Apendisitis Akut
Oleh:
Satria Zulindo
0910312130
Preseptor:
dr. Ewi Astuti, Sp.B
1
BAB 1
PENDAHULUAN
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan
terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan
tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena
peritonitis dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang
menjelaskan bahwa Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kuarng dari 1 tahun
jarang dilaporkan. Insiden tertinggi terjadi pada usia 20-30 tahun, setelah itu menurun.
Appendisitis akut yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan appendisitis
perforasi. Perforasi pada appendiks dapat menyebabkan terbentuknya kavitas dengan abses
yang berisis pus, yang dapat pecah dan menyebabkan peritonitis. Pada kasus seperti ini,
2
laparotomi emergensi dan irigasi dari rongga peritoneal sangat penting untuk dilakukan. Bila
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Appendiks
Apendiks (umbai cacing) merupakan organ digestif yang terletak pada rongga
abdomen bagian kanan bawah. Apendiks berbentuk tabung dengan panjang ±10 cm dan
berpangkal di sekum. Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di distal.
Sedangkan pada bayi, apendiks berbentuk kerucut yaitu melebar di proksimal dan
pada letak terhadap struktur-struktur sekitarnya yaitu retrosekal, retroileal, ileosekal dan di
rongga pelvis1,2. Apendiks dipersarafi oleh persarafan otonom parasimpatis dari nervus
vagus dan persarafan simpatis dari nervus torakalis X. Persarafan ini yang menyebabkan
radang pada apendiks akan dirasakan periumbilikal. Vaskularisasi apendiks adalah oleh
4
Fungsi appendiks dalam tubuh manusia sampai saat ini masih belum sepenuhnya
dipahami. Salah satu yang dikatakan penting adalah terjadi produksi imunglobulin oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang menghasilkan IgA. GALT ini sama dengan
lapisan pada sepanjang saluran cerna lainnya. Karena jumlahnya yang sedikit dan
saluran cerna. Appendiks juga menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL setiap harinya. Aliran
ini akan dialirkan ke sekum dan berperan untuk menjaga kestabilan mukosa apendiks.
Peritoneum merupakan selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan
dinding perut bagian dalam. Peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau keadaan aseptik
pada peritoneum ini disebut peritonitis. Peritonitis termasuk suatu kegawatdaruratan yang
5
dapat disertai dengan bakterimia atau sepsis. Peritonitis merupakan komplikasi yang umum
peritonitis primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi
monomikrobial yang kumannya berasala dari penyebaran hematogen. Bentuk ini dikenal
sekunder merupakan infeksi yang berasal dari intrabdomen akibat perforasi organ berongga
dapat terjadi akibat kegagalan respon pertahanan tubuh seperti pada pasien
(CAPD).3,4
difus. Peritonitis lokal dapat terjadi misalnya pada perforasi ulkus peptikum yang mengenai
cavum peritoneal bagian supracolic saja karena penyebaran infeksinya dibatasi oleh kolon
transversum secara anatomi. Sedangkan peritonitis difus dapat terjadi akibat pengaruh
seluruh kavum peritoneal. Selain itu, gerakan peristaltik usus, virulensi kuman,
Sampai saat ini, peritonitis masih merupakan masalah kesehatan umum yang terjadi
pada banyak negara. Appendisitis merupakan penyebab tersering dari munculnya peritonitis
di Negara maju, yakni mencapai 82% dari pasien dengan appendisitis yang mengalami
6
peritonitis. Kejadian peritonitis dengan etiologi infeksi bakteri akut memiliki angka
morbiditas dan mortalitas yang bervariasi, diantaranya pada negara maju, tingkat mortalitas
dari pasien dengan appendisitis yang mengalami peritonitis adalah 0,04%, sedangkan pada
Negara Afrika Selatan yang merupakan Negara berkembang, angka mortalitasnya adalah
2%. Angka mortalitas yang tinggi ini disebabkan oleh keterlambatan diagnosis pasien yang
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 841 pasien oleh Gauzit di Prancis,
didapatkan hasil bahwa penyebab peritonitis ditemukan 32% berasal dari kolon, 31%
berasala dari appendiks, 18% dari duodenum, 13% dari usus halus, dan 6% dari traktus
biliaris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab peritonitis terbanyak adalah
Peritonitis dapat terjadi karena etiologi yang beragam. Peritonitis dapat terjadi akibat
adanya perforasi organ berongga, inflamasi, ataupun iskemia pada sistem gastrointestinal.
Berdasarkan klasifikasi, peritonitis sekunder merupakan peritonitis yang paling umum yakni
sekitar 90% dari keselruhan kasus bedah. Peritonitis sekunder disebabkan oleh adanya
kontaminasi bakteri yang berasal dari organ intraabdomen ataupun dari sumber luar (seperti
luka tusuk). Diantaranya adalah appendisitis perforasi, perforasi gaster, perforasi kolon, dan
juga komplikasi postoperatif. Faktor yang dapat menentukan keparahan dari timbulnya
peritonitis adalah tipe bakteri yang menginfeksi, durasi dari terjadinya kontaminasi kuman,
7
Appendisitis akut merupakan penyebab tersering dari munculnya peritonitis di
Negara maju, yakni mencapai 82% dari pasien appendisitis yang mengalami peritonitis.
Perjalanan penyakit appendisitis akut yang dapat menyebabkan terjadinya perforasi hingga
a. Stadium Kataralis
Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks, akumulasi
akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga terjadi edem mukosa, submukosa,
serosa hingga peritoneum visceral. Akumulasi mukus baik bagi perkembangan bakteri
aerob dan anaerob saluran cerna.Mukus lalu berubah menjadi pus oleh bakteri. Edema
Resolusi dapat terjadi pada stadium ini, bisa karena spontan maupun dengan antibiotik
b. Stadium Purulent
Udema dan pus menyebabkan penurunan aliran vena dan arteri, sehingga terjadi
akut.Pada stadium ini peradangan telah mengenai seluruh dinding apendiks dan terjadi
c. Stadium Gangrenosa
Aliran arteri sangat terganggu mengakibatkan nekrosis/ gangren dengan bakteri yang
menembus lumen usus ke rongga peritoneum. Peradangan ini akan menyebabkan masa
lokal yang terdiri dari omentum dan usus membatasi penyebaran bakteri dan melokalisir
radangnya. Masa ini disebut apendisitis infiltrate, bila masa lokal itu berisi pus maka
8
d. Stadium perforasi
Perforasi dari lumen apendiks ke rongga peritoneum melalui dinding yang gangren
Pada sebagian kasus, apendisitis dapat melewati fase akut tanpa perlu dilakukannya
operasi. Akan tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan menyebabkan eksaserbasi akut
sewaktu-waktu dan dapat langsung berujung pada komplikasi perforasi. Pada anak-anak dan
geriatri, daya tahan tubuh yang rendah dapat meyebabkan sulitnya terbentuk infiltrat
apendisitis sehingga risiko perforasi lebih besar3,11,12. Faktor risiko lain perforasi diantaranya
sebelumnya.
9
Gambar 2.5 Patogenesis Apendisitis11
Peritonitis akut bermanifestasi klinis sebagai suatu akut abdomen. Manifestasi klinis
yang mucul dapat dibagi 2, yakni manifestasi klinis local di abdomen, dan juga manifestasi
klinis sistemik yang muncul akibat respon sistemik dari tubuh. Temuan klinis lokal yang
bisa didapatkan adalah nyeri abdomen menyeluruh, defans muscular, distensi abdomen,
penurunan bising usu, yang menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum parietal yang
menyebabkan ileus. Sedangkan manifestasi sistemik yang muncul dapat berupa demam,
takikardi, berkeringat, takipnea, dehidrasi, oliguria, hingga syok. Syok dapat muncul akibat
efek campuran dari hipovolemi dan septicemia dengan disfungsi organ multipel. Bila
terdapat syok yang tidak dimengerti sebabnya, maka hal tersebut menunjukkan adanya
dikenal dengan gejala klasik. Pada awal nyeri timbul, nyeri dirasakan pada area
periumbilikal, atau difus, yang sulit untuk dilokalisasi. Rasa nyeri ini juga diikuti dengan
adanya mual dan muntah. Hal ini karena peningkatan tekanan intraluminal appendiks yang
akan menstimulasi unjung saraf aferen pada visera yang menimbulkan rasa nyeri yang
bersifat tumpul dan difus pada region umbilical atau bagian bawah abdomen. Seiring
progresivitas dari berkembangnya penyakit, nyeri yang dirasakan pasien berpindah pada
kuadran kanan bawah abdomen karena peritoneum parietal sudah teriritasi. Biasanya
perpindahan nyeri ini muncul selama 12-24 jam sejak onset timbulnya nyeri. Karakter nyeri
yang dirasakn apasien juga berubah, dari awalnya dirasakna tumpul dan sulit dilokalisir
10
menjadi nyeri tajam. Ketika appendisitis akut ini menjadi appendisitis perforasi yang
2.5 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Peritonitis merupakan kasus darurat yang harus segera ditatalaksana. Pasien biasanya
datang dengan sangat kesakitan, maka yang penting untuk ditanyakan adalah sifat keluhan.
a. Nyeri
Yang perlu ditanyakan adalah sifat nyeri yang dirasakan pasien, lokasi nyeri, berapa
lama nyeri sudah dirasakan dan faktor yang memperberat dan memperingan nyeri. Pada
kasus peritonitis yang diakibatkan oleh appendisitis perforasi, pada awalnya pasien akan
merasakan nyeri pada abdomen bawah yang sulit untuk dilokalisasi oleh pasien,
kemudian nyeri tersebut akan berpindah ke bagian abdomen kanan bawah dengan sifat
nyeri yang tajam pada bagian tersbut. Ketika pasien terlambat untuk berobat, maka hal
tersebut akan menyebabkan timbulnya perforasi dari appendisitis. Nyeri yang dirasakna
pergerakan.
b. Demam
Demam terjadi akibat infeksi di appendiks dan telah menyebar ke rongga peritoneal
c. Mual
d. Muntah
11
Pada appendisitis, pasien belum tampak adanya distensi abdomeb dan bising usu
masih normal. Pada palpasi didapatkan nyeri tekan yang terbatas pada region kuadran kanan
a. Rovsing’s sign
b. Psoas sign
Rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi sendi
panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel
c. Obturator sign
Fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi telentang. Nyeri timbul apabila
mengeluhkan nyeri pada seluruh abdomen. Pada inspeksi didapatkan distensi pada inspeksi
abdomen, kemudian pada auskultasi didapatkan penurunan bising usus, pada palpasi
12
didapatkan nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh lapangan abdomen. Adanya defans
Jika dilakukan Rectal Tousche (RT), pasien dapat mengeluhkan nyeri pada arah
pukul 10 yang menandakan appendiks berada di posisi pelvic, sedangkan sfinkter ani
pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, profil pembekuan darah, dan juga
fungsi hepar dan renal. Pemeriksaan darah yang dapat menggambarkan adanya proses
infeksi pada appendiks akan menunjukkan leukositosis sekitar 10.000 hingga 18.000/mm3.
Sementara pada peritonitis dapat terjadi leukositosis yang lebih dari 18.000/mm3.5
pemeriksaan Rontgen, Ultra Sono Graphy (USG), dan CT-Scan. Pada hasil USG dikatakan
pasien positif mengalami appendisitis adalah dengan besar appendiks yang lebih besar atau
sama dengan 6 mm. diagnosis menggunakan USG ini memiliki angka sensitivitas 55-96%
dan spesifitas 85-98% untuk mendiagnosis appendisitis akut. Pemeriksaan USG ini juga
dapat menggambarkan adanya appendisitis pada anak-anak atau ibu hamil.3,8 Pada
fossa iliaka dextra. Sementara pemeriksaan CT-Scan menilai diameter appendiks, gambaran
Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan suatu alat
bantu untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score. Dengan memperoleh nilai
13
lebih dari 7, maka apendisitis akut sudah umumnya dapat ditegakkan5. Komponen Alvarado
Score adalah:
Skor 0-4 : Kemungkinan besar tidak namun bukan tidak mungkin apendisitis
Diagnosis banding yang harus dipikirkan pada kasus seperti ini adalah:
a. Gastroenteritis akut
b. Hepatitis
c. Ureterolitiasis
2.7 Penatalaksanaan
14
Prinsip dari penatalaksanaan peritonitis adalah memperbaiki cairan dan elektrolit
pasine, ontrol sepsis secara operatif, dan pemberian antibiotic sistemik merupakan terapi
utama peritonitis.
pemberian cairan intravena. Perembesan cairan yang massif dari cairan ke rongga peritoneal
harus digantikan dengan cairan intravena dengan jumlah yang sesuai. Apabila terjadi toksik
sistemik, maka harus dilakukan pencatatan terhadap cairan yang masuk dan keluar dengan
memasang kateter urin. Pada pasien harus diberikan Ringer Lactate dengan tetesan cepat
dalam angka yang optimal serta mengontrol pengeluaran cairan melalui urin dengan kateter
urin.
pathogen oada rongga peritoneum setelah dilakukan pemeriksaan cairan dengan cara kultur.
Antibiotic inisial yang dapat diberikan antara lain sefalosporin generasi ketiga, ampicilin-
antibiotik yang tepat dilakukan setelah menunggu hasil kultur dan tes sensitivitas. Antibiotik
masih dilanjutkan pemberiannya sampai pasien afebris, dnegan nilai leukosit normal.
Pemasangan NGT juga dapat dilakukan untuk pasien yang mengeluhkan distensi atau perut
kembung.
15
Operasi yang dilakukan pada pasien peritonitis bertujuan untuk mengeliminasi
material utama yang menyebabkan infeksi dan juga mencegah timbulnya komplikasi yang
lebih lanjut. Kecuali pada kasus dini, operasi dapat dilakukan dengan eksplorasi pada
bakteri dan sudah perforasi. Pada peritonitis difus juga dilakukan pembilasan abdomen
dengan cairan kristaloid hangat, sehingga dapat membuang partikel-partikel yang sudah
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien dengan peritonitis adalah terjadinya
obstruksi usus akut akibat perlekatan peritoneum akibat infeksi. Hal ini ditandai dengan
bising usus yang meningkat. Ileus paralitik, residual abses, dan sepsis juga mungkin timbul.
Apabila terjadi sepsis yang tidak terkontrol, maka dapat berakibat terjadinya kegagalan
organ.3
2.9 Prognosis
Tingkat mortalitas pada pasien dengan peritonitis difus adalah sekitar 10%. Faktor
yang berkontribusi terhadap peningkatan angka mortalitas pasien adalah tipe penyakit
primer dan durasinya, dan juga berhubungan dengan kerusakan organ multipel sebelum
16
BAB 3
LAPORAN KASUS
Usia : 10 tahun
Alamat :
3.2 Anamnesa
Keluhan Utama
Nyeri perut sebelah kanan bawah sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri perut sebelah kanan bawah yang terus menerus sejak sehari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri semakin bertambah saat pagi hari sebelum masuk
rumah sakit dan dirasakan hampir diseluruh perut. Nyeri juga bertambah bila
pasien batuk. Nyeri berkurang apabila posisi pasien sedikit membungkuk dan
tidak bergerak.
Demam 3 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, menggigil, terus menerus
BAK (+) normal, BAB belum ada sejak pagi sebelum masuk rumah sakit.
17
Nafsu makan (+)
Riwayat Pengobatan
Tidak ada
Nafas : 20x/menit
Suhu : 37 oC
18
Status Interna
Paru
Perkusi : Sonor
Jantung
RIC V
Punggung
Perkusi : Sonor
19
Auskultasi : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Ekstremitas
(+), defans muscular (+/-) psoas sign (+), rovsing sign (+), obturator sign (+)
Perkusi : Hipertimpani
Laboratorium Rutin
PCV : 38%
Golongan darah :B
CT : 7.15
BT : 2.15
20
Rontgen Abdomen
USG Abdomen
3.6 Tatalaksana
Terapi medikamentosa
Ranitidin 2x 1
Ketorolac 2x1
Pro Laparotomi
21
S/ Nyeri (+) di seluruh lapangan perut terutama kanan bawah dan epigastrium. Perut
kembung (+). Demam (-). Mual (+), muntah (-), BAB (-)
Abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (+) seluruh region abdomen, nyeri lepas (+), defans
muscular (+), Psoas sign (+), Obturator sign (+), rovsing sign (+)
P/ Cefotaxime 2 x 1 gram
Informed consent
IVFD
Antibiotik
Laporan Operasi
Insisi pada midline abdomen, buka kutis, subkutis, fascia, dan peritoneum.
22
Melakukan eksplorasi dari kavitas abdomen, ditemukan appendiks, ukuran 10 x 2
cm dengan perforasi
Melakukan appendektomi
S/ Nyeri di bekas operasi, kembung (+); demam tidak ada; mual ada, muntah
Abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+) sekitar luka operasi
IVFD RL 24 tts/menit
Ketorolac 2 x 30 mg
23
Hari ke-2 Post Operasi (Senin, 16 Januari 2018)
S/ Nyeri di bekas operasi, kembung (+); demam tidak ada; mual ada, muntah
Abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (+), nyeri lepas (-) sekitar luka operasi, nyeri ulu
hati
P/ IVFD RL
Lanjutkan terapi
24
BAB 4
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien pria berusia 44 tahun di bangsal bedah RSUD Prof. Dr.
penunjang.
Awalnya, dari hasil anamnesis ditemukan keluhan utama pasien adalah nyeri perut
kanan bawah terus menerus sejak sehari sebelum masuk Rumah Sakit. Nyeri dirasakan
pasien awalnya ditengah perut lalu berpindah ke bagian kanan bawah, lalu dirasa semakin
memberat hingga hampir seluruh perut terasa nyeri. Nyeri berkurang ketika pasien sedikit
membungkuk dan tidak bergerak. Nyeri yang dialami pasien tersebut merupakan gejala khas
Peradangan terjadi akibat adanya obstruksi lumen yang biasanya disebabkan oleh adanya
fecolith sehingga meningkatkan sekresi mukus. Hal ini akan menyebabkan tekanan
selanjutnya dapat menjadi faktor resiko infeksi di lumen tersebut. Mulanya peradangan
dimulai dari mukosa, serosa dan ketika sudah sampai di peritoneum viseral maka akan terasa
nyeri di sekitar umbilikus akibat adanya saraf otonom nervus torakal X di daerah tersebut.
25
Bila peradangan telah sampai ke peritoneum parietal, maka nyeri menjadi somatik dan
Apabila hal ini terus berlanjut, maka proses peradangan akan mengenai arteri pada
appendiks sehingga menyebabkan nekrosis yang dapat mengalami perforasi. Sel-sel radang
akan keluar dan memenuhi rongga peritoneal yang akan bermanifestasi menjadi nyeri di
Pada pemeriksaan fisik di IGD ketika pertama kali pasien datang distensi abdomen
yang terlihat masih minimal. Auskultasi ditemukan bising usus menurun. Pada palpasi
ditemukan nyeri tekan di titik McBurney positif dan nyeri lepas positif. Tidak ditemukan
tanda defans maskular. Pemeriksaan obturator sign positif menandakan kemungkinan letak
appendiks di retrosekal. Psoas sign positif akibat adanya kontak muskulus psoas dengan
peritoneum di dekat appendiks. Rovsing’s sign pada pasien juga ditemukan positif. Pada
diagnosis appendisitis dengan kecurigaan peritonitis sehingga pasien dirawat inap untuk
Pada hari rawatan kedua sebelum dilakukan operasi, pasien mengeluhkan nyeri di
seluruh lapangan perut, kembung, dan nyeri semakin meningkat. Keadaan umum pasien
tampak sakit sedang, dengan suhu 37,4oC dan nadi 80x/menit. Pada pemeriksaan lokalis
abdomen tampak adanya distensi namun tidak ditemukan darm contour ataupun darm
steifung. Pada auskultasi didapatkan bising usus semakin menurun terutama di daerah
McBurney. Pada palpasi ditemukan nyeri tekan di seluruh lapangan abdomen pasien dan
26
nyeri lepas positif. Nyeri tekan di seluruh lapangan abdomen disertai dengan nyeri lepas
merupakan tanda dari peritonitis difus. Pada palpasi juga sudah ditemukan defans muscular
yang menandakan sudah terdapat rangsangan pada peritoneum parietal. Kemungkinan besar
pada pasien ini telah terjadi perforasi dari appendisitis sehingga proses infeksi yang
berlangsung dalam appendiks akan masuk ke dalam rongga peritoneal yang menyebabkan
Tatalaksana pre-operasi yang diberikan pada pasien ini adalah terapi cairan untuk
rehidrasi yakni ringer laktat yang diberikan 1 kolff tiap 12 jam. Hal ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya dehidrasi pada pasien karena pada pasien peritonitis akan mengalami
gangguan permeabilitas membran pada peritoneum akibat peningkatan sel-sel imun yang
diberikan adalah cefotaxime yang merupakan obat antibiotik golongan sefalosporin generasi
ketiga. Tatalaksana lainnya adalah pemberian omeprazole termasuk obat Proton Pump
Inhibitor (PPI). Obat ini diberikan untuk menurunkan asam lambung yang berlebihan akibat
adanya obstruksi di saluran cerna yang meningkatkan produksi asam lambung. Terapi
pembedahan yang dilakukan adalah operasi laparotomi eksplorasi untuk mencari sumber
Setelah dilakukan operasi, pasien diberikan rehidrasi cairan dengan Ringer Lactate.
ceftriaksone yang dikombinasikan dengan metronidazol untuk mengatasi infeksi yang terjadi
di rongga peritoneal dan mencegah infeksi bakteri lainnya. Terapi farmakologis lainnya
yang diberikan adalah ketorolak yang merupakan golongan NSAID untuk menurunkan
27
reaksi inflamasi di sekitar luka bekas operasi. Untuk mengatasi efek ketorolac yang
28
DAFTAR PUSTAKA
Principal of Internal Medicine. Edisi ke-17 Volume II. USA: McGraw-Hill; 2008;
1916-17.
3. Sjamsuhidajat RW, Karnafiharja, Thaddeus OHP, Reno R. Buku Ajar Ilmu Bedah.
4. Williams NS, Bulstrode CJK, O’Conne PR. Bailey & Love’s Short Practice of
5. Way LW, Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA: McGraw
Hill. 2003.
7. Standring S. The Anatomical Basis of Clinical Practice 40th Edition: Peritoneum and
1645-56. 2016.
29
9. Turkes T, Sandrasegaran K, Patel AA, et al. Peritoneal and Retroperitoneal Anatomy
and Its Relevance for Cross Sectional Imaging. RadioGraphics, 32:437-51. 2012.
30