Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SARAF TUTORIAL KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN
9 Februari 2018
UNIV. AL-KHAIRAAT PALU

LAPORAN TUTORIAL KLINIK


PARAPARESE

Disusun Oleh:

Fathina Suciati 121677714135

Dianita Asyraf Suaib 121677714140


Mei Andani Listiani 111677714129

Pembimbing:
dr. Magdalena S. Sp.S

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN KEDOKTERAN SARAF
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2018
IDENTITAS PASIEN
 Nama : Tn. F
 Umur : 20 tahun
 Jenis Kelamin : laki-laki
 Suku Bangsa : Kaili
 Agama : Islam
 Tanggal Masuk : 29 Januari 2018
 Tanggal Pemeriksaan : 6 februari 2018

SKENARIO
Seorang laki-laki berusia 20 tahun masuk RS dengan keluhan lemah kedua
tungkai kurang lebih 2 minggu. Sebelumnya pasien pernah jatuh terduduk di
kamar mandi 2 bulan lalu karena terpeleset dan bagian punggung terbentur kloset.
Kepala tidak terbentur. Pusing (-) mual (-) muntah (-) demam (-). Setelah terjatuh,
pasien mulai merasakan kedua tungkainya berat dan tebal lama kelamaan tidak
bisa bergerak. Pasien juga mengeluh nyeri punggung kanan. Setelah terjatuh
pasien mengeluh sulit BAK. Tapi sekarang BAK lancar. BAB biasa

PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum: sakit sedang
 Gizi: baik
 Kesadaran: compos mentis
 Tanda-tanda vital:
 Tekanan darah: 120/80 mmHg
 Nadi: 78 x/menit
 Suhu: 36
 Pernapasan: 20 x/menit
 Dada :
Paru-paru :
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, Retraksi dinding dada (-)
- Palpasi : Vocal premitus sama pada dada kanan dan kiri, nyeri
tekan (-),
krepitasi (-), massa (-)
- Perkusi : Sonor kedua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler +/+, Rh -/- Wh -/-

 Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : batas jantung normal
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, bising (-)
-
 Perut :
- Inspeksi : Kesan cembung
- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
- Perkusi : Timpani (+)
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan. Hepatomegali (-) splenomegali (-)

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
GCS: Tgl 6/2/17: E4M6V5
1. Kepala:
o Penonjolan: tidak ada penonjoan
2. N. cranialis:
o N. Olfactorius (I): normosmia
o N.Optikus:
 Ketajaman penglihatan: 6/6 (OD) 6/6 (OS)
 Lapangan penglihatan: sulit dinilai
 N. Occulomotoris:
 Ptosis: tidak ada
 Exopthalmus: tidak ada
 Pupil: ukuran: 2 mm/ bulat 2 mm/bulat
Isokor/anisokor: isokor
Reflex cahaya langsung/ tidak langsung: +/+
Reflex akomodasi: + +
 Gerakan bola mata:
Parese kearah - -
Nistagmus - -
 N. V (trigeminus):
o Sensibilitas: N.V1: N/N
N.V2: N/N
N.V3: N/N
o Motorik: Inspeksi: normal
 N. VII:
o Motorik: M. Frontalis M. orbik.okuli M. orbik. Oris
Istirahat: simetris simetris simetris
Gerakan mimic: simetris simetris simetris
o Pengecap 2/3 lidah bagian depan: normal
 N. VIII:
o Pendengaran:normal
o Tes bisik : +
o Tes rinne: tidak dilakukan pemeriksaan
o Test schwabach: tidak dilakukan pemeriksaan
o Tes weber: tidak dilakukan pemeriksaan
 N. IX/X: (Glossopharingeus/vagus):
o Posisi arkus pharinks: simetris
o Reflex telan/muntah: tidak dilakukan pemeriksaan
o Pengecap 1/3 lidah bagian belakang: tidak dilakukan pemeriksaan
o Fonasi: normal
o Takikardi/bradikardi: normal
 N. XI:
o Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan: normal
o Angkat bahu: normal
 N.XII:
o Deviasi lidah: tidak ada
o Fasciculasi: tidak ada
o Atrofi: tidak ada
o Tremor: tidak ada
o Ataxia: tidak ada
3. Leher:
 Tanda-tanda perangsangan selaput otak
o Kaku kuduk: -
o Kernig’s sign: -
 Arteri karotis:
o Palpasi: teraba
o Auskultasi:tidak ada bruit
 Kelenjar gondok: dalam batas normal
4. Abdomen:
 Reflex kulit dinding perut: +
5. Kolumna vertebralis: sulit dinilai
6. Ekstremitas:
Superior Inferior
D S D S
 Motorik:
Pergerakan B B T T
Kekuatan 5 5 3 3
Tonus otot N N
Bentuk otot eutori eutrofi eutrofi eutrofi
 Reflex fisiologi
1. Biceps ++ ++
2. Triceps ++ ++
3. Patella +++ +++
4. Achilles +++ +++
 Klonus: Lutut: -/-
Kaki: +/+
 Reflex patologis:
1. Hoffman: -/-
2. Tromner: -/-
3. Babinski: -/-
4. Chaddock: -/-
5. Gordon: -/-
6. Schaefer: -/-
7. Oppenheim:-/-
 Sensibilitas:
o Ekstroseptif
Nyeri: sulit dinilai
Suhu: sulit dinilai
Rasa raba halus: sulit dinilai
o Propioseptif
Rasa sikap: sulit dinilai
Rasa nyeri dalam: sulit dinilai
o Fungsi Kortikal Luhur: sulit dinilai
7. Terdapat pergerakan abnormal yang spontan: tidak ada
8. Gangguan koordinasi: normal
9. Gangguan keseimbangan: tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- LABORATORIUM
• GDS: 83 mg/dL
• K: 3,29 mg/dL
• Na: 134 mg/dL
• Cl: 94 mg/dL
• WBC 10,2
• RBC 4.3
• HB 10,8
• PLT 415

- RADIOLOGI
KATA KUNCI
- Laki-laki
- 20 tahun
- Lemah kedua tungkai
- Riwayat jatuh terduduk 2 bln lalu
- Punggung mengenai kloset
- Kepala tidak terbentur
- Demam (-), pusing (-), mual (-) muntah (-)
- Kedua tungkai berat lama kelamaan tidak bisa bergerak
- BAK tidak lancar setelah terjatuh, tapi sekarang membaik

PERTANYAAN
1. Jelaskan anatomi pada kasus yang terkait?
2. Definisi paraparese?
3. Sebutkan klasifikasi paraparese?
4. Patofisiologi dari paraparese?
5. Jelaskan definisi, klasifikasi dari trauma medulla spinalis?
6. Manifestasi klinis dari lesi traumatic?
7. Bagaimana penatalaksanan trauma medulla spinalis?
8. Jelaskan komplikasi trauma medulla spinalis?
9. Bagaimana prognosis pasien dengan trauma medulla spinalis?
10. Tujuan pengobatan pada trauma medulla spinalis?
11. Diagnosis banding pada kasus?

JAWABAN
1. Anatomi 1,2,3
Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal dari
korteks motorik serebri atau batang otak yang seluruhnya (dengan serat saraf-
sarafnya ada di dalam sistem saraf pusat. Lower motor neuron (LMN) adalah
neuron-neuron motorik yang berasal dari sistem saraf pusat tetapi serat-serat
sarafnya keluar dari sistem saraf pusat dan membentuk sistem saraf tepi dan
berakhir di otot rangka. Berkas UMN bagian medial, dibatang otak akan saling
menyilang. Sedangkan UMN bagian Internal tetap berjalan pada sisi yang
sama sampai berkas lateral ini tiba di 9edulla spinalis. Di segmen 9edulla
spinalis tempat berkas bersinap dengan neuron LMN. Berkas tersebut akan
menyilang. Dengan demikian seluruh impuls motorik otot rangka akan
menyilang, sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan
kelumpuhan pada otot-otot sisi yang berlawanan.

Gambar 1. Jaras Kortikospinal

Medula spinalis berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga sebagai jaras
konduksi impuls dari atau ke otak. Medula spinalis merupakan perpanjangan dari
otak dalam menginervasi bagian bawah dari tubuh, karenanya komposisi medula
spinalis mirip otak yaitu terdiri dari substansia alba (serabut saraf bermielin)
dengan bagian dalam terdiri dari substansia grisea (jaringan saraf tak bermielin).
Substansia alba berfungsi sebagai jaras konduksi impuls aferen dan eferen antara
berbagai tingkat medulla spinalis dan otak. Substansia grisea merupakan tempat
integrasi refleks-refleks spinal. Medula spinalis dimulai dari akhir medula
oblongata di foramen magnum di bagian atas dan diteruskan pada bagian
bawahnya sebagai conus medullaris, kira-kira pada level T12-L1. Selanjutnya
diteruskan ke distal sebagai kauda equine (dibokong) yang lebih tahan terhadap
cedera. Pada setiap level akan keluar serabut syaraf yang disebut nerve root.

Gambar 2. Hubungan nervus spinalis dengan vertebra

Pada penampang melintang, substansia grisea tampak menyerupai huruf H


capital, kedua kaki huruf H yang menjulur ke bagian depan tubuh disebut kornu
anterior atau kornu ventralis, sedangkan kedua kaki belakang dinamakan kornu
posterior atau kornu dorsalis. Kornu ventralis terutama terdiri dari badan sel dan
dendrit neuron-neuron motorik eferen multipolar dari radiks ventralis dan saraf
spinal. Sel kornu ventralis (lower motor neuron) biasanya dinamakan jaras akhir
bersama karena setiap gerakan (baik yang berasal dari korteks motorik serebral,
ganglia basalis atau yang timbul secara refleks dari reseptor sensorik) harus
diterjemahkan menjadi suatu kegiatan atau tindakan melalui struktur tersebut.
Kornu dorsalis mengandung badan sel dan dendrit asal serabut-serabut sensorik
yang akan menuju ke tingkat SSP lain sesudah bersinaps dengan serabut sensorik
dari saraf-saraf sensorik. Substansia grisea juga mengandung neuron-neuron
internunsial atau neuron asosiasi, serabut eferen sistem saraf otonom, serta akson-
akson yang berasal dari berbagai tingkatan SSP. Neuron internunsial menghantar
impuls dari satu neuron ke neuron lain dalam otak dan medulla spinalis. Dalam
medulla spinalis neuron-neuron internunsial mempunyai banyak hubungan antara
satu dengan yang lain, dan hanya beberapa yang langsung mempersarafi sel kornu
ventralis. Hanya sedikit impuls saraf sensorik yang masuk ke medulla spinalis
atau impuls motorik dari otak yang langsung berakhir pada sel kornu ventralis
(lower motor neuron). Sebaliknya, sebagian besar impuls mula-mula dihantarkan
lewat sel-sel internunsial dan kemudian impuls tersebut mengalami proses yang
sesuai, sebelum merangsang sel kornu anterior. Susunan seperti ini
memungkinkan respons otot yang sangat terorganisasi.

Gambar 3. Medula spinalis, neuron motorik, dan neron sensorik


Setiap dermatom berhubungan dengan satu segmen radikuler, yang mana akan
berhubungan lagi dengan satu segmen medula spinalis.

Gambar 4. Dermatom tampak depan dan belakang

Lintasan traktus medulla spinalis terdiri dari traktus ascendens dan traktus
descendens. Traktus ascendens membawa informasi sensorik ke SSP dan dapat
berjalan ke bagian-bagian medulla spinalis dan otak. Traktus spinotalamikus
lateralis merupakan suatu traktus ascendens penting, yang membawa serabut-
serabut untuk jaras nyeri dan suhu. Jaras untuk raba halus, propiosepsi sadar, dan
getar mempunyai serabut-serabut yang membentuk kolumna dorsalis substansia
alba medulla spinalis. Impuls dari berbagai bagian otak yang menuju neuron-
neuron motorik batang otak dan medulla spinalis disebut traktus descendens.
Traktus kortikospinalis lateralis dan ventralis merupakan jaras motorik voluntar
dalam medulla spinalis. Traktus asosiatif merupakan traktus ascendens atau
descendens yang pendek; misalnya, traktus ini dapat hanya berjalan antara
beberapa segmen medula spinalis, sehingga disebut juga traktus intersegmental.
Traktus Somatosensorik Medulla Spinalis
Struktur somatosensori medulla spinalis dibagi menjadi 3, yaitu jaras lemniscus
bagian dorsal columna-medial (pengaturan sentuhan/proprioseptif/getaran), jaras
spinoserebelaris anterior posterior, dan sistem spinotalamikkus anterolateral
(pengaturan nyeri/temperatur). Ketiga jaras sensorik ini memiliki 3 neuron yang
berbeda untuk bekerja. Neuron-neuron ini terbagi menjadi neuron sensorik primer,
sekunder, dan tersier.
Traktus Lemniskus Dorsal Columna Medial
Pada jaras lemniscus bagian dorsal columna medial, akson neuron
primernya memasuki medulla spinalis dan menuju ke bagian dorsal dari kolumna.
Akson-akson pada medulla spinalis dibawah T6 akan memasuki jaras fasciculus
grasilis, sebaliknya bila akson terdapat setinggi T6 atau diatasnya, maka akan
memasuki jaras fasciculus cuneatus yang terletak di bagian lateral fasciculus
grasilis.

Gambar 5. Ringkasan Traktus Medulla Spinalis

Setelah mencapai jaras masing-masing, akson primer menaiki medulla spinalis


hingga mencapai bagian bawah dari medulla oblongata, setelah itu mencapai
meninggalkan fasciculus dan bersinaps dengan neuron sekunder pada salah satu
dari nuclei kolumna dorsalis; antara nukleus gracilis atau nukleus cuneatus.
Akson akan berjalan menuju anterior dan kemudian ke bagian medial setelah
meninggalkan nukleusnya, kumpulan akson yang serupa ini disebut sebagai fiber
internal arkuata. Persilangan jaras ke bagian kontralateral terdapat pada titik ini.
Setelah itu jaras terus naik ke bagian medial lemniskus kontralateral hingga pada
akhirnya berhenti di nukleus ventral posterolateral di bagian thalamus dan
bersinaps dengan neuron tersier. Dari situ neuron tersier naik menuju ke kapsula
interna dan berujung pada korteks sensorik primer. Perlu diingat bahwa jaras ini
disebut juga jaras kolumna posterior dan menghantarkan rasa getar, perubahan
posisi, raba dan diskriminasi.
Serebelum menerima input proprioseptif aferen dari semua regio tubuh;
kemudian, output eferen polisinaptiknya mempengaruhi tonus otot dan koordinasi
kerja otot-otot antagonis dan agonis yang berperan saat berdiri, berjalan, dan
semua gerakan lain. Proses ini berjalan tanpa disadari.

Gambar 6. Traktus Kolumna Dorsalis


Traktus Spinotalamikus
Jaras sensorik selanjutnya adalah jaras spinotalamikus yang merupakan jalur
untuk penghantaran beberapa jenis impuls lainnya. Stimulus nyeri dan suhu akan
melewati jaras spinotalamikus lateral, sedangkan sisanya (persepsi raba kasar dan
tekan) melewati jaras spinotalamikus anterior. Jaras ini juga memiliki 3 neuron.
Urutan perjalanannya dimulai dari reseptor perifer bersinaps dengan neuron
sensorik pertama yang melewati dorsal ganglion dan menuju medulla spinalis.
Setelah mencapai medulla spinalis, jaras bersinaps dengan neuron kedua dan
kemudian bersilang ke sisi sebelahnya dan memasuki traktur spinothalamikus
bagian anterior atau lateral. Jaras menaiki medulla spinalis hingga mencapai
thalamus dan kemudian bersinaps dengan neuron ketiga dan kemudian menuju
korteks sensorik.

Gambar 7. Traktus Kolumna Dorsalis dan Spinotalamikus Anterolateral

Traktus Spinoserebelaris
Traktus yang ketiga yang mengatur sistem somatosensorik adalah traktus
spinoserebelaris posterior dan anterior. Beberapa impuls aferen yang timbul di
organ sistem muskuloskeletal (otot, tendon dan sendi) berjalan melalui traktus
spinoserebelaris ke organ keseimbangan dan koordinasi, serebelum. Ada dua
traktus pada setiap sisi medulla spinalis, satu di bagian anterior dan satu lagi di
bagian posterior.
Pada traktus spinoserebelaris posterior, neuron primer menghantarkan impuls
dari spindel otot dan organ tendon. Setelah memasuki medulla spinalis, beberapa
serabut kolateral ini langsung membuat sinaps dengan neuron motorik yang besar
di kornu anterius medulla spinalis. Serabut kolateral lain yang muncul setingkat
vertebra torakal, lumbal, dan sakral berakhir di nukleus berbentuk tabung yang
terdapat di dasar kornu posterius setinggi vertebra C8-L2, dan memiliki nama
yang bervariasi, antara lain kolumna sel intermediolateralis, nukleus torasikus,
kolumna Clarke, dan nukleus Stilling. Neuron pasca-sinaps kedua dengan badan
sel yang terletak di nukleus ini merupakan asal traktus spinoserebelaris posterior.
Traktus spinoserebelaris posterior berjalan ke atas di dalam medulla spinalis sisi
ipsilateral di bagian posterior funikulus laterlis dan kemudian berjalan melalui
pedunkulus serebelaris inferior ke vermis cereberi. Serabut aferen yang muncul
setingkat servikal berjalan di dalam fasikulus kuneatus untuk membuat sinaps
dengan neuron kedua yang sesuai di nukleus kuneatus dan kemudian berjalan naik
ke serebelum.
Traktus spinoserebelaris anterior memiliki serabut aferen primer yang
memasuki medula spinalis membentuk sinaps dengan neuron funikularis di kornu
posterius dan di bagian sentral substansia grisea medula spinalis. Neuron kedua
ini, yang ditemukan setingkat segmen vertebra lumbalis bawah, merupakan sel
asal traktus spinosereblaris anterior, yang berjalan naik di dalam medula spinalis
baik di sisi ipsilateral maupun kontralateral dan berakhir di serebelum. Kebalikan
dengan traktus spinoserebelaris posterior, traktus ini menyilang di dasar ventrikel
ke empat ke otak tengah dan kemudian berbelok ke arah posterior untuk mencapai
vermis cerebeli.
Gambar 8.Traktus Spinoserebelaris

Traktus Motorik Medulla Spinalis


Traktus Kortikospinalis (traktus piramidalis)
Traktus ini berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui substansia alba
serebri (korona radiata), krus posterius kapsula interna, bagian sentral pedunkulus
serebri, ponsm dan basal medula. Tempat traktus ini terlihat sebagai penonjolan
kecil yang disebut sebagai piramid. Piramid medula terdapat satu pada masing-
masing sisi. Pada bagian ujung bawah medulla, 80-85% serabut piramidal
menyilang ke sisi lain di dekusasio piramidum. Traktus yang menyilang ini
disebut sebagai traktus kortikospinalis lateralis. Serabut yang tidak menyilang
disini berjalan menuruni medula spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai
traktus kortikospinalis anterior; serabut ini menyilang lebih di bawah melalui
komisura anterior medula spinalis. Pada tingkat servikal dan torakal,
kemungkinan juga terdapat beberapa serabut yang tetap tidak menyilang dan
mempersarafi neuron motorik ipsilateral di kornu anterius, sehingga otot-otot
leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral. Pada akhir jaras,
serabut traktus piramidalis bersinaps dengan interneuron, kemudian
menghantarkan impuls ke saraf perifer.
Gambar 9. Traktus Motorik Medulla Spinalis4

Traktus Kortikonuklearis (Traktus Kortikobulbaris)


Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari massa utama
traktus ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke dorsal menuju
nuklei nervi kranialis motorik. Serabut yang mempersarafi nuklei batang otak ini
sebagian menyilang dan sebagian lagi tidak menyilang. Nuklei yang menerima
input traktus piramidalis adalah nuklei yang memediasi gerakan volunter otot-otot
kranial melalui nervus kranialis V, nervus kranialis VII, nervus kranialis IX, X,
dan XI, serta XII.
Traktus kortikomesensefalikus berjalan bersamaan dengan traktus
kortikonuklearis. Traktus ini memediasi gerakan mata konjugat yang terdiri dari
nervus kranialis III, IV, dan VI.

2. Definisi dan klasifikasi parese 4,5


Parese adalah kelemahan atau hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau
lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian
yang terkena.
Klasifikasi :
a. Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau satu
ekstremitas bawah.
b. Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
c. Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas
atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
d. Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.

3. Definisi dan klasifikasi paraparese 4,5


Paraparese adalah kelumpuhan otot kedua ekstremitass bawah terutama pada
fungsi motorik.
Klasifikasi:
a. Paraparese spastic
Paraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor
neuron (UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau
hipertonus, hiperrefkleks, refleks patologis +, tidak ada atrofi otot, klonus
b. Paraparese flaksid
Paraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor
neuron (LMN), sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau
hipotonus, hiporefleks, refleks patologi -, atrofi otot, fasciculasi

4. Patofisiologi paraparese 1
Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jaras
kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot
bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla
spinalis pada tingkat servikal, misalnya C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan
UMN pada otot-otot, kedua lengan yang berasal dari miotoma C6 sampai
miotoma C8, lalu otot-otot toraks dan abdomen serta seluruh otot-otot kedua
tungkai.
Akibat terputusnya lintasan somatosensoris dan lintasan autonom
neurovegetatif asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi kebawah,
penderita tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak
memperlihatkan reaksi neurovegetatif.
Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau
tingkat lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa
dengan lesi yang terjadi pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi terjadi
gangguan motorik berupa kelumpuhan LMN pada otot-otot yang merupakan
sebagian kecil dari otot-otot toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang
terjadi tidak begitu jelas terlihat dikarenakan peranan dari otot-otot tersebut
kurang menonjol. Hal ini dikarenakan lesi dapat mengenai kornu anterior
medula spinalis. Dan dibawah tingkat lesi dapat terjadi gangguan motorik
berupa kelumpuhan UMN karena jaras kortikospinal lateral segmen thorakal
terputus.
Gangguan fungsi sensorik dapat terjadi karena lesi yang mengenai kornu
posterior medula spinalis maka akan terjadi penurunan fungsi sensibilitas
dibawah lesi. Sehingga penderita berkurang merasakan adanya rangsang taktil,
rangsang nyeri, rangsang thermal, rangsang discrim dan rangsang lokalis.
Gangguan fungsi autonom dapat terjadi karena terputusnya jaras ascenden
spinothalamicus sehingga inkotinensia urin dan inkotinensia alvi.
Tingkat lesi transversal di medula spinalis mudah terungkap oleh batas
defisit sensorik. Dibawah batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat ditemukan
pada kedua tungkai secara lengkap.
Paraparese dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen
dari medula spinalis dapat rusak secara sekaligus. Infeksi langsung dapat
terjadi melalui emboli septic, luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran
osteomielitis, atau perluasan dari proses meningitis piogenik. Istilah mielitis
tidak saja digunakan untuk proses peradangan pada medulla spinalis namun
juga digunakan apabila lesinya menyerupai proses peradangan dan disebabkan
oleh proses patologi yang mempunyai hubungan dengan infeksi, adanya tumor
baik tumor ekstramedular maupun intramedular serta trauma yang
menyebabkan cedera medulla spinalis.
5. Definisi dan klasifikasi trauma medulla spinalis 3,7
Adalah trauma pada tulang belakang yang menyebabkan lesi di medulla
spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan
kecacatan menetap atau kematian. Trauma medulla spinalis merupakan
keadaan darurat neurologi yang memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan
cermat untuk mengurangi angka kecacatan dan kematian

Klasifikasi medulla spinalis


Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu
berdasarkan skala impairment scale, dan berdasarkan tipe/ lokasi trauma
a. Klasifikasi Impairment Scale
Menurut American Spinal Injury Association, trauma medulla spinalis
dikategorikan dalam 5 tingkatan yaitu tingkat A, B, C, D, dan E.
Pembagiannya adalah sebagai berikut :
Grade Tipe Gangguan Medulla Spinalis
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik
sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik
terganggu sampai segmen S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level,
tapi otot-otot motorik utama masih
memiliki kekuatan <3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level,
otot-otot motorik utama memiliki
kekuatan >=3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
Tabel 1. Klasifikasi Cedera Spinal Menurut ASIA

b. Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma


Terdapat beberapa pembagian untuk klasifikasi ini, diantaranya sebagai
berikut :
1) Complete spinal cord injury (Grade A)
a) Unilevel
b) Multilevel
2) Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)
a) Cervico medullary syndrome
b) Central cord syndrome
c) Anterior cord syndrome
d) Posterior cord syndrome
e) Brown sequard syndrome
f) Conus medullary syndrome
3) Complete cauda equine injury (Grade A)
4) Incomplete cauda equine injury (Grade B,C,D)

Sindroma Kausa Utama Gejala Klinis


Brown-Sequard Trauma tembus, 1. Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan
Syndrome Kompresi LMN setinggi lesi
2. Gangguan eksteroseptif (nyeri dan suhu)
kontralateral
3. Gangguan proprioseptif (raba dan tekan)
ipsilateral
Sindroma Cedera yang 1. Paresis LMN setinggi lesi, UMN dibawah
Spinalis menyebabkan lesi
Anterior HNP pada T4-6 2. Dapat disertai disosiasi sensibilitas
3. Gangguan eksteroseptif, proprioseptif
normal
4. Disfungsi spinkter
Sindroma Hematomielia, 1. Paresis lengan > tungkai
Spinalis Sentral Trauma spinal 2. Gangguan sensorik bervariasi di ujung
Servikal distal lengan
3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual
Sindroma Trauma, infark 1. Paresis ringan
Spinalis arteri spinalis 2. Gangguan eksteroseptif punggung, leher,
Posterior posterior dan bokong
3. Gangguan propioseptif bilateral
Sindroma Trauma lower 1. Gangguan motorik ringan, simetris
Konus sacral cord 2. Gangguan sensorik, bilateral, disosiasi
Medullaris sensibilitas
3. Nyeri jarang, relative ringan, simetris,
bilateral pada perineum dan paha
4. Refleks Achilles -, patella +,
bulbocavernosus -, anal –
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan ejakulasi.
Sindroma Cedera akar saraf 1. Gangguan motorik sedang sampai berat,
Kauda Equina lumbosakral asimetris
2. Gangguan sensibilitas, asimetris, tidak ada
disosiasi sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat, asimetris
4. Gangguan reflex bervariasi
5. Gangguan spinkter timbul lambat, ringan,
jarang terdapat disfungsi seksual
Tabel 2. Klasifikasi Menurut Tipe dan Lokasi Trauma
Gambar 10. Potongan Melintang Medulla Spinalis dengan Sindromanya

6. Manifestasi lesi traumatik medula spinalis 8


a. Komosio Medula Spinalis
Komosio medula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medula
spinalis hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai
fraktur atau dislokasi. Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu
beberapa menit hingga beberapa jam / hari tanpa meninggalkan gejala sisa.
Kerusakan reversibel yang medasari komosio medula spinalis berupa
edema, perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh
darah. Pada inspeksi makroskopik medula spinalis tetap utuh. Bila
paralisis total dan hilangnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka
kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medula
spinalis lebih mengarah ke perubahan anatomik daripada fisiologik.
b. Kontusio Medula Spinalis
Berbeda dengan komosio medula spinalis yang diduga hanya merupakan
gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan anatomik makroskopik, maka
pada kontusio medula spinalis didapati kerusakan makroskopik dan
mikroskopik medula spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan (edema),
perubahan neuron, reaksi peradangan. Perdarahan didalam substansia alba
memperlihatkan adanya bercak-bercak degenerasi Waller dan pada kornu
anterior terjadi hilangnya neuron yang diikuti proliferasi mikroglia dan
astrosit.
c. Laserasio Medula Spinalis
Pada laserasio medula spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat
diskontinuitas medula spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka
tembak atau bacok/tusukan, fraktur dislokasi vertebra.
d. Perdarahan
Akibat trauma, medula spinalis dapat mengalami perdarahan epidural,
subdural maupun hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat
terjadi akibat trauma maupun akibat anestesia epidural dan sepsis.
Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang relatif ringan tetapi segera
diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medula spinalis. Kedua
keadaan diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah
perdarahan di dalam substansia grisea medula spinalis. Perdarahan ini
dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash atau trauma tidak
langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi
berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medula
spinalis di bawah lesi, yang sering menyerupai lesi transversal. Tetapi
setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat
perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis dan posterior medula
spinalis. Hal ini menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella
sebagai berikut : terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan
dibawah lesi terdapat paresis spastik, dengan utuhnya sensibilitas nyeri
dan suhu serta fungsi funikulus posterior.
e. Kompresi Medula Spinalis
Kompresi medula spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun
perdarahan epi dan subdural. Gambaran klinisnya sebanding dengan
sindrom kompresi medula spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam
kanalis vertebralis. Akan didapati nyeri radikuler, dan paralisis flaksid
setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi. Akibat hiperekstensi,
hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash) radiks saraf
tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian, dan
menimbulkan nyeri radikuler spontan. Dulu gambaran penyakit ini dikenal
sebagai hematorakhis, yang sebenarnya lebih tepat dinamakan neuralgia
radikularis traumatik yang reversibel. Di bawah lesi kompresi medula
spinalis akan didapati paralisis spastik dan gangguan sensorik serta
otonom sesuai dengan derajat beratnya kompresi. Kompresi konus
medularis terjadi akibat fraktu-dislokasi vertbra L1, yang menyebabkan
rusaknya segmen sakralis medula spinalis. Biasanya tidak dijumpai
gangguan motorik yang menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik pada
segmen sakralis yang terutama mengenai daerah sadel, perineum dan
bokong.
Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio
urine serta pada pria terdapat impotensi. Kompresi kauda ekuina akan
menimbulkan gejala, yang bergantug pada serabut saraf spinalis mana
yang terlibat. Akan dijumpai paralisis flaksid dan atrofi otot. Gangguan
sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat.Kompresi pada saraf
spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilangnya
kontrol volunter vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.

7. Penatalaksanaan trauma medulla spinalis 7


a. Tatalaksana Pre Hospital
Untuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu
diperhatikan tatalaksana di saat sebelum masuk rumah sakit seperti halnya
melakukan stabilisasi secara manual, membatasi gerakan fleksi dan
gerakan lainnya, memberikan penanganan imobilitas vertebra dengan
kolar leher atau brace vertebral.
b. Tatalaksana di Unit Gawat Darurat
Saat pasien sampai di UGD, wajib diperiksa ABC (airway, breathing,
circulation), bila pernafasan terganggu dapat dipasang intubasi
endotrakeal atau pemasangan alat bantu nafas lainnya supaya oksigenasi
adekuat. Perlu dinilai juga apabila pasien memiliki kemungkinan fraktur
servikal, maka kerah fiksasi leher harus terpasang terlebih dahulu.
Bila mendapatkan tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan
antara syok hipovolemik dan syok neurogenik. Pada syok hipovolemik
didapati tanda hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin. Sedangkan pada
syok neurogenik didapati tanda hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat.
Pada syok hipovolemik harus dipertimbangkan untuk pemberian cairan
kristaloid (NaCl 0,9% / Ringer Laktat), bila perlu diberikan koloid. Pada
syok neurogenik, pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi, maka
harus diberikan obat vasopressor seperti dopamine, adrenalin 0,2 mg
subkutis, dan boleh diulangi setiap 1 jam.
Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin
dan mencegah retensi urin. Pemasangan pipa naso-gastrik juga dapat
dilakukan dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi dan
demi kepentingan nutrisi secara enteral.
Segera lakukan pemeriksaan status generalis dan neurologis guna
membuat diagnosis dan menentukan tatalaksana selanjutnya. Bila terdapat
kelainan tulang servikal, pasang collar neck. Korset torakolumbal atau
lumbal juga dapat dipasang pada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis
bagian torakal dan lumbal. Pemeriksaan penunjang dapat segera dilakukan
setelah keseluruhan hal tersebut diatas telah dilakukan.
Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat
diberikan kortikosteroid metilprednisolon 30 mg/KgBB intravena bolus
selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit, kemudian diberikan infuse
terus menerus metilprednisolon selama 24 jam dengan dosis 5.4
mg/KgBB/jam. Bila diagnosis baru ditegakkan dalam 3-8 jam, maka
cukup diberikan metilprednisolon dalam infuse untuk 48 jam. Bila
diagnosis baru diketahui setelah 8 jam, maka pemberian metilprednisolon
tidak dianjurkan.
c. Tatalaksana di Ruang Rawat
Prinsip utama dalam perawatan pasien dengan trauma servikal adalah
dengan terus menjaga terapi ABC. Perawatan umum lain seperti penjagaan
suhu tubuh dan mengenai miksi juga perlu diperhatikan.
Untuk terapi medikamentosa, metilprednisolon dapat terus diberikan
guna mencegah proses kerusakan sekunder. Obat-obatan penunjang lain
seperti anti spastisitas otot dapat diberikan sesuai keadaan klinis. Pasien
yang mengeluh kesakitan dapat juga diberi obat analgetik. Pemberian
antikoagulan dapat diberikan untuk mencegah adanya thrombosis vena
dalam.
Untuk kasus-kasus dengan infeksi, antibiotik perlu dipertimbangkan.
Antioksidan dapat diberikan pada setiap pasien trauma spinalis.
Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai dengan 3
minggu pasca trauma. Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih
bermakna menurunkan perburukan neurologis, komplikasi, dan keluaran
skor motorik satu tahun pasca trauma. Terapi bedah bertujuan untuk
mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia diskus, dan
menstabilisasi vertebra guna mencegah nyeri kronis.
Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang
menekan medulla spinalis, gambaran neurologis yang progresif
memburuk, fraktur atau dislokasi yang labil, terjadinya herniasi diskus
intervertebralis yang menekan medulla spinalis.

8. Tujuan pengobatan pada trauma medula spinalis7


a. Menjaga sel yang masih hidup agar terhindar dari kerusakan lanjut
b. Eliminasi kerusakan akibat proses patogenesis sekunder
c. Mengganti sel yang rusak
d. Menstimulasi pertumbuhan akson dan koneksitasnya
e. Memaksimalkan penyembuhan neurologis
f. Stabilisasi vertebrae
g. Neurorestorasi dan neurorehabilitasi untuk mengembalikan fungsi tubuh
9. Komplikasi trauma medulla spinalis 1,9,10,11
a. Ulcer decubitus: Merupakan komplikasi paling utama pada cedera medulla
spinalis. Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi pada daerah
pinggul (ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada cedera
medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan sensasi
saja, tapi juga peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan berkurang.
b. Osteoporosis dan fraktur : Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla
spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang normal,
tulang akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang
menumpu. Ketika aktifitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak
melakukan aktifitas menumpu berat badan, maka mulai terjadi penurunan
kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang berkurang.
c. Pneumonia, atelektasis, aspirasi : Pasien dengan cedera medula spinalis di
bawah Th4, akan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi
paru. Terjadi pada 10 tahun dalam cedera medulla spinalis dan dapat
progresif sesuai keadaan.
d. Deep Vein Trombosis (DVT) : Merupakan komplikasi terberat dalam
cedera medula spinalis, yaitu terdapat perubahan dari kontrol neurologi
yang normal daripada pembuluh darah.
e. Cardiovasculer disease: Komplikasi dari sistem kardiorespirasi merupakan
resiko jangkapanjang pada cedera medulla spinalis.
f. Syringomyelia: Berpengaruh pada spasme, phantom sensation, perubahan
refleks dan autonom visceral.
g. Neuropatic pain: Merupakan masalah yang penting dalam cedera medulla
spinalis. Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis.
Kerusakan pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di sekitarnya
dapat berakibat rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya pasien akan
merasakan terdapat phantom limb pain atau nyeri yang menjalar pada level
lesi ke inervasinya
h. Perubahan Tonus Otot: Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah
paralysis dari otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang terkena.
Kerusakan dapat mengenai traktus descending motorik, AHC, dan saraf
spinalis, atau kombinasi dari semuanya. Saat mengenai traktus descending,
akan terjadi flaccid dan hilangnya refleks. Kemudian kondisi tersebut akan
diikuti dengan gejala autonom seperti berkeringat dan inkontinensia dari
bladder dan bowel. Dalam beberapa minggu akan terjadi peningkatan
tonus otot saat istirahat, dan timbulnya refleks.
i. Komplikasi Sistem respirasi: Bila lesi berada di atas level C4 akan
menimbulkan paralysis otot inspirasi sehingga biasanya penderita
membutuhkan alat bantu pernafasan, hal tersebut disebabkan gangguan
pada n. intercostalis. Komplikasi pulmonal yang terjadi pada lesi disegmen
C5 – Th 12, timbul karena adanya gangguan pada otot ekspirasi yang
mendapat persarafan dari level tersebut, seperti m. adbominalis dan m.
intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis juga menghambat
kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan sekret.
j. Kontrol Bladder dan Bowel : Pusat urinaris pada spinal adalah pada conus
medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen secral. Selama
fase spinal shock, bladder urinary menjadi flaccid. Semua tonus otot dan
refleks pada bledder hilang. Lesi di atas conus medullaris akan
menimbulkan refleks neurogenic bladder berupa adanya spastisitas,
kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot detrusor, dan refluks urethral.
Lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak adanya refleks bladder,
akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dan sphincter
utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada bladder ditambah dengan
adanya lesi pada cauda equina.
k. Respon Seksual : Respon seksual berhubungan langsung dengan level dan
complete atau incompletenya trauma. Terdapat dua macam respon,
reflekogenic atau respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat pada
penderita dengan lesi UMN, dan pshycogenic, dimana timbul melalui
aktifitas kognisi seperti fantasi, yang berhubungan dengan lesi pada LMN.
Pria dengan level lesi yang tinggi dapat mencapai reflexive erection, tapi
bukan ejakulasi. Pada lesi yang lebih ke bawah ia dapat lebih cepat untuk
ejakulasi, tetapi kemampuan ereksinya sulit. Lesi pada cauda equina tidak
memungkinkan terjadinya ejakulasi ataupun ereksi.
l. Menstruasi biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak
terhambat, tapi kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada trisemester
terakhir. Persalinan akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu hamil akibat dari
hilangnya sensasi, dan persalinan diawali dengan dysrefleksia autonomik.

10. Prognosis pasien dengan trauma medulla spinalis7


Prognosis tergantung pada:
a. Lokasi lesi (lesi servikal atas prognosis lebih buruk)
b. Luas lesi (komplit/inkomplit)
c. Tindakan dini (prehospital dan hospital)
d. Trauma multiple
e. Faktor penyulit (komorbiditas)

11. Diagnosis banding8


1. Komosio medulla spinalis
Fungsi MS hilang sementara sembuh sempurna bbrp menit, (48 jam)/hari
tanpa gejala sisa. Terdapat Edema, perdarahan perivaskuler kecil-kecil,
infark disekitar pembuluh darah.
2. Kontusio medulla spinalis
Terdapat kerusakan makro yaitu edema, perdarahan, reaksi peradangan,
degenerasi wallerian, kerusakan neuron cornu anterior.
3. Laserasio medulla spinalis
Kerusakan berat menyebabkan diskontinuitas MS. Jenis trauma :Tembak,
bacok / tusuk, fraktur dislokasi
4. Perdarahan medulla spinalis
Perdarahan epidural dan subdural akibat trauma, anestesi epidural, sepsis.
Trauma ringan tetapi segara diikuti paralisis flaccid berat karena
penekanan pada medulla spinalis. Hematomiella adalah perdarahan di
dalam substansia grisea medulla spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi
akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash atau trauma tidak langsung
misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri/duduk.
terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan dibawah lesi
terdapat paresis otot, dengan utuhnya sensibilitas nyeri dan suhu serta
fungsi funikulus posterior.
5. Kompresi medulla spinalis
Kompresi MS
a. Setinggi kerusakan lesi
Kelumpuhan LMN akibat kompresi radiks oleh hiperekstensi,
hiperfleksi, dislokasi, fraktur, lecutan (whiplash). Lecutan C5-7
menyebabkan nyeri radikuler ireversibel
b. Di bawah lesi
Kelumpuhan UMN, gangguan sensorik segmental, gangguan otonom
c. Kompresi Konus MS
Akibat fraktur dislokasi LI terjadi kerusakan segmen sacral. Gejala
klinik: tidak ditemukan kelumpuhan, gangguan sensorik daerah sadel,
perineum, bokong, gangguan otonom yaitu retensi urine dan inpotensi.
d. Kompresi Kauda Equina
Gejala klinik: Kelumpuhan LMN asimetrik, atrofi otot, gangguan
sensorik sesuai dermatom terlibat, gangguan otonom : retensi urine,
inkontinensia alvi, impotensi
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P. 2009. Neurologi klinis dasar. Jakarta: PT. Dian


Rakyat
2. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta : EGC
3. Baehr M, Frotscher M. 2010. Diagnosis topic neurologi Duss: anatomi,
fisiologi, tanda, gejala. Alih bahasa, Alifa Dimanti; editor edisi bahasa
Indonesia, Wita J. Suwono. Edisi 4. Jakarta : EGC
4. Ropper, A. H., & Brown, R. H. (2005). Adams and Victor Principles of
Neurology, Eight Edition. New York : Mc Graw Hill.
5. Bromley, I. (2006). Tetraplegia and Paraplegia, A Guide for Physiotherapists.
China : Elsevier.
6. Ropper, A. H., & Brown, R. H. (2005). Adams and Victor Principles of
Neurology, Eight Edition. New York : Mc Graw Hill.
7. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta : Perdossi ; 2006
8. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of
Neurology, 7th ed. McGraw-Hill, New York, 2001.
9. ASIA. Spinal cord injury. 13 Januari 2008. Diunduh dari: http://sci.rutgers.edu.
2008.
10. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives.
Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical
Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord
Medicine. Vol. 31. 2006.
11. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23.
12. Bintang K. Penyakit Medula Spinalis. Bahan ajar mata kuliah neuropsikiatri.

Anda mungkin juga menyukai