Anda di halaman 1dari 30

Case Report Session

Apendisitis Akut

Oleh:
Satria Zulindo
0910312130

Preseptor:
dr. Ewi Astuti, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH RSUD PROF. MA HANAFIAH BATUSANGKAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun

dewasa. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan

pada anak-anak dan remaja.

Semua kasus apendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari apendiks yang

terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan

tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena

peritonitis dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang

menjelaskan bahwa Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya

akut abdomen di seluruh dunia 3.

Appendisitis yang bersifat akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.

Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kuarng dari 1 tahun

jarang dilaporkan. Insiden tertinggi terjadi pada usia 20-30 tahun, setelah itu menurun.

Insiden pada laki-laki sebanding dengan perempuan.3

Appendisitis akut yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan appendisitis

perforasi. Perforasi pada appendiks dapat menyebabkan terbentuknya kavitas dengan abses

yang berisis pus, yang dapat pecah dan menyebabkan peritonitis. Pada kasus seperti ini,

2
laparotomi emergensi dan irigasi dari rongga peritoneal sangat penting untuk dilakukan. Bila

tidak segera dilakukan operasi, dapat menyebabkan kematian pada pasien.5

1.2 Tujuan Penelitian

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan

tentang \appendisitis perforasi.

1.3 Rumusan Masalah

Makalah ini membahas tentang:

 Anatomi, definisi, etiologi, pathogenesis, diagnosis dan manifestasi klinis,

penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis appendisitis perforasi

1.4 Metode Penelitian

Penulisan makalah ini menggunakan metode penulisan tinjauan pustaka yang

merujuk pada berbagai literature.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Appendiks

Apendiks (umbai cacing) merupakan organ digestif yang terletak pada rongga

abdomen bagian kanan bawah. Apendiks berbentuk tabung dengan panjang ±10 cm dan

berpangkal di sekum. Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di distal.

Sedangkan pada bayi, apendiks berbentuk kerucut yaitu melebar di proksimal dan

menyempit di distal. Apendiks memiliki beberapa kemungkinan posisi, yang didasarkan

pada letak terhadap struktur-struktur sekitarnya yaitu retrosekal, retroileal, ileosekal dan di

rongga pelvis1,2. Apendiks dipersarafi oleh persarafan otonom parasimpatis dari nervus

vagus dan persarafan simpatis dari nervus torakalis X. Persarafan ini yang menyebabkan

radang pada apendiks akan dirasakan periumbilikal. Vaskularisasi apendiks adalah oleh

arteri apendikularis yang tidak memiliki kolateral.3

Gambar 2.3 Variasi Posisi Appendix4

4
Fungsi appendiks dalam tubuh manusia sampai saat ini masih belum sepenuhnya

dipahami. Salah satu yang dikatakan penting adalah terjadi produksi imunglobulin oleh Gut

Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang menghasilkan IgA. GALT ini sama dengan

lapisan pada sepanjang saluran cerna lainnya. Karena jumlahnya yang sedikit dan

minimal,pengangkatan apendiks dikatakan tidak mempengaruhi sistem perhanan mukosa

saluran cerna. Appendiks juga menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL setiap harinya. Aliran

ini akan dialirkan ke sekum dan berperan untuk menjaga kestabilan mukosa apendiks.

Appendisitis seringkali terjadi karena gangguan aliran cairan appendiks ini.3

Gambar 2.4 Gambaran histologis apendiks vermiform4

2.1 Definisi dan Klasifikasi Peritonitis

Peritoneum merupakan selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan

dinding perut bagian dalam. Peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau keadaan aseptik

pada peritoneum ini disebut peritonitis. Peritonitis termasuk suatu kegawatdaruratan yang

5
dapat disertai dengan bakterimia atau sepsis. Peritonitis merupakan komplikasi yang umum

dan penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas.1

Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi, peritonitis diklasifikasikan menjadi

peritonitis primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi

monomikrobial yang kumannya berasala dari penyebaran hematogen. Bentuk ini dikenal

dengan istilah Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP). Infeksi monobakterial terutama

disebabkan oleh streptococcal, pneumococcal, atau Haemophilus. Sedangkan peritonitis

sekunder merupakan infeksi yang berasal dari intrabdomen akibat perforasi organ berongga

seperti perforasi traktus gastronintestinal atau traktus genitourinarius. Peritonitis tersier

dapat terjadi akibat kegagalan respon pertahanan tubuh seperti pada pasien

immunocompromised dan pada pasien dengan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis

(CAPD).3,4

Berdasarkan penyebarannya, peritonitis dapat dibagi menjadi peritonitis lokal dan

difus. Peritonitis lokal dapat terjadi misalnya pada perforasi ulkus peptikum yang mengenai

cavum peritoneal bagian supracolic saja karena penyebaran infeksinya dibatasi oleh kolon

transversum secara anatomi. Sedangkan peritonitis difus dapat terjadi akibat pengaruh

kecepatan kontaminasinya seperti pada appendisitis perforasi dapat menyebar hampir ke

seluruh kavum peritoneal. Selain itu, gerakan peristaltik usus, virulensi kuman,

imunodefisiensi, dan anak-anak mempengaruhi terjadinya peritonitis difus.4

2.2 Epidemiologi Peritonitis

Sampai saat ini, peritonitis masih merupakan masalah kesehatan umum yang terjadi

pada banyak negara. Appendisitis merupakan penyebab tersering dari munculnya peritonitis

di Negara maju, yakni mencapai 82% dari pasien dengan appendisitis yang mengalami

6
peritonitis. Kejadian peritonitis dengan etiologi infeksi bakteri akut memiliki angka

morbiditas dan mortalitas yang bervariasi, diantaranya pada negara maju, tingkat mortalitas

dari pasien dengan appendisitis yang mengalami peritonitis adalah 0,04%, sedangkan pada

Negara Afrika Selatan yang merupakan Negara berkembang, angka mortalitasnya adalah

2%. Angka mortalitas yang tinggi ini disebabkan oleh keterlambatan diagnosis pasien yang

menyebabkan pasien mengalami sepsis.6

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 841 pasien oleh Gauzit di Prancis,

didapatkan hasil bahwa penyebab peritonitis ditemukan 32% berasal dari kolon, 31%

berasala dari appendiks, 18% dari duodenum, 13% dari usus halus, dan 6% dari traktus

biliaris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab peritonitis terbanyak adalah

infeksi ataupun perforasi pada kolon dan juga appendiks.6

2.3 Etiologi dan Patogenesis Peritonitis

Peritonitis dapat terjadi karena etiologi yang beragam. Peritonitis dapat terjadi akibat

adanya perforasi organ berongga, inflamasi, ataupun iskemia pada sistem gastrointestinal.

Berdasarkan klasifikasi, peritonitis sekunder merupakan peritonitis yang paling umum yakni

sekitar 90% dari keselruhan kasus bedah. Peritonitis sekunder disebabkan oleh adanya

kontaminasi bakteri yang berasal dari organ intraabdomen ataupun dari sumber luar (seperti

luka tusuk). Diantaranya adalah appendisitis perforasi, perforasi gaster, perforasi kolon, dan

juga komplikasi postoperatif. Faktor yang dapat menentukan keparahan dari timbulnya

peritonitis adalah tipe bakteri yang menginfeksi, durasi dari terjadinya kontaminasi kuman,

dan juga system imun dari host.5

2.4.1 Patogenesis Appendisitis

7
Appendisitis akut merupakan penyebab tersering dari munculnya peritonitis di

Negara maju, yakni mencapai 82% dari pasien appendisitis yang mengalami peritonitis.

Perjalanan penyakit appendisitis akut yang dapat menyebabkan terjadinya perforasi hingga

terjadinya peritonitis adalah sebagai berikut:

a. Stadium Kataralis

Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks, akumulasi

mucus akhirnya meningkatkan tekanan intralumen. Peningkatan tekanan intralumen ini

akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga terjadi edem mukosa, submukosa,

serosa hingga peritoneum visceral. Akumulasi mukus baik bagi perkembangan bakteri

aerob dan anaerob saluran cerna.Mukus lalu berubah menjadi pus oleh bakteri. Edema

dinding appendiks menyebabkan diapedesis kuman ke submukosa dan terjadilah ulkus.

Resolusi dapat terjadi pada stadium ini, bisa karena spontan maupun dengan antibiotik

b. Stadium Purulent

Udema dan pus menyebabkan penurunan aliran vena dan arteri, sehingga terjadi

iskemia.Selama iskemia bakteri menyebar menembus dinding menyebabkan apendisitis

akut.Pada stadium ini peradangan telah mengenai seluruh dinding apendiks dan terjadi

perangsangan peritoneum parietal lokal.

c. Stadium Gangrenosa

Aliran arteri sangat terganggu mengakibatkan nekrosis/ gangren dengan bakteri yang

menembus lumen usus ke rongga peritoneum. Peradangan ini akan menyebabkan masa

lokal yang terdiri dari omentum dan usus membatasi penyebaran bakteri dan melokalisir

radangnya. Masa ini disebut apendisitis infiltrate, bila masa lokal itu berisi pus maka

disebut apendisitis abses. Tidak jarang terjadi resolusi.

8
d. Stadium perforasi

Penyebaran bakteri ke rongga peritoneal atau peritonitis merupakan dampak yang

ditakutkan pada apendisitis akut. Peritonitis ini dapat timbul oleh:

 Perforasi dari lumen apendiks ke rongga peritoneum melalui dinding yang gangren

 Atau delayed-perforasi dari appendisitis abses.4

Pada sebagian kasus, apendisitis dapat melewati fase akut tanpa perlu dilakukannya

operasi. Akan tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan menyebabkan eksaserbasi akut

sewaktu-waktu dan dapat langsung berujung pada komplikasi perforasi. Pada anak-anak dan

geriatri, daya tahan tubuh yang rendah dapat meyebabkan sulitnya terbentuk infiltrat

apendisitis sehingga risiko perforasi lebih besar3,11,12. Faktor risiko lain perforasi diantaranya

terapi immunosupresi, diabetes mellitus, fekalit, appendix pelvis, operasi abdomen

sebelumnya.

9
Gambar 2.5 Patogenesis Apendisitis11

2.4 Manifestasi Klinis

Peritonitis akut bermanifestasi klinis sebagai suatu akut abdomen. Manifestasi klinis

yang mucul dapat dibagi 2, yakni manifestasi klinis local di abdomen, dan juga manifestasi

klinis sistemik yang muncul akibat respon sistemik dari tubuh. Temuan klinis lokal yang

bisa didapatkan adalah nyeri abdomen menyeluruh, defans muscular, distensi abdomen,

penurunan bising usu, yang menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum parietal yang

menyebabkan ileus. Sedangkan manifestasi sistemik yang muncul dapat berupa demam,

takikardi, berkeringat, takipnea, dehidrasi, oliguria, hingga syok. Syok dapat muncul akibat

efek campuran dari hipovolemi dan septicemia dengan disfungsi organ multipel. Bila

terdapat syok yang tidak dimengerti sebabnya, maka hal tersebut menunjukkan adanya

sepsis intraperitoneum yang serius.5

Manifestasi awal sebelum timbulnya peritonitis yang disebabkan oleh appendisitis

dikenal dengan gejala klasik. Pada awal nyeri timbul, nyeri dirasakan pada area

periumbilikal, atau difus, yang sulit untuk dilokalisasi. Rasa nyeri ini juga diikuti dengan

adanya mual dan muntah. Hal ini karena peningkatan tekanan intraluminal appendiks yang

akan menstimulasi unjung saraf aferen pada visera yang menimbulkan rasa nyeri yang

bersifat tumpul dan difus pada region umbilical atau bagian bawah abdomen. Seiring

progresivitas dari berkembangnya penyakit, nyeri yang dirasakan pasien berpindah pada

kuadran kanan bawah abdomen karena peritoneum parietal sudah teriritasi. Biasanya

perpindahan nyeri ini muncul selama 12-24 jam sejak onset timbulnya nyeri. Karakter nyeri

yang dirasakn apasien juga berubah, dari awalnya dirasakna tumpul dan sulit dilokalisir

10
menjadi nyeri tajam. Ketika appendisitis akut ini menjadi appendisitis perforasi yang

menjadi peritonitis difus maka nyeri akan dirasakan di seluruh abdomen.5

2.5 Diagnosis

Diagnosis dari peritonitis harus segera ditegakkan secepatnya karena merupakan

salah satu kegawatdaruratan.

2.6.1 Anamnesis

Peritonitis merupakan kasus darurat yang harus segera ditatalaksana. Pasien biasanya

datang dengan sangat kesakitan, maka yang penting untuk ditanyakan adalah sifat keluhan.

a. Nyeri

Yang perlu ditanyakan adalah sifat nyeri yang dirasakan pasien, lokasi nyeri, berapa

lama nyeri sudah dirasakan dan faktor yang memperberat dan memperingan nyeri. Pada

kasus peritonitis yang diakibatkan oleh appendisitis perforasi, pada awalnya pasien akan

merasakan nyeri pada abdomen bawah yang sulit untuk dilokalisasi oleh pasien,

kemudian nyeri tersebut akan berpindah ke bagian abdomen kanan bawah dengan sifat

nyeri yang tajam pada bagian tersbut. Ketika pasien terlambat untuk berobat, maka hal

tersebut akan menyebabkan timbulnya perforasi dari appendisitis. Nyeri yang dirasakna

akan berubah menjadi di seluruh lapnagan abdomen, semakin memburuk dengan

pergerakan.

b. Demam

Demam terjadi akibat infeksi di appendiks dan telah menyebar ke rongga peritoneal

c. Mual

d. Muntah

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

11
Pada appendisitis, pasien belum tampak adanya distensi abdomeb dan bising usu

masih normal. Pada palpasi didapatkan nyeri tekan yang terbatas pada region kuadran kanan

bawah abdomen pasien. Selain itu, dikenal beberapa maneuver diagnostik:11

Gambar 2.6 Gejala dan tanda apendisitis akut2

a. Rovsing’s sign

Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri bawah abdomen

b. Psoas sign

Rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi sendi

panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel

pada otot psoas mayor, tindakan ini akan menimbulkan nyeri.

c. Obturator sign

Fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi telentang. Nyeri timbul apabila

appendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator interna.

Pada appendisitis perforasi yang sudah menyebabkan peritonitis, pasien akan

mengeluhkan nyeri pada seluruh abdomen. Pada inspeksi didapatkan distensi pada inspeksi

abdomen, kemudian pada auskultasi didapatkan penurunan bising usus, pada palpasi

12
didapatkan nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh lapangan abdomen. Adanya defans

muscular menandakan sudah terjadinya rangsangan peritoneum parietal.

Jika dilakukan Rectal Tousche (RT), pasien dapat mengeluhkan nyeri pada arah

pukul 10 yang menandakan appendiks berada di posisi pelvic, sedangkan sfinkter ani

longgar dan ampula rekti lapang menandakan adanya ileus paralitik.4

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien peritonitis adalah

pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, profil pembekuan darah, dan juga

fungsi hepar dan renal. Pemeriksaan darah yang dapat menggambarkan adanya proses

infeksi pada appendiks akan menunjukkan leukositosis sekitar 10.000 hingga 18.000/mm3.

Sementara pada peritonitis dapat terjadi leukositosis yang lebih dari 18.000/mm3.5

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat mendeteksi adanya appendisitis adalah

pemeriksaan Rontgen, Ultra Sono Graphy (USG), dan CT-Scan. Pada hasil USG dikatakan

pasien positif mengalami appendisitis adalah dengan besar appendiks yang lebih besar atau

sama dengan 6 mm. diagnosis menggunakan USG ini memiliki angka sensitivitas 55-96%

dan spesifitas 85-98% untuk mendiagnosis appendisitis akut. Pemeriksaan USG ini juga

dapat menggambarkan adanya appendisitis pada anak-anak atau ibu hamil.3,8 Pada

pemeriksaan rontgen abdomen mungkin didapatkan fekalit <5%, berupa perselubungan di

fossa iliaka dextra. Sementara pemeriksaan CT-Scan menilai diameter appendiks, gambaran

target, appendicolith, dan apabila ditambahkan kontras kemungkinan didapatkan gambaran

enhancement dinding appendiks.

Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan suatu alat

bantu untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score. Dengan memperoleh nilai

13
lebih dari 7, maka apendisitis akut sudah umumnya dapat ditegakkan5. Komponen Alvarado

Score adalah:

Gambar 2.7 Alvarado score

Skor 9-10 : hampir pasti apendisitis, operasi

Skor 7-8 : kemungkinan besar apendisitis

Skor 5-6 : mungkin, namun bukan diagnosis apendisitis

Pastikan dengan CT-scan

Skor 0-4 : Kemungkinan besar tidak namun bukan tidak mungkin apendisitis

2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang harus dipikirkan pada kasus seperti ini adalah:

a. Gastroenteritis akut

b. Hepatitis

c. Ureterolitiasis

d. Kehamilan Ektopik pada wanita

2.7 Penatalaksanaan

14
Prinsip dari penatalaksanaan peritonitis adalah memperbaiki cairan dan elektrolit

pasine, ontrol sepsis secara operatif, dan pemberian antibiotic sistemik merupakan terapi

utama peritonitis.

2.8.1 Penatalaksanaan preoperatif

Pada penatalaksanaan preoperatif yang paling utama dilakukan adalah dengan

pemberian cairan intravena. Perembesan cairan yang massif dari cairan ke rongga peritoneal

harus digantikan dengan cairan intravena dengan jumlah yang sesuai. Apabila terjadi toksik

sistemik, maka harus dilakukan pencatatan terhadap cairan yang masuk dan keluar dengan

memasang kateter urin. Pada pasien harus diberikan Ringer Lactate dengan tetesan cepat

untuk memperbaiki hipovolemia intravascular, dan untuk mengembalikan tekanan darah

dalam angka yang optimal serta mengontrol pengeluaran cairan melalui urin dengan kateter

urin.

Pemberian antibiotik intravena harus diberikan untuk mengantisipasi adanya kuman

pathogen oada rongga peritoneum setelah dilakukan pemeriksaan cairan dengan cara kultur.

Antibiotic inisial yang dapat diberikan antara lain sefalosporin generasi ketiga, ampicilin-

sulbactam, metronidazol atau klindamisin untuk organism anaerob. Kombinasi dari

antibiotik yang tepat dilakukan setelah menunggu hasil kultur dan tes sensitivitas. Antibiotik

masih dilanjutkan pemberiannya sampai pasien afebris, dnegan nilai leukosit normal.

Pemasangan NGT juga dapat dilakukan untuk pasien yang mengeluhkan distensi atau perut

kembung.

2.8.2 Penatalaksanaan Operatif

15
Operasi yang dilakukan pada pasien peritonitis bertujuan untuk mengeliminasi

material utama yang menyebabkan infeksi dan juga mencegah timbulnya komplikasi yang

lebih lanjut. Kecuali pada kasus dini, operasi dapat dilakukan dengan eksplorasi pada

abdomen, kemudian dilakukan pengangkatan organ yang sudah mengalami kontaminasi

bakteri dan sudah perforasi. Pada peritonitis difus juga dilakukan pembilasan abdomen

dengan cairan kristaloid hangat, sehingga dapat membuang partikel-partikel yang sudah

kotor, seperti darah, dan juga residu-residu dari bakteri.

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien dengan peritonitis adalah terjadinya

obstruksi usus akut akibat perlekatan peritoneum akibat infeksi. Hal ini ditandai dengan

bising usus yang meningkat. Ileus paralitik, residual abses, dan sepsis juga mungkin timbul.

Apabila terjadi sepsis yang tidak terkontrol, maka dapat berakibat terjadinya kegagalan

organ.3

2.9 Prognosis

Tingkat mortalitas pada pasien dengan peritonitis difus adalah sekitar 10%. Faktor

yang berkontribusi terhadap peningkatan angka mortalitas pasien adalah tipe penyakit

primer dan durasinya, dan juga berhubungan dengan kerusakan organ multipel sebelum

terapi, usia, dan profil kesehatan umum pasien.

16
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : An. Erna

Usia : 10 tahun

Status Perkawinan : belum menikah

Alamat :

3.2 Anamnesa

Keluhan Utama

Nyeri perut sebelah kanan bawah sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

 Nyeri perut sebelah kanan bawah yang terus menerus sejak sehari sebelum

masuk rumah sakit. Nyeri semakin bertambah saat pagi hari sebelum masuk

rumah sakit dan dirasakan hampir diseluruh perut. Nyeri juga bertambah bila

pasien batuk. Nyeri berkurang apabila posisi pasien sedikit membungkuk dan

tidak bergerak.

 Demam 3 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, menggigil, terus menerus

 Mual (+), muntah 3 kali, isi apa yang dimakan.

 BAK (+) normal, BAB belum ada sejak pagi sebelum masuk rumah sakit.

17
 Nafsu makan (+)

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya tidak ada

 Riwayat gastritis (-)

 Riwayat operasi sebelumnya (-)

Riwayat Pengobatan

Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan secara rutin

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi,

Pasien merupakan seorang pelajar

3.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Umum

 Keadaan umum : Sakit sedang

 Kesadaran : Komposmentis kooperatif

 Nadi : 100 kali/menit

 Nafas : 20x/menit

 Suhu : 37 oC

 Tekanan Darah : 110/70 mmHg

18
Status Interna

 Kepala, Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

 Kulit dan kuku : Turgor kulit baik, tidak sianosis

 KGB : Tidak ditemukan pembesaran KGB

 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik

 Hidung : tidak ditemukan kelainan

 Telinga : Tidak ditemukan kelainan

 Leher : Tidak ditemukan kelainan

 Paru

 Inspeksi : Dinding dada dan pergerakannya simetris kanan-kiri

 Palpasi : Fremitus sama kanan-kiri

 Perkusi : Sonor

 Auskultasi : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

 Jantung

 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari media linea midclavicula sinistra

RIC V

 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

 Auskultasi : Bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)

 Punggung

 Inspeksi : Dinding dada dan pergerakannya simetris kanan-kiri

 Palpasi : Fremitus sama kanan-kiri

 Perkusi : Sonor

19
 Auskultasi : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

 Ekstremitas

Tidak ada kelainan

Status Lokalis Abdomen

 Inspeksi : Distensi (-), Darm contour (-), Darm steifung (-)

 Auskultasi : Menurun di region kanan bawah/titik McBurney

 Palpasi : Nyeri tekan (+) di regio kanan bawah di titik McBurney, NL

(+), defans muscular (+/-) psoas sign (+), rovsing sign (+), obturator sign (+)

 Perkusi : Hipertimpani

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium Rutin

 Hemoglobin : 13,4 mg/dl

 Leukosit : 21.300 /mm3

 Trombosit : 393.000 /mm3

 Eritrosit : 5,3 juta

 PCV : 38%

 Golongan darah :B

 CT : 7.15

 BT : 2.15

20
Rontgen Abdomen

Tidak ditemukan kelainan

USG Abdomen

Regio McBurney : Tampak struktur tubuler aperistaltik dengan edema di sekitarnya

dengan “gambaran target sign” diameter > 6mm.

Kesan: Dapat sesuai dengan appendisitis akut

3.5 Diagnosis Kerja

Peritonitis ec susp. appensitis akut

3.6 Tatalaksana

 Rehidrasi : IVFD RL 12 jam/ kolff

 Terapi medikamentosa

 Cefotaxime 2 x 1 gram (iv)

 Ranitidin 2x 1

 Ketorolac 2x1

 Pro Laparotomi

3.7 Follow up Pasien

Follow up Pasien Pre-Operasi (Hari Rawatan ke-2)

21
S/ Nyeri (+) di seluruh lapangan perut terutama kanan bawah dan epigastrium. Perut

kembung (+). Demam (-). Mual (+), muntah (-), BAB (-)

O/ KU: sedang; Kesadaran: komposmentis kooperatif; TD: 100/60 mmHg; frekuensi

nadi:80x/menit; frekuensi nafas: 20x/menit; suhu: 37,4oC

Abdomen

 Inspeksi : Distensi (+), darm contour (-), darm steifung (-)

 Palpasi : Nyeri tekan (+) seluruh region abdomen, nyeri lepas (+), defans

muscular (+), Psoas sign (+), Obturator sign (+), rovsing sign (+)

 Auskultasi : BU (+) menurun 1x/menit di region kanan bawah/titik McBurney

A/ Peritonitis ec Appendisitis akut

P/ Cefotaxime 2 x 1 gram

Operasi cito (Laparotomi)

Persiapan Pasien Pre-Operasi

 Informed consent

 IVFD

 Antibiotik

Laporan Operasi

 Posisi supine dengan anestesi spinal

 Desinfeksi lapangan operasi

 Insisi pada midline abdomen, buka kutis, subkutis, fascia, dan peritoneum.

22
 Melakukan eksplorasi dari kavitas abdomen, ditemukan appendiks, ukuran 10 x 2

cm dengan perforasi

 Melakukan appendektomi

 Mencuci kavitas intraperitoneal dengan normal salin

 Menutup abdomen lapis demi lapis

Diagnosis Post Operasi

Post apendictomy a.i apendisitis akut

Follow up Post Operasi

 Hari ke-1 Post-Operasi (Minggu, 14 Januari 2018)

S/ Nyeri di bekas operasi, kembung (+); demam tidak ada; mual ada, muntah

tidak ada; flatus (+), BAB (+) normal; BAB (-)

O/ KU: sedang; kesadaran: komposmentis kooperatif; TD: 110/60 mmHg;

frekuensi nadi: 82x/menit; frekuensi nafas: 20x/menit; suhu: 37,1oC

Abdomen

 Inspeksi : Distensi (-), darm contour (-), darm steifung (-)

 Palpasi : Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+) sekitar luka operasi

 Auskultasi : Bising usus (+) minimal 1x/menit

A/ Post laparotomy ec Peritonitis diffus hari I

P/ Tirah baring sampai dengan 24 jam

Monitor tanda vital

IVFD RL 24 tts/menit

Ketorolac 2 x 30 mg

23
 Hari ke-2 Post Operasi (Senin, 16 Januari 2018)

S/ Nyeri di bekas operasi, kembung (+); demam tidak ada; mual ada, muntah

tidak ada; BAK (+) normal; BAB (-)

O/ KU: sedang; kesadaran: komposmentis kooperatif; TD: 110/70 mmHg;

frekuensi nadi: 81x/menit; frekuensi nafas: 20x/menit; suhu: 37oC

Abdomen

 Inspeksi : Distensi (-), darm contour (-), darm steifung (-)

 Palpasi : Nyeri tekan (+), nyeri lepas (-) sekitar luka operasi, nyeri ulu

hati

 Auskultasi : Bising usus (+) normal

A/ Post laparotomy ec Peritonitis diffus hari II

P/ IVFD RL

Monitor tanda vital

Tes Makanan Saring

Lanjutkan terapi

24
BAB 4

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien pria berusia 44 tahun di bangsal bedah RSUD Prof. Dr.

M. A. Hanafiah SM Batusangkar dengan diagnosis Peritonitis ec Appendisitis Akut.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

Awalnya, dari hasil anamnesis ditemukan keluhan utama pasien adalah nyeri perut

kanan bawah terus menerus sejak sehari sebelum masuk Rumah Sakit. Nyeri dirasakan

pasien awalnya ditengah perut lalu berpindah ke bagian kanan bawah, lalu dirasa semakin

memberat hingga hampir seluruh perut terasa nyeri. Nyeri berkurang ketika pasien sedikit

membungkuk dan tidak bergerak. Nyeri yang dialami pasien tersebut merupakan gejala khas

nyeri perut pada penyakit appendisitis.

Appendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendiks vermiformis.

Peradangan terjadi akibat adanya obstruksi lumen yang biasanya disebabkan oleh adanya

fecolith sehingga meningkatkan sekresi mukus. Hal ini akan menyebabkan tekanan

intralumen appendiks meningkat sehingga dapat mengganggu aliran limfatik yang

selanjutnya dapat menjadi faktor resiko infeksi di lumen tersebut. Mulanya peradangan

dimulai dari mukosa, serosa dan ketika sudah sampai di peritoneum viseral maka akan terasa

nyeri di sekitar umbilikus akibat adanya saraf otonom nervus torakal X di daerah tersebut.

25
Bila peradangan telah sampai ke peritoneum parietal, maka nyeri menjadi somatik dan

berpindah menjadi nyeri di iliaka kanan bawah.

Apabila hal ini terus berlanjut, maka proses peradangan akan mengenai arteri pada

appendiks sehingga menyebabkan nekrosis yang dapat mengalami perforasi. Sel-sel radang

akan keluar dan memenuhi rongga peritoneal yang akan bermanifestasi menjadi nyeri di

seluruh lapangan perut dan distensi.

Pada pemeriksaan fisik di IGD ketika pertama kali pasien datang distensi abdomen

yang terlihat masih minimal. Auskultasi ditemukan bising usus menurun. Pada palpasi

ditemukan nyeri tekan di titik McBurney positif dan nyeri lepas positif. Tidak ditemukan

tanda defans maskular. Pemeriksaan obturator sign positif menandakan kemungkinan letak

appendiks di retrosekal. Psoas sign positif akibat adanya kontak muskulus psoas dengan

peritoneum di dekat appendiks. Rovsing’s sign pada pasien juga ditemukan positif. Pada

hasil pemeriksaan penunjang didapatkan pasien mengalami leukositosis dengan jumlah

leukosit 13.400/mm3. Leukositosis pada pasien >13.000/mm3 mengarahkan kepada

diagnosis appendisitis dengan kecurigaan peritonitis sehingga pasien dirawat inap untuk

direncanakan operasi appendektomi atau laparotomi.

Pada hari rawatan kedua sebelum dilakukan operasi, pasien mengeluhkan nyeri di

seluruh lapangan perut, kembung, dan nyeri semakin meningkat. Keadaan umum pasien

tampak sakit sedang, dengan suhu 37,4oC dan nadi 80x/menit. Pada pemeriksaan lokalis

abdomen tampak adanya distensi namun tidak ditemukan darm contour ataupun darm

steifung. Pada auskultasi didapatkan bising usus semakin menurun terutama di daerah

McBurney. Pada palpasi ditemukan nyeri tekan di seluruh lapangan abdomen pasien dan

26
nyeri lepas positif. Nyeri tekan di seluruh lapangan abdomen disertai dengan nyeri lepas

merupakan tanda dari peritonitis difus. Pada palpasi juga sudah ditemukan defans muscular

yang menandakan sudah terdapat rangsangan pada peritoneum parietal. Kemungkinan besar

pada pasien ini telah terjadi perforasi dari appendisitis sehingga proses infeksi yang

berlangsung dalam appendiks akan masuk ke dalam rongga peritoneal yang menyebabkan

terjadinya peritonitis. Peritonitis merupakan salah satu kondisi kegawatdaruratan. Terapi

definitif yang harus dilakukan adalah bedah laparotomi.

Tatalaksana pre-operasi yang diberikan pada pasien ini adalah terapi cairan untuk

rehidrasi yakni ringer laktat yang diberikan 1 kolff tiap 12 jam. Hal ini dilakukan untuk

mencegah terjadinya dehidrasi pada pasien karena pada pasien peritonitis akan mengalami

gangguan permeabilitas membran pada peritoneum akibat peningkatan sel-sel imun yang

menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran cairan. Tatalaksana medikamentosa yang

diberikan adalah cefotaxime yang merupakan obat antibiotik golongan sefalosporin generasi

ketiga. Tatalaksana lainnya adalah pemberian omeprazole termasuk obat Proton Pump

Inhibitor (PPI). Obat ini diberikan untuk menurunkan asam lambung yang berlebihan akibat

adanya obstruksi di saluran cerna yang meningkatkan produksi asam lambung. Terapi

pembedahan yang dilakukan adalah operasi laparotomi eksplorasi untuk mencari sumber

infeksi dan dilakukan appendektomi pada appendiks.

Setelah dilakukan operasi, pasien diberikan rehidrasi cairan dengan Ringer Lactate.

Pasien diberikan antibiotik profilaks golongan sefalosporin generasi ketiga yakni

ceftriaksone yang dikombinasikan dengan metronidazol untuk mengatasi infeksi yang terjadi

di rongga peritoneal dan mencegah infeksi bakteri lainnya. Terapi farmakologis lainnya

yang diberikan adalah ketorolak yang merupakan golongan NSAID untuk menurunkan

27
reaksi inflamasi di sekitar luka bekas operasi. Untuk mengatasi efek ketorolac yang

menurunkan produksi prostaglandin sebagai faktor protektif lambung, diberikan omeprazole

sebagai PPI sebagai protektif lambung.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Geahart SL, Silen W. Acute Appendisitis and Peritonitis. Dalam: Fauci A,

Braunwald E, Kasper D, Hausert S, Longo D, Jameson J, et al, editor. Harrison’s

Principal of Internal Medicine. Edisi ke-17 Volume II. USA: McGraw-Hill; 2008;

1916-17.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Depkes RI. 2008.

3. Sjamsuhidajat RW, Karnafiharja, Thaddeus OHP, Reno R. Buku Ajar Ilmu Bedah.

EGC: Jakarta. 2010.

4. Williams NS, Bulstrode CJK, O’Conne PR. Bailey & Love’s Short Practice of

Surgery 26th Edition. Taylor & Franch Group. 2008.

5. Way LW, Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA: McGraw

Hill. 2003.

6. Hadley, GP. Intra Abdominal Sepsis-Epidemiology, Etiology, and Management.

Paed Surg. Vol 23(6): 357-62. 2014.

7. Standring S. The Anatomical Basis of Clinical Practice 40th Edition: Peritoneum and

Peritoneal Cavity, Churchill Livingstone; Elsevier. 2008.

8. Ndayizeye L. Peritonitis in Rwanda: Epidemiology and Risk Factors for Morbidity

and Mortality. Official Journal of The Society of University Surgeons. Vol.160(6):

1645-56. 2016.

29
9. Turkes T, Sandrasegaran K, Patel AA, et al. Peritoneal and Retroperitoneal Anatomy

and Its Relevance for Cross Sectional Imaging. RadioGraphics, 32:437-51. 2012.

30

Anda mungkin juga menyukai