Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Myasthenia gravis merupakan kelainan pada transmisi neuromuscular


yang sering ditemui. Myasthenia gravis merupakan penyakit autoimun yang
ditandai dengan kelemahan otot yang bersifat fluktuatif, makin memberat dengan
aktivitas dan membaik dengan istirahat. Angka kejadian myasthenia gravis sekitar
1–2/100.000 per tahunnya dan sekitar 15 – 20% pasien dengan myasthenia gravis
mengalami krisis myasthenia, biasanya dalam tahun pertama. Krisis myasthenia
merupakan komplikasi dari myasthenia gravis yang ditandai dengan
memburuknya kelemahan otot dan dapat menyebabkan gagal nafas.
Secara umum, myasthenia gravis ditandai dengan adanya antibodi pada
reseptor asetilkolin (AChR) post sinaptik motor end-plate. Pasien dengan krisis
myasthenia biasanya terdapat faktor predisposisi, walaupun 30 – 40% kasus tidak
ditemukan faktor predisposisinya. Beberapa faktor pencetusnya yang paling
sering yaitu infeksi saluran nafas , stres fisik atau emosional, tymoma, kehamilan,
menstruasi, nyeri, aspirasi, perubahan regimen pengobatan, tindakan bedah atau
trauma.
Krisis myasthenia merupakan penyakit yang sangat penting, serius, dan
merupakan kegawatdaruratan neurologi yang bersifat reversibel. Krisis
myasthenia menyebabkan suatu kondisi gagal nafas sehingga membutuhkan
intubasi dan ventilasi mekanik. Tatalaksana krisis myasthenia merupakan hal yang
menantang karena perjalanan penyakit yang berfluktuasi. Pencegahan dan
pengobatan krisis myasthenia memerlukan perawatan di unit intensif dan peran
multidisiplin. Penatalaksanaan yang cepat dan adekuat pada krisis myasthenia
baik pada aspek farmakologi maupun aspek tatalaksana ventilasi dapat
memberikan keluaran klinis yang baik.

1
BAB II
STATUS PENDERITA

I. IDENTIFIKASI
Nama : Nurni binti Anang
Tanggal Lahir : 23 Agustus 1968
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Lr. Akpus No.53, Palembang
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Tanggal MRS : 18 Agustus 2018
No. RM : 0001077427

II. ANAMNESIS
Penderita dirawat di bagian saraf RSMH karena kesulitan bernapas yang
disebabkan kelemahan pada otot pernapasanyang terjadi secara perlahan-lahan.
+12 jam sebelum masuk rumah sakit penderita mengalamikesulitan
bernapas disertai kesulitan menelan, batuk disertai dahak dan terdapat suara
sengau. Sakit kepala tidak ada, nyeri seluruh badan tidak ada, mual muntah
tidak ada, badan terasa lemas dirasakan. Penderita masih dapat berjalan dengan
dipapah. Penurunan kesadaran tidak ada, kedua kelopak mata sulit dibuka
terutama kelopak mata kiri, mencret tidak ada, demam tidak ada, penderita
sering BAK, BAB tidak ada keluhan. Gangguan sensibilitas berupa rasa baal
dan kesemutan tidak ada, penderita masih dapat mengungkapkan isi pikiran
secara lisan, tulisan, isyarat. Penderita masih dapat memahami isi pikiran orang
lain yang diungkapkan secara lisan, tulisan dan isyarat.
Riwayat trauma pada punggung bawah tidak ada, riwayat trauma kepala
tidak ada, riwayat benjolan pada punggung bawah/ tulang belakang tidak ada.
Riwayat hipertensi sejak 3 tahun yang lalu, riwayat diabetes mellitus tidak ada.
Penyakit seperti ini diderita untuk yang kedua kalinya.

2
III. PEMERIKSAAN
Status Internus
Kesadaran : GCS = 15 (E4M6V5)
Tekanan Darah : 180/100 mmHg
Nadi : 110 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Suhu Badan : 36,6º C
Pernapasan : 36 kali/menit
BB : 45 kg
TB : 158cm
IMT : 18,025kg/m2 (Normoweight)

Kepala : normosefali
Leher : kaku kuduk (-)
Thorax
Cor :I : Ictus kordis tidak terlihat
P : Ictus kordis teraba
P : Tak ada kelainan
A : Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo : I : Gerakan dada simetris
P : Stem fremitus kiri = kanan
P : Sonor
A : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronki (-)

Abdomen : I : Datar, simetris


P : Lemas
P : Timpani
A : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral pucat (-/-), edema pretibial (-)
Kulit : Turgor < 2”

3
Status Psikiatrikus
Sikap : kooperatif Ekspresi Muka : sesuai
Perhatian : ada Kontak Psikik : ada

Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk : Normochepali Deformitas : tidak ada
Ukuran : normal Fraktur : tidak ada
Simetris : simetris Nyeri fraktur : tidak ada
Hematom : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Tumor : tidak ada Pulsasi : tidak ada

LEHER
Sikap : lurus Deformitas : tidak ada
Torticolis : tidak ada Tumor : tidak ada
Kaku kuduk: tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Anosmia tidak ada tidak ada
Hiposmia tidak ada tidak ada
Parosmia tidak ada tidak ada

N. Optikus Kanan Kiri

4
Visus 6/6 6/6
Campus visi V.O.D V.O.S

Anopsia tidak ada tidak ada


Hemianopsia tidak ada tidak ada
Fundus Oculi tidak ada tidak ada
- Papil edema tidak ada tidak ada
- Papil atrofi tidak ada tidak ada
- Perdarahan retina
tidak ada tidak ada

N. Occulomotorius, Trochlearis, & Kanan Kiri


Abducens
Diplopia tidak ada tidak ada
Celah mata tidak ada tidak ada
Ptosis ada ada
Sikap bola mata
- Strabismus (+) ada ada

- Exophtalmus (-) tidak ada tidak ada

- Enophtalmus (-) tidak ada tidak ada

- Deviation conjugae tidak ada tidak ada

Gerakan bola mata Kurang ke Kurang ke


segala arah segala arah

Pupil Bulat Bulat


- Bentuk 3 mm 3 mm

5
- Diameter Isokor Isokor
- Isokor/anisokor - -
- Midriasis/miosis
- Refleks cahaya
+ +
 Langsung
+ +
 Konsensuil
+ +
 Akomodasi
- Argyl Robertson - -

N. Trigeminus Kanan Kiri


Motorik
- Menggigit Tidak ada kelainan
- Trismus Tidak ada
- Refleks kornea Ada
Sensorik
- Dahi Tidak ada kelainan
- Pipi Tidak ada kelainan
- Dagu Tidak ada kelainan

N. Fasialis Kanan Kiri


Motorik
- Mengerutkan dahi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Menutup mata Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Menunjukkan gigi
Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Lipatan nasolabialis
Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Bentuk muka
Simetris Simetris
Sensorik
- 2/3 depan lidah
- Otonom Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
 Salivasi
 Lakrimasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
 Chvostek’s sign Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- -

6
N. Cochlearis Kanan Kiri
Suara bisikan Tidak ada kelainan
Detik arloji Tidak ada kelainan
Tes Weber Tidak ada kelainan
Tes Rinne Tidak ada kelainan

N. Vestibularis Kanan Kiri


Nistagmus tidak ada tidak ada
Vertigo tidak ada tidak ada

N. Glossopharingeus dan N. Vagus


Arcus pharingeus Tidak ada kelainan
Uvula Tidak ada kelainan
Gangguan menelan ada
Suara serak/sengau ada
Denyut jantung Tidak ada kelainan
Refleks
- Muntah Menurun
- Batuk Tidak ada kelainan
- Okulokardiak
Tidak ada kelainan
- Sinus karotikus
Tidak ada kelainan
Sensorik
- 1/3 belakang lidah
Tidak ada kelainan

N. Accessorius
Mengangkat bahu Tidak ada kelainan
Memutar kepala Tidak ada kelainan

N. Hypoglossus
Menjulurkan lidah
Simetris
Fasikulasi -
Atrofi papil -
Disatria -

7
MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan Kurang Kurang
Kekuatan 4 4
Tonus Menurun Menurun
Refleks fisiologis
- Biceps Menurun Menurun
- Triceps Menurun Menurun
- Radius
Menurun Menurun
- Ulnaris
Menurun Menurun
Refleks patologis
- Hoffman Tromner
- -
- Leri
- Meyer - -

Trofi - -
Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

TUNGKAI Kanan Kiri


Gerakan Kurang Kurang
Kekuatan 4 4
Tonus Menurun Menurun
Klonus
- Paha - -
- Kaki - -

Refleks fisiologis
- KPR
Menurun Menurun
- APR
Menurun Menurun
Refleks patologis
- Babinsky
- -
- Chaddock
- -
- Oppenheim
- -

8
- Gordon - -
- Schaeffer - -
- Rossolimo - -

Refleks kulit perut


- Atas tidak dilakukan
- Tengah tidak dilakukan
- Bawah tidak dilakukan
Refleks cremaster tidak dilakukan
Trofik tidak ada kelainan

SENSORIK : tidak ada kelainan

FUNGSIVEGETATIF
Miksi : tidak ada kelainan
Defekasi : tidak ada kelainan

KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : tidak ada
Lordosis : tidak ada

9
Gibbus : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Tumor : tidak ada
Meningocele : tidak ada
Hematoma : tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada

GEJALA RANGSANG MENINGEAL


Kaku kuduk : (-)
Kerniq : (-)
Lasseque : (-)
Brudzinsky
- Neck : (-)
- Cheek : (-)
- Symphisis : (-)
- Leg I : (-)
- Leg II : (-)

GAIT DAN KESEIMBANGAN


Gait Keseimbangan dan Koordinasi
Ataxia : belum dapat dinilai Romberg : belum dapat dinilai
Hemiplegic : belum dapat dinilai Dysmetri : belum dapat dinilai
Scissor : belum dapat dinilai -jari-jari : belum dapat dinilai
Propulsion : belum dapat dinilai -jari hidung : belum dapat dinilai
Histeric : belum dapat dinilai -tumit-tumit : belum dapat dinilai
Limping : belum dapat dinilai Rebound phenomen :belum dapat dinilai
Steppage : belum dapat dinilai Dysdiadochokinesis :belum dapat dinilai
Astasia-Abasia: belum dapat dinilai Trunk Ataxia : belum dapat dinilai

GERAKAN ABNORMAL
Tremor : (-)

10
Rigiditas : (-)
Bradikinesia : (-)
Chorea : (-)
Athetosis : (-)
Ballismus : (-)
Dystoni : (-)
Myocloni : (-)

REFLEKS PRIMITIF
Glabella : (-)
Palmomental : (-)

FUNGSI LUHUR
Afasiamotorik : (-)
Afasiasensorik : (-)
Apraksia : (-)
Agrafia : (-)
Alexia : (-)
Afasia nominal : (-)

LABORATORIUM (12/02/2018)
DARAH
Hb : 13,2 gr/dL BSS :144 mg/dL
Eritrosit : 4,82x106/µL Ureum : 19 mg/dL
Leukosit : 20,9x103/µL Kreatinin : 0,68U/L
Diff Count : 0/1/89/6/4 Kalsium : 9,0mmol/dL
Trombosit : 256x103/µL Natrium : 144 mmol/dL
Hematokrit :41 % Kalium : 3,3 mmol/dL
SGOT :36 U/L Klorida : 104 mmol/dL
SGPT : 19 U/L

11
PEMERIKSAAN KHUSUS
Rontgen thoraks PA : tidak diperiksa
CT Scan Kepala : tidak diperiksa

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinik : General Muscle Weakness
Ptosis Bilateral
Oftalmoplegia Bilateral
Parese N. III, IV, VI
Parese N. IX, X
Diagnosis Topik : Neuromuscular Junction
Diagnosis Etiologi : Myasthenia Gravis
Diagnosis Tambahan : Hipertensi Stage II

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Sindrom Guillain Barre
2. Botulisme
3. Poliomyelitis akut
4. Myelopati akut

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Neostigmine Test
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular.
Hasil : Ptosis, oftalmoplegia, dan kelemahan lainnya mengalami
perbaikan

12
Gambar 1. Pemeriksaan Neostigmine

b. Ice Pack Test


Pada tes ini dilakukan kompres pada orbita dengan batu es selama 90
detik.
Hasil : Ptosis pada mata yang dikompres dengan batu es mengalami
perbaikan

c. Count Test
Pada tes ini pasien diminta untuk menghitung angka 1-100 dalam satu
tarikan napas
Hasil : Semakin lama suara pasien semakin mengecil saat menghitung
angka
VII. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
- O2 Nasal Canul 5 liter per menit
- Elevasi kepala 30o
- Diet cair 1800 kkal (NGT)
- R/ Plasmaferesis (PE)

Farmakologi
- IVFD NaCl 0,9% gtt XX/menit
- Injeksi Metilprednisolon4x250 mg IV
- Injeksi Omeprazole 1x40 mg IV
- Neurodex 1x1 tab (NGT)

13
- Amlodipin 1x10 mg PO

VIII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Myasthenia gravis merupakan penyakit neuromuscular juction yang paling
sering ditemui. Neuromuscular junction merupakan sinaps yang terkhususkan
dengan susunan struktural dan fungsional yang kompleks dan merupakan tempat
dimana konversi elektrokimia impuls saraf menjadi potensial aksi serabut otot.1
Myasthenia gravis merupakan penyakit autoimun yang mengenai transmisi
neuromuscular, yang ditandai dengan kelemahan otot baik terlokalisir ataupun
generalisata dan bersifat fluktuatif yang makin memberat dengan aktivitas dan
membaik dengan istirahat.2,3

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden myasthenia gravis sekitar 1–2/100.000 per tahunnya dengan
prevalensi 5–15/100.000, dengan 20% pasien dengan onset diatas 60 tahun.
Sekitar 15 – 20% pasien dengan myasthenia gravis mengalami krisis myasthenia,
biasanya dalam tahun pertama. Krisis myasthenia dapat menjadi suatu gambaran
awal myasthenia gravis pada 20% pasien dan sepertiga pasien yang bertahan
dapat mengalami periode krisis lainnya.3,4,5 Jenis kelamin dan umur juga
berpengaruh terhadap kejadian myasthenia gravis.1 Wanita dua kali lebih sering
terkena krisis myasthenia dibandingkan pada laki-laki dengan rata-rata usia 59
tahun. Keluaran klinis meningkat secara signifikan dan saat ini dilaporkan tingkat
mortalitas sekitar 5%.3,4,5

C. FAKTOR PREDISPOSISI
Pasien dengan krisis myasthenia biasanya terdapat faktor predisposisi,
walaupun 30 – 40% kasus tidak ditemukan faktor predisposisinya. Beberapa
faktor pencetusnya yang paling sering yaitu infeksi saluran nafas (40%), stres
emosional, mikroaspirasi (10%), perubahan regimen pengobatan (8%), tindakan
bedah atau trauma.2,3 Beberapa obat dapat mencetuskan kejadian krisis myasthenia

15
sehingga obat ini harus dihindari atau digunakan secara hati-hati. 3,8 Saat ini telah
diketahui bahwa myasthenia gravis berhubungan dengan patologi thymus. Krisis
3,7
myasthenia terjadi dua kali lebih sering pada pasien dengan tymoma.
Kehamilan juga dapat menjadi pencetus krisis myasthenis pada 33% kasus dan
krisis myasthenia dalam kehamilan mempengaruhi tingkat mortalitas perinatal
yang tinggi.2,8 Beberapa pencetus yang lainnya antara lain menstruasi, tappering
off pengobatan imunosupresan, paparan suhu yang ekstrim, nyeri, kurang tidur,
dan stres fisik atau emosional.3,6

D. PATOFISIOLOGI
Myasthenia gravis merupakan gangguan yang disebabkan olah antibody
complement-mediated dan reaksi imunologi T-cell dependent pada membran post-
sinaptik neuromuscular junction, terutama terhadap reseptor asetilkolin (AchR).
Antibodi yang berikatan dengan epitop end-plate otot skeletal menghasilkan
transmisi neuromuskular dan kelemahan.3 Pada neuromuscular junction normal,
asetilkolin (ACh) disintesis oleh kolin asetiltransferase pada neuron motor. Aksi
potensial yang tiba pada neuron motor terminal menyebabkan influks kalsium
melalui voltage-gated calcium channel (VGCC) dan mencetuskan pelepasan ACh
dari vesikel presinaptik. ACh melintasi basal lamina sinaptik dan berikatan
dengan reseptor asetilkolin (AChR). Terbukanya AChR memulai aksi potensial
pada serabut otot post sinaptik melalui terbukanya voltage-gated sodium channel
(VGSC). ACh dihidrolisis oleh asetilkolinesterase (AChE). Selama
pembentukannya, aparatus post sinaptik dimediasi oleh agrin, yang dilepaskan
dari terminal saraf motor. Agrin berikatan dengan reseptor low-density lipoprotein
receptor related protein 4 (LRP 4) dan mengaktifkan muscle-specific tyrosine
kinase (MuSK). Penghantaran selanjutnya membutuhkan dua adaptor intraselular,
yaitu docking protein 7 (Dok 7), yang menjembatani aktivasi MuSK ke jalur
penghantaran ke bawah, dan rapsyn, yang berikatan dengan AChR. Tiga protein
target antigenik pada neuromusvular junction post sinaptik yang teridentifikasi
pada myasthenia gravis: AChR, MuSK, dan LRP4.2,3,7

16
Myasthenia gravis dapat disebabkan oleh adanya antibodi pada AChR.
Anti-AChR antibodi bersifat patogenik karena dapat mengurangi jumlah AChR
pada neuromuscular junction melalui tiga mekanisme, yaitu:7
1. Anti-AChR antibodi berikatan dan bertautan dengan AChR menghasilkan
peningkatan endositosis dan degradasi AChR pada sel otot.

2. Anti AChR mengikat faktor komplemen pada membran post sinaptik,


menghasilkan lisis fokal pada lipatan post sinaptik pada neuromuscular junction.

3. Penghancuran pada protein yang berhubungan dengan AChR seperti utrophin,


rapsyn, dan VGSC, mengganggu transmisi neuromuscular yang mana protein ini
berperan dalam membentuk dan mempertahankan neuromuscular junction.

Pada 70% pasien myasthenia gravis yang tidak terdeteksi anti-AChR


antibodi, dapat terdeteksi antibodi MuSK, protein transmembran yang berlokasi
pada membran postsinaptik neuromuscular junction. Mekanisme patogenik anti
MuSK antibodi belum diketahui secara pasti. Saat ini, telah diketahui adanya
antigen baru pada neuromuscular junction, yang diketahui sebagai LRP4 telah
diidentifikasi. Peran patogenik anti LRP4 antibodi terlibat dalam menghambat
interaksi antara agrin dan LRP4 dang mengurangi gugusan AChR.3,7

E. MANIFESTASI KLINIS
Kegagalan nafas pada krisis myasthenia bisa berupa suatu bentuk
hipoksemia atau hiperkapnia, dan merupakan akibat dari gabungan permasalahan
pada buruknya proteksi jalan nafas, bersihan sekresi yang tidak adekuat, dan
7,8
hipoventilasi. Kelemahan otot pada bisa berdampak pada otot interkostal dan
otot bantu nafas dan selanjutnya mengenai otot diafragma. Disfungsi otot bulbar
(orofaringeal) dapat menjadi suatu gambaran pada beberapa pasien.3,7,8 Pengaturan
ventilasi sentral pada pasien krisis myasthenia tetap intak, walaupun respon
minute ventilation terhadap CO2 buruk.8
Umumnya, ptosis, opthalmoparesis, kelemahan wajah dan bulbar dapat
ditemukan pada kelemahan umum.3,8 Keterlibatan otot bantu nafas menunjukkan

17
kelemahan otot inspirasi dan refleks batuk yang lemah dan kesulitan menghitung
(dari 1 sampai 20) dalam satu tarikan nafas menunjukkan kelemahan otot
ekspirasi.8 Tanda kelemahan bulbar dapat berupa disfagia, regugitasi nasal,
sengau, pola ucapan staccato, kelemahan rahang (lebih lemah saaat menutup
rahang dibandingkan membuka rahang), parese bifasial, dan kelemahan lidah.
Disfungsi paling penting yang menandakan keterlibatan saluran nafas atas yang
dapat mengarah ke gagal nafas yaitu kelemahan otot laringeal yang disebabkan
oleh adduksi atau kelemahan vocal cord selama inspirasi.

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Umumnya, disfungsi bulbar dan pernapasan yang terjadi secara simultan
dengan kelemahan seluruh otot merupakan karakteristik dari myasthenia. 8
Gambaran klinis lainnya seperti sesak nafas, takipnea, ortopnea, takikardi,
berkeringat, penggunaan otot bantu pernapasan, dan ventilasi paradoksal.
Kolapsnya jalan nafas ditandai dengan batuk dan gangguan menelan, sehingga
menyebabkan akumulasi sekret di faring.3,8
Penegakkan diagnosa krisis myasthenia perlu dilakukan sesegara mungkin
dengan pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan dasar.3 Pemeriksaan
elektrofisiologi saraf perifer dengan stimulasi saraf motorik repetitif dan single
3,8
fibre (EMG) lebih disukai untuk mengkonfirmasi diagnosis. Abnormalitas
pemeriksaan elektrodiagnostik yang menjadi karakteristik yaitu decrement
progresif pada amplitudo aksi potensial otot dengan stimulasi saraf repetitif
(repetitive nerve stimulation) pada 3 atau 5 Hz. Respon decremental dapat terlihat
pada 90% pasien paling tidak pada tida sistem neuromuscular (seperti medianus-
thenar, ulnar-hipotenar, assesory-trapezius).9,10
Uji Edrophonium (Tensilon) tidak direkomendasikan yang dicurigai
mengalami krisis myasthenia karena dapat memberikan hasil positif dan negatif
palsu, dan resiko terjadinya perburukan kelemahan otot pada pasien dengan
overdosis antikolinesterase.3,8

18
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan krisis myasthenia harus dilakukan secara tepat dan
multidisiplin. Tatalaksana secara tepat dan cepat terhadap ancaman paralisis
pernapasan merupakan kunci sukses untuk penatalaksanaan karena hal yang
paling mengancam nyawa yaitu gagal nafas sehingga perlu diberikan ventilasi
elektif berdasarkan diagnosis klinis tanpa menunggu adanya hipoksemia pada
gambaran analisa gas darah.3,9
Bronkodilator berguna dalam mempertahankan patensi jalan nafas dan
mengatasi bronkospasme.8 Ipratropium bromide inhalasi dapat menjadi pilihan
karena aman dan dapat mengurangi sekresi bronkial.3,8 Pulmonary toilet perlu
dilakukan karena batuk yang tidak efektif. Fisioterapi dada (chest physiotherapy)
secara agresif (perkusi, fibrasi, dan drainage postural) dan pembersihan jalan
nafas (suction teratur dan bronkoskopi fiberoptik terapeutik pada kasus berat)
perlu diterapkan. Kelembaban udara inhalasi seharusnya sekitar 80% pada 370C.3
Pengobatan imunomodulator dipertimbangkan sebagi penanganan standar
pada krisis myasthenia. Imunimodulator spesifik meliputi pertukaran plasma (PE),
imunoadsorpsi (IA), dan human IVIg.3,5 IVIg merupakan derivat darah IgG-
purifikasi. Mekanisme kerjanya masih belum diketahui. Dibutuhkan 5 hari untuk
memberikan efek terapeutik dengan dosis 0,4 gr/kg/hari selama 3-5 hari. Pasien
perlu dilakukan penyapihan defisiensi IgA untuk mencegah anafilaksis. Efek
samping yang sering ditemui yaitu demam, kelebihan cairan, mual, dan nyeri
kepala. Efek samping yang lebih jarang dan efek samping serius yaitu meningitis
aseptik, edema paru, anafilaksis, disfungsi renal, aritmia jantung, trombositopenia,
stroke, infark miokard, dan emboli paru.3
PE dan IA merupakan terapi yang paling efektif bila membutuhkan respon
yang cepat, terutama pada pasien yang tidak mengalami perbaikan, mengalami
perburukan, atau dengan komplikasi yang berat.3,12 Respon umumnya sekirat 2
hari. Tujuan dari tindakan ini yaitu deplesi antibodi patogenik secara cepat dari
plasma, yang menyebabkan penyeimbangan osmotik antara ekstra dan
intravascular untuk mengurangi antibodi pada neuromuscular junction. PE dan IA
dilakukan dengan regimen dosis rendah: plasma 1,5 L (20-25 mL/kg), per sesi,

19
dengan kecepatan pertukaran 10-20 mL/menit. Prosedur ini membutuhkan akses
vena sentral dan antikoagulan. PE dilakukan dengan lima kali pertukaran setiap 2
hari selama 10 hari. Penggantian dengan cairan normal saline atau albumin 5%.3
Pada pasien myashenia gravis yang sebelumnya mendapatkan steroid
sebaiknya tidak menghentikan steroid. Pada krisis myasthenia, steroid bisa
ditingkatkan.3 Steroid dapat diberikan setelah plasmapharesis atau pemberian
IVIg, yaitu prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari (60 – 100 mg per hari).3,13
Kapan waktu pemberian steroid masih kontroversial, tetapi biasanya diindikasikan
pada pasien yang tidak bisa diekstubasi 2 minggu setelah imunoterapi spesifik.
Pemberian steroid juga bisa diberikan besamaan dengan dilakukannya
plasmaparesis atau IVIg, karena prednison biasanya bekerja setelah 2 minggu.
Pemberian secara enteral lebih disukai dan pemberian prednison bisa
ditangguhkan bila pasien perbaikan dan ekstubasi setelah penderita mendapat
plasmapharesis atau IVIg. Rerata waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan sekitar
12 hari. Perburukan gejala setelah memulai pemberian steroid tidak menjadi suatu
prediktor respon dari kortikosteroid. Bila setelah memulai pemberian steroid,
penderita menunjukkan perbaikan, dosis bisa dikurangi dan diturunkan secara
bertahap dengan dosis alternating. Perlu diketahui bahwa steroid juga bisa
mencetuskan kelemahan otot atau meningkatkan resiko terjadinya miopati
penyakit kronis (critical illness myopathy). Pada pasien dengan sepsis, sebaiknya
pemberian steroid ditunda hingga dengan proses infeksinya terkontrol.
Kontraindikasi relatif pemberian steroid yaitu kontrol metabolik yang jelek dan
osteoporosis berat. Obat imunosupresan yang lainnya yang sering digunakan
untuk tatalaksana jangka panjang myasthenia gravis seperti cyclosporin,
azathioprine, atau mycophenolate, tidak bermanfaat pada kasus krisis myasthenia
dikarenakan onset aksinya yang lambat.3
Penggunaan antikolinesterase, terutama penggunaan secara intravena
sebagai terapi pada myasthenia gravis masih kontroversial karena resiko
terjadinya komplikasi kardiak (aritmia dan infark miokard).1,2 Selain itu,
penggunaan antikolinesterase juga dapat mencetuskan sekresi saliva dan gastrik
yang berlebihan sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya pneumonia

20
aspirasi.2 Bila pasien telah mendapatkan ventilasi, akan lebih aman untuk
menghentikan penggunaan antikolinesterase. Hal ini bertujuan untuk
menghilangkan kemungkinan efek kolinergik berlebihan dan memungkinkan
untuk melakukan penentuan keparahan penyakit.1,9 Selain itu, pengguanaan
antikolinesterase tidak efektif pada pasien krisis myasthenia dan memang
sebaiknya dihentikan karena antikolinesterase tidak mengobati imunopatologi
pada krisis myasthenia, justru dengn terapi imunomodulator yang penting pada
krisis myasthenia. Setelah mengetahui dan menyingkirkan faktor pencetus
terjadinya krisis, penggunaan antikolinesterase dapat mulai diberikan dengan
dosis kecil dan dititrasi hingga dosis optimal.1,9
Sebagai tambahan, bila pada krisis myasthenia tetap dilanjutkan
pemberian antikolinesterase justru dapat mengacaukan penilaian modalitas
pengobatan lainnya dan dapat memperberat kelemahan otot jika digunakan secara
berlebihan.8 Pengobatan ini tidak mempengaruhi terhadap proses krisis itu sendiri
dan hanya memberikan tatalaksana simptomatik pada myasthenia. Setelah pasien
menunjukkan perbaikan kekuatan otot, biasanya beberapa hari setelah dimulainya
plasmaparesis atau pemberian IVIg, antikolinesterase seperti piridostigmin oral
dapat diberikan setelahnya atau sebelum dilakukan ekstubasi. Piridostigmin oral
lebih disukai dibandingkan intravena.4,8 Satu miligram piridostigmin intravena
sama dengan 30 mg piridostigmin oral. Pemberian antikolinesterase seharusnya
dimulai dengan dosis kecil dan dititrasi hingga perbaikan simptomatik. Pemberian
piridostigmin intravena secara kontinus sebagai pengobatan krisis myasthenia
memiliki efek yang sama dengan plasmaparesis, namun meningkatkan resiko
terjadinya aritmia jantung yang mengancam nyawa.4,8
Pada beberapa kasus krisis myasthenia dapat dipertimbangkan untuk
pemberian antikolinesterase seperti neostigmin. Namun, pemberiannya harus
dengan hati-hati karena pada kasus kelemahan progresif, krisis kolinergik
seringkali tumpang tinding dengan kelemahan myasthenia karena penggunaan
asetilkolinesterase yang berlebihan.8,16 Jika kekuatan otot tidak membaik dengan
pemberian dosis tunggal neostigmin (0,5 – 1 mg) atau piridostigmin (1 – 2 mg)
yang dikombinasikan dengan atrophine (0,5 mg) intravena, penilaian/ evaluasi

21
emergensi perlu dilakukan termasuk bantuan ventilasi. Selama diberikan ventilasi,
penggunaan asetilkolinesterase dapat diberikan dengan dosis pemeliharaan secara
intravena kontinu (neostigmin 0,15 – 0,5 mg/ jam, dengan dosis maksimal 8 – 12
mg/hari). Bila mengalami perbaikan, maka asetilkolinesterase dapat diturunkan
agar dapat menilai respon klinis terhadap terapi.16

22

Anda mungkin juga menyukai