Pembimbing:
dr. Yanti Muliawati, Sp. PD
Penyusun:
Gloria Graceta Natasya Salsha
112022061
KEPANITRAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus: 30 Oktober 2022
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO SEMARANG
NIM : 112021336
.…………………..
Dr. Pembimbing/ Penguji : dr. Yanti Muliawati, Sp. PD Tanda Tangan
……………………
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/tanggal lahir : 12 April 1961 Umur : 61 tahun
Status Perkawinan : Menikah Suku Bangsa : Jawa
Pekerjaan : Tidak bekerja Agama : Islam
Alamat : Tambak Mulyo Pendidikan : SMP
II. ANAMNESIS
Diambil dari: Alloanamnesis (keluarga pasien) Tanggal: 11 Desember 2022 (18.35 WIB)
Keluhan Utama: sesak napas
Keluhan Tambahan: nyeri dada, batuk
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien laki-laki 61 tahun datang ke IGD RS Panti Wilasa Dr. Cipto dengan keluhan sesak
napas, dan nyeri dada sejak 2 hari SMRS. Pasien mengatakan bahwa nyeri dirasakan sebelah
kiri dan menjalar hingga kebagian punggung. Keluhan tambahan yang dirasakan pasien yaitu
batuk berdahak namun susah keluar selama kurang lebih 2 minggu SMRS. Pasien mengatakan
ada keluhan lain seperti demam sejak 2 hari SMRS disertai dengan pusing. Pasien tidak
mengeluh adanya mual dan muntah. Pasien mengatakan nafsu makan dan minum menjadi
berkurang setelah keluhan dirasakan dan badan menjadi lemas. Keluhan lain seperti BAB dan
BAK tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. Penyakit lain seperti
DM, hipertensi, jantung, asma, TB disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang diketahui memiliki riwayat penyakit seperti DM,
hipertensi, asma, alergi, TB, aaupun keluhan yang sama seperti pasien.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien memiliki riwayat merokok. Riwayat mengonsumsi alkohol dan obat-obatan
terlarang tidak ada. Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan ataupun makanan.
Lingkungan tempat tinggal pasien padat penduduk.
Kulit
Warna : Sawo matang
Jaringan parut : Tidak ada
Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Merata
Lembab/kering : Kering
Suhu raba : Hangat
Pembuluh darah : Tidak ada pelebaran pembuluh darah
Keringat : Umum
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak ada
Oedem : Tidak ada
Kepala
Bentuk kepala : Normocephali
Ekspresi muka : Gelisah
Simetri muka : Simetris
Rambut : Pertumbuhan rambut merata
Pembuluh darah temporal : Pulsasi (+)
Mata
Exopthalmus : Tidak ada
Enopthalmus : Tidak ada
Kelopak : Edema (-)
Lensa : Jernih
Konjungtiva : Tidak anemis
Sklera : Tidak ikterik
Gerakan mata : Normal
Lapangan penglihatan : Normal
Nistagmus : Tidak ada
Telinga
Tuli : Tidak tuli
Selaput pendengaran : Normal
Lubang : Normal
Penyumbatan : Tidak ada
Serumen : Tidak ada
Pendarahan : Tidak ada
Cairan : Tidak ada
Mulut
Bibir : Kering
Tonsil : T1-T1, tampak tenang
Langit-langit : Terbentuk sempurna
Bau pernapasan : Normal
Gigi geligi : Dalam batas normal
Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis
Selaput lendir : Normal
Lidah : Tidak kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : distensi vena
Kelenjar tiroid : Tidak membesar
Kelenjar limfe : Tidak membesar
Dada
Bentuk : Simetris, retraksi sela iga (+), lesi (-), benjolan (-)
Pembuluh darah : Normal, spider nevi (-)
Buah dada : Simetris, ginekomastia (-)
Paru-Paru
Kanan Pernapasan simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga
(+), lesi (-), massa (-).
Inspeksi
Kiri Pernapasan simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga
(+), lesi (-), massa (-).
Kanan Fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-), massa (-), pernapasan
simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (+)
Palpasi
Kiri Fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-), massa (-), pernapasan
simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (+)
Kanan Sonor diseluruh lapang paru.
Perkusi
Kiri Sonor diseluruh lapang paru.
Kanan Suara nafas vesikular, wheezing (-), ronki (-)
Auskultasi
Kiri Suara nafas vesikular, wheezing (-), ronki (-)
Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak, tidak ada lesi/benjolan
Ictus cordis teraba pada sela iga ke-4, 2 jari lateral line midklavikularis
Palpasi
sinistra, ukuran 1 cm x 1 cm, kuat angkat. Nyeri tekan (-).
Batas kanan: linea sternalis dextra ICS 4
Batas atas: linea sternalis sinistra ICS 2
Perkusi Batas pinggang: linea parasternalis sinistra ICS 3
Batas bawah: ilnea midklavikularis sinistra ICS 6
Batas kiri: 2 jari dari linea midklavikularis sinistra ICS 5
Auskultasi BJ I-II normal, murni, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi Kulit berwarna sawo matang, simetris, berbentuk datar, massa (-),
pembuluh darah (-)
Palpasi Dinding perut: tidak tegang, defense muscular (-), massa (-),
nyeri tekan epgastirum (-)
Hati : tidak teraba pembesaran
Limpa : tidak teraba pembesaran
Ginjal : balotemen (-)
Lain-lain : tidak ada
Perkusi Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Irama: reguler
HR: 111 x/menit
Axis: normal
Interval PR 0.16 detik, kompleks QRS 0.10 detik, interval QT 0.20 detik
Kelainan: ST depresi II, III, aVF
Diagnosis: AF cepat, STEMI inferior
2. Pemeriksaan Radiologi
• Tanggal 11 Desember 2022
Foto Thorax AP
Cor : CTR <50%, bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : Corakan brochovaskular tampak meningkat
Tampak konsolidasi disertai air bronchogram di dalamnya pada lapangan atas tengah
paru kiri
Tampak bercak pada lapangan atas tengah bawah paru kanan
Tampak lusensi avasculer disertai pleural visceral line pada laterobasal hemithoraks
kiri, disertai perselubungan homogen pada basal hemithoraks kiri yang membentuk
gambaran air-fluid level
Sudut costophrenicus D/S : kanan lancip, kiri tertutup perselubungan homogen
Hemidiaphragma : kanan setinggi costa 10 posterior
Skeleton: Intak, tidak tampak lesi litik/blastik/garis fraktur
Soft tissue: Normal
Kesimpulan:
- Cor tak membesar
- Gambaran pneumonia bilateral
- Hydropneumothoraks kiri
→ Mendukung gambaran TB paru
• Tanggal 12 Desember 2022
Foto Thorax AP
Cor: Bentuk ukuran posisi normal
Aorta: Tidak tampak kalsifikasi
Trachea: Ditengah
Pulmo: Tampak infiltrat pada lapang atas tengah bawah paru kanan Kiri
Sudut costophrenicus D/S: D: Lancip S: Tumpul
Hemidiaphragma D/S: Dome shaped
Skeleton: Intak, tidak tampak lesi litik/blastik/garis fraktur
Soft tissue: Normal
Tampak terpasang chest tube pada hemithorax kiri dengan cambaran kinking + dan
ujung distal menghadap inferomedia pada level T9
Tampak lusensi minimal dengan pleural visceral line pada hemithorax kiri
Kesimpulan (Dibandingkan dengan foto thorax pada tanggal 11 Desember
2022):
- Cor tak membesar
- Infiltrat kedua lapang paru → infiltrat paru kanan relatif berkurang
- Hydropneumothorax kiri → komponen pneumothorax minimal, berkurang
- Tampak terpasang chest tube, pada hemithorax kiri dengan gambaran kinking dan
ujung distal menghadap inferomedial pada level T9
• Tanggal 16 Desember 2022
Cor: Bentuk ukuran posisi normal
Aorta: Tidak tampak kalsificasi
Thachea: Ditengah
Pulmo: Tampak, infiltrat pada lapang atas tengah bawah paru kanan kiri
Sucut costophrenicus D/S: D: Lancip S: Tumpul
Hemidiaphragma D/S: Dome shaped
Skeleton: Intak, tidak, tampak lesi litik/blastik/garis fraktur
Soft sissue: Normal
Tampak terpasang chest tube pada hemithorax kiri dengan gambaran kinking + dan
ujung distal menghadap inferomedial pada level T9
Kesimpulan (Dibandingkan dengan foto thorax pada tanggal 12 Desember
2022):
Cor tak membesar
Infirat kedua lapang paru → infiltrat berkurang
Saat in fidak jelas adanya pneumothorax → perbaikan
Elusi pleura kiri → relatif tetap
Tampak terpasang chest tube pada hemithorax kin dengan gambaran kinking dan
ujung distal menghadap inferomedial pada level T9
3. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 11 Desember 2022 (19:06)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
CBC+DIFF
Hemoglobin 13.2 g/dL 13.2 – 17.3
Leukosit 24.7 103 ul 3.8 – 10.6
DIFF COUNT
Eosinofil % 0.20 % 2.00 – 4.00
Basofil % 0.40 % 0–1
Netrofil % 72.60 % 50 – 70
Limfosit % 17.70 % 25 – 40
Monosit % 9.10 % 2–8
Eosinofil # 0.04 103 ul
Basofil # 0.10 103 ul
Netrofil # 17.93 103 ul
Limfosit # 4.37 103 ul
Monosit # 2.26 103 ul
Neutrofil Lymphosit 4.10
Ratio
Hematokrit 3.8 % 40 – 52
Eritrosit 4.6 106 ul 4.40 – 5.90
Trombosit 521 103 ul 150 – 400
MCV 83 fL 80 – 100
MCH 28 Pg 26 – 34
MCHC 33 g/dL 32 – 36
URIN
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih
pH 5.5
Berat jenis 1.030 1.003-1.030
Kimia
Protein +2 Negatif
Glukosa +4 Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilin Negatif Negatif
Keton +1 Negatif
Sedimen
Eritrosit (RBC) 67.3 /uL <6.4
Leukosit (WBC) 30.8 /uL <5.8
Epitel (EC) 14.9 /uL <3.5
Silinder (CAST) 4.20 /uL <0.47
Bakteri (BACT) 103.0 /uL <23
Kristal (X’TAL) 0.0 /uL
Jamur (YLC) 0.1 /uL
Epitel tubelus (SRC) 6.4 /uL
Silinder Patologi 2.2 /uL
Mucus 1.5 /uL
Sperma 0.0 /uL
Konduktivitas 3.6 mS/cm <32
(COND)
KIMIA KLINIK
Paket Elektrolit
Kalium 4.80 mmol/L 3.5 – 5.0
Natrium 138.0 mmol/L 135 – 147
Klorida 93.0 mmol/L 95– 105
VII. TATALAKSANA
- IVFD RL 500 cc/24 jam
- Inj. meropenem 3x1 mg
- OAT (FDC) merah 1x3 tab
- Inj. OMZ 2x1 amp
- Inj. Sotatic 2x1 amp
- Bolus Novorapid 20 IV lanjut Novorapid sp 4 unit/jam
- Curcuma 3x1
- Inj. Furosemid 1x1 amp
- Ezeline 0-0-40 sc
- Levofloxacin inf. 1x750 mg
- Pamol 3x500 tab
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad malam
Ad Functionam : Dubia ad malam
Ad Sanactionam : Dubia ad malam
CATATAN PERKEMBANGAN PENYAKIT PASIEN (FOLLOW UP)
1. Pneumonia Bilateral
Pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan akut yang menyerang jaringan
paru-paru. Pneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroorganisme bakteri,
virus, dan jamur. Pneumonia virus disebabkan oleh virus, seperti coronavirus,
Adenoviruses, Respiratory syncytial virus (RSV), Influenza virus, Rhinovirus, dan para
influenza. pneumonia aspirasi disebabkan oleh menghirup muntahan, benda asing,
seperti kacang, atau zat berbahaya, seperti asap atau bahan kimia. Pneumonia jamur
jarang terjadi di Inggris dan lebih cenderung menyerang orang dengan sistem kekebalan
yang lemah, infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur
oportunistik. Organisme yang menyerang adalah Candida sp, Aspergillus sp,
Cryptococcus neoformans.1
Mikroorganisme penyebab pneumonia akan masuk kedalam jaringan paru-paru
melalui saluran pernafasan atas, masuk ke bronkiolus dan alveoli lalu menimbulkan
reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein dalam alveoli
dan jaringan interstitial. Bakteri pneumokokus dapat meluas melalui porus kohn dari
alveoli ke alveoli diseluruh segmen lobus. Timbulnya hepatisasi merah adalah akibat
perembesan eritrosit dan beberapa leukosit dari kapiler paru. Alveoli dan septa menjadi
penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin serta relatif sedikit leukosit
mengakibatkan kapiler alveoli menjadi melebar sehingga mengurangi luas permukaan
alveoli untuk pertukaran oksigen dengan karbondioksida. Peradangan yang terjadi dapat
menyebabkan terjadinya hipersekresi sputum yang dapat menghalangi saluran
pernapasan, membatasi aliran udara, dengan demikian akan memperparah fungsi paru
yang sudah menurun. Jika pasien tidak dapat batuk secara efektif untuk mengurangi hasil
sputum yang berlebih, maka dapat menyebabkan terjadinya obstruksi jalan napas
sehingga menimbulkan bersihan jalan napas tidak efektif.1
Kelompok yang memiliki peningkatan risiko terkena pneumonia yaitu, bayi dan
anak yang masih sangat kecil, orang yang merokok, orang dengan kondisi kesehatan lain,
seperti asma, fibrosis kistik, atau kondisi jantung, ginjal, atau hati, orang dengan sistem
kekebalan yang lemah misalnya, akibat penyakit seperti flu, mengidap HIV atau AIDS,
menjalani kemoterapi, atau minum obat setelah transplantasi organ. Berdasarkan letak
anatomi, klasifikasi pneumonia dibagi menjadi:
a. Pneumonia Lobaris, melibatkan saluran atau satu bagian besar dari satu atau lobus
paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral atau
“ganda”.
b. Pneumonia Lobularis (Bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir bronkiolus,
yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi
dalam lobus yang berada didekatnya, disebut juga pneumonia loburalis
c. Pneumonia interstitial (Bronkiolitis) proses inflamasi yang terjadi dalam dinding
alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobural
Gambar 1. Pneumonia
Gejala pneumonia dapat berkembang secara tiba-tiba selama 24 hingga 48 jam,
atau mungkin muncul lebih lambat selama beberapa hari.
Gejala umum pneumonia meliputi:
• Batuk, yang mungkin kering, atau menghasilkan lendir kental berwarna kuning,
hijau, coklat atau bernoda darah (dahak)
• Kesulitan bernapas, mungkin cepat dan dangkal, dan merasa terengah-engah,
bahkan saat beristirahat
• Detak jantung yang cepat
• Suhu tinggi
• Merasa umumnya tidak sehat, berkeringat dan menggigil
• Kehilangan selera makan
• Nyeri dada, yang memburuk saat bernapas atau batuk
2. Hydropneumothorax
Hidropneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat udara dan cairan
didalam rongga pleura yang mengakibatkan kolapsnya jaringan paru. Cairan ini bisa juga
disertai dengan nanah (empiema) dan hal ini di namakan dengan piopneumotoraks.
Hidropneomotoraks dapat disebabkan oleh adanya trauma, peradangan, udara, cairan.
Dari penyebab tersebut dapat menyebabkan akumulasi cairan dan udara dalam rongga
pleura yang menyebabkan tekanan dalam rongga dada menjadi positif. Akumulasi cairan
dan udara menyebabkan paru-paru kolaps, sehingga terjadi perlengketan antara pleura
parietalis dan pleura visceralis karena pergesekan yang terus menerus yang
menyebabkan robekan pada pleura, jadi cairan pleura bisa merembes masuk kedalam
pleura parietalis. Hidropneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau
kista kecil yang diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah permukaan
pleura viseralis, dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior.
Terbentuknya bleb ini oleh karena adanya perembesan udara dari alveoli yang
dindingnya ruptur melalui jaringan intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di
bawah pleura viseralis.3,4
Hidropneumotoraks spontan skunder bisa merupakan komplikasi dari TB paru
dan pneumotoraks yaitu dengan rupturnya fokus subpleura dari jaringan nefrotik
perkijuan sehingga tuberkuloprotein yang ada didalam masuk ke rongga pleura dan udara
dapat masuk dalam paru pada proses inspirasi tetapi tidak dapat keluar paru ketika proses
ekspirasi, semakin lama udara dalam rongga pleura akan meningkat dan udara yang
terkumpul akan menekan paru sehingga akan timbul gagal nafas. Tindakan untuk
mengatasi hidropneumothoraks yaitu dengan pemasangan WSD (Water Seal Drainage),
yang bertujuan untuk mengalirkan udara dan cairan dalam upaya mengembangkan
kembali paru-paru dan membuat tekanan udara negatif pada rongga pleura.3,4
Analisa Kasus
Pada kasus ini pasien mengalami hydropneumothoraks sehingga menyebabkan
akumulasi cairan dan udara dalam rongga pleura yang menyebabkan tekanan dalam
rongga dada menjadi positif. Dari hasil pemeriksaan foto rontgen didapatkan tampak
lusensi avasculer disertai pleural visceral line pada laterobasal hemithoraks kiri, disertai
perselubungan homogen pada basal hemithoraks kiri yang membentuk gambaran air-
fluid level menunjukkan gambaran hydropneumothoraks kiri. Tatalaksana pada pasien
yaitu dengan dilakukan pemasangan chest tube drainage yaitu prosedur pemasangan
selang dada untuk mengalirkan cairan atau udara yang berlebihan di celah paru (rongga
pleura. Pemasangan chest tube bertujuan untuk mengembalikan tekanan intra pleura
positif menjadi negatif kembali.
Gambar 2. Pemasangan Chest Tube Drainage
3. TB Paru
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam ini dapat
merupakan organisme patogen maupun saprofit. Tuberculosis (TB) adalah penyakit
infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius utama
Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Mycobakterium tuberculosis suatu basil yang tahan asam yang menyerang parenkim
paru atau bagian lain dari tubuh manusia.5
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan
kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau dapat
ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan fisik paru
tersebut dapat berupa: fokal fremitus meingkat, perkusi redup, bunyi napas
bronkovesikuler atau adanya ronkhi terutama di apeks paru. Pada lesi luas dapat pula
ditemukan tanda-tanda seperti deviasi trakea ke sisi paru yang terinfeksi, tanda
konsolidasi, suara napas amporik pada cavitas atau tanda adanya penebalan pleura.5,6
• Gejala lokal:
1) Batuk, selama 2 minggu atau lebih
Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non
produktif). Keadaan setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum atau dahak).
2) Hemoptisis
Akibat bronkiektasis dari bekas TB, ruptur pembuluh darah yang berdilatasi di
dinding kavitas lama, dari erosi lesi terkalsifikasi ke lumen.
3) Nyeri dada
Gejala ini dapat ditemukan bila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura,
sehingga menimbulkan pleuritis, akan tetapi, gejala ini akan jarang ditemukan
4) Sesak nafas
Pada gejala awal atau penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah
setengah bagian paru-paru.
• Gejala sistemik/umum:
1) Penurunan nafsu makan dan berat badan.
2) Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
3) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama (20 % pasien mungkin tidak
terjadi demam). Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat
hilang timbul.
4) Keringat malam tanpa aktivitas fisik
• Gejala khusus:
1) Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)
akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan
suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
2) Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,
mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks
tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.6
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk
penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan sewaktu-pagi sewaktu
(SPS).
- S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua
- P (pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas
- S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi hari.
Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan
mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan Ziehl Nielsen dan
pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana pewarnaannya dilakukan dengan
auramin-rhodamin (khususnya untuk penapisan).
2. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spesifik untuk
TB paru. Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan jam kedua dibutuhkan. Data
ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai
keseimbangan penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon
terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan
daya tahan tubuh penderita. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED
yang normal juga tidak menyingkirkan diagnosa TBC.
3. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi ialah
foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana pada pemeriksaan
sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan
hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila:
1. Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)
2. Hemoptisis berulang atau berat
3. Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +
Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB paru aktif:
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
2. Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi Pleura
Gambaran radiologi yang dicrigai Tb paru inaktif:
1. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen superior lobus bawah.
2. Kalsifikasi.
3. Penebalan pleura.
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikrobakteri merupakan kuman tahan asam
yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat
sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Umumnya antibiotika bekerja
lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah dibandingkan dengan kuman yang
lambat membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki mikobakteri merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru
jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri lain.5,6
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin,
Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin, Amikasin, Kuinolon.
Tabel 1. Jenis dan Dosis Obat Tunggal
Terdapat 2 tahap pengobatan, yakni tahap awal (diberikan selama 2 bulan setiap
hari) dan tahap lanjutan untuk membunuh sisa kuman. Panduan OAT yang digunakan
oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :
1. Kategori 1: 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap
hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga
kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
• Penderita TB terkonfirmasi bakteriologis
• Pasien TB baru terdiagnosis klinis
• Pasien TB ekstraparu
2. Kategori 2 : 2 (HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3
Regimen ini akan mulai ditinggalkan berdasarkan PNPK Tuberkulosis 2019 karena
akses TCM di Indonesia semakin luas. Sebelumnya, paduan OAT ini diberikan
untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang) :
• Penderita kambuh.
• Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1 sebelumnya
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (loss to follow up).
Analisa Kasus
Pada kasus, pasien didiagnosis TB paru berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
radiologi foto toraks. Pasien mengeluhkan sesak napas, dan nyeri dada sejak 2 hari
SMRS. Keluhan tambahan yang dirasakan pasien yaitu batuk berdahak namun susah
keluar selama kurang lebih 2 minggu SMRS, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif). Keadaan setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum atau dahak). Gejala sistemik yang
dikeluhkan pasien yaitu nafsu makan dan minum menjadi berkurang setelah keluhan.
Pada pasien juga didapatkan demam (37,8°C) sejak 2 hari SMRS. Hasil dari pemeriksaan
foto toraks didapatkan corakan brochovaskular tampak meningkat, infiltrat kedua lapang
paru, dan mendukung gambaran TB paru. Tatalaksan pada pasien diberikan OAT (FDC)
merah 1x3 tablet, Kategori 1: 2HRZE/4H3R3 yaitu Selama 2 bulan minum obat INH,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan
selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan).
Diberikan kepada:
• Penderita TB terkonfirmasi bakteriologis
• Pasien TB baru terdiagnosis klinis
• Pasien TB ekstraparu
Pasien juga diberikan suplemen makanan (curcuma 3x1) yang berfungsi menjaga daya
tahan tubuh dan membatu memperbaiki nafsu makan
4. Diabetes Mellitus
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
kareakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya. Diabetes melitus dapat diklasifikasikan sebagai berikut.7
Tabel 2. Klasifikasi dan Etiologi DM 7,8
Klasifikasi Deskripsi
Tipe 1 Destruksi sel beta pankreas, umumnya berhubungan dengan defisiensi
insulin absolut
• Autoimun
• Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin
DM Diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga kehamilan
gestasional dimana sebelum kehamilan tidak didapatkan diabetes
DM tipe • Dm karena penyakit dari pankreas (pankreatitis, trauma, infesi,
lain kanker pankreas, pankreatektomi)
• DM karena kelainan endokrin yang menyebabkan kelebihan
sekresi hormon antagonis insulin (cushing’s syndrome)
• Obat atau zat kimia (glukokortikoid, hormon tiroid, thiazides,
alpha dan beta adrenergic agonist, interferon alpha dll)
• Infeksi yang disebabkan virus yang menyebabkan kerusakan
sel beta (congenital rubella, cytomegalovirus)
• Uncommon forms of immunemediated diabet (Insulin
autoimmune syndrome (autoantibodies to insulin)
• Other genetic syndromes ( Prader-Willi syndrome, Down’s
syndrome, Friedreich’s ataxia)
Faktor risiko diabetes melitus dibagi menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara
lain pola makan, aktivitas fisik, stres, merokok, alkohol, hipertensi (>140/90 mmHg),
dan obesitas (IMT> 23 kg/m2), dislipidemia (HDL <35 mg/dL dan /atau trigliserida >250
mg/dL) sedangkan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu usia (intoleransi
glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia), keturunan, jenis kelamin, ras,
etnik, riwayat lahir dengan BB rendah <2,5 kg.7
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:7
• Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
• Keluhan lain: badan lemas, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Komposisi makanan diberikan sesuai kebutuhan kalori setiap pasien DM. kebutuhan
kalori basal pasien DM dihitung dengan cara 25-30 kal/kgBB ideal. Karbohidrat yang
dianjurkan sebesar 40-65% total asupan energi, terutama karbohidrat berserat tinggi.
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. Dianjurkan makan tiga kali
sehari dan diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai
bagian kebutuhan kalo sehari. Asupan lemak yang dianjurkan sekitar 20-25%
kebutuhan kalori dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Bahan
makanan yang perlu dibatasi adlaah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans seperti daging berlemak dan susu full cream. Pasien DM dengan
nefropati diabetic harus diturunkan asupan protein menjadi 0.8 g/kgBB/hari atau
10% dari kebutuhan energi. Sumber protein yang baik yaitu ikan, udang, cumi,
daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu
dan tempe. Asupan natrium untuk pasien DM sama seperti orang sehat yaitu
<1500mg/hari. pasien DM juga dianjurkan konsumsi serat dari kacang-kacangan,
buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat. Anjuran serat yaitu 20-
35 gram/hari.7
b) Latihan fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Program
latihan fisik secara teratur dilakukan 3-5 hari seminggu selama sekitar 30-45 menit,
dengan total 150 menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut- turut. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan fisik yang
bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti
jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal
dihitung dengan cara mengurangi 220 dengan usia pasien. Pemeriksaan glukosa
darah dianjurkan sebelum latihan fisik. Pasien dengan kadar glukosa darah <100
mg/dL harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL
dianjurkan untuk menunda latihan fisik.7,8
c) Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Tetapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.7
• Obat antihiperglikemia oral
Tabel 5. Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di Indonesia7
Analisa Kasus
Pada kasus ini pasien dapatkan diabetes mellitus dari hasil pemeriksaan HbA1C 14,6%
( >6,4% ). Pada pemeriksaan gula darah sewaktu paralel juga didapatkan hasil GDS >200
mg/dL. Pasien mengeluhkan badan lemas, dan pasien juga memiliki riwayat merokok.
Tatalaksana pasda pasien ini diberikan antihiperglikemia, yaitu Novorapid sebagai
golongan insulin analog kerja cepat untuk menurunkan kadar gula darah. Pasien juga
diberikan Ezelin yang merupakan analog kerja panjang.
5. Sepsis
Sepsis merupakan disfungsi organ akibat gangguan regulasi respons tubuh
terhadap terjadinya infeksi. Kondisi sepsis merupakan gangguan yang menyebabkan
kematian. Syok sepsis merupakan abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler.9
Tabel 6. Definisi Sepsis Tahun 1992-2016 9
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri Gram negatif dengan presentase 60-
70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun yang
terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.10 Ada beberapa faktor risiko yang
dianggap berperan pada kejadian sepsis, antara lain: usia, jenis kelamin, tempat
perawatan, riwayat penyakit ginjal kronik, riwayat diabetes melitus, riwayat HIV,
riwayat penyalahgunaan alkohol, riwayat pemakaian kortikosteroid, riwayat kemoterapi,
kadar albumin, dan kadar hemoglobin. 11
Gejala yang muncul akibat kondisi tersebut yaitu adanya demam atau hipotermia.
Gejala awal lainnya yaitu takikardia dan takipnea. Pasien yang mengarah pada syok
sepsis akan mengalami hipotensi, oliguria atau anuria, sianosis, hipoksia, dan perubahan
status mental. Manifestasi konstitusional dapat berupa diaforesis, demam atau menggigil,
malaise, dan myalgia.12,13
- Sistem Kardiovaskular: Manifestasi sepsis pada sistem kardiovaskular dapat berupa
akral dingin, hipotensi, waktu pengisian kapiler memanjang, dan takikardia.
- Dermatologi: Manifestasi dermatologi biasanya menunjukkan tanda-tanda infeksi
berupa abses dan selulitis, atau gangguan koagulasi berupa ekimosis atau petekie.
Apabila terjadi gangguan fungsi hati, maka akan didapatkan ikterik.
- Endokrin: Pada sistem endokrin bisa muncul hiperglikemia yang terjadi karena
resistensi insulin akibat sepsis.
- Gastrointestinal: Pada sistem gastrointestinal, dapat didapatkan manifestasi yang
tidak spesifik berupa nyeri abdomen, penurunan bising usus, diare, distensi, kaku
abdomen, perdarahan traktus gastrointestinal bagian atas, dan muntah.
- Genitourinaria: Pada sistem genitourinaria bisa didapatkan manifestasi infeksi
saluran kemih berupa nyeri pada daerah kostovertebral, disuria, anyang-anyangan,
hematuria, pyuria, perdarahan atau discharge vagina. Selain itu, dapat pula terjadi
manifestasi kegagalan ginjal berupa anuria atau oliguria.
- Hematologi: Manifestasi hematologi dapat berupa anemia (pucat), leukositosis atau
leukopenia, dan trombositopenia.
- Neurologi: Manifestasi neurologis dapat berupa nyeri kepala dan perubahan status
mental.
- Sistem Respirasi: Pada sistem respirasi bisa muncul disfagia, nyeri tenggorok,
trismus, batuk, nyeri pleuritik, takipnea, dan hiperventilasi.
6. Insuff Hepar
Insuffisiency hepar atau gagal hati adalah ketidakmampuan hati untuk melakukan
fungsi sintetik dan metabolisme normal. Gagal hati disebabkan oleh kerusakan pada sel-
sel di organ hati. Kerusakan tersebut dapat terjadi tiba-tiba atau berkembang dalam
jangka panjang. Beberapa faktor yang bisa menyebabkan gagal hati adalah sirosis,
infeksi virus, terutama hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis E, kanker, baik yang
bermula di hati maupun yang bermula dari bagian tubuh lain kemudian menyebar ke hati,
cholangitis, penggunaan obat paracetamol yang berlebihan, konsumsi obat antiinflamasi
nonsteroid, antikejang, dan obat herbal, kecanduan alkohol, penyalahgunaan NAPZA,
paparan racun, misalnya zat karbon tetraklorida, sistem kekebalan tubuh yang
menyerang tubuh sendiri (hepatitis autoimun), penyakit pembuluh darah di hati, seperti
sindrom Budd-Chiari, gangguan metabolik, misalnya penyakit Wilson, reaksi tubuh atas
infeksi berat (sepsis), penyakit lainnya, misalnya penyumbatan pembuluh darah di hati,
penumpukan zat besi, intoleransi fruktosa, sindrom Reye, dan galaktosemia. 18,19
Manifestasi klinik berupa mual, penurunan nafsu makan, lelah, diare, jaundice,
perubahan status mental, kantuk, perut membengkak, muntah darah atau BAB berdarah.
Ada beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis gagal hati yaitutes fungsi hati
dengan enzim hati yaitu SGOT, SGPT, kadar bilirubin, waktu pembekuan juga dapat
diperiksa karena pada gagal hati sering menjadi tidak normal. Selain itu dapat juga
dilakukan USG, CT scan, MRI serta biopsi untuk mencarai penyebab. Tidak ada metode
khusus untuk mengatasi gagal hati. Pengobatan yang diberikan hanya bertujuan untuk
menjaga kestabilan kondisi tubuh hingga hati dapat kembali berfungsi normal.
Pengobatan tersebut meliputi pemberian infus untuk menjaga tekanan darah normal,
transfusi darah bila mengalami perdarahan, obat untuk mengeluarkan racun dari dalam
tubuh. Untuk menjaga bagian organ hati yang masih sehat hindari konsumsi obat tanpa
anjuran dari dokter, tidak mengonsumsi minuman beralkohol, membatasi konsumsi
daging merah, keju, dan telur, mengurangi konsumsi garam di menu makanan menjaga
kadar gula darah dan tekanan darah normal, mempertahankan berat badan ideal.18,19
Analasis Kasus
Pada kasus ini pasien mengalami insuff hepar yang ditunjukkan dari hasil enzim hati
dengan SGOT 67.6 U/L yang meningkat 3.3 kali dari batas normal, dan SGPT 53 U/L
yang meningkat 1.4 kali dari batas normal. Insuff hepar yang dialami pasien merupakan
salah satu disfungsi organ yang diakibatkan oleh sepsis yang di deritanya. Akibat dari
sepsis, terjadi respon imun yang dimediasi hati yang bertanggung jawab untuk
membersihkan bakteri dan racun tetapi juga menyebabkan peradangan imunosupresi dan
kerusakan organ hati. Sehingga terapi pada pasien ini adalah berfokus kepada penyebab
insufficiency hepar yaitu sepsis.
Tatalaksana ISK apabila sebelum ada hasil biakan, diberikan pengobatan empiris
selama 7-10 hari. Jenis antibiotik dapat dilihat pada Gambar 33. Umumnya, setelah
terapi antibiotik 2x24 jam, gejala menghilang. Bila belum, pikirkan antibiotik yang lain.
Indikasi rawat inap disertai dehidrasi, muntah, tidak dapat minum per oral, berusia ≤ 1
bulan, atau dicurigai urosepsis. Tatalaksana mencakup rehidrasi dan antibiotika
intravena. Tatalaksana suportif dengan diberikan asupan cairan yang adekuat, perawatan
higienitas daerah perineum dan periuretra, serta pencegahan konstipasi. Pasien dan
pengasuh juga perlu diedukasi agar anak tidak menahan buang air kecil dan penggunaan
lampin sekali pakai.23
Gambar 13. Dosis antibiotik untuk pengobatan ISK23
1. Metlay, J.P. et al. (2019) “Diagnosis and treatment of adults with community-acquired
pneumonia. an official clinical practice guideline of the American Thoracic Society and
Infectious Diseases Society of America,” American Journal of Respiratory and Critical
Care Medicine, 200(7). Available at: https://doi.org/10.1164/rccm.201908-1581st.
2. Pneumonia management and prevention guidelines (2022) Centers for Disease Control and
Prevention. Centers for Disease Control and Prevention. Available at:
https://www.cdc.gov/pneumonia/management-prevention-guidelines.html (Accessed:
January 20, 2023).
3. Medicine, D.of P. (no date) Clinical profile, etiology, and management of... : Lung India,
LWW. Available at: https://doi.org/10.4103%2F0970-2113.180804 (Accessed: January 20,
2023).
4. Hydropneumothorax [Internet]. hydropneumothorax - Primary Care Notebook. [cited
2023Jan20]. Available from: https://primarycarenotebook.com/simplepage.cfm?ID=-
1140457464
5. Tuberculosis (TB) [Internet]. World Health Organization. World Health Organization;
[cited 2023Jan20]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/tuberculosis
6. Loddenkemper1 R, and ML. Clinical Aspects of Adult Tuberculosis [Internet]. Cold Spring
Harbor Perspectives in Medicine. 1970 [cited 2023Jan20]. Available from:
https://doi.org/10.1101%2Fcshperspect.a017848
7. Soelistijo S. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di
Indonesia 2021. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia [Internet]. 2021;46.
8. Kazi AA, Blonde L. Classification of diabetes mellitus 2019. Vol. 21, World Health
Organization. 2019. 1–13 p.
9. Suhendro. Definisi dan kriteria terbaru diagnosis sepsis: Sepsis-3. In: Widayat D, Leonard
N. Jakarta antimicrobial update “Antimicrobial Usage in Clinical Practice L Strategy to
Combat Infectious Agent 2017”. Jakarta: Interna Publishing; 2017.p. 1-7
10. Sepsis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit
IPD FKUI. 2014: 1862-65
11. Putri Y. Fakto Risiko Sepsis pada Pasien Dewasa di RSUP DR Kariadi. Jurnal Media
Medika Muda. 2016;1-16.
12. Mahapatra S, Heffner AC. Septic Shock [Internet]. StatPearls Publishing. 2022 [cited 30
December 2022]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430939/
13. Dugar S, Choudhary C, Duggal A. Sepsis and septic shock: Guideline-based management.
Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2020.
14. Kalil A. Septic Shock Differential Diagnoses [Internet]. Medscape. 2020 [cited 18 January
2023]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/168402-differential
15. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D,109 Bauer M, et al. The
third international concensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis- 3). JAMA.
2016: 315 (8): 801-10.
16. Putra IMP. Pendekatan Sepsis dengan Skor SOFA. 2018;45:606–9.
17. Surviving sepsis campaign 2016
18. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
5th ed. Jakarta:Interna Publishing; 2010. 166-174, 218-226 p.
19. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. 4th ed. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014. 811–815 p.
20. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid 1 edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
21. Seputra KP, Tarmono, Noegroho BS, Mochtar CA, Wahyudi I, Renaldo J, et al. Panduan
tatalaksana infeksi saluran kemih dan genitalia pria 2020. Edisi 3. Jakarta: Ikatan Ahli
Urologi Indonesia (IAUI); 2020. 20h
22. McLellan LK, Hunstad DA. Urinary tract infection: Pathogenesis and outlook. Trends in
Molecular Medicine. 2016;22(11):946–57.
23. Arif M. Kapita selekta kedokteran. Ed. 4. Media Aesculapius, 2014.