Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

Abses Regio Mandibula

Oleh :
dr. Ricky Johnatan, S.ked

RS AL dr. Midiyato S
Laporan Kasus dr. Internship 2016
RS AL dr. Midiyato S
Oleh: dr. Ricky Johnatan, S.ked
Pembimbing: drg. Benny Dwi Cahyo, Sp.BM
IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S Jenis Kelamin : Perempuan


Usia : tahun Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SD
Alamat : jl. Tanggal masuk pasien : Desember 2016

ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal : 16 Desember 2016 ,Jam : 14.20

Keluhan utama : Bengkak pada pipi kiri 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan rujukan dari RSUD Bintan ke IGD RS AL dr. Midiyato Suratani
pada tanggal 16 Desember 2016 , pukul 16.40 sore dengan keluhan bengkak pada pipi
kiri sejak 5 hari SMRS. 7 hari SMRS os mengeluh sariawan dan nyeri pada gigi sebelah
kiri. Sariawan tersebut dirasakan di pipi bagian dalam dan lidah. Kemudian Os
merasakan bengkak seperti benjolan bulat dengan diameter sekitar 2cm 5 hari SMRS.
Benjolan dirasakan semakin membesar dan disertai demam dan nyeri. Selain itu, os
juga mengeluh bahwa sariawan di dalam pipi tersebut semakin besar dan nyeri. Os juga
mengeluh sulit untuk membuka mulut karena bengkak tersebut. Os menyangkal
keluhan mual, muntah dan batuk. Os memiliki kebiasaan yang kurang baik pada
higienitas gigi. Os mengeluh sering memiliki keluhan sakit pada gigi. Os memiliki
riwayat kencing manis dan darah tinggi. Os saat ini sedang mengkonsumsi Insulin dan
amlodipine secara teratur. Os juga memiliki riwayat katarak pada mata kanan dan kiri
dan direncakan untuk dilakukan operasi. Os menyangkal memiliki alergi terhadap obat.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Darah Tinggi (+)
- Kencing manis (+)
- Kolestrol (-)
- Asam Urat (-)

2
- Sakit jantung (-)
- Sakit Asma (-)

B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan : 157 cm
Berat Badan : 65 kg
KU : Tampak nyeri berat
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4 V5 M6
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 88 kali/menit
Suhu : 37,5 oC
Pernapasan : 20 kali/menit, abdomino-torakal
Saturasi O2 : 99%
Keadaan gizi : Obesitas (BMI : 26,38 kg/m2)
Oedem umum : Tidak ada
Cara berjalan : Tidak dapat dinilai
Mobilitas ( aktif / pasif ) : Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa : 42 tahun

Kulit
Warna : Sawo matang
Effloresensi : Tidak ada
Jaringan Parut : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Lebat
Lembab/Kering : Lembab
Suhu Raba : Subfebris
Keringat : Biasa
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak ada
Lapisan Lemak : Normal

3
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : Tidak teraba Leher : Tidak teraba
Supraklavikula : Tidak teraba Ketiak : Tidak dilakukan
Lipat paha : Tidak dilakukan

Kepala
Ekspresi wajah : Tampak nyeri Simetri muka : Asimetris
Rambut : Lebat Pembuluh darah temporal : Tidak diketahui

Mata
Exophthalamus : Tidak ada Enopthalamus: Tidak ada
Kelopak : Tidak bengkak Lensa : Keruh
Konjungtiva : CA (-), SI (-) Visus :Tidak diperiksa
Sklera : Jernih Gerakan Mata : Normal
Lapangan penglihatan : Normal Tekanan bola mata : tidak diperiksa
Deviatio Konjugae : Tidak diperiksa Nistagmus : Tidak ada

Telinga
Tuli : Tidak ada Selaput pendengaran : Tidak diperiksa
Lubang : Tidak diperiksa Penyumbatan : Tidak diperiksa
Serumen : Tidak diperiksa Pendarahan : Tidak diperiksa
Cairan : Tidak diperiksa

Mulut
Bibir : Normal Tonsil : T1-T1
Langit-langit : Tidak ada kelainan Bau pernapasan: Tidak ada
Trismus : Ada Lidah : ulcerasi <1 cm
Faring : Tidak ada kelainan Selaput lendir : Tidak ada kelainan
Mukosa bukal : Terdapat fistel pada mukosa bukal sinistra
Gigi geligi :

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

4
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5-2cm H2O
Kelenjar Tiroid : Tidak membesar
Kelenjar Limfe : Tidak teraba
Kaku Kuduk : Tidak ada

Dada
Bentuk : Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal
Pembuluh darah : Tidak terlihat

Paru Paru
Depan Belakang
Inspeksi Kanan Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
dinamis dinamis
Kiri Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
dinamis dinamis
Palpasi Kanan Tidak teraba benjolan, sela Tidak teraba benjolan, sela
iga normal, nyeri tekan (-) iga normal, nyeri tekan (-)
Kiri Tidak teraba benjolan, sela Tidak teraba benjolan, sela
iga normal, nyeri tekan (-) iga normal, nyeri tekan (-)
Perkusi Kanan Sonor di bagian bawah Sonor di bagian bawah
lapang paru lapang paru
Kiri Sonor di semua lapang paru Sonor di semua lapang paru
Auskultasi Kanan Suara vesikuler Suara vesikuler
Wheezing (-), Ronki (-) Wheezing (-), Ronki (-)
Kiri Suara vesikuler Suara vesikuler
Wheezing (-), Ronki (-) Wheezing (-), Ronki (-)

Jantung
Inspeksi Tidak terlihat ictus cordis
Palpasi Ictus cordis teraba pada 1cm lateral dari midclavicular sinistra
Perkusi 1. Batas Jantung kanan : Parasternal kanan ICS 4
2. Batas Jantung Kiri : 1cm lateral dari linea midclavicular
sinistra
3. Batas Atas Jantung : Parasternal kiri ICS 3

5
4. Batas pinggang jantung : Parasternal kiri ICS 4
Auskultasi BJ I-II murni, reguler, murmur negatif, gallop negatif

Perut
Inspeksi : bentuk rata
Auskultasi : bising usus normal ( 10 x/menit )
Perkusi : timpani
Palpasi : Supel, Nyeri tekan epigastrium
Hati : tidak teraba membesar
Limpa : tidak teraba membesar
Ginjal : tidak teraba

Alat Kelamin (atas indikasi)


Tidak dilakukan

Anggota Gerak
Umum : Akral atas dan bawah hangat, Edema (- - / - - ), Sianosis (-)

Neurologis

Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal Normal Normal Normal
Tonus Normal Normal Normal Normal
Trofi Normal Normal Normal Normal
Kekuatan 5 5 5 5
Klonus - - - -
Reflek fisiologis Tidak Tidak Tidak Tidak
dilakukan dilakukan dilakukan dilakukan
Reflek patologis - - - -
Sensibilitas Normal Normal Normal Normal
Tanda meningeal - - - -

PEMERIKSAAN PENUNJANG
14 Desember 2016 di RSUD Bintan
Laboratorium:
Hb 13,7 g/dL (Normal, 11,5 16,5)

6
Leukosit 11.600 /uL (Normal: 4.000-10.000)
Eritrosit 4,49 (106/ uL) (Normal, 4-6 juta/mm3)
Hematokrit 38,7% (Normal, L: 40-48; P: 37-43%)
Trombosit 195.000 /uL (Normal: 150.000-450.000)
GDS 342 mg/dl (Normal <200)
Cholesterol 232 mg/dL (Normal: 150-220 mg/dL)
HDL Cholesterol 66,2 mg/dL (Normal: 35-55 mg/dL)
LDL Cholesterol 157 mg/dL (Normal: <150 mg/dL)
Trigliserida 44,9 mg/dL (Normal: <200 mg/dL)
Asam Urat 4,3 mg/dl (Normal: L 3,4-7,0mg/dl , P: 2,4-5,7mg/dl)
Ureum 22 mg/dL (Normal: 10-50 mg/dL)
Creatinin 1,0 mg/dL (0,5-1,5 mg/dL)

15 Desember 2016 RSUD Bintan


GDS 262 mg/dl

16 Desember 2016 RS AL Midiyato Suratani


Hb 12,7 gr% (N : 13-16 gr%)
Leukosit 12.000 (N : 4000-10000)
Trombosit 241.000 (N : 150.000-450.000)
Hematokrit 40 (N : 37-43%)
LED 43 (N : <20 mm/jam)
GDS 139 mg/dl (N: 80-120)
Ureum 43 mg/dl (N: 10-50mg/dl)
Kreatinin 1,0 mg/dl (N : 0,5-1,5 mg/dl)
SGOT 17 u/l (N : 31)
SGPT 20 u/l (N: <32)
BUN 20 (N : 23,3 mg/dl)

7
Elektrokardiogram
16 November 2016 (IGD)

Kesan : Sinus Rhytm,

8
RINGKASAN
Pasien datang dengan rujukan dari RSUD Bintan ke IGD RS AL dr. Midiyato Suratani
pada tanggal 16 Desember 2016 , pukul 16.40 sore dengan keluhan bengkak pada pipi
kiri sejak 5 hari SMRS. 7 hari SMRS os mengeluh sariawan dan nyeri pada gigi sebelah
kiri. Sariawan tersebut dirasakan di pipi bagian dalam dan lidah. Kemudian Os
merasakan bengkak seperti benjolan bulat dengan diameter sekitar 2cm 5 hari SMRS.
Benjolan dirasakan semakin membesar dan disertai demam dan nyeri. Selain itu, os
juga mengeluh bahwa sariawan di dalam pipi tersebut semakin besar dan nyeri. Os juga
mengeluh sulit untuk membuka mulut karena bengkak tersebut. Os memiliki kebiasaan
yang kurang baik pada higienitas gigi. Os mengeluh sering memiliki keluhan sakit pada
gigi. Os memiliki riwayat kencing manis dan darah tinggi. Os saat ini sedang
mengkonsumsi Insulin dan amlodipine secara teratur. Os juga memiliki riwayat katarak
pada mata kanan dan kiri dan direncakan untuk dilakukan operasi.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
KU : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4 V5 M6
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 88 kali/menit
Suhu : 37,5 oC
Pernapasan : 20 kali/menit, abdomino-torakal
Saturasi O2 : 99%
Keadaan gizi : Obesitas (BMI : 26,38 kg/m2)
Kesadaran : Compos mentis
Kekuatan Otot : Lengan : Kanan Kiri

5 5
Tungkai: Kanan Kiri
5 5
Mulut
Bibir : Normal Tonsil : T1-T1
Langit-langit : Tidak ada kelainan Bau pernapasan: Tidak ada
Trismus : Ada Lidah : ulcerasi <1 cm
Faring : Tidak ada kelainan Selaput lendir : Tidak ada kelainan
Mukosa bukal : Terdapat fistel pada mukosa bukal sinistra

9
Gigi geligi :

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

Udem anggota gerak : - - / - -

Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil:


Laboratorium:
Leukosit 11.600 (N : 4000-10000)
LED 43 (N : <20 mm/jam)
GDS 342 mg/dl (Normal <200)
Cholesterol 232 mg/dL (Normal: 150-220 mg/dL)
HDL Cholesterol 66,2 mg/dL (Normal: 35-55 mg/dL)
LDL Cholesterol 157 mg/dL (Normal: <150 mg/dL)
Elektrokardiogram
Kesan : Sinus Rhytm

DIAGNOSIS KERJA DAN DASAR DIAGNOSIS


Diagnosis Banding dan Dasar Diagnosis
Diagnosis Kerja:
1. Abses Regio Mandibula e.c periodontal hiegiene
Dasar yang mendukung : dari anamnesa terdapat beberapa gejala yang didapat
seperti datang dengan
2. Diabetes Melitus tipe 2
Dasar yang mendukung ; dari anamnesa di dapatkan riwayat gula darah yang tinggi,
dengan riwayat penggunaan insulin. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan gula
darah sewaktu 342 mg/dl
3. Hipertensi
Dasar yang mendukung : dari anamnesa didapatkan riwayat darah tinggi dengan
riwayat penggunaan amlodipine.
Diagnosis Banding
Abses Submandibula

10
PEMERIKSAAN YANG DIANJURKAN
- Foto R Panoramic
- Ct Scan
PENATALAKSANAAN
Farmakologi:
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Ceftriaxone inj 2 x 1 gr
Gentamicine inj 2 x 80 mg
Metronidazole inj 3 x 500mg
Ketorolac inj 2 x 30mg
Noverapid 3 x 10 iu SC
Levemir 14 iu SC
Amlodipin 2 x 10mg oral
Betadine kumur
Nonfarmakologi:
Total Bed Rest
Diet Lunak (bubur) 2000kkal/hari

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

Catatan Perkembangan (Follow Up)


17 Desember 2016
S : Nyeri pada pipi, sulit membuka mulut
O : Kes : Compos Mentis , KU : Tampak Sakit Berat
TD : 110/80 mmHg Nadi : 80 x/m RR : 20 x/m S : 36,8 oC
Kepala : Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera Ikterik (-/-)
Mulut : Pipi Kiri bengkak (+), ekstra oral agak keras
Intra Oral nyeri (+) fistel (+) pus (+)
Thorax : Simetris, Suara Napas Vesikular (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing(-/-)

11
BJ I II murni, reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen : Bising Usus (+) normal, supel, nyeri tekan (-)
A : Susp. Abses mandibula, DM tipe 2, HT
P : - Terapi Lanjukan
- Ranitidin inj.
- Diet lunak/biasa

18 Desember 2016
S : Nyeri pada pipi kiri (+)
O : Kes : Compos Mentis, KU : Tampak sakit ringan
TD : 110/80 mmHg Nadi : 80 x/m RR : 24 x/m S : 36,0 oC
Kepala : Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera Ikterik (-/-)
Mulut : Nyeri pada ekstra oral teraba keras, intera oral fistel (+) pus (+)
Thorax : Simetris, Suara Napas Vesikular (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
BJ I II murni, reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen : Bising Usus (+) normal, supel, nyeri tekan (-)
GDS : 495 mg/dl
A : Susp. Abses maksilofacial, DM tipe 2, HT
P : - Terapi Lanjtkan
- Pro Ct Scan dan Ro Panoramic

19 Desember 2016
S : Nyeri berkurang
O : Kes : Compos Mentis, KU : Tampak sakit ringan
TD : 180/110 mmHg Nadi : 82 x/m RR : 20 x/m S : 36,6 oC
Kepala : Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera Ikterik (-/-)
Mulut : Nyeri pada ekstra oral teraba keras, intera oral fistel (+) Trismus (-)
Pus (+) warna kemerahan
Thorax : Simetris, Suara Napas Vesikular (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
BJ I II murni, reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen : Bising Usus (+) normal, supel, nyeri tekan (-)
A : Susp. Maksilofacial, DM tipe2, HT

12
P : - Diet Biasa TKTP
- Terapi lanjutkan
- Besok ke poli Bedah Mulut

20 Desember 2016
S : post, ekstraksi molar 2, Nyeri masih dirasakan
O : Kes : Compos Mentis, KU : Tampak Sakit Ringan
TD : 200/100 mmHg Nadi : 80 x/m RR : 20 x/m S : 36,0 oC
Kepala : Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera Ikterik (-/-)
Mulut : Nyeri pada ekstra oral teraba keras, intera oral fistel (+) Trismus (-)
Pus (+) warna kemerahan
Thorax : Simetris, Suara Napas Vesikular (+/+), Rhonki (-/+),
Wheezing (-/-)
BJ I II murni, reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen : Bising Usus (+) normal, supel, nyeri tekan (-)
Hasil CT Scan :

Kesan :
Suggestive gambaran infeksi (abcess) di soft tissue region buccal inferosinistra
submandibular sinistra dengan emphysematous subcutaneous, Sistema tulang intact
Mucosal tickening sinus sphenoidales dan ethmoidales dextra

13
Hasil Ro Panoramic :

Kesan :
Corpus mandibula intact
Caries :
1

Sisa radix dengan eriapikal abcess :

Sisa Radix :

8 3 7

14
A : Abses Mandibula, DM tipe2, HT
P : - Ekstraksi gigi Molar 2
- Terapi lanjutkan
- Candesartan 1 x 16mg

21 Desember 2016
S : Nyeri (+), timbul bercak bercak merah di seluruh badan (alergi ayam), gatal (+)
O : Kes : Compos Mentis, KU : Tampak Sakit Ringan
TD : 130/80 mmHg Nadi : 80 x/m RR : 20 x/m S : 36,0 oC
Kepala : Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera Ikterik (-/-)
Thorax : Simetris, Suara Napas Vesikular (+/+), Rhonki (-/+),
Wheezing (-/-)
BJ I II murni, reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen : Bising Usus (+) normal, supel, nyeri tekan (-)
Efloresensi : Multipel putul, disertai eritema dengan batas tegas di seluruh tubuh
A : Abses Mandibula, DM tipe2, HT, Dermatitis Atopik
P : Incisi Extra Oral di poli Bedah Mulut
Co. Internist
Internist
S : Nyeri (+), timbul bercak bercak merah di seluruh badan (alergi ayam), gatal (+)
O : Kes : Compos Mentis, KU : Tampak Sakit Ringan
TD : 130/80 mmHg Nadi : 80 x/m RR : 20 x/m S : 36,0 oC
Kepala : Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera Ikterik (-/-)
Thorax : Simetris, Suara Napas Vesikular (+/+), Rhonki (-/+),
Wheezing (-/-)
BJ I II murni, reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen : Bising Usus (+) normal, supel, nyeri tekan (-)
Efloresensi : Multipel putul, disertai eritema dengan batas tegas di seluruh tubuh
A : Abses Mandibula, DM tipe2, HT, Dermatitis Atopik
P : - Cetirizine 2 x 10mg
- CTM 3 X 1tab(4mg)
- Ranitidin 2 x 15 mg

15
22 Desember 2016
S : Nyeri berkurang, Gatal (-), bercak kemerahan berkurang
O : Kes : Compos Mentis, KU : Tampak Sakit Ringan
TD : 160/110 mmHg Nadi : 80 x/m RR : 20 x/m S : 36,0 oC
Kepala : Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera Ikterik (-/-)
Thorax : Simetris, Suara Napas Vesikular (+/+), Rhonki (-/+),
Wheezing (-/-)
BJ I II murni, reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen : Bising Usus (+) normal, supel, nyeri tekan (-)

A : Abses Mandibula, DM tipe2, HT, Dermatitis Atopik


P : - Pulang, kontrol Selasa 27/12-2016
- Clindamycin 2 x 300mg
- Metronidazol 3 x 500mg

16
- Natrium Diklofenak 2 x 50mg
- Ganti Verban setiap hari di rumah/puskesmas terdekat

17
Abses Mandibula

Pendahuluan

Abses adalah suatu penimbunan nanah di suatu ruang yang terjadi akibat infeksi. Abses
mandibula adalah terjadinya abses di daerah mandibula, Penyebab terbanyak dari abses
mandibular adalah infeksi odontogenic yang menyebar menjadi infeksi dai daerah
maxilla-facial. Penyebab infeksi odontogenic fasial adalah nekrosis pulp, infeksi
kantung periodontal, atau erupsi parsial gigi.
Infeksi pada gigi dapat menyebar ke rongga fasial dan jaringan lunak di bawahnya,
serta sampai ke leher dan bagian dada. Hal ini dapat terjadi karena gravitasi,
pernapasan, tekanan negative interatorakal.
Deteksi dini dan terapi yang segera lebih efektif dalam mengurangi terjadinya
komplikasi pada abses mandibula. Masih banyak kejadian komplikasi yang terjadi pada
negara berkembang karena kurangnya fasilitas kesehatan dan pengetahuan tentang
kesehatan diri sendiri. Kondisi suatu penyakit sistemik dapat mempengaruhi masa
penyembuhan pada infeksi yang akan berjalan lebih lama.
Terapi pada infeksi odontogenik dapat dimulai dari terapi oral dengan pemberian
antibiotic yang sesuai. Pemberian antibiotic dapat dibantu dengan pemeriksaan kultur
kuman penyebab infeksi. Insisi dan drainase dapat dipertimbangkan sebagai opsi terapi
pada infeksi odontogenic.
Anatomi Mulut
a. Mulut (oris)
Proses pencernaan pertama kali terjadi di dalam rongga mulut. Rongga
mulut dibatasi oleh beberapa bagian, yaitu sebelah atas oleh tulang rahang dan
langit-langit (palatum), sebelah kiri dan kanan oleh otot-otot pipi, serta sebelah
bawah oleh rahang bawah.
1) Rongga Mulut (Cavum Oris)
Rongga mulut merupakan awal dari saluran pencernaan makanan. Pada
rongga mulut, dilengkapi alat pencernaan dan kelenjar pencernaan untuk
membantu pencernaan makanan, yaitu:
a) Gigi (dentis)

18
Memiliki fungsi memotong, mengoyak dan menggiling
makanan menjadi partikel yang kecil-kecil. Gigi tertanam pada rahang
dan diperkuat oleh gusi. Bagian-bagian gigi adalah sebagai berikut:
(1) Mahkota Gigi
Bagian ini dilapisi oleh email dan di dalamnya terdapat dentin
(tulang gigi). Lapisan email mengandung zat yang sangat keras,
berwarna putih kekuningan, dan mengilap. Email mengandung
banyak garam kalsium.
(2) Tulang Gigi
Tulang gigi terletak di bawah lapisan email. Tulang gigi meliputi
dua bagian, yaitu leher gigi dan akar gigi. Bagian tulang gigi yang
dikelilingi gusi disebut leher gigi, sedangkan tulang gigi yang
tertanam dalam tulang rahang disebut akar gigi. Akar gigi melekat
pada dinding tulang rahang dengan perantara semen.

(3) Rongga gigi


Rongga gigi berada di bagian dalam gigi. Di dalam rongga gigi
terdapat pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan saraf.oleh
karena itu, rongga gigi sangat peka terhadap rangsangan panas dan
dingin. Menurut bentuknya, gigi dibedakan menjadi empat macam,
yaitu:
(a) Gigi seri (incisivus/I), berfungsi untuk memotong-motong
makanan.
(b) Gigi taring (caninus/ C), berfungsi untuk merobek-robek
makanan.
(c) Gigi geraham depan (Premolare/ P), berfungsi untuk
menghaluskan makanan.
(d) Gigi geraham belakang (Molare/ M), berfungsi untuk
menghaluskan makanan.
Pada manusia, ada dua generasi gigi sehingga dinamakan
bersifat diphydont. Generasi gigi tersebut adalah gigi susu dan
gigi permanen. Gigi susu adalah gigi yang dimiliki oleh anak
berusia 1-6 tahun. Jumlahnya 20 buah. Sedangkan gigi
permanen dimiliki oleh anak di atas 6 tahun, jumlahnya 32 buah.

19
b) Lidah (lingua)
Lidah membentuk lantai dari rongga mulut. Bagian belakang
otot-otot lidah melekat pada tulang hyoid. Lidah tersiri dari 2 jenis
otot, yaiyu:
(1) Otot ekstrinsik yang berorigo di luar lidah, insersi di lidah.
(2) Otot instrinsik yang berorigo dan insersi di dalam lidah.
Kerja otot lidah ini dapat digerakkan atas 3 bagian, yaitu:
radiks lingua (pangkal lidah), dorsum lingua (punggung lidah), apeks
lingua (ujung lidah). Lidah berfungsi untuk membantu mengunyah
makanan yakni dalam hal membolak-balikkan makanan dalam rongga
mulut, membantu dalam menelan makanan, sebagai indera pengecap,
dan membantu dalam berbicara.
Sebagai indera pengecap,pada permukaan lidah terdapat badan
sel saraf perasa (papila). Ada tiga bentuk papila, yaitu:
(1) Papila fungiformis, berbentuk seperti jamur, terletak di bagian
sisi lidah dan ujung lidah.
(2) Papila filiformis, berbentuk benang-benang halus, terletak di 2/3
bagian depan lidah.
(3) Papila serkumvalata, berbentuk bundar, terletak menyusun
seperti huruf V terbalik di bagian belakang lidah.
Lidah memiliki 10.000 saraf perasa, tapi hanya dapat
mendeteksi 4 sensasi rasa: manis, asam, pahit, dan asin.
c) Kelenjar Ludah
Makanan dicerna secara mekanis dengan bantuan gigi, secara
kimiawi dengan bantuan enzim yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar
ludah. Kelenjar ludah mengandung menghasilkan saliva. Saliva
mengandung enzim ptyalin atu amylase yang berfungsi mengubah zat
tepung atau amilum menjadi zat gula atau maltosa.
Kelenjar ludah terdiri atas tiga pasang sebagai berikut:
(1) Kelenjar parotis, terletak di bawah telinga. Kelenjar ini
menghasilkan saliva berbentuk cair yang disebut serosa. Kelenjar
paotis merupakan kelenjar terbesar bermuara di pipi sebelah dalam
berhadapan dengan geraham kedua.

20
(2) Kelenjar submandibularis / submaksilaris, terletak di bawah rahang
bawah.
(3) Kelenjar sublingualis, terletak di bawah lidah.
Kelenjar submandibularis dan sublingualis menghasilkan air dan
lender yang disebut Iseromucus. Kedua kelenjar tersebut bermuara
di tepi lidah.
Anatomi Leher
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potesial yang dibatasi oleh fasia
servikalis. Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang
membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi
beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi dua bagian yaitu fasia
servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda.
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah
ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara
fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe
superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari tiga lapisan yaitu :
a. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak
sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah
dan melekat pada klavikula serta membungkus musculus
sternokleidomastoideus, musculus trapezius, musculus masseter, kelenjar parotis
dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer,
lapisan pembungkus dan lapisan anterior.
b. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas dua divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus musculus sternohioid, musculus sternotiroid, musculus tirohioid
dan musculus omohioid. Dibagian superior melekat pada os hioid dan kartilago
tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula. Divisi
viscera membungkus organ-organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan
esofagus. Di sebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian
posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada

21
kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks,
menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia
bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi musculus konstriktor dan musculus buccinator.
c. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi dua divisi yaitu divisi alar dan prevertebra.
Divisi alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi
prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan
bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar
melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding
anterior dari danger space. Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus
vertebra dan ke lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot
didaerah tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta
merupakan dinding posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus
vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis
(carotid sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang
faringomaksilaris sampai ke toraks.

GAMBAR 1. Potongan obliq leher


Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah
sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid (gambar 2 ).

22
1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:
a. ruang retrofaring
b. ruang bahaya (danger space)
c. ruang prevertebra.
2. Ruang suprahioid terdiri dari:
a. ruang submandibula
b. ruang parafaring
c. ruang parotis
d. ruang mastikor
e. ruang peritonsil
f. ruang temporalis.

3. Ruang infrahioid
a. ruang pretrakeal.

Gambar 2. Potongan sagital leher


Ruang Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot miohioid. Ruang submaksila
selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior. (Calhoun KH, 2001) Ruang mandibular dibatasi pada bagian

23
lateral oleh garis inferior dari badan mandibula, medial oleh perut anterior musculus
digastricus, posterior oleh ligament stylohyoid dan perut posterior dari musculus
digastricus, superior oleh musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh
lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva sub
mandibular dan sub mandibular lymphanodes.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula dan
membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila saja. Abses
dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai
kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. (Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus
paranasal, 2007)
Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur didekatnya (gambar
4), oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke struktur didekatnya.

Gambar 3

24
Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital.
Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal space;
CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland; GGM:
genioglossus muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle; MPM: medial
pterygoid muscle; LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal muscle.

Etiologi

Menurut Hardjatmo Tjokro Negoro, PHD dan Hendra Utama, (2001), abses mandibula
sering disebabkan oleh infeksi didaerah rongga mulut atau gigi. Gigi penyebab dapat
dalam keadaan nekrosis pulpa (gangren pulpa), sisa akar, operculitis, impaksi, dan
abses periodontal. Menurut Sato et al, infeksi maksilofacial paling sering disebabkan
odontogenic (79,31%), diikuti trauma (10,7%), imunosupresan (1,6%), patologis
(1,6%) dan penyebab lain (8%). Flynn et al, menemukan pada penelitiannya bahwa
pada 37 pasien di rumah sakit, 68% penyebabnya infeksi odontogenic dari molar 3
bawah, di susul infeksi gigi lainnya seperti premolar, molar 1 dan molar 2 bagian
bawah. Bahl et al, dalam penelitiannya terhadap 100 pasien, menunjukan abses
mandibular disebabkan paling banyak oleh infeksi pada gigi molar 3(60%), diikuti
molar dan molar 1 dan premolar.

Sebagian besar infeksi odontogenik disebabkan oleh lebih dari 1 jenis bakteri yang
biasanya ditemukan dalam rongga mulut. Sekitar 50% dari infeksi odontogenik yang
disebabkan oleh bakteri anaerob saja, 44% dengan kombinasi bakteri aerob dan anaerob
dan hanya 6% oleh bakteri aerob saja.11 Spesies yang paling umum dari bakteri yang
diisolasi pada infeksi odontogenik adalah anaerob gram-positif cocci Streptococcus
grup milleri dan Peptostreptococcus. Anaerob gram batang negatif, seperti Bacteroides
(Prevotella) juga memainkan peran penting. Anaerobik coccus dan anaerob gram
positif batang gram-negatif memiliki pengaruh yang kecil.

Pediococcus pentosaceus adalah bakteri gram positif dengan hormofermentative asam


laktat. Klebsiella pneumonia adalah bakteri gram negatif, dianggap sebagai patogen
oportunistik yang dapat menyebabkan berbagai infeksi pada pasien rawat inap, paling
sering pneumonia, luka jaringan lunak, atau infeksi saluran kemih . Klebsiella sekarang
diakui sebagai ancaman mendesak untuk kesehatan karena munculnya kelompok

25
resisten, terkait dengan wabah rumah sakit dan kelompok hipervirulensi terkait dengan
beratnya infeksi. Citrobacter freundii adalah gram bakteri negatif yang biasanya tahan
terhadap beta-laktam. Stenotrophomonas maltophilia merupakan pathogen multidrug-
resistant dan berkaitan dengan peningkatan rasio kematian/kasus. maltophilia
Stenotrophomonas paling sering dikaitkan dengan infeksi saluran pernapasan pada
manusia.

Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik
kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering
ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus
Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang
sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti
Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium.

Patofisiologi

Abses dapat terbentuk diruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai
kelanjutan infeksi dari dareah kepala dan leher.1
Abses leher dalam dapat terjadi karena berbagai macam penyebab melalui beberapa
proses, diantaranya: 2
1. Penyebaran abses leher dalam dapat timbul dari rongga mulut ,wajah atau
infeksi leher superficial ke ruang leher dalam melalui system limfatik.
2. Limfadenopati dapat menyebabkan terjadi supurasi dan akhirnya menjadi abses
fokal.
3. Infeksi yang menyebar ke ruang leher dalam melalui celah antar ruang leher
dalam
4. Infeksi langsung yang terjadi karena trauma tembus.
Karena kontinuitas dasar mulut dan regio submandibularis yaitu daerah sekeliling
batas posterior muskulus mielohioideus dan dalamnya akar-akar gigi molar dibawah
mielohioideus, maka infeksi supurativa pada mulut dan gigi geligi dapat timbul di
trigonum submandibularis.

Infeksi odontogenic biasanya terokalisir dan sembuh dengan sendiri. Tetapi dalam
beberapa keadaan, seperti variasi anatomi atau supresi system imun pada beberapa
pasien, infeksi ini dapat menjalar melalu tulang, otot dan lapisan mukosa dan menyebar

26
ke ruang yang berbatasan dengan lokasi infeksi. Jika infeksi gigi dikelilingi oleh tulang
alveolar, ini akan berakibat pecahnya tulang dibeberapa titik(seperti di wajah atau di
kortikal lidah).

Pada tahap selanjutnya dari infeksi, pembentukan abses juga dapat menyebabkan
pembentukan lorong, atau fistula, di kulit, mukosa mulut, atau bahkan tulang untuk
mengeringkan infeksi dan nanah di permukaan. Proses infeksi menyebabkan jaringan
di atasnya mengalami nekrosis, membentuk sebuah kanal di jaringan, dengan stoma.
Infeksi dapat menyebar ke daerah yang berdekatan dan nanah permukaan
mengakibatkan necrotizing fasciitis. Necrotizing fasciitis adalah infeksi subkutan
agresif yang terlokalisir sepanjang fasia superfisial, yang terdiri dari semua jaringan
antara kulit dan otot yang mendasarinya. Dalam kasus necrotizing fasciitis, intervensi
bedah adalah modalitas terapi primer dan ditunjukkan ketika infeksi ini dikonfirmasi.

Ruang pada kepala dan leher dapat memungkinkan penyebaran infeksi dari gigi dan
jaringan mulut terkait karena patogen dapat melakukan perjalanan dalam rongga fasia,
dari satu ruang yang dekat lokasi terinfeksi ke ruang lain yang jauh, dengan penyebaran
inflamasi eksudat terkait . Ketika terlibat dalam infeksi, ruang dapat menjalani selulitis,
yang dapat menyebabkan perubahan dalam proporsi normal wajah. Jika gigi rahang
bawah dan jaringan yang terkait terinfeksi, infeksi dapat menyebar ke dalam ruang
vestibular mandibula, ruang bukal, ruang submental, ruang sublingual, ruang
submandibula, atau ruang tubuh mandibula. Dari ruang ini dari rahang dan leher,
mungkin menyebabkan komplikasi serius, seperti angina Ludwig.

Ruang masticator adalah bagian yang paling umum dari penyebaran infeksi
odontogenik. Keterlibatan dalam ruang masticator dapat dilihat oleh trismus pada
pasien. Infeksi telah membatasi pembukaan mulut yang lebih memperburuk kondisi
pasien karena kesulitan dalam asupan gizi. Ruang yang berdekatan dengan ruang
masticator adalah ruang parotid posterior, ruang parapharyngeal medial, dan ruang
submandibular dan sublingual inferior. Ruang parapharyngeal menempati posisi sentral
di antara ruang masticator, parotis, dan karotis vaskular. Oleh karena itu, infeksi di
ruang parapharyngeal mungkin berasal dari setiap ruang yang berdekatan.

Ruang retropharyngeal menghubungkan dasar tengkorak ke mediastinum atas dan di


bagian infrahyoid nya mengandung jaringan lemak yang longgar. Dengan demikian,

27
ruang retropharyngeal dianggap penting karena kedekatannya dengan jalan napas dan
karena infeksi di ruang ini dapat menyebabkan mediastinitis, erosi bronkial, dan bahkan
septikemia.

Diagnostis dan Manifestasi Klinis

Ekstraoral:

Gejala klinis berupa pembengkakan ekstra oral di region submandibula di sudut


rahang berwarna kemerah-merahan.

Palpasi dan tekanan positif.

Trismus ringan hingga sedang.

Intraoral:

Intra oral tidak tampak pembengkakan kecuali tahap yang lebih lanjut.

Jika sudah terjadi pembengkakan, pembengkakan tampak pada daerah


submandibula, hiperemis, batas tidak jelas, konsistensi lunak.

Dalam pemeriksaan gigi geligi, ditemukan gigi penyebab infeksi.

Gejala sistemik

Pasien yang mengalami abses submandibula merasakan rasa sakit yang hebat disertai
temperatur tubuh yang meningkat. Kesulitan untuk membuka mulut (trismus) dapat
mengakibatkan intake makanan semakin sedikit sehingga membuat pasien semakin
lemah. Jika mikroorganisme begitu kuat dan daya tahan tubuh sangat lemah, dapat
muncul kemungkinan terjadinya sepsis (kegawatdaruratan).

Penegakan diagnosis abses mandibula.

Diagnosis abses submandibula ditegakkan melalui pemeriksaan ekstra oral dan intra
oral. Untuk pemeriksaan penunjang dapat menggunakan foto radiograf panoramik
untuk melihat kondisi gigi penyebab dan perluasan abses.

1. Laboratorium

28
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik

2. Radiologis

a. Rontgen jaringan lunak kepala AP

b. Rontgen panoramik

Dilakukan apabila penyebab abses mandibula berasal dari gigi.

c. Rontgen thoraks

Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis, pendorongan saluran


nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.

d. Tomografi komputer (CT-scan)

CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada abses leher dalam.
Berdasarkan penelitian Crespo bahwa hanya dengan pemeriksaan klinis tanpa CT-scan
mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien
(dikutip dari Pulungan). Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens
(intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid level.

Tatalaksana Farmakologi

1. Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral
sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik
kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram
negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran
dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan
metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah
didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan.
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi
terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone,
ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka

29
sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif.
Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari. 2,4-6,13
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses
dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi
atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada
tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas
abses.2 Bila abses belum terbentuk, dilakukan panatalaksaan secara konservatif
dengan antibiotik IV, setelah abses terbentuk (biasanya dalam 48-72 jam) maka
evakuasi abses dapat dilakukan.
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan
trakeostomi perlu dipertimbangkan.
Komplikasi

Infeksi leher dalam dengan penatalaksanaan inadekuat dapat menyebar ke ruang leher
dalam lainnya, ditambah dengan keterlambatan dalam mendiagnosis dan
penatalaksanaan beresiko tinggi untuk meliki berbagai komplikasi yang mengancam
jiwa yaitu:

Obstruksi jalan nafas akibat tertekannya trakea

Aspirasi yang dapat terjadi pada intubasi endotracheal

Komplikasi vaskular seperti trombosis vena jugularis interna, erosi dan ruptur arteri
carotid.

Defisit neurologis seperti disfungsi saraf kranial atau saraf otonom di leher yang
menimbulkan disfoni akibat terkenanya nervus vagus atau Sindrom Horners akibat
pengaruh saraf simpatis.

Emboli septik pada paru-paru, otak.

Shock sepsis

Necrotizing Cervical Fasciitis yaitu nekrosis pada jaringan penyambung akibat


penyebaran infeksi melalui fasia. Hal ini memiliki angka morbiditas dan mortalitas
yang cukup tinggi.

30
Osteomyelitis akibat penyebaran lansung pada tulang belakang, mandibula, atau
tengkorak.

Sindrom Grisel akibat subluxasi servikal.

Beberapa faktor memiliki resiko yang lebih tinggi untuk timbulnya komplikasi, yaitu
jenis kelamin dimana wanita lebih sering dari pria, pasien dengan pembengkakan pada
leher, serta penderita diabetes yang memperburuk keadaan umum.
Prognosis
Infeksi serius pada wajah, kepala dan leher disebabkan oleh kurangnya perawatan
odontologic primer dan seharusnya dapat diobati sebelumnya. Proses Infeksi
berkembang pesat karena beberapa alasan seperti terapi tidak antibiotic tidak adekuat
di lokus pertama, yang menyebabkan resistensi terhadap antibiotik, kebersihan mulut
yang buruk, pengobatan sendiri, kurangnya perawatan mulut dasar, tidak dilakukan
penyingkiran etiologi penyebab, dan penanganan yang tertunda di rumah sakit.
Kesuksesan manajemen untuk infeksi odontogenik terdiri dari terapi antibiotik
intravena, modifikasi dari regimen antibiotik sesuai hasil tes sensitivitas, sayatan dan
evakuasi nanah ketika ditunjukkan, dan pengobatan dini gigi penyebab.

Daftar Pustaka
1. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal
infection. International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33
2. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 145-48
3. Yang S.W, Lee M.H, See L.C, Huang S.H, Chen T.M, Chen T.A. Deep neck
abscess: an analysis of microbial etiology and effectiveness of antibiotics.
Infection and Drug Resistance. 2008;1:1-8.
4. Marcincuk MC. Deep Neck Infection. Diakses dari www.emedicine.com. Last
update 27 Mei 2005
5. Rosen EJ, Bailey BJ. Deep Neck Space and Infection dibacakan dalam Grand
Rounce Presentation, UTMB, Dept. of Otolaringology. Editor Quinn FB, Ryan
MW. 2002

31
6. V. Gomes F, Gobzer J, Torriani M. Severe odontogenic infection: past or
reality? a case series report. Rev Odontol Bras Central 2015;24:76-80.
7. Green A. W, Flower E.A, New N.E. Mortality Associated with Odontogenic
Infection. British Dental Journal 2001; 190: 529-530.
8. Rocha F. S, Batista J. D, Silva C.J, et al. Considerations for the Spread of
Odontogenic Infections Diagnosis and Treatment. Textbook of Advanced
Oral and Maxillofacial Surgery Volume 2: 341-358.
9. Igoumenakis D, Kostakis G, Gkinis G, Rallis G. Severe Odontogenic Infections
: Causes of Spread and Management. Journal of Surgical Infections 2014;15;
64-68.
10. Sanchez R, Mirada E, Arias J, Pano J.R, Burgueno M. Severe Odontogenic
Infections : Epidemiological, Microbiological, and Therapeutic Factors. Med
Oral Patol Oral Cir Bucal. 2011 Aug 1;16 (5):e670-6.
11. Bahl R, Sandhu S, Singh K, Sahai N, Gupta M. Odontogenic Infections :
Microbiology and Management. Contemp Clin Dent. 2014 Jul-Sep; 5(3): 307-
311.
12. Heimdahl A, Konow V.L, Satoh T, Nord E. Clinical Appearance of Orofacial
Infections of Odontogenic Origin in Relation to Microbiological Findings.
Journal Of Clinical Microbiology, 1985; 22: 299-302
13. Fehrenbach M.J, Herring S.W. Spread of Dental Infection. The Journal of
Practical Hygiene 1997; 13-18
14. Yonetsu K, Izumi M, Nakamura T. Deep Facial Infections of Odontogenic
Origin : CT Assessment of Pathways of Space Involvement. AJNR Am J
Neuroradiol 1998; 19:123128.
15. Nghe D, Nguyen T. Characterization of Antimicrobial Activities of
Pediococcus pentosaceus Vtcc-B-601. Journal of Applied Pharmaceutical
Science Vol. 4 (05), pp. 061-064, May, 2014
16. Holt K, Wertheim H, Zadoks R, et al. Genomic Analysis Of Diversity,
Population Structure, Virulence, and Antimicrobial Resistance in Klebsiella
pneumoniae, An Urgent Threat to Public Health. PNAS E3574-3581
17. Vnotto C, Longo F, Balice M, et al. Antibiotic Resistance Related to Biofilm
Formation in Klebsiella pneumoniae. Pathogens. 2014. 3;743-758;
doi:10.3390/pathogens3030743.

32
18. Falkow S, Rosenberg E, et al. The Prokaryotes : Volume 6 Proteobacteria
Gamma Subclass. 2006. p90-98
19. Brooke J. Stenotrophomonas maltophilia: an Emerging Global Opportunistic
Pathogen. Clin Microbiol Rev. 2012 Jan; 25(1):2-41.
20. Stevens DL, Bisno, A.L., Chambers, H.F., Dellinger, E.P., Goldstein, E.J.,
Gorbach, S.L. et al,. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of
Skin and Soft Tissue Infections: 2014 Update by the Infectious Diseases Society
of America. Clinical Infectious Diseases. 2014(59):e10-e52.
21. Brook I, Frazier EH, Gher ME. Aerobic and anaerobic microbiology of
periapical abscess. Oral Microbiol Immunol. 1991;6(2):123-5.
22. Hupp JR, Ellis E III, Tucker MR. Contemporary oral and maxillofacial surgery.
5th ed. St-Louis: Mosby; 2008.
23. Shumrick KA, Sheft SA. Deep neck infections. In: Paparella MM Shumrick
KA, eds. Otolaryngology: Head and Neck. 3rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders;
1993;3:25452563
24. Anaya DA, Dellinger, E. P. Necrotizing Soft-Tissue Infection: Diagnosis and
Management. Clinical Infectious Diseases. 2007;44:705-10.

33

Anda mungkin juga menyukai