Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

Pembimbing:
dr. Yanti Muliawati, Sp. PD

Penyusun:
Gloria Graceta Natasya Salsha
112022061

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT PANTI WILASA “Dr. CIPTO” SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 21 NOVEMBER – 28 JANUARI 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk-Jakarta Barat

KEPANITRAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus: 30 Oktober 2022
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO SEMARANG
Nama : Gloria Graceta Natasya Salsha Tanda Tangan
NIM : 112021336
.…………………..
Dr. Pembimbing/ Penguji : dr. Yanti Muliawati, Sp. PD Tanda Tangan

……………………

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/tanggal lahir : 12 April 1961 Umur : 61 tahun
Status Perkawinan : Menikah Suku Bangsa : Jawa
Pekerjaan : Tidak bekerja Agama : Islam
Alamat : Tambak Mulyo Pendidikan : SMP

II. ANAMNESIS
Diambil dari: Alloanamnesis (keluarga pasien) Tanggal: 11 Desember 2022 (18.35 WIB)
Keluhan Utama: sesak napas
Keluhan Tambahan: nyeri dada, batuk
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien laki-laki 61 tahun datang ke IGD RS Panti Wilasa Dr. Cipto dengan keluhan
sesak napas, dan nyeri dada sejak 2 hari SMRS. Pasien mengatakan bahwa nyeri dirasakan
sebelah kiri dan menjalar hingga kebagian punggung. Keluhan tambahan yang dirasakan
pasien yaitu batuk berdahak namun susah keluar selama kurang lebih 2 minggu SMRS. Pasien
mengatakan ada keluhan lain seperti demam sejak 2 hari SMRS disertai dengan pusing. Pasien
tidak mengeluh adanya mual dan muntah. Pasien mengatakan nafsu makan dan minum
menjadi berkurang setelah keluhan dirasakan dan badan menjadi lemas. Keluhan lain seperti
BAB dan BAK tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. Penyakit lain seperti
DM, hipertensi, jantung, asma, TB disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang diketahui memiliki riwayat penyakit seperti DM,
hipertensi, asma, alergi, TB, aaupun keluhan yang sama seperti pasien.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien memiliki riwayat merokok. Riwayat mengonsumsi alkohol dan obat-obatan
terlarang tidak ada. Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan ataupun
makanan. Lingkungan tempat tinggal pasien padat penduduk.

III. PEMERIKSAAN FISIK (26 Agustus 2022)


PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 129/62 mmHg
Nadi : 109 x/menit
Suhu : 37,8C
Pernapasan : 36 x/menit
Saturasi oksigen : 95% → 99% (O2 NC 3 L/menit)
STATUS GENERALIS

Kulit
Warna : Sawo matang
Jaringan parut : Tidak ada
Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Merata
Lembab/kering : Kering
Suhu raba : Hangat
Pembuluh darah : Tidak ada pelebaran pembuluh darah
Keringat : Umum
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak ada
Oedem : Tidak ada

Kelenjar Getah Bening


Submandibula : Tidak teraba adanya pembesaran
Leher : Tidak teraba adanya pembesaran
Supraklavikula : Tidak teraba adanya pembesaran
Ketiak : Tidak teraba adanya pembesaran
Lipat paha : Tidak teraba adanya pembesaran

Kepala
Bentuk kepala : Normocephali
Ekspresi muka : Gelisah
Simetri muka : Simetris
Rambut : Pertumbuhan rambut merata
Pembuluh darah temporal : Pulsasi (+)
Mata
Exopthalmus : Tidak ada
Enopthalmus : Tidak ada
Kelopak : Edema (-)
Lensa : Jernih
Konjungtiva : Tidak anemis
Sklera : Tidak ikterik
Gerakan mata : Normal
Lapangan penglihatan : Normal
Nistagmus : Tidak ada

Telinga
Tuli : Tidak tuli
Selaput pendengaran : Normal
Lubang : Normal
Penyumbatan : Tidak ada
Serumen : Tidak ada
Pendarahan : Tidak ada
Cairan : Tidak ada

Mulut
Bibir : Kering
Tonsil : T1-T1, tampak tenang
Langit-langit : Terbentuk sempurna
Bau pernapasan : Normal
Gigi geligi : Dalam batas normal
Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis
Selaput lendir : Normal
Lidah : Tidak kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : distensi vena
Kelenjar tiroid : Tidak membesar
Kelenjar limfe : Tidak membesar

Dada
Bentuk : Simetris, retraksi sela iga (+), lesi (-), benjolan (-)
Pembuluh darah : Normal, spider nevi (-)
Buah dada : Simetris, ginekomastia (-)

Paru-Paru
Kanan Pernapasan simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga
(+), lesi (-), massa (-).
Inspeksi
Kiri Pernapasan simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga
(+), lesi (-), massa (-).
Kanan Fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-), massa (-), pernapasan
simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (+)
Palpasi
Kiri Fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-), massa (-), pernapasan
simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (+)
Kanan Sonor diseluruh lapang paru.
Perkusi
Kiri Sonor diseluruh lapang paru.
Kanan Suara nafas vesikular, wheezing (-), ronki (-)
Auskultasi
Kiri Suara nafas vesikular, wheezing (-), ronki (-)
Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak, tidak ada lesi/benjolan
Ictus cordis teraba pada sela iga ke-4, 2 jari lateral line midklavikularis
Palpasi
sinistra, ukuran 1 cm x 1 cm, kuat angkat. Nyeri tekan (-).
Batas kanan: linea sternalis dextra ICS 4
Batas atas: linea sternalis sinistra ICS 2
Perkusi Batas pinggang: linea parasternalis sinistra ICS 3
Batas bawah: ilnea midklavikularis sinistra ICS 6
Batas kiri: 2 jari dari linea midklavikularis sinistra ICS 5
Auskultasi BJ I-II normal, murni, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi Kulit berwarna sawo matang, simetris, berbentuk datar, massa (-),
pembuluh darah (-)
Palpasi Dinding perut: tidak tegang, defense muscular (-), massa (-),
nyeri tekan epgastirum (-)
Hati : tidak teraba pembesaran
Limpa : tidak teraba pembesaran
Ginjal : balotemen (-)
Lain-lain : tidak ada
Perkusi Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal

Alat kelamin (atas indikasi) : Tidak ada indikasi


Ekstremitas
Lengan Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Lain-lain Palmar eritem (-), tremor (-), Palmar eritem (-), tremor (-),
edema (-) edema (-)

Tungkai Kanan Kiri


Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Tonus otot Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Lain-lain Palmar eritem (-), tremor (-), Palmar eritem (-), tremor (-),
edema (-) edema (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Elektrokardiografi
Tanggal 11 Desember 2022

Irama: reguler
HR: 111 x/menit
Axis: normal
Interval PR 0.16 detik, kompleks QRS 0.10 detik, interval QT 0.20 detik
Kelainan: ST depresi II, III, aVF
Diagnosis: AF cepat, STEMI inferior
2. Pemeriksaan Radiologi
 Tanggal 11 Desember 2022
Foto Thorax AP
Cor : CTR <50%, bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : Corakan brochovaskular tampak meningkat
Tampak konsolidasi disertai air bronchogram di dalamnya pada lapangan atas
tengah paru kiri
Tampak bercak pada lapangan atas tengah bawah paru kanan
Tampak lusensi avasculer disertai pleural visceral line pada laterobasal hemithoraks
kiri, disertai perselubungan homogen pada basal hemithoraks kiri yang membentuk
gambaran air-fluid level
Sudut costophrenicus D/S : kanan lancip, kiri tertutup perselubungan homogen
Hemidiaphragma : kanan setinggi costa 10 posterior
Skeleton: Intak, tidak tampak lesi litik/blastik/garis fraktur
Soft tissue: Normal
Kesimpulan:
- Cor tak membesar
- Gambaran pneumonia bilateral
- Hydropneumothoraks kiri
→ Mendukung gambaran TB paru
 Tanggal 12 Desember 2022
Foto Thorax AP
Cor: Bentuk ukuran posisi normal
Aorta: Tidak tampak kalsifikasi
Trachea: Ditengah
Pulmo: Tampak infiltrat pada lapang atas tengah bawah paru kanan Kiri
Sudut costophrenicus D/S: D: Lancip S: Tumpul
Hemidiaphragma D/S: Dome shaped
Skeleton: Intak, tidak tampak lesi litik/blastik/garis fraktur
Soft tissue: Normal
Tampak terpasang chest tube pada hemithorax kiri dengan cambaran kinking + dan
ujung distal menghadap inferomedia pada level T9
Tampak lusensi minimal dengan pleural visceral line pada hemithorax kiri
Kesimpulan (Dibandingkan dengan foto thorax pada tanggal 11 Desember
2022):
- Cor tak membesar
- Infiltrat kedua lapang paru → infiltrat paru kanan relatif berkurang
- Hydropneumothorax kiri → komponen pneumothorax minimal, berkurang
- Tampak terpasang chest tube, pada hemithorax kiri dengan gambaran kinking
dan ujung distal menghadap inferomedial pada level T9

 Tanggal 16 Desember 2022


Cor: Bentuk ukuran posisi normal
Aorta: Tidak tampak kalsificasi
Thachea: Ditengah
Pulmo: Tampak, infiltrat pada lapang atas tengah bawah paru kanan kiri
Sucut costophrenicus D/S: D: Lancip S: Tumpul
Hemidiaphragma D/S: Dome shaped
Skeleton: Intak, tidak, tampak lesi litik/blastik/garis fraktur
Soft sissue: Normal
Tampak terpasang chest tube pada hemithorax kiri dengan gambaran kinking + dan
ujung distal menghadap inferomedial pada level T9
Kesimpulan (Dibandingkan dengan foto thorax pada tanggal 12 Desember
2022):
Cor tak membesar
Infirat kedua lapang paru → infiltrat berkurang
Saat in fidak jelas adanya pneumothorax → perbaikan
Elusi pleura kiri → relatif tetap
Tampak terpasang chest tube pada hemithorax kin dengan gambaran kinking dan
ujung distal menghadap inferomedial pada level T9

3. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 11 Desember 2022 (19:06)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
CBC+DIFF
Hemoglobin 13.2 g/dL 13.2 – 17.3
Leukosit 24.7 103 ul 3.8 – 10.6
DIFF COUNT
Eosinofil % 0.20 % 2.00 – 4.00
Basofil % 0.40 % 0–1
Netrofil % 72.60 % 50 – 70
Limfosit % 17.70 % 25 – 40
Monosit % 9.10 % 2–8
Eosinofil # 0.04 103 ul
Basofil # 0.10 103 ul
Netrofil # 17.93 103 ul
Limfosit # 4.37 103 ul
Monosit # 2.26 103 ul
Neutrofil Lymphosit 4.10
Ratio
Hematokrit 3.8 % 40 – 52
Eritrosit 4.6 106 ul 4.40 – 5.90
Trombosit 521 103 ul 150 – 400
MCV 83 fL 80 – 100
MCH 28 Pg 26 – 34
MCHC 33 g/dL 32 – 36
URIN
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih
pH 5.5
Berat jenis 1.030 1.003-1.030

Kimia
Protein +2 Negatif
Glukosa +4 Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilin Negatif Negatif
Keton +1 Negatif
Sedimen
Eritrosit (RBC) 67.3 /uL <6.4
Leukosit (WBC) 30.8 /uL <5.8
Tanggal 11 Desember 2022 (21:41)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
KIMIA KLINIK
Uric Acid 5.1 mg/dL 2–7
LDL Cholesterol 121.9 mg/dL < 130
Trigliserida 162 mg/dL 70 – 140
Albumin 3.80 g/dL 3.4 – 4.8
HBA1C 14.6 % 4.8 – 5.9
< 6.5 = Kendali diabetes
baik
6.5–8 = Kendali diabetes
sedang
> 8 = Kendali diabetes
buruk
SERO IMUNOLOGI
CRP Kuantitatif 15.9 mg/dL 0 – 10

Tanggal 12 Desember 2022


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
KIMIA KLINIK
Gula Darah Paralel
GDS 1
528 mg/dL 70 – 150
Jam 05.00
GDS 2
453 mg/dL 70 – 150
Jam 07.15
GDS 3
358 mg/dL 70 – 150
Jam 08.30
GDS 4
258 mg/dL 70 – 150
Jam 12.00
GDS 5 186 mg/dL 70 – 150
Jam 16.00
GDS 6
106 mg/dL 70 – 150
Jam 22.00

Tanggal 13 Desember 2022


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
KIMIA KLINIK
Gula Darah Paralel
GDS 1
126 mg/dL 70 – 150
Jam 05.00
GDS 2
120 mg/dL 70 – 150
Jam 17.00

V. RESUME
Pasien laki-laki 61 tahun datang dengan keluhan sesak napas, dan nyeri dada
sejak 2 hari SMRS. Pasien mengatakan bahwa nyeri dirasakan sebelah kiri dan
menjalar hingga kebagian punggung. Keluhan tambahan yang dirasakan pasien yaitu
batuk berdahak selama 1 minggu SMRS. Pasien mengatakan ada keluhan lain seperti
demam disertai dengan pusing. Pasien mengeluh adanya mual dan namun tidak disertai
dengan muntah. Keluhan lain seperti BAB dan BAK tidak ada.
Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran
compos mentis. Tekanan darah 129/62 mmHg, denyut jantung 109 x/menit, frekuensi
napas 36 x/menit, suhu 37C, saturasi oksigen 95%. Pada auskultasi jantung irama
reguler dan pada auskultasi paru-paru terdengar ronki dikedua lapang paru. Pada
pemeriksaan EKG didapatkan sinus takikardi. Pada pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan kesan cor tidak membesar, gambaran pneumonia bilateral,
hydropneumothoraks kiri, dan mendukung gambaran TB paru. Pada pemeriksaan
laboratorium hematologi didapatkan leukosit 12.400 uL, gula darah sewaktu 362
mg/dL, kolesterol LDL 140 mg/dL, HBA1C 6%, dan troponin T 593 ng/L. Pada
pemeriksaan urin terdapat bakteriuria 818 /uL dan leukosituria 14.4 /uL.

VI. DAFTAR MASALAH


- Pneumonia bilateral
- Hydropneumothorax
- TB paru
- Insuff hepar
- Sepsis
- ISK

VII. TATALAKSANA
- IVFD RL 500 cc/24 jam
- Inj. meropenem 3x1 mg
- OAT (FDC) merah 1x3 tab
- Inj. OMZ 2x1 amp
- Inj. Sotatic 2x1 amp
- Bolus Novorapid 20 IV lanjut Novorapid sp 4 unit/jam
- Curcuma 3x1
- Inj. Furosemid 1x1 amp
- Ezeline 0-0-40 sc
- Levofloxacin inf. 1x750 mg
- Pamol 3x500 tab

VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad malam
Ad Functionam : Dubia ad malam
Ad Sanactionam : Dubia ad malam
CATATAN PERKEMBANGAN PENYAKIT PASIEN (FOLLOW UP)

Tgl Hasil Asesmen Pasien dan Pemberian Pelayanan (SOAP)


12/12/22 S Sesak (-)
Nyeri dada kiri (+)
O KU: Tampak sakit sedang; Kes: CM
TD 112/72 mmHg; HR 105 x/menit
RR 20 x/menit; Suhu 36,9C; SpO2 : 98%
Mata: CA -/-, SI-/-
Pulmo: SDV +/+, Rh -/-, Wh -/-
Cor: BJ I-II ireguler, murmur (-), gallop (-)
Abd: BU (+), NT (-), supel
Ext : AD - / - edema - / -
-/- -/-
A - Pneumonia bilateral
- Hydro Pneumothorax (s) post chest tube
- TB paru
- DM
- Insuff hepar
- Sepsis
- ISK
P - IVFD RL 500 cc/24 jam
- Inj. meropenem 3x1 mg
- OAT (FDC) merah 1x3 tab
- Inj. OMZ 2x1 amp
- Inj. Sotatic 2x1 amp
- Curcuma 3x1
- Inj. Furosemid 3x1 amp
- Ezeline 1x16
- Levofloxacin inj. 1x750 mg
- Pamol 3x500 tab
- Novorapid 3x10 sc
Tgl Hasil Asesmen Pasien dan Pemberian Pelayanan (SOAP)
13/12/22 S Sesak (-)
Nyeri dada kiri (+)
O KU: Tampak sakit sedaang; Kes: CM
TD: 121/75 mmHg; HR 91 x/menit
RR 20 x/menit; Suhu 36,7C; SpO2 : 97%
Mata: CA -/-, SI-/-
Pulmo: SDV +/+, Rh -/-, Wh -/-
Cor: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abd: BU (+), NT (-), supel
Ext : AD - / - edema - / -
-/- -/-
A - Pneumonia bilateral
- Hydro Pneumothorax (s) post chest tube
- TB paru
- DM
- Insuff hepar
- Sepsis
Tgl - ISK
Hasil Asesmen Pasien dan Pemberian Pelayanan (SOAP)
P - IVFD RL 500 cc/24 jam
14/12/22 S Sesak (-)
Nyeri- dada
Inj.kiri
meropenem
(↓) 3x1 mg
- OAT (FDC) merah 1x3 tab
O KU: Tampak sakit sedang; Kes: CM
- Inj. mmHg;
OMZ 2x1
TD: 100/51 HRamp
72 x/menit
- Inj. Sotatic 2x1 amp
RR 20 x/menit; Suhu 36,6C; SpO2 : 99%
- Curcuma 3x1
Mata: CA -/-, SI-/-
- Inj. Furosemid 3x1 amp
Pulmo: SDV +/+, Rh -/-, Wh -/-
- Ezeline 1x16
Cor: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
- Levofloxacin inj. 1x750 mg
Abd: BU (+), NT (-), supel
- Pamol 3x500 tab
Ext : AD - / - edema - / -
- Novorapid 3x6 sc
-/- -/-
A - Pneumonia bilateral
- Hydro Pneumothorax (s) post chest tube
- TB paru
- DM
- Insuff hepar
- Sepsis
- ISK
P - IVFD RL 500 cc/24 jam
- Inj. meropenem 3x1 mg
- OAT (FDC) merah 1x3 tab
- Inj. OMZ 2x1 amp
- Inj. Sotatic 2x1 amp
- Curcuma 3x1
- Inj. Furosemid 3x1 amp
- Ezeline 1x16
- Levofloxacin inj. 1x750 mg
- Pamol 3x500 tab
- Novorapid 3x4 sc
PEMBAHASAN

1. Pneumonia Bilateral
Pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan akut yang menyerang jaringan
paru-paru. Pneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroorganisme bakteri,
virus, dan jamur. Pneumonia virus disebabkan oleh virus, seperti coronavirus,
Adenoviruses, Respiratory syncytial virus (RSV), Influenza virus, Rhinovirus, dan para
influenza. pneumonia aspirasi disebabkan oleh menghirup muntahan, benda asing,
seperti kacang, atau zat berbahaya, seperti asap atau bahan kimia. Pneumonia jamur
jarang terjadi di Inggris dan lebih cenderung menyerang orang dengan sistem
kekebalan yang lemah, infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh
jamur oportunistik. Organisme yang menyerang adalah Candida sp, Aspergillus sp,
Cryptococcus neoformans.1
Mikroorganisme penyebab pneumonia akan masuk kedalam jaringan paru-paru
melalui saluran pernafasan atas, masuk ke bronkiolus dan alveoli lalu menimbulkan
reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein dalam
alveoli dan jaringan interstitial. Bakteri pneumokokus dapat meluas melalui porus kohn
dari alveoli ke alveoli diseluruh segmen lobus. Timbulnya hepatisasi merah adalah
akibat perembesan eritrosit dan beberapa leukosit dari kapiler paru. Alveoli dan septa
menjadi penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin serta relatif sedikit
leukosit mengakibatkan kapiler alveoli menjadi melebar sehingga mengurangi luas
permukaan alveoli untuk pertukaran oksigen dengan karbondioksida. Peradangan yang
terjadi dapat menyebabkan terjadinya hipersekresi sputum yang dapat menghalangi
saluran pernapasan, membatasi aliran udara, dengan demikian akan memperparah
fungsi paru yang sudah menurun. Jika pasien tidak dapat batuk secara efektif untuk
mengurangi hasil sputum yang berlebih, maka dapat menyebabkan terjadinya obstruksi
jalan napas sehingga menimbulkan bersihan jalan napas tidak efektif.1
Kelompok yang memiliki peningkatan risiko terkena pneumonia yaitu, bayi dan
anak yang masih sangat kecil, orang yang merokok, orang dengan kondisi kesehatan
lain, seperti asma, fibrosis kistik, atau kondisi jantung, ginjal, atau hati, orang dengan
sistem kekebalan yang lemah misalnya, akibat penyakit seperti flu, mengidap HIV atau
AIDS, menjalani kemoterapi, atau minum obat setelah transplantasi organ. Berdasarkan
letak anatomi, klasifikasi pneumonia dibagi menjadi:
a. Pneumonia Lobaris, melibatkan saluran atau satu bagian besar dari satu atau
lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral
atau “ganda”.
b. Pneumonia Lobularis (Bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir bronkiolus,
yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi
dalam lobus yang berada didekatnya, disebut juga pneumonia loburalis
c. Pneumonia interstitial (Bronkiolitis) proses inflamasi yang terjadi dalam dinding
alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobural

Gambar 1. Pneumonia
Gejala pneumonia dapat berkembang secara tiba-tiba selama 24 hingga 48 jam,
atau mungkin muncul lebih lambat selama beberapa hari.
Gejala umum pneumonia meliputi:
 Batuk, yang mungkin kering, atau menghasilkan lendir kental berwarna
kuning, hijau, coklat atau bernoda darah (dahak)
 Kesulitan bernapas, mungkin cepat dan dangkal, dan merasa terengah-engah,
bahkan saat beristirahat
 Detak jantung yang cepat
 Suhu tinggi
 Merasa umumnya tidak sehat, berkeringat dan menggigil
 Kehilangan selera makan
 Nyeri dada, yang memburuk saat bernapas atau batuk

Gejala lain yang kurang umum meliputi:1,2


 Batuk darah (hemoptisis)
 Sakit kepala
 Kelelahan
 Merasa sakit atau sedang sakit
 Mengi
 Nyeri sendi dan otot
 Merasa bingung dan disorientasi, terutama pada orang lanjut usia
Analisa Kasus
Pada kasus ini pasien didapatkan datang dengan keluhan nyeri dada, sesak dan
disertai batuk dengan frekuensi nafas yang cepat yaitu 36 x/menit. Pasien mengeluhkan
nafsu makan berkurang dan badan lemas. Pada pemeriksaan EKG didapatkan sinus
takikardi dengan HR 111 x/menit. Hasil foto rontgen menunjukkan corakan
brochovaskular tampak meningkat, tampak konsolidasi disertai air bronchogram di
dalamnya pada lapangan atas tengah paru kiri, tampak bercak pada lapangan atas
tengah bawah paru kanan, menunjukkan gambaran dengan pneumonia bilateral.
Pemeriksaan darah pada kasus ini didapatkan peningkatan leukosit 24.700/uL. Pasien
juga memiliki riwayat merokok. Tatalaksana pada pasien ini diberikan antibiotik
meropenem inj. 3x1 mg, yaitu golongan β-lactam yang bekerja dengan menghambat
sintesis dinding sel bakteri sehingga bersifat bakterisidal. Pasien juga diberikan
antibiotik levofloxacin inj. 1x750, yang merupakan golongan flouroquinolon yang
mempunyai biovailabilitas yang baik, serta efektif dalam membunuh bakteri penyebab
pneumonia komuniti, dapat digunakan secara tunggal.

2. Hydropneumothorax
Hidropneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat udara dan cairan
didalam rongga pleura yang mengakibatkan kolapsnya jaringan paru. Cairan ini bisa
juga disertai dengan nanah (empiema) dan hal ini di namakan dengan piopneumotoraks.
Hidropneomotoraks dapat disebabkan oleh adanya trauma, peradangan, udara, cairan.
Dari penyebab tersebut dapat menyebabkan akumulasi cairan dan udara dalam rongga
pleura yang menyebabkan tekanan dalam rongga dada menjadi positif. Akumulasi
cairan dan udara menyebabkan paru-paru kolaps, sehingga terjadi perlengketan antara
pleura parietalis dan pleura visceralis karena pergesekan yang terus menerus yang
menyebabkan robekan pada pleura, jadi cairan pleura bisa merembes masuk kedalam
pleura parietalis. Hidropneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau
kista kecil yang diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah permukaan
pleura viseralis, dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior.
Terbentuknya bleb ini oleh karena adanya perembesan udara dari alveoli yang
dindingnya ruptur melalui jaringan intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di
bawah pleura viseralis.3,4
Hidropneumotoraks spontan skunder bisa merupakan komplikasi dari TB paru
dan pneumotoraks yaitu dengan rupturnya fokus subpleura dari jaringan nefrotik
perkijuan sehingga tuberkuloprotein yang ada didalam masuk ke rongga pleura dan
udara dapat masuk dalam paru pada proses inspirasi tetapi tidak dapat keluar paru
ketika proses ekspirasi, semakin lama udara dalam rongga pleura akan meningkat dan
udara yang terkumpul akan menekan paru sehingga akan timbul gagal nafas. Tindakan
untuk mengatasi hidropneumothoraks yaitu dengan pemasangan WSD (Water Seal
Drainage), yang bertujuan untuk mengalirkan udara dan cairan dalam upaya
mengembangkan kembali paru-paru dan membuat tekanan udara negatif pada rongga
pleura.3,4
Analisa Kasus
Pada kasus ini pasien mengalami hydropneumothoraks sehingga menyebabkan
akumulasi cairan dan udara dalam rongga pleura yang menyebabkan tekanan dalam
rongga dada menjadi positif. Dari hasil pemeriksaan foto rontgen didapatkan tampak
lusensi avasculer disertai pleural visceral line pada laterobasal hemithoraks kiri, disertai
perselubungan homogen pada basal hemithoraks kiri yang membentuk gambaran air-
fluid level menunjukkan gambaran hydropneumothoraks kiri. Tatalaksana pada pasien
yaitu dengan dilakukan pemasangan chest tube drainage yaitu prosedur pemasangan
selang dada untuk mengalirkan cairan atau udara yang berlebihan di celah paru (rongga
pleura. Pemasangan chest tube bertujuan untuk mengembalikan tekanan intra pleura
positif menjadi negatif kembali.
Gambar 2. Pemasangan Chest Tube Drainage
3. TB Paru
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam ini dapat
merupakan organisme patogen maupun saprofit. Tuberculosis (TB) adalah penyakit
infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius utama
Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis Paru adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis suatu basil yang tahan asam yang
menyerang parenkim paru atau bagian lain dari tubuh manusia.5
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan
kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau dapat
ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan fisik paru
tersebut dapat berupa: fokal fremitus meingkat, perkusi redup, bunyi napas
bronkovesikuler atau adanya ronkhi terutama di apeks paru. Pada lesi luas dapat pula
ditemukan tanda-tanda seperti deviasi trakea ke sisi paru yang terinfeksi, tanda
konsolidasi, suara napas amporik pada cavitas atau tanda adanya penebalan pleura.5,6
 Gejala lokal:
1) Batuk, selama 2 minggu atau lebih
Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non
produktif). Keadaan setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum atau dahak).
2) Hemoptisis
Akibat bronkiektasis dari bekas TB, ruptur pembuluh darah yang berdilatasi di
dinding kavitas lama, dari erosi lesi terkalsifikasi ke lumen.
3) Nyeri dada
Gejala ini dapat ditemukan bila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura,
sehingga menimbulkan pleuritis, akan tetapi, gejala ini akan jarang ditemukan
4) Sesak nafas
Pada gejala awal atau penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak
nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya
sudah setengah bagian paru-paru.
 Gejala sistemik/umum:
1) Penurunan nafsu makan dan berat badan.
2) Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
3) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama (20 % pasien mungkin
tidak terjadi demam). Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang timbul.
4) Keringat malam tanpa aktivitas fisik
 Gejala khusus:
1) Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)
akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan
suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
2) Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,
mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis.6
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk
penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan sewaktu-pagi sewaktu
(SPS).
- S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua
- P (pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas
- S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi hari.
Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan
mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan Ziehl Nielsen dan
pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana pewarnaannya dilakukan dengan
auramin-rhodamin (khususnya untuk penapisan).

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(International Union Against Tuberculosis and lung Tuberculosis) yang
merupakan rekomendasi dari WHO.

2. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spesifik untuk
TB paru. Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan jam kedua dibutuhkan.
Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai
keseimbangan penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon
terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan
daya tahan tubuh penderita. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
LED yang normal juga tidak menyingkirkan diagnosa TBC.
3. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi ialah
foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana pada pemeriksaan
sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus
dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila:

1. Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)


2. Hemoptisis berulang atau berat
3. Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +
Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB paru aktif:
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
2. Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi Pleura
Gambaran radiologi yang dicrigai Tb paru inaktif:
1. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan
atau segmen superior lobus bawah.
2. Kalsifikasi.
3. Penebalan pleura.
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikrobakteri merupakan kuman tahan
asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan
cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Umumnya antibiotika
bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah dibandingkan dengan
kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki mikobakteri
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan penemuan obat
antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri lain.5,6
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin,
Streptomisin, Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin, Amikasin,
Kuinolon.
Tabel 1. Jenis dan Dosis Obat Tunggal

Terdapat 2 tahap pengobatan, yakni tahap awal (diberikan selama 2 bulan setiap
hari) dan tahap lanjutan untuk membunuh sisa kuman. Panduan OAT yang digunakan
oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :
1. Kategori 1: 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap
hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga
kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
 Penderita TB terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB baru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstraparu
2. Kategori 2 : 2 (HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3
Regimen ini akan mulai ditinggalkan berdasarkan PNPK Tuberkulosis 2019
karena akses TCM di Indonesia semakin luas. Sebelumnya, paduan OAT ini
diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan
ulang) :
 Penderita kambuh.
 Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1 sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (loss to follow up).

Analisa Kasus
Pada kasus ini pasien didiagnosis TB paru berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
radiologi foto toraks. Pasien mengeluhkan sesak napas, dan nyeri dada sejak 2 hari
SMRS. Keluhan tambahan yang dirasakan pasien yaitu batuk berdahak namun susah
keluar selama kurang lebih 2 minggu SMRS, terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif). Keadaan setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum atau dahak). Gejala sistemik
yang dikeluhkan pasien yaitu nafsu makan dan minum menjadi berkurang setelah
keluhan. Pada pasien juga didapatkan demam (37,8°C) sejak 2 hari SMRS. Hasil dari
pemeriksaan foto toraks didapatkan corakan brochovaskular tampak meningkat,
infiltrat kedua lapang paru, dan mendukung gambaran TB paru. Tatalaksan pada pasien
diberikan OAT (FDC) merah 1x3 tablet, Kategori 1: 2HRZE/4H3R3 yaitu Selama 2
bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap
intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam
seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
 Penderita TB terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB baru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstraparu
Pasien juga diberikan suplemen makanan (curcuma 3x1) yang berfungsi menjaga daya
tahan tubuh dan membatu memperbaiki nafsu makan

4. Diabetes Mellitus
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
kareakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya. Diabetes melitus dapat diklasifikasikan sebagai berikut.7
Tabel 2. Klasifikasi dan Etiologi DM 7,8
Klasifikas Deskripsi
i
Tipe 1 Destruksi sel beta pankreas, umumnya berhubungan dengan defisiensi
insulin absolut
 Autoimun
 Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin
DM Diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga kehamilan
gestasional dimana sebelum kehamilan tidak didapatkan diabetes
DM tipe  Dm karena penyakit dari pankreas (pankreatitis, trauma, infesi,
lain kanker pankreas, pankreatektomi)
 DM karena kelainan endokrin yang menyebabkan kelebihan
sekresi hormon antagonis insulin (cushing’s syndrome)
 Obat atau zat kimia (glukokortikoid, hormon tiroid, thiazides,
alpha dan beta adrenergic agonist, interferon alpha dll)
 Infeksi yang disebabkan virus yang menyebabkan kerusakan
sel beta (congenital rubella, cytomegalovirus)
 Uncommon forms of immunemediated diabet (Insulin
autoimmune syndrome (autoantibodies to insulin)
 Other genetic syndromes ( Prader-Willi syndrome, Down’s
syndrome, Friedreich’s ataxia)

Faktor risiko diabetes melitus dibagi menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara
lain pola makan, aktivitas fisik, stres, merokok, alkohol, hipertensi (>140/90 mmHg),
dan obesitas (IMT> 23 kg/m2), dislipidemia (HDL <35 mg/dL dan /atau trigliserida
>250 mg/dL) sedangkan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu usia
(intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia), keturunan, jenis
kelamin, ras, etnik, riwayat lahir dengan BB rendah <2,5 kg.7
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:7
 Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
 Keluhan lain: badan lemas, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan


HbA1c sebagai berikut: 7
Tabel 3. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus 7
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).7
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100 -125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam <140
mg/dL
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dL dan glukosa plasma puasa <100 mg/dL
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4%
Tabel 4. Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan
Prediabetes7
Gambar 3. Langkah- langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa
terganggu7
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan
obat anti hiperglikemia secara oral dan/ atau suntikan. Obat antihiperglikemia oral
dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi.7
a) Terapi nutrisi medis (TNM)
Pasien DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal
makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
Tujuan dari terapi gizi medis adalah untuk mencapai dan mempertahankan:7
 Kadar glukosa darah mendekati normal,
- Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
- Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl
- Kadar A1c <7%
 Tekanan darah <130/80
 Profil lipid
- Kolesterol LDL <100 mg/dl
- Kolesterol HDL >40 mg/dl
- Trigliserida <150 mg/dl
 Berat badan senornal mungkin

Komposisi makanan diberikan sesuai kebutuhan kalori setiap pasien DM.


kebutuhan kalori basal pasien DM dihitung dengan cara 25-30 kal/kgBB ideal.
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 40-65% total asupan energi, terutama
karbohidrat berserat tinggi. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Dianjurkan makan tiga kali sehari dan diberikan makanan selingan seperti buah
atau makanan lain sebagai bagian kebutuhan kalo sehari. Asupan lemak yang
dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori dan tidak diperkenankan melebihi 30%
total asupan energi. Bahan makanan yang perlu dibatasi adlaah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans seperti daging berlemak dan susu full
cream. Pasien DM dengan nefropati diabetic harus diturunkan asupan protein
menjadi 0.8 g/kgBB/hari atau 10% dari kebutuhan energi. Sumber protein yang
baik yaitu ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, susu rendah
lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe. Asupan natrium untuk pasien DM sama
seperti orang sehat yaitu <1500mg/hari. pasien DM juga dianjurkan konsumsi serat
dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi
serat. Anjuran serat yaitu 20-35 gram/hari.7
b) Latihan fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Program
latihan fisik secara teratur dilakukan 3-5 hari seminggu selama sekitar 30-45 menit,
dengan total 150 menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut- turut. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan
fisik yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung
maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut
jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi 220 dengan usia pasien.
Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum latihan fisik. Pasien dengan kadar
glukosa darah <100 mg/dL harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan
bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan fisik.7,8
c) Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Tetapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.7
 Obat antihiperglikemia oral
Tabel 5. Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di Indonesia7

 Obat antihiperglikemia suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, GLP-1 RA dan kombinasi
insulin dan GLP-1 RA.7
a) Insulin
Insulin digunakan pada keadaan:
- HbA1c saat diperiksa > 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
- HbA1c saat diperiksa > 9%
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
b) Agonis GLP-1/ incretin mimetic
Inkretin adalah hormon peptida yang disekresi gastrointestinal setelah
makanan dicerna, yang mempunyai potensi untuk meningkatkan sekresi
insulin melalui stimulasi glukosa. Dua macam inkretin yang dominan
adalah glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan GLP-1.
GLP-1 RA mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat
pelepasan glukagon, menghambat nafsu makan, dan memperlambat
pengosongan lambung sehingga menurunkan kadar glukosa darah
postprandial. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara
lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah:
Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, Lixisenatide dan Dulaglutide.7
c) Terapi kombinasi
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respon kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat
antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose
combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme
kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa
darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan
kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis dan insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, maka dapat diberikan kombinasi tiga obat oral. Terapi dapat
diberikan kombinasi tiga obat anti-hiperglikemia oral.7
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai
dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan menjelang tidur,
sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum
tidur, atau diberikan pada pagi hari sesuai dengan kenyamanan pasien.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
basal untuk kombinasi adalah 0,1 - 0,2 unit/kgbb. kemudian dilakukan
evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.7
Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila
kadar glukosa darah puasa belum mencapai target.
Gambar 4. Algoritma Pengobatan Dm Tipe 2.7

Gambar 5. Algoritma Inisiasi dan Intensifikasi Pengobatan Injeksi pada


Pasien DM Rawat Jalan yang Tidak Terkontrol dengan Kombinasi OHO dan
pasien DM Baru Rawat Jalan dengan Dekompensasi Metabolik.7

Analisa Kasus
Pada kasus ini pasien dapatkan diabetes mellitus dari hasil pemeriksaan HbA1C 14,6%
( >6,4% ). Pada pemeriksaan gula darah sewaktu paralel juga didapatkan hasil GDS
>200 mg/dL. Pasien mengeluhkan badan lemas, dan pasien juga memiliki riwayat
merokok. Tatalaksana pasda pasien ini diberikan antihiperglikemia, yaitu Novorapid
sebagai golongan insulin analog kerja cepat untuk menurunkan kadar gula darah.
Pasien juga diberikan Ezelin yang merupakan analog kerja panjang.

5. Sepsis
Sepsis merupakan disfungsi organ akibat gangguan regulasi respons tubuh
terhadap terjadinya infeksi. Kondisi sepsis merupakan gangguan yang menyebabkan
kematian. Syok sepsis merupakan abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler.9

Tabel 6. Definisi Sepsis Tahun 1992-2016 9


Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri Gram negatif dengan presentase
60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun
yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. 10 Ada beberapa faktor risiko yang
dianggap berperan pada kejadian sepsis, antara lain: usia, jenis kelamin, tempat
perawatan, riwayat penyakit ginjal kronik, riwayat diabetes melitus, riwayat HIV,
riwayat penyalahgunaan alkohol, riwayat pemakaian kortikosteroid, riwayat
kemoterapi, kadar albumin, dan kadar hemoglobin. 11
Gejala yang muncul akibat kondisi tersebut yaitu adanya demam atau
hipotermia. Gejala awal lainnya yaitu takikardia dan takipnea. Pasien yang mengarah
pada syok sepsis akan mengalami hipotensi, oliguria atau anuria, sianosis, hipoksia,
dan perubahan status mental. Manifestasi konstitusional dapat berupa diaforesis,
demam atau menggigil, malaise, dan myalgia.12,13
- Sistem Kardiovaskular: Manifestasi sepsis pada sistem kardiovaskular dapat berupa
akral dingin, hipotensi, waktu pengisian kapiler memanjang, dan takikardia.
- Dermatologi: Manifestasi dermatologi biasanya menunjukkan tanda-tanda infeksi
berupa abses dan selulitis, atau gangguan koagulasi berupa ekimosis atau petekie.
Apabila terjadi gangguan fungsi hati, maka akan didapatkan ikterik.
- Endokrin: Pada sistem endokrin bisa muncul hiperglikemia yang terjadi karena
resistensi insulin akibat sepsis.
- Gastrointestinal: Pada sistem gastrointestinal, dapat didapatkan manifestasi yang
tidak spesifik berupa nyeri abdomen, penurunan bising usus, diare, distensi, kaku
abdomen, perdarahan traktus gastrointestinal bagian atas, dan muntah.
- Genitourinaria: Pada sistem genitourinaria bisa didapatkan manifestasi infeksi
saluran kemih berupa nyeri pada daerah kostovertebral, disuria, anyang-anyangan,
hematuria, pyuria, perdarahan atau discharge vagina. Selain itu, dapat pula terjadi
manifestasi kegagalan ginjal berupa anuria atau oliguria.
- Hematologi: Manifestasi hematologi dapat berupa anemia (pucat), leukositosis atau
leukopenia, dan trombositopenia.
- Neurologi: Manifestasi neurologis dapat berupa nyeri kepala dan perubahan status
mental.
- Sistem Respirasi: Pada sistem respirasi bisa muncul disfagia, nyeri tenggorok,
trismus, batuk, nyeri pleuritik, takipnea, dan hiperventilasi.

Pemeriksaan darah lengkap bisa didapatkan tanda infeksi seperti: 12,14


 Leukositosis >12.000/mm3 atau leukopenia <4000/mm3
 Hitung jenis sel darah putih dengan >10% bentuk imatur
 Peningkatan C-reactive protein(CRP) plasma
 Peningkatan prokalsitonin lebih dari 2 standar deviasi di atas normal.
 Trombositopenia <100.000/mm3
 Anemia yang ditandai penurunan hemoglobin (Hb)
Pemeriksaan kimia darah dapat mengidentifikasi adanya gangguan atau
disfungsi organ. Hasil pemeriksaan kimia darah yang bisa ada pada pasien sepsis antara
lain: 12,13
 Resistensi insulin menyebabkan hiperglikemia
 Gangguan fungsi hepar ditandai dengan peningkatan enzim hepar dan kadar
bilirubin
 Koagulopati
 Asidosis laktat
Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan gram dan kultur bakteri
diperlukan pada sepsis untuk mengidentifikasi patogen penyebab. Pada pasien dengan
kecurigaan urosepsis, dapat dilakukan pemeriksaan urinalisis, pewarnaan Gram urine,
dan kultur urine. Pemeriksaan rontgen toraks diperlukan pada pasien dengan
kecurigaan sepsis akibat pneumonia atau ARDS. USG abdomen diperlukan apabila
pasien dicurigai mengalami infeksi pada traktus biliaris, infeksi pada saluran dan
kelenjar empedu, atau infeksi pada abdomen.12,14
Menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi sepsis
segera tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring qSOFA.
Sistem skoring ini merupakan modifikasi Sequential (Sepsis-related) Organ Failure
Assessment (SOFA). qSOFA hanya terdapat tiga komponen penilaian yang masing-
masing bernilai satu. Skor qSOFA ≥2 mengindikasikan terdapat disfungsi organ. Skor
qSOFA direkomendasikan untuk identifikasi pasien berisiko tinggi mengalami
perburukkan dan memprediksi lama pasien dirawat baik di ICU atau non-ICU. Pasien
diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukkan jika terdapat dua atau lebih dari 3
kriteria klinis. Untuk mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakukan uji qSOFA
yang dilanjutkan dengan SOFA .12,13
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. , peningkatan
skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick SOFA
(qSOFA) untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU. Walaupun penggunaan
qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di ICU, qSOFA tidak
membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan
berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali
kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi.12,13

Tabel 7. Kriteria Sepsis 1992-2016. 12,13

Tabel 8. Sequential Organ Failure Assesment (SOFA)15,16


Tabel 9 . Kriteria qSOFA.15,16

Gambar 6. Kriteria klinis pasien sepsis dan syok sepsis15


Gambar 7. Tatalaksana Sepsis 17
Analisis Kasus
Pada kasus ini pasien mengalami sepsis, dengan faktor risiko yang terdapat pada pasien
adalah diabetes melitus. Berdasarkan kriteria sepsis SIRS 1992, pasien mengalami
demam 37,8° (namun < 38°C), pada pasien juga didapatkan takikardi 111 x/menit (≥
90 x/menit, dan pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil leukosit dengan kadar
24.700/mm3 (leukositosis > 12.000/mm3). Berdasarkan penilaian qSOFA 1 dengan RR
36 x/menit (≥ 22 x/menit), GCS 15, sistolik 129 mmHg. Tatalaksana pada pasien
diberikan antibiotik meropenem 3x1 gr sebagai antibiotic broad spectrum.

6. Insuff Hepar
Insuffisiency hepar atau gagal hati adalah ketidakmampuan hati untuk
melakukan fungsi sintetik dan metabolisme normal. Gagal hati disebabkan oleh
kerusakan pada sel-sel di organ hati. Kerusakan tersebut dapat terjadi tiba-tiba atau
berkembang dalam jangka panjang. Beberapa faktor yang bisa menyebabkan gagal hati
adalah sirosis, infeksi virus, terutama hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis E,
kanker, baik yang bermula di hati maupun yang bermula dari bagian tubuh lain
kemudian menyebar ke hati, cholangitis, penggunaan obat paracetamol  yang
berlebihan, konsumsi obat antiinflamasi nonsteroid, antikejang, dan obat herbal,
kecanduan alkohol, penyalahgunaan NAPZA, paparan racun, misalnya zat karbon
tetraklorida, sistem kekebalan tubuh yang menyerang tubuh sendiri (hepatitis
autoimun), penyakit pembuluh darah di hati, seperti sindrom Budd-Chiari, gangguan
metabolik, misalnya penyakit Wilson, reaksi tubuh atas infeksi berat (sepsis), penyakit
lainnya, misalnya penyumbatan pembuluh darah di hati, penumpukan zat besi,
intoleransi fruktosa, sindrom Reye, dan galaktosemia. 18,19
Manifestasi klinik berupa mual, penurunan nafsu makan, lelah, diare, jaundice,
perubahan status mental, kantuk, perut membengkak, muntah darah atau BAB
berdarah. Ada beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis gagal hati yaitutes
fungsi hati dengan enzim hati yaitu SGOT, SGPT, kadar bilirubin, waktu pembekuan
juga dapat diperiksa karena pada gagal hati sering menjadi tidak normal. Selain itu
dapat juga dilakukan USG, CT scan, MRI serta biopsi untuk mencarai penyebab. Tidak
ada metode khusus untuk mengatasi gagal hati. Pengobatan yang diberikan hanya
bertujuan untuk menjaga kestabilan kondisi tubuh hingga hati dapat kembali berfungsi
normal. Pengobatan tersebut meliputi pemberian infus untuk menjaga tekanan darah
normal, transfusi darah bila mengalami perdarahan, obat untuk mengeluarkan racun
dari dalam tubuh. Untuk menjaga bagian organ hati yang masih sehat hindari konsumsi
obat tanpa anjuran dari dokter, tidak mengonsumsi minuman beralkohol, membatasi
konsumsi daging merah, keju, dan telur, mengurangi konsumsi garam di menu
makanan menjaga kadar gula darah dan tekanan darah normal, mempertahankan berat
badan ideal.18,19

Analasis Kasus
Pada kasus ini pasien mengalami insuff hepar yang ditunjukkan dari hasil enzim hati
dengan SGOT 67.6 U/L yang meningkat 3.3 kali dari batas normal, dan SGPT 53 U/L
yang meningkat 1.4 kali dari batas normal. Insuff hepar yang dialami pasien
merupakan salah satu disfungsi organ yang diakibatkan oleh sepsis yang di deritanya.
Akibat dari sepsis, terjadi respon imun yang dimediasi hati yang bertanggung jawab
untuk membersihkan bakteri dan racun tetapi juga menyebabkan peradangan
imunosupresi dan kerusakan organ hati. Sehingga terapi pada pasien ini adalah
berfokus kepada penyebab insufficiency hepar yaitu sepsis.

7. Infeksi Saluran Kemih (ISK)


Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme
yang melibatkan setiap bagian dari saluran kemih, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih,
dan uretra. Infeksi saluran kemih dapat diklasifikasikan menjadi ISK non komplikata
dan ISK komplikata. ISK non komplikata biasanya memengaruhi individu yang sehat
dan tidak memiliki kelainan struktural atau neurologis saluran kemih. Infeksi ini
dibedakan menjadi ISK bawah (sistitis) dan ISK atas (pielonefritis). Beberapa faktor
risiko yang berhubungan dengan sistitis, termasuk jenis kelamin perempuan, ISK
sebelumnya, aktivitas seksual, infeksi vagina, diabetes, obesitas, dan kerentanan
genetik.20
Gambar 8. Pembagian ISK komplikata dan non komplikata21

ISK komplikata disebabkan oleh kelainan struktural atau fungsional dari saluran
genitourinary, atau adanya penyakit yang mendasarinya. Selain itu ISK komplikata
didefinisikan juga sebagai ISK yang berhubungan dengan faktor-faktor yang
membahayakan saluran kemih atau pertahanan host, termasuk obstruksi urin, retensi
urin yang disebabkan oleh penyakit neurologis, imunosupresi, gagal ginjal,
transplantasi ginjal, kehamilan dan adanya benda asing seperti batu, kateter, atau
perangkat drainase lainnya.20

Gambar 9. Mikroorganisme penyebab paling sering ISK.20

Diagnosis ISK diperoleh dengan melakukan pemeriksaan gold standard kultur


urin dan disertai dengan presentasi klinis. Kultur urin direkomendasikan hanya untuk
pasien yang diduga menderita pielonefritis akut, gejala yang tidak hilang atau terjadi
kembali dalam 4 minggu setelah penyelesaian terapi, wanita yang menunjukkan gejala
tidak khas, wanita hamil, atau pria yang diduga ISK. Pemeriksaan lainnya dapat
dilakukan pemeriksaan dipstick dan urin rutin. Pada pemeriksaan kultur urin bermakna
jika didapatkan jumlah bakteri >105 cfu/ml pada urin porsi tengah.20,21
Gambar 10. Ringkasan ISK22

Gambar 11. Patogenesis ISK22

Gambar 12. Interpretasi hasil biakan urin22

Tatalaksana ISK apabila sebelum ada hasil biakan, diberikan pengobatan


empiris selama 7-10 hari. Jenis antibiotik dapat dilihat pada Gambar 33. Umumnya,
setelah terapi antibiotik 2x24 jam, gejala menghilang. Bila belum, pikirkan antibiotik
yang lain. Indikasi rawat inap disertai dehidrasi, muntah, tidak dapat minum per oral,
berusia ≤ 1 bulan, atau dicurigai urosepsis. Tatalaksana mencakup rehidrasi dan
antibiotika intravena. Tatalaksana suportif dengan diberikan asupan cairan yang
adekuat, perawatan higienitas daerah perineum dan periuretra, serta pencegahan
konstipasi. Pasien dan pengasuh juga perlu diedukasi agar anak tidak menahan buang
air kecil dan penggunaan lampin sekali pakai.23

Gambar 13. Dosis antibiotik untuk pengobatan ISK23

Pada ISK, pengobatan dengan trimethoprim-sulfamethoxazole, trimethoprim,


atau fluorokuinolon selama 3 hari dapat menghasilkan tingkat eradikasi > 90% dengan
insiden rendah efek samping.

Gambar 14. Terapi antibiotik ISK


Analisa Kasus
Pada kasus ini, pasien didiagnosis ISK dengan hasil urinalisis terdapat
bakteriuria dan leukostiuria di atas nilai normal. ISK pada pasien ini yaitu jenis ISK
komplikata karena terdapat penyakit yang mendasarinya, dan cenderung pada pria.
Tatalaksana pada pasien ini diberikan antibiotik golongan fluorokuinolon, yaitu
levofloxacin karena merupakan antibiotik spektrum luas untuk bakteri gram negatif dan
bakteri gram positif dan rendah efek samping.
Daftar Pustaka

1. Metlay, J.P. et al. (2019) “Diagnosis and treatment of adults with community-acquired
pneumonia. an official clinical practice guideline of the American Thoracic Society and
Infectious Diseases Society of America,” American Journal of Respiratory and Critical
Care Medicine, 200(7). Available at: https://doi.org/10.1164/rccm.201908-1581st.
2. Pneumonia management and prevention guidelines (2022) Centers for Disease Control
and Prevention. Centers for Disease Control and Prevention. Available at:
https://www.cdc.gov/pneumonia/management-prevention-guidelines.html (Accessed:
January 20, 2023).
3. Medicine, D.of P. (no date) Clinical profile, etiology, and management of... : Lung India,
LWW. Available at: https://doi.org/10.4103%2F0970-2113.180804 (Accessed: January
20, 2023).
4. Hydropneumothorax [Internet]. hydropneumothorax - Primary Care Notebook. [cited
2023Jan20]. Available from: https://primarycarenotebook.com/simplepage.cfm?ID=-
1140457464
5. Tuberculosis (TB) [Internet]. World Health Organization. World Health Organization;
[cited 2023Jan20]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/tuberculosis
6. Loddenkemper1 R, and ML. Clinical Aspects of Adult Tuberculosis [Internet]. Cold
Spring Harbor Perspectives in Medicine. 1970 [cited 2023Jan20]. Available from:
https://doi.org/10.1101%2Fcshperspect.a017848
7. Soelistijo S. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di
Indonesia 2021. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia [Internet]. 2021;46.
8. Kazi AA, Blonde L. Classification of diabetes mellitus 2019. Vol. 21, World Health
Organization. 2019. 1–13 p.
9. Suhendro. Definisi dan kriteria terbaru diagnosis sepsis: Sepsis-3. In: Widayat D, Leonard
N. Jakarta antimicrobial update “Antimicrobial Usage in Clinical Practice L Strategy to
Combat Infectious Agent 2017”. Jakarta: Interna Publishing; 2017.p. 1-7
10. Sepsis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit
IPD FKUI. 2014: 1862-65
11. Putri Y. Fakto Risiko Sepsis pada Pasien Dewasa di RSUP DR Kariadi. Jurnal Media
Medika Muda. 2016;1-16.
12. Mahapatra S, Heffner AC. Septic Shock [Internet]. StatPearls Publishing. 2022 [cited 30
December 2022]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430939/
13. Dugar S, Choudhary C, Duggal A. Sepsis and septic shock: Guideline-based management.
Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2020.
14. Kalil A. Septic Shock Differential Diagnoses [Internet]. Medscape. 2020 [cited 18 January
2023]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/168402-differential
15. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D,109 Bauer M, et al. The
third international concensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis- 3). JAMA.
2016: 315 (8): 801-10.
16. Putra IMP. Pendekatan Sepsis dengan Skor SOFA. 2018;45:606–9.
17. Surviving sepsis campaign 2016
18. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 5th ed. Jakarta:Interna Publishing; 2010. 166-174, 218-226 p.
19. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. 4th ed. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014. 811–815 p.
20. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid 1 edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
21. Seputra KP, Tarmono, Noegroho BS, Mochtar CA, Wahyudi I, Renaldo J, et al. Panduan
tatalaksana infeksi saluran kemih dan genitalia pria 2020. Edisi 3. Jakarta: Ikatan Ahli
Urologi Indonesia (IAUI); 2020. 20h
22. McLellan LK, Hunstad DA. Urinary tract infection: Pathogenesis and outlook. Trends in
Molecular Medicine. 2016;22(11):946–57. 
23. Arif M. Kapita selekta kedokteran. Ed. 4. Media Aesculapius, 2014.

Anda mungkin juga menyukai