KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / TanggalUjian / PresentasiKasus :
SMF ILMU PENYAKIT BEDAH
RUMAH SAKIT : RS. Bayukarta Karawang
Nim : 112017158
…………………….
.
…………………….
.
IDENTITAS PASIEN :
A. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis pada hari kamis, 4 Juli 2018, Pukul 20.08 di IGD
RS Bayukarta
Keluhan Utama :
Luka robek pada dahi kiri sejak 8 Jam SMRS.
Keluhan Tambahan :
Tidak ada
Pasien datang ke IGD RS Bayukarta dengan keluhan luka robek pada dahi kiri sejak 8
jam SMRS. Pasien mengaku luka tersebut diperoleh akibat terjatuh setelah bangun dari tempat
tidur pada pagi hari dirumah. Kepala pasien terbentur benda tumpul sehingga dahi pasien
mengalami luka. Pasien mengaku sering terjatuh dan terluka pada bagian kepala. Pasien tidak
ingat secara jelas ketika saat ingin terjatuh. Setelah terjatuh pasien mengaku tidak sadarkan diri
dan ketika terbangun pasien melihat kepalanya sudah berlumuran darah. Pasien juga
mengeluhkan adanya pusing. Pusing yang dirasakan dibagian depan sejak 8 jam yang lalu.
keluhan pusing berputar disangkal oleh pasien. Pasien mengeluhkan nyeri pada bagian luka.
Selain itu pasien mengeluh keluar darah terus menerus pada bagian luka. Muntah darah dan
keluar darah dari hidung disangkal oleh pasien. Keluhan mual juga disangkal oleh pasien.
Pasien sudah dibawa ke rumah sakit lain dan mendapatkan pertolongan pertama berupa
penutupan luka saja.
Riwayat Keluarga
Asma V
Tuberkolosis V
Artritis V
Rematisme V
Hipertensi V
Jantung V
Ginjal V
Lambung V
Penyakit Dahulu
Riwayat Sosial
Pasien mengaku tidak merokok dan minum-minuman keras, pasien juga tidak memiliki riwayat
alergi obat-obatan.
STATUS PRAESENS
STATUS UMUM
Kulit
Warna : Kuning langsat Effloresensi :-
Jaringan parut :- Pigmentasi :-
Pertumbuhan rambut : merata Pembuluh darah :-
Suhu raba : hangat Lembab / kering: kering
Keringat : Umum (-) Setempat (-) Turgor kulit: normal
Ikterus :- Lapisan lemak: +
Edema: pitting edema kedua tungkai Lain-lain: -
Kepala
Ekspresi wajah: biasa
Simetri muka: simetris
Rambut : hitam, tidak mudah rontok/patah, tidak bercabang, pertumbuhan merata
Mata
Exophthalmus: - Enopthalmus: -
Kelopak mata: tenang, ptosis (-) Lensa: jernih
Konjungtiva: Tidak anemis Visus: tidak dilakukan
Sklera: tidak ikterik Gerakan mata: Normal, gerakan halus.
Telinga
Bentuk telinga: Nomal, Mikrotia (-) Selaput pendengaran: tidak terlihat
Lubang: tenang, lapang Penyumbatan: -
Serumen: lunak Perdarahan: -
Cairan: -
Mulut
Bibir: Mukosa tenang, tidak pecah-pecah Tonsil: Tenang, T1/T1
Langit-langit: Dalam batas normal Bau pernapasan: -
Gigi geligi: Dalam batas normal Trismus :-
Faring: Dalam batas normal Selaput lendir: Dalam batas normal
Lidah: Dalam batas normal
Leher
Kelenjar tiroid: tidak membesar, tidak teraba nodul.
Kelenjar getah bening: tidak teraba
Dada
Bentuk : normal
Sela iga : tidak ada retraksi
Pembuluh darah: -
Jantung
Inpeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V, 2 jari lateral linea
midsternal kiri, sebesar 2 cm
Perkusi Dalam batas Normal
Auskultasi P: BJ 1 < BJ 2 murni reguler, gallop (-) murmur (-)
M: BJ 1 > BJ 2 murni reguler, gallop (-) murmur (-)
T: BJ 1 > BJ 2 murni reguler, gallop (-) murmur (-)
A: BJ 1 < BJ 2 murni reguler, gallop (-) murmur (-)
Pembuluh darah
Arteri Brakialis : Teraba pulsasi
Arteri Radialis : Teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : Teraba pulsasi
Perut
Inspeksi : Bentuk perut normal, tidak ada pergerakan
peristalsis, tidak ada caput medusae
Palpasi Dinding perut : NT (-), massa (-)
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Bimanual (-), Balotemen (-)
Lain-lain : Tidak ada
Perkusi : Timpani seluruh kuadran, Shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik
Refleks dinding perut :-
Anggota gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : Normal Normal
Massa : Normal Normal
Sendi : Normal Normal
Gerakan : Normal Normal
Kekuatan : 5 5
Lain-lain : - -
Tungkai dan Kaki
Luka : - -
Varises : - -
Otot (tonus dan masa) : Normal Normal
Sendi : Normal Normal
Gerakan : Normal Normal
Kekuatan : 5 5
Edema : - -
Lain-lain : - -
STATUS LOKALIS
Regio Supraorbita
Inspeksi : Terdapat luka robek pada regio supraorbita kiri berukuran panjang 5 cm lebar 0.5
cm dan kedalaman 1 cm dengan luka bersih dan tepi luka tidak rata. Dasar tulang.
Terdapat perdarahan aktif.
Palpasi : Terdapat nyeri tekan pada sekitar daerah luka. Selain itu juga tidak terdapat krepitasi
dan sesoris pada bagian luka masih dalam batas normal.
Tidak dilakukan
LABORATORIUM
Kimia Klinik
Hematologi
Darah Lengkap
Indek Darah
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil 0 % 2–4
Batang/STAB 0 % 3–5
Limfosit 8 % 25 – 40
Monosit 10 % 2–8
Segmen 82 % 50 – 70
Golongan darah B
Faktor Pembekuan
RADIOLOGI
CT-SCAN
RESUME
Seorang laki-laki berusia 48 tahun datang dengan keluhan keluhan luka robek pada dahi kiri
sejak 8 jam SMRS. Kepala pasien terbentur benda tumpul sehingga dahi pasien mengalami
luka. Pasien tidak ingat secara jelas ketika saat ingin terjatuh. Setelah terjatuh pasien mengaku
tidak sadarkan diri dan ketika terbangun pasien melihat kepalanya sudah berlumuran darah.
Pasien mengeluhkan adanya pusing. Pasien mengeluhkan nyeri pada bagian luka. Muntah darah
dan keluar darah dari hidung (-). Keluhan mual (-). Pada inspeksi ditemukan Vulnus Laceratum
pada regio supraorbita sinistra berukuran panjang 5 cm lebar 0.5 cm dan kedalaman 1 cm
dengan luka bersih dan tepi luka tidak rata. Dasar tulang. Terdapat perdarahan aktif. Pada
palpasi ditemukan nyeri tekan pada sekitar daerah luka. Selain itu juga tidak terdapat krepitasi
dan sesoris pada bagian luka masih dalam batas normal.
DIAGNOSIS KERJA
DIAGNOSIS BANDING
PEMERIKSAAN ANJURAN
EEG
PENGOBATAN
PROGNOSIS
LAPORAN OPERASI
FOLOW UP
Post operasi tanggal (05/06/2018)
S : Pasien mengeluhkan pusing, nyeri pada bekas luka operasi (-), pus (-), darah (-), mual (-),
muntah (-), flatus (+), BAB (-), BAK (-).
P: Terapi lanjut
Depakote 2x1
S: Tidak ada keluhan. Nyeri pada bekas luka operasi (-), pus (-), darah (-), mual (-),
muntah (-), flatus (+), BAB (+) normal, BAK (+) normal, BAB & BAK darah (-) Lendir
(-), pusing (-), demam (-).
P: Terapi Lanjut
S: Tidak ada keluhan. Nyeri pada bekas luka operasi (-), pus (-), darah (-), mual (-),
muntah (-), flatus (+), BAB (+) normal, BAK (+) normal, BAB & BAK darah (-) Lendir
(-), pusing (-), demam (-).
O: KU : Tampak baik
Aff infus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Otot-otot Wajah
M. Orbikularis Okuli terdiri atas 2 bagian yaitu pars palpebralis dan pars orbitalis. Pars
palpebralis terbatas pada kelopak mata, sedangkan pars orbitalis meluas melewati batas tulang
orbita pada wajah. Pars palpebralis terdiri dari serabut yang muncul dari ligamen palpebra
medial, melengkung sepanjang kelopak mata didepan tarsus dan berinsersi pada raphe palpebra
lateralis. Beberapa serabut pada kelopak mata bawah menempel di medial pada krista
lakrimalis posterior dan sakus lakrimalis. Pars orbitalis berjalan dari krista lakrimalis anterior
dan prosesus frontalis maksila. Otot-otot ini letaknya mendatar melalui dahi dan pipi.
Persarafan M. Orbikularis Okuli didapatkan dari cabang temporalis dan cabang zigomatikus
N.VII.1
Kontraksi otot pars palpebralis menyebabkan mata tertutup secara lembut atau
menyebabkan gerakan mengedip. Pada gerakan ini bulu mata masih terlihat dan isi sakus
konjungtiva tidak berkurang. Kontraksi otot pars orbitalis menyebabkan alis terletak lebih
rendah. Gerakan ini biasanya terjadi saat akan melindungi mata dari cahaya yang terlalu terang.
Jika kedua jenis otot berkontraksi bersamaan, mata akan tertutup rapat (strwing up the eyes)
sehingga isi sakus konjungtiva berkurang dan bulu mata tidak terlihat. Air mata dapat mengalir
ke pipi. Pada penutupan mata secara normal, bagian sisi lateral kelopak mata atas menutup
terlebih dahulu daripada sisi medial sehingga memudahkan penyebaran sekresi kelenjar
lakrimal menuju medial (hidung).1
M. Levator Palpebra superior termasuk otot penggerak bola mata dan mendapat
persarafan dari nervus trochlearis.2
M. Oksipitofrontalis termasuk bagian dari otot kepala dan mendapat persarafan dari
nervus facialis.2
Otot-otot cuping hidung.M. Kompresor Naris berjalan dari maksila dan terletak tranversal
pada hidung.2
Kontraksi otot ini menyebabkan cuping hidung menyempit.M. Dilator Nasir berjalan dari
maksila dan berinsersi pada alae nasi lateral.2
Kontraksi otot ini menyebabkan cuping hidung melebar.M. Procerus dam M. Levator
Labii Superior Alae Nasi jika berkontraksi akan menyebabkan elevasi hidung namun tidak
begitu dapat dilihat secara nyata.Semua otot cuping hidung mendapat persarafan dari cabang
zigomatikus dan cabang bukalis N. VII.2
Kulit wajah dipersarafi oleh ketiga cabang nervus trigeminus, kecuali sebagian kecil
daerag di atas angulus mandibula dan kelenjar parotis yang dipersarafi nervus aurikularis
mayor (C2 dan C3) Nervus oftalmikus mempersarafi regio yang berkembang dari tonjolan
frontonasal, nervus maksilaris, untuk regio yang berkembang dari tonjolan maksila (lengkung
faring I), nervus mandibularis untuk regio yang berkembang dari tonjolan mandibula (lengkung
faring I).1
1. Nervus oftalmikus mempersarafi kulit dahi, kelopak mata atas, konjungtiva dan hidung.
Saraf ini memiliki 5 percabangan :1
a. Nervus lakrimalis mempersarafi kulit dan konjungtiva kelopak mata bagian lateral.1
b. Nervus supraorbitalis terdapat di tepi atas orbita pada takik supraorbita. Beberapa
cabangnya mempersarafi kulit dan konjungtiva kelopak mata atas bagian tengah serta
kulit dahi.1
c. Nervus supratroklearis terdapat ditepi atas orbita lebih medial dari saraf supraorbital.
Beberapa cabangnya mempersarafi kulit dan konjungtiva kelopak mata atas bagian
medial serta kulit dahi bagian bawah.1
d. Nervus infratroklearis meniggalkan orbita di bawah M.Oblikus superior, mempersarafi
kulit dan konjungtiva kelopak mata atas bagian medial sertahidung.1
e. Nervus nasalis eksterna meninggalkan hidung dan keluar diantara os nasal dan
kartilago nasal. Saraf ini mempersarafi kulit hidung sampai ke ujung hidung.1
2. Nervus maksilaris mempersarafi kulit hidung bagian posterior, bagian bawah kelopak mata, pipi,
bibir atas dan sisi lateral orbita. Saraf ini memiliki 3 percabangan : 1
a. Nervus infraorbitalis merupakan lanjutan nervus maksilaris yang memasuki orbita dan
muncul di wajah melalui foramen infraorbita. Cabang-cabangnya mempersarafi
kelopak mata bawah, pipi, sisi lateral hidung dan bibir atas.1
b. Nervus zigomatikofasialis memasuki wajah melalui lubang kecil pada sisi lateral os
zigomatikum, mempersarafi kulit di atas tonjolan pipi.
c. Nervus zigomatikotemporalis keluar dari fosa temporalis melalui lubang kecil pada
sisi posterior os zigomatikum, mempersarafi kulit di atas temporal.1
3. Nervus mandibularis mempersarafi kulit bibir bawah, bagian bawah wajah, daerah
temporal dan sebagian aurikula, kemudian saraf ini menarik ke arah sisi kulit kepala.
Semua otot wajah yang tersebut diatas dipersarafi oleh cabang-cabang nervus fasialis.
Saraf ini tidak mengandung serabut sensoris untuk wajah. Saraf proprioseptif yang diterima
otot wajah berasal dari cabang kutaneus nervus trigeminus yang mempersarafi kulit di atas otot
bersangkutan.
Nervus fasialis keluar dari basis kranii melalui foramen stilomastoideus, di dekat origo M.
Digastrikus venter posterior. Sepanjang perjalanannya, saraf ini memberikan percabangan
sebagai berikut :2
1. Nervus aurikularis posterior berjalan ke atas di belakang telinga, mempeersarafi bagian
oksipital M.Oksipitofrontalis. 2
2. Cabang muskular yang mempersarafi M.Digastrikus venter posterior dan M.Stilohyoid.
selanjutnya saraf ini berlanjut sampai mencapai sisi poosteromedial kelenjar parotis.2
3. Sebelum memasuki kelenjar parotis, saraf ini bercabang menjadi nervus
temporozigomarikus di sebelah atas, dan nervus servikofasialis di bagian bawah. Dalam
kelenjar parotis cabang-cabang tadi membentuk jalinan dan saat keluar dari kelenjar parotis
sudah menjadi 5 cabang akhir nervus fasialis :2
a. Cabang temporal, keluar dari tepi atas kelenjar parotis, mempersarafi aurikular
anterior-superior, sebagian frontalis. Fungsi mengerutkan dahi.2
b. Cabang zigomatikus atas dan bawah yang masing-masing berjalan di atas dan bawah
mata, mempersarafi frontalis dan bagian atas M.Orbikularis Okuli dan otot-otot
bawah mata.2
c. Cabang bukalis mempersarafi M.Bucinator dan serabut otot bibir atas.2
d. Cabang mandibularis marginal mempersarafi serabut otot bibir bawah.2
e. Cabang servikalis berjalan vertikal ke bawah dari tepi bawah kelenjar parotis,
mempersarafi platisma.2
Wajah banyak menerima aliran darah dari 2 pembuluh arteri utama yaitu arteri fasialis
dan arteri temporalis superfisial.1
Arteri fasialis adalah cabang submandibula, arteri ini melengkung sepanjang tepi inferior
korpus mandibula pada sisi anterior otot masseter. Di lokasi ini, denyut arteri dapat teraba jelas.
Arteri ini lalu berjalan naik dan berkelok menuju sudur mulut, dilapisi oleh platisma dan otot
risorius. Arteri ini masih naik lagi di bawah otot zigomatikus dan M.Levator Labii Superior,
berjalan sepanjang sisi hidung menuju sudut medial mata kemudian beranastomosis dengan
cabang arteri oftalmikus. Sepanjang perjalanannya, arteri ini mempercabangkan :2
1. Arteri submentalis keluar setinggi tepi bawah korpus mandibula kemudian berjalan ke
depan sepanjang tepi bawah mandibula, memperdarahi kulit dagu dan bibir bawah.2
2. Arteri Labialis inferior keluar dari dekat sudut mulut kemudian berjalan ke arah medial
pada bibir bawah dan mengadakan endo-to-end anastomosis dengan arteri sejenis kontra
lateralnya.2
3. Arteri Labialis Superior keluar dari mulut kemudian berjalan ke arah medial pada bibir
atas, memiliki cabang yang menuju septum dan alae nasi.2
4. Arteri Nasalis Lateral keluar saar arteri fasilais berjalan naik sepanjang sisi hidung,
memperdarahi kulit hidung.Arteri temporalis superfisialis adalah cabang terminal arteri
karotis eksterna setinggi kelenjar parotis, arteri ini menaik hingga mencapai depan
aurikula, mempersarafi regio temporal dan kulit kepala. Arteri fasialis transversa
merupakan cabang arteri temporalis superfisialis yang berawal dari kelenjar parotis,
berjalan ke depan menyilang pipi.2
Arteri supraorbitalis dan arteri supratroklearis merupakan cabang arteri oftalmikus yang
memperdarahi kulit dahi. Pada kulit kepala, kedua jenis arteri ini bernastomosis dengan arteri
temporalis superfisialis membentuk hubungan sistem karotis interna dan eksterna.2
Aliran darah balik dari regio frontal dibawa oleh supraorbital dan vena supratroklear,
melewati sisi medial kantus, kemudian bergabung membentuk vena angularis. Selanjutnya vena
angularis disebut vena fasialis, berjalan bersama arteri fasialis sampai suatu titik di bawah tepi
inferior mandibula, kemudian menembus fasia servikalis profunda untuk bergabung dengan
cabang anterior vena retromandibula.2
Aliran darah balik dari regio temporal dibawa oleh cabang-cabang vena temporalis
superfisial. Selanjutnya vena ini bergabung dengan vena maksilaris dari pleksus pterigoideus
membentuk vena retromandibula yang berjalan ke bawah melewati kelenjar parotis. Pada saat
keluar dari sisi bawah kelenjar parotis, vena retromandibula bercabang menjadi cabang anterior
dan cabang posterior. Cabang anterior bergabung dengan vena fasialis bermuara ke vena
jugularis interna. Cabang posterior menembus fasia servikalis profunda dan bergabung dengan
vena aurikularis posterior berujung pada vena jugularis eksterna.2
Anastomosis vena-vena wajah dengan vena-vena otak :2
• Disudut medial mata vena fasialis beranastomosis dengan vena oftalmika dan bermuara
pada sinus kavernosus otak.2
• Vena fasialis profunda cabang vena fasialis beranastomosis dengan pleksus pterigoideus,
dimana pleksus ini dihubungkan dengan sinus kavernous oleh vena yang melewati
foramen ovale.2
Aliran limfe dari dahi dan bagian anterior wajah bermuara pada kelenjar getah bening
submandibula. Aliran limfe dari sisi-sisi lateral wajah termasuk sisi lateral kelopak-kelopak
mata bermuara pada kelenjar getah bening parotis. Aliran limfe dari bagian medial bibir bawah
dan kulit dagu bermuara pada kelenjar getah bening submental.2
Gambar 1. Anatomi wajah2
Klasifikasi Luka
Luka di bagi menjadi berbagai macam bedasarkan penyebab, kedalaman dan luasnya
luka, serta derajat kontaminasi luka. 3
Berdasarkan penyebab:
1. Vulnus Laceratum (Laserasi)
Sering disingkat dengan VL merupakan luka yang mengakibatkan robek pada kulit
dengan identifikasinya memiliki dimensi panjang, lebar dan cukup dalam. Biasanya
disebabkan karena terjatuh atau terkena benda yang menyebabkan robekan pada kulit.3
2. Vulnus Excoriasi (Luka Lecet )
Sering disingkat VE adalah luka yang diakibatkan terjadi gesekan dengan benda keras
sehingga biasanya menyebabkan cidera pada epidermis.3
3. Vulnus Punctum (Luka Tusuk)
Sering disingkat dengan VP yaitu luka aklibat tusukan benda tajam yang mengakibatkan
luka sempit dan dalam.3
4. Vulnus Contussum (luka Kontusiopin)
Vulnus ini biasa disingkat dengan VC adalah luka akibat pecahnya pembuluh darah di
bawah kuli, tidak terjadi robekan ataupun perdarahan. Disebabkan biasanya karena
benturan keras sehingga menimbulkan warna merah kehitaman atau kebiruan pada kulit.3
5. Vulnus Schissum (luka Sayat)
Sering disingkat dengan VI yaitu luka kecil dan tipis dan tipis yang biasanya disengaja
dalam proses pengobatan.3
6. Vulnus Schlopetorum
Sering disingkat dengan VS yaitu pada luka yang disebabkan karena luka tembakan atau
terkena peluru.3
7. Vulnus Morsum (luka gigitan)
Sering disingkat VM yaitu luka yang disebabkan karena gigitan gigi baik dari manusia
ataupun hewan.3
8. Vulnus Amputatum
Luka yang diakibatkan terputusnya salah satu bagian tubuh yang biasa dikenal dengan
istilah amputasi.3
9. Vulnus Combustion (Luka Bakar)
Jenis luka bakar yang diakibatkan rusaknya jaringan lulit akibat panas, radiasi, elektrik
ataupun kimia.3
Berdasarkan Kedalaman Dan Luasnya Luka
Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema). Luka jenis ini adalah luka
yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.4
Stadium II : Luka "Partial Thickness". Luka jenis ini adalah hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan
adanya tanda klinis seperti halnya abrasi, blister atau lubang yang dangkal.4
Stadium III: Luka "Full Thickness". Luka jenis ini adalah hilangnya kulit keseluruhan
meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah
tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Luka ini timbul secara klinis sebagai
suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan di sekitarnya.4
Stadium IV: Luka "Full Thickness". Luka jenis ini adalah luka yang telah mencapai
lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi / kerusakan yang luas.4
Berdasarkan derajat kontaminasi:
1. Clean Wounds (Luka Bersih)
Luka sayat elektif5
Steril, potensial terinfeksi5
Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktus alimentarius, traktur
genitourinarius5
2. Clean- contamined wound (Luka bersih tercemar)
Luka sayat elektif5
Potensi terinfeksi: spillage minimal, flora normal5
Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktus alimentarius, traktus
genitourinarius5
Proses penyembuhan lebih lama5
Contoh: apendektomi, operasi vaginal, dsb.5
3. Contamined Wounds (Luka tercemar)
luka terbuka yang masih segar biasanya luka akibat kecelakaan dan operasi dengan
kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna.5
Potensi terinfeksi: spillage dari traktus alimentarius, kandung empedu, traktus
genitourinarius, urin.5
Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka, luka penetrasi.5
4. Dirty/ Infected Wounds (Luka kotor)
terdapatnya mikroorganisme pada luka sehingga kemungkinan terjadinya infeksi
pada luka jenis ini akan semakin besar dengan adanya mikroorganisme tersebut
biasanya diakibatkan pembedahan yang sangat terkontaminasi.5
Perforasi visera, abses, trauma lama.5
Penatalaksanaan Kasus Luka
Vulnus laseratum meupakan luka terbuka yang terdiri dari akibat kekerasan tumpul yang
kuat sehingga melampaui elastistas kulit atau otot. Jenis luka yang satu ini derajat nyerinya
biasanya lebih tinggi dibanding luka robek, mengingat luka jenis ini biasanya terletak di
ujung-ujung syaraf nyeri di kulit. Pada vulnus laseratum robekan jaringan sering diikuti
kerusakan alat di dalam seperti patah tulang. Vulnus laseratum dapat disebabkan oleh
beberapa hal di antaranya: alat yang tumpul, jatuh ke benda tajam dan keras selain itu juga
kecelakaan lalu lintas.5
Penatalaksaan untuk kasus vulnus laseratum:
1. Anamnesis5
2. Pemeriksaan Fisik
a. Lokasi. Melihat dimana letak luka dan penting sebagai petunjuk kemungkinan
adanya cedera pada struktur yang lebih dalam.5
b. Eksplorasi. Memeriksa apakah ada benda asing yang mungkin tertinggal pada
luka serta menentukan adanya jaringan yang telah mati dan juga apakah ada cidera
pada struktur yang lebih dalam.5
3. Pembersihan Luka
Yang harus dilakukan adalah membersihkan luka terlebih dahulu menggunakan
larutan NaCl sampai luka terlihat bersih dan tidak ada benda asing yang tertinggal,
Irigasi sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk membuang jaringan mati dan benda
asing (debridement) sehingga akan mempercepat penyembuhan, dan menghindari
terjadinya infeksi. Irigasi dilakukan dengan menggunakan cairan garam fisiologis
atau air bersih. Lakukan secara sistematis dari lapisan superfisial ke lapisan yang
lebih dalam.5
4. Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati. Tepi yang compang-
camping sebaiknya dibuang.5
5. Berikan antiseptik.5
6. Bila perlu tindakan ini dilakukan dengan pemberian anestesi lokal.5
7. Penjahitan Luka
Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang dari 8 jam
boleh dijahit primer.5
8. Penutupan Luka
Prinsip dalam menutup luka adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik
pada luka sehingga proses penyembuhan berlangsung optimal. Fungsi kulit adalah
sebagai sarana pengatur penguapan cairan tubuh dan sebagai barier terhadap invasi
bakteri patogen. Pada luka fungsi ini menurun oleh karena proses inflamasi atau
bahkan hilang sama sekali (misalnya pada kehilangan kulit akibat luka bakar)
sehingga untuk membantu mengembalikan fungsi ini, perlu dilakukan penutupan
luka. Penutupan luka yang terbaik adalah dengan kulit (skin graft, flap). Bila tidak
memungkinkan maka sebagai alternatif digunakan kassa (sampai luka menutup atau
dilakukan penutupan dengan kulit).5
9. Pembalutan
Fungsi balutan antara lain:
Sebagai pelindung terhadap penguapan, infeksi. Mengupayakan lingkungan yang
baik bagi luka dalam proses penyembuban: menciptakan kelembaban, sebagai
kompres, menyerap eksudat/produk lisis jaringan (adsorben).5
Sebagai fiksasi, mengurangi pergerakan tepi-tepi luka sampai pertautan terjadi.5
Efek penekanan (pressure): mencegah berkumpulnya rembesan darah yang
menyebabkan hematom.5
Pertimbangan dalam menutup dan membalut luka sangat tergantung pada penilaian
kondisi luka. Luka sayat, bersih, ukuran kecil yang dapat mengalami proses
penyembuhan per primam tidak memerlukan penutup/pembalut. Sebaliknya pada
luka luas dengan kehilangan kulit atau disertai eksudasi dan produk lisis jaringan
memerlukan penggantian balutan sampai 5-6 kali sehari.5
10. Pemberian Antibiotik dan ATS/Toksoid
Prinsipnya adalah pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik dan pada luka
terkontaminasi atau kotor maka perlu diberikan antibiotik. Luka-luka yang
merupakan media yang baik bagi berkembang biaknya bakteri-bakteri anaerob
(misalnya luka tusuk, luka menggaung, terkontaminasi bahan-bahan yang merupakan
media yang baik dalam berkembangnya kuman-kuman anaerob seperti karat, kotoran
kuda) memerlukan pemberian ATS/toksoid.5
11. Pengangkatan Jahitan
Jahitan diangkat bila fungsinya sudah tidak diperlukan lagi. Sebagaimana diketahui
fungsi jahitan adalah mempertautkan tepi-tepi luka. Bila pertautan tepi-tepi luka
sudah cukup kuat, di mana terjadi perlekatan tepi-tepi luka dengan adanya serat-serat
fibrin (jaring-jaring fibrin, fibrin mesh) yang secara klinis tampak luka sudah
menutup, maka fungsi jahitan sudah tidak diperlukan lagi. Hal ini tergantung pada
beberapa faktor:5
Vaskularisasi. Umumnya daerah yang memiliki vaskularisasi baik (misalnya
muka) proses penyembuhan berlangsung cepat, sementara daerah/jaringan yang
memiliki vaskularisasi kurang baik (misalnya tungkai, tendon) proses
penyembuhan membutuhkan waktu lebih lama.5
Pergerakan. Daerah-daerah yang relatif sering bergerak (misalnya sendi) proses
penyembuhan terjadi lebih lama. Oleh karenanya proses penyembuhan luka pada
sendi/ persendian diupayakan dengan :5
a. Mengistirahatkan sendi bersangkutan (mengurangi pergerakan) dengan
pemasangan bidai atau perban elastic.5
b. Mempertahankan jahitan lebih lama (dibandingkan tempat-tempat lain,
misalnya sampai 2-3 minggu)5
Ketegangan tepi-tepi luka. Pada daerah-daerah yang loose maka jahitan bisa lebih
cepat diangkat, namun pada daerah yang tight (tegang) lebih lama.5
Teknik penjahitan. Yang dimaksud dengan teknik penjahitan dalam hal ini adalah
jahitan yang dilakukan pada lapisan-lapisan jaringan (misalnya jahitan otot,
jahitan fasia, jahitan subkutis, dan jahitan intradermal menggunakan benang yang
tidak diserap) sebelum menjahit kulit.5
Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal,
tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor endogen (seperti: umur, nutrisi, imunologi,
pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik).6
Setiap proses penyembuhan luka akan terjadi melalui 3 tahapan yang dinamis, saling
terkait dan berkesinambungan serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka. Sehubungan
dengan adanya perubahan morfologik, tahapan penyembuhan luka terdiri dari:6
1. Fase inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat
perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah
menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan
bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini,
kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi
hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan
substansi “vasokonstriksi” yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi,
selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah.6
Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi
kapiler stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan
adanya substansi vasodilator: histamin, serotonin dan sitokins. Histamin kecuali
menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena,
sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan
secara klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis.6
Dengan berhasilnya dicapai luka yang bersih, tidak terdapat infeksi atau kuman
serta terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai
pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya: eritema, hangat pada
kulit, edema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.6
Gambar 2. Fase inflamasi6
2. Fase proliferasi
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah
pembedahan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka
mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah
membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan
dikeluarkannnya fibroblas oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh
darah baru dan juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.6
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru
tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblast
dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respons yang dilakukan fibroblast
terhadap proses fibroplasia adalah:6
a. Proliferasi6
b. Migrasi6
c. Deposit jaringan matriks6
d. Kontraksi luka6
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan “keratinocyte
growth factor” (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi
akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi
permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini
akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan
dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah
strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada
jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas
dibandingkan dengan defek luka minimal.6
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah
terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth factor yang
dibentuk oleh makrofag dan platelet.6
1. Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tualebih sering
terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesisdari faktor
pembekuan darah.7
2. Nutrisi
Penyembuhan memerlukan nutrisi yang baik. Pasien memerlukan dietkaya protein,
karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe dan Zn. Pasien yang kurang
nutrisi memerlukan waktu yang lebih lama. Pasien yang gemuk meningkatkan resiko
infeksi luka danpenyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat.7
3. Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan karena adanya bakteri sumber penyebab infeksi.7
4. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar
lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-
orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu,
lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang
dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau
diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau
gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan
mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk
penyembuhan luka.7
5. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Sering kali darah pada luka secara bertahap
diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besarhal
tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses
penyembuhan luka.7
6. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu
abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel
mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang
disebut dengan nanah/pus.7
7. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian
tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada
luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada
pembuluh darah itu sendiri.7
8. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi
tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-
kalori tubuh.7
9. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik
mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat
seseorang rentan terhadap infeksi luka. Steroid akan menurunkan mekanisme peradangan
normal tubuh terhadap cedera. Antikoagulan mengakibatkan perdarahan. Antibiotik
efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang
spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidakakan efektif akibat
koagulasi intravaskular.7
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan adanya pelepasan jahitan, darah sulit membeku pada
garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain).
Waspadai terjadinya perdarahan tersembunyi yang akan mengakibatkan hipovolemia.
Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama
48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan
berlebihan terjadi, penambahan tekanan luka dan perawatan balutan luka steril mungkin
diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan juga mungkin diperlukan.7
Epilepsi
Definisi
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan
(seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan dapat
diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari
sekelompok besar sel sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan
motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang
terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional
provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia (Prasad et al,1999)
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan epileptik
berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena lepas muatan
listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi. Bangkitan epilepsi
adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal,
berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran,
disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda
klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus, kronisitas (Pallgreno, 1996)
Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada
proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasiaferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi
ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat
penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron
diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-
masuk ion-ion menerobos membran neuron (Prasad et al, 1999) Lima buah elemen fisiologi sel
dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan
terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.8
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.8
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel Piramidal
pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bisa dikatakan
sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan
daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran
nonsinaptik dan aktifitas elektrik.8
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.8
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi. Serangan epilepsi akan muncul
apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang
berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-
ulang.8
Cetusan listrik abnormal ini kemudian membawa neuron-neuron yang terkait di dalam
proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar
neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam
otak (Selzer &Dichter, 1992).
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih
dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan
demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi
(Prasad et al, 1999).
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu (Meliala,1999):
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF) yang membedakan seseorang peka tidaknya
terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat
dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi
pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida,
tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang
tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler
tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar
sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.8
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini
dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secaraserentak, secara teori
sinkronisasi ini dapat terjadi (Widiastuti, 2001)
1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA
(gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsy ternyata
kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik
(IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis
mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh
GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada
GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan
bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang
akan menambah rangsangan (Budiarto, 1999).
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara
neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor,
vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan
atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan
yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain
di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas
neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan
yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan
kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50%
epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan
merupakan tempat asal epilepsi dapatan (Joesoef, 1997).
Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan
yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.9
Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala
sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya
serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis
juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu Anamnesis (auto
dan aloanamnesis), meliputi:9
a. Pola / bentuk serangan9
b. Lama serangan9
c. Gejala sebelum, selama dan paska serangan9
d. Frekuensi serangan9
e. Faktor pencetus9
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang9
g. Usia saat serangan terjadinya pertama9
h. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan9
i. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya9
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga9
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau
difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan dengan menggunakan
umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan
adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh
dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.9
Pemeriksaan penunjang
1. Cairan serebrospinalis. Cairan serebrobrospinalis pada penderita epilepsi umumnya
normal. Pungsi lumbal dilakukan pada penderita yang dicurigai meningitis.9
2. Elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada penderita epilepsi.
EEG dapat mengkonfirmasi aktivitas epilepsi bahkan dapat menunjang diagnosis klinis
tetapi tidak dapat menegakkan diagnosis secara pasti. Epilepsi tidak selalu dapat
tercermin pada rekaman EEG. EEG normal dapat dijumpai pada anak yang menderita
kelainan otak. Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila :9
o Asimetris irama dan voltage gelombang pada daerah yang sama dikedua hemisfer
otak9
o Irama gelombang tidak teratur9
o Irama gelombang lebih lambat dibandingkan seharusnya9
o Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak yang normal, seperti
gelombang tajam paku (spike), paku-ombak, paku majemuk.9
Pemeriksaan EEG berfungsi dalam mengklisifikasikan tipe kejang dan menentukan terapi
yang tepat. EEG harus diulangi apabila kejang sering dan berat walaupun sedang dalam
pengobatan, apabila terjadi perubahan pola kejang yang berarti atau apabila timbul defisit
neurologi yang progresif.9
3. Pencitraan. Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan antara lain foto polos kepala,
angiografi serebral, CT-scan, MRI. Pada foto polos kepala dilihat adanya tanda-tanda
peninggian tekanan intrakranial, asimetris tengkorak, perkapuran abnormal tetapi
pemeriksaan ini sudah banyak ditinggalkan. Angiogarafi dilakukan pada pasien yang
akan dioperasi karena adanya fokus epilepsi berupa tumor. CT-scan dan MRI digunakan
untuk mendeteksi adanya malformasi otak kongenital. Indikasi CT-scan dan MRI antara
lain kesulitan dalam mengontrol kejang, ditemukannya kelainan neurologis yang
progresif dalam pemeriksaan fisik, perburukan dalam hasil EEG, curiga terhadap
peningkatan tekanan intrakranial dan pada kasus-kasus dimana dipertimbangkan untuk
dilakukan pembedahan.9
4. Pemeriksaan laboratorium tergantung dari umur pasien, keparahan dan tipe kejang. Setiap
kasus yang diduga terjadi gangguan kejang dibenarkan untuk dilakukan EEG. Kejang
pada bayi kadang tanpa gejala. Maka dari itu harus lebih hati-hati dalam menilai hasil
laboratorium.9
Kelainan metabolik jarang ditemukan pada anak sehat yang mengalami kejang. Jika tidak
ditemukan tanda klinik dari uremia, hiponatremia, atau kondisi serius yang lain, tes
laboratorium tidak telalu penting.9
Klasifikasi Epilepsi
a. Non farmakologi
1) Amati faktor pemicu10
2) Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya: stress, OR, konsumsi kopi atau alkohol,
perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.10
b. Farmakologi
Menggunakan obat-obat antiepilepsi yaitu :
1) Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+: Inaktivasi kanal Na, menurunkan
kemampuan syaraf untuk menghantarkan muatan listrik. Contoh: fenitoin, karbamazepin,
lamotrigin, okskarbazepin, valproat.10
2) Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAnergik:
Agonis reseptor GABA, meningkatkan transmisi inhibitori dg mengaktifkan kerja
reseptor GABA, contoh: benzodiazepin, barbiturat. Menghambat GABA transaminase,
konsentrasi GABA meningkat, contoh: Vigabatrin. Menghambat GABA transporter,
memperlama aksi GABA, contoh: Tiagabin. Meningkatkan konsentrasi GABA pada
cairan cerebrospinal pasien mungkin dg menstimulasi pelepasan GABA dari non-
vesikularpool contoh: Gabapentin.10
Amnesia
Amnesia (dari Bahasa Yunani Ἀμνησία) adalah kondisi terganggunya daya ingat.
Penyebab amnesia dapat berupa organik atau fungsional. Penyebab organik dapat berupa
kerusakan otak, akibat trauma atau penyakit, atau penggunaan obat-obatan (biasanya yang
bersifat sedatif). Penyebab fungsional adalah faktor psikologis, seperti halnya mekanisme
pertahanan ego. Amnesia dapat pula terjadi secara spontan, seperti terjadi pada transient global
amnesia. Jenis amnesia global ini umum terjadi mulai usia pertengahan sampai usia tua,
terutama pada pria, dan biasanya berlangsung kurang dari 24 jam. amnesia hanya berlangsung
selama beberapa menit sampai beberapa jam dan akan menghilang dengan sendirinya. pada
cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap.11
Jenis-Jenis Amnesia
1. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang,
yang terjadi secara mendadak dan berat. serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur
hidup, atau bisa juga berulang. serangan berlangsung selama 30 menit sampai 12 jam atau
lebih. arteri kecil di otak mungkin mengalami penyumbatan sementara sebagai akibat dari
aterosklerosis. pada penderita muda, sakit kepala migren (yang untuk sementara waktu
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak) bisa menyebabkan anemia menyeluruh
sekejap. peminum alkohol atau pemakai obat penenang dalam jumlah yang berlebihan
(misalnya barbiturat dan benzodiazepin), juga bisa mengalami serangan ini. penderita bisa
mengalami kehilangan orientasi ruang dan waktu secara total serta ingatan akan peristiwa
yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. setelah suatu serangan, kebingungan biasanya
akan segera menghilang dan penderita sembuh total. 11
2. Sindroma wernicke-korsakoff alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa
mengalami amnesia. Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan
amnesia yang berlangsung lama. Kedua hal tersebut terjadi karena kelainan fungsi otak
akibat kekurang vitamin b1 (tiamin). mengkonsumsi sejumlah besar alkohol tanpa
memakan makanan yang mengandung tiamin menyebabkan berkurangnya pasokan vitamin
ini ke otak. penderita kekurangan gizi yang mengkonsumsi sejumlah besar cairan lainnya
atau sejumlah besar cairan infus setelah pembedahan, juga bisa mengalami ensefalopati
wernicke. penderita ensefalopai wernicke akut mengalami kelainan mata (misalnya
kelumpuhan pergerakan mata, penglihatan ganda atau nistagmus), tatapan matanya kosong,
linglung dan mengantuk. untuk mengatasi masalah ini biasanya diberikan infus tiamin. jika
tidak diobati bisa berakibat fatal. 11
Amnesia korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati wernicke. jika serangan
ensefalopati terjadi berulang dan berat atau jika terjadi gejala putus alkohol, maka amnesia
korsakoff bisa bersifat menetap. hilangnya ingatan yang berat disertai dengan agitasi dan
delirium. penderita mampu mengadakan interaksi sosial dan mengadakan perbincangan
yang masuk akal meskipun tidak mampu mengingat peristiwa yang terjadi beberapa hari,
bulan atau tahun, bahkan beberapa menit sebelumnya.11
Amnesia korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau
ensefalitis akut. pemberian tiamin kepada alkoholik kadang bisa memperbaiki ensefalopati
wernicke, tetapi tidak selalu dapat memperbaiki amnesi korsakoff. Jika pemakaian alkohol
dihentikan atau penyakit yang mendasarinya diobati, kadang kelainan ini menghilang
dengan sendirinya.11
3. Amnesia Lakunar, yakni amnesia tidak bisa mengingat satu kejadian.11
4. Amnesia emosional, yakni hilangnya ingatan karena trauma psikologis, biasanya bersifat
sementara.11
5. Transient global amnesia merupakan kehilangan sementara seluruh memori namun secara
khusus disertai anterograde amnesia dan juga retrograde amnesia ringan. Ini sangat jarang
terjadi dan umumnya terjadi pada orang usia lanjut dengan penyakit vaskuler. Penyebab
terjadinya amnesia bervariasi mulai dari trauma psikologis sampai kerusakan otak karena.
Kerusakan otak bisa disebabkan oleh trauma/kecelakaan, tumor, stroke, maupun
pembengkakan otak11
6. Amnesia Lakunar yang merupakan ketidakmampuan mengingat kejadian tertentu.11
7. Anterograde amnesia: kejadian baru dalam ingatan jangka pendek tidak ditransfer ke
ingatan jangka panjang yang permanen. Penderitanya tidak akan bisa mengingat apapun
yang terjadi setelah munculnya amnesia ini walaupun baru berlalu sesaat. 11
8. Retrograde amnesia: ketidakmampuan memunculkan kembali ingatan masa lalu yang lebih
dari peristiwa lupa biasa. 11
Kedua kategori amnesia terakhir dapat muncul bersamaan pada pasien yang sama. Contohnya
seperti pada pengendara sepeda motor yang tidak mengingat akan pergi kemana dia sebelum
tabrakan (retrograde amnesia), juga melupakan tentang kejadian di rumah sakit dua hari
setelahnya (anterograde amnesia).11
Epidemologi
Data epidemiologis tentang cedera kepala di Indonesia hingga saat ini belum tersedia,
namun dari data yang ada dikatakan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Data cedera
kepala di Makassar khususnya di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2005
berjumlah 861 kasus, tahun 2006 berjumlah 817 kasus dan tahun 2007 berjumlah 1078 kasus.
Sekitar 59% adalah cedera kepala ringan, 24% cedera kepala sedang dan 17% cedera kepala
berat. Pada penelitian lain, dalam kurung waktu 3 bulan (November 2011-April 2012)
ditemukan 524 penderita cedera kepala, 103 diantaranya mengalami delirium dan terdiri dari
27,2% merupakan cedera kepala sedang, dan 72,8 % cedera kepala ringan. Pada penelitian yang
dilakukan Tate dkk di sebuah pusat rehabilitasi, 70% dari pasien yang mengalami cedera kepala
mengalami gangguan ingatan, baik itu amnesia retrograde maupun amnesia anterograde, dan
gangguan perilaku.11
Klasifikasi
Post traumatic amnesia dapat dibagi dalam 2 tipe. Tipe yang pertama adalah retrograde,
yang didefinisikan oleh Cartlidge dan Shaw, sebagai hilangnya kemampuan secara total atau
parsial untuk mengingat kejadian yang telah terjadi dalam jangka waktu sesaat sebelum trauma
kapitis. Amnesia jenis ini mempengaruhi memori yang sudah terbentuk beberapa menit, hari,
bulan bahkan tahun sebelum trauma pada otak terjadi. Tipe yang kedua dari PTA adalah
amnesia anterograde, suatu defisit dalam membentuk memori baru setelah terjadinya trauma
pada otak. Memori anterograde biasanya merupakan fungsi terakhir yang kembali setelah
pasien kembali sadar post trauma. Amnesia anterograde biasanya terjadi tanpa disertai amnesia
retrograde, namun jarang ditemukan amnesia retrograde yang tidak disertai amnesia
anterograde.12
Penatalaksanaan
th
1. Sadler TW head and neck. In: Sadler TW editor. Langeman’s medical embryology 5
edition. Baltimore: Williams & Wilkins; 2014. p. 281 – 308.
2. Staubesand J (editor). Atlas anatomi manusia Sobota. Edisi ke-19. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2014. h. 223-6.
3. Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta: Medika Auskulapius
FKUI; 2014. h. 56-61.
4. Radosław Ziemba. First Aid In Cases Of Wounds, Fractures, As Well As ThermalAnd
Chemical Burns. Military Centre Of Pharmacy And Medical Technique In Celestynów,
Poland: Military Pharmacy And Medicine 2014. p. 2, 15 – 24.
5. Rostini, A. Intang, Darwis. Pengaruh Penggunaan Larutan Nacl 0,9% Terhadap Lama
Hari Rawat Pada Pasien Vulnus Laceratum Di Rumah Sakit UmumDaerah H. Andi
Sulthan Daeng Radja Kabupaten Bulukumba.Stikes Nani Hasanuddin Makassar. E-Journal
Volume 2 Nomor 4 Tahun 2013
6. Sjamsuhadajat, R & Jong, Win de. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2017. h. 97-114.
7. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitestream/123456789/31496/Chapter%2011.pdf
Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association (InETNA) dan Tim Perawatan Luka
dan Stoma Rumah Sakit Dharmais. 2004, Perawatan Luka, Makalah Mandiri, Jakarta
8. Harsono. Epilepsi. Dalam: Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press; 2014. h. 117-148.
9. Harsono. Buku Ajar Neurologi klinik. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf, Indonesia.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press; 2016. h. 119-50.
10. Marjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta, 2004, hal 439-450.
11. Tate R, Pfaff A, Bagulley I. A multicentre, randomised trial examining the effect of test
procedures measuring emergence from posttraumatic amnesia. America: J Neurol
Neurosurg Psychiatry; 2016. p. (77):841-849.
12. Gumm K, T T, L O. Post Traumatic Amnesia Screening and Management. In:
Traumatology, editor. Australia: The Royal Melbourne Hospital; 2014. p. 24-41.