Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan polineuropati akut yang


disebabkan oleh reaksi autoimun terhadap saraf perifer.1 Sindrom Guillain-Barre
atau Guillain-Barre Syndrome (SGB) merupakan kelainan saraf perifer yang
menyebabkan kelumpuhan ekstremitas secara asenden dan simetris yang
diperantarai mekanisme imunologi.
Manifestasi klinis SGB ditandai dengan gejala dan tanda paralisis lower
motor neuron (LMN) akut disertai disosiasi sitoalbumin pada cairan serebro
spinal.1 Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh
menyerang sel saraf. Kelumpuhan dimulai pada bagian distal ekstremitas bawah
dan dapat naik ke arah kranial (Ascending Paralysis) dengan karakteristik adanya
kelemahan arefleksia yang bersifat progresif dan perubahan sensasi sensorik.
Gejala sensorik muncul setelah adanya kelemahan motorik.
Insidens Sidrom Guillain-barre berkisar antara 0,81-1,89 kasus per 100.000
penduduk per tahun. SGB lebih jarang ditemukan pada anak dibandingkan dewasa
dan insidens SGB meningkat seiring bertambahnya usia. Karakteristik dan variasi
klinis SGB beragam di berbagai wilayah. sebagai contoh yaituu SGB tipe acute
inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) lebih sering terjadi di
Amerika Utara, Arab dan Eropa. Sementara itu, acute motor axonal neuropathy
(AMAN) lebih sering terjadi di wilaya Amerika Selatan, Banglades, Jepang dan
Meksiko. Rerata usia penderita SGB di Indonesia yaitu 40 tahun dengan rasio
laki-laki: perempuan adalah 1,2:1.1
Gejala awal pada penyakit ini sering bermula pada gangguan sensorik
ringan pada ekstremitas bawah diikuti oleh kelemahan yang menyebar sampai
ekstremitas atas. Gejala-gejala ini dapat meningkat sampai otot-otot pernapasan
sehingga GBS merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan di bidang neurologi.

1
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan
kematian, pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala
yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul.
Sekitar 30 % penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga
persen pasien dengan SGB dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa
tahun setelah onset pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan
pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic Inflammantory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (CIDP). Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk
SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki
prognosisnya.

2
BAB II
STATUS PENDERITA

I. IDENTIFIKASI
Nama : Dika Pratama
Tanggal Lahir : 18 Juli 1993
Amur : 24 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamit : Jl. Pelawaran, Muara Enim
Pekerjaan : Honorer kantor
Agama : Islam
Tanggal MRS : 13 Februari 2018
No. RM/Register : 0001047140/ RI18004377

II. ANAMNESIS
Penderita dirawat di bagian saraf RSMH karena tidak bisa berjalan yang
disebabkan kelemahan pada keempat ekstremitas yang terjadi secara perlahan-
lahan.
+ 2 minggu sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami demam,
sakit kepala ada, nyeri seluruh badan tidak ada, badan terama lemas tidak
dirasakan. Penderita dinyatakan sakit tifoid dan dirawat di RSUD H.M. Rabain
Muara Enim selama 3 hari, dan dipulangkan setelah dinyatakan sembuh. + 10
hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami kesemutan pada kedua
tungkai, diikuti kedua tangan kanan kiri. + 4 hari sebelum masuk rumah sakit,
penderita mulai mengalami kelemahan pada kedua tungkai namun masih dapat
beraktifitas seperti biasa, badan terasa lemas tidak ada, nyeri seluruh badan
tidak ada. + 3 hari sebelum masuk rumah sakit penderitan merasa kelemahan
pada kedua tungkai semakin memberat dan sulit digerakkan sehingga penderita
tidak dapat berjalan seperti biasa, kelemahan juga mulai dirasakan pada kedua
tangan/lengan. + 1 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami
kesulitan menelan dan sulit menggerakan rahang bawah, penderita juga sulit

3
menutup kelopak mata dan sulit bernafas terutama saat tidur terlentang. Buang
air kecil dan besar seperti biasa.
Riwayat trauma pada punggung bawah tidak ada, riwayat trauma kepala
tidak ada, riwayat benjolan pada punggung bawah/ tulang belakang tidak ada.
Penyakit seperti ini diderita untuk yang pertama kalinya.

III. PEMERIKSAAN
Status Internus
Kesadaran : GCS = 15 (E4M6V5)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 104 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Suhu Badan : 36,4º C
Pernapasan : 26 kali/menit
BB : kg
TB : cm
IMT : kg/m2 (Normoweight)

Kepala : normosefali
Leher : kaku kuduk (-)
Thorax
Cor : I : Ictus kordis tidak terlihat
P : Ictus kordis teraba
P : Tak ada kelainan
A : Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo : I : Gerakan dada simetris
P : Stem fremitus kiri = kanan
P : Sonor
A : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronki (-)
Abdomen : I : Datar, simetris
P : Lemas

4
P : Timpani
A : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral pucat (-/-), edema pretibial (-)
Kulit : Turgor < 2”

Status Psikiatrikus
Sikap : kooperatif Ekspresi Muka : sesuai
Perhatian : ada Kontak Psikik : ada

Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk : Normochepali Deformitas : tidak ada
Ukuran : normal Fraktur : tidak ada
Simetris : simetris Nyeri fraktur : tidak ada
Hematom : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Tumor : tidak ada Pulsasi : tidak ada

LEHER
Sikap : lurus Deformitas : tidak ada
Torticolis : tidak ada Tumor : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Anosmia tidak ada tidak ada
Hiposmia tidak ada tidak ada
Parosmia tidak ada tidak ada

5
N. Optikus Kanan Kiri
Visus 6/6 6/6
Campus visi V.O.D V.O.S

Anopsia tidak ada tidak ada


Hemianopsia tidak ada tidak ada
Fundus Oculi tidak ada tidak ada
- Papil edema tidak ada tidak ada
- Papil atrofi tidak ada tidak ada
- Perdarahan retina tidak ada tidak ada

N. Occulomotorius, Trochlearis, & Kanan Kiri


Abducens
Diplopia tidak ada tidak ada
Celah mata tidak ada tidak ada
Ptosis tidak ada tidak ada
Sikap bola mata
- Strabismus tidak ada tidak
(-) ada
- Exophtalmus tidak ada tidak
(-) ada
- Enophtalmus tidak ada tidak
(-) ada
- Deviation conjugae tidak ada tidak ada
Gerakan bola mata Baik ke segala Baik ke segala
arah arah
Pupil
- Bentuk Bulat Bulat
- Diameter 3 mm 3 mm
- Isokor/anisokor Isokor Isokor
- Midriasis/miosis - -

6
- Refleks cahaya
 Langsung + +
 Konsensuil + +
 Akomodasi + +
- Argyl Robertson - -

N. Fasialis Kanan Kiri


Motorik
- Mengerutkan dahi datar datar
- Menutup mata lagoftalmus (+) lagoftalmus (+)
- Menunjukkan gigi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Lipatan nasolabialis datar datar
- Bentuk muka Simetris Simetris
Sensorik
- 2/3 depan lidah Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Otonom
 Salivasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
 Lakrimasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
 Chvostek’s sign - -

N. Cochlearis Kanan Kiri


Suara bisikan Tidak ada kelainan
Detik arloji Tidak ada kelainan
Tes Weber Tidak ada kelainan
Tes Rinne Tidak ada kelainan

N. Olfaktorius Kanan Kiri


Penciuman Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Anosmia tidak ada tidak ada
Hiposmia tidak ada tidak ada

7
Parosmia tidak ada tidak ada

N. Vestibularis Kanan Kiri


Nistagmus tidak ada tidak ada
Vertigo tidak ada tidak ada

N. Glossopharingeus dan N. Vagus Kanan Kiri


Arcus pharingeus Tidak ada kelainan
Uvula Tidak ada kelainan
Gangguan menelan ada
Suara serak/sengau tidak ada
Denyut jantung Tidak ada kelainan
Refleks
- Muntah Tidak ada kelainan
- Batuk Tidak ada kelainan
- Okulokardiak Tidak ada kelainan
- Sinus karotikus Tidak ada kelainan
Sensorik
- 1/3 belakang lidah Tidak ada kelainan

N. Accessorius Kanan Kiri


Mengangkat bahu Tidak ada kelainan
Memutar kepala Tidak ada kelainan

N. Hypoglossus Kanan Kiri


Menjulurkan lidah Simetris
Fasikulasi - -
Atrofi papil - -
Disatria -

8
MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan Kurang Kurang
Kekuatan 3 3
Tonus Menurun Menurun
Refleks fisiologis
- Biceps Menurun Menurun
- Triceps Menurun Menurun
- Radius Menurun Menurun
- Ulnaris Menurun Menurun
Refleks patologis
- Hoffman Tromner - -
- Leri - -
- Meyer - -
Trofi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

TUNGKAI Kanan Kiri


Gerakan Kurang Kurang
Kekuatan 2 2
Tonus Menurun Menurun
Klonus
- Paha - -
- Kaki - -
Refleks fisiologis
- KPR Menurun Menurun
- APR Menurun Menurun
Refleks patologis
- Babinsky - -
- Chaddock - -
- Oppenheim - -
- Gordon - -

9
- Schaeffer - -
- Rossolimo - -

Refleks kulit perut


- Atas tidak ada kelainan
- Tengah tidak ada kelainan
- Bawah tidak ada kelainan
Refleks cremaster tidak ada kelainan
Trofik tidak ada kelainan

SENSORIK : hipestesi stock and glove

FUNGSIVEGETATIF
Miksi : tidak ada kelainan
Defekasi : tidak ada kelainan

10
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : tidak ada
Lordosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Tumor : tidak ada
Meningocele : tidak ada
Hematoma : tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada
GEJALA RANGSANG MENINGEAL
Kaku kuduk : (-)
Kerniq : (-)
Lasseque : (-)
Brudzinsky
- Neck : (-)
- Cheek : (-)
- Symphisis : (-)
- Leg I : (-)
- Leg II : (-)

GAIT DAN KESEIMBANGAN


Gait Keseimbangan dan Koordinasi
Ataxia : belum dapat dinilai Romberg : belum dapat dinilai
Hemiplegic : belum dapat dinilai Dysmetri : belum dapat dinilai
Scissor : belum dapat dinilai -jari-jari : belum dapat dinilai
Propulsion : belum dapat dinilai -jari hidung : belum dapat dinilai
Histeric : belum dapat dinilai -tumit-tumit : belum dapat dinilai
Limping : belum dapat dinilai Rebound phenomen : tidak ada kelainan
Steppage : belum dapat dinilai Dysdiadochokinesis : tidak ada kelainan
Astasia-Abasia: belum dapat dinilai Trunk Ataxia : tidak ada kelainan

11
GERAKAN ABNORMAL
Tremor : (-)
Rigiditas : (-)
Bradikinesia : (-)
Chorea : (-)
Athetosis : (-)
Ballismus : (-)
Dystoni : (-)
Myocloni : (-)

REFLEKS PRIMITIF
Glabella : (-)
Palmomental : (-)

FUNGSI LUHUR
Afasiamotorik : (-)
Afasiasensorik : (-)
Apraksia : (-)
Agrafia : (-)
Alexia : (-)
Afasia nominal : (-)

LABORATORIUM (12/02/2018)
DARAH
Hb : 14,7 g/dL
Eritrosit : 5,15 x 106/mm3
Leukosit : 7,1 x 103/mm3
Diff Count : 0/0/73/22/5 %
Trombosit : 244 x 103/μL
Hematokrit : 42%
BSS : 122 mg/dL

12
PEMERIKSAAN KHUSUS
Rontgen thoraks PA : tidak diperiksa
CT Scan Kepala : tidak diperiksa

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinik : Tetraparese tipe flaksid
Parese N.VII perifer bilateral
Parese N.V motorik bilateral
Hipestesi shock and glove
Diagnosis Topik : Radix
Diagnosis Etiologi : Sindroma Guillain-Barre

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Myasthenia gravis
2. Periodik paralisis hipokalemia
3. Botulisme
4. Poliomyelitis akut
5. Myelopati akut

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal (Lumbal Pungsi)
Warna : tidak berwarna Nonne :
negatif
Kejernihan : agak keruh Pandy : positif

Berat jenis : 1,010 Protein : 168,1 mg/dL


pH :9 Glukosa : 91,2 mg/dL
Leukosit :6 LDH : 36 U/L
- PMN : 50% Klorida : 119 mEq/L
- MN : 50%

13
b. Pemeriksaan ENMG
Kesan: Gambaran poliradikulopati (SGB tipe AMSAN)

VII. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
- O2 Nasal Canul 4 liter per menit
- Diet cair 1800 kkal (NGT)
- R/ Plasmaparesis (PE)
- R/ konsul TS. Rehab medik

Farmakologi
- IVFD NaCl 0,9% gtt XX/menit
- Injeksi Mecobalamine 3x500 mg IV
- Injeksi Omeprazole 1x40 mg IV

VIII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom Guillain-Barré (GBS) merupakan polineuropati akut yang
disebabkan oleh reaksi autoimun terhadap saraf perifer.1 Gejala awal pada
penyakit ini sering bermula pada gangguan sensorik ringan pada ekstremitas
bawah diikuti oleh kelemahan yang menyebar sampai ekstremitas atas. Gejala-
gejala ini dapat meningkat sampai otot-otot pernapasan sehingga GBS merupakan
salah satu kasus kegawatdaruratan di bidang neurologi.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu
Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post
Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (AIDP), Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry
Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrom.
Sindrom Guillain-Barre atau Guillain-Barre Syndrome (GBS) merupakan
kelainan saraf perifer yang menyebabkan kelumpuhan ekstremitas secara asenden
dan simetris yang diperantarai mekanisme imunologi. Kasus GBS pertama kali
dilaporkan pada tahun 1859 oleh Jean Baptiste Octave Landry de Thezillat.
Landry de Thezillat melaporkan sepuluh pasien dengan paralisis asenden. Istilah
paralisis asenden Landry digunakan hingga 1876.

2.2 Epidemiologi
Insidens Sidrom Guillain-barre berkisar antara 0,81-1,89 kasus per
100.000 penduduk per tahun. SGB lebih jarang ditemukan pada anak
dibandingkan dewasa dan insidens SGB meningkat seiring bertambahnya usia.
Karakteristik dan variasi klinis SGB beragam di berbagai wilayah, sebagai contoh
yaitu SGB tipe acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) lebih
sering terjadi di Amerika Utara, Arab dan Eropa. Sementara itu, acute motor
axonal neuropathy (AMAN) lebih sering terjadi di wilaya Amerika Selatan,

15
Banglades, Jepang dan Meksiko. Rerata usia penderita SGB di Indonesia yaitu 40
tahun dengan rasio laki-laki: perempuan adalah 1,2:1.1

2.3 Klasifikasi
Berikut terdapat klasifikasi dari SGB, yaitu:
2.3.1 Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Gejala tipikal meliputi poliradikuloneuropati akut, menyebabkan
kelemahan yang progresif pada dua atau lebih anggota gerak disertai penurunan
atau hilangnya refleks tendon. Onset tidak melebihi 4 minggu dan gejala pada
umumnya melibatkan otot-otot proksimal namun dapat juga melibatkan otot-otot
distal. Gejala dapat berupa gangguan motorik, sensorik atau keduanya, dengan
atau tanpa gangguan otonom. AIDP biasanya terjadi setelah penyakit influenza,
infeksi pernapasan atau infeksi pencernaan.
2.3.2 Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
AMAN ditandai dengan kelemahan akut atau paralisis tanpa adanya
gangguan sensoris disertai dengan berkurangnya atau hilangnya refleks. AMAN
berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan peningkatan titer antibody
gangliosid (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis
motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan
paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana
didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi
‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang
dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.
2.3.3 Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
AMSAN berhubungan dengan adanya defisit sensorik dan motorik dengan
kerusakan akson. Gejala biasanya menunjukkan adanya paralisis yang
berlangsung cepat dan berat disertai kerusakan sensorik dengan perbaikan yang
lambat. Seperti tipe AMAN, AMSAN berhubungan dengan infeksi saluran cerna
C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf
sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit demielinisasi.
2.3.4 Miller Fisher Syndrome

16
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5% dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan jarang yang meliputi ekstremitas. Abnormalitas pupil, ptosis
serta kelumpuhan otot wajah dapat terjadi. Perbaikan sempurna terjadi dalam
hitungan minggu atau bulan.
2.3.5 Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP) memiliki
gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya bersifat
kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan otot
lebih berat pada bagian distal
2.3.6 Acute pandysautonomia
Meliputi gejala dan tanda berupa diare, muntah, dizziness, nyeri abdomen,
hipotensi ortostatik serta retensi urin. GBS tipe ini jarang terjadi dan ditandai oleh
tidak adanya gangguan sensorik dan motorik. Disfungsi dari sistem simpatis dan
parasimpatis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi
saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan saliva dan lakrimasi dan
abnormalitas dari pupil.

2.4 Etiologi
Penyebab SGB tidak diketahui, tetapi sering dihubungkan dengan penyakit
infeksi, seperti infeksi saluran nafas dan saluran cerna.15 Virus yang paling sering
menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan
Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh
Campylobacter jejuni. Selain itu juga banyak dilaporkan kejadian GBS yang
terjadi secara cepat setelah diadakan vaksinasi, operasi dan kejadian lainnya.
Tetapi hubungan spesifik yang mendasarinya masih menjadi perdebatan.

2.5 Patofisiologi
Pada SGB, dua pertiga kasus didahului infeksi (antecendent infection)
pada saluran pernapasan atas atau gastrointestinal dengan keluhan umum berupa
demam (52%), batuk (48%), nyeri tenggorokan (39%), pilek (30%) dan diare

17
(27%). Pada 31% kasus SGB dapat ditemukan Campylobacter jejuni (C.jejuni)
pada analisis fesenya. Adanya infeksi anteseden ini menjadi dasar patofisiologi
SGB berupa proses antibodi mimikri. Pada proses antibodi mimikri terjadi
kemiripan struktur antigen patogen dengan struktur yang terdapat pada dinding sel
tubuh, sehingga antibodi yang dibentuk tubuh untuk melemahkan patogen tersebut
dapat berikatan dengan jaringan tubuh itu sendiri. Teori ini didukung oleh
beberapa penelitian, yaitu:
- Ditemukannya struktur lipooligosakarida (LOS) pada dinding sel C. jejuni
yang memiliki kemiripan dengan struktur karbohidrat penyusun membrane
sel saraf yang disebut gangliosida.
- Pada serum pasien SGB ditemukan antibody terhadap gangliosida.
- Penyuntikan antibody gangliosida pada hewan percobaan mengakibatkan
gejala yang mirip dengan SGB.
Paparan terhadap C. jejuni dapat membuat sel-sel imunitas tubuh
menghasilkan antibody yang juga dapat berikatan dengan struktur gangliosida
pada merman sel saraf. Antibody yang berikatan dengan ganglioida ini akan
memicu proses autoimun melalui mekanisme pengaktifan komplemendan
membentuk membrane attack complex (MAC) pada membran sel Schwann pada
tipe AIDP atau pada akson pada tipe AMAN, sehingga menimbulkan efek
neurotoksik. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel makrofag pada
jaringan saraf pasien SGB dalam pemeriksaan histopatologi. Makrofag berperan
dalam reabsorbsi debris pada kedua tipe SGB (demielinisasi dan degenerasi
aksonal), namun serbukan sel limfosit hanya ditemukan pada SGB tipe
demielinisasi.
Patofisiologi sindrom Miller Fischer (SMF) yang merupakan varian SGB
sampai saat ini masih belum jelas. Pasien SMF pada perjalanan klinisnya
mengalami pemulihan sempurna dan jarang ditemukan kasus yang fatal. Hal ini
menunjukkan proses yang terjadi pada SMF adalah suatu proses demielinisasi dan
bukan merupakan proses degenerasi aksonal.
Patogen-patogen lain yang mampu menimbulkan reaksi silang antibodi
terhadap gangliosida adalah Haemophilus influenza, Mycoplasma pneumonia,

18
Cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr Virus, dan Varicella Zoster Virus (VZV).
Selain dari infeksi anteseden, risiko kejadian SGB juga meningkat pada adanya
transfer gangliosida parenteral, pascavaksinasi influenza H1N1, adanya kelainan
autoimun lain yang diderita sebelumnya, penggunaan obat-obatan imunosupresan
dan pascapembedahan.
Sampai saat ini sudah ditemukan beberapa antibodi gangliosida dalam
serum pasien SGB, seperti antibody LM1, GM1, GM1b, GM2, GD1a. adanya
perbedaan jenis antibody pada beragai tie SGB menunjukkan distribusi
gangliosida berbeda-beda pada jaringan saraf perifer. Jenis antibody yang
terbentuk dan distribusi gangliosida menentukan tanda dan gejala klinis yang
terjadi pada SGB. Sebagai contoh, pada GBS tie AMAN, ditemukan antibodi
terhadap GM1, GM1b, GD1a dan GalNAc-GD1a apda serum pasien.
Gangliosida-gangliosida ini terdistribusi lebih banyak pada aksolema nodus
Ranvier serabut saraf motorik dibandingkan saraf sensorik. Proses autoimun lebih
banyak terjadi pada serabut saraf motorik dan menimbulkan gejala motorik yang
lebih dominan dibandingkan sensorik. Pada SGB tipe demielinisasi, antibody
spesifik yang menyebabkan kerusakan membrane sel Schwann pada selubung
myelin masih belum diketahui hingga saat ini dan membutuhkan penelitian lebih
lanjut.

19
2.6 Gambaran Klinis
Pola perjalanan penyakit SGB bersifat monofasik. Pada sebagian besar
SGB terdapat infeksi anteseden sebelum munculnya defisit neurologis. Waktu
antara infeksi anteseden dan munculnya defisit neurologis bervariasi antara 4
minggu hingga 6 bulan. Defisit neurologis ini akan mengalami perburukan hingga
mencapai titik nadir dalam waktu tidak lebih dari 28 hari (4 minggu). Antibodi
antigangliosida dapat dideteksi dalam serum pasien selama proses ini dan
kadarnya akan menurun seiring dengan berjalannya waktu.
Pada SGB dapat terjadi fluktuasi defisit neurologis dalam waktu 8 minggu
sejak diberikannya imunoterapi. Hal ini masih dianggap sebagai suatu pola
monofasik SGB. Fluktuasi ini disebut sebagai fluktuasi terkait pengobatan
(Guillain-Barre syndrome with treatment-related fluctuation/GBS-TRF).
Perjalanan GBS-TRF mirip dengan chronic inflammatory demyelinating
polineuropathy (CIDP) onset akut, hanya saja progresifitas defisit neurologis
CIDP berlangsung hingga lebih dari 8 minggu atau fluktuasi defisit neurologi
sterjaid tiga kali atau lebih, sedangkan pada GBS-TRF tidak terjadi fluktuasi lebih
dari 8 minggu dan jarang terjadi lebih dari 2 kali. Dalam perjalanannya, fluktuasi
defisit neurologis pada CIDP lebih ringan dibandingkan GBS-TRF. Defisit
neurologis pada CIDP tidak sampai membutuhkan ventilasi mekanik, jarang
melibatkan gangguan saraf cranial, dan gambaran pemeriksaan elektrofisiologi
proses demielinisasi, sedangkan pada GBS-TRF defisit neurologis yang teradi
lebih berat hingga sampai memerlukan ventilasi mekanik.
Defisit neurologis SGB pada ekstremitas dapat berupa kelemahan motorik
tipe LMN, gangguan sensorik berupa parestesia, hipestesia atau gangguan
propiospetif, serta hiporefeleksia maupun arefleksia. Defisit neurologis ini dapat
melibatkan nervus kranialis, terutama nervus fasialis pada AIDP. Varian klinis
SGB lain yang melibatkan nervus kranialis adalah SMF dengan trias gejala berupa
arefleksia, ataksia dan oftalmoplegia.
Fase pemulihan dapat berlangsung beberapa minggu, bulan, bahkan tahun
tergantung proses patologi yang terjadi. Lesi demielinisasi (AIDP) mempunyai
prognosis yang lebih baik dibandingkan degenerasi aksonal (AMAN). Pemulihan

20
pada SGBtipe demielinisasi dan degenerasi aksonal akan terjadi secara berangsur-
angsur sesuai dengan perawatan dan terapi yang adekuat. Terdapat beberapa
variasi gambaran klinis SGB berdasarkan penelitian dan laporan kasus yang ada,
yaitu:
a) SGB hiperrefleks. SGB umumnya menunjukkan tanda hiporefleksia atau
arefleksia, namn pada 10% kasus dapat ditemukan reflex tendon dalam
yang normal atau bahkan meningkat dengan tonus otot yang normal.
Pemeriksaan imunohistokimia pada serum pasien SGB hiperrefleks
menunjukkan adanya antibody antiGM1 dan antiGD1a dengan gambaran
neurofisiologi sesuai dengan SGB tipe aksonal.
b) Pharyngeal-cervical-brachial weakness. Penegakan diagnosis SGB tipe ini
didapat dengan ditemukannya kelemahan pada otot orofaring, leher, dan
ekstremitas atas akut yang disertai arefleksia. Kelemahan motorik pada
ekstremitas bawah dapat juga ditemukan namun lebih ringan.
c) SGB paraparesis. Pada SGB paraparesis kelemahan motorik dengan
hiporefleksia atua arefleksia akut hanya terjadi pada ekstremitas bawah
saja, sementara ekstremitas atas normal. Berbeda dengan lesi medula
spinalis, pada SGB paraparesis level gangguan sensorik memiliki batas
yang tidak tegas dan fungsi berkemih masih normal. Analisa pungsi lumbal
serta pemeriksaan MRI menunjukkan kesesuaiaan dengan SGB, sedangkan
gambaran neurofisiologi sesuai dengan SGB tipe degenerasi aksonal.
d) Kelemahan bifasial dengan parestesia. Gejala dan tanda klinis SGB tipe ini
berupa kelemahan nervus fasialis bilateral akut tanpa disertai oftalmoplegia
dan kelemahan ekstremitas. Pada tipe ini dapat juga ditemukan parestesia
dari ujung-ujung jari. Pemeriksaan neurofisiologi lebih lanjut dapat sesuai
dengan gambaran lesi demielinisasi.
e) Oftalmoplegia/ptosis/midriasis akut. Variasi klinis sindrom SGB ini
merupakan bentuk manifestasi SMF inkomplet berupa oftalmoplegia, ptosis
atau midriasis akut tanpa adanya ataksia. Pemeriksaan imunohistokimia
pada serum pasien ini menunjukkan adanya antibody terhadap gangliosida
GQ1b.

21
f) Neuropati ataksia akut. Bentuk SMF inkomplet lainnya adalah ataksia akut
tanpa oftalmoplegia. Terdapat dua bentuk manifestasi klinis tipe ini, yaitu
ataksia dengan atau tanpa tanda Romberg positif. Pada ataksia tanpa tanda
Romberg ditemukan antibody antiGQ1b serum, sedangkan pada ataksia
dengan tanda Romberg ditemukan antibody antiGD1b serum. Manifestasi
klinis ataksia jni diduga akibat antibody yang terbentuk menyerang struktur
muscle spindle.
g) Bickerstaff’s Brainstem Encephalitis (BBE). Diagnosis BBE ditemukan
bila ditemukan trias gejala SMF disertai gangguan kesadaran atau
hipersomnolen. BBE merupakan v ariasi SMF dengan keterlibatan sistem
saraf pusat (SSP), terutama pada struktur formasio retikularis. Hal ini
didasarkan pada pemeriksaan MRI kepala yaitu ditemukannya penyangatan
pada 11% kasus BBE dan gambaran abnormalitas perekaman EEG pada
57% kasus. Varian lain dari BBE dengan manifestasi inkomplet dapat
berupa acute ataxic hypersomnolence.

2.7 Diagnosis
Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut prograsif pada ekstremitas bawah dan atas yang
disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga
minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan
gangguan sensorik dan motorik perifer. Belum ada uji diagnostic yang spesifik
untuk SGB, namun dapat menggunakan kriteria diagnostic menurut National
Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS)
sebagai berikut:
Tanda minimum untuk penegakan diagnosis:
a. Kelemahan progresif pada kedua lengan dan tungkai (dapat dimulai dari
ekstremitas bawah)
b. Hiporefleksia atau arefleksia
Tanda yang memperkuat diagnosis:

22
a. Perburukan gejala yang mencapai titik nadir kurang atau sama dengan 28
hari (4 minggu)
b. Pola distribusi defisit neurologis yang simetris
c. Gangguan sensorik minimal
d. Gangguan nervus cranial, terutama kelemahan otot fasialis bilateral
e. Disfungsi saraf autonom
f. Nyeri
g. Peningkatan protein yang CSS
h. Gambaran elektrodiagnostik khas yang sesuai dengan kriteria SGB
Tanda yang meragukan diagnosis:
a. Disfungsi pernapasan berat lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas
pada awal onset
b. Gangguan sensorik lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas pada
awal onset
c. Gangguan BAK atau BAB pada awal onset
d. Demam pada awal onset
e. Defisit sensorik berbatas tegas
f. Progresivitas lambat dengan gangguan motorik minimal tanpa keterlibatan
sistem pernapasan (lebih sesuai dengan subacute atau chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy)
g. Kelemahan asimetris persisten
h. Gangguan BAK atau BAB persisten
i. Peningkatan jumlah sel mononuclear pada cairan serebrospinal (CSS)
(>50x106/L)
j. Peningkatan sel polimorfonuklear pada CSS

Disfungsi saraf otonom sering ditemukan hingga dua pertiga kasus SGB
dengan manifestasi berupa aritmia, fluktuasi tekanan darah, respons hemodinamik
yang abnormal terhadap pengobatan, serta gangguan miksi, defekasi dan
berkeringat.

23
Berikut pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis
SGB:
a. Kecepatan hantar saraf (KHS)
Kriteria elektrodiagnosis yang digunakan secara luas adalah kriteria
dari Ho dkk dan Hadden dkk (Tabel 1). Gambaran disperse temporal lebih
ditekankan oleh Ho dkk, sedangkan konsep blok konduksi dieknalkan
kembali oleh Hadden dkk sebagai kriteria diagnostic SGB tipe demielinisasi.
Yang dimaksud disperse temporal di sini adalah terdapatnya pemanjangan
durasi compound muscle action potential (CMAP) proksimal lebih dari 30%
dibandingkan CMAP distal. Batasan ini dinilai cukup sensitive dan spesifik
dalam membedakan antara dispersi temporal akibat demielinisasi dan
disperse temporal yang terjadi secara fisiologis pada stimulasi proksimal.

Ho, dkk Hadden, dkk


Acute
Inflammatory Ditemukan minimal salah satu tanda di bawah
Demyelinating pada dua aatau lebih saraf perifer:
Polyneuropathy
KHS menurun <,90% BBN; atau <85% jika
1. KHS
amplitudo CMAP distal <50% BBN
Latensi memanjang >110% BAN; atau >120%
2. Latensi distal
jika amplitudo CMAP distal <50% BBN
Dispersi
3. Nyata (unequivocal) Tidak ada kriteria
temporal
Amplitudo
proksimal:
amplitodo distal
4. Blok konduksi Tidak ada kriteria
<0,5 dengan
amplitude CMAP
distal >20% BBN
Latensi F-wave Memanjang >120% BAN
Tidak ada tanda
demielinisasi (atau
Acute Motor Tidak ada tanda hanya ditemukan
Axonal demielinisasi pada satu saraf
Neuropathy perifer jika CMAP
distal <10% BBN)
Penurunan amplitude CMAP distal <80% pada
dua saraf perifer

24
KHS: kecepatan hantar saraf; BAN: batas atas nilai normal; BBN: batas
bawah nilai normal; CMAP: compound muscle action potential.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


2.8.1 Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5
g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut
sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein
biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS
pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3
(albuminocytologic dissociation).
2.8.2 Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada
pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau
bahkan blok dalam penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan
latensi distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2,
akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan
menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.
2.8.3 Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan
kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus SGB.
1. Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
2. Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada
stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
2.8.4 Pendekatan Elektrodiagnostik

25
2.9 Diagnosis Banding
GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat
seperti mielopati dan poliomyelitis. Pada mielopati ditemukan adanya spinal cord
syndrome dan pada poliomielitis kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris, dan
disertai demam. GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti
porphyria, diphteria, dan neuropati toksik yang disebabkan karena keracunan
thallium, arsen, dan plumbum.
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis
juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot
ekstraokular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi
ophtalmoplegia. Miositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS,
namun kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK
menunjukkan peningkatan sedangkan LCS normal.
Diagnosis Banding Gejala Pemeriksaan
Mielitis Transvera Gangguan motorik dan Analisis CSF: gambaran
sensorik asimetris yang pleositosis dengan jumlah
biasanya melibatkan limfosit yang tidak terlalu
ekstremitas inferior, tinggi dan peningkatan
disfungsi kandung kemih protein total
dengan inkontinensia
persisten serta nyeri
radikuler yang segmental.
Miastenia gravis  Keterlibatan kelompok-  Pemeriksaan
kelompok otot meliputi elektrofisiologis
otot ekstraokular, menunjukkan konduksi
levator, leher dan otot saraf yang normal serta
pernapasan. terdapatnya respon
 Kelelahan yang dekremental terhadap
berlebihan dengan stimulasi saraf

26
gejala dan tanda berulang
bervariasi dalam sehari.  EMG menunjukkan
Masih terdapat refleks gambaran abnormal
dan fungsi sensorik, jitter dan hambatan
tidak terdapatnya  Tes edrophonium
disautonomik serta biasanya positif.
disfungsi kandung
kemih.
Botulisme  Terdapat riwayat makan Pemeriksaan
makanan yang elektrofisiologi
mengandung toksin menunjukkan penurunan
botulinum amplitudo dari bangkitan
 Paralisis desenden potensial otot,
dimulai dari otot bulbar peningkatan amplitudo
yang kemudian menjalar dengan stiimulasi saraf
ke ekstremitas, wajah, yang berulang serta
leher dan otot peningkatan unit
pernapasan miopatik.
 Ptosis, refleks cahaya
tidak langsung positif.
 Adanya gejala
konstipasi
Polimiositis Adanya nyeri dan keram  Peningkatan ESR
otot pada daerah bahu (Erythrocyte
dan lengan atas, adanya Sedimentation Rate)
keterlibatan otot fleksor dan CK (Creatine
leher tidak seimbang Kinase), pemeriksaan
dengan kelemahan konduksi saraf normal,
anggota gerak. Tidak terdapat perubahan
terdapat gangguan miopatik dengan

27
sensorik, masih terdapat fibrilasi pada
refleks, tidak terdapat pemeriksaan EMG.
disautonomik serta  Biopsi otot
adanya lesi kulit. menunjukkan destruksi
dan regenerasi serabut
otot serta adanya
infiltrasi limfosit.

2.10 Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada drug of choice untuk SGB. Meskipun pada
sebgian besar kasus SGB dikatakan bahwa penyakit dapat sembuh sendiri, semua
pasien SGB harus dirawat di rumah sakit untuk waktu perawatan yang cukup
lama, mengingat perjalanan penyakit yang tidak dapat diprediksi dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan.
Tujuan tatalaksana GBS meliputi tatalaksana suportif dan etiologis.
Prinsip tatalaksana SGB adalah diagnosis dini dan tatalaksana
multidisiplin yang tepat. Guillain-Barre Syndrome Disability Score (GBS
Disability Score) atau Hughes Score adalah sistem penilaian status fungsional
untuk evaluasi dan pemantauan derajat keparahan penyakit disajikan pada Tabel
2. Pada pasien dengan SGB ringan, diberikan terapi suportif dengan pemantauan
ketat dan persiapan bila pasien secara klinis mengalami perburukan.
Pasien SGB yang dirawat harus dilakukan monitoring terhadap adanya
gangguan autonom, termsuk perubahan tekanan darah dan denyut nadi (khususnya
bradikardia) dan respirasi, disfungsi gastrointestinal dan kandung kemih.
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama ditujukan pada perawatan kulit,
kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. Infeksi paru dan
saluran kencing harus segera diobati.Waspadai memburuknya perjalanan klinis
dan gangguan pernapasan. Setiap ada tanda kegagalan pernapasan maka pasien
harus segera dibantu dengan pernafasan buatan. Jika pernafasan buatan diperlukan
untuk waktu yang lama maka trakeotomi harus dikerjakan.

28
Tabel 2. Skala disabilitas sindrom Guillain-Barre menurut Hughes1,
0 Sehat
1 Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan manual
2 Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan pekerjaan
manual
3 Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4 Kegiatan terbatas di tempat tidur/kursi (bed/ chair bound)
5 Membutuhkan bantuan ventilasi
6 Kematian
Sumber: Safri, 20171

Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki
yang lumpuh mencegah deep vein thrombosis spint mungkin diperlukan untuk
mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi dicegah
dengan gerakan pasif.
Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen) maka fisioterapi
aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. Disfungsi otonom
harus dicari dengan pengawasan teratur dari irama jantung dan tekanan darah.
Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.

Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam waktu 4-6 kali
pemberian. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala
(minggu pertama). Plasmaferesis diindikasikan pada kasus yang nonambulatory,
atau yang penyakitnya berlangsung secara agresif
Penggunaan plasmaferesis sebagai terapi pada SGB pertama kali
dilaporkan pada tahun 1978 yang kemudian mengarah kepada enam uji klinis
acak yang membandingkan antara plasmaferesis dengan terapi suportif. Hasil
yang didapat adalah terapi plasmaferesis terbukti efektif, sehingga pada tahun

29
1986 terapi plasma feresis direkomendasikan pada kasus SGB berat.
Plasmaferesis dilakukan 3-5 kali dalam kurun waktu 5-10 hari, dengan dosis 40-
55 ml/kg/kali. Bahan pengganti plasma yang digunakan adalah albumin atau fresh
frozen plasma (FFP). Pada proses plasmaferesis, plasma dipisahkan dalam mesin
dialysis dan kemudian digantikan dengan albumin atau FFP, dengan demikian
antigen asing yang ada dalam plasma pasien dapat dibuang.
Pada plasmaferesis efek samping yang sering ditemukan adalah hipotensi,
pneumonia, trombosis, sepsis, dan gangguan hemodinamik.

Imunoglobulin IV (IVIG)
Expert consensus merekomendasikan gamma globulin intervena (IVIg)
sebagai pengobatan GBS. Pengobatan dengan gamma globulin intervena
(IVIg) lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari
selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap
15 hari sampai sembuh.
Pemberian IVIg diduga dapat menetralisasi antibodi mielin yang beredar
dengan berperan sebagai antibodi anti–idiotipik, menurunkan sitokin
proinflammatory dan menghadang kaskade komplemen serta mempercepat proses
mielinisasi Dosis yang diberikan 0,4-0,5 gram/kg/kali selama 4-5 hari berturut-
turut dengan total dosis 2 gram/kg. Bila dibandingkan dengan plasmaferesis, IVIg
memiliki beberapa kelebihan yaitu sediaan lebih mudah didapat dan
pemberiannya tidak memerlukan alat khusus.
Pemberian IVIg dapat menimbulkan efek samping berupa nyeri kepala,
ruam, demam, mialgia dan peningkatan kadar serum alanine aminotransferase.
Syok anafilaktik dapat pula terjadi sebagai efek samping yang berat dari
pemberian IVIg.

2.10.1 Terapi Suportif


2.11 Prognosis

30
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa.
Penderita GBS dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala
sisa berupa dropfoot atau tremor postural (25-36%). Penyembuhan dapat
memakan waktu beberapa minggu samapai beberapa tahun. Menurut National
Institute of Neurological Disorders and Stroke sekitar 30% penderita masih
mengalami gejala sisa setelah 3 tahun (gejala sisa ringan dapat menetap pada
penderita). Keluaran penderita akan menjadi sangat baik bila gejala-gejala
dapat hilang dalam waktu 3 minggu sejak muncul gejala tersebut muncul.
Meskipun dengan pengobatan yang efektif, SGB juga dapat menyebabkan
kematian, pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia..
Rata-rata pasien dirawat di rumah sakit selama 7 hari, dan sampai 25% pasien
memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik.
Prognosis memburuk pada pasien yang lebih tua, pasien dengan gejala
yang berat, dan pasien dengan onset gejala yang cepat. Kisaran 20% pasien
mengalami defisit neurologi menetap.

BAB IV

31
ANALISIS KASUS

Tn.DP, laki-laki, 24 tahun dirawat dibagian neurologi RSMH karena tidak


bisa berjalan yang disebabkan kelemahan pada keempat ekstremitas yang terjadi
secara perlahan-lahan. Dari anamnesis didapatkan + 10 hari sebelum masuk
rumah sakit penderita mengalami kesemutan pada kedua tungkai, diikuti kedua
tangan kanan kiri. + 4 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mulai
mengalami kelemahan pada kedua tungkai namun masih dapat beraktifitas seperti
biasa, badan terasa lemas tidak ada, nyeri seluruh badan tidak ada. + 3 hari
sebelum masuk rumah sakit penderita merasa kelemahan pada kedua tungkai
semakin memberat dan sulit digerakkan sehingga penderita tidak dapat berjalan
seperti biasa, kelemahan juga mulai dirasakan pada kedua tangan/lengan. + 1 hari
sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami kesulitan menelan dan sulit
menggerakan rahang bawah, penderita juga sulit menutup kelopak mata dan sulit
bernafas terutama saat tidur terlentang.
Penderita pada kasus ini didiagnosis awal dengan tetraparese akut
progresif karena pada anamnesis didapatkan adanya kelemahan keempat anggota
gerak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Adapun kemungkinan diagnosis banding
etiologi pada kasus ini antara lain Syndrome Guillain Barre (SGB), Myastenia
gravis, myelopati akut, poliomyelitis akut, dan botulism. Dari anamnesis juga
didapatkan bahwa kelemahan ekstremitas yang dialami pasien diawali dengan
kesemutan dan kelemahan kedua tungkai yang beberapa hari kemudian diikuti
kelemahan pada kedua lengan, hal ini menunjukkan bahwa kelemahan pada
pasien ini bersifat ascenden dan disertai dengan gejala sensorik yang merupakan
gejala khas pada SGB, sehingga diagnosis banding myasthenia gravis dan
botulism dapat disingkirkan.

+ 2 minggu sebelum masuk rumah sakit penderita juga mengalami demam,


disertai sakit kepala, namun tidak disertai nyeri dan lemas seluruh tubuh. Adanya
riwayat demam beberapa minggu sebelum timbulnya gejala defisit neurologi
menunjukkan bahwa pada pasien ini terdapat penyakit infeksi anteseden yang

32
sering ditemukan pada sebagian besar kasus SGB. Hal ini dapat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding myelopati akut yang tidak didahului oleh
infeksi antesenden.

Dari pemeriksaan fisik dan neurologis pada awal masuk rumah sakit
didapatkan kerutan dahi kanan dan kiri simetris, lagoftalmus (+/+), lipatan
plicanasolabialis kanan dan kiri datar sehingga pasien didiagnosis parese N.VII
bilateral perifer. Pemeriksaan fungsi motorik didapatkan kuatan fungsi motorik
pada keempat ekstremitas adalah 3/3/2/2 dengan penurunan tonus otot dan refleks
fisiologi pada keempat ekstremitas. Kelemahan pada keempat ekstremitas disertai
hipotonus dan hiporefleks pada pemeriksaan fisik dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalami tetraparese tipe flaksid. Pemeriksaan fungsi sensorik juga
didapatkan hipestesi stock and glove.

Untuk mendukung diagnosis etiologi dan menyingkirkan diagnosis


banding maka dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium cairan
serebrospinal dan didapatkan peningkatan kadar protein yaitu 168,1 mg/dL
dengan jumlah sel leukosit 6 sel (<10/mm3), sehingga dapat didapatkan kesan
disosiasialbumin sitologik yang merupakan penunjang dalam diagnosis SGB, dan
menyingkirkan diagnosis banding poliomyelitis yang umumnya ditandai dengan
adanya pleositosis.

Selanjutnya untuk menentukan jenis SGB pada pasien, dilakukan


pemeriksaan ENMG. Pada hasil pemeriksaan ENMG didapatkan kesan gambaran
poliradikulopati (SGB tipe AMSAN). Gambaran klinis sesuai dengan hasil
pemeriksaan penunjang, yaitu defisit neurologi yang terjadi berupa gangguan
motorik dengan keterlibatan sensorik yang dominan.

Jadi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang yang dilakukan maka didapatkan kesimpulan bahwa pasien mengalami
tetraparese tipe flaksid, disertai dengan parese N.VII bilateral tipe perifer, parese
N.V motorik bilateral, dan hipestesi stock and glove, dengan diagnosis topik

33
radiks dan diagnosis etiologi Sindroma Guillain Barre tipe AMSAN (Acute
Motor and Sensory Axonal Neuropathy).

Tatalaksana nonfarmakologis yang diberikan yaitu oksigenasi O2


4L/menit untuk mencegah terjadinya ancaman gagal napas karena pasien
mengalami kesulitan bernapas, pemasangan NGT dan diet cair via NGT dengan
tujuan untuk mencegah komplikasi aspirasi karena pada pasien juga terdapat
keluhan sulit menelan, serta rencana plasmaparesis (plasma exchanged = PE)
dengan tujuan untuk mengeluarkan antigen asing yang terdapat didalam tubuh
pasien. Pada pasien juga direncanakan untuk dikonsulkan ke bagian rehabilitasi
medik dengan tujuan untuk fisioterapi untuk mencegah deep vein thrombosis
kekakuan sendi pada tungkai yang lumpuh. Tatalaksana farmakologis yang
diberikan yaitu IVFD dengan kristaloid NaCL 0,9% gtt xx/menit dengan tujuan
mempertahankan euvolemia, injeksi Mecobalamine 3x500 mg IV diberikan
sebagai neuroprotektor, dan injeksi Omeprazole 1x40 mg IV. Omeprazole
diberikan untuk mengurangi iritasi lambung akibat sekresi bikarbonat gaster
berkurang pada pasien yang berada dalam posisi supinasi/bed rest yang lama
sehingga terjadi peningkatan asam lambung.

DAFTAR PUSTAKA
1. Safri, Ahmad Y. 2017. Sindrom Guillain-Barré Syndrome. Dalam: Aninditha,
T. dan Winnugroho W (Editor). Buku Ajar Neurologi. Departemen

34
Neurologi, Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta: Penerbit Kedokteran
Indonesia. Hal: 677-689.
2. Walling, Anne D., Gretchen D. 2013. Guillain-Barré Syndrome. American
Family Physician. 87(3): 191-197.
3. Burns, Ted M. 2008. Guillain-Barré Syndrome. Thieme Medical Publishers.
28(2): 152-167.
4.

35

Anda mungkin juga menyukai