Anda di halaman 1dari 64

REFERAT ILMU PENYAKIT DALAM

ACUTE CONFUSIONAL
STATE
Disusun Oleh :
Silvia Valentina / 00000000320

Pembimbing :
dr. Euphemia Seto Anggaini Widiastuti, Sp.PD

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 2 JULI – 8 SEPTEMBER 2018
PENDAHULUAN
• Acute confusional state → EMERGENCY pd
GERIATRI !!!
• Sign & symptom tidak khas → sering TIDAK
terdiagnosis dgn baik.
• 32-67% kasus tidak dapat terdiagnosis/salah dapat
terapi dari dokter.
• Masalah kesehatan yg signifikan → pe↓ fungsi kognitif
& kemandirian fungsional, ↑ komplikasi, ↑ penggunaan
dana & tenaga, ↑ resiko kematian.
DEFINISI
• Sindrom mental organik, ditandai gang. kesadaran + gang.
daya perhatian, persepsi, proses pikir, daya ingat, perilaku
psikomotor, emosi, & siklus tidur → bersifat akut &
fluktuatif.
• Sering pd usia ≥60 tahun
• Merupakan keadaan gawat darurat.

acute confusional state acute brain syndrome

acute cerebral insufficiency toxic metabolic encephalopathy


DSM-IV-TR, delirium:
‘a disturbance of consciousness that is accompanied by a
change in cognition that cannot be better accounted for by a
pre-existing or evolving dementia’

• Delirium → onset gejala yg cepat (jam ke hari),


cenderung berfluktuasi sepanjang hari, dgn tingkat
kesadaran terganggu, tidak mampu fokus & mudah
teralihkan, gang. kognisi global/kelainan persepsi, &
adanya bukti penyebab fisik, intoksikasi/withdrawal zat,
atau etiologi multipel.
EPIDEMIOLOGI
• Delirium pd lansia rawat inap → 15-30% dari populasi.
• Studi terbaru → prevalensi saat masuk 10-31% &
insidensi selama rawat inap 3-29%.
• Insiden tertinggi pd: kanker, AIDS, & penyakit terminal.
• Angka kejadian yg tinggi (10-70%) setelah pembedahan,
terutama pd bedah kardiotoraks, ortopedi emergensi,
bedah vaskular, operasi katarak.
• Resiko ↑ secara eksponensial di ICU (80%) & di unit
perawatan paliatif (85%).
PATOFISIOLOGI
HIPOTESIS NEUROTRANSMITTER
• Kurang kolinergik & kelebihan dopamine.
• Obat antikolinergik → memicu delirium pd individu yg
rentan.
• Penelitian: ↑ kadar ACh dgn inhibitor kolinesterase.
(physostigmine) terbukti dpt membalikkan delirium yg
berhub. dgn obat antikolonergik.
• Dopamine → delirium efek samping akibat obat
dopaminergik pd pengobatan Parkinson.
• Dopamine antagonist (haloperidol) → efektif
mengendalikan gejala delirium.
HIPOTESIS INFLAMASI
• Trauma, infeksi, pembedahan → ↑ produksi sitokin
proinflamasi → induksi delirium pd pasien yg rentan.
• Sitokin yg disekresikan di perifer dpt memprovokasi
respon yg berlebih dari mikroglia → inflamasi pd otak.
• Sitokin proinflamasi secara substansial pengaruhi
sintesis/pelepasan ACh, dopamine, norepinefrin, 5-HT, →
ganggu komunikasi saraf & efek neurotoksik langsung.
• Inflamasi ringan yg berhub. dgn perubahan
neurodegeneratif kronis pd demensia → menjelaskan
resiko delirium.
HIPOTESIS RESPON STRESS AKUT
• Tingginya kortisol terkait stress akut → dpt mencetuskan
delirium.
• Pasien lansia → regulasi umpan balik kortisol terganggu
→ tingginya baseline kortisol → predisposisi delirium.
DELIRIUM AKIBAT WITHDRAWAL ZAT
• Withdrawal alcohol → ketidakseimbangan
neurotransmitter inhibitori & eksitatori akibat
penghambatan reseptor NMDA & aktivasi reseptor
GABA-A.
• Withdrawal benzodiazepine → menyebabkan delirium
dgn ↓ transmisi GABA-ergik
ETIOLOGI, FAKTOR
PREDISPOSISI, FAKTOR
PRESIPITASI
• Etiologi → kompleks & multifaktorial.
• 90% pasien dgn delirium memiliki 3-4 faktor etiologi,
24% memiliki 2 faktor, & hanya 16% yg memiliki 1
faktor etiologi yg dpt diidentifikasi.
FAKTOR PREDISPOSISI
FAKTOR PRESIPITASI
• 11-30% lansia dgn delirium disebabkan karena obat.
MANIFESTASI KLINIS
• Onset yg tiba-tiba, akut,
& berfluktuasi → fitur
sentral
• Gang. kesadaran →
fluktuasi
• Gang. atensi → fitur
kardinal penting
• Defisit global & multipel
pd kognisi gang. memori
& disorientasi
• Gejala yg mudah diamati namun justru terlewatkan:
bila terdapat komunikasi yg tidak relevan /
autoanamnesis yg sulit dipahami → kadang pasien
seperti mengomel terus atau terdapat ide-ide
pembicaraan yg melompat-lompat.
KLASIFIKASI
• Hiperaktif → hypervigilance, Paling mudah
perilaku repetitif, restlessness, dikenali, sangat
agitasi, agresi, mood labil, menyita perhatian
halusinasi, delusi
• Hipoaktif → letargi, drowsiness, Paling umum, tp
apatis, confusion sulit dikenali
• Mixed
• Tidak terklasifikasi
HYPERACTIVE DELIRIUM

• Delirium hiperaktif →
↑ gairah & sangat
sensitif terhadap
lingkungan → dpt
secara verbal & fisik
mengancam & agresif.
• Terlihat gelisah,
berulang kali menarik
pakaian (carphologia),
& berjalan tak menentu
arah.
HYPOACTIVE DELIRIUM

• Petunjuk klinis tdk


jelas.
• Delirium hipoaktif
lebih umum terjadi,
namun sulit
terdeteksi → mudah
diabaikan.
DIAGNOSIS
• Delirium → masalah umum & serius, terutama pd pasien
lansia yg dirawat.
• Seringkali kurang dikenali → dokter di IGD missed utk
diagnosis delirium pd 76% kasus.
• sifat yg berfluktuasi
• tumpang tindih degn demensia & depresi
• jarang dilakukan penilaian kognitif rutin
• kurangnya keprihatinan terhadap konsekuensi klinisnya
• gagal mempertimbangkan kepentingan diagnostik
• Pedoman NICE (2010) merekomendasikan untuk
identifikasi delirium pada lansia yg dirawat / dlm
perawatan jangka panjang, jika memiliki faktor
resiko:
• usia ≥ 65 tahun
• gangguan kognitif (dulu/sekarang)
• Demensia
• patah tulang panggul
• adanya penyakit yg parah
• Diagnosis berdasarkan riwayat klinis, observasi fitur
utama delirium, penilaian fisik & kognitif → tdk ada tes
diagnostik spesifik.
• Anamnesis: fungsi intelektual sebelumnya, awitan &
perjalanan konfusi, riwayat keluhan serupa sebelumnya,
faktor pencetus & predisposisi, perubahan siklus bangun-
tidur, riwayat penggunaan obat, asupan nutrisi & cairan
sebelum sakit.
• Pada pemeriksaan ditemukan: gang. konsentrasi &
perhatian → perika TTV, GCS, status neurologis
• Penilaian kognitif → skrining kognitif global (MMSE),
pengukuran tingkat atensi (Digit Span Test dan Trail
Making Test A).
• Identifikasi
penyebab yg
mendasari
sangat penting
dlm diagnosis
delirium →
pemeriksaan
penunjang
• Kriteria diagnosis
delirium menurut
Diagnostic and
Statistical Manual
of Mental Disorders
(DSM-IV-TR)
• Berdasarkan DSM-IV → disusun algoritma Confusion
Assessment Method utk menegakkan diagnosis.
• CAM → tingkat sensitivitas 94-100% & spesifisitas 90-
95%,
• CAM + uji status mental lain → baku emas
diagnosis.
• Uji status mental lain yg sudah lazim dikenal: Mini
Mental State Examination (MMSE), Delirium Rating
Scale, Delirium Symptom Overview.
• Penggunaan Delirium Rating Scale R-98 (DRS-R-
98) → disarankan utk menilai derajat keparahan
delirium & membedakan delirium dari gangguan
lain.
DIAGNOSIS BANDING
• Demensia
• Psikosis fungsional
• Kelainan neurologis
• Gangguan cemas
• Gangguan depresi
• Gangguan kognitif pasca operasi (GKPO).
• Delirium sulit dibedakan dgn demensia.
• Delirium → kurangnya perhatian & onset yg akut dgn
perjalanan gejala berfluktuasi, disertai perubahan
tingkat kesadaran.
• Demensia → gang. kognitif & fungsional, terdapat
perjalanan waktu dimana memburuk secara kronis,
dimana tingkat kesadaran cenderung utuh.
• Demensia + delirium → prevalensi 22-89%. Gang. yg
tumpang tindih: gang. orientasi, memori, & komunikasi.
• Membedakan delirium & demensia sangat penting →
diagnosis delirium sangat mendesak, berhub dgn
outcomes yg buruk.
• Depresi dapat disalahartikan sebagai bentuk hipoaktif
delirium → pemikiran yg melambat, pe↓ konsentrasi, &
gang. memori.
• Depresi → perubahan bertahap dlm beberapa hari/mgg,
cenderung tersembunyi & tanpa fluktuasi. Tingkat
kesadaran CM & proses berpikir utuh, terdapat riwayat
sebelumnya, adanya kehilangan minat, dominasi
depressed mood, faal sensorium yg normal.
• Delirium → gejala berkembang dlm beberapa jam.
• Mania sering sulit dibedakan dgn delirium hiperaktif → ↓
atensi, agitasi, & fluktuasi yg cepat.
• Mania biasanya terdapat episode euforia/mania
sebelumnya.
• Pada skizofrenia & delirium → gang. pikiran.
• Delirium → perubahan berfluktuasi, sering
terfragmentasi, & kurang kompleks, delusi dgn
sistematisasi yg buruk & terdapat pengaruh
lingkungan, halusiansi visual.
• Skizodrenia → thought insertion sangat umum, delusi
sangat sistematis, aneh, & tidak dipengaruhi
lingkungan, halusinasi persisten, konsisten, & biasanya
halusinasi auditori
• Post-operative cognitive dysfunction agak berbeda dari
sindrom delirium, namun mempunyai implikasi klinik yg
mirip.
• Secara klinis, jarang disertai penurunan tingkat kesadaran
dan perjalanannya tidak berfluktuasi.
• Sampai 2 minggu pasca operasi jantung, insidensnya
mencapai 30-70%. Pada minggu ketiga hingga bulan
keenam, insidensnya turun sampai 10-40%. Pada operasi
non-jantung, insidensnya lebih rendah, sekitar 10-25%
segera setelah operasi dan menurun hingga 5-15%
beberapa bulan pasca operasi.
Sistem Skoring untuk Faktor Resiko Delirium Setelah Tindakan Operasi

Faktor resiko Jumlah poin


Usia > 70 tahun 1
Riwayat ketergantungan alcohol 1
Adanya gangguan kognitif 1
Kelainan jasmani berat (menurunnya kemampuan untuk 1
berjalan atau melakukan aktivitas sehari-hari)

Abnormalitas hasil pemeriksaan darah, elektrolit, atau 1


glukosa
Operasi thorax non-cardiac 1
Operasi aneurisma abdominal aorta 2
Skor 0: resiko timbulnya delirium post operasi sebesar 2%
Skor 1-2: resiko timbulnya delirium post operasi sebesar 11%
Skor ≥3: resiko timbulnya delirium post operasi sebesar 50%
Delirium Dementia Psychotic Depression
disorder
Descriptive Confusion and Memory loss Loss of Sadness,
features inattention contact with anhedonia
reality
Onset Acute Insidious Acute or slow Slow
Course Fluctuating Chronic, Chronic, with Single or
(often worse at progressive (but exacerbation recurrent
night) stable over the episodes; can
course of the be chronic
day, except for
DLB)
Duration Hours to Months to years Months to Weeks to
months years months
Consciousne Altered Alert, clear Alert, clear Alert, clear
ss (hyperalert, until late
alert, or stages
hypoalert),
clouded

Attention Impaired Normal (except May be May be


in late stages) impaired impaired
Memory Poor Poor Intact Intact
Orientation Fluctuates Poor Normal Normal
Speech Often Coherent (with Normal or Normal or
incoherent, mild errors) pressured slow
slow, or rapid until the late
stage
Thought Disorganized Impoverished Disorganized Normal
and vague
Perception Altered Altered or normal Altered Normal
Hallucinations are Hallucinations Hallucinations Hallucinations
frequent (mainly often absent (mainly and illucions
visual) (except in auditory) and not usually
Delusion advanced stages illucions
or DLB) common
Psychomotor Yes No Yes Yes
changes
Reversibility Usually Rarely Rarely Possibly
EEG reading Moderate to Normal or mild Normal Normal
severe diffuse slowing
background
slowing
PENATALAKSANAAN
• Delirium → butuh intervensi segera.
• Tata laksana utama harus disesuaikan dgn penyebab,
penyakit dasar atau komorbiditas yg ada.
• Tujuan utama pengobatan: menemukan & mengatasi
pencetus, serta faktor predisposisi.
• Intervensi non farmakologis → strategi lini 1, yg
meliputi: identifikasi penyebab yg mendasari, perawatan
suportif (dengan keterlibatan keluarga), & manipulasi
lingkungan.
• Secara umum, penanganan yang bersifat suportif amat
penting, meliputi: pengamatan yang dekat & berkelanjutan,
yg mencakup pemantauan TTV, melindungi saluran nafas
pasien, memastikan nutrisi, koreksi dan pencegahan
dehidrasi, perhatian terhadap asupan oral, pencegahan
aspirasi, dorongan mobilitas, dan memastikan pola tidur
yang baik.
• Langkah-langkah dlm penanganan pasien dengan sindrom
delirium meliputi
• Berikan oksigen, pasang infus, dan monitor TTV
setidaknya setiap 4 jam, segera dapatkan hasil
pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah
selanjutnya.
• Jika khawatir aspirasi, dapat dipasang pipa nasogastrik.
• Kateter urin dipasang jika terdapat ulkus decubitus
disertai inkontinensia urin. Jika tidak ada indikasi,
hindari penggunaan kateter urin.
• Awasi kemungkinan imobilisasi: hindari sebisa mungkin
pengikatan tubuh karena dapat menyebabkan
agresivitas, agitasi, dan trauma. Jika memang
diperlukan, gunakan dosis terendah obat neuroleptic
dan/atau benzodiazepine dan monitor status
neurologisnya. Kaji ulang intervensi ini setiap hari, dgn
target penghentian obat antipsikotik & pembatasan
penggunaan obat tidur secepatnya.
• Kaji status hidrasi berkala, hitung urine output setiap 4
jam.
• Tempatkan pasien di suasana nyaman dan kurangi distress
(ruangan tetap/tidak berpindah-pindah).
• Ruangan pasien harus berpenerangan cukup dan adekuat,
suasana tenang, terdapat jam dan kalender yang besar
untuk memperbaiki orientasi ruang waktu, dan jika
memungkinkan diletakkan barang-barang yang familiar
bagi pasien.
• Minimalisasi jumlah staf untuk menghindari kebingungan
akan orang baru.
• Keluarga dan tenaga kesehatan harus berupaya sesering
mungkin mengajak pasien berinteraksi dengan berbicara
dan mengingatkan pasien mengenai hari dan tanggal untuk
meningkatkan orientasi.
• Jika kondisi klinis sudah memungkinkan, pakai alat
bantu dengar atau kacamata yang biasa digunakan oleh
pasien sebelumnya.
• Evaluasi strategi orientasi realitas. Beritahu kepada
pasien bahwa dirinya sedang bingung dan disorientasi,
namun kondisi tersebut dapat membaik
• Intervensi farmakologis hanya dipertimbangkan dlm
pengelolaan gejala perilaku, tetapi bukan sebagai
pengobatan dasar.
• NICE (2010) merekomendasikan haloperidol / olanzapin
hanya untuk waktu singkat (maksimal 1 minggu atau
kurang), dimulai dengan dosis rendah dan titrasi dengan
hati-hati sesuai dengan keparahan gejala.
• Benzodiazepine juga direkomendasikan sebagai terapi
farmakologis pasien delirium, tetapi hanya pada pasien
delirium akibat alkohol dan withdrawal benzodiazepine,
atau pada neuroleptic malignant syndrome
PROGNOSIS
• Beberapa penelitian melaporkan hasil pengamatan tentang
prognosis sindrom delirium yang berhubungan dengan
mortalitas, gangguan kognitif pasca delirium, status
fungsional, serta gejala sisa yang ada.
• Rockwood (1999) dalam pengamatan selama 3 tahun
melaporkan delirium mempunyai resiko 1.71 kali lebih
tinggi untuk meninggal dalam 3 tahun kedepan
dibandingkan mereka yang tidak. Sementara McCusker
(2002) dan Kakuma (2003) masing-masing melaporkan
peningkatan resiko sebesar 2.11 dan 7.24.
• Agitasi dan letargik dpt meningkatkan resiko komplikasi:
aspirasi, pressure ulcer, emboli paru, penurunan asupan
oral, fraktur, hipotensi sampai renjatan, trombosis vena
dalam, dan sepsis.
• Rockwood (1999) mendapatkan peningkatan resiko
demensia sebesar 5.97 pada kelompok dengan sindrom
delirium. Pada penelitian yang menilai status fungsional,
ternyata delirium berhubungan dengan status fungsional
yang lebih rendah. McCusker (2001) memperlihatkan
bahwa pasien-pasien dengan sindrom delirium
mempunyai skor ADL Barthel yang lebih buruk.
• Levkoff meneliti gejala sisa delirium dan didapatkan hasil
bahwa dari 125 pasien yang berusia 65 tahun ke atas yang
masuk dengan sindrom delirium, hanya 44% pasien yang
gejalanya sudah tidak sesuai kriteria diagnostik DSM-IV untuk
delirium. 6 bulan pasca rawat terdapat 13% pasien yang
menunjukkan gejala delirium, 69% pasien menunjukkan gejala
perubahan aktivitas fisik, namun tidak sesuai kriteria
diagnostik delirium, sementara 18% pasien menunjukkan
resolusi komplit.
• Disorientasi, kurang perhatian (kurang konsentrasi), serta
penurunan daya ingat merupakan gejala sisa yang tersering
dijumpai. Pada pengamatan bulan ke-12, 14.8% pasien yang
tidak demensia masih mempunyai 1 gejala delirium, sedangkan
pada kelompok dengan demensia terdapat 48.9% pasien yang
masih menunjukkan gejala delirium.
• Pasien dengan sindrom delirium mempunyai laju
komplikasi yang lebih tinggi (infeksi yang didapat di
rumah sakit, pressure ulcer, inkontinensia, dan jatuh),
masa rawat yang lebih panjang (rata-rata 8 hari lebih
lama), dan mortalitas yang lebih tinggi (ketika di rumah
sakit mencapai 75% dan pasca rawat memiliki resiko
40% dalam 1 tahun) jika komorbiditasnya tinggi,
penyakitnya lebih berat (skor APACHE II tinggi), dan
jenis kelamin laki-laki.
• Di ICU, delirium telah terbukti berhubungan dengan
durasi panjang penggunaan ventilasi mekanik, masa rawat
yang lebih lama di rumah sakit, dan mortalitas selama
rawat inap
PENCEGAHAN
• Dikarenakan outcomes yang buruk dan peningkatan biaya
perawatan pada pasien derlirium, maka intervensi untuk
mencegah kondisi ini menjadi sangat penting untuk mengurangi
frekuensi dan komplikasi.
• Bahkan, sepertiga dari episode delirium atau sekitar 30-40%
kasus delirium dapat dicegah.
• Strategi efektif untuk pencegahan delirium meliputi komunikasi
berorientasi, aktivitas terapeutik, mobilisasi dini dan berjalan,
pendekatan non-farmakologis untuk gangguan tidur dan
kecemasan, menjaga nutrisi dan hidrasi, peralatan adaptif untuk
gangguan penglihatan dan pendengaran, dan manajemen nyeri.
• Tindakan pencegahan: pertama-tama, orang yang
beresiko mengalami delirium (usia lanjut, menderita
gangguan kognitif/demensia, patah tulang pinggul, atau
penyakit berat) harus dinilai dalam 24 jam pertama
setelah masuk rawat. Dalam hal ini, 10 faktor pencetus
harus dipertimbangkan: gangguan kognitif dan
disorientasi, dehidrasi dan konstipasi, hipoksia,
imobilitas/mobilitas terbatas, infeksi, polimedikasi, nyeri,
nutrisi yang buruk, gangguan sensorik, dan gangguan
tidur.
• Salah satu contoh intervensi semacam ini adalah Hospital
Elder Life Program (HELP) . Efektivitas dari intervensi
ini dapat menurunkan insidensi delirium pada 40% kasus.
Panduan Tindakan Keluaran
Intervensi
Reorientasi -Waktu: Memulihkan
 Ruangan dengan pandangan yang tidak orientasi
terhalang ke dunia luar
 Pencahayaan yang sesuai dengan waktu
 Pencahayaan minimal saat malam hari
 Penyediaan jam dan kalender
-Tempat:
 Hindari sering mengganti kamar dan jauhkan
perubahan ruangan seminimal mungkin
 Dorong keluarga dan pengasuh untuk
membawa benda-benda pribadi dan familiar
milik pasien
Memulihka -Padamkan lampu Tidur tanpa obat
n siklus -Minum susu hangat atau teh herbal
tidur -Musik yang tenang
-Pemijatan (massage) punggung

Mobilisasi -Latihan lingkup gerak sendi Pulihnya mobilitas


-Mobilisasi bertahap
-Batasi penggunaan restrains

Penglihatan -Kenakan kacamata Meningkatkan


-Menyediakan bacaan dengan huruf kemampuan
berukuran besar penglihatan
Pendengar -Bersihkan serumen prop Meningkatkan
an -Alat bantu dengar kemampuan
pendengaran

Rehidrasi -Diagnosis dini dehidrasi BUN/Cr < 18


-Tingkatkan asupan cairan oral
-Kalau perlu pasang infus
PENUTUP
• Delirium → sindrom neuropsikiatrik yang umum
ditemukan pada pasien lansia yang dirawat, ditandai
dengan gangguan kesadaran disertai gangguan atensi,
kognitif, persepsi, daya ingat, aktivitas psikomotor, emosi,
dan ganggun siklus tidur yang terjadi secara akut dan
fluktuatif.
• Delirium sering tidak terdiagnosis dengan baik karena
sifatnya yang berfluktuasi, tumpang tindih dengan
demensia, dan kurangnya pemeriksaan kognitf secara rutin.
• Keterlambatan diagnosis dapat memperpanjang masa rawat
dan meningkatkan mortalitas.
• Defisiensi asetilkolin yang berhubungan dengan beberapa faktor
predisposisi dan faktor pencetus merupakan dasar yang harus
selalu diingat. Pencetus tersering adalah pneumonia dan infeksi
saluran kemih.
• Gangguan kognitif global, perubahan aktivitas psikomotor,
perubahan siklus tidur, serta perubahan kesadaran yang terjadi
secara akut dan berfluktuatif merupakan gejala yang paling
sering ditemukan
• Beberapa peneliti menggolongkan sindrom delirium ke dalam
beberapa tipe: hiperaktif, hipoaktif, dan campuran.
• Kriteria diagnosis baku menggunakan DSM-IV.
• Instrumen baku yang dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis adalah CAM (Confusion Assessment Method).
• Pengelolaan pasien terutama ditujukan untuk
mengidentifikasi serta tata laksana faktor predisposisi dan
pencetus.
• Penatalaksanaan non-farmakologik sama pentingnya
dengan tata laksana farmakologik.
• Pencegahan amat sangat penting untuk dilaksanakan
karena menurut bukti yang ada delirium dapat dicegah
setidaknya pada sepertiga kasus. Pencegahan didasarkan
pada identifikasi faktor resiko, pengenalan dini,
manajemen yang efektif, terutama strategi non-
farmakologis karena prevalensi dan outcomes yang buruk
terkait gangguan ini.

Anda mungkin juga menyukai