Hidung

o Bentuk : Simetris

o Perdarahan :-

 Leher

o Inspeksi : Tidak Simetris

o Palpasi : Pembesaran kelenjar (-)

o DVS : -4

 Kulit

o Hiperpigmentasi :-

o Ikterik :-

o Petechie :-

o Sianosis :-

o Pucat :-

 Thorax

o Inspeksi : Simetris

o Palpasi : Vocal fremitus

o Perkusi : Sonor

o Auskultasi : Wh -/- Rh -/-

 Cor

o Inspeksi : iktus cordis tampak (-)

o Palpasi : Iktus cordis teraba (-)

o Perkusi : Pekak (+) Batas jantung DBN

o Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni (+)


 Abdomen

o Inspeksi : Simetris, datar, tidak ada benjolan.

o Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+)

o Perkusi : tymphani

o Auskultasi : peristaltic (+) kesan normal

 Punggung

o Tampak dalam batas normal

o Tidak ada kelainan bentuk tulang belakang

 Genitalia

o Tidak dievaluasi

 Ekstremitas atas dan bawah

o Dalam batas normal

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak di evaluasi

2.5. RESUME

Pada tanggal 26-07-2019. Pasien MRS dengan keluhan pusing, mual, muntah frek

2x isi makanan dan minuman yang dikonsumsinya, nyeri ulu hati. Pasien. Pada

pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum lemah, tampak sakit ringan, kesadaraan

composmentis, pemeriksaan tanda vital : tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 110 x/menit,

pernapasan 20 x/menit, suhu 36,90C. Pada pemeriksaan fisis yang bermakna inspeksi :

nyeri tekan epigastrium (+)


A. Pendahuluan

Gangguan keseimbangan merupakan salah satu gangguan yang paling sering

dijumpai dan dapat mengenai segala usia. Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang

terhadap lingkungan disekitarnya tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibuler

dilabirin, organ visual dan proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik

tersebut akan diolah di system saraf pusat sehingga menggambarkan keadaan posisi

tubuh pada saat itu.1,2

Keseimbangan terbagi atas dua kelompok, yaitu keseimbangan statis:

kemampuan tubuh untuk menjaga kesetimbangan pada posisi tetap (sewaktu berdiri

dengan satu kaki, berdiri diatas papan keseimbangan); keseimbangan dinamis

adalah kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan ketika bergerak.3

Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan igo yang

berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari “dizziness” yang secara definitif

merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah perasaan atau sensasi tubuh yang

berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan berputar.

Vertigo juga dirasakan sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring, tetapi gejala

seperti ini lebih jarang dirasakan. Kondisi ini merupakan gejala kunci yang menandakan

adanya gangguan sistem vestibuler dan kadang merupakan gejala kelainan labirin.
Namun, tidak jarang vertigo merupakan gejala dari gangguan sistemik lain (misalnya,

obat, hipotensi, penyakit endokrin, dan sebagainya).4,5

Vertigo terjadi pada sekitar 32% kasus, dan sampai dengan 56,4% pada populasi

orang tua. Sementara itu, angka kejadian vertigo pada anak-anak tidak diketahui,tetapi

dari studi yang lebih baru pada populasi anak sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar

15% anak tidak pernah merasakan sekali serangan pusing dalam periode satu tahun.5

Vertigo yang paling sering ditemukan adalah Benign Paroxysmal Positional

Vertigo (BPPV). Menurut penelitian pasien yang datang dengan keluhan pusing

berputar/vertigo, sebanyak 20% memiliki BPPV, walaupun penyakit ini sering disertai

penyakit lainnya.6

B. Definisi

Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan igo yang

berarti kondisi. Vertigo ialah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti

rotasi (memutar) tanpa sensasi peputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa

berputar atau badan yang berputar.1,4

C. Epidemiologi

Vertigo terjadi pada sekitar 32% kasus, dan sampai dengan 56,4% pada populasi

orang tua. Sementara itu, angka kejadian vertigo pada anak-anak tidak diketahui,tetapi

dari studi yang lebih baru pada populasi anak sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar

15% anak tidak pernah merasakan sekali serangan pusing dalam periode satu tahun.5

Vertigo yang paling sering ditemukan adalah Benign Paroxysmal Positional

Vertigo (BPPV). Menutur penelitian pasien yang datang dengan keluhan pusing
berputar/vertigo, sebanyak 20% memiliki BPPV, walaupun penyakit ini sering disertai

penyakit lainnya.6

Prevalensi angka kejadian vertigo perifer di Amerika Serikat adalah 64 dari

100.000 orang dengan kecendrungan terjadi pada wanita (64%) dan diperkirakan sering

terjadi pada usia rata-rata 51-57 tahun dan jarang pada usia dibawah usia 35 tahun tanpa

adanya riwayat trauma kepala.7

D. Etiopatogenesis

Penyebab vertigo ialah semua faktor yang dapat menimbulkan gangguan pada :

telinga luar, otot tengkuk, labirin, sistem vestibularis, penglihatan, psikis. Sebab-sebab ini

ialah gangguan aliran darah, trauma, intoksikasi, infeksi dan neoplasma. Gangguan

telinga luar, diantaranya liang telinga luar tersumbat serumen, tuba eustachii tertutup,

otitis media dan otosklerosis.8

Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang

disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah

susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus

menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah

sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuclei vestibularis

dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.5

Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor

vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling

besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil

kontribusinya adalah proprioseptik.5


Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat

keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan

kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan

diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan

penggerak tubuh dalam keadaan bergerak.3

Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan

hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akan timbul

vertigo, nistagmus, mual dan muntah.2,4

2. Teori konflik sensorik.

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari

berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan proprioceptif, atau

ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang berasal dari sisi kiri dan kanan.

Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga

timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau

sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal

dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih

menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab. 2,4

3. Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini otak

mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika pada suatu
saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah

tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru

tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga

berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.2,4

4. Teori otonomik

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha

adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu

dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan. 2,4

5. Teori neurohumoral

Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin

(Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam

pengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala. 2,4

6. Teori Sinap

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan

neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi,

belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan vertigo. stres yang akan memicu

sekresi CRF (corticotropin releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan

mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi

berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menenangkan

gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo

akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.
2,4

Secara umum vertigo dibedakan menjadi vertigo perifer atau sentral. Pada vertigo

tipe sentral etiologi umumnya adalah gangguan vaskuler. Sedangkan pada vertigo tipe

perifer, etiologinya berhubungan dengan manifestasi patologis di telinga dapat terjadi

pada end-organ (utrikulus maupun kanalis semisirkularis) maupun saraf perifer.6

Penyebab Vertigo sentral:

 Hipertensi

Hipertensi dapat menyebabkan penyempitan arteriol fokal dan rusaknya sawar

darah retina yang menyebabkan munculnya tanda kebocoran vaskuler. Ini terutama

terlihat bila hipertensi bukan disebabkan oleh penyakit ginjal. Pasien sering mengeluhkan

penglihatan kabur dan episode hilangnya penglihatan temporer. Terapi hipertensi dan

menghindari penurunan yang dapat mempresipitasi oklusi vaskuler akan menghasilkan

resolusi tanda retina. Hal ini dapat memakan waktu beberapa bulan.9

Aliran darah otak dipengaruhi terutama oleh 3 faktor yaitu: tekanan untuk

memompakan darah dari sistem arteri-kapiler ke system vena, tahanan perifer pembuluh

darah otak dan faktor darah itu sendiri.9

Tekanan darah arterial fluktuatif, walaupun demikian tekanan arteriolar-kapiler

otak konstan. Ketika tekanan darah arterial meningkat, arteriole otak konstriksi,

derajatnya bergantung kenaikan tekanan darah. Jika berlangsung dalam periode singkat

dan tekanan tidak terlalu tinggi maka tidak berbahaya. Namun bila berlangsung bulan

sampai tahun dapat terjadi hialinisasi otot pembuluh darah dan diameter lumen menjadi

tetap. Hal ini merupakan salah satu bentuk penyakit degeneratif yang merupakan salah
satu penyebab penyakit saraf. Pada gangguan ini, satu atau lebih komponen sistem saraf

menjadi malfungsi setelah berfungsi normal beberapa tahun serta bersifat kronis, difus

dan progresif.9

Hipertensi kronis dapat menimbulkan ketidakseimbangan ketika terjadi lesi

periventrikuler yang mempengaruhi serat sensoris dan motoris yang menghubungkan

area korteks dengan talamus, ganglia basalis, serebelum dan medula spinalis (Bronstein,

2006). Dimana pengaturan keseimbangan merupakan fungsi gabungan dari bagian

serebelum, substansia retikuler dari medula, pons, dan mesensefalon.9

Tekanan darah arterial fluktuatif, walaupun demikian tekanan arteriolar-kapiler

otak konstan. Ketika tekanan darah arterial meningkat, arteriole otak konstriksi,

derajatnya bergantung kenaikan tekanan darah. Jika berlangsung dalam periode singkat

dan tekanan tidak terlalu tinggi maka tidak berbahaya. Namun bila berlangsung bulan

sampai tahun dapat terjadi hialinisasi otot pembuluh darah dan diameter lumen menjadi

tetap. Hal ini merupakan salah satu bentuk penyakit degeneratif yang merupakan salah

satu penyebab penyakit saraf. Pada gangguan ini, satu atau lebih komponen sistem saraf

menjadi malfungsi setelah berfungsi normal beberapa tahun serta bersifat kronis, difus

dan progresif.9

Hipertensi kronis dapat menimbulkan ketidakseimbangan ketika terjadi lesi

periventrikuler yang mempengaruhi serat sensoris dan motoris yang menghubungkan

area korteks dengan talamus, ganglia basalis, serebelum dan medula spinalis (Bronstein,

2006). Dimana pengaturan keseimbangan merupakan fungsi gabungan dari bagian

serebelum, substansia retikuler dari medula, pons, dan mesensefalon.9


Hipertensi kronik

Jumlah curah jantung ke otak meningkat

Dinding arteriol kecil dan kapiler otak menebal serta


tetap terkonstriksi sepanjang waktu

Bertahun - tahun

Penurunan aliran darah ke otak

Hipoglikemi dan hipoksia menahun menurunkan fungsi


Neuron otak

Gangguan fungsi keseimbangan


 Diabetes melitus

Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan

terjadinya penyakit lain) paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang

tinggi secara terus menerus, sehingga mengakibatkan kerusakan pembuluh darah, saraf

dan struktur internal lainnya di dalam tubuh. Zat kompleks yang terdiri dari glukosa di

dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami

kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang

menuju kulit dan saraf.10

Komplikasi sistemik diabetes berhubungan dengan deposisi advanced glycation

endproducts (AGE) pada berbagai jaringan terutama sistem vaskularisasi dan sistem saraf

perifer.1,4,8 Perubahan sistem vaskularisasi meliputi angiopati dan pembentukan

atheroma. Perubahan mikroskopis antara lain deposisi lipida, proliferasi endotel dan

pembesaran tunika intima kapiler di seluruh tubuh.10

Perubahan makropatologis dapat diamati pada sistem sirkulasi secara esensial dan

berkaitan dengan pembentukan atheroma (atherosklerosis). Atheroma dihasilkan dari

deposisi AGE dan LDL yang berkonsekuensi menimbulkan kalsifikasi berbagai arteri di

dalam tubuh. Atheroma mengakibatkan sirkulasi yang buruk dan bertanggungjawab atas

ulserasi dan gangren pada ekstremitas bawah. Komplikasi paling parah atheroma adalah

adanya miokard infark, hipertensi, stroke, insufisiensi koroner dan gagal ginjal.10

Pada keadaan hipoglikemia dimana terjadi ketergantungan jaringan saraf terhadap

asupan glukosa yang terus menerus. Gangguan (interruption) asupan glukosa yang

berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan fungsi sistem saraf pusat (SSP),
dengan gejala gangguan kognisi, bingung dan koma. Seperti jaringan yang lain, jaringan

saraf dapat memanfaatkan sumber energy alternative, yaitu keton dan laktat. Pada

hipoglikemia yang di sebabkan insulin, konsentrasi keton di plasma tertekan dan

mungkin tidak mencapai kadar yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat dipakai sebagai

sumber energi alternatif.11

 Anemia

Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa mengandung rata-rata 3 – 5 gr besi,

hampir dua pertiga besi terdapat dalam hemoglobin dilepas pada proses penuaan serta

kematian sel dan diangkat melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk

eritropoiesis. Pada peredaran zat besi berkurang, maka besi dari diet tersebut diserap oleh

lebih banyak. Besi yang dimakan diubah menjadi besi keto dalam lambung dan

duodenum, penyerapan besi terjadi pada duodenum dan jejenum proksimal, kemudian

besi diangkat oleh tranferin plasma ke sumsum tulang, untuk sintesis hemoglobin atau ke

tempat penyimpanan di jaringan.12

Pembentukan Hb terjadi pada sumsum tulang melalui semua stadium pematangan

besi merupakan susunan atau sebuah molekul dan hemoglobin, jika zat besi rendah dalam

tubuh maka pembentukan eritrosit atau eritropoetin akan mengganggu sehingga produksi

sel darah merah berkurang, sel darah merah yang berkurang atau menurun

mengakibatkan hemoglobin menurun sehingga transportasi oksigen dan nutrisi ke

jaringan menjadi berkurang, hal ini mengakibatkan metabolisme tubuh menurun.12

 Gangguan Vestibuloserebelum
Fungsi vestibuloserebelum menerima impuls dari apparatus vestibularis yang

membawa informasi mengenai posisi dan gerakan kepala. Output eferennya

mempengaruhi fungsi motorik mata dan tubuh sedemikian rupa sehingga ekuilibrium

dapat dipertahankan pada semua posisi dan pada semua gerakan.13

Hubungan sinaptik. Lengkung reflex berikut ini berpartisipasi dalam

mempertahankan ekuilibrium (keseimbangan). Dari organ vestibular, impuls berjalan

baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui nuclei vestibulares) ke korteks

vestibuloserebelaris, dan menuju nuclei fastigii. Korteks vestibuloserebelaris

menghantarkan impuls kembali ke nuclei vestibulares serta ke formasio retikularis; dari

tempat ini, traktus vestibulospinalis dan traktus retikulospinalis serta fasikulus

longitudinalis medialis memasuki batang otak dan medulla spinalis untuk mengontrol

fungsi motorik spinal dan okulomotor. Lengkung refleks ini memastikan stabilisasi

postur, gaya berjalan, dan posisi mata dan memungkinkan fiksasi tatapan.13

Lesi vestibuloserebelum adalah gangguan fungsional lobus flokulonodularis atau

nukleus fastigii menyebabkan pasien kurang dapat menempatkan dirinya pada lapangan

gravitasi bumi, atau tidak dapat memfiksasi tatapannya pada objek yang diam saat kepala

bergerak. Disekuilibrium, pasien mengalami kesulitan berdiri tegak (astasia), dan berjalan

(abasia), dan gaya berjalan pasien lebar-lebar dan tidak stabil, menyerupai gaya berjalan

orang yang sedang mabuk (ataksia trunkal).13

 Psikosomatis

Respon seseorang akan stressor, disebut stress, dapat bertipe cannon (reaksi
emosional, stimulasi system saraf simpatik, stimulasi medulla adrenal) atau tipe seyle

(depresi emosional, stimulasi hipofisis anterior, stimulasi korteks adrenal). Akibat kedua

reaksi tersebut dapat timbul perubahan – perubahan sistem kardiovaskular berupa

kelainan irama jantung, perubahan tekanan darah, dilatasi dan konstriksi pembuluh

darah, perubahan korpuskular darah dan perubahan komposisi biokimiawi dalam darah.15

Stressor dapat berupa fisis/eksogen (sinar terlalu terang, kerja berat, puasa dan

sebagainya) maupun psikis/endogen merupakan faktor predisposisi timbulnya serangan.

Riwayat keluarga seringkali positif, tetapi tidak jarang pula negatif.15

Mekanisme ternyadinya hal tersebut yang merupakan gejala psikosomatik adalah

melalui perubahan – perubahan stress berupa : vasospasme arteri serebri tertentu

menyebabkan gejala prodromal, distensi arteri, cabang – cabang arteri karotis eksterna

(akan mengaktivasi akhiran saraf nyeri di sepanjang dinding arteri) akan menyebabkan

nyeri yang khas, edema dinding arteri yang akan menimbulkan sakit kepala yang

berkepanjangan. Mekanisme terjadinya perubahan reaksi vascular ini diduga akibat

penurunan substansi neurotransmitter (serotonin?, endorphin ?) atau sekresi neurokinin.

Tetapi belum jelas apakah substansi ini yang menyebabkan timbulnya vasodilatasi.15

Penyebab vertigo perifer:

 Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan penyebab vertigo yang

paling sering. Umumnya hilang sendiri (self limiting) dalam 4 sampai 6 minggu.

BPPV didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi di telinga dalam dengan gejala

vertigo posisional yang terjadi secara berulang-ulang dengan tipikal nistagmus


paroksimal. BPPV merupakan kondisi episodic, sembuh sendiri, dicetuskan oleh

gerakan kepala mendadak atau karena perubahan pada posisi tubuh seperti berguling

di tempat tidur. BPV disebabkan oleh akumulasi debris dalam kanalis semisirkularis,

pergerakan dari debris menstimulasi mekanisme vestibular menghasilkan gejala pada

pasien.1

 Labirintitis

Labirinitis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan dan

pembengkakan labirin (telinga dalam). Biasanya, hanya satu telinga yang terkena.

Ada banyak penyebab labirinitis. Penyebab yang paling umum adalah karena infeksi

virus dan jarang sekali karena infeksi bakteri. Hal ini terjadi ketika infeksi mencapai

kedua cabang dari saraf, menyebabkan perubahan pada pendengaran serta pusing atau

vertigo (sensasi berputar yang hebat). Labirinitis virus seringkali berhubungan dengan

infeksi saluran pernafasan bagian atas sedangkan labirinitis bakteri dapat berkembang

setelah infeksi telinga tengah atau infeksi pada selaput otak.16

 Penyakit Meniere

Penyakit Meniere adalah kelainan telinga tengah yang ditandai dengan 3 gejala

episode intermitten yaitu vertigo, tinnitus, dan sensori neural hearing loss yang

disebabkan kelainan cairan endolimpaticus. Penyakit ini merupakan penyakit

episodik dan berfluktuasi dengan serangan yang berlangsung dari menit sampai

beberapa jam, dipisahkan oleh interval beberapa hari sampai beberapa tahun.1

Etiologinya bisa disebabkan oleh proses autoimun, infeksi virus dan bakteri,

hipotiroidesme, serta faktor genetik.17

 Obat-obatan
Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang disertai tinitus dan

hilangnya pendengaran. Obat-obat itu antara lain aminoglikosid, diuretic loop,

antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau antineoplasitik yang mengandung platina.

Streptomisin lebih bersifat vestibulotoksik, demikian juga gentamisin; sedangkan

kanamisin, amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik. Antimikroba lain yang

dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain sulfonamid, asam nalidiksat,

metronidaziol dan minosiklin.14

Ciri-ciri Vertigo perifer Vertigo sentral

Lesi System vestibuler System vertebrobasiler dan

(telinga dalam, saraf gangguan vascular (otak, batang

perifer) otak, serebellum)

Penyebab BPPV, penyakit Iskemik batang otak,

Meniere, neuronitis, vertebrobasiler insufisiensi,

labirintitis neoplasma, stroke, migren basiler

Gejala gangguan SSP Tidak ada Diplopia, parestesia, gangguan

sensibilitas dan fungsi motoric,

disatria, gangguan serebellar

Masa laten 3-40 detik Tidak ada


Intensitas vertigo Berat Ringan

Telinga berdenging atau dan Kadang-kadang Tidak ada

tuli

Nistagmus spontan + -
Keluhan Sentral Perifer

Rasa mual berlebihan + +++ Tabel 1.Perbedaan

Muntah + + umum vertigo

Diperburuk oleh pergerakan kepala ++ - sentral dan vertigo

tidak spesifik perifer7

Dicetuskan oleh pergerakan kepala + +++

spesifik(misalnya posisi Dix-Hallpike,


E. perputaran kepala dalam posisi Gejala klinis

terlentang)

Timbulnya nistagmus paroksismal ke ++ +

atas dan rotatoar dengan maneuver

Dix-Hallpike

Nistagmus dengan perubahan posisi + ++

horizontal paroksismal yang

dibangkitkan oleh perputaran posisi

horizontal kepala

Nistagmus persisten ke bawah pada +++ -

semua posisi

Hilangnya nistagmus dengan - +++

pengulangan posisi

Membaik setelah perawatan dengan - +++

maneuver posisional
Tabel 2.Perbedaan gejala vertigo sentral dan vertigo perifer7

F. Diagnosis

1. Anamnesis

Pada anamnesis perlu digali penjelasan mengenai deskripsi jelas keluhan pasien.

Pusing yang dikeluhkan dapat berupa sakit kepala, rasa goyang, pusing berputar, rasa

tidak stabil atau melayang. Bagaimana bentuk serangan vertigo, apakah pusing berputar

atau rasa goyang/melayang. Bagaimana sifat serangan vertigo, apakah periodik, kontinu,

ringan atau berat. 2

Tanyakan bagaimana faktor pencetus atau situasi pencetus terjadinya vertigo,

apakah saat perubahan gerakan kepala atau posisi, berada dalam situasi keramaian dan

emosional, ataukah ada faktor suara. Ditanyakan gejala otonom yang menyertai keluhan

vertigo, apakah ada mual, muntah, keringat dingin, apakah gejala otonom berat atau

ringan. Ditanyakan apakah ada gejala gangguan pendengaran seperti tinnitus atau tuli.7,18

Riwayat konsumsi obat juga perlu diketahui, seperti strepromisin, gentamisin,

atau kemoterapi yang dapat memicu terjadinya vertigo. Juga perlu ditanyakan penyakit

yang diderita pasien, seperti DM, hipertensi, atau kelainan jantung. Selain itu ditanyakan
juga apakah terdapat gejala defisit neurologis fokal seperti penglihatan ganda, gangguan

menelan, disartri, atau kelemahan motorik.4,5

Pemeriksaan fisik umum diarahkan ke kemungkinan penyebab sistemik; tekanan

darah (diukur dalam posisi berbaring, duduk, dan berdiri), bising karotis, irama (denyut

jantung),kadar glukosa darah, kadar hb dan pulsasi nadi perifer juga perlu diperiksa,4,5

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik umum diarahkan ke kemungkinan penyebab sistemik; tekanan

darah (diukur dalam posisi berbaring, duduk, dan berdiri), bising karotis, irama (denyut

jantung), dan pulsasi nadi perifer juga perlu diperiksa,4,5

3. Pemeriksaan neurologi

a) Fungsi vestibuler/serebeler

 Uji Romberg

penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua

mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30

detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya

(misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan

vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi

garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap

tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang

baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.1,2,4,5

 Tandem gait.
Penderita berjalan dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari

kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler, perjalanannya akan

menyimpang dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh. 1,2,4,5

 Uji Unterberger

Berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke depan dan jalan di tempat

dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan

vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan

gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah

lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan

yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah

lesi. 1,2,4,5

 Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)

Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh

mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh

telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata

terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan

lengan penderita ke arah lesi. 1,2,4,5

 Uji Babinsky-Weil

Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke depan

dan lima langkah ke belakang selama setengan menit; jika ada gangguan

vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang. 2,4,5

b) Pemeriksaan khusus oto-neurologi


Pemeriksaan ini untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau

perifer.

1) Fungsi vestibular

 Dix-Hallpike test

Tes ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki masalah dengan

leher dan punggung. Tujuannya adalah untuk memprovokasi serangan vertigo

dan untuk melihat adanya nistagmus. Uni ini dilakukan dari posisi duduk di

atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang dengan cepat, sehingga

kepalanya menggantung 45°, di bawah garis horizontal, kemudian kepalanya

dimiringkan 45° ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya

vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer

atau sentral. 1,2,4,5

Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke

belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus.

Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya

lambat, 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila

sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari

satu menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan

nistagmus.19

 Tes kalori

Pada cara ini dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin

adalah 300C, sedangkan suhu air panas adalah 440C. Volume air yang

dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik.
Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri

diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga.

Kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap selesai

pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien

diistirahatkan selama 5 menit (untuk menghilangkan pusingnya).2,4,5

Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional

preponderance ke kiri atau ke kanan. Canal paresis dalah jika abnormalitas

ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin,

sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada

arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis

menunjukkan lesi perifer di labarin atau n.VIII, sedangkan directional

preponderance menunjukkan lesi sentral.4,5

 Elektronistagmogram

Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk

merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut

dapat dianalisis secara kuantitatif.1

2) Fungsi pendengaran

 Tes Garpu Tala

Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif,

dengan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach. Pada tuli konduktif, tes Rinne

negatif, Weber lateralisasi ke yang tuli dan schwabach memendek.1

 Audiometri
Ada beberapa macam pemeriiksaan audiometri seperti Ludness Balance

Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay. Pemeriksaan saraf-saraf otak

lain meliputi: acies visus, kampus visus, okulomotor, sensorik wajah, otot

wajah, pendengaran dan fungsi menelan. Juga fungsi motorik (kelumpuhan

ekstremitas), fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan serebelar (tremor,

gangguan cara berjalan)1,2

G. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain sesuai

indikasi.4,5

2. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).1

3. Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG), Brainstem

Evoked response auditory (BERA).1,2,4,5

4. Pencitraan CT-scan, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI).1,2,4,5

H. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

Secara umum, penatalaksanaan medikamentosa mempunyai tujuan utama:

mengeliminasi keluhan vertigo, memperbaiki proses-proses kompensasi vestibuler, dan

mengurangi gejala-gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif. Beberapa golongan obat

yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di antaranya adalah:5

 Antihistamin
Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan antivertigo

yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan termasuk di antaranya adalah

difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin, dan prometazin. Mekanisme

antihistamin sebagai supresan vestibuler tidak banyak diketahui, tetapi diperkirakan

juga mempunyai efek terhadap reseptor histamin sentral. Antihistamin mungkin juga

mempunyai potensi dalam mencegah dan memperbaiki “motion sickness”. Efek sedasi

merupakan efek samping utama dari pemberian penghambat histamin-1. Obat ini

biasanya diberikan per oral, dengan lama kerja bervariasi mulai dari 4 jam (misalnya,

siklizin) sampai 12 jam (misalnya, meklozin).5,20,21

 Histaminergik

Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo di

beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri merupakan prekrusor

histamin. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek vasodilatasi,

perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah dan sistem

vestibuler. Pada pemberian per oral, betahistin diserap dengan baik, dengan kadar

puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif jarang, termasuk

diantaranya keluhan nyeri kepala dan mual.5

 Antagonis kalsium

Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal kalsium di dalam

sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jumlah ion kalsium intrasel. Penghambat

kanal kalsium ini berfungsi sebagai supresan vestibuler. Flunarizin dan sinarizin

merupakan penghambat kanal kalsium yang diindikasikan untuk penatalaksanaan vertigo;


kedua obat ini juga digunakan sebagai obat migren. Selain sebagai penghambat kanal

kalsium, ternyata flunarizin dan sinarizin mempunyai efek sedatif, antidopaminergik,

serta antihistamin-1. Flunarizin dan sinarizin dikonsumsi per oral. Flunarizin mempunyai

waktu paruh yang panjang, dengan kadar mantap tercapai setelah 2 bulan, tetapi kadar

obat dalam darah masih dapat terdeteksi dalam waktu 2-4 bulan setelah pengobatan

dihentikan. Efek samping jangka pendek dari penggunaan obat ini terutama adalah efek

sedasi dan peningkatan berat badan. Efek jangka panjang yang pernah dilaporkan ialah

depresi dan gejala parkinsonisme, tetapi efek samping ini lebih banyak terjadi pada

populasi lanjut usia.5

 Antikolinergik

Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk penanganan vertigo,

yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan homatropin. Kedua preparat tersebut

dapat juga dikombinasikan dalam satu sediaan antivertigo. Antikolinergik berperan

sebagai supresan vestibuler melalui reseptor muskarinik. Pemberian antikolinergik per

oral memberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkan gejala efek samping yang timbul

terutama berupa gejala-gejala penghambatan reseptor muskarinik sentral, seperti

gangguan memori dan kebingungan (terutama pada populasi lanjut usia), ataupun gejala-

gejala penghambatan muskarinik perifer, seperti gangguan visual, mulut kering,

konstipasi, dan gangguan berkemih.5

 Antidopaminergik

Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan mual pada

pasien dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian besar antidopaminergik merupakan


neuroleptik. Efek antidopaminergik pada vestibuler tidak diketahui dengan pasti, tetapi

diperkirakan bahwa antikolinergik dan antihistaminik (H1) berpengaruh pada sistem

vestibuler perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi mulai dari 4 sampai 12 jam.

Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai antiemetic, seperti domperidon dan

metoklopramid. Efek samping dari antagonis dopamin ini terutama adalah hipotensi

ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan yang berhubungan dengan gejala

ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif, parkinsonisme, distonia akut, dan sebagainya. 5

Obat Dosis Dewasa

Dimenhidrinat 25-50 mg / jam

Diazepam 2-10 mg / 4-8 jam

Lorazepam 0.5-2 mg / 4-8 jam

Metoclopramide 5-10 mg / 6 jam

Difenhidramin 25-50 mg / jam

Prometazin 25 mg / 6 jam

Skopolamin 0,5 mg / 12 jam

Efedrin 25 mg / 6 jam

Hidroksizin 25-100 mg / 8 jam

Flunarizin 2 mg / 12 jam
DAFTAR PUSTAKA

1. Efiaty AS, Nurbaiti I, Janny B, Ratna D. Buku Ajar Teling, Hidung, Tenggorok, Kepala

& Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.

2. Akbar Muhammad. Diagnosis Vertigo. Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Saraf

Universitas Hasanuddin, 2013.

3. Susanti J, Irfan M. Pengaruh penerapan motor relearning programme (mrp) terhadap

peningkatan keseimbangan berdiri pada pasien stroke hemiplegi. Jurnal Fisioterapi

Indonusa Vol. 8 No. 2, Oktober 2008

4. Riyanto Budi W. Vertigo:aspek neurologi. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

5. Timbul Kuupiya W. Vertigo. Cermin Dunia Kedokteran Volume 39. No 10, 2012
6. Munir Badrul. Neurologi Dasar. Jakarta: Sagung Seto; 2015.

7. Dewanto G, Royanto B, Turana Y, Suwono JW. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata

Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC

8. Weiner Howard L, Levitt Lawrence P. Buku Saku Neurologi. Edisi 5. Jakarta: EGC

9. Amaliah. Hubungan Antara Hipertensi dan Gangguan Keseimbangan Di Poli Rawat

Jalan Saraf RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Universitas Negri Surakarta/ Rumah Sakit

Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta: 2010.

10. Yanti i. Hubungan Antara Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Retinopati Diabetik Dikaji

Dari HbA1c Sebagai Parameter Kontrol Gula Darah. Medan: Universitas Sumatra

Utara. 2011.

11. Soemadji Wahono D. Hipoglikemia Iatrogenik Dalam: Sudoyo Aru W, Setiyohadi B,

Alwi I, K Simadibrata M, Setiati S, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.

Jakarta: Interna Publishing, 2007.

12. Meutirani R. Hubungan Anemia Defisiensi Besi Terhadap Gangguan Konsentrasi pada

Siswa-Siswi Smait Al- Fityan. Medan: USU. 2014.

13. Frotscher M, Baehr M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda,

Gejala. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2008.

14. Markam S. Neurologi Praktis. Jakarta: EGC, 2011.


15. Asdie Ahmad H, Dahlan P. Migren dan Nyeri kepala. Dalam: Sudoyo Aru W,

Setiyohadi B, Alwi I, K Simadibrata M, Setiati S, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing, 2007.

16. http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/labirinitis

17. Tierney L M& Mcphee S J. 2007. Disease of Ear, Nose & Throat.Current Medical

Diagnosis & Treatment, Forty-Sixth Edition. New York: Mc Graw Hill LANGE

18. IDI. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5

TAHUN 2014, 2014.

19. Purnamasari PP. DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA BENIGN PAROXYMAL

POSITIONAL VERTIGO (BPPV). Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat

Sanglah Denpasar

20. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran Jilid

2. Edisi 3. Media Aesculapius, 2000.

21. Swartz R, Longwell A. Treatment of Vertigo. Am Fam physician, 2005.

Anda mungkin juga menyukai