Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

TUBERKULOSIS PADA ANAK

Disusun Oleh
dr. ADDINI ROSEFANI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TELUK KUANTAN

DOKTER INTERNSIP PERIODE FEBRUARI 2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sudah sangat lama dikenal oleh manusia.
Pada peninggalan Mesir kuno, ditemukan relief yang menggambarkan orang dengan gibbus.
Kuman Mycobacterium tuberculosis, penyebab TB telah ditemukan oleh Robert Koch pada
tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu. Walaupun telah dikenal sekian lama dan telah
lama ditemukan obat-obat antituberkulosis yang paten, hingga saat ini TB masih merupakan
masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Sepanjang dasawarsa terakhir abad ke-20 ini,
jumlah kasus baru TB meningkat di seluruh dunia, 95% kasus terjadi di negara berkembang.
Di Indonesia, TB juga masih merupakan masalah yang menonjol. Bahkan secara global,
Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai penyumbang kasus terbanyak di dunia.1
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang
dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan,
pencegahan, serta TB pada infeksi HIV. Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak
seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak,
sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Sekalipun spesimen dapat
diperoleh, pada pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang ditemukan
pada sediaan langsung dan kultur. Di negara berkembang, dengan fasilitas tes Mantoux dan
foto rontgen paru yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit. Karena sulitnya
mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain
pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena
sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam
positif, sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan TB dewasa. Akibatnya,
penanganan TB anak kurang diperhatikan. Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB
menyebabkan tingginya biaya pengobatan yang diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan
infeksi TB merupakan salah satu upaya penting yang harus dilakukan. Untuk mengatasi
berbagai masalah di atas, diperlukan usaha penyegaran kembali tentang TB anak. Bagi para
dokter anak maupun umum yang sering menangani kasus TB anak, pemahaman yang benar
tentang TB anak harus dikuasai. Pemahaman terhadap TB anak harus didasari oleh pengertian
tentang patogenesis infeksi TB primer yang kompleks.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
2
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi
terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.2
2.2 Epidemiologi1,3

Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak


per tahun adalah 5-6% dari total kasus TB. Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB
pada anak berusia 0-4 tahun adalah 19%, scdangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di
Asia Tenggara, selama 10 tahun, diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8%
di antaranya (2,8 juta) disertai infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki
peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta
kasus) dan Cina (1,1 juta kasus). Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia
< 15 tahun.

2.3 Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu organisme aerob
yang tumbuh lambat dengan struktur dinding sel kompleks yang mengandung asam mikolat,
suatu asam lemak 70-80 karbon, dan arabinogalaktan yang terikat pada asam muramat.
Kandungan lipid yang tinggi menyebabkan organisme bersifat tahan asam pada pewarnaan
(resisten terhadap perubahan warna dengan asam-alkohol), seperti digunakan pada metode
pewarnaan Ziehl-Neelsen atau Kinyoun yang digunakan untuk mengidentifikasi organisme
ini. M. tuberculosis dapat dibedakan dari mikobakteri lain dengan tidak adanya pigmentasi,
dengan angka pertumbuhannya yang lambat, dengan waktu penggandaan 24-36 jam, dan
dengan penggunaan probe DNA spesifik.4

2.4 Cara Penularan5

 Sumber penularan adalah pasien TB dengan BTA positif.


 Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
 Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar

3
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa
jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
 Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
 Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

2.5 Faktor Risiko


Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko
infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).3
 Risiko infeksi TB
Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang
dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang
tidak sehat (higiene dan sanitasi yang tidak membaik), tempat penampungan umum (panti
asuhan, penjara atau panti perawatan lain) yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.

Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien
dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas,
produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan
yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang baik.

Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya.
Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien
anak. Hal tersebut karena:

a. Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas
anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit.
b. Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya
terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi
sputum.
c. Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di
daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.

 Resiko sakit TB

4
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB.

a. Usia
Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi
menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur).
Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan
pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB
diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB). Pada bayi, rentang waktu antara
terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya
timbul gejala yang akut.

a. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi
positif) dalam 1 tahun terakhir.
b. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang, pengangguran,
pendidikan yang rendah.
c. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan,
transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).
d. Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.

2.6 Patogenesis1,6,7
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil (< 5 m), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non-spesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan
makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika

5
fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Gambar 1. Patogenesis TB1,6,7


2.7 Manifestasi Klinis
Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis sangat bervariasi dan
bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman TB, pejamu, serta
interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi kuman,
sedangkan faktor pejamu bergantung apda usia, dan kompetensi imun, serta kerentanan
pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala
walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks. Manifestasi klinis TB
terbagi dua, yaitu maniestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ/lokal. Gejala
sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:7,8

6
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat
atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare.
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, SSP, tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut:7,8
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri,
dan kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

2.8 Diagnosis1,8

7
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada
pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada
biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal,
yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen
(sputum). Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa
karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan
parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada
dewasa. Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5000
kuman dalam 1 ml dahak. Kesulitan kedua, pengambilan spesimen/sputum sulit dilakukan.
Pada anak, walaupun batuknya berdahak, biasanya akan akan ditelan sehingga diperlukan
bilasan lambung yang diambil melalui nasogatrik tube (NGT) dan harus dilakukan oleh
petugas berpengalaman. Cara ini tidak menyenangkan bagi pasien. Dahak yang representatif
untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah dahak yang kental dan purulent, berwarna
hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml.
Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang seperti uji tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada. Adanya
riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, dan foto paru
yang mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak telah
sakit TB. Meskipun demikian, sumber penularan atau kontak tidak selalu dapat
teridentifikasi, sehingga analisis yang seksama terhadap semua data klinis sangat diperlukan.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada apusan langsung
(direct smear), dan atau biakan yang merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard),
atau gambaran PA TB.

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional


Tuberkulosis Anak (PNTA) yang telah tersebar luas dan telah diadopsi oleh Departemen
Kesehatan menjadi Program Pemberantasan TB Nasional. Namun, dalam pelaksanaannya
terdapat beberapa revisi yang diajukan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.

8
Tabel 4. Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak1,7,8

Catatan :
- Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
- Jika dijumpai skrofuloderma**, pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
- Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
- Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku.
- Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
- Gambaran sugestif TB, berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobular; kalsifikasi dengan infiltrat;
atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena
diperlakukan secara khusus.
- Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka
sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.
- Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤7 hari) harus
dievaluasi dengan sistem skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB
anak.
- Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor ≥6 (skor maksimal 13).
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan jumlah skor yang lebih
atau sama dengan 6 (≥ 6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat
anti tuberkulosis). Untuk mendiagnosis TB di sarana yang memadai, sistem skoring diatas
digunakan sebagai uji tapis (screening test). Bila diperlukan, dilengkapi dengan pemeriksaan

9
penunjang lainnya, seprti bilas lambung (BTA dan kultur M. Tb), patologi anatomi, pungsi
pleura, pungsi lumbal, CT-scan, funduskopi, foto rontgen tulang, dan sendi.

2.9 Pemeriksaan penunjang


Uji Tuberkulin8
Masih banyak dipakai terutama pada anak-anak. Tes tuberkulin dilaukan dengan cara
Tes Mantoux: 0,1 cc tuberkulin PPD 5 TU intra cutan. Dinilai setelah 48 – 72 jam.Didapatkan
indurasi kemerahan 10 – 15 mm.
Radiologis7,8
Gambaran foto polos pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat
dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks yang normal (tidak terdeteksi secara
radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang
lainnya mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran pada TB milier. Secara umum, gambaran
radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut :

 Perbesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat


 Konsolidasi segmental / lobar
 Milier
 Kalsifikasi dengan infiltrat
 Atelektasis
 Kavitas
 Efusi pleura
 Tuberkuloma

Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus disertai
dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus biasanya lebih jelas
pada foto lateral. Sebagai pegangan umum, jika dijumpai ketidaksesuian (diskongruensi)
antara gambaran radiologis yang berat dan gambaran klinis ringan, maka harus dicurigai TB.
Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan lain seperti
CT scan toraks..
Mikrobiologis7,8
Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji tuberkulin, dan
gambaran radiologis paru. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada
pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua
macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untuk menemukan BTA dan
pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis.

2.11 Penatalaksanaan

10
Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara
pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu,
penting dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan sumber infeksi juga harus
mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk
menunjang keberhasilan pengobatan. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenai pentingnya
menelan obat secra teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap
jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum, dan sebagainya.9
Obat utama TB (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid
(Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan
utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain (second
line) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide,
prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin,
amikacin, dan capreomycin yang digunakan jika terjadi MDR.1,7,9
Prinsip dasar OAT adalah harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk selaput
otak. Farmakokinetik OAT pada anak berbeda dengan orang dewasa. Toleransi anak terhadap
dosis obat per kgBB lebih tinggi.9

Nama obat Dosis harian Dosis Efek samping


(mg/kgBB/hari) maksimal
(mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaski kult,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye
kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, arthralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optic, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah-
hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
Tabel 6. Obat Antituberkulosis yang Biasa Dipakai dan Dosisnya1,7,9

*Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10


mg/kgBB/hari.

11
**Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer denga OAT lain karena dapat menganggu
bioavailibilitas rifampisin. Rifampisin di absorpsi baik dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).

Paduan Obat TB
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu
relative lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan
ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.9

Gambar 3. Paduan OAT1,7,9

Untuk beberapa kasus TB anak, selain OAT perlu diberikan juga steroid berupa
prednisone dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3. Untuk efusi pleura TB dan
peritonitis TB asites, prednison diberikan selama 2 minggu dosis penuh, dilanjutkan dengan 2
minggu penurunan dosis bertahap (tapering off). Untuk meningitis TB, prednison diberikan
selama 4 minggu dosis penuh dan 4 minggu tappering off.9

Fixed Dose Combination (FDC)


Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan (adherence) pasien dalam
menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Untuk mengatasi
hal tersebut, dibuat suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis yang telah ditentukan, yaitu
FDC atau Kombinasi Dosis Tetap (KDT).1,7,9

Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:\

12
 Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H (Isoniazid), dan
Z (Pirazinamid) yang digunakan dalam tahan intensif
 Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H 9Isoniazid)
yang digunakan pada tahap lanjutan.

Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak dan
komposisi dari tablet KDT tersebut.

Tablet berikut ini adalah contoh dari dosis KDT yang komposisi tablet RHZ adalah
R=75mg, H=50mg, Z=150mg dan komposisi tablet RH adalah R=75mg dan H=50mg.

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat rumusan mengenai FDC
pada anak seperti tabel dibawah ini:

Berat badan (kg) 2 bulan RHZ (75/50/150 mg) 4 bulan RH (75/50 mg)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Tabel 7. Dosis Kombinasi pada TB Anak9

Catatan :

 Bila BB > 33 kg, dosis disesuaikan dengan tabel sebelumnya. (perhatikan dosis
maksimal)
 Bila BB < 5 kg, sebaiknya dirujuk ke RS
 Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet
 Perhitungan pemberian tablet di atas sudah memperhatikan kesesuaian dosis per
kgBB
2.12 Pencegahan
Imunisasi
Tujuan imunisasi adalah membentuk kekebalan demi mencegah penyakit pada diri
sendiri dan orang lain sehingga kejadian penyakit menular menurun dan bahkan dapat
menghilang dari muka bumi. Vaksin BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk
bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi
otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak
mengganggu struktur otot dan sebagai tanda baku). Penyuntikan harus dilakukan perlahan-
lahan ke arah permukaan (sangat superfisial) sehingga terbentuk suatu benjolan (wheal)
berwarna lebih pucat daripada kulit sekitarnya dan tampak gambaran pori-pori.10,11
Kemoprofilaksis9
Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan sekunder.
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB pada anak,

13
sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit.
Pada kemoprofilaksis primer diberikan INH dengan dosis 5-10 mg/kg/bb/hari, dosis tunggal,
pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi
belum terinfeksi(uji tuberkulin negatif). Obat diberikan selama 6 bulan. Pada akhir bulan
ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif, profilaksis
dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status
TB pasien. Pada akhir bulan keenam pemberian profilaksis , dilakukan lagi uji tuberkulin,
jika tetap negatif profilaksis dihentikan, jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif,
evaluasi status TB pasien. Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah
terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, klinis, dan radiologis
normal. Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah usia balita, menderita morbili,
varisela dan pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid),
usia remaja, dan infeksi TB paru (konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan).
Lama pemberian adalah 6-12 bulan.

BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nam : An. NAI
Umur : 15 tahun
Ayah / ibu : Tn. Itra Delpi / Ny. Lisma Reni
Suku : Minang
Alamat : Sebrang Taluk
Tanggal masuk : 05 Juli 2017

14
ALLOANAMNESIS
Diberikan oleh : Ibu pasien
Keluhan utama :Demam sejak 2 bulan SMRS
Riwayat penyakit sekarang :
- Sejak 2 bulan SMRS, ibu pasien mengeluhkan anaknya demam, tidak terlalu tinggi,
muncul tiba-tiba, dirasakan naik turun, terdapat keringat malam, tidak disertai
menggigil. Demam disertai dengan batuk. Batuk berdahak tanpa disertai sesak nafas.
Pasien sudah berobat ke puskesmas, setelah minum obat keluhan berkurang, namun
setelah obat habis keluhan muncul kembali. Bab dan bak tidak ada keluhan.
- 1 minggu SMRS, ibu pasien mengeluhkan anaknya tidak mau makan, dan badan pasien
tampak semakin kurus. Keluhan demam dan batuk batuk berdahak masih ada. Dahak
berwarna hijau kental, darah tidak ada. Bab dan bak tidak ada keluhan. Kemudian
pasien dibawa berobat ke puskesmas dan dirujuk ke RSUD Teluk Kuantan

Riwayat penyakit dahulu :


Tidak pernah mengalami keluhan yang sama
Riwayat penyakit asma tidak ada
Riwayat penyakit jantung tidak ada
Riwayat alergi tidak ada

Riwayat penyakit keluarga :


Terdapat riwayat anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama yaitu kakek dan
paman pasien
Terdapat anggota keluarga yang pernah mengonsumsi obat batuk dalam jangka waktu lama
dari dokter yaitu paman pasien
Pernah tinggal serumah selama 3 bulan

Riwayat orang tua :


Ayah bekerja sebagai wiraswasta
Ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga

15
Riwayat kehamilan dan kelahiran:
Pasien lahir cukup bulan
Lahir normal ditolong oleh bidan, setelah lahir pasien langsung menangis, pasien
mendapatkan suntik vitamin K ketika baru lahir
Berat badan lahir : 2800 gram
Panjang badan lahir : 48 cm

Riwayat makan dan minum :


ASI : 0 - 6 bulan
MPASI : 6 bulan - 2 tahun
Makanan biasa : 2 tahun - sekarang

Riwayat imunisasi :
Imunisasi lengkap BCG (+), DPT (+), Polio (+), Hepatitis B (+), Campak (+)

Riwayat pertumbuhan :
Berat badan lahir : 2800 gram
Berat badan masuk : 33 kg
Panjang badan lahir : 48 cm
Panjang badan sekarang : 150 cm

Riwayat perkembangan :
Pasien sekarang kelas 3 SMP, prestasi rata-rata
Prestasi sekolah biasa saja

Keadaan perumahan dan tempat tinggal :


Pasien tinggal di rumah permanen
Ventilasi baik
Cahaya cukup
Sekitar rumah cukup bersih
Sumber air minum dan MCK adalah dari air sumur

PEMERIKSAAN FISIK

16
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : komposmentis

Tanda – tanda vital


TD : 110/70
Suhu : 37,8 ºC
Nadi : 98 x/menit, regular, isi cukup
Nafas : 20 x/menit

Gizi
TB : 150 cm
BB : 33 kg, sebelum sakit 38 kg
LILA : 22 cm
Lingkar kepala : 50 cm

Kepala : normocephali

Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut

Mata
Konjungtiva : konjungtiva pucat (-/-)
Sklera : sklera kuning (-/-)
Pupil : pupil isokor, diameter pupil 2 mm/2mm
Reflex cahaya : reflex cahaya direct (+/+), indirect (+/+)

Telinga : dalam batas normal

Hidung : dalam batas normal

Mulut
Bibir : kering
Selaput lendir : basah
Palatum : utuh
Lidah : tidak kotor
Gigi : tidak ada caries

Leher : pembesaran KGB (-)

17
Kaku kuduk : tidak ditemukan

DADA
Inspeksi : gerakan dinding dada simetris kiri dan knan, retraksi (-), ictus cordis
tidak
terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra SIK 5
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, batas jantung normal
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/-), bunyi jantung I dan II
normal bising jantung (-)

ABDOMEN
Inspeksi : perut datar simetris kiri dan kanan
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)

Alat kelamin : Laki-laki, dalam batas normal, kelainan kongenital (-)


Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
Status neurologis : reflek fisiologis (+/+), reflek patologis (-/-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Laboratorium lengkap
Pemeriksaan tanggal ( 05/ 07 / 2017 )
Darah rutin
Leukosit : 13 x 103/uL
Eritrosit : 4,53 x 106/uL
Hb : 13,0 g/dL
Hematokrit : 32,9 %
MCV : 83,7
MCH : 26,6
MCHC : 31,0

18
Trombosit : 243 x 103

Rontgen thoraks

Cor : besar dan bentuk normal


Pulmo : corakan bronkovaskuler normal
Infiltrate pada para kardial dextra
Kesan : cor : dalam batas normal
Pulmo : bronkopneumonia

Hal – hal penting dari anamnesis


∙ Demam sejak 2 bulan SMRS
∙ Batuk sejak 2 bulan SMRS
∙ Riwayat keluarga minum obat 6 bulan
∙ Nafsu makan turun, berat badan turun 5 kg

Hal – hal penting dari pemeriksaan fisik


∙ Suhu 37,8º C
∙ Auskultasi paru : Rhonki (+/+)
Hal – hal penting dari pemeriksaan laboratorium rutin
∙ Leukosit 13.000
∙ CRP reaktif (192 mg/L)

19
Hal – hal yang penting dari pemeriksaan penunjang
Rontgen thoraks : Pulmo : bronkopneumonia

Diagnosis Kerja
Pneumonia dd et causa suspek TB Paru

Medikamentosa
IVFD 2A 10 tp/makro

Inj, Cefotaxim 1 gr/ 12 jam IV

Paracetamol 4 x ¾ tab

Ambroxol 3 x 5 cc syr

Multivitamin 2 x 5 cc

Ketrizine oralbase

Diet TKTP

Cek sputum 3 hari

Mantoux test

Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungtionam : bonam

Follow Up
Hari/ Subjektif Objektif Assesment Terapi
tanggal
Batuk (+) KU/Kes : TSS / CM Pneumonia dd IVFD 2A 10
06/07/2017 berdahak, dahak TTV tp/makro
et causa suspek
berwarna hijau, TD : 110/70 mmHg Inj, Cefotaxim 1
demam, (+), nafsu T : 37,8º C TB Paru gr/ 12 jam IV
makan turun, N : 80 x/i Paracetamol 4 x
sesak (-) RR : 22 x/i ¾ tab
Ambroxol 3 x 5
St. generalis : cc syr
Mata : konjungtiva Multivitamin 2

20
anemis (-/-), sclera x 5 cc
ikterik (-/-), pupil Ketrizine
bulat isokor d = oralbase
2mm/2mm, reflek Diet TKTP
cahaya (+/+)
Leher : pembesaran
KGB (-)
Thoraks : rhonki
basah kasar di kedua
lapangan paru (+/+),
wheezing(-/-), bunyi
jantung I dan II
normal, gallop(-),
murmur(-)
Abdomen : perut
tampak datar, supel,
nyeri tekan(-),
hepatomegali(-),
splenomegali(-)
Ekstremitas : akral
hangat, crt < 2 detik

Cek sputum 3 hari


Mantoux test

Batuk (+) KU/Kes : TSS / CM Pneumonia dd IVFD 2A 10


07/07/2017 berdahak, dahak TTV tp/makro
et causa suspek
berwarna hijau TD : 110/70 mmHg Inj, Cefotaxim 1
kental, demam, T : 36,6º C TB Paru gr/ 12 jam IV
(-), nafsu makan N : 85 x/i Paracetamol 4 x
turun, sesak (-) RR : 22 x/i ¾ tab jika
demam
St. generalis : Ambroxol 3 x 5
Mata : konjungtiva cc syr
anemis (-/-), sclera Multivitamin 2
ikterik (-/-), pupil x 5 cc
bulat isokor d = Ketrizine
2mm/2mm, reflek oralbase salep
cahaya (+/+) Diet TKTP
Leher : pembesaran
KGB (-)
Thoraks : rhonki
basah kasar di kedua
lapangan paru (+/+),
wheezing(-/-), bunyi
jantung I dan II
normal, gallop(-),
murmur(-)
Abdomen : perut
tampak datar, supel,

21
nyeri tekan(-),
hepatomegali(-),
splenomegali(-)
Ekstremitas : akral
hangat, crt < 2 detik

Hasil Mantoux test


tanggal 19/3/2016

Batuk (+) KU/Kes : TSS/ CM Pneumonia dd IV plug


08/07/2017 berdahak, dahak TTV Inj, Cefotaxim 1
et causa suspek
berwarna putih TD : 110/70 mmHg gr/ 12 jam IV
kental, demam, T : 36,5º C TB Paru Paracetamol 4 x
(-), nafsu makan N : 80 x/i ¾ tab jika
turun, sesak (-) RR : 22 x/i demam
Ambroxol 3 x 5
St. generalis : cc syr
Mata : konjungtiva Multivitamin 2
anemis (-/-), sclera x 5 cc
ikterik (-/-), pupil Ketrizine
bulat isokor d = oralbase salep
2mm/2mm, reflek Diet TKTP
cahaya (+/+)
Leher : pembesaran
KGB (-)
Thoraks : rhonki
basah kasar di kedua
lapangan paru (+/+),
wheezing(-/-), bunyi
jantung I dan II
normal, gallop(-),
murmur(-)
Abdomen : perut
tampak datar, supel,
nyeri tekan(-),
hepatomegali(-),
splenomegali(-)
Ekstremitas : akral
hangat, crt < 2 detik

BTA sputum hari I =


Negatif
BTA sputum hari II =
Negatif
Hasil Mantoux test
tanggal 19/3/2016

Batuk (+) KU/Kes : TSS / CM TB Paru Pasien rawat


09/07/2017 berdahak, dahak TTV jalan

22
berwarna putih T : 37º C
kental, demam, N : 80 x/i Terapi :
(-), nafsu makan RR : 22 x/i Isoniazid
turun, sesak (-) 1x750mg/hari
St. generalis : Pirazinamid
Mata : konjungtiva 1x450 mg
anemis (-/-), sclera Rifampisin
ikterik (-/-), pupil 1x350 mg
bulat isokor d = Vit. B6
2mm/2mm, reflek 1kali/hari
cahaya (+/+) Ambroxol
Leher : pembesaran 3x5cc/hari
KGB (-)
Thoraks : vesikuler
(+/+), rhonki(-/-),
wheezing(-/-), bunyi
jantung I dan II
normal, gallop(-),
murmur(-)
Abdomen : perut
tampak datar, supel,
nyeri tekan(-),
hepatomegali(-),
splenomegali(-)
Ekstremitas : akral
hangat, crt < 2 detik

BTA sputum hari I =


Negatif
BTA sputum hari II =
Negatif
BTA sputum hari III =
Negatif
Hasil Mantoux test =
indurasi dengan
ukuran 12 mm
(positif)

23
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Diagnosis tuberculosis didapatkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan pasien mengalami demam sudah dua
bulan yang sering hilang timbul. Demam pada pasien tuberculosis biasanya subfebril
menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40’C.
Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar tetapi kemudian timbul kembali. Keadaan
ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
tuberculosis yang masuk.
Pasien juga mengeluh batuk dialami sudah dua bulan dengan dahak berwarna hijau
kental. Gejala ini banyak ditemukan pada tuberculosis. Batuk terjadi karena adanya iritasi

24
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah
penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-
bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian
setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk
darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding
bronkus.

Pasien kadang-kadang berkeringat malam, nafsu makan berkurang sehingga berat


badan turun 5kg. Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa tidak nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun) dan keringat
malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.
Pemeriksaan fisik thoraks didapatkan bunyi tambahan rhonki di apeks kiri dan
kanan paru. Batuk pada akhir ekspirasi menyebabkan kolapsnya beberapa alveolus yang
basah sehingga mengeluarkan bunyi gemercik kalau terbuka kembali selama inpirasi. Tanda
ini, kalau ada di seluruh apeks paru memungkinkan suatu tanda tuberculosis paru.

Hasil pemeriksaan darah rutin menunjukan leukosit cukup meningkat dan CRP reaktif
(192 mg/L) menandakan adanya suatu proses inflamasi. Pada pasien ini, gambaran foto
rontgen thoraks didapatkan Infiltrate pada para kardial dextra kesan bronkopneumonia.
Dari gejala klinis pemeriksaan fisik, laboratorium dan rontgen thoraks pasien
didiagnosis awal pneumonia dd et causa suspek tuberculosis paru. Penatalaksanaan awal pada
pasien adalah simptomatik untuk keluhan demam dan batuknya yaitu Inj, Cefotaxim,
Paracetamol 4 x ¾ tab jika demam, Ambroxol, serta Multivitamin dan direncanakan
pemeriksaan BTA 3 kali dan uji tuberculin untuk menegakkan diagnosis.
Setelah hasil pemeriksaan sputum BTA 3 kali pada pasien dilakukan didapatkan hasil
negative, namun setelah hasil uji tuberculin didapatkan tes mantoux indurasi dengan ukuran
12 mm (positif) maka berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien ini didiagnosis sebagai tuberculosis paru.. Paduan obat yang disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasis dosis tetap. Obat yang diberikan pada pasien ini yaitu
isoniazid, pirazinamid, rifampisin, vitamin B6 dan ambroxol. Terapi awal tuberculosis pada
pasien ini diberikan selama 2 minggu untuk menilai respon obat pada pasien anak.

25
Isoniazid (INH) tuberkulostatis paling kuat terhadap M. tuberculosis (dalam fase
istirahat) dan bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Aktif terhadap
kuman yang berada intraseluler dalam makrofag maupun di luar sel (ekstraseluler)
mekanisme kerjanya berdasarkan terganggunya mycolitic acid yang diperlukan untuk
membangun dinding bakteri. Pirazinamid mekanisme kerjanya berdasarkan pengubahannya
menjadi asam pirazinat oleh enzim pyrazinimase yang berasal dari basil tuberculosis. Begitu
pH dalam makrofag diturunkan, maka kuman yang berada di “sarang” infeksi akan menjadi
mati. Rifampin mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim
bakteri RNA-polymerase, sehingga sintesa RNA terganggu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kelompok Kerja TB Anak. Diagnosis dan tatalaksana tuberkulosis anak. Jakarta:


DEPKES – IDAI; 2008.
2. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis. Jakarta: Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2009.h.323-8.
3. Basir D, Kartasasmita CB. Tuberkulosis epidemiologi. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.165-6.
4. Behrma RE, Kliegman RM, ed. Nelson esensi pediatri. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;
2010.h.431.
5. Werdhani R A. Patofisiologi, diagnosis, dan klasifikasi tuberkulosis. Jakarta:
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI; 2010.

26
6. Rahajoe NN, Setyanto DB. Patogenesis dan perjalanan alamiah. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.169-74.
7. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Petunjuk
teknis manajemen TB anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia;
2013.
8. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis tuberKulosis pada anak.Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.195-211.
9. Rahajoe NN, Setiawati L. Tatalaksana TB. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.214-26.
10. Imunisasi. Diunduh dari :http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/beberapa-
hal-yang-perlu-diketahui-tentang-imunisasi.html, 20 Maret 2016.
11. Boediman I, Said M. Imunisasi BCG pada anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.252-6.

27

Anda mungkin juga menyukai