Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Spasmofili merupakan suatu keadaan hiperiritabilitas atau


hipereksitabilitas susunan saraf, yang disebabkan oleh karena gangguan
keseimbangan elektrolit, antara lain, ion kalsium dan ion magnesium dengan
manifestasi klinik kejang otot dan berbagai gejala neurasthenia berupa nyeri
kepala, gelisah, gangguan gastrointestinal, palpitasi, parestesia, sinkop serta
kejang tonik.1-4

Tetani laten atau spasmofilia merupakan keadaan dimana saraf sangat peka
terhadap keadaan iskemik (tanda Trousseau, spasme karpal), perkusi saraf (tanda
Chvostek), stimulasi listrik (tanda Erb) atau alkalosis (spasme karpal) dan tanda-
tanda ini sangat umum didapat pada orang-orang yang mengalami tetani oleh
sebab apapun.1-3 Penderita sangat mudah untuk mengalami spasme, tetani dan
kejang. Di sini keadaan hiperiritatif neuromuskuler merupakan sifat dasar
spasmofilia.

Spasmofilia dapat dideteksi dengan baik oleh elektromiografi. Pada


pemeriksaan elektromiografi stimulus atau rangsangan akan menimbulkan suatu
potensial berupa gelombang listrik. Intensitas rangsangan supra maksimal yang
berbeda dapat memberi gelombang potensial listrik yang berbeda pula.

Berikut dilaporkan kasus seorang perempuan usia dewasa muda dengan


keluhan kejang kaku pada ujung-ujung dari kedua lengan dan tungkai yang setelah
di lakukan pemeriksaan elektromiografi, pasien di diagnosis dengan suatu
spasmofilia.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. W
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 23 tahun
Pekerjaan : Pegawai
Alamat : Palembang
Tanggal Pemeriksaan : 6 Maret 2019

2.2 Anamnesis
Penderita datang ke bagian neurologi RSMH karena mengalami kejang
kaku pada ujung-ujung kedua tangan dan kaki.
Sejak 3 bulan os mengeluh sering merasakan kejang kaku pada ujung-
ujung kedua tangan dan kaki. Keluhan ini dirasakan semakin sering sehingga
menganggu aktivitas sehari-hari. Kejang berupa kaku durasi lebih dari 10 menit,
frekuensi sering, bisa timbul keluhan kejang kaku lebih dari 2 kali dalam sehari.
Keluhan ini dirasakan hilang timbul, terutama timbul pada saat os kelelahan atau
pada saat banyak pikiran. Mata mendelik ke atas tidak ada, mulut berbusa tidak
ada, lidah tergigit tidak ada, penurunan kesadaran tidak ada. Sebelum kejang os
sadar, saat kejang os sadar, setelah kejang os sadar. Kelemahan sesisi tubuh tidak
ada, mulut mengot tidak ada. Sebelumnya os sering megeluh sakit kepala yang
dirasakan hilang timbul, dengan sifat seperti berdenyut, mual ada namun tidak ada
muntah, nyeri didaerah ulu hati terkadang sering dirasakan dan makin memberat
apabila os mengalami kecemasan dan kelelahan. Gangguan sensibilitas berupa
kesemutan sering dirasakan dikedua tangan dan kaki. Keluhan sulit tidur tidak
ada, gangguan menelan tidak ada, BAB cair tidak ada.
Riwayat kejang sebelumnya tidak ada, riwayat kejang pada saudara
sekandung tidak ada, riwayat menstruasi teratur, riwayat persalinan secara normal
lahir cukup bulan, tumbuh kembang baik. Riwayat mengkonsumsi obat-obat an

2
tidak ada, Riwayat sakit jantung tidak ada, riwayat darah tinggi tidak ada, riwayat
kencing manis tidak ada.
Keluhan ini dialami untuk pertama kalinya.

2.3. Pemeriksaan Fisik


2.3.1. Status Generalis
Kesadaran : E4M6V5
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 74x/menit
Pernafasan : 18x/menit
Suhu tubuh : 36,80C
SpO2 : 99%
Berat badan : 55 kg
Tinggi : 160 cm
Status gizi : cukup
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), edema
palpebra (-)
Leher : JVP (5-2) cmH 2 0, pembesaran KGB (-)
Paru-paru : Statis dan dinamis simetris, vesikuler (+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)
Jantung : Ictus cordis tidak terlihat dan teraba, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen : Lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, bising usus
normal, shifting dullness (-)
Genitalia : Tidak ada kelainan
Extremitas : Edema pretibial (-/-)

3
2.3.2 Status Neurologis

N. I Tidak ada kelainan


N. II VOD : 6/6 VOS : 6/6
N. III Pupil bulat, isokor, Reflek Cahaya +/+ diameter
pupil ka-ki 3 mm/3 mm

N. III,
IV, VI

OD OS
Trismus (-), refleks menggigit (+), sensorik dahi, pipi, dagu
N. V
tidak ada kelainan
N. VII Lipatan dahi simetris, lagoftalmus (-), plica
nasolabialis simetris, sudut mulut tidak tertinggal
N. VIII Tinitus (-), Nistagmus (-)
N. IX, X Arcus pharynx simetris, uvula di tengah, refleks
muntah (+)
N. XI Tortikolis (-), mengangkat bahu simetris
N. XII Deviasi lidah tidak ada, disatria tidak ada

Fungsi Motorik:
Penilaian Lengan Lengan kiri Tungkai kanan Tungkai kiri
kanan
Gerakan C C C C

Kekuatan 5 5 5 5
Tonus

Klonus - -
Refleks fisiologis

Refleks patologis - - - -

4
Fungsi Sensorik : parasthesia
Fungsi Vegetatif : tidak ada kelainan
Fungsi Luhur : tidak ada kelainan
GRM : Kaku kuduk (-), Neck sign (-) , Cheek sign (-), Lasseque
(-/-), Kerniq (-/-), Brudinski I (-/-), Brudinski II (-/-),
Sympisis sign (-)
Gerakan abnormal : tidak ada
Gait dan Keseimbangan : tidak ada kelainan

Pemeriksaan tambahan di dapatkan :


Tanda Chvosteck’s (+)

2.4. Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Hasil Pemeriksaan ENMG :
Pada pemeriksaan KHS lengan dan tungkai kiri didapatkan hasil :
KHS motorik N. Medianus normal, amplitudo normal, distal latensi normal
KHS motorik N. Ulnaris normal, amplitudo normal, distal latensi normal
KHS motorik N. Tibialis normal, amplitudo normal, distal latensi normal
KHS motorik N. Peroneal normal, amplitudo normal, distal latensi normal
KHS sensorik N. Medianus normal, amplitudo normal, distal latensi normal
KHS sensorik N. Ulnaris normal, amplitudo normal, distal latensi normal
KHS sensorik N. Suralis normal, amplitudo normal, distal latensi normal

Pada tes iskemik didapatkan gelombang patologis berupa duplet, triplet, multiplet
dan obstetrik hand
Pada tes hiperventilasi didapatkan gelombang patologis berupa duplet, triplet,
multiplet dan obstetrik hand

2.5 Diagnosis
Diagnosis klinis : Spasme otot
Paresthesia

5
Diagnosis topik : Neuromuscular junction
Diagnosis etiologi : Spasmofilia
Dd/ :
- Epilepsi idiopatik
- Psikogenik

2.6 Penatalaksanaan
Non Farmakologi
- Cek Laboratorium (darah rutin, darah kimia, elektrolit, fungsi tiroid)
- Pemeriksaan ENMG
- Rencana konsul psikologi

Farmakologi
Terapi disesuaikan dengan etiologi

2.7 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Spasmofili


Spasmofili merupakan suatu keadaan hiperiritabilitas atau
hipereksitabilitas susunan saraf, yang disebabkan oleh karena gangguan
keseimbangan elektrolit, antara lain: ion kalsium dan ion magnesium dengan
manifestasi klinik kejang otot dan berbagai gejala neurasthenia berupa; nyeri
kepala, gelisah, gangguan gastrointestinal, palpitasi, parestesia, sinkop serta
kejang tonik.1-4

Tetani laten atau spasmofilia merupakan keadaan dimana saraf sangat peka
terhadap keadaan iskemik (tanda Trousseau, spasme karpal), perkusi saraf (tanda
Chvostek), stimulasi listrik (tanda Erb) atau alkalosis (spasme karpal) dan tanda-
tanda ini sangat umum didapat pada orang-orang yang mengalami tetani oleh
sebab apapun.1-3 Penderita sangat mudah untuk mengalami spasme, tetani dan
kejang. Di sini keadaan hiperiritatif neuromuskuler merupakan sifat dasar
spasmofilia. Pada keadaan spasmofilia ditemukan hipokalsemi sebagai inti
gangguan pada susunan saraf, walaupun pada keadaan tetani laten yang idiopatik
kadar kalsium dalam darah hampir selalu normal sehingga bentuk ini dinamakan
juga spasmofilia.

Keadaan hiperiritatif susunan saraf pada spasmofilia sangat mencolok, hal


ini tampak bahwa kekuatan listrik galvanik terkecil masih memberikan suatu
reaksi. Spasmofilia dapat dideteksi dengan baik dengan elektromiografi. Pada
pemeriksaan elektromiografi stimulus atau rangsangan akan menimbulkan suatu
potensial berupa gelombang listrik. Intensitas rangsangan supra maksimal yang
berbeda dapat memberi gelombang potensial listrik yang berbeda pula.

7
3.2 Etiologi

Meskipun pengaruh faktor-faktor psikik sangat jelas, namun tidak dapat


dianggap sebagai suatu penyakit neurotic atau neurastenik. Dengan ditemukannya
hipokalsemia dan hipomagnesia pada penderita spasmofilia harus dipikirkan
adanya suatu gangguan metabolik dari kation-kation tersebut pada susunan saraf
sebagai inti gangguannya.

Hipokalsemia dapat disebabkan oleh keadaan-keadaan defisiensi vitamin


D, defisiensi hormon paratiroid, pancreatitis akut, hiperfosfatemia, defisiensi
magnesium, sekresi berlebih hormone adrenokortikal, keganasan, sindrom
nefrotik, obat-obatan, transfuse darah, kehilangan kalsium melalui urin, kondisi
alkalosis (alkali, hiperventilasi, obstruksi saluran cerna), kebutuhan kalsium yang
meningkat dan sepsis.

3.3 Patofisiologi Spasmofili

Di dalam terminal syaraf, terdapat sejumlah paket atau quanta asetilkolin


(ACh). Masing-masing paket terdiri dari 10.000 molekul, yang dilepaskan melalui
proses eksositosik dengan kedatangan potensial aksi. Adanya impuls elektrik
membuka calcium channels di membran presinaptik, yang bekerja
menggabungkan paket asetilkolin ke membran dan melepaskannya. Molekul
asetilkolin berdifusi ke dalam celah sinaps dan berikatan dengan reseptor
membran postsinaptik. Masing-masing impuls melepaskan sekitar 200 quanta
ACh dan menghasilkan suatu depolarisasi untuk menginisiasi potensial aksi di
dalam otot. Depolarisasi ini dikenal sebagai end-plate potential. Membran post
sinaptik, sesaat setelah terdepolarisasi, refrakter untuk potensial aksi lainnya
hingga terrepolarisasi. Ikatan ACh dengan reseptor membran postsinaptik
dihidrolisis oleh cholinesterase. Suatu enzim glikoprotein yang berada dalam
bentuk bebas pada celah sinaps.5,6

Sarkolema, transverse tubules, dan retikulum sarkoplasma berperan dalam


mengatur aktifitas serabut otot. Setelah stimulasi syaraf, potensial aksi ditransmisi
oleh sarkolema. Depolarisasi menyebar cepat sepanjang dinding transverse

8
tubules dengan potensial aksi terkonduksi. Depolarisasi ini merubah konformasi
voltage-sensitive calcium channel di membran transverse tubules, lalu kalsium
keluar dari retikulum sitoplasma dan membanjiri sitoplasma. Pada saat istirahat,
tropomyosin mengganggu formasi jembatan antara myosin dan aktin. Kalsium
yang terlepas berikatan dengan protein troponin, interaksi ini menggeser posisi
tropomyosin di molekul aktin, menyebabkan myosin mudah bergabung dengan
molekul aktin. Cross-bridges myosin-aktin terbentuk, menarik filamen aktin
melalui filamen myosin, lalu terjadi kontraksi. Bergabungnya myosin dan aktin
sehingga menimbulkan kontraksi, membutuhkan hidrolisis dari satu molekul
ATP.5,6

Tanpa adanya potensial aksi otot, kalsium disekuestirasi kembali ke dalam


retikulum sarkoplasma melalui transport aktif yang bergantung pada ATP.
Perpindahan kalsium dari troponin menyebabkan tropomyosin kembali ke posisi
istirahat, dan ototpun menjadi relaksasi.5,6

Kelemahan otot difus atau kedutan otot, spasme dan kram biasanya
berhubungan dengan abnormalitas elektrolit serum. Gangguan-gangguan ini
menggambarkan konsentrasi elektrolit pada cairan intra dan ekstraselluler.
Apabila konsentrasi plasma potasium menurun dibawah 2,5 mEq/L atau
meningkat lebih dari 7 mEq/L, menyebabkan kelemahan otot ekstremitas dan
trunkus. Apabila konsentrasinya dibawah 2 mEq/L atau di atas 9 mEq/L, hampir
selalu terjadi paralysis flaksid pada otot-otot ini dan otot respirasi. Refleks tendon
juga menurun atau hilang. Hipokalsemia 7 mg/dl atau kurang (seperti pada
riiketsia atau hipoparatiroid) atau penurunan relatif ion kalsium ( seperti pada
hiperventilasi) menyebabkan meningkatnya iritabilitas otot dan pelepasan spontan
serabut syaraf sensorik dan motorik (misalnya tetani) dan kadang konvulsi.
Hiperkalsemia lebih dari 120 mg/dl (seperti terjadi pada intoksisitas vitamin D,
hiperparatiroid, keganansan, sarcoid dan multiple myeloma) menyebabkan
kelemahan dan letargi. Rendahnya konsentrasi magnesium plasma juga dapat
menyebabkan tremor, kelemahan otot, spasme otot tetanik dan konvulsi;

9
peningkatan level magnesium menyebabkan kelemahan otot dan depresi fungsi
syaraf sentral.5

Meskipun hipokalsemia dan hipomagnesemia secara klinik menyebabkan


iritabilitas neuromuskular dan abnormalitas pada elektromyografi, tetapi
mekanismenya berbeda. Chutkow telah memberikan keterangan bahwa meskipun
berkurangnya magnesium memberikan efek elektrefisiologi akson syaraf yang
sama dengan yang terjadi pada kurangnya kalsium, tetapi efek kalsium lebih
banyak dari pada efek magnesium pada hal ini. Kalsium pada dasarnya terlibat
dalam potensial dan stabilitas membran syaraf; efek depresif hiperkalsemia
disebabkan oleh hiperpolarisasi membran syaraf, menurunkan keadaan sodium
dan peningkatan ambang depolarisasi. Dengan hipokalsemia, terjadi peningkatan
depolarisasi sebagai respon dari lambatnya depolarisasi dan hilangnya akomodasi.
Sebagai hasilnya syaraf perifer discharge secara spontan. Magnesium
menghasilkan efek neuromuskular utamanya pada myoneural junction. Dalam hal
ini, kalsium dan magnesium antagonistik. Kalsium meningkatkan pelepasan
asetilkolin dan magnesium menghambatnya. Sebagai tambahan, sensitifitas motor
end plate menurun oleh tingginya konsentrasi magnesium karena konsentrasi
tinggi juga memiliki efek aktivasi kolinesterasi. Jadi, hipokalsemia memberikan
dua efek yaitu meningkatkan eksitabilitas syaraf perifer, tetapi menurunkan
pelepasan neurotransmitter (asetilkolin) ke dalam ruang sinaptik myoneural.
Diduga bahwa hipokalsemia yang dirangsang oleh supresi transmisi
neuromuskular mungkin diakibatkan oleh meningkatnya ACh akibat dari defisit
magnesium. Meningkatnya transmitter menambah kecenderungan untuk
berulangnya depolarisasi sarkolema dan kontraksi otot. Baik hipokalsemia atau
hipomagnesemia dapat menimbulkan gambaran EMG hiperventilasi/iskemia yang
abnormal.7

Hipokalsemia yang sering terjadi pada spasmofili atau tetani laten terjadi
akibat kelainan sistem regulasi homeostatik konsentrasi kalsium darah. Di dalam
darah 45% total kalsium darah terikat dengan albumin, 10% sebagai ion kompleks
dan 45% sisanya dalam bentuk ion. Fraksi ion diatur oleh hormon paratiroid dan

10
vitamin D, ini ternyata sangat berpengaruh terhadap fungsi neuromuskular dan
neuropsikiatrik secara fisiologis dan klinis, hipokalsemi sering terjadi karena
kekurangan hormon paratiroid, vitamin D, metabolit aktifnya atau respon yang
abnormal dari tulang, usus dan ginjal (target organ).8

Pada keadaan hiperventilasi yang berlebihan dapat menyebabkan alkalosis


dan hal ini akan menyebabkan ion kalsium dalam darah menurun, hipokalsemia
ini akan mengakibatkan iritabilitas saraf meningkat. Menurut DSM-IV, sindroma
hiperventilasi tergolong pada reaksi ansietas panic atau neurosis ansietas. Pada
orang dewasa prevalensi hiperventilasi sindrom sekitar 2-4%, terutama mengenai
wanita. Perbandingan dengan laki-laki = 4:1, sehingga diperkirakan faktor
hormonal memegang peran yang cukup penting.8

Menurut Burke dalam penelitiannya, ansietas yang menginduksi


hiperventilasi akan menimbulkan hipokapnia dan hipokalsemia, keadaan ini akan
menimbulkan spasme otot, tetani dan paresthesi. Pada sindroma hiperventilasi
terjadi alkalosis, sehingga Ca-ion diikat yang berakibat terjadi suatu hipokalsemia
Hal ini terjadi bila PCO2 turun sampai 20 mmHg, tapi aktifitas EMG spontan baru
tampak bila PCO2 turun lagi sampai 4 mmHg. Penurunan ini akan meningkatkan
eksitabilitas aksonal, dan perubahan ini terjadi sebelum timbulnya gejala
paresthesi maupun tetani yang relatif.8

Hiperiritabilitas sistim saraf dapat terjadi pada sistim saraf otonom


maupun somatik, dimana gejala klinik sistim saraf otonom meliputi sistim
simpatis berupa parestesi dan akral dingin pada ekstremitas dan sistim
parasimpatis berupa nyeri epigastrium dan nyeri dada. Sedangkan gejala klinis
sistim saraf somatik meliputi kelemahan otot, mialgia karena spasme otot kronis,
spasme akut (kram otot dan karpopedal spasme) dan tanda chovstek positif. Dan
hiperiritabilitas sistim saraf cenderung menurun dengan makin meningkatnya
usia.8

Tempat asal aktivitas tetani masih diselidiki, yang jelas bahwa tempatnya
bukanlah pada otot itu sendiri dan diduga jaringan saraf yang berperan dalam

11
aktivitas tetani adalah pusat spinal, motor end plate atau motor neuron di kornu
anterior, sedangkan para psikolog menganggap bahwa hiperiritabel
neuromuskuler merupakan suatu fenomena perifer yang meliputi motor neuron
sampai motor end plate. Konsentrasi kalsium pada cairan serebrospinalis ternyata
tetap konstan pada keadaan hipokalemi dan hiperkalsemi, di sini mungkin factor
lain berperanan penting dalam mengatur jumlah kalsium pada jaringan otak.
Perubahan kadar kalsium ternyata tidak menunjukkan perubahan pada
elektroensefalografi. Keluhan neurologi atau neuromuskuler paling sering sebagai
manifestasi dari keadaan hipokalsemi kronis yang tidak diobati.

3.4 Gambaran Klinis dari Spasmofili


Manifestasi klinis tetani yaitu spasme dan kontraksi tonik otot skeletal,
terutama otot distal ekstremitas. Dapat terjadi kontraksi otot pergelangan tangan,
tangan, dan jari, akibatnya terjadi spasme karpal (yang dikenal dengan obstetrical
hand atau accoucheur’s hand), dan otot kaki dan jari kaki, menyebabkan spasme
pedal. Adanya hiperiritabilitas dari seluruh system syaraf perifer, begitu juga otot-
otot, bahkan dengan stimuli yang minimal. Apabila syaraf sensorik terkena dapat
menyebabkan parestesi tangan, kaki dan daerah perioral. Dapat juga terjadi
iritabilitas otot wajah dan konvulsi.9

Gejala klinis yang sering dikeluhkan sangat bervariasi dan tidak khas
misalnya: spasme laring, spasme karpopedal, epilepsi, migren, psikosis, nyeri
perut, nyeri kepala, kelelahan, emosi labil, vertigo, nyeri haid, kram otot dan lain-
lain. Serangan yang khas biasanya didahului oleh perasaan tingling pada
ekstremitas terutama tangan dan daerah mulut disertai oleh parestesi di bibir dan
lidah. Perasaan tingling ini bertambah nyata dan menyebar ke proksimal sampai
daerah muka, beberapa saat kemudian timbul rasa tegang dan spasme pada otot-
otot mulut, tangan dan tungkai bawah. Keadaan spasme ini juga meluas sampai ke
muka bahkan ke bagian tubuh lainnya.

Kontraksi tonik pada otot-otot distal lengan dan otot-otot interosel


menyebabkan gambaran spasme karpopedal di mana jari-jari dalam keadaan fleksi
pada persendian metakarpofalangeal dan ekstensi pada sendi interfalangeal. Jari-

12
jari dalam keadaan aduksi dan ibu jari dalam keadaan aduksi dan ekstensi
sedangkan pada kaki dijumpai plantar fleksi dipergelangan kaki dan aduksi jari-
jari kaki. Pada rangsangan yang lebih hebat, otot-otot yang spasme menjadi lebih
luas, pada ekstremitas atas siku menjadi fleksi; dan bahu mengalami aduksi. Pada
tungkai terjadi fleksi sendi lutut dan aduksi paha. Otot-otot kepala juga
mengalami spasme dengan trismus dan retraksi pada sudut mulut (risus
sardonikus) mata agak tertutup (blefarospasme) dan bila otot-otot bulber kena
terutama laring maka terjadi laringospasme dengan stridor. Spasme pada otot-otot
tubuh dan leher memberi gambaran opistotonus serta sering didapatkan kejang
tonik klonik.

Dalam bentuk yang laten dapat memberikan gambaran hiperiritabel


neuromuskuler dalam beberapa bentuk yaitu bentuk visceral, berupa gangguan
digestif dengan kolik lambung dan muntah, bentuk neurologis berupa serangan
tetani dengan kejang epilepsi dan penurunan kesadaran, sakit kepala, sedangan
bentuk lain berupa bentuk neuropsikotik.

3.5 Pemeriksaan Spasmofili


A. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang berhubungan dengan hiperiritabel sistem


neuromuskuler yaitu tanda Erbs (arus galvanik), tanda Hoffman (mekanik,
elektrik, tanda kashida (termik), tanda Pool (tegangan), tanda Schlesinger
(tegangan), tanda Schultze (ketukan), tanda Lust (ketukan) dan tanda
Hochisngers.2,3,9 Salah satu tanda lain yang penting adalah tanda Chvostek.

1. Tanda Trousseau’s
Tanda Trousseau ditemukan pada hipokalsemia apabila level ion kalsium 1,75
– 2,25 mmol/L. Tangan menjadi berbentuk yang khas ketika manset
sphygmomanometer ditempatkan diatas tekanan darah sistolik selama 3 menit.
Mula-mula timbul rasa kesemutan pada distal ekstremitas, kemudian timbul
kejang pada jari-jari dan tangan yang membentuk suatu konus. Sendi
metakarpopalangeal terfleksi, sendi interpalangeal jari-jari dan ibu jari

13
terekstensi dan ibu jari membentuk posisi berlawanan. Tanda Trousseau lebih
spesifik daripada Tanda Chvostek untuk tetani laten, yang dapat disebabkan
oleh hipokalsemia, hipomagnesium dan alkalosis metabolik. Tanda Trousseau
dapat dilihat pada 1% - 4% orang sehat. Sensitifitas tanda ini tidak diketahui,
tetapi tanda ini dapat tidak muncul pada pasien yang jelas hipokalsemia

Modifikasi teknik ini dengan teknik Von Bonsdorff dimana manset tensimeter
dipertahankan selama 10 menit kemudian dibuka dan dilakukan hiperventilasi
akan mengakibatkan spasme yang khas (spasme karpopedal) yang lebih cepat
pada lengan yang iskemik dibanding dengan yang lain.

Gambar 1. Carpopedal spasme

2. Tanda Chvosteck’s
Tanda Chvostek ditimbulkan melalui ketukan pada bagian lunak dari
pertengahan garis ujung telinga ke ujung mulut tepat di bawah apofisis
zigomatikus. Reaksi positif terdiri atas kontraksi muskulus orbikularis oris
yang nyata pada bagian tengah bibir. Tanda Chvostek terdiri 3 tingkatan,
yaitu:

1. Positif satu, bila reaksinya hanya di bibir.


2. Positif dua, bila reaksinya menjalar ke ujung hidung
3. Positif tiga, bila seluruh muka ikut berkontraksi

3. Tanda Erbs

14
Erb’s phenomenon terjadi pada overeksitabilitas system syaraf perifer dengan
stimulasi galvanik.

4. Pool- Schlesinger Sign


Regangan pada pleksus brakhialis dengan kekuatan abduksi dan elevasi lengan
ketika lengan bawah diekstensi diikuti dengan spasme titanic dari otot-otot
lengan bawah, tangan dan jari. Regangan pada nervus sciatic dengan fleksi
penuh pada paha ke trunkus ketika tungkai diekstensi diikuti dengan spasme
otot tungkai dan kaki.

5. Schultze’s Sign
Stimulasi mekanik dari lidah yang dikeluarkan (misalnya mengetuknya
dengan perkusi hammer) diikuti dengan depresi singkat atau cekungan pada
sisi stimulasi.

6. Kashida’s Thermic Sign


Munculnya hiperestesis dan spasme setelah aplikasi dari bahan iritan yang
panas atau dingin.

7. Escherich’s Sign.
Reaksi yang meningkat pada stimulasi mukosa oral dan lidah, dan kontraksi
bibir, masseters, dan lidah setelah perkusi bagian dalam bibir atau perkusi
lidah.

8. Hochsinger’s Sign
Tekanan pada bagian dalam otot bisep menyebabkan spasme dan kontraksi
tangan. Maneuver ini akan menekan arteri brakhialis, karenanya tanda ini
disebut sebagai variasi dari Trousseau’s sign.

9. The Peroneal Sign (Lust’s Phenomenon)


Ketukan pada nervus peroneus kommunis ketika mengelilingi leher fibula,
diikuti dengan dorsofleksi dan eversi kaki.

15
a. Elektromiografi
Pemeriksaan elektromyografi untuk otot skeletal biasanya dilakukan empat
tahap:6,10-13

1. Elektroda jarum diletakkan pada otot dan aktivitas elektrik dengan insersinya
dievaluasi (aktivitas insersi).
2. Otot dievaluasi pada saat istirahat, yaitu dengan menahan jarum pada otot
yang relaksasi (aktivitas spontan).
3. Potensial otot yang dibangkitkan dengan discharges terisolasi dari motor
neuron direkam dengan kontraksi volunter ringan dari otot (motor unit
potentials).
4. Perubahan pada potensial elektrik diukur sebagai level kontraksi otot secara
bertahap meningkat dan bahkan mencapai maksimum (recruitment dan
interference pattern).

Pada aktivitas insersi, serabut otot depolarisasi dalam ledakan ringan yang normal
selama beberapa ratus milliseconds (ms), yang dikenal dengan aktivitas insersi
normal. Peningkatan aktivitas insersi dapat terlihat pada kondisi neuropatik dan
myopatik. Semua aktivitas spontan pada elektromyografi adalah abnormal kecuali
pada potensial yang terjadi di region endplate (yaitu NMJ). Aktivitas spontan di
sekitar neuromuscular junction, dapat terjadi dua tipe yaitu endplate noise dan
endplate spike. Aktivitas spontan yang muncul dari serabut otot adalah potensial
fibrilasi, positive sharp waves, complex repetitive discharges, myotonic discharge.
Sedangkan aktivitas spontan yang muncul dari motor neuron yaitu potensial
fasikulasi, doublets, triplets, multiplets, myokymic discharges, cramp discharges,
neuromyotonic discharges. Setelah pemeriksaan aktivitas insersi dan spontan,
dilanjutkan dengan evaluasi MUAPs volunter. Pada MUAPs dinilai karakteristik
morfologi, stabilitas, dan firing. Bentuk MUAP yang abnormal biasanya
menunjukkan apakah kelainannya merupakan neuropatik atau myopatik, dan
sering membantu dalam menentukan waktu kejadian (akut atau kronik) dan
keparahan lesi.6,10-13

16
Elektromiografi pada spasmofilia

Turpin dan Kugelberg adalah orang yang pertama kali meneliti tentang
elektromiografi pada penderita tetani. Pada tetani terjadi abnormalitas kalsium
yang mengontrol channel natrium. Akson akan menjadi hipereksitabilitas karena
membran menjadi depolarisasi dan ambang potensial aksi yang menurun. Pada
tetani juga terjadi discharge repetitive spontan, dengan frekuensi umum 5-15 Hz.
Gambaran elektromiografi pada spasmofilia ini merupakan gambaran yang khas
dari manifestasi neuromuskuler perifer dan dimulai dengan adanya fibrilasi dan
fasikulasi serta bersamaan dengan meningkatnya frekuensi akan terlihat twitching
otot.

Gambaran khas tersebut berupa gambaran-gambaran doublets, triplets,


bahkan multiplets, pada monitor yang merupakan potensial aksi yang repetitif
dimana gelombang yang belakangan cenderung mempunyai amplitudo yang lebih
besar.14 Gambaran ini diduga ada hubungannya dengan tempat di kornu anterior
dan beberapa peneliti menduga hal ini sebagai suatu fenomena perifer yang
meliputi motor neuron sampai motor end plate, walaupun secara keseluruhan
belum jelas benar mekanismenya. Gambaran elektromyografi yang khas ini tidak
pada keadaan hiperiritabel lainnya.

17
Gambar 2. Rekaman needle electromyographic dengan spontaneous motor
unit discharges pada doublets dan triplets dan discharges serabut otot yang lebih
kecil dari medial gastrocnemius pada pasien dengan continuous motor activity dan
delayed muscle relaxations

Gambar 3. Gambar diatas adalah rekaman 25 detik continuous needle


EMG dari medial gastrocnemius. Motor unit yang berbeda tampak meledak
secara spontan dan irregular sebagai doublets (B), triplets (A), dan multiplets (C),
dengan frekuensi lebih dari 120 Hz. Discharge yang prolong di pertengahan
rekaman yaitu ledakan cepat triplet lebih dari satu motor unit (D)11

18
Doublets, triplets, dan multiplets adalah MUAPs spontan yang muncul
berkelompok. Potensial ini pada dasarnya sama dengan yang terjadi pada
potensial fasikulasi yang memberikan depolarisasi spontan pada motor unit atau
aksonnya. Doublets, triplets, dan multiplets dapat terlihat pada keadaan dimana
potensial fasikulasi terjadi (misalnya kondisi neuropati).

Hipoksia akan mencetuskan spasmofilia, karena pada keadaan hipoksia


akson akan lebih rentan untuk mengalami depolarisasi. Keadaan ini merupakan
komponen penting untuk terjadinya perubahan eksitabilitas yang menyebabkan
gangguan neuromuskular kompleks yang terjadi pada spasmofilia.15

Gambar 4. Fasciculation (atas) and doublets (bawah)13

Derajat spasmofili dapat dibagi dalam beberapa tingkatan dengan melihat


gambaran EMG yang dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan Trousseau dan
hiperventilasi yaitu: derajat ringan, sedang dan berat.

Cara melakukan tes provokasi untuk spasmofilia yaitu dengan tes iskemi
selama 5 menit pada 180 mmHg (160 mmHg pada anak-anak), yang disusul
dengan hiperventilasi selama 3 menit.

19
Derajat spasmofili:8

1. Negatif : bila tidak muncul gelombang repetitif atau muncul setelah 3 menit
fase HV, atau muncul 1-3 potensial repetitif perdetik selama kurang dari 1
menit.
2. Positif 1:
- bila muncul 1-3 potensial repetitif pada 1-2 menit fase HV
- bila muncul 4-6 potensial repetitif pada 2-3 menit fase HV
- bila muncul 1-3 potensial repetitif pada 2-3 menit fase HV
3. Positif 2:
- bila muncul 1-3 potensial repetitif sebelum 1 menit fase HV
- bila muncul 4-6 potensial repetitif pada 1-2 menit fase HV
- bila muncul >6 potensial repetitif pada 2-3 menit fase HV
4. Positif 3:
- bila muncul >6 potensial repetitif sebelum 1 menit fase HV
- bila muncul >6 potensial repetitif pada 1-2 menit fase HV
- bila muncul 4-6 potensial repetitif sebelum 1 menit fase HV
Gradasi Spasmofilia:

4+ Paska tes iskemi: banyak multiplets, timbul obstetric hand

3+ Paska hiperventilasi: banyak multiplets, timbul obstetric hand

2+ Paska hiperventilasi: banyak multiplets, tanpa obstetric hand

1+ Paska hiperventilasi: duplets/triplets/multiplets yang tidak banyak

20
Gambar 5. Doublets dari abductor pollicis brevis setelah dua menit setelah
hiperventilasi diikuti dengan 1,5 menit iskemia. Kaliberasi 100 ms and 100 uV7

Gambar 6. Gambaran Complete interference merekam secara simultan abductor


pollicis brevis and abductor digiti quinti setelah 2,5 menit dari iskemia7

21
2.6 Pengobatan

Pada keadaan akut dapat diberikan kalsium, terutama kalsium glukonas


10% sebanyak 10-20 mililiter intravena atau secara oral diberikan kalsium laktat
12 gram/hari atau kalsium glukonas 16 gram/hari. Bila hipokalsemi sangat berat
dapat diberikan 100 mililiter kalsium glukonas 10% dalam 1 liter dektrose 5%
secara lambat, lebih dari 4 jam. Bila masih belum dapat mengatasi tetani, dapat
diberikan magnesium karena tetani sering berhubungan dengan hipomagnesia
dengan dosis 2 mililiter magnesium sulfat 50% secara intramuskuler.

Disamping hal tersebut di atas, dapat diberikan juga hidroklortiazid


(HCT) dengan dosis 50-100 miligram/hari, vitamin D, koreksi pH darah bila ada
alkalosis dan hormon paratiroid. Sebagai tambahan dapat diberrikan obat-obat
penenang, Tizanidine, bekerja sebagai motonolitik untuk mengatasi spasme dan
juga berefek analgesik.

22
BAB IV
PEMBAHASAN

Kasus ini adalah seorang wanita berusia 16 tahun datang dengan sering
merasakan kejang kaku pada ujung-ujung kedua tangan dan kaki yang semakin
lama dirasakan semakin sering sejak 3 bulan terakhir sehingga mengganggu
aktivitas sehari-hari. Kejang berupa kaku ini dirasakan frekuensi sering, bisa
timbul keluhan lebih dari 2 kali dalam sehari. Keluhan dirasakan paling sering
terutama pada saat os mengalami kelelahan atau pada saat banyak pikiran.
Sebelumnya os sering mengeluh nyeri kepala yang dirasakan hilang timbul
dengan sifat seperti berdenyut dan disertai mual. Nyeri di daerah ulu hati sering
dirasakan terutama pada saat os mengalami kecemasan. Dari klinis yang
didapatkan ini, terdapat suatu manifestasi klinis tetani yaitu spasme dan kontraksi
tonik otot skeletal terutama otot distal ekstremitas. Dapat terjadi kontraksi otot
pergelangan tangan dan jari, akibatnya terjadi spasme karpal (yang dikenal dengan
obstetrical hand atau accoucheur’s hand) dan otot kaki dan jari kaki,
menyebabkan spasme pedal. Adanya hiperiritabilitas dari seluruh sistem saraf
perifer, begitu juga otot-otot bahkan dengan stimuli yang minimal. Pada pasien ini
juga terdapat gangguan sensibilitas berupa kesemutan pada kedua tangan dan
kaki, menandakan saraf sensorik juga terkena. Pada pemeriksaan juga didapatkan
tanda chovtek positif dan terdapat Tanda Trousseau’s. Klinis tersebut
mengambarkan suatu gejala klinis dari spasmofilia. Jenis kelamin pada pasien ini
adalah perempuan, yang mana perempuan merupakan epidemiologi terbanyak dari
spasmofilia yaitu perbandingan dengan laki-laki adalah 4:1. Salah satu gejala
klinis yang ada pada pasien ini terdapat kecemasan dan sering mengeluhkan nyeri
kepala dengan sifat berdenyut yang merupakan keluhan yang tidak khas dari
spasmofilia. Terdapat banyak gejala klinis yang sangat bervariasi dan tidak khas
seperti spasme pada laring, psikosis, emosi labil, nyeri haid dll tidak ditemukan
pada pasien. Dalam bentuk laten dapat memberikan gambaran hiperiritabel
neuromuskular dalam bentuk yaitu berupa gangguan digestif dengan kolik

23
lambung, bentuk neurologis berupa serangan kejang epilepsi dan penurunan
kesadaran.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan elektromiografi yang didapatkan
hasil berupa didapatkan gelombang patologis berupa duplet, triplet, multiplet dan
obstetric hand pada tes iskemik dan hiperventilasi. Hipoksia akan mencetuskan
spasmofilia, karena pada keadaan hipoksia akson akan lebih rentan untuk
mengalami depolarisasi. Keadaan ini merupakan komponen penting untuk
terjadinya perubahan eksitabilitas yang menyebabkan gangguan neuromuskular
kompleks yang terjadi pada spasmofilia. Hasil pemeriksaan klinis dan secara
elektromiografi mendukung bahwa adanya suatu spasme otot dan hiperiritabilitas
saraf perifer.
Pada pasien ini disarankan untuk di lakukan pemeriksaan elektrolit yang
mana pada spasmofilia akan didapatkan hasil hipokalsemia atau hipomagnesium.
Pada pasien ini juga di diagnosis banding dengan epilepsi idiopatik karena pasien
datang dengan keluhan kejang kaku pada tangan dan kaki, namun setelah
dilakukan anamnesis yang terarah tidak ditemukan tanda-tanda true seizure
sehingga diagnosis epilepsi dapat disingkirkan. Diagnosis psikogenik juga masih
menjadi diagnosis banding karena efek psikologis cukup besar pada kasus-kasus
seperti ini.
Pada wanita dengan spasmofilia, prinsip terapi adalah sesuai dengan
etiologi penyebabnya. Maka sangat penting untuk mencari tahu etiologi nya, pada
kondisi yang disebabkan oleh keadaan hipokalsemia, pada keadaan akut dapat
diberikan kalsium, terutama kalsium glukonas 10% sebanyak 10-20 mililiter
intravena atau secara oral diberikan kalsium laktat 12 gram/hari atau kalsium
glukonas 16 gram/hari. Bila hipokalsemi sangat berat dapat diberikan 100 mililiter
kalsium glukonas 10% dalam 1 liter dektrose 5% secara lambat, lebih dari 4 jam.
Bila masih belum dapat mengatasi tetani, dapat diberikan magnesium karena
tetani sering berhubungan dengan hipomagnesia dengan dosis 2 mililiter
magnesium sulfat 50% secara intramuskuler.

24
BAB V
KESIMPULAN

Spasmofili merupakan suatu keadaan hiperiritabilitas atau hipereksitabilitas


susunan saraf, yang disebabkan oleh karena gangguan keseimbangan elektrolit, antara
lain, ion kalsium dan ion magnesium dengan manifestasi klinik kejang otot dan
berbagai gejala neurasthenia berupa nyeri kepala, gelisah, gangguan gastrointestinal,
palpitasi, parestesia, sinkop serta kejang tonik.
Anamnesis terarah dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk mendiagnosis
adanya suatu sapasmofilia yang mana dapat ditemui tanda Erbs (arus galvanik), tanda
Hoffman (mekanik, elektrik, tanda kashida (termik), tanda Pool (tegangan), tanda
Schlesinger (tegangan), tanda Schultze (ketukan), tanda Lust (ketukan) dan tanda
Hochisngers. Begitu juga diikuti oleh pemeriksaan penunjang elektromiografi akan
didapatkan hasil gambaran khas berupa gambaran-gambaran doublets, triplets, bahkan
multiplets, pada monitor yang merupakan potensial aksi yang repetitif dimana
gelombang yang belakangan cenderung mempunyai amplitudo yang lebih besar.
Prinsip tatalaksa pada pasien ini sesuai dengan etiologi penyebabnya, oleh
karena itu sangat penting untuk mencari etiologi dari penyakit ini, dan pendekatan
psikologis juga berpengaruh besar terhadap pasien karena salah satu gejala klinis
spasmofilia berupa kecemasan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. N. Ito et al. Symptoms and management of tetany. Journal Clin Calcium


17(8): 1234-9, 2007.
2. Clinical Form of Spasmophilia. Available from
http://gluedideas.com/content_collection/disease-of-children/clinicalforms-of-
spasmophilia_P2.html.
3. Sajus Charles “Analytical Cyclopedia of Practical Medicine”.
GluedIdeas.com.2012
4. K Torunska. Tetany as a difficult diagnostic problem in the neurological
outpatient department. Jounal Neurol Neuroschie Pol 37(3): 653-4, 2003
5. Ropper A, Brown R. Adams and Victor’s. Principles of Neurology. 8th ed,
McGraw-Hill. New York: 1094-6, 2005.
6. Kimura J. Electrodiagnosis in Disease of nerve and muscle: principles and
practice. F.A. Davis, Philadelphia USA. 1983
7. Seelling M et al. Latent Tetany And Anxiety, Marginal Magnesium Deficit,
And Normocalcemia. Disease of Nervous System 36(8): 461-5, 1975.
8. Alamsyah R. Spasmofilia sebagai factor risiko nyeri kepala tegang. Semarang,
1999.
9. Haerer A. De Jong’s Neurological Examination. Fifth edition. J.B Lippincolt
Company.Philadelphia, 1992
10. Weis L et all. Easy EMG. Butterworth Heinemann. London, 2004.
11. Maddison P. Neuromyotonia. Clinical neurophysiology: 2118-27. Elsevier.
2006
12. Preston D, Shapiro B. Needle electromyography Fundamentals, normal and
abnormal patterns. Neurol Clin N Am: 361-96, 2002
13. Mills K. The basics of electromyography. J. Neurol Neurosurg Psychiatry:
ii32-ii35, 2005
14. C Bonciocat, et all. Voluntary multiple discharge after the activation test for
spasmophilia as an electromyographic sign of a mild form of this disease.
Journal rom J Physiol 30(1-2): 23-39, 1993

26
15. C Bonciocat, et all. Electical activity induced by ischemia in the skeletal
muscle of patient with spasmophilia. Jounral Physiologie 25(1-2), 1988

27

Anda mungkin juga menyukai