Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat


masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern, dan industry.Salah satu
bentuk gangguan jiwa yang terdapat di seluruh dunia adalah gangguan jiwa
skizofrenia.Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya retak atau
pecah (spilit) dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian, seseorang yang
menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan
jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality).
Skizofrenia tipe paranoid ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau
lebih waham atau halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku
spesifik yang sugestif untuk tipe hebefrenik atau katatonik.Secara klasik,
skizofrenia tipe paranoid terutama ditandai dengan adanya waham kejar atau
kebesaran.Pasien skizofrenia paranoid biasanya mengalami episode pertama
penyakit pada usia yang lebih tua dibanding pasien skizofrenia hebefrenik atau
katatonik.
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan
angka insidens serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia. Menurut
DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per
10.000 dengan beberapa variasi geografik2. Awitan skizofrenia di bawah usia 10
tahun atau di atas usia 60 tahun sangat jarang. Laki-laki memiliki onset
skizofrenia yang lebih awal daripada wanita. Usia puncak onset untuk laki-laki
adalah 15 sampai 25 tahun, dan untuk wanita usia puncak onsetnya adalah 25
sampai 35 tahun.
Dengan semakin meningkatnya kejadian skizofrenia di masyarakat maka
diperlukan juga pengetahuan baik dokter maupun masyarakat mengenai
skizofrenia paranoid dan diagnosis banding skizofrenia paranoid agar diagnosis
dan tatalaksananya dapat dilakukan secara tepat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizofrenia tipe paranoid ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau
lebih waham atau halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku
spesifik yang sugestif untuk tipe hebefrenik atau katatonik.Gangguan
fundamental meliputi gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran; gangguan
afektif, autisme, dan ambivalensi yang dirangkum menjadi empat A: asosiasi,
afek, autisme, dan ambivalensi. DSM-IV-TR mengklasifikasi subtipe
skizofrenia sebagai paranoid, hebefrenik, katatonik, tak terdeferensiasi, dan
residual, terutama berdasarkan presentasi klinisnya. Menurut Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia yang ke-
III, skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu paraoid, hebefrenik, katatonik,
tak terinci (undifferentiated), depresi pasca-skizofrenia, residual, dan
simpleks.

2.2 Epidemiologi
1. Gender dan Usia
Skizofrenia setara prevalensinya pada pria dan wanita. Namun, kedua jenis
kelamin tersebut berbeda awitan dan perjalanan penyakitnya.Awitan
terjadi lebih dini pada pria dibanding wanita. Usia puncak awitan adalah 8
sampai 25 tahun untuk pria dan 25 sampai 25 tahun untuk wanita. Awitan
skizofrenia di bawah usia 10 tahun atau di atas usia 60 tahun sangat jarang.
2. Faktor Reproduktif
Penggunaan obat psikoterapeutik, kebijakan terbuka di rumah sakit,
deinstitusionalisasi di rumah sakit pemerintah, penekanan pada
rehabilitasi, dan perawatan berbasis masyarakat untuk pasien skizofrenia,
semuanya telah menyebabkan peningkatan angka pernikahan dan
kesuburan di antara pasien skizofrenia. Akibat faktor tersebut, jumlah anak
yang dilahirkan dari orangtua skizofrenia terus meningkat. Angka

2
kesuburan pasien skizofrenik mendekati angka populasi umum. Terdapat
hubungan antara angka kesuburan dengan transmisi genetik. Keluarga
biologis derajat pertama pasien skizofrenik memiliki risiko terkena
penyakit sepuluh kali lebih besar dibanding populasi umum.

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


1. Model Diatesis-Stres
Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan
lingkungan yang secara khusus memengaruhi diri seseorang sehingga
dapat menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga
faktor tersebut saling berpengaruh secara dinamis.
2. Faktor Biologis
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang
menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas oleh aktivitas
dopaminergik yang berlebihan di bagian kortikal otak, dan berkaitan
dengan gejala positif dari skizofrenia. Penelitian terbaru juga
menunjukkan pentingnya neurotransmiter lain termasuk serotonin,
norepinefrin, glutamat, dan GABA. Selain perubahan yang sifatnya
neurokimiawi, penelitian menggunakan CT Scan ternyata ditemukan
perubahan anatomi otak seperti pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks
atau atropi otak kecil (cerebellum), terutama pada penderita kronis
skizofrenia.
Dasar neuropatologis skizofrenia terutama ada di sistem limbik dan
ganglia basalis, dan juga di korteks serenri, thalamus dan batang otak.
Adanya pengurangan volume otak akibat penurunan densitas akson,
dendrit, dan sinapss yang berfungsi memediasi fungsi otak. Adanya
pembesaran ventrikel lateral dan ventrikel ketiga serta pengurangan
volume kortikal sehingga terjadi pengurangan simetrisitas pada beberapa
area di otak.
Penyakit autoimun merupakan salah satu faktor risiko skizofrenia.
Skizofrenia meningkat pada satu tahun setelah penyakit autoimun

3
terdiagnosis. Pada penyakit autoimun seperti lupus eritematous sistemik,
ditemukan prevalensi gejala neuropsikiatrik yang tinggi yang dapat
dipengaruhi oleh autoantibodi yang melewati barrier darahotak. Efek ini
berkaitan dengan afinitas antibodi terhadap reseptor N metil-d-aspartat di
otak, sebuah reseptor yang menjadi pusat terhadap teori patofisiologi
skizofrenia saat ini. Adanya infeksi berat juga meningkatkan risiko
skizofrenia secara signifikan. Peningkatan inflamasi pada penyakit
autoimun dan infeksi dapat mempengaruhi otak melalui jalur yang
berbeda. Satu jalur yang mungkin adalah peningkatan permeabilitas barier
darah-otak membuat otak terpengaruh oleh komponen autoimun seperti
autoantibodi dan sitokin.
3. Faktor Genetik
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Risiko
masyarakat umum 1%, pada orang tua risiko 5%, pada saudara kandung
8%, dan pada anak 12% apabila salah satu orang tua menderita
skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua sejak lahir,
anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%. Pada kembar monozigot 47%,
sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12%.2Faktor genetik turut
menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan
penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama
anak-anak kembar monozigot. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah
0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang
tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita
skizofrenia 40- 68%; bagi heterozigot 2-15%; dan bagi monozigot 61-
86%. Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk
mendapatkan skizofrenia melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin
kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan
individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang
disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat
mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempattempat

4
yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa
ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami
gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk
mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah
anggota keluarga yang memiliki penyakit ini.
4. Faktor Psikososial
Pada faktor ini menandakan adanya tekanan psikososial yang
terjadi pada orang tertentu yang bisa memicu terjadinya skizofrenia,
seperti permasalahan keluarga, hubungan intrapersonal, konflik, dan
frustasi dalam lingkungan. 2Konflik keluarga kemungkinan berisiko 1,13
kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan tidak ada
konflik keluarga. Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk
mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi.
Seseorang yang belum menikah kemungkinan berisiko untuk
mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan yang menikah karena
status marital perlu untuk pertukaran ego ideal dan identifikasi perilaku
antara suami dan istri menuju tercapainya kedamaian. Dan perhatian dan
kasih sayang adalah fundamental bagi pencapaian suatu hidup yang berarti
dan memuaskan.
Status ekonomi rendah sangat mempengaruhi kehidupan
seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan kemiskinan (status
ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang menyertainya
bertanggung jawab atas timbulnya gangguan kesehatan. Himpitan
ekonomi memicu orang menjadi rentan dan terjadi berbagai peristiwa yang
menyebabkan gangguan jiwa. Jadi, penyebab gangguan jiwa bukan
sekadar stressor psikososial melainkan juga stressor ekonomi. Dua stressor
ini kaitmengait, makin membuat persoalan yang sudah kompleks menjadi
lebih kompleks.
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang
semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan,

5
adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang
patogenik dalam keluarga.
Menurut Maramis penyebab skizofrenia dapat dijelaskan
berdasarkan teori somatogenik dan teori psikogenik.
1. Teori somatogenik
a. Keturunan
Telah terdapat bukti dari penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara
tiri 0,9-1,8 %, bagi saudara kandung 7-15%, bagi anak dengan salah
satu orang tua yang menderita skizofrenia 40-60%, kembar 2 telur 2-
15% dan kembar 1 telur 61-86%. Dalam hal ini, diduga potensi
kejadian skizofrenia diturunkan melalui generasif.
b. Endokrin
Teori ini diutarakan berhubungan dengan sering timbulnya skizofrenia
pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu
klimaterium.Tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
c. Metabolisme
Teori ini dikemukakan berdasarkan tanda-tanda dari penderita
skizofrenia yang tampak pucat, tidak sehat, ujung ekstremitas sedikit
sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun.
d. Teori saraf pusat
Penyebab skizofrenia ditujukan pada kelainan sistem saraf pusat (SSP)
yang terletak di diensefalon atau kortek otak, tetapi kelainan patologis
yang ditemukan itu mungkin disebaban oleh perubahan postmortem
atau merupakan artefak pada waktu membuat sediaan.
2. Teori psikogenik
a. Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah karena tidak
ditemukanya kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada
sususan saraf pusat (SSP) tetapi Ia mengakui bahwa suatu konstitusi
inferior atau penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya
skizofrenia. Menurut Meyer skizofrenia merupakan suatu reaksi yang

6
salah atau maladaptasi. Sehingga, timbul suatu disorganisasi
kepribadian dan lama kelamaan penderita skizofrenia tersebut akan
menjauhkan diri dari kenyataan.
b. Teori Sigmund Freud
Skizofrenia terdapat kelemahan ego yang terjadi karena penyebab
psikogenik atau somatogenik.Superego dikesampingkan sehingga tidak
bertenaga lagi dan Id yang berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase
narsisme.Kehilangan kapasitas untuk pemindahan sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin.
c. Teori Bleuler
Teori tersebut menonjolkan gejala utama pada skizofrenia yaitu
terdapatnya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir, perasaan
dan perbuatan.
d. Teori lain
Teori ini menjelaskan skizofrenia merupakan suatu sindrom yang dapat
disebakan oleh berbagai macam penyebab antara lain keturunan,
pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badaniah
seperti aterosklerosis otak dan penyakit lainya yang belum diketahui.
5. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak
yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan
neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan
bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotranmitter dopamine yang
berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau karena sesitivitas yang
abnormal terhadap dopamine. Beberapa neourotranmitter lain seperti
serotonin dan norepinephrine juga memainkan peranan.
Dalam hipotesis dopamine yaitu pada skizofrenia terdapat
hiperaktivitas sistem dopamine pada jaras mesolimbik dan hipoaktivitas
sistem dopamin pada jaras mesocortical. Hal ini didukung oleh temuan
bahwa amfetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin, dapat
menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat antipsikotik

7
(terutama antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik tipikal/klasik)
bekerja dengan memblok reseptor dopamine, terutama reseptor D2.
Mekanisme neuroinflamasi berperan dalam skizofrenia termasuk
glial (kehilangan dan aktivasi astroglial, aktivasi mikroglial), imunologik
(sitokin, kemokin dan prostaglandin), dan oksidatif (oksigen reaktif dan
spesies nitrogen). Mekanisme inilah yang menghasilkan disregulasi
glutamatergik (hipofungsi) dan dopaminergik (hiperfungsi limbik,
hipofungsi frontal).

Gambar 1. Jaras Dopamine pada Otak Manusia

8
Gambar 2. Jaras Dopamine pada Otak Manusia

1. Nigrostriatal Pathway
- Proyeksinya berasal dari substansia nigra lalu berjalan ke basal ganglia
atau striatum.
- Jaras ini berperan sebagai agonis reseptor D2, yang nantinya akan
mencegah timbulnya gejala EPS. Nigrostriatal ini merupakan bagian dari
sistem saraf ekstrapiramidal yang berperan penting dalam mengontrol
pergerakan. Blokade yang berlebihan pada reseptor dopamine bisa
berakibat pada munculnya gejala EPS (Extra Pyramidal Syndrome)
seperti rigiditas otot, akinesia/bradikinesia dan tremor. Defisiensi
dopamin di basal ganglia juga menyebabkan akatisia dan distonia.

9
Hiperaktivitas domain di jalur ini berperan penting sebagai hal yang
mendasari gerakan hiperkinetik seperti chorea, dyskinesias dan tics.

b) Mesolimbic Pathway
Proyeksi jaras ini berawal dari otak tengah bagian ventral
tegmental lalu ke nukleus akumbens. Jaras mesolimbik ini terlibat dalam
berbagai perilaku dan sensai yang sifatnya menyenangkan. Hiperaktivitas
pada jaras ini bisa menyebabkan gejala positif seperti waham dan
halusinasi. Jaras ini berperan sebagai antagonis di reseptor D2 pada
kondisi hiperdopaminergik, yang nantinya akan mengurangi gejala positif
yang terjadi.

10
1. Mesocortical Pathway
Jaras ini dipercaya memiliki peran penting dalam memperantarai
gejala kognitif (dorsolateral prefrontal cortex), gejala afektif
(ventromedial prefrontal cortex), dan gejala negatif skizofrenia.
Hipoaktivitas dari jaras ini akan menyebabkan munculnya gejala negatif
dan juga gangguan kognitif. Jaras ini berperan sebagai agonis di reseptor
D2 pada kondisi hipodopaminergik, yang nantinya akan menyebabkan
perbaikan dari gejala negatif dan gangguan kognitifnya akan yang terjadi.

11
Note: Dorsolateral Prefrontal Cortex (DLPFC)

Note: Ventromedial Prefrontal Cortex (VMPFC)

12
2. Tuberoinfundibular Pathway
Berproyeksi dari hipotalamus menuju ke anterior kelenjar pituitari.
Normalnya, aktivitas dopamin akan menurun pada jaras ini ketika
postpartum sehingga terjadilah peningkatan sekresi prolaktin yang
nantinya akan berguna dalam proses laktasi. Jaras ini penting dalam
mengontrol sekresi prolaktin. Blokade transmisi dopamin pada jaras ini
akan menyebabkan hipoprolaktinemia.
Gangguan pada jaras ini akibat dari lesi atau obat akan
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin, yang akan berdampak pada
gejala-gejala seperti galaktorea dan amenorea. Gejala serupa akan muncul
juga pada pasien dengan terapi menggunakan obat antipsikosis yang
bekerja memblok reseptor D2.

3. Fifth Pathway11
Berasal dari berbagai tempat, termasuk periaqueductal gray,
ventral mesencephalon, hypothalamic nuclei, nukelus parabrachial lateral,
yang nantinya akan berpoyeksi ke talamus. Fungsi dari jaras ini masih
belum diketahui secara pasti dan di teliti oleh para ahli.

13
2.4 Diagnosa
Pedoman diagnostik skizofrenia menurut PPDGJ-III:
B. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

- Thought echo. Isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isi
sama, namun kualitasnya berbeda; atau

Thought insertion or withdrawal.Isi pikiran yang asing dari luar masuk


ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan Thought broadcasting.Isi
pikirannya tersiar keluar sehingga orang lainatau umum
mengetahuinya.

- Delusion of control.Waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu


kekuatan tertentu dari luar; atauDelusion of influence. Waham tentang
dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau

Delusion of passivity.Waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah


terhadap suatu kekuatan tertentu dari luar; (tentang “dirinya“ = secara
jelas merujuk ke pergerakan tubuh atau anggota gerak atau ke pikiran,
tindakan, atau penginderaan khusus)Delusional perception.Pengalaman
inderawi yang tak wajar, yang bermakna, sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

- Halusinasi auditorik:Suara halusinasi yang berkomentar secara terus


menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien
diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
jenis suara halusinasi lain yang berasla dari salah satu bagian tubuh.

- Waham-waham menetapjenis lainnya, yang menurut budaya setempat


dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal

14
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
diatas manusia biasa(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).

C. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:

1. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide – ide
berlebihan (over loaded ideas) yang menetap, atau yang apabila terjadi
setiap hari selama berminggu – minggu atau berbulan – bulan terus
menerus;

2. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan


(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan atau neologisme;

3. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi


tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme dan stupor;

4. Gejala–gejala “negatif”, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan


respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

C. Adanya gejala – gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama


kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik prodormal);

D. Harus ada suatu perbuatan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

15
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis,
sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan
penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran
mental).Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan
pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat
berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar
rumah.Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia
paranoid dapat berupa penatalaksanaan non- farmakologis dan farmakologis.

3.6.1 Penatalaksanaan Non-farmakologis


1. Rawat Inap / Hospitalisasi
Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus dirawat
di rumah sakit.2 Perawatan di rumah sakit menurunkan stress pada
pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka.
Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada keparahan
penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat
jalan.Rawat inap diindikasikan terutama untuk:
a. Tujuan diagnostik
b. Stabilisasi pengobatan
c. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau
pembunuhanmaupun mengancam lingkungan sekitar
d. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya
termasuk, ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti
pangan, sandang, dan papan
e. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga
maupun lingkungan

16
f. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa

Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan sistem


pendukung komunitas merupakan tujuan utama rawat inap. Rawat
inap dan layanan rehabilitasi masyarakat juga bertujuan untuk
memaksimalkan kemandirian pasien (contohnya dengan melatih
keterampilan hidup sehari-hari), karena pada pasien dengan gejala
sisa (contohnya gejala negatif dan kognitif) mungkin tidak dapat
hidup mandiri. Setelah keluar dari rumah sakit, pasien tersebut perlu
di follow-up teratur oleh ahli psikiatri.2

2. Terapi Psikologis (Psikoterapi) dan Dukungan Sosial


(Sosioterapi)
Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah
psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan yang
praktis dengan maksud mengembalikan penderita ke
masyarakat.Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural therapy,
CBT) seringkali bermanfaat dalam membantu pasien mengatasi
waham dan halusinasi yang menetap.Tujuannya adalah untuk
mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan, dan tidak secara
langsung menghilangkan gejala.Terapi keluarga dapat membantu
mereka megurangi ekspresi emosi yang berlebihan dan terbukti
efektif mencegah kekambuhan.13
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita
bergaul lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan
dokter.Hal ini dimaksudkan agar pasien tidak mengasingkan diri dan
terapi ini sangat penting dalam menjaga kepercayaan diri dan
kualitas hidupnya. Penting sekali untuk menjaga komunikasi yang
baik dengan pasien dan keluarga.13

17
3.6.2 Penatalaksanaan Farmakologis
1. Pemberian obat-obat anti-psikosis
Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia (sindrom
psikosis fungsional) merupakan penatalaksanaan yang
utama.Pengobatan anti-psikosis diperkenalkan awal tahun 1950-an.
Pemilihan jenis obat anti- psikosis mempertimbangkan gejala
psikosis yang dominan (fase akut atau kronis) dan efek samping
obat.Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru
dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi.

Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun bersifat


pengobatan simtomatik.Obat anti-psikosis efektif mengobati “gejala
positif” pada episode akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena
passivity) dan mencegah kekambuhan.Obat-obat ini hanya mengatasi
gejala gangguan dan tidak menyembuhkan skizofrenia.Pengobatan
dapat diberikan secara oral, intramuscular, atau dengan injeksi depot
jangka panjang.
Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode
skizofrenia, pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu
memberikan efek samping, karena pengalaman yang buruk dengan
pengobatan akan mengurangi ketaatanberobatan (compliance) atau
kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan untuk menggunakan
antipsikosis atipikal atau antipsikosis tipikal, tetapi dengan dosis
yang rendah.
Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan aktivitas
neurotransmitter dopamine yang meningkat (Hiperaktivitas sistem
dopaminergik sentral). Pada umumnya, pemberian obat anti-psikosis
sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun, setelah
semua gejala psikosis mereda sama sekali. Efek obat anti-psikosis
secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis
terakhir masih mempunyai efek klinis. Obat anti-psikosis dibagi

18
dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:

a. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis generasi


I (APG-I)

Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional atau


tipikal. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai
afinitas tinggi dalam mem-blokade atau menghambat pengikatan
dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di
sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor
antagonist), hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal yang kuat.13Oleh karena kinerja obat APG-I, maka
obat ini lebih efektif untuk gejala positif, contohnya gangguan
asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan untuk terapi gejala
negatif. Obat antipsikosis tipikal (APG-I) memiliki dua
kekurangan utama, yaitu:

 Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen) yang


cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi
mental yang cukup normal

 Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan


yang mengganggu dan serius. Efek menganggu yang paling
utama adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa
rigiditas dan tremor.

Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat diberikan


dalam satu dosis oral harian ketika orang tersebut berada dalam
kondisi yang stabil dan telah menyesuaikan dengan efek samping
apa pun. Prototip kelompok obat APG-I adalah klorpromazin
(CPZ), hal ini dikarenakan obat ini sampai sekarang masih tetap
digunakan sebagai antipsikosis, karena ketersediannya dan

19
harganya murah.

Tabel 1. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis Anjuran


(yang beredar di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006)

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis


Anjuran
Chlorpromazine Chlorpromazine Tab 25 – 150 – 600
100 mg mg/hari

Promactil Tab 100 mg

Merprosetil Tab 100 mg

Cepezet Tab 100 mg

Perphenazine Perphenazine Tab 4 mg


Trilafon Tab 2-4-8
mg
Trifluoperazine Stelazine Tab 1 – 5 10 – 15
mg mg/hari
Fluphenazine Anatensol Tab 2,5 – 5 10 – 15
mg mg/hari
Thioridazine Melleril Tab 50 – 150 – 300
100 mg mg/hari
Haloperidol Haloperidol Tab 0,5 – 5 – 15
1,5 mg mg/hari
Dores Tab 1,5 mg
Screnace Tab 0,5 –
1,5 mg
Haldol Tab 2 – 5
mg
Govotil Tab 2 – 5
mg
Lodomer Tab 2 – 5
mg
Pimozide Orap Forte Tab 4 mg 2–4
mg/hari
Sumber: Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis obat Psikotropik
(Psychotropic Medication).Edisi 3.Hal 14.

Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine


yang memengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala

20
parkinsonisme (efek ekstrapiramidal / EPS).Semua obat APG-I
dapat menimbulkan efek samping EPS (ekstrapiramidal), seperti
dystonia akut, akathisia, sindrom Parkinson (tremor, bradikensia,
rigiditas).Efek samping ini dibagi menjadi efek akut, yaitu efek
yang terjadi pada hari-hari atau minggu-minggu awal pertama
pemberian obat, sedangkan efek kronik yaitu efek yang terjadi
setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun menggunakan obat.
Oleh karena itu, setiap pemberian obat APG-I, maka harus
disertakan obat trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai
obat antidotum.

b. Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis


generasi II (APG-II)

Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai


generasi pertama antipsikotik golongan atipikal.Disebut atipikal
karena golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom).Obat APG-II
disebut juga obat anti-psikosis baru atau atipikal.Standar emas
terbaru untuk pemberian obat anti- psikosis bagi pasien
skizofrenia adalah APG-II.Obat APG-II memiliki efek samping
neurologis yang lebih sedikit dibandingkan dengan antagonis
reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala psikotik
yang lebih luas.10Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal
adalah berafinitas terhadap “Dopamine D2 Receptors” (sama
seperti APG-I) dan juga berafinitas terhadap “Serotonin 5 HT2
Receptors” (Serotonin- dopamine antagonist), sehingga efektif
terhadap gejala positif (waham, halusinasi, inkoherensi) maupun
gejala negatif (afek tumpul, proses pikir lambat, apatis, menarik
diri). Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek
tumpul, penarikan diri, isi pikir miskin) lebih menonjol dari
gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau), maka obat anti-

21
psikosis atipikal perlu dipertimbangkan.

Tabel 2. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis


Anjuran (yang beredar di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006)

Nama Generik Nama Sediaan Dosis


Dagang Anjuran
Sulpride Dogmatil Tab 200 mg 300 – 600
Forte mg/hari
Clozapine Clorazil Tab 25 – 100 25 – 100
mg mg/hari
Sizoril Tab 25 – 100
mg
Olanzapine Zyprexa Tab 5 – 10 10 – 20
mg mg/hari
Quetiapine Seroquel Tab 25 – 100 50 – 400
mg mg/hari
Zotepine Lodopin Tab 25 – 50 75 – 100
mg mg/hari
Risperidone Risperidone Tab 1-2-3 mg 2 – 6 mg/hari
Risperidal Tab 1-2-3 mg
Neripros Tab 1-2-3 mg
Persidal Tab 1-2-3 mg
Rizodal Tab 1-2-3 mg
Zofredal Tab 1-2-3 mg
Aripiprazole Abilify Tab 10 – 15 10 – 15
mg mg/hari
Sumber: Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis obat Psikotropik
(Psychotropic Medication).Edisi 3. Hal 14-15.

22
2.6 Prognosis
Prognosis tidak berhubungan dengan tipeapa yang dialami seseorang.
Perbedaan prognosis paling baik dilakukan dengan melihat pada prediktor
prognosis spesifik di tabel berikut ini:

Prognosis Baik Prognosis Buruk


Awita lambat Awitan muda
Ada faktor presipitasi yang jelas Tidak ada faktor presipitasi
Awitan akut Awitan insidius
Riwayat sosial, seksual, dan Riwayat sosial, seksual, dan
pekerjaan promorbid baik pekerjaan pramorbid buruk
Gejala gangguan mood (terutama Perilaku autistik, menarik diri
gangguan depresif)
Menikah
Riwayat keluarga dengan gangguan Riwayat keluarga dengan
mood skizofrenia
Sistem pendukung baik Sistem pendukung buruk
Gejala positif Gejala negatif
Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
Tanpa remisi dalam 3 tahun
Berulangkali relaps
Riwayat melakukan tindakan
penyerangan

2.7 Diagnosis Banding

2.8.1. Epilepsi

A. Definisi

Epilepsi merupakan kelianan serebral yang ditandai dengan faktor


predisposisi menetap untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial dari kondisi ini.
Epilepsi merupakan manisfestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, namun dengan gejala tunggal khas yaitu serangan berkala yang

23
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron-neuron di otak secara
berlebihan dan paroksismal.
Epilepsi adalah salah satu gangguan susunan saraf pusat yang terjadi
karena pelepasan neuron pada korteks serebri yang mengakibatkan
penuruan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku
emosional yang intermiten dan stereotipik. Keadaan ini yang
mempengaruhi timbulnya perubahan perilaku pada penderita epilepsi.Pada
perubahan perilaku selama dan sesudah kejang, gangguan epileptogenik
yang melibatkan fungsi sering berlanjut sampai pada periode postictal dan
interictal. Kerusakan fungsi kognitif secara umum mempengaruhi
perhatian, memori, kecepatan berpikir, dan bahasa sama seperti pada
fungsi sosial dan perilaku. Perubahan perilaku meliputi gangguan mood,
depresi, ansietas, dan psikosis.
Pada pasien epilepsi terjadi kehilangan kesadaran, hal ini disebabkan
karena instabilitas dari neuron-neuron pada korteks. Sebelum terjadinya
serangan epilepsi, terdapat gejala aura, yaitu penderita merasa pusing,
merasa tidak enak pada perut dan punggungnya dalam beberapa detik.
Penderita menjadi bingung dan merasakan getaran-getaran dingin,
sehingga dia tidak dapat mempersiapkan diri terhadap serangan kejang.
Lalu penderita mengalami aura-stupor, yaitu rasa seperti terbius dan tidak
berdaya, serta merasakan kelumpuhan atau kekakuan pada sebagian
anggota badannya.

B. Etiologi

Hampir setengah dari keseluruhan kasus epilepsi bersifat idiopatik


yang tidak dapat diketemukan adanya suatu lesi organik di otak. Penyebab
utama terjadinya kejang dapat terjadi oleh karena adanya gangguan
metabolik seperti hipoglikemia, hipomagnesemmia, gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Atau dapat juga oleh karena adanya
riwayat trauma serebrovaskular, stroke, penyakit demielinisasi. Epilepsi

24
juga dapat terjadi karena adanya infeksi virus pada wanita hamil, seperti
sifilis, toksoplasma virus rubella, virus sitomegalo atau herpes simplek,
dapat menimbulkan epilepsi. Disamping itu adanya infeksi pada susunan
saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis. Konsumsi alkohol atau narkoba
oleh wanita hamil dapat merusak otak janin sehingga dapat menyebabkan
epilepsi. Penggunaan konsumsi alkohol secara tiba-tiba pada seorang
alkoholik; penghentian secara tiba-tiba obat tertentu seperti obat anti
epilepsi; keracunan Karbon Monoksida (CO), timah atau air raksa; injeksi
heroin atau kokain, dapat pula menimbulkan epilepsi.
Terpaparnya seorang wanita hamil dengan sinar X atau sinar
radioaktif lainnya, terutama pada tiga bulan pertama kehamilan, dapat
menyebabkan kerusakan otak. Trauma yang menyebabkan cedera otak
pada bayi selam proses persalinan maupun trauma kepala yang dialami
seseorang pada semua usia dapat menimbulkan epilepsi.

C. Klasifikasi

Kejang tonic klonik, serangan ini merupakan yang paling berat.


Sewaktu terjadi serangan kesadaran hilang dan penderita mengalami
kejang-kejang. Nafasnya terhenti, mulutnya bergetar, dan rahangnya
terkatup kuat. Lengan dan kaki terlentang kaku dan kejang-kejang, serta
tangannya mengepal. Kemudian penderita terjatuh. Mungkin juga
penderita merasa sakit, lalu menangis dan mengerang-erang, kemudian
jatuh pingsan, tidak ingat sesuatupun juga. Mukanya menjadi kelam, lalu
jadi pucat. Saat serangan terjadi, penderita dapat kehilangan kontrol diri,
sehingga dapat kencing atau buang air besar yang tak terkendali, atau
menggigit lidahnya.
Dengan masuknya oksigen dalam paruparu, kejang dan
kekakuannya menurun. Tangan dan kaki tetap bergerak-gerak tapi
mulutnya berbui. Setelah sadar, penderita mengalami kebingungan dan
keletihan, dan dapat tertidur. Saat terjaga, penderita mungkin tidak ingat

25
kejadian saat terjadi serangan, meski lidahnya sakit atau
mengompol.Penderita yang mengalami kekejangan tesebut memiliki
resiko mendapatkan kecelakaan,seperti melikai diri sendiri, menggigit
lidahnya hingga putus, atau tenggelam, terluka, atau terbakar. Absences
(Petit Mal) Biasanya penderita tidak kehilangan kesadarannya. Ia berhenti
sebentar, memandang kosong ke depan atau ke lantai, lalu berjalan
kembali. Seringkali terdapat gerakan-gerakan pada kening dan alis, atau
gerak ritmis pada kelopak mata, dekat telinga, bibir dan hidung. Barang
yang sedang dipegannya, dapat terjatuh.Petit mal ini banyak dialami oleh
perempuan, terutama mereka yang sedang mengalami periode sekitar
pubertas.Elektroensefalogerafi ( EEG) menghasilkan pola karakteristik
aktivitas paku dan gelombang (spike and wave) tiga kali perdetik. Pada
keadaan yang jarang, epilepsi petitmal dengan onset dewasa dapat ditandai
oleh episode psikotik atau delirium yang tiba-tiba dan rekuren yang
tampak dan menghilang secara tiba-tiba gejala dapat disertai dengan
riwayat terjatuh atau pingsan.
Kejang parsial diklasifikasikan sebagai sederhana tanpa perubahan
kesadaran atau kompleks dengan perubahan kesadaran Sedikit lebih
banyak dari setengah semua pasien dengan kejang parsial mengalami
kejang parsial kompleks; istilah lain yang digunakan untuk kejang parsial
kompleks adalah epilepsi lobus temporalis, kejang psikomotor, dan
epilepsi limbik tetapi istilah tersebut bukan merupakan penjelasan situasi
klinis yang akurat.
Secara umum penggolongan gangguan prilaku yang di temukan
pada pasien epilepsi menjadi preiktal, iktal, dan interiktal.

1. Preiktal
Pada preiktal aura pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi
otonomik seperti rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada
pernafasan, dan sensai kognitif seprti deja vu, jamais vu, pikiran

26
dipaksakan, dan keadaan seperti mimpi. Keadaan afektif dirasakan rasa
takut, panik, depresi, dan elasi.
2. Iktal

Perilaku singkat, kacau, dan tanpa hambatan menandai kejadian iktal.

Gejala kognitif meliputi amnesia untuk waktu selama kejang dan periode

penyelesaian delirium setelah kejang. Fokus kejang dapat ditemukan di

EEG dalam 25 sampai 50% dari semua pasien dengan epilepsi parsial

kompleks. Penggunaan elektroda sementara sphenoidal atau anterior dan

kurang tidur EEG dapat meningkatkan kemungkinan menemukan suatu

kelainan EEG. EEG yang normal Multiple sering diperoleh untuk pasien

dengan epilepsi parsial kompleks, sehingga pada EEG normal tidak dapat

digunakan untuk mengecualikan diagnosis epilepsi parsial kompleks.

3. Interiktal
a. Gangguan Kepribadian
Kelainan psikiatri yang paling sering dilaporkan pada pasien
dengan epilepsi adalah gangguan kepribadian, dan ini sangat mungkin
terjadi pada pasien dengan epilepsi lobus temporal. Gambaran yang paling
umum adalah perubahan perilaku seksual. Sindrom dalam bentuk lengkap
relatif jarang terjadi, bahkan pada mereka dengan kejang parsial kompleks
asal lobus temporal. Banyak pasien tidak terpengaruh oleh gangguan
kepribadian, yang lainnya menderita berbagai gangguan yang berbeda
mencolok dari sindrom klasik.
Gejala viskositas kepribadian biasanya paling nyata dalam
percakapan pasien, yang kemungkinan akan menjadi lambat, serius,
membosankan, bertele-tele, terlalu penuh dengan rincian yang tidak
penting, dan sering mendalam. Pendengar dapat tumbuh bosan tapi tidak
dapat menemukan cara sopan dan sukses untuk melepaskan diri dari
percakapan. Kecenderungan berbicara, sering tercermin dalam tulisan

27
pasien, menghasilkan gejala yang dikenal sebagai hypergraphia, yang
beberapa dokter mempertimbangkan hampir patognomonik untuk epilepsi
parsial kompleks.
Perubahan perilaku seksual dapat dimanifestasikan oleh
hypersexuality; penyimpangan dalam minat seksual, seperti fetisisme dan
transvestisme, dan, paling sering, hyposexuality. Hyposexuality ini
ditandai baik oleh kurangnya minat dalam hal-hal seksual dan dengan
gairah seksual berkurang. Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial
kompleks sebelum pubertas mungkin gagal untuk mencapai tingkat normal
minat seksual setelah pubertas, meskipun karakteristik ini mungkin tidak
mengganggu pasien. Untuk pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks
setelah pubertas, perubahan minat seksual mungkin mengganggu dan
mengkhawatirkan.
b. Gejala psikotik
Psikotik interiktal lebih umum daripada psikosis iktal. Skizofrenia-
seperti episode interiktal dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi,
terutama mereka yang berasal lobus temporal. Diperkirakan 10 persen dari
semua pasien dengan epilepsi parsial kompleks memiliki gejala psikotik.
Faktor risiko termasuk gejala jenis kelamin wanita, kidal, timbulnya
kejang selama masa pubertas, dan lesi sisi kiri.
Timbulnya gejala psikotik pada epilepsi adalah variabel. Secara
klasik, gejala psikotik muncul pada pasien yang memiliki epilepsi untuk
waktu yang lama, dan timbulnya gejala psikotik didahului oleh
perkembangan perubahan kepribadian terkait dengan aktivitas otak
epilepsi. Gejala yang paling karakteristik dari psikosis adalah halusinasi
dan delusi paranoid. Pasien biasanya tetap hangat dan tepat dalam
mempengaruhi, berbeda dengan kelainan mempengaruhi sering terlihat
pada pasien dengan skizofrenia. Gejala-gejala gangguan berpikir pada
pasien dengan epilepsi psikotik paling sering yang melibatkan
konseptualisasi dan sifat terperinci, bukan gejala skizofrenia klasik
memblokir dan kelonggaran.

28
c. Gejala Gangguan suasana hati
Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania, dipandang kurang
sering pada epilepsi daripada seperti skizofrenia gejala. Gejala-gejala
gangguan mood yang memang terjadi cenderung episodik dan muncul
paling sering ketika fokus epilepsi mempengaruhi lobus temporal dari
belahan otak dominan. Pentingnya gejala gangguan mood dapat dibuktikan
oleh peningkatan kejadian percobaan bunuh diri pada orang dengan
epilepsi.

D. Patofisiologi

Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa


faktor yang bertanggung jawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan
pada ligand-gate merupakan sub unit dari reseptor nikotinik begitu juga
halnya dengan voltage-gate berupa kanal natrium dan kalium. Peran
natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam
sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama
neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi.
Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu.
Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti GABA yang
dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin, asetilkholin
yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap
memori dan proses belajar. Timbulnya serangan kejang adalah
kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara asetilkolin yanng
merupakan neurotransmitter sel-selotak. Asetilkolin menyebabkan
depolarisasi, yang dalam jumlah berlebihan menimbulkan kejang. Sedang
GABA menimbulkan hiperpolarissasi, yang sebaliknya akan merendahkan
eksitabilitas dan menekan timbulnya kejang. Berbagai kondisi yang

29
mengganggu metabolisme otak seperti penyakit metabolik, racun,
beberapa obat dan putus obat, dapat menimbulkan pengaruh yang sama.

E. Penatalaksanaan

Obat-obat antiepilepsi lebih dikenal sebagai obat antikonvuksan.


Walupun memiliki efek anti kejang juga diduga memiliki aktivitas sebagai
psikotropik. Carabamazepin dan valproat memiliki kemampuan antimanik
dan mood stabilizer. Mekanisme kerja obat antikonvulsan terbagi menjadi
2 mekanisme penting, yaitu mencegah timbulnya letupan depolarisasi
eksesif pada neuron epilepton di dalam fokus epilepsi dan mencegah
terjadinya letupan depolarisasi pada neuron yang normal akibat pegaruh
fokus epilepsi. Mekanisme kerja lain sampai saat ini belum banyak
diketauhi secara jelasnya hanya dikatakan bahwa berbagai obat
antikonvulsan diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologi otak
terutama mempengarui inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme
kerja sebagai antikonvulsan.
Dalam pengobatan pasien epilepsi dengan gangguan psikiatri hal
pertama yang perlu dilakukan adalah mengatasi epilepsinya dengan obat
antikonvulsan sepeti carbamazepin, asam valporoat, gabapentin dan
lamotigine. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah obat antipsikotik
yang menurunkan ambang kejang. Hal ketiga perlu disadari adanay potensi
terjadinya interaksi anatara antikonvulsan dan antipsikotik. Biasanya
antikonvulsan meningkatkan metabolisme antipsikotik dengan akibat
penurunan efek terapinya. Sebaliknya penghentian antikonvulsan dapat
mencetuskan peningkatan pada konnsentrasi antipsikotik.
Carbamazepin dan Asam valproik mungkin membantu dalam
mengendalikan gejala iritabilitas dan meledaknya agresi, karena mereka
adalah obat antipsikotik tipikal.Carbamazepin efektif untuk epilepsi parsial
terutama epilepsi parsial kompleks, epilepsi umum tonik-klonik, maupun
kombinasi kedua jenis epilepsi ini. Mekanisme kerja carbamazepin ini

30
adalah inhibisi kanal Na dan inhibisi Ca. Untuk enghindari efek samping,
pemberian perlu di titrasi untuk mencapai kadar terapeutik. Pada pasien
dewasa dimulai dengan dosis 100-200 mg atau 2dd 100 mg kemudian 3-7
hari di tingkatkan menjadi 2dd 200 mg. Asam valproat sangat efektif untuk
abses, dan epilepsi umum primer. Efek toksis sedian ini adalah gangguan
saluran pencernaan dan efek sedasi.

F. Prognosis

Kebanyakan pasien dengan epilepsi memiliki prognosis baik bila


kejang dapat dikontrol dengan antikonvulsan. Sebagian besar pasien tidak
mengalami gangguan psikiatri dan hanya terjadi bila megalami kejang
yang tidak terkontrol dalan jangka panjang. Untuk masalah perilaku, obat
anti konvulsan atau operasi mungkin dapat mengatasi beberapa gejala
seperti agresi, tetapi mungkin tidak dapat mencegah munculnya gejala lain
seperti psikosis dan perilaku suicidal.

2.8.2. Psikosis yang diinduksi Obat

A. Epidemiologi

Data epidemiologis yang relevan mengenai gangguan psikotik


akibat zat tidak ada. Gangguan paling sering ditemukan pada pasien yang
kecanduan alcohol atau zat lain dalam jangka panjang.

B. Etiologi

Zat psikoaktif merupakan penyebab sering sindrom psikotik. Zat


yang paling sering terlibat adalah alkohol, halusinogen indol seperti asam
lisergat dietilamid (LSD), amfetamin, kokain, meskalin, PCP, dan ketamin.
Banyak zat lain termasuk steroid dan tiroksin dapat menimbulkamn
halusinasi.

31
C. Gambaran klinis

Kategori Gangguan psikotik akibat zat dalam DSM-IV-TR


diberikan untuk mereka yang mengalami gejala psikotik akibat zat dan uji
realita terganggu. Orang dengan gejalan psikotik akibat zat (misalnya
halusinasi) tetapi dengan uji realita intak harus digolongkan menderita
gangguan terkait zat (misalnya intoksikasi PCP dengan gangguan
persepsi). Diagnosis penuh gangguan psikotik akibat zat harus meliputi
jenis zat yang terlibat, stadium penggunaan zat saat gangguan mulai timbul
(misalnya selama intoksikasi atau keadaan putus zat), dan fenomena klinis
(misalnya, halusinasi dan waham).
Halusinasi dapat terjadi pada satu atau lebih modalitas sensorik.
Halusinasi taktil (seperti sendasi diarayapi kultu pada kulit) khas pada
penggunaan kokain. Halusinasi pendengaran juga dapat terjadi pada orang
yang tuli. Halusinasi penghidu dapat disebabkan oleh epilepsi lobus
temporal; halusinasi penglihatan dapat terjadi pada orang yang buta karena
katarak/ halusinasi dapat bersifat baik rekuren maupun persisten, dan
dialami pada keadaan sadar penuh dan siaga; pasien yang mengalami
halusinasi tidak memperlihatkan perubahan fungsi kognitif yang
signifikan. Halusinasi penglihatan sering mengambil bentuk gambar yang
melibatkan gambar manusia kerdil (liliput) atau hewan kecil. Halusinasi
musik yang langka biasanya berupa lagu rohani. Pada halusinasi akibat
alkohol, suara ancaman, kritis, atau menghina dari orang ketiga berbicara
mengenai pasien dan dapat memberitahu mereka agar mencelakakan diri
mereka sendiri atau orang lain. Pasien tersebut berbahaya dan berisiko
signifikan untuk melakukan bunuh diri atau pembunuhan.
Waham akibat zat dan waham sekunder biasanya ada dalam
keadaan sadar penuh. Pasien tidak mengalami perubahan tingkat
kesadaran, meskipun gangguan kognitif ringan dapat ditemukan. Pasien
dapat bingung, kusut, atau eksentrik, dengan bicara tangensial atau
inkoheren. Hiperaktivitas dan apatis dapat timbul, sering disertai mood

32
disforik. Waham dapat sistematis atau terfragmentasi, dengan isi pikiran
bervariasi tetapi waham kejar paling sering.

D. Jenis Zat yang disalahgunakan

1. Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (menurut Undang-
Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika). NARKOTIKA
dibedakan kedalam golongan-golongan :
a) Narkotika Golongan I :
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi
sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh : heroin/putauw,
kokain, ganja).
b) Narkotika Golongan II :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan
terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan (Contoh : morfin,petidin)
c) Narkotika Golongan III :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (Contoh:
kodein)
Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan
I : (1) Opiat : morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain (2)
Ganja atau kanabis, marihuana, hashis (3) Kokain, yaitu serbuk kokain,
pasta kokain, daun koka.

33
2. Psikotropika
Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropik.
Yang dimaksud dengan PSIKOTROPIKA adalah zat atau obat, baik
alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

3. Zat Adiktif Lain


Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif
diluar Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
a) Minuman berakohol, Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh
menekan susunan syaraf pusat,dan sering menjadi bagian dari kehidupan
manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai
campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh
obat/zat itu dalam tubuh manusia.
Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu :
- Golongan A : kadar etanol 1-5%, (Bir)
- Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)
- Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson
House,Johny Walker, Kamput.)
b) Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah menguap
berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan
rumah tangga, kantor dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalah
gunakan, antara lain : Lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin.
c) Tembakau : Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di
masyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat,
pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian
dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu
masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang lebih berbahaya.
Bahan/ obat/zat yang disalahgunakan dapat juga diklasifikasikan sebagai

34
berikut :
- Sama sekali dilarang : Narkotoka golongan I dan Psikotropika
GolonganI.
- Penggunaan dengan resep dokter : amfetamin, sedatif hipnotika.
- Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.
- Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA
dapat digolongkan menjadi tiga golongan :
1. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional
tubuh. Jenis ini membuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan
bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini
termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang),
hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.
2. Golongan Stimulan (Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi
aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah :
Amfetamin (shabu,esktasi), Kafein, Kokain
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang
bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya
pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu.
Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk :
Kanabis (ganja), LSD, Mescalin. Macam-macam bahan Narkotika dan
Psikotropika yang terdapat di masyarakat serta akibat pemakaiannya :
a) OPIOIDA
Opioida dibagi dalam tiga golongan besar yaitu :
- Opioida alamiah (opiat): morfin, cpium, kodein
- Opioida semi sintetik : heroin/putauw, hidromorfin
- Opioida sintetik : meperidin, propoksipen, metadon

35
Nama lainnya adalah putauw, putaw, black heroin, brown sugar
b) KOKAIN
Kokain mempunyai dua bentuk yaitu : kokain hidroklorid dan free
base. Kokain berupa kristal pitih. Rasa sedikit pahit dan lebih mudah larut
dari free base. Free base tidak berwarna/putih, tidak berbau dan rasanya
pahit. Nama jalanan dari kokain adalah koka, coke, happy dust, charlie,
srepet, snow salju, putih. Biasanya dalam bentuk bubuk putih. Cara
pemakaiannya : dengan membagi setumpuk kokain menjadi beberapa
bagian berbaris lurus diatas permukaan kaca atau benda-benda yang
mempunyai permukaan datar kemudian dihirup dengan menggunakan
penyedot deperti sedotan. Atau dengan cara dibakar bersama tembakau
yang sering disebut cocopuff. Ada juga yang melalui suatu proses menjadi
bentuk padat untuk dihirup asapnya yang populer disebut freebasing.
Penggunaan dengan cara dihirup akan berisiko kering dan luka pada
sekitar lubang hidung bagian dalam. Efek rasa dari pemakaian kokain ini
membuat pemakai merasa segar, kehilangan nafsu makan, menambah rasa
percaya diri, juga dapat menghilangkan rasa sakit dan lelah.
c). KANABIS
Nama jalanan yang sering digunakan ialah : grass cimeng, ganja
dan gelek, hasish, marijuana, bhang. Ganja berasal dari tanaman kanabis
sativa dan kanabis indica. Pada tanaman ganja terkandung tiga zat utama
yaitu tetrehidro kanabinol, kanabinol dan kanabidio. Cara penggunaannya
adalah dihisap dengan cara dipadatkan mempunyai rokok atau dengan
menggunakan pipa rokok. Efek rasa dari kanabis tergolong cepat,
sipemakai : cenderung merasa lebih santai, rasa gembira berlebih (euforia),
sering berfantasi. Aktif berkomonikasi, selera makan tinggi, sensitif,
kering pada mulut dan tenggorokan
d). AMPHETAMINES
Nama generik amfetamin adalah D-pseudo epinefrin berhasil
disintesa tahun 1887, dan dipasarkan tahun 1932 sebagai obat. Nama
jalannya : seed, meth, crystal, uppers, whizz dan sulphate. Bentuknya ada

36
yang berbentuk bubuk warna putih dan keabuan, digunakan dengan cara
dihirup. Sedangkan yang berbentuk tablet biasanya diminum dengan air.
Ada dua jenis amfetamin :
- MDMA (methylene dioxy methamphetamin), mulai dikenal sekitar tahun
1980 dengan nama Ekstasi atau Ecstacy. Nama lain : xtc, fantacy pils,
inex, cece, cein. Terdiri dari berbagai macam jenis antara lain : white doft,
pink heart, snow white, petir yang dikemas dalam bentuk pil atau kapsul
- Methamfetamin ice, dikenal sebagai SHABU. Nama lainnya shabu-
shabu.SS, ice, crystal, crank. Cara penggunaan : dibakar dengan
menggunakan kertas alumunium foil dan asapnya dihisap, atau dibakar
dengan menggunakan botol kaca yang dirancang khusus (bong).
e). LSD (Lysergic acid)
Termasuk dalam golongan halusinogen,dengan nama jalanan :
acid, trips, tabs, kertas. Bentuk yang bisa didapatkan seperti kertas
berukuran kotak kecil sebesar seperempat perangko dalam banyak warna
dan gambar, ada juga yang berbentuk pil, kapsul. Cara menggunakannya
dengan meletakkan LSD pada permukaan lidah dan bereaksi setelah 30-60
menit sejak pemakaian dan hilang setelah 8-12 jam. Efek rasa ini bisa
disebut tripping. Yang bisa digambarkan seperti halusinasi terhadap
tempat. Warna dan waktu. Biasanya halusinasi ini digabung menjadi satu.
Hingga timbul obsesi terhadap halusinasi yang ia rasakan dan keinginan
untuk hanyut didalamnya, menjadi sangat indah atau bahkan
menyeramkan dan lama-lama membuat paranoid.
f). SEDATIF-HIPNOTIK (BENZODIAZEPIN)
Digolongkan zat sedatif (obat penenang) dan hipnotika (obat tidur)
Nama jalanan dari Benzodiazepin : BK, Dum, Lexo, MG, Rohyp.
Pemakaian benzodiazepin dapat melalui : oral, intra vena dan rectal.
Penggunaan dibidang medis untuk pengobatan kecemasan dan stres serta
sebagai hipnotik (obat tidur).
g). SOLVENT / INHALANSIA

37
Adalah uap gas yang digunakan dengan cara dihirup.Contohnya :
Aerosol, aica aibon, isi korek api gas, cairan untuk dry cleaning, tiner,uap
bensin. Biasanya digunakan secara coba-coba oleh anak dibawah umur
golongan kurang mampu/ anak jalanan. Efek yang ditimbulkan : pusing,
kepala terasa berputar, halusinasi ringan, mual, muntah, gangguan fungsi
paru, liver dan jantung.
h). ALKOHOL
Merupakan salah satu zat psikoaktif yang sering digunakan manusia.
Diperoleh dari proses fermentasi madu, gula, sari buah dan umbi-umbian.
Dari proses fermentasi diperoleh alkohol dengan kadar tidak lebih dari
15%, dengan proses penyulingan di pabrik dapat dihasilkan kadar alkohol
yang lebih tinggi bahkan mencapai 100%. Nama jalanan alkohol : booze,
drink. Konsentrasi maksimum alkohol dicapai 30-90 menit setelah tegukan
terakhir. Sekali diabsorbsi, etanol didistribusikan keseluruh jaringan tubuh
dan cairan tubuh. Sering dengan peningkatan kadar alkohol dalam darah
maka orang akan menjadi euforia, namun sering dengan penurunannya
pula orang menjadi depresi.

2.8.3. Paranoia

A. Definisi

Istilah paranoia sendiri telah digunakan dalam waktu yang cukup


lama. Jaman Yunani kuno dan Romawi istilah ini digunakan untuk
mengacu pada suatu gangguan yang tidak dapat dibedakan dengan
berbagai gangguan mental lainnya. Saat ini penggunaan istilah ini lebih
terbatas sejak Kraeplin menunjukan suatu kasus dimana adanya delusi dan
kontak yang minim dengan realitas namun tidak terjadi disorganisasi
personality yang kuat seperti yang terjadi pada kasus schizophrenia. Saat
ini ada 2 jenis psikosis paranoid yang termasuk dalam kelompok gangguan
paranoid, yaitu :

38
1. Paranoia, dimana terjadinya delusi yang berkembang secara
perlahan kemudian menjadi rumit, logis dan sistematis serta hal tersebut
berpusat pada delusi merasa dikejar-kerjar atau waham kebesaran. Meski
adanya delusi, kepribadian penderita masih utuh, tidak ada disorganisasi
yang serius dan tanpa halusinasi.

2. Paranoid state, terjadinya perubahan delusi yang paranoid


dan cara berpikir menjadi tidak logis serta munculnya ciri-ciri paranoia,
meskipun belum menunjukkan perilaku yang aneh atau deteriorasi seperti
yang ditemukan pada kasus schizophrenia paranoid. Biasanya kondisi ini
berhubungan dengan stress yang kuat dan mungkin pula karena fenomena
kefanaan. Paranoid states sering mewarnai gambaran klinis dari jenis
gangguan patologis lainnya.

Namun, perhatian utama kita saat ini tertuju pada paranoia.


Paranoia relatif sedikit ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit
jiwa, namun hal ini mungkin terjadi karena kekeliruan dalam
mengidentifikasi gangguan mental. Banyak para penemu/inventor, guru,
eksekutif bisnis, reformer fanatik, pasangan pencemburu, orang-orang
nyentrik yang mendalami suatu ajaran tertentu termasuk dalam kategori
ini. Namun, uniknya mereka ini mampu mempertahankan eksistensinya di
masyarakat. Dalam beberapa kasus diantara mereka ada yang berkembang
menjadi seseorang yang sangat berbahaya.

B. Gambaran Klinis Paranoia

Individu yang mengalami paranoia merasa sendirian, diabaikan,


dimata-matai, dan persepsi salah lainnya tentang adanya ancaman dari
‘musuh.’ Delusi ini biasanya berpusat pada satu hal misalnya menyangkut
masalah keuangan, pekerja, pasangan yang tdk dapat dipercaya atau
masalah-masalah kehidupan lainnya. Orang yang mengalami kegagalan
dalam bekerja akan mengembangkan sikap curiga seperti ada orang lain

39
yang cemburu terhadap prestasi kerjanya sehingga ingin menjatuhkannya.
Seorang paranoia memiliki alasan tertentu mengapa mereka curiga dan
tidak mau menerima alasan lain yang sebenarnya lebih benar. Karena
sikap curiga tersebut ia dapat melakukan interogasi terhadap mereka yang
dianggap musuh.

Banyak dari paronoia ini memiliki waham dimana ia seorang


superior dan memiliki kemampuan yang unik. Terkadang mereka merasa
mendapat mandat atau wahyu untuk menjalankan suatu misi suci,
melakukan pembaharuan dan perubah sosial. Para paranoiac religius
mengembangkan keyakinan bahwa ia mendapat amanat dari Tuhan untuk
menyelamatkan manusia dan melakukan khotbah-khotbah bahkan
mengajak dilakukannya perang suci. Berkaitan dengan delusi yang dialami
paranoia dapat tampil dengan sangat sempurna, berbicara fasih dan
terkesan memiliki emosian yang matang. Halusinasi dan ciri gangguan lain
jarang ditemukan pada paranoia ini. Mereka berupaya melakukan
pembenaran dengan cara-cara yang logis agar dapat dipercaya. Dalam
kasus ini sangat sukar dibedakan mana yang fakta atau hanya sekedar
imaji. Mereka berupaya agar orang-orang disekitarnya mempercayai apa
yang dikatakannya. Mereka gagal untuk melihat fakta lain diluar apa yang
mereka yakini dan kurang dapat membuktikan keyakinannya,
kecurigaanya serta mereka menjadi tidak komunikatif saat ditanyakan
mengenai delusinya tersebut. Meskipun demikian paranoic ini tidak selalu
berbahaya, tetapi mereka tetap memiliki peluang untuk melakukan sesuatu
hal yang merugikan terhadap orang-orang dianggap musuhnya.

C. Tahapan berpikir yang mendorong terjadinya paranoia :

1. Suspiciousness/Curiga – individu menjadi tidak percaya kepada orang


lain, takut akan dirugikan dan menjadi sangat siaga.
2. Protective Thinking – mengkaji secara selektif tindakan orang lain dan

40
melihatnya secara curiga dan mulai menyalahkan orang lain atas
kegagalannya.
3. Hostility/permusuhan – sangat sensitif terhadap ketidakadilan yang
dirasakan meskipun tidak benar, hal ini direspon secara marah dan sikap
permusuhan dan ini semakin meningkatkan kecurigaan.
4. Paranoid Illumination / Berkembangnya Paranoid – Sikap penuh curiga
sudah menjadi bagian dirinya dan ia merasakan adanya sesuatu yang aneh
namun ia ia telah tenggelam dalam situasi kecurigaan tersebut.
5. Delusions – merasa dikejar-kejar atau adanya waham kebesaran namun
ia mengembangkan suatu alasan yang logis dan mengembangkan tindakan-
tindakan yang dapat dipahami oleh orang lain.

D. Faktor Penyebab Paranoia

1. Kegagalan proses belajar


biasanya sejak masa kanak-kanak, paranoia suka menyendiri,
pencuriga, mengasingkan diri, keras kepala dan sangat sensitif. Saat
diingatkan mereka cemberut dan uring-uringan. Hanya sedikit dari mereka
yang menunjukan kemampuan bermain dengan anak lain yang normal atau
bersosialisasi dengan baik. Latarbelakang keluarga memegang peranan
yang penting. Situasi lemahnya penerimaan dalam keluarga dan
penggiringan sikap inferioritas akan mengembangkan sikap anak untuk
berusaha menjadi superior. Ketidakmantapan latarbelakang keluarga
mempengaruhi perasaan anak terhadap orang lain dan membentuk perilaku
negaif anak terhadap orang lain.

Proses sosialisasi yang tidak tepat membentuk perilaku anak yang


mudah curiga kepada orang lain. Dengan demikian akan terbentuk sikap
permusuhan dan ingin mendominasi orang lain. Kondisi ini akan saling
mempengaruhi, sikap bermusuhannya direspon secara negatif oleh
lingkungan dan iapun semakin curiga dengan orang lain sehingga

41
perlahan-perlahan terbentik kepribadian yang paranoia. Selanjutnya
terjadilah isolasi sosial dan ia semakin tidak percaya kepada orang lain.

Perkembangan kepribadian selanjutnya dimasa kanak-kanak ini


mengembangkan suatu sikap gabungan dari merasa diri penting, kaku,
arogan, ingin mendominasi dan membentuk gambaran diri yang tidak
realistis dan menimpakan kegagalan atau kesialannya kepada orang lain.
Mereka menjadi sangat curiga dan sangat peka menghadapi situasi
ketidakadilan. Selanjutnya individu tidak memiliki selera humor. Mereka
mulai mengkategorikan mana orang baik dan jahat. Harapan mereka dan
tujuan hidup mereka seringkali tidak realistik. Mereka menolak untuk
menerima permasalahan yang dengan cara-cara yang lebih realistik.
Mereka cenderung menjadi orang yang uring-uringan dan menolak kontak
yang normal. Mereka tidak mampu membina hubungan sosial yang
hangat, bersikap agresif dan merasa superior.

2. Kegagalan dan Inferiority

Biasanya riwayat para paranoia sarat dengan kegagalan dalam


beradaptasi dengan situasi kehidupan yang penting seperti lingkungan
sosial, pekerjaan dan perkawinan. Menghadapi ini mereka bersikap rigid,
membuat goal yang tidak realistik dan tidak mampu membina hubungan
jangka panjang dengan orang lain. Kegagalan ini diinterpretasikan olehnya
sebagai penolakan, penghinaan dan peremehan oleh orang lain. Kegagalan
ini menyebabkannya sukar untuk memahami sebab-sebab utama
sebenarnya dari permasalahan yang ia alami. Misalnya, mengapa mereka
harus meningkatkan kemampuannya dalam berhubungan sosial dalam
rangka mencegah reaksi negatif dari orang lain – mengapa mereka sampai
tidak disukai dalam pekerjaan misalnya karena mereka menyelidiki
sesuatu secara sangat rinci. Ia tidak mampu untuk memahami dirinya dan
situasi secara objektif, tidak mampu memahami mengapai ia sampai
menarik diri dan mengapa orang lain menolaknya.

42
Meskipun demikian perasaan inferiority dari penderita paranoia
bersifat topeng saja, karena sesungguhnya mereka ingin superior dan
menganggap dirinya penting dan hal ini dimanifestasikan dalam banyak
aspek dari perilakunya. Mereka sangat ingin dihargai, hipersensitif
terhadap kritik, sangat teliti dan rajin.

Para individu paranoid pada saat dihadapkan dengan kegagalan


mereka biasanya mengatakan “orang-orang tidak menyukai kamu,”
barangkali ada sesuatu yang salah pada diri kamu,” kamu inferior.”
Mereka sering bersikap defensif, menjadi sangat kaku dan cenderung
menyalahkan orang lain. Pola-pola defensif ini akan membantu
melindungi dirinya dari perasaan inferiority dan perasaan tidak berharga.

3. Elaborasi mekanisme pertahanan diri dan


“Pseudocommunity.”

Kaku, merasa diri penting, tidak humoris dan pencuriga membuat


penderita tidak populer dilingkungan sosialnya. Mereka saring salah
menangkap maksud orang lain. Sensitif terhadap ketidakadilan. Reaksi
paranoid biasanya berkembang secara bertahap. Kegagalan yang ia alami
membuat ia mengelaborasi defence mechanism. Untuk menghindari agar
dinilai tidak mampu mereka mengembangkan alasan logis dibalik
kegagalannya. Secara bertahap gambaran dimulai dengan kristalisasi
proses yang lazim disebut paranoid illumination. Kemudian hal tersebut
berkembang sedemikian rupa sehingga penyebab-penyebabnya semakin
kabur. Penderita mulai melindungi dirinya dan memiliki asumsi bahwa ada
sesuatu yang salah dengan dirinya (ditahap awal). Selanjutkan kegagalan
tersebut ia timpakan kepada orang lain.

Kemudian terjadi proses apa yang disebut dengan pseudo


community dimana penderita mulai mengkategorisasikan orang-orang
disekitarnya (faktual atau bayangan) yang menentang atau tudak menyukai

43
dirinya. Kejadian-kejadian menjadi perhatian penderita. Ia selalui
menyikapi hal-hal disekitarnya dengan sikap curiga. Pseudo community
ini bisa disebabkan karena stress yang kuat, misalnya akibat kegagalan
ditempat kerja. Ia akan menimpakan kesalahan tersebut kepada orang lain
dan mulai mengidentifikasikan orang-orang yang dianggap
menghambatnya atau menentang dirinya.

E. Upaya Penanganan

Pada tahap awal paranoia, penanganan secara kelompok maupun


individual masih efektif, terutama apabila penderita memiliki kesadaran
untuk memcari bantuan profesional. Tehnik terapi tingkah laku
menunjukkan hal-hal menjanjikan seperti, ide paranoid muncul karena
berbagai kombinasi hal-hal yang tidak menyenangkan, berbagai faktor
perubah dalam situasi kehidupan seseorang semakin memperkuat perilaku
maladaptifnya dan berkembang menjadi cara yang ampuh untuk mengatasi
permasalahannya.

Sekali sistem delusi menetap, penanganan akan menjadi sangat


sukar. Biasanya sulit berkomunikasi dengan paranoia untuk mengatasi
masalahnya dengan cara-cara yang rasional. Dalam situasi seperti ini
penderita enggan berkonsultasi, tetapi mereka berusaha mencari
pembenaran dan pengertian dari orang lain terhadap kesalahan yang
mereka lakukan. Hal yang tidak menguntungkan adalah kurang begitu
bermanfaatnya merumahsakitkan paranoia. Kepada paranoia biasanya
lebih efektif memberikan hukuman daripada penanganan. Mereka
cenderung menunjukkan kesuperiorannya kepada pasien lain apabila di
rumah sakit dan mengeluh apabila keluarga dan petugas kesehatan
menempatkan mereka di rumah sakit tanpa alasan yang valid, sehingga
mereka menolak bekerjasama dan berpartisipasi dalam kegiatan treatment.
Dengan demikian kegagalannya untuk mengendalikan tindakan dan
pikirannya dan sulitnya bekerjasama membuat mereka tinggal dalam

44
waktu lama di rumah sakit. Hal ini membuat mereka susah untuk recovery.
Meskipun demikian secara tradisional prognosa tentang paranoia kurang
begitu bermanfaat.

Pada saat awal mengidentifikasikan psikosis dengan schizophrenia


dan paranoia, telah disepakati bahwa manifestasi klinis dari kasus ini harus
dibedakan dengan gangguan neurosis atau psikosomatik. Ciri
schizophrenia jelas adanya kegagalan pemahaman/kontak dengan realitas
dan terjadi disorganisasi kepribadian seperti gangguan dalam fungsi
berpikir, afek/perasaan maupun masalah perilaku.

Identifikasi sebagian besar jenis schizophrenia seperti acute,


paranoid, katatonik, hebephrenic dan simple memperlihatkan perbedaan
klinis untuk setiap jenis. Berbagai faktor penyebab masih sulit dipahami
mengapa hal tersebut dapat berkembang. Meskipun demikian para ahli
melihat adanya peran faktor genetik yang signifikan yang menyebabkan
schizophrenia. Mungkin karena neuropshysiological atau perubahan
biochemical yang mengganggu otak berfungsi normal, termasuk disini
adalah kegagalan dalam menyeleksi mekanismenya. Penyebab yang tepat
dari perubahan tersebut harus dapat dipastikan untuk menetukan apakah
karena faktor genetik atau karena gangguan mental. Namun, harus pula
diperhatikan penyebab psiikologis lainnya yang signifikan. Disamping itu
faktor psikososial memegang peranan penting pula.Penanganan inovatif
perlu dipertimbangkan seperti chemotherapy, terapi psikososial, program
paska perawatan akan membuat kondisi penderita lebih baik.

45
BAB III
KESIMPULAN

1. Epilepsi adalah salah satu gangguan susunan saraf pusat yang terjadi karena
pelepasan neuron pada korteks serebri yang mengakibatkan penuruan kesadaran,
perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku emosional yang intermiten dan
stereotipik. Keadaan ini yang mempengaruhi timbulnya perubahan perilaku pada
penderita epilepsi. Pada perubahan perilaku selama dan sesudah kejang, gangguan
epileptogenik. Kerusakan fungsi kognitif secara umum mempengaruhi perhatian,
memori, kecepatan berpikir, dan bahasa sama seperti pada fungsi sosial dan
perilaku. Perubahan perilaku meliputi gangguan mood, depresi, ansietas, dan
psikosis. Pada pasien epilepsi terjadi kehilangan kesadaran, hal ini disebabkan
karena instabilitas dari neuron-neuron pada korteks. Terjadi perubahan perilaku
kacau, gangguan kepribadian, menimbulkan gejala psikotikyang biasa terjadi pada
pasien dengan epilepsi lobus temporal. Gejala yang paling karakteristik adalah
halusinasi dan delusi paranoid. Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania,
dipandang kurang sering pada epilepsi daripada seperti gejala skizofrenia. Gejala-
gejala gangguan mood yang memang terjadi cenderung episodik dan muncul
paling sering ketika fokus epilepsi mempengaruhi lobus temporal dari belahan
otak dominan. Pentingnya gejala gangguan mood dapat dibuktikan oleh
peningkatan kejadian percobaan bunuh diri pada orang dengan epilepsi. Dari
keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan perilaku akibat epilepsi
memiliki gejala yang sama dengan skizofrenia paranoid. Gejala tersebut berupa
halusinasi, delusi paranoid, fungsi kognitif yang terganggu, perubahan mood dan
perilaku emosional serta terganggunya fungsi sosial, sehingga epilepsi dapat
dijadikan diagnosis banding dari skizofrenia paranoid.
2. Gangguan psikotik terinduksi zat misalnya amfetamin dapat dibedakan dengan
skizofrenia paranoid dengan sejumlah karakteristik pembeda yang ditemukan
pada gangguan psikotik terinduksi amfetamin, yaitu adanya predominasi
halusinasi visual, afek yang secara umum serasi, hiperaktivitas, hiperseksualitas,
kebingungan dan inkoherensi, serta sedikit bukti gangguan proses pikir (seperti

46
asosiasi longgar). Pada beberapa studi, penelitian juga mencatat bahwa meski
gejala positif gangguan psikotik terinduksi amfetamin dan skizophrenia mirip,
gangguan psikotik terinduksi amfetamin biasanya tidak memiliki afek mendatar
dan alogia seperti pada skizofrenia, dan hanya resolusi gejala dalam beberapa hari
atau temuan positif pada uji tapis zat dalam urin yang akhirnya akan menunjukkan
diagnosis yang tepat.
3. Pada keadaan paranoid involusional terdapat halusinasi, delusi, dan depresi.
Sedangkan pada skizofrenia paranoid, hanya terdapat halusinasi.
4. Pada saat awal mengidentifikasikan psikosis dengan schizophrenia dan paranoia,
telah disepakati bahwa manifestasi klinis dari kasus ini harus dibedakan dengan
gangguan neurosis atau psikosomatik. Ciri schizophrenia jelas adanya kegagalan
pemahaman/kontak dengan realitas dan terjadi disorganisasi kepribadian seperti
gangguan dalam fungsi berpikir, afek/perasaan maupun masalah perilaku. Dari
keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa paranoia dapat dijadikan diagnosis
banding skizofrenia paranoid karena memiliki gejala yang sama yaitu terdapat
waham yang menonjol dan rasa curiga terhadap orang lain. Namun pada paranoia
tidak terdapat halusinasi seperti yang dialami pasien skizofrenia paranoid,

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Suvisaari, Jana. Incidence and Risk Factors of Schizophrenia in Finland.


University of Helsinki, Faculty of Medicine, Department of Public Health.
1999. Available from:
http://ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/kansa/vk/suvisaari/introduction.html
[Accessed 1 Maret 2018].
2. Muttaqin H, Tiara M.N. 2014. Skizofrenia. Dalam : Kaplan HI, Saddock
BC. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Hal.147-56.
3. Wiguna I. M. 2010. Sinopsis Psikiatri - Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis. Jilid 1. Tanggerang: Binarupa Aksara Publisher. 699-744.
4. Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa FK Unika Atma Jaya.
5. Sadock. 2003. Psikiatri, Konsep Dasar Dan Gangguan-Gangguan.
Bandung : Refika Aditama
6. Erlina S, Pramono D, editor. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia
pada pasien rawat jalan di rumah sakit jiwa prof. hb saanin padang
sumatera barat. Berita Ked Masy. 2010; 26(2):71-80.
7. Durand VM, Barlow DH. 2007. Essentials of Abnormal Psychology.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
8. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Dalam Erlina S, Pramono D,
editor. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien rawat jalan
di rumah sakit jiwa prof. hb saanin padang sumatera barat. Berita Ked
Masy. 2010; 26(2):71-80.
9. Wiraminaradja dan Sutardjo.2005. Pengantar Psikologi Abnormal.
Bandung. Refika Aditama. hlm.
10. Maramis, W.F.2009.Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press.

48
11. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock's synopsis of psychiatry:
behavioral sciences/clinical psychiatry. Edisi 10. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2010. 26(2):71-80.
12. Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press. 2009:259-81.
13. Sulistia Gan Gunawan, Rianto Setiabudy, dkk. Farmakologi dan Terappo.
Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007: 161-9.
14. Ginsberg L. Lecture notes neurology.Edisi 8. Jakarta: Erlangga; 2007.h.
79.
15. Kusumarawdhani AAAA. Gangguan mental organik lainnya. Dalam:
Elvira SD, Hadisukanti G. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. Jakarta: FKUI;
2013.h. 110-115.
16. Ropper Allan H.,MD, Brown Robert H., MD. Epilepsy and Other Seizure
Disorders: Adam’s and Victor’s Prinsiples of Neurology. 8thedition . New
York:The McGraw-Hill Companies; 2005.h. 271-313.
17. Kaplan & sadock. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi 2. Jakarta : EGC;
2010.h. 75.
18. Dewanto G, Riyanto B. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana
penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009.h. 74-5.
19. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual
of mental disorders text revision(DSM-IV- TR) (4th
ed.).Washington, DC. 2000.
20. Andreasen NC. Scale for the assessment of negative symp- toms
(SANS). Iowa city, Iowa: The University of. Iowa College of
Medicine. Comprehensive meta analysis. [Computer software].
Englewood, NJ: Bio- stat. 1984.
21. Bleuler E. Praecox or the group of schizophrenia, New York:
International Universities Press 1911.
22. Castle D, Wesseley S, Der G, Murray RM. The incidence of

49
operationally defined schizophrenia in Camberwell 1965–84.British
Journal of Psychiatry 1991, 159, 790–794.
23. Cercone KA. The effects of music therapy on symptoms of
schizophrenia and other serious mental illnesses: a meta-analysis.
Dissertation Abstracts International: Section B: The Sciences and
Engineering 2008, 68(9- B), 6293.
24. Dileo C and Bradt J. Medical music therapy: Evidence-based
principles and practices. In: Soderback I (ed), Inter- national
handbook of occupational therapy. New York: Springer; 2009: 445-
451.

50

Anda mungkin juga menyukai

  • Laporan DV
    Laporan DV
    Dokumen12 halaman
    Laporan DV
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Edit Jurnal Aldo
    Edit Jurnal Aldo
    Dokumen12 halaman
    Edit Jurnal Aldo
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Short Case Nindy
    Short Case Nindy
    Dokumen6 halaman
    Short Case Nindy
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Edit Jurnal Aldo
    Edit Jurnal Aldo
    Dokumen12 halaman
    Edit Jurnal Aldo
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Referat Radio
    Referat Radio
    Dokumen25 halaman
    Referat Radio
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Case 23
    Case 23
    Dokumen22 halaman
    Case 23
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Analisis Kasus
    Analisis Kasus
    Dokumen4 halaman
    Analisis Kasus
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • BST FIX Katarak
    BST FIX Katarak
    Dokumen10 halaman
    BST FIX Katarak
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Referat Nindy Edit
    Referat Nindy Edit
    Dokumen37 halaman
    Referat Nindy Edit
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Demam
    Demam
    Dokumen36 halaman
    Demam
    Rifqoh Trikurnia
    Belum ada peringkat
  • Revisii Long Case
    Revisii Long Case
    Dokumen18 halaman
    Revisii Long Case
    Feisal Moulana
    Belum ada peringkat
  • Laporan Jaga 23 Desember 2018-1
    Laporan Jaga 23 Desember 2018-1
    Dokumen16 halaman
    Laporan Jaga 23 Desember 2018-1
    fkia
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen14 halaman
    Chapter II
    Salsabila Nadhifa
    Belum ada peringkat
  • Referat Nak Di Print-1
    Referat Nak Di Print-1
    Dokumen34 halaman
    Referat Nak Di Print-1
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Case Gbs Fix
    Case Gbs Fix
    Dokumen34 halaman
    Case Gbs Fix
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • TB Paru
    TB Paru
    Dokumen16 halaman
    TB Paru
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen13 halaman
    Chapter II
    rulisakarozi
    Belum ada peringkat
  • Skenario D Blok 24
    Skenario D Blok 24
    Dokumen4 halaman
    Skenario D Blok 24
    RifqiUlwanHamidin
    Belum ada peringkat
  • Print BST Katarak
    Print BST Katarak
    Dokumen7 halaman
    Print BST Katarak
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Dapus
    Dapus
    Dokumen1 halaman
    Dapus
    Naufal Karyna
    Belum ada peringkat
  • Jawaban 1
    Jawaban 1
    Dokumen11 halaman
    Jawaban 1
    Yusuf Adi
    Belum ada peringkat
  • Case
    Case
    Dokumen3 halaman
    Case
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Case Pterigium Mata
    Case Pterigium Mata
    Dokumen29 halaman
    Case Pterigium Mata
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Referat Nak Di Print-1
    Referat Nak Di Print-1
    Dokumen34 halaman
    Referat Nak Di Print-1
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Case Tinea Kruris Et Korporis (Yudi Kartasasmita)
    Case Tinea Kruris Et Korporis (Yudi Kartasasmita)
    Dokumen7 halaman
    Case Tinea Kruris Et Korporis (Yudi Kartasasmita)
    Adrenalincappuccino
    Belum ada peringkat
  • Bab I-1
    Bab I-1
    Dokumen2 halaman
    Bab I-1
    helen
    Belum ada peringkat
  • KAD Anak Dan Remaja
    KAD Anak Dan Remaja
    Dokumen16 halaman
    KAD Anak Dan Remaja
    Diah Ariesa
    Belum ada peringkat
  • Katarak Matur OD
    Katarak Matur OD
    Dokumen7 halaman
    Katarak Matur OD
    Dita Subrata
    Belum ada peringkat
  • Referat Hidrokel Print
    Referat Hidrokel Print
    Dokumen17 halaman
    Referat Hidrokel Print
    Anonymous vwJL1R9
    Belum ada peringkat