PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Skizofrenia tipe paranoid ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau
lebih waham atau halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku
spesifik yang sugestif untuk tipe hebefrenik atau katatonik.Gangguan
fundamental meliputi gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran; gangguan
afektif, autisme, dan ambivalensi yang dirangkum menjadi empat A: asosiasi,
afek, autisme, dan ambivalensi. DSM-IV-TR mengklasifikasi subtipe
skizofrenia sebagai paranoid, hebefrenik, katatonik, tak terdeferensiasi, dan
residual, terutama berdasarkan presentasi klinisnya. Menurut Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia yang ke-
III, skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu paraoid, hebefrenik, katatonik,
tak terinci (undifferentiated), depresi pasca-skizofrenia, residual, dan
simpleks.
2.2 Epidemiologi
1. Gender dan Usia
Skizofrenia setara prevalensinya pada pria dan wanita. Namun, kedua jenis
kelamin tersebut berbeda awitan dan perjalanan penyakitnya.Awitan
terjadi lebih dini pada pria dibanding wanita. Usia puncak awitan adalah 8
sampai 25 tahun untuk pria dan 25 sampai 25 tahun untuk wanita. Awitan
skizofrenia di bawah usia 10 tahun atau di atas usia 60 tahun sangat jarang.
2. Faktor Reproduktif
Penggunaan obat psikoterapeutik, kebijakan terbuka di rumah sakit,
deinstitusionalisasi di rumah sakit pemerintah, penekanan pada
rehabilitasi, dan perawatan berbasis masyarakat untuk pasien skizofrenia,
semuanya telah menyebabkan peningkatan angka pernikahan dan
kesuburan di antara pasien skizofrenia. Akibat faktor tersebut, jumlah anak
yang dilahirkan dari orangtua skizofrenia terus meningkat. Angka
2
kesuburan pasien skizofrenik mendekati angka populasi umum. Terdapat
hubungan antara angka kesuburan dengan transmisi genetik. Keluarga
biologis derajat pertama pasien skizofrenik memiliki risiko terkena
penyakit sepuluh kali lebih besar dibanding populasi umum.
3
terdiagnosis. Pada penyakit autoimun seperti lupus eritematous sistemik,
ditemukan prevalensi gejala neuropsikiatrik yang tinggi yang dapat
dipengaruhi oleh autoantibodi yang melewati barrier darahotak. Efek ini
berkaitan dengan afinitas antibodi terhadap reseptor N metil-d-aspartat di
otak, sebuah reseptor yang menjadi pusat terhadap teori patofisiologi
skizofrenia saat ini. Adanya infeksi berat juga meningkatkan risiko
skizofrenia secara signifikan. Peningkatan inflamasi pada penyakit
autoimun dan infeksi dapat mempengaruhi otak melalui jalur yang
berbeda. Satu jalur yang mungkin adalah peningkatan permeabilitas barier
darah-otak membuat otak terpengaruh oleh komponen autoimun seperti
autoantibodi dan sitokin.
3. Faktor Genetik
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Risiko
masyarakat umum 1%, pada orang tua risiko 5%, pada saudara kandung
8%, dan pada anak 12% apabila salah satu orang tua menderita
skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua sejak lahir,
anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%. Pada kembar monozigot 47%,
sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12%.2Faktor genetik turut
menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan
penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama
anak-anak kembar monozigot. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah
0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang
tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita
skizofrenia 40- 68%; bagi heterozigot 2-15%; dan bagi monozigot 61-
86%. Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk
mendapatkan skizofrenia melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin
kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan
individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang
disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat
mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempattempat
4
yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa
ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami
gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk
mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah
anggota keluarga yang memiliki penyakit ini.
4. Faktor Psikososial
Pada faktor ini menandakan adanya tekanan psikososial yang
terjadi pada orang tertentu yang bisa memicu terjadinya skizofrenia,
seperti permasalahan keluarga, hubungan intrapersonal, konflik, dan
frustasi dalam lingkungan. 2Konflik keluarga kemungkinan berisiko 1,13
kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan tidak ada
konflik keluarga. Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk
mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi.
Seseorang yang belum menikah kemungkinan berisiko untuk
mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan yang menikah karena
status marital perlu untuk pertukaran ego ideal dan identifikasi perilaku
antara suami dan istri menuju tercapainya kedamaian. Dan perhatian dan
kasih sayang adalah fundamental bagi pencapaian suatu hidup yang berarti
dan memuaskan.
Status ekonomi rendah sangat mempengaruhi kehidupan
seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan kemiskinan (status
ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang menyertainya
bertanggung jawab atas timbulnya gangguan kesehatan. Himpitan
ekonomi memicu orang menjadi rentan dan terjadi berbagai peristiwa yang
menyebabkan gangguan jiwa. Jadi, penyebab gangguan jiwa bukan
sekadar stressor psikososial melainkan juga stressor ekonomi. Dua stressor
ini kaitmengait, makin membuat persoalan yang sudah kompleks menjadi
lebih kompleks.
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang
semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan,
5
adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang
patogenik dalam keluarga.
Menurut Maramis penyebab skizofrenia dapat dijelaskan
berdasarkan teori somatogenik dan teori psikogenik.
1. Teori somatogenik
a. Keturunan
Telah terdapat bukti dari penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara
tiri 0,9-1,8 %, bagi saudara kandung 7-15%, bagi anak dengan salah
satu orang tua yang menderita skizofrenia 40-60%, kembar 2 telur 2-
15% dan kembar 1 telur 61-86%. Dalam hal ini, diduga potensi
kejadian skizofrenia diturunkan melalui generasif.
b. Endokrin
Teori ini diutarakan berhubungan dengan sering timbulnya skizofrenia
pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu
klimaterium.Tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
c. Metabolisme
Teori ini dikemukakan berdasarkan tanda-tanda dari penderita
skizofrenia yang tampak pucat, tidak sehat, ujung ekstremitas sedikit
sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun.
d. Teori saraf pusat
Penyebab skizofrenia ditujukan pada kelainan sistem saraf pusat (SSP)
yang terletak di diensefalon atau kortek otak, tetapi kelainan patologis
yang ditemukan itu mungkin disebaban oleh perubahan postmortem
atau merupakan artefak pada waktu membuat sediaan.
2. Teori psikogenik
a. Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah karena tidak
ditemukanya kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada
sususan saraf pusat (SSP) tetapi Ia mengakui bahwa suatu konstitusi
inferior atau penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya
skizofrenia. Menurut Meyer skizofrenia merupakan suatu reaksi yang
6
salah atau maladaptasi. Sehingga, timbul suatu disorganisasi
kepribadian dan lama kelamaan penderita skizofrenia tersebut akan
menjauhkan diri dari kenyataan.
b. Teori Sigmund Freud
Skizofrenia terdapat kelemahan ego yang terjadi karena penyebab
psikogenik atau somatogenik.Superego dikesampingkan sehingga tidak
bertenaga lagi dan Id yang berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase
narsisme.Kehilangan kapasitas untuk pemindahan sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin.
c. Teori Bleuler
Teori tersebut menonjolkan gejala utama pada skizofrenia yaitu
terdapatnya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir, perasaan
dan perbuatan.
d. Teori lain
Teori ini menjelaskan skizofrenia merupakan suatu sindrom yang dapat
disebakan oleh berbagai macam penyebab antara lain keturunan,
pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badaniah
seperti aterosklerosis otak dan penyakit lainya yang belum diketahui.
5. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak
yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan
neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan
bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotranmitter dopamine yang
berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau karena sesitivitas yang
abnormal terhadap dopamine. Beberapa neourotranmitter lain seperti
serotonin dan norepinephrine juga memainkan peranan.
Dalam hipotesis dopamine yaitu pada skizofrenia terdapat
hiperaktivitas sistem dopamine pada jaras mesolimbik dan hipoaktivitas
sistem dopamin pada jaras mesocortical. Hal ini didukung oleh temuan
bahwa amfetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin, dapat
menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat antipsikotik
7
(terutama antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik tipikal/klasik)
bekerja dengan memblok reseptor dopamine, terutama reseptor D2.
Mekanisme neuroinflamasi berperan dalam skizofrenia termasuk
glial (kehilangan dan aktivasi astroglial, aktivasi mikroglial), imunologik
(sitokin, kemokin dan prostaglandin), dan oksidatif (oksigen reaktif dan
spesies nitrogen). Mekanisme inilah yang menghasilkan disregulasi
glutamatergik (hipofungsi) dan dopaminergik (hiperfungsi limbik,
hipofungsi frontal).
8
Gambar 2. Jaras Dopamine pada Otak Manusia
1. Nigrostriatal Pathway
- Proyeksinya berasal dari substansia nigra lalu berjalan ke basal ganglia
atau striatum.
- Jaras ini berperan sebagai agonis reseptor D2, yang nantinya akan
mencegah timbulnya gejala EPS. Nigrostriatal ini merupakan bagian dari
sistem saraf ekstrapiramidal yang berperan penting dalam mengontrol
pergerakan. Blokade yang berlebihan pada reseptor dopamine bisa
berakibat pada munculnya gejala EPS (Extra Pyramidal Syndrome)
seperti rigiditas otot, akinesia/bradikinesia dan tremor. Defisiensi
dopamin di basal ganglia juga menyebabkan akatisia dan distonia.
9
Hiperaktivitas domain di jalur ini berperan penting sebagai hal yang
mendasari gerakan hiperkinetik seperti chorea, dyskinesias dan tics.
b) Mesolimbic Pathway
Proyeksi jaras ini berawal dari otak tengah bagian ventral
tegmental lalu ke nukleus akumbens. Jaras mesolimbik ini terlibat dalam
berbagai perilaku dan sensai yang sifatnya menyenangkan. Hiperaktivitas
pada jaras ini bisa menyebabkan gejala positif seperti waham dan
halusinasi. Jaras ini berperan sebagai antagonis di reseptor D2 pada
kondisi hiperdopaminergik, yang nantinya akan mengurangi gejala positif
yang terjadi.
10
1. Mesocortical Pathway
Jaras ini dipercaya memiliki peran penting dalam memperantarai
gejala kognitif (dorsolateral prefrontal cortex), gejala afektif
(ventromedial prefrontal cortex), dan gejala negatif skizofrenia.
Hipoaktivitas dari jaras ini akan menyebabkan munculnya gejala negatif
dan juga gangguan kognitif. Jaras ini berperan sebagai agonis di reseptor
D2 pada kondisi hipodopaminergik, yang nantinya akan menyebabkan
perbaikan dari gejala negatif dan gangguan kognitifnya akan yang terjadi.
11
Note: Dorsolateral Prefrontal Cortex (DLPFC)
12
2. Tuberoinfundibular Pathway
Berproyeksi dari hipotalamus menuju ke anterior kelenjar pituitari.
Normalnya, aktivitas dopamin akan menurun pada jaras ini ketika
postpartum sehingga terjadilah peningkatan sekresi prolaktin yang
nantinya akan berguna dalam proses laktasi. Jaras ini penting dalam
mengontrol sekresi prolaktin. Blokade transmisi dopamin pada jaras ini
akan menyebabkan hipoprolaktinemia.
Gangguan pada jaras ini akibat dari lesi atau obat akan
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin, yang akan berdampak pada
gejala-gejala seperti galaktorea dan amenorea. Gejala serupa akan muncul
juga pada pasien dengan terapi menggunakan obat antipsikosis yang
bekerja memblok reseptor D2.
3. Fifth Pathway11
Berasal dari berbagai tempat, termasuk periaqueductal gray,
ventral mesencephalon, hypothalamic nuclei, nukelus parabrachial lateral,
yang nantinya akan berpoyeksi ke talamus. Fungsi dari jaras ini masih
belum diketahui secara pasti dan di teliti oleh para ahli.
13
2.4 Diagnosa
Pedoman diagnostik skizofrenia menurut PPDGJ-III:
B. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
- Thought echo. Isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isi
sama, namun kualitasnya berbeda; atau
14
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
diatas manusia biasa(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
C. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
1. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide – ide
berlebihan (over loaded ideas) yang menetap, atau yang apabila terjadi
setiap hari selama berminggu – minggu atau berbulan – bulan terus
menerus;
D. Harus ada suatu perbuatan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
15
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis,
sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan
penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran
mental).Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan
pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat
berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar
rumah.Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia
paranoid dapat berupa penatalaksanaan non- farmakologis dan farmakologis.
16
f. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa
17
3.6.2 Penatalaksanaan Farmakologis
1. Pemberian obat-obat anti-psikosis
Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia (sindrom
psikosis fungsional) merupakan penatalaksanaan yang
utama.Pengobatan anti-psikosis diperkenalkan awal tahun 1950-an.
Pemilihan jenis obat anti- psikosis mempertimbangkan gejala
psikosis yang dominan (fase akut atau kronis) dan efek samping
obat.Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru
dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi.
18
dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:
19
harganya murah.
20
parkinsonisme (efek ekstrapiramidal / EPS).Semua obat APG-I
dapat menimbulkan efek samping EPS (ekstrapiramidal), seperti
dystonia akut, akathisia, sindrom Parkinson (tremor, bradikensia,
rigiditas).Efek samping ini dibagi menjadi efek akut, yaitu efek
yang terjadi pada hari-hari atau minggu-minggu awal pertama
pemberian obat, sedangkan efek kronik yaitu efek yang terjadi
setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun menggunakan obat.
Oleh karena itu, setiap pemberian obat APG-I, maka harus
disertakan obat trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai
obat antidotum.
21
psikosis atipikal perlu dipertimbangkan.
22
2.6 Prognosis
Prognosis tidak berhubungan dengan tipeapa yang dialami seseorang.
Perbedaan prognosis paling baik dilakukan dengan melihat pada prediktor
prognosis spesifik di tabel berikut ini:
2.8.1. Epilepsi
A. Definisi
23
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron-neuron di otak secara
berlebihan dan paroksismal.
Epilepsi adalah salah satu gangguan susunan saraf pusat yang terjadi
karena pelepasan neuron pada korteks serebri yang mengakibatkan
penuruan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku
emosional yang intermiten dan stereotipik. Keadaan ini yang
mempengaruhi timbulnya perubahan perilaku pada penderita epilepsi.Pada
perubahan perilaku selama dan sesudah kejang, gangguan epileptogenik
yang melibatkan fungsi sering berlanjut sampai pada periode postictal dan
interictal. Kerusakan fungsi kognitif secara umum mempengaruhi
perhatian, memori, kecepatan berpikir, dan bahasa sama seperti pada
fungsi sosial dan perilaku. Perubahan perilaku meliputi gangguan mood,
depresi, ansietas, dan psikosis.
Pada pasien epilepsi terjadi kehilangan kesadaran, hal ini disebabkan
karena instabilitas dari neuron-neuron pada korteks. Sebelum terjadinya
serangan epilepsi, terdapat gejala aura, yaitu penderita merasa pusing,
merasa tidak enak pada perut dan punggungnya dalam beberapa detik.
Penderita menjadi bingung dan merasakan getaran-getaran dingin,
sehingga dia tidak dapat mempersiapkan diri terhadap serangan kejang.
Lalu penderita mengalami aura-stupor, yaitu rasa seperti terbius dan tidak
berdaya, serta merasakan kelumpuhan atau kekakuan pada sebagian
anggota badannya.
B. Etiologi
24
juga dapat terjadi karena adanya infeksi virus pada wanita hamil, seperti
sifilis, toksoplasma virus rubella, virus sitomegalo atau herpes simplek,
dapat menimbulkan epilepsi. Disamping itu adanya infeksi pada susunan
saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis. Konsumsi alkohol atau narkoba
oleh wanita hamil dapat merusak otak janin sehingga dapat menyebabkan
epilepsi. Penggunaan konsumsi alkohol secara tiba-tiba pada seorang
alkoholik; penghentian secara tiba-tiba obat tertentu seperti obat anti
epilepsi; keracunan Karbon Monoksida (CO), timah atau air raksa; injeksi
heroin atau kokain, dapat pula menimbulkan epilepsi.
Terpaparnya seorang wanita hamil dengan sinar X atau sinar
radioaktif lainnya, terutama pada tiga bulan pertama kehamilan, dapat
menyebabkan kerusakan otak. Trauma yang menyebabkan cedera otak
pada bayi selam proses persalinan maupun trauma kepala yang dialami
seseorang pada semua usia dapat menimbulkan epilepsi.
C. Klasifikasi
25
kejadian saat terjadi serangan, meski lidahnya sakit atau
mengompol.Penderita yang mengalami kekejangan tesebut memiliki
resiko mendapatkan kecelakaan,seperti melikai diri sendiri, menggigit
lidahnya hingga putus, atau tenggelam, terluka, atau terbakar. Absences
(Petit Mal) Biasanya penderita tidak kehilangan kesadarannya. Ia berhenti
sebentar, memandang kosong ke depan atau ke lantai, lalu berjalan
kembali. Seringkali terdapat gerakan-gerakan pada kening dan alis, atau
gerak ritmis pada kelopak mata, dekat telinga, bibir dan hidung. Barang
yang sedang dipegannya, dapat terjatuh.Petit mal ini banyak dialami oleh
perempuan, terutama mereka yang sedang mengalami periode sekitar
pubertas.Elektroensefalogerafi ( EEG) menghasilkan pola karakteristik
aktivitas paku dan gelombang (spike and wave) tiga kali perdetik. Pada
keadaan yang jarang, epilepsi petitmal dengan onset dewasa dapat ditandai
oleh episode psikotik atau delirium yang tiba-tiba dan rekuren yang
tampak dan menghilang secara tiba-tiba gejala dapat disertai dengan
riwayat terjatuh atau pingsan.
Kejang parsial diklasifikasikan sebagai sederhana tanpa perubahan
kesadaran atau kompleks dengan perubahan kesadaran Sedikit lebih
banyak dari setengah semua pasien dengan kejang parsial mengalami
kejang parsial kompleks; istilah lain yang digunakan untuk kejang parsial
kompleks adalah epilepsi lobus temporalis, kejang psikomotor, dan
epilepsi limbik tetapi istilah tersebut bukan merupakan penjelasan situasi
klinis yang akurat.
Secara umum penggolongan gangguan prilaku yang di temukan
pada pasien epilepsi menjadi preiktal, iktal, dan interiktal.
1. Preiktal
Pada preiktal aura pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi
otonomik seperti rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada
pernafasan, dan sensai kognitif seprti deja vu, jamais vu, pikiran
26
dipaksakan, dan keadaan seperti mimpi. Keadaan afektif dirasakan rasa
takut, panik, depresi, dan elasi.
2. Iktal
Gejala kognitif meliputi amnesia untuk waktu selama kejang dan periode
EEG dalam 25 sampai 50% dari semua pasien dengan epilepsi parsial
kelainan EEG. EEG yang normal Multiple sering diperoleh untuk pasien
dengan epilepsi parsial kompleks, sehingga pada EEG normal tidak dapat
3. Interiktal
a. Gangguan Kepribadian
Kelainan psikiatri yang paling sering dilaporkan pada pasien
dengan epilepsi adalah gangguan kepribadian, dan ini sangat mungkin
terjadi pada pasien dengan epilepsi lobus temporal. Gambaran yang paling
umum adalah perubahan perilaku seksual. Sindrom dalam bentuk lengkap
relatif jarang terjadi, bahkan pada mereka dengan kejang parsial kompleks
asal lobus temporal. Banyak pasien tidak terpengaruh oleh gangguan
kepribadian, yang lainnya menderita berbagai gangguan yang berbeda
mencolok dari sindrom klasik.
Gejala viskositas kepribadian biasanya paling nyata dalam
percakapan pasien, yang kemungkinan akan menjadi lambat, serius,
membosankan, bertele-tele, terlalu penuh dengan rincian yang tidak
penting, dan sering mendalam. Pendengar dapat tumbuh bosan tapi tidak
dapat menemukan cara sopan dan sukses untuk melepaskan diri dari
percakapan. Kecenderungan berbicara, sering tercermin dalam tulisan
27
pasien, menghasilkan gejala yang dikenal sebagai hypergraphia, yang
beberapa dokter mempertimbangkan hampir patognomonik untuk epilepsi
parsial kompleks.
Perubahan perilaku seksual dapat dimanifestasikan oleh
hypersexuality; penyimpangan dalam minat seksual, seperti fetisisme dan
transvestisme, dan, paling sering, hyposexuality. Hyposexuality ini
ditandai baik oleh kurangnya minat dalam hal-hal seksual dan dengan
gairah seksual berkurang. Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial
kompleks sebelum pubertas mungkin gagal untuk mencapai tingkat normal
minat seksual setelah pubertas, meskipun karakteristik ini mungkin tidak
mengganggu pasien. Untuk pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks
setelah pubertas, perubahan minat seksual mungkin mengganggu dan
mengkhawatirkan.
b. Gejala psikotik
Psikotik interiktal lebih umum daripada psikosis iktal. Skizofrenia-
seperti episode interiktal dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi,
terutama mereka yang berasal lobus temporal. Diperkirakan 10 persen dari
semua pasien dengan epilepsi parsial kompleks memiliki gejala psikotik.
Faktor risiko termasuk gejala jenis kelamin wanita, kidal, timbulnya
kejang selama masa pubertas, dan lesi sisi kiri.
Timbulnya gejala psikotik pada epilepsi adalah variabel. Secara
klasik, gejala psikotik muncul pada pasien yang memiliki epilepsi untuk
waktu yang lama, dan timbulnya gejala psikotik didahului oleh
perkembangan perubahan kepribadian terkait dengan aktivitas otak
epilepsi. Gejala yang paling karakteristik dari psikosis adalah halusinasi
dan delusi paranoid. Pasien biasanya tetap hangat dan tepat dalam
mempengaruhi, berbeda dengan kelainan mempengaruhi sering terlihat
pada pasien dengan skizofrenia. Gejala-gejala gangguan berpikir pada
pasien dengan epilepsi psikotik paling sering yang melibatkan
konseptualisasi dan sifat terperinci, bukan gejala skizofrenia klasik
memblokir dan kelonggaran.
28
c. Gejala Gangguan suasana hati
Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania, dipandang kurang
sering pada epilepsi daripada seperti skizofrenia gejala. Gejala-gejala
gangguan mood yang memang terjadi cenderung episodik dan muncul
paling sering ketika fokus epilepsi mempengaruhi lobus temporal dari
belahan otak dominan. Pentingnya gejala gangguan mood dapat dibuktikan
oleh peningkatan kejadian percobaan bunuh diri pada orang dengan
epilepsi.
D. Patofisiologi
29
mengganggu metabolisme otak seperti penyakit metabolik, racun,
beberapa obat dan putus obat, dapat menimbulkan pengaruh yang sama.
E. Penatalaksanaan
30
adalah inhibisi kanal Na dan inhibisi Ca. Untuk enghindari efek samping,
pemberian perlu di titrasi untuk mencapai kadar terapeutik. Pada pasien
dewasa dimulai dengan dosis 100-200 mg atau 2dd 100 mg kemudian 3-7
hari di tingkatkan menjadi 2dd 200 mg. Asam valproat sangat efektif untuk
abses, dan epilepsi umum primer. Efek toksis sedian ini adalah gangguan
saluran pencernaan dan efek sedasi.
F. Prognosis
A. Epidemiologi
B. Etiologi
31
C. Gambaran klinis
32
disforik. Waham dapat sistematis atau terfragmentasi, dengan isi pikiran
bervariasi tetapi waham kejar paling sering.
1. Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (menurut Undang-
Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika). NARKOTIKA
dibedakan kedalam golongan-golongan :
a) Narkotika Golongan I :
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi
sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh : heroin/putauw,
kokain, ganja).
b) Narkotika Golongan II :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan
terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan (Contoh : morfin,petidin)
c) Narkotika Golongan III :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (Contoh:
kodein)
Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan
I : (1) Opiat : morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain (2)
Ganja atau kanabis, marihuana, hashis (3) Kokain, yaitu serbuk kokain,
pasta kokain, daun koka.
33
2. Psikotropika
Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropik.
Yang dimaksud dengan PSIKOTROPIKA adalah zat atau obat, baik
alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
34
berikut :
- Sama sekali dilarang : Narkotoka golongan I dan Psikotropika
GolonganI.
- Penggunaan dengan resep dokter : amfetamin, sedatif hipnotika.
- Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.
- Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA
dapat digolongkan menjadi tiga golongan :
1. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional
tubuh. Jenis ini membuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan
bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini
termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang),
hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.
2. Golongan Stimulan (Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi
aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah :
Amfetamin (shabu,esktasi), Kafein, Kokain
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang
bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya
pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu.
Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk :
Kanabis (ganja), LSD, Mescalin. Macam-macam bahan Narkotika dan
Psikotropika yang terdapat di masyarakat serta akibat pemakaiannya :
a) OPIOIDA
Opioida dibagi dalam tiga golongan besar yaitu :
- Opioida alamiah (opiat): morfin, cpium, kodein
- Opioida semi sintetik : heroin/putauw, hidromorfin
- Opioida sintetik : meperidin, propoksipen, metadon
35
Nama lainnya adalah putauw, putaw, black heroin, brown sugar
b) KOKAIN
Kokain mempunyai dua bentuk yaitu : kokain hidroklorid dan free
base. Kokain berupa kristal pitih. Rasa sedikit pahit dan lebih mudah larut
dari free base. Free base tidak berwarna/putih, tidak berbau dan rasanya
pahit. Nama jalanan dari kokain adalah koka, coke, happy dust, charlie,
srepet, snow salju, putih. Biasanya dalam bentuk bubuk putih. Cara
pemakaiannya : dengan membagi setumpuk kokain menjadi beberapa
bagian berbaris lurus diatas permukaan kaca atau benda-benda yang
mempunyai permukaan datar kemudian dihirup dengan menggunakan
penyedot deperti sedotan. Atau dengan cara dibakar bersama tembakau
yang sering disebut cocopuff. Ada juga yang melalui suatu proses menjadi
bentuk padat untuk dihirup asapnya yang populer disebut freebasing.
Penggunaan dengan cara dihirup akan berisiko kering dan luka pada
sekitar lubang hidung bagian dalam. Efek rasa dari pemakaian kokain ini
membuat pemakai merasa segar, kehilangan nafsu makan, menambah rasa
percaya diri, juga dapat menghilangkan rasa sakit dan lelah.
c). KANABIS
Nama jalanan yang sering digunakan ialah : grass cimeng, ganja
dan gelek, hasish, marijuana, bhang. Ganja berasal dari tanaman kanabis
sativa dan kanabis indica. Pada tanaman ganja terkandung tiga zat utama
yaitu tetrehidro kanabinol, kanabinol dan kanabidio. Cara penggunaannya
adalah dihisap dengan cara dipadatkan mempunyai rokok atau dengan
menggunakan pipa rokok. Efek rasa dari kanabis tergolong cepat,
sipemakai : cenderung merasa lebih santai, rasa gembira berlebih (euforia),
sering berfantasi. Aktif berkomonikasi, selera makan tinggi, sensitif,
kering pada mulut dan tenggorokan
d). AMPHETAMINES
Nama generik amfetamin adalah D-pseudo epinefrin berhasil
disintesa tahun 1887, dan dipasarkan tahun 1932 sebagai obat. Nama
jalannya : seed, meth, crystal, uppers, whizz dan sulphate. Bentuknya ada
36
yang berbentuk bubuk warna putih dan keabuan, digunakan dengan cara
dihirup. Sedangkan yang berbentuk tablet biasanya diminum dengan air.
Ada dua jenis amfetamin :
- MDMA (methylene dioxy methamphetamin), mulai dikenal sekitar tahun
1980 dengan nama Ekstasi atau Ecstacy. Nama lain : xtc, fantacy pils,
inex, cece, cein. Terdiri dari berbagai macam jenis antara lain : white doft,
pink heart, snow white, petir yang dikemas dalam bentuk pil atau kapsul
- Methamfetamin ice, dikenal sebagai SHABU. Nama lainnya shabu-
shabu.SS, ice, crystal, crank. Cara penggunaan : dibakar dengan
menggunakan kertas alumunium foil dan asapnya dihisap, atau dibakar
dengan menggunakan botol kaca yang dirancang khusus (bong).
e). LSD (Lysergic acid)
Termasuk dalam golongan halusinogen,dengan nama jalanan :
acid, trips, tabs, kertas. Bentuk yang bisa didapatkan seperti kertas
berukuran kotak kecil sebesar seperempat perangko dalam banyak warna
dan gambar, ada juga yang berbentuk pil, kapsul. Cara menggunakannya
dengan meletakkan LSD pada permukaan lidah dan bereaksi setelah 30-60
menit sejak pemakaian dan hilang setelah 8-12 jam. Efek rasa ini bisa
disebut tripping. Yang bisa digambarkan seperti halusinasi terhadap
tempat. Warna dan waktu. Biasanya halusinasi ini digabung menjadi satu.
Hingga timbul obsesi terhadap halusinasi yang ia rasakan dan keinginan
untuk hanyut didalamnya, menjadi sangat indah atau bahkan
menyeramkan dan lama-lama membuat paranoid.
f). SEDATIF-HIPNOTIK (BENZODIAZEPIN)
Digolongkan zat sedatif (obat penenang) dan hipnotika (obat tidur)
Nama jalanan dari Benzodiazepin : BK, Dum, Lexo, MG, Rohyp.
Pemakaian benzodiazepin dapat melalui : oral, intra vena dan rectal.
Penggunaan dibidang medis untuk pengobatan kecemasan dan stres serta
sebagai hipnotik (obat tidur).
g). SOLVENT / INHALANSIA
37
Adalah uap gas yang digunakan dengan cara dihirup.Contohnya :
Aerosol, aica aibon, isi korek api gas, cairan untuk dry cleaning, tiner,uap
bensin. Biasanya digunakan secara coba-coba oleh anak dibawah umur
golongan kurang mampu/ anak jalanan. Efek yang ditimbulkan : pusing,
kepala terasa berputar, halusinasi ringan, mual, muntah, gangguan fungsi
paru, liver dan jantung.
h). ALKOHOL
Merupakan salah satu zat psikoaktif yang sering digunakan manusia.
Diperoleh dari proses fermentasi madu, gula, sari buah dan umbi-umbian.
Dari proses fermentasi diperoleh alkohol dengan kadar tidak lebih dari
15%, dengan proses penyulingan di pabrik dapat dihasilkan kadar alkohol
yang lebih tinggi bahkan mencapai 100%. Nama jalanan alkohol : booze,
drink. Konsentrasi maksimum alkohol dicapai 30-90 menit setelah tegukan
terakhir. Sekali diabsorbsi, etanol didistribusikan keseluruh jaringan tubuh
dan cairan tubuh. Sering dengan peningkatan kadar alkohol dalam darah
maka orang akan menjadi euforia, namun sering dengan penurunannya
pula orang menjadi depresi.
2.8.3. Paranoia
A. Definisi
38
1. Paranoia, dimana terjadinya delusi yang berkembang secara
perlahan kemudian menjadi rumit, logis dan sistematis serta hal tersebut
berpusat pada delusi merasa dikejar-kerjar atau waham kebesaran. Meski
adanya delusi, kepribadian penderita masih utuh, tidak ada disorganisasi
yang serius dan tanpa halusinasi.
39
yang cemburu terhadap prestasi kerjanya sehingga ingin menjatuhkannya.
Seorang paranoia memiliki alasan tertentu mengapa mereka curiga dan
tidak mau menerima alasan lain yang sebenarnya lebih benar. Karena
sikap curiga tersebut ia dapat melakukan interogasi terhadap mereka yang
dianggap musuh.
40
melihatnya secara curiga dan mulai menyalahkan orang lain atas
kegagalannya.
3. Hostility/permusuhan – sangat sensitif terhadap ketidakadilan yang
dirasakan meskipun tidak benar, hal ini direspon secara marah dan sikap
permusuhan dan ini semakin meningkatkan kecurigaan.
4. Paranoid Illumination / Berkembangnya Paranoid – Sikap penuh curiga
sudah menjadi bagian dirinya dan ia merasakan adanya sesuatu yang aneh
namun ia ia telah tenggelam dalam situasi kecurigaan tersebut.
5. Delusions – merasa dikejar-kejar atau adanya waham kebesaran namun
ia mengembangkan suatu alasan yang logis dan mengembangkan tindakan-
tindakan yang dapat dipahami oleh orang lain.
41
perlahan-perlahan terbentik kepribadian yang paranoia. Selanjutnya
terjadilah isolasi sosial dan ia semakin tidak percaya kepada orang lain.
42
Meskipun demikian perasaan inferiority dari penderita paranoia
bersifat topeng saja, karena sesungguhnya mereka ingin superior dan
menganggap dirinya penting dan hal ini dimanifestasikan dalam banyak
aspek dari perilakunya. Mereka sangat ingin dihargai, hipersensitif
terhadap kritik, sangat teliti dan rajin.
43
dirinya. Kejadian-kejadian menjadi perhatian penderita. Ia selalui
menyikapi hal-hal disekitarnya dengan sikap curiga. Pseudo community
ini bisa disebabkan karena stress yang kuat, misalnya akibat kegagalan
ditempat kerja. Ia akan menimpakan kesalahan tersebut kepada orang lain
dan mulai mengidentifikasikan orang-orang yang dianggap
menghambatnya atau menentang dirinya.
E. Upaya Penanganan
44
waktu lama di rumah sakit. Hal ini membuat mereka susah untuk recovery.
Meskipun demikian secara tradisional prognosa tentang paranoia kurang
begitu bermanfaat.
45
BAB III
KESIMPULAN
1. Epilepsi adalah salah satu gangguan susunan saraf pusat yang terjadi karena
pelepasan neuron pada korteks serebri yang mengakibatkan penuruan kesadaran,
perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku emosional yang intermiten dan
stereotipik. Keadaan ini yang mempengaruhi timbulnya perubahan perilaku pada
penderita epilepsi. Pada perubahan perilaku selama dan sesudah kejang, gangguan
epileptogenik. Kerusakan fungsi kognitif secara umum mempengaruhi perhatian,
memori, kecepatan berpikir, dan bahasa sama seperti pada fungsi sosial dan
perilaku. Perubahan perilaku meliputi gangguan mood, depresi, ansietas, dan
psikosis. Pada pasien epilepsi terjadi kehilangan kesadaran, hal ini disebabkan
karena instabilitas dari neuron-neuron pada korteks. Terjadi perubahan perilaku
kacau, gangguan kepribadian, menimbulkan gejala psikotikyang biasa terjadi pada
pasien dengan epilepsi lobus temporal. Gejala yang paling karakteristik adalah
halusinasi dan delusi paranoid. Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania,
dipandang kurang sering pada epilepsi daripada seperti gejala skizofrenia. Gejala-
gejala gangguan mood yang memang terjadi cenderung episodik dan muncul
paling sering ketika fokus epilepsi mempengaruhi lobus temporal dari belahan
otak dominan. Pentingnya gejala gangguan mood dapat dibuktikan oleh
peningkatan kejadian percobaan bunuh diri pada orang dengan epilepsi. Dari
keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan perilaku akibat epilepsi
memiliki gejala yang sama dengan skizofrenia paranoid. Gejala tersebut berupa
halusinasi, delusi paranoid, fungsi kognitif yang terganggu, perubahan mood dan
perilaku emosional serta terganggunya fungsi sosial, sehingga epilepsi dapat
dijadikan diagnosis banding dari skizofrenia paranoid.
2. Gangguan psikotik terinduksi zat misalnya amfetamin dapat dibedakan dengan
skizofrenia paranoid dengan sejumlah karakteristik pembeda yang ditemukan
pada gangguan psikotik terinduksi amfetamin, yaitu adanya predominasi
halusinasi visual, afek yang secara umum serasi, hiperaktivitas, hiperseksualitas,
kebingungan dan inkoherensi, serta sedikit bukti gangguan proses pikir (seperti
46
asosiasi longgar). Pada beberapa studi, penelitian juga mencatat bahwa meski
gejala positif gangguan psikotik terinduksi amfetamin dan skizophrenia mirip,
gangguan psikotik terinduksi amfetamin biasanya tidak memiliki afek mendatar
dan alogia seperti pada skizofrenia, dan hanya resolusi gejala dalam beberapa hari
atau temuan positif pada uji tapis zat dalam urin yang akhirnya akan menunjukkan
diagnosis yang tepat.
3. Pada keadaan paranoid involusional terdapat halusinasi, delusi, dan depresi.
Sedangkan pada skizofrenia paranoid, hanya terdapat halusinasi.
4. Pada saat awal mengidentifikasikan psikosis dengan schizophrenia dan paranoia,
telah disepakati bahwa manifestasi klinis dari kasus ini harus dibedakan dengan
gangguan neurosis atau psikosomatik. Ciri schizophrenia jelas adanya kegagalan
pemahaman/kontak dengan realitas dan terjadi disorganisasi kepribadian seperti
gangguan dalam fungsi berpikir, afek/perasaan maupun masalah perilaku. Dari
keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa paranoia dapat dijadikan diagnosis
banding skizofrenia paranoid karena memiliki gejala yang sama yaitu terdapat
waham yang menonjol dan rasa curiga terhadap orang lain. Namun pada paranoia
tidak terdapat halusinasi seperti yang dialami pasien skizofrenia paranoid,
47
DAFTAR PUSTAKA
48
11. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock's synopsis of psychiatry:
behavioral sciences/clinical psychiatry. Edisi 10. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2010. 26(2):71-80.
12. Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press. 2009:259-81.
13. Sulistia Gan Gunawan, Rianto Setiabudy, dkk. Farmakologi dan Terappo.
Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007: 161-9.
14. Ginsberg L. Lecture notes neurology.Edisi 8. Jakarta: Erlangga; 2007.h.
79.
15. Kusumarawdhani AAAA. Gangguan mental organik lainnya. Dalam:
Elvira SD, Hadisukanti G. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. Jakarta: FKUI;
2013.h. 110-115.
16. Ropper Allan H.,MD, Brown Robert H., MD. Epilepsy and Other Seizure
Disorders: Adam’s and Victor’s Prinsiples of Neurology. 8thedition . New
York:The McGraw-Hill Companies; 2005.h. 271-313.
17. Kaplan & sadock. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi 2. Jakarta : EGC;
2010.h. 75.
18. Dewanto G, Riyanto B. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana
penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009.h. 74-5.
19. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual
of mental disorders text revision(DSM-IV- TR) (4th
ed.).Washington, DC. 2000.
20. Andreasen NC. Scale for the assessment of negative symp- toms
(SANS). Iowa city, Iowa: The University of. Iowa College of
Medicine. Comprehensive meta analysis. [Computer software].
Englewood, NJ: Bio- stat. 1984.
21. Bleuler E. Praecox or the group of schizophrenia, New York:
International Universities Press 1911.
22. Castle D, Wesseley S, Der G, Murray RM. The incidence of
49
operationally defined schizophrenia in Camberwell 1965–84.British
Journal of Psychiatry 1991, 159, 790–794.
23. Cercone KA. The effects of music therapy on symptoms of
schizophrenia and other serious mental illnesses: a meta-analysis.
Dissertation Abstracts International: Section B: The Sciences and
Engineering 2008, 68(9- B), 6293.
24. Dileo C and Bradt J. Medical music therapy: Evidence-based
principles and practices. In: Soderback I (ed), Inter- national
handbook of occupational therapy. New York: Springer; 2009: 445-
451.
50