Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

PTERIGIUM NASALIS GRADE II OKULI DEXTRA

Disusun oleh :

dr. Nindy Lagundry Putry

Pembimbing:

dr. Bambang Wahyu Nugroho

PUSKESMAS PRABUMULIH BARAT


KOTA PRABUMULIH
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

PTERIGIUM NASALIS GRADE II OD

Oleh:

dr. Nindy Lagundry Putry

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti program
Internsip di Puskesmas Prabumulih Barat

Prabumulih, April 2021

dr. Bambang Wahyu Nugroho

ii
KATA PENGANTAR

Salam sejahtera,

Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat-Nyalah laporan kasus yang
berjudul “Pterigium Nasalis Grade II OD” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Melalui tulisan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.
Bambang Wahyu Nugroho sebagai pembimbing, dan rekan-rekan seperjuangan yang
turut meluangkan banyak waktu dalam membantu proses penyelesaian laporan kasus ini.

Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan, baik dari isi maupun teknik penulisan. Sehingga apabila ada kritik dan
saran dari semua pihak maupun pembaca untuk kesempurnaan laporan kasus ini, penulis
mengucapkan banyak terimakasih.

Prabumulih, April 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................................1
BAB II.LAPORAN KASUS..............................................................................................4
BAB III.TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................14
BAB IV.ANALISIS KASUS...........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................28

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan neoformasi fibrovaskuler non malignan pada


permukaan okular yang menunjukkan penebalan konjungtiva bulbi, yang berbentuk segitiga
horisontal dengan puncak mengarah ke bagian tengah kornea dan dasarnya terletak di bagian
tepi bola mata bagian nasal dan atau temporal, sehingga bentuknya menyerupai sayap. 1
Beberapa teori telah dikemukakan untuk menerangkan patogenesis terjadinya pterigium, akan
tetapi etiologi dan penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi durasi paparan sinar
matahari, jenis pekerjaan, riwayat keluarga, kelembaban yang rendah, dan mikrotrauma
karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok dan pasir.2
Pterigium merupakan satu dari beberapa kondisi mayor yang mengancam penglihatan
di negara berkembang. Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari
tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah non-
tropis. Riset Kesehatan Dasar Nasional menampilkan data prevalensi pterigium tertinggi
ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%).
Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterigium terendah yaitu (3,7%), diikuti oleh
Banten (3,9%).3 Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali. Keluhan yang timbul biasanya berupa keluhan simptomatik dan
kosmetik, namun pterigium derajat lanjut berpotensi menjadi kebutaan. 2

1
BAB I
STATUS PASIEN

1. IdentitasPasien
Nama : Tn. A
Umur : 66 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : WNI
Pekerjaan : Pensiunan
Tanggal Pemeriksaan : 4 April 2021

2. Anamnesis (Autoanamnesis)
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh rasa mengganjal pada mata kanan sejak ± 2 minggu
yang lalu

b. Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak ±3 bulan yang lalu pasien mengeluh mata kanan timbul selaput
putih yang terasa mengganjal. Terkadang pasien mengeluh mata menjadi
merah, gatal dan mudah berair saat terpapar sinar matahari, pasien membeli
obat tetes mata di warung untuk mengatasi keluhan tersebut. Keluhan nyeri
pada mata (-), perih (-), kotoran mata (-), sekret (-), sulit membuka dan
menutup mata (-), benjolan pada kelopak mata (-), seperti melihat dalam
terowongan (-), pandangan ganda (-), seperti melihat asap (-), seperti melihat
benda berterbangan (-), dan seperti melihat tirai (-). Pasien belum pernah
berobat sebelumnya.

Sejak ±2 minggu yang lalu pasien mulai merasa tidak nyaman pada
mata kanannya karena terasa mengganjal saat berkedip seperti kelilipan.
Pasien mengaku sudah berobat ke bidan namun belum ada perubahan.

2
Pasien juga merasa selaput putih tumbuh semakin melebar dan menebal
pada kedua matanya. Pasien juga mengeluh mata merah (+), gatal (+), dan
mudah berair (+). Keluhan lain seperti silau (-), nyeri (-), rasa panas pada
mata (-), kotoran mata (-), sekret (-), sulit membuka dan menutup mata (-),
benjolan pada kelopak mata (-), seperti melihat dalam terowongan (-),
pandangan ganda (-), seperti melihat asap (-), seperti melihat benda
berterbangan (-), dan seperti melihat tirai (-). Keluhan sistemik seperti
sakit kepala, mual dan muntah disangkal. Pasien juga mengaku
sebelumnya sering terpapar debu, iritan, dan sinar matahari. Kemudian
pasien berobat ke Puskesmas Prabumulih Barat.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma / operasi mata (-)
Riwayat mata merah sebelumnya (-)
Riwayat berkacamata (+)
Riwayat menderita darah tinggi (+)
Riwayat menderita kencing manis (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat pengobatan (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga (-)

3
3. PemeriksaanFisik

a. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 75 kali/menit regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 20kali/menit
Suhu : 36,5o C
Status Gizi : Baik

4
b. Status Oftalmologis
Okuli Dekstra Okuli Sinistra

Visus 6/21 ph 6/15 6/15 ph 6/9


Tekananintraocular P=N+0 P=N+0

Kedudukan bola
mata (Hirschberg Ortoforia
test)
GBM

Baik ke segala arah Baik ke segala arah


Palpebra Tenang Tenang
Konjungtiva Injeksi Konjungtiva
Terdapat jaringan
fibrovaskular nasal, yang
Tenang
berbentuk segitiga dengan
puncak melewati limbus
kurang dari 2 mm
Terdapat jaringan
fibrovaskular nasal, yang
Kornea berbentuk segitiga dengan Jernih
puncak melewati limbus
kurang dari 2 mm
BMD Sedang Sedang
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Pupil Bulat, sentral, Refleks Bulat, sentral, Refleks
Cahaya (+), diameter 3 mm cahaya (+), diameter 3 mm

Lensa Keruh Jernih

5
Refleks Fundus Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Papil Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Makula Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Retina Tidak diperiksa Tidak diperiksa

4. Diagnosis Banding
 Pterigium Nasalis Grade II OD
 Pseudopterygium nasal OD
 Pingeukula OD

5. Diagnosis Kerja
Pterygium nasalis grade II OD

6. Tatalaksana
1. Informed Consent

2. KIE
 Menjelaskan kepada pasien bahwa faktor risiko yang dapat
menyebabkan kelainan mata yang dideritanya berupa paparan sinar
matahari, debu, angin dan asap. Oleh karena itu, pasien harus
menggunakan kacamata pelindung dan topi setiap bepergian keluar.
 Tidak menggosok mata ketika terasa mengganjal, perih ataupun gatal.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa kelainan pada matanya ini dapat
bersifat progresif (selaput putih bisa mencapai ke tengah mata) dan
dapat mengganggu penglihatan. Oleh karena itu, kelainan ini hanya
dapat ditangani dengan melakukan pembedahan dengan melakukan
pengangkatan selaput tersebut. Selain itu juga mengatakan pada
pasien bahwa kelainan mata ini dapat berulang meskipun sudah
dilakukan pembedahan.

3. Farmakologi
 Artificial Tears Eye Drop 4x 1 gtt OD
4. Non Farmakologi

6
Rujuk ke dokter spesialis mata untuk dilakukan tindakan pembedahan :
eksisi pterigium OS

7. Prognosis
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam

7
LAMPIRAN

Gambar 1. Okuli deksta


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi

3.1.1 Anatomi Konjungtiva


Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata bagian
belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal yang menutupi
tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi menutupi sklera
dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva forniks yang merupakan
tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.4.5,6 Konjungtiva bulbi dan
forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata
mudah bergerak. Konjungtiva bulbi superior paling sering mengalami infeksi dan
menyebar ke bawahnya. Pada pterigium, konjungtiva yang mengalami fibrovaskular
adalah konjungtiva bulbi.4,5,6

Gambar 7. Penampang sagital konjungtiva

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang
umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang
banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan
profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus
limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama
(oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.5,6

3.1.2 Fisiologi Konjungtiva


Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan
oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata dengan mekanisme
pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai
darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel
mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk
IgA.4,5

3.1.3 Anatomi kornea


Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.7

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

1. Epitel
 Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang
merupakan barrier.
 Epitel berasal dari ektoderm permukaan.7

2. Membran Bowman
 Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun
tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
 Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.7
3. Stroma
 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen
ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma.7
4. Membrane descement
 Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan
selendotel dan merupakan membran basalnya.
 Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal kurang
lebih sama dengan membran Bowman.7
5. Endotel
 Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm. Lapisan
ini membatasi ruang kamea okuli anterior.7
Gambar 8. Lapisan pada kornea

3.2 Pterigium
3.2.1 Definisi
Pterigium atau “Winglike” merupakan jaringan fibrovaskular berbentuk triangular
dengan apeks di kornea, “thick and fleshy wing”. Pterigium biasanya terdapat didaerah
nasal. 8

Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada daerah celah kelopak bagian nasal ataupun
temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak dibagian
central. Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu body, apex (head) dan cap. Bagian
segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus disebut body,
sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap.9 Pterigium
menginvasi kornea, dan melibatkan membrana bowman serta stroma superficial,
kerusakan lapisan tersebut ditutupi oleh epitel konjungtiva.10
Gambar 9. Pterigium

3.2.2 Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas
dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan
selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 %
pada daerah di atas lintang 400.11
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o.
Terdapat Sebuah hubungan antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena
paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan
penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di
lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi
pterigium meningkat seiring dengan umur, terutama dekade ke 2dan 3 kehidupan.
Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterigium rekuren sering terjadi pada
umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada
perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan
lingkungan di luar rumah.11,12

3.2.3 Etiologi
Proses degenerasi akibat paparan sinar UV berlebihan pada mata. Debu, angin,
mata kering, dan iritasi juga dikaitkan dengan penyebab terjadinya pterigium.8
3.2.4 Klasifikasi
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea
pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa
keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang
membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan
bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan
yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang
meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta
kebutaan

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:


o Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
o Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea.
o Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
o Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.
Gambar 10. Pterigium stadium 1 Gambar 11. Pterigium stadium 2

Gambar 12. Pterigium stadium 3 Gambar 13. Pterigium stadium 4

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:


- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
pterigium (disebut cap dari pterigium)
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi
tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slit
lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.13,14
Pterigium Duplex adalah lesi yang biasanya dijumpai pada sisi nasal dan temporal pada
satu mata pasien.
3.2.5 Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva
bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata
mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian
melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.
Pemaparan dari sinar UV yang terus menerus menyebabkan kerusakan atau
disfungsi pada limbal basal stem cell (terjadi mutagen P53), dimana fungsi dari limbal
basal stem cell ini adalah sebagai sumber regenerasi kornea. Kerusakan tersebut membuat
produksi transformating growth factor β meningkat tanpa disertai apoptosis, terjadi 3 hal
akibat peningkatan TGF-β, yaitu :
 Regulasi kolegenase
 Terjadi angiogenesis
 Terjadi migrasi sel
Ketiga hal tersebut mengarah kepada degenerasi kolagen dan membentuk jaringan
fibrovaskular, semakin lama jaringan fibrovaskular semakin besar hingga menembus
lapisan kornea membrana bowman. Selain menginduksi TGF-β yang diakibatkan
peningkatan ROS (reaktif oxygen species), sinar UV juga menginduksi growth factor
lainnya seperti fibroblast growth factor, PDFG, VEGF, CTGF, HBGF pada epitel
konjungtiva dan fibroblast kornea yang berujung pada pertumbuhan jaringan
fibrovaskular.15
Peningkatan ROS yang diakibatkan paparan sinar uv juga mengakibatkan
peningkatan sitokin proinflamasi seperti PGE-2, COX-2, IL-8 melalui peningkatan
metabolisme lemak.15
3.2.6 Gejala Klinis
Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata
iritatif, mata merah, dan gangguan penglihatan. Pterigium dapat pula disertai dengan
keratitis pungtata atau keratitis dellen, serta garis besi (stocker line) yang terletak di
ujung pterigium. Pada pemeriksaan segmen anterior mata didapatkan jaringan
fibrovaskular konjungtiva yang tumbuh secara abnormal berbentuk seperti sayap (wing
shape). gangguan visual dapat terjadi apabila jaringan fibrovaskular sudah menutupi
aksis visual atau terdapat astigmatisma.9

Gambar 14. Stocker line

3.2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi
dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui faktor resiko
pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin
laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui
kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3/15 Pterigium umumnya asimptomatis
atau akan memberikan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah dan
mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan.
Pada kasus berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya
sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan
kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.4,15
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura
interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari
kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal.
Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual
axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium
mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif. Pterigium
dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian segitiga yang
meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut body, bagian atasnya
disebut apex, dan bagian belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada
tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium. 4,5,15,16 Dalam penegakan diagnosis
pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau klasifikasi pterigium tersebut.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmagtisme ireguler yang
disebabkan oleh pterigium.12

3.2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium. Pinguekula
merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orangtua, terutama
yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas.
Yang membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas
jaringan hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering
meradang.17
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.
Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga
konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak
sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian
apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan
secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9.17

Gambar
15. Pinguekula
Gambar
16.
Pseudopterigium

3.2.9 Tatalaksana

Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan


pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatis irreguler
atau jaringan fibrovaskular sudah menutupi media penglihatan.9

3.2.9.1 Medikamentosa
Bila terdapat tanda radang dapat diberikan air mata buatan dan steroid. Bila terdapat
Dellen (lekukan kornea) air mata buatan dapat diberikan dalam bentuk salep. Dapat juga
diberikan vasokonsriktor namun perlu kontrol dalam 2 minggu dan pengobatan dihentikan.
Penggunaan mitomicin C 0,02% local hanya digunakan untuk rekuren pterigium.9,10

3.2.9.2 Bedah
Indikasi pembedahan pada pterigium antara lain : pertumbuhan jaringan fibrovaskular
mempengaruhi visual axis, tajam penglihiatan menurun akibat astigmatisme, iritasi hebat yang
tidak terkontrol dengan obat, mengurangi motilitas okular, dan kosmetik. Pembedahan
pterigium dapat dilakukan dengan berbagai teknik diantaranya teknik limbal conjungtival
autograft, bare sclera technique, trasplantation operation (Mc Reynold), subconjungtival
dissection and excision. Eksisi dengan teknik autograft merupakan teknik pilihan dan dapat
menurunkan angka kekambuhan sebesar 50%.10
Teknik Bare Sclera melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, dan memungkinkan
sklera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24% dan 89%. Teknik autograft
melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbi superotemporal, dan
dijahit di atas sklera yang telah dieksisi pterigium tersebut.

3.2.9.3 Edukasi
Lindungi mata yang terdapat pterigium dari sinar matahari, debu, dan udara kering
dengan kacamata pelindung.9
BAB III
ANALISIS KASUS

Tn. A, 66 tahun datang dengan keluhan rasa mengganjal pada mata kanan sejak 2
minggu yang lalu. Awalnya, pasien mengeluh sejak ±3 bulan yang lalu mata kanannya timbul
selaput putih yang terasa mengganjal. Terkadang pasien mengeluh mata menjadi merah, gatal
dan mudah berair saat terpapar sinar matahari. Sejak ±2 minggu yang lalu pasien mengeluh
mata kanannya terasa mengganjal seperti kelilipan yang semakin dirasakan disertai adanya
selaput yang tumbuh semakin tebal pada tepi matanya. Pasien juga mengeluh mata merah (+),
gatal (+), dan mudah berair (+). Pasien mengaku sering terpapar debu dan sinar matahari
secara intens. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya (-), riwayat memakai kacamata (+),
Riwayat darah tinggi (+), riwayat kencing manis (-).

Keluhan mata merah, nyeri, perih dan berair-air dapat terjadi karena iritasi pada
permukaan mata akibat terpapar oleh benda asing dari lingkungan seperti asap, debu, atau
angin kencang. Pada anamnesis diketahui bahwa pasien sering terpapar debu dan sinar
matahari. Hal ini sesuai dengan salah satu faktor resiko dari pterigium. Etiologi pasti
pterigium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain
adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain
itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A, fenomena iritatif akibat pengeringan dan
lingkungan dengan banyak angin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Perasaan yang
mengganjal bisa diakibatkan adanya peradangan di palpebra, adneksa, ataupun segmen
anterior. Pada pasien tidak ditemukan adanya edema pada palpebra dan adneksa. Tidak
ditemukan adanya sekret yang berlebih. Pada pasien ditemukan adanya penebalan konjungtiva
bulbi hingga kornea dimana hal ini dapat mengakibatkan ada rasa ganjalan pada mata saat
berkedip.

Dari hasil pemeriksaan fisik mata kanan didapati jaringan fibrovaskular berwarna putih
hiperemis pada regio nasal berbentuk segitiga berjalan dari kantus media dengan puncak
melewati tepi limbus <2 mm dan tidak mencapai tepi pupil. Derajat pertumbuhan pterigium
ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat
dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson):
 Grade I : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
 Grade II : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
 Grade III : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
 Grade IV : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
Sehingga pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan pterigium nasalis grade II OD.
Pertumbuhan jaringan pada konjungtiva bulbi bisa diakibatkan oleh suatu penyakit akibat
pinguekula, pseudopterigium, dan pterigium. Pinguekula dapat disingkirkan karena dapat di
tepis dari bentuk pingekuela yang bentuk puncak segitiganya berada di nasal, berkebalikan
dengan pterigium. Sedangkan pseudopterigium dapat ditepis karena pasien tidak memiliki
riwayat trauma pada mata sebelumnya. Pterigium merupakan diagnosis yang tepat pada
pasien ini karena tampak penebalan pada konjungtiva bulbi dari arah nasal yang berbentuk
segitiga dengan bagian puncak pterigium melewati limbus kurang dari 2 mm melewati kornea
dan belum mencapai pinggiran pupil mata kanan pasien. Gambaran klinis ini merupakan
gambaran khas dari Pterigium, yang pertumbuhannya biasanya dari arah nasal (paling sering)
dan dari arah temporal dengan apex atau puncaknya tumbuh ke arah sentral (ke arah kornea).
Patofisiologi pada kasus ini diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar
ultraviolet, pengeringan dan lingkungan dengan angin yang banyak. Faktor lain yang
menyebabkan pertumbuhan pterigium antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain
yang terbang masuk kedalam. Beberapa studi juga menunjukkan adanya predisposisi genetik.
Pterigium terdapat pada regio nasal, yang menurut literatur dijelaskan bahwa semua
kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis
dialirkan ke meatus nasi inferior. Selain itu, daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat
sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena
di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara
tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih
sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.
Prognosis quo ad vitam pada pasien ini adalah bonam karena pterigium tidak
mengancam nyawa. Prognosis quo ad functionam pada kedua mata pasien ini adalah dubia ad
bonam karena belum mengenai aksis visual (belum mencapai pupil). Prognosis quo ad
sanationam pada kedua mata pasien ini adalah dubia ad bonam dikarenakan menurut literatur
apabila dilakukan eksisi pterigium dengan autograft konjungtiva yang dapat menurunkan
angka kekambuhan sebesar 50% jika dibandingkan dengan teknik bare sclera yang tingkat
rekurensinya tinggi.
Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor pencetus timbulnya
pterigium seperti sinar matahari, angin dan debu serta rajin merawat dan menjaga kebersihan
kedua mata. Oleh karena itu dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau topi
pelindung bila keluar rumah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Erry, Mulyani, UA & Susilowati, D. Distribusi dan Karakteristik Pterigium di


Indonesia. Badan Penelitian Sistem Kesehatan. [online] 2011. Diunduh dari URL:
http://download.portalgaruda.org.
2. Julianti, S. Pterygium [files of DrsMed]. Riau: Universitas Riau; 2009.
3. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan RI. Jakarta: Riskesdas; 2013.
4. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
5. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
6. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan
Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan
Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984.
14-17
7. Ilyas S. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. hal:2-6, 116
– 117.
8. Tanto, C. (2014). kapita selekta kedokteran: edisi 4 jilid 1. jakarta: media aesculapius.
9. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata Ed. 5. Jakarta: 2015. FKUI

10. Data J,Chakraborti C. Sure Success in Ophthalmology Viva Voce & Practical
Examination. New Delhi: 2013. Jaypee Brothers Medical Publishers

11. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2009.
12. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
13. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
14. Maheswari, sejal. Pterydium-inducedcornealrefractive changes.[online] 2007. Aviable
28
from : http//www.ijo.in/article.asp?issn
15. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in Indonesia:
prevalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology. 2002; 86(12):
1341 –1346. Avaiable at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
16. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course section 8
External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
17. Tradjutrisno, N. Pterygium: Degeneration, Exuberant Wound Healing or Benign
Neoplasm. Universa Mediana. 2009: 28 (3) ; 179- 187

Anda mungkin juga menyukai