EPILEPSI
Oleh :
Al Farizi Adhi Sunjaya
Fariza Muthia Tsany
Harisnan Arbharian
Yuni Astuti
Preseptor :
Henny Anggraini Sadeli.,dr.Sp.S (K)
ANAMNESA
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluhkan kejang pertama kali muncul saat dirumah pada bulan Oktober
2017. Kejang berupa mengecap-ngecap mulut dengan menggerakkan kedua tangan dan
dengan mata tertutup. Kejang muncul saat pagi/sore hari dan kejang dirasakan berulang
dengan jarak > 24 jam. Saat mengalami kejang pasien tidak sadarkan diri, namun setelah
kejang pasien merasa seperti kebingungan, lemas dan tidak ingat rasa saat mengalami
kejang. Pasien tidak merasakan apa-apa saat menjelang kejang dan kejang terjadi
mendadak saat beraktifitas . Ketika kejang pada bulan Oktober 2017, pasien dilarikan ke
Rumah Sakit Sentosa dan diberikan Carbamazepine, tetapi setelah mengonsumsi obat
tersebut, pasien merasakan kulitnya seperti terbakar dan menjadi kemerahan dan
memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan.
Pada tanggal 30 Oktober 2017 , pasaien mengalami kejang di tempak bekerja,
menurut rekan kerjanya pasien kejang dengan disertai keluar busa dari mulutnya,
gerakan kaki dan tangan yang cukup kuat sehingga dipegang oleh rekan kerjanya pada
saat itu. Pasien dibawa ke rumah dan beristirahat selama dua hari. Pada tanggal 1
november 2017 pasien dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Pasien tidak mengetahui aktivitas tertentu yang menjelang kejang, seperti : melihat
kilatan cahaya, membaca buku, mendengar lagu, makan, menyikat gigi, buang air kecil,
dan lain-lain. Di antara episode kejang, pasien sadar dan dapat melakukan aktivitas
dengan normal. Pasien tidak mengalami mulut mencong, bicara rero, kelemahan anggota
gerak badan, dan nyeri kepala yang berlebih. Pasien juga tidak mengalami baal atau
kesemutan sebelah tubuh, penglihatan ganda atau buram sesaat, pusing berputar, dan baal
sekitar mulut. Pasien tidak mengalami gangguan BAB. Pasien tidak mengeluhkan adanya
lemas badan, wajah pucat, dan perdarahan spontan. Pasien dinyatakan mengalami
epilepsi dan dirawat selama dua puluh hari di ruang adenium. Saat ini pasien
mengonsumsi obat Levetiracetab 2x1 pagi dan malam. Dan setelah dirawat sampai
sekarang pasien tidak pernah mengalami kejang lagi.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien pernah mengalami trauma leher yang disebabkan oleh saudaranya saat
melakukan peregangan pada otot lehernya.
Riwayat penyakit jantung, paru-paru, ginjal, diabetes, kolesterol dan riwayat stroke
disangkal.
Riwayat Keluarga
Riwayat epilepsi dalam keluarga tidak ada. Riwayat stroke dalam keluarga tidak ada.
Tidak ada riwayat kejang saat pasien masih kecil.
STATUS INTERNA
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva : anemis - / -
Sklera : ikterik - / -
Leher : pembesaran KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris
Jantung : bunyi jantung murni regular, murmur (-), BPH ICS V , batas jantung normal
Paru-paru : VBS kiri=kanan, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Datar, lembut
Hepar/Lien tidak teraba
Bising usus (+) / tidak meningkat
Ekstremitas : sianosis -/-, edema -/-
Clubbing -/-, Livernail -/-
Turgor baik
STATUS NEUROLOGIKUS
Pemeriksaan Umum
Kepala : Normocephal
Collumna Vertebra : Tidak ada deformitas
Tingkat Kesadaran : Compos mentis
Koordinasi :
Cara bicara : Baik
Tes telunjuk hidung : Tidak dilakukan
Tes Romberg : Tidak dilakukan
Sistem Motorik :
Anggota badan atas : Kekuatan otot 5/5, atrofi -, fasikulasi -
Anggota badan bawah :Kekuatan otot 5/5, atrofi -, fasikulasi –
Gerakan involunter : (-)
Sistem Sensorik :
- Eksteroseptif : kesan tidak ada kelainan
- Proprioseptif : kesan tidak ada kelainan
Refleks Fisiologis
Biceps : +/+
Triceps : +/+
Radialis : +/+
Patella : +/+
Achilles : +/+
Abdomen
- Epigastrium : +/+
- Paragastrium : +/+
- Hipogastrium: +/+
Kremaster : Tidak dilakukan
Anal : Tidak dilakukan
Refleks Patologis
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Hoffman Tromner : -/-
Mendel Bechterew : -/-
Rossolimo : -/-
Klonus:
- Patella : -/-
- Achilles : -/-
Refleks regresi
Glabela :-
Mencucu :-
Memegang :-
Masseter :-
Palmomental : -
Cranial Nerve
NI : Penciuman : tidak dilakukan
NII : Lapang pandang : tidak ada kelainan
N III/IV/VI :
Ptosis : -/-
Pupil : bulat isokor Ө ODS 3mm
Refleks cahaya (D/I) : + /+
Posisi mata : di tengah
Gerakan bola mata : baik, ke segala arah
Nistagmus : (-)
NV :
Motorik : tidak ada kelainan
Sensorik : tidak ada kelainan
Refleks kornea : tidak dilakukan
N VII : *Motorik
Parese :-
Gerakan involunter : -
*Sensorik
Rasa kecap (2/3 bagian depan lidah): Tidak dilakukan
*Lakrimasi :-
N VIII : Pendengaran : Kesan tidak ada kelainan
Keseimbangan : Kesan tidak ada kelainan
N IX/X : Suara/bicara : Baik
Menelan : Kesan tidak ada kelainan
N XI : Angkat bahu : Tidak ada kelainan
Menengok kanan kiri : Tidak ada kelainan
NXII Gerakan lidah : Tidak ada kelainan
Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
EPILEPSI
A. DEFINISI
Menurut Fisher et.al, epilepsi adalah penyakit otak yang ditandai dengan:
• Minimal 2 bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan refleks dengan jarak antar
bangkitan >24jam.
• Satu bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan refleks dengan kemungkinan besar
bangkitan berulang (adanya riwayat stroke, riwayat infeksi SSP, cedera kepala, tumor
otak, terdapat gelombang epileptogenik pada EEG)
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang diprovokasi oleh stimulus eksternal maupun internal
yang selalu serupa, dapat berupa melihat kilatan cahaya, membaca buku, mendengar lagu, dll.
Bangkitan epileptik sendiri memiliki kriteria sebagai berikut:
B. KLASIFIKASI
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe serangan / bangkitan epilepsi
1. Serangan Parsial
1.1. Serangan parsial sederhana
1.1.1. Motorik
1.1.2. Sensorik
1.1.3. Otonom
1.1.4. Psikis
1.2. Serangan parsial kompleks
1.2.1. Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2. Gangguan kesadaran saat awal serangan
1.3. Serangan umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana menjadi tonik klonik
1.3.2. Parsial kompleks menjadi tonik klonik
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik
2. Serangan Umum
2.1. Absence (lena)
2.2. Mioklonik
2.3. Klonik
2.4. Tonik
2.5. Tonik klonik
2.6. Atonik
3. Tak Tergolongkan
Klasifikasi ILAE 1989 untuk Epilepsi dan sindroma epilepsi
1. Berkaitan dengan letak fokus
1.1. Idiopatik
1.1.1. Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsi with centrotemporal spikes)
1.1.2. Epilepsi oksipital pada anak (childhood epilepsi with occipital paroxysms)
1.1.3. Epilepsi yang berhubungan dengan membaca
1.2. Simtomatik
1.2.1. Epiolepsi parsial kontinua pada anak-anak
1.2.2. Sindroma dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan yang
spesifik (kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Lobus temporalis
1.2.4. Lobus frontalis
1.2.5. Lobus parietalis
1.2.6. Lobus oksipitalis
1.3. Kriptogenik
2. Sindroma epilepsi umum
2.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4. Epilepsi absans pada anak
2.1.5. Epilepsi absans pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga dari tidur
2.1.8. Epilepsi idiopatik umum lainnya yang tidak termasuk definisi diatas
2.1.9. Epilepsi dengan bangkitan kejang yang dispresipitasi dengan aktifasi spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simptomatik
2.2.1. Sindroma West (spasmus infantil)
2.2.2. Sindroma Lennox Gastaut
2.2.3. Epilepsi dengan bangkitan mioklonik-astatik
2.2.4. Epilepsi dengan mioklonik-absan
2.3. Simptomatik
2.3.1. Dengan etiologi yang tidak spesifik
2.3.1.1. Ensefalopati dengan miklonik dini
2.3.1.2. Epilepsi ensefalopati pada masa bayi dengan burst supresi
2.3.1.3. Epilepsi umum simptomatik lainnya yang tidak termasuk diatas
2.3.2. Sindroma yang spesifik
2.3.2.1. Bangkitan epilepsi yang disebabkan oleh komplikasi berbagai
penyakit, dengan bangkitan kejang sebagai gambaran utama
3. Epilepsi dan sindroma epilepsi yang tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum
3.1. Bangkitan Fokal dan umu
3.1.1. Bangkitan pada neonatus
3.1.2. Epilepsi miklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku-ombak yang kontinu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi yang berupa afasia yang didapat (Sindroma Landau-Kleffner)
3.1.5. Epilepsi lain yang tidak disebutkan diatas
3.2. Tanpa bangkitan fokal atau umum yang ekuifokal
4. Sindroma epilepsi khusus
4.1. Epilepsi berkaitan dengan situasi
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan tunggal atau Status epileptikus tunggal
4.1.3. Bangkitan kejang berkaitan dengan kejadian metabolic akut atau toksik,
disebabkan oleh pemakaian alcohol, obat-obatan, Eklamsia, hiperglikemia non
keto asidosis
C. ETIOLOGI
D. PATOFISIOLOGI
Bangkitan merupakan suatu manifestasi klinis yang bersifat tiba-tiba karena aktivitas
neuronal pada otak. Bangkitan disebabkan karena ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi
yang terjadi pada jaringan neuron otak. Manifestasi yang timbul dapat berupa gangguan
motorik, sensorik, otonomik, kognitif, atau yang lainnya. Terdapat perbedaan patofisiologi
dari bangkitan parsial dan umum.
a) Patofisiologi Bangkitan Parsial
Berkurangnya Inhibisi
Pelepasan GABA dari ujung interneuron sehingga menghambat neuron postsinaptik dengan 2
mekanisme, yaitu menghambat inhibitory postsynaptic potential (IPSP), dimediasi oleh
GABA-A, dan menghambat neurotransmiter eksitasi pada presinaptik, dimediasi oleh
GABA-B. Gangguan atau mutasi dari kedua hal tersebut dapat menyebabkan bangkitan atau
bangkitan berulang (epilepsi).
Mekanisme yang dapat menyebabkan berkurangnya inhibisi
Gangguan inhibisi GABA-A
Gangguan inhibisi GABA-B
Gangguan aktivasi GABA
Gangguan penyangga (buffer) kalsium intrasel
Meningkatnya Aktivasi
Salah satu contoh patofisiologi dari bangkitan umum adalah gangguan pada interaksi
talamokortikal sehingga menyebabkan bangkitan umum lena (absence). Sirkuit
talamokortikal memiliki ritme yang berosilasi, yaitu terdapat periode meningkatnya eksitasi
dan meningkatnya inhibisi. Sirkuit talamokortikal meliputi neuron piramidal di neokorteks,
thalamic relay neuron, dan neuron di nucleus reticularis of thalamus (NRT). Gangguan pada
ritme di talamokortikal dapat menyebabkan onset awal dari bangkitan umum. Thalamic relay
neurons menerima informasi dari sumsum tulang belakang dan akan diprojeksikan ke neuron
piramidal di neokorteks. Impuls inhibitori dari NRT akan mengontrol aktivitas dari thalamic
relay neuron. Neuron NRT berfungsi sebagai inhibitori (GABA sebagai neutrotransmiter
utama). NRT mengatur aktivasi dari saluran kalsium T di thalamic relay neuron. Saluran
kalsium T memiliki 3 tahap fungsional, yaitu terbuka, tertutup, dan inaktivasi. Kalsium dapat
masuk ke sel jika saluran tersebut terbuka. Setelah itu, saluran tersebut tidak dapat terbuka
sebelum melewati fase inaktivasi.
Terdapat reseptor GABA-B pada thalamic relay neuron dan akan teraktivasi oleh
GABA yang dilepaskan dari NRT. Hal ini membuat terjadinya hiperpolarisasi, sehingga
menyebabkan perubahan dari fase inaktivasi pada saluran kalsium T menjadi fase tertutup
yang dapat teraktivasi jika diperlukan. Berdasarkan penelitian pada hewan, reseptor GABA-B
antagonis dapat menekan terjadinya bangkitan lena (absence).
E. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakan
diagnosis adalah seperti berikut:
a) Anamnesis
2. Faktor Pencetus: Lelah, kurang tidur, hormonal, stress, putus alkohol, putus obat anti
epilepsi.
3. Tentang bangkitan: Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan
4. Terapi dan penyakit sekarang: Terapi sebelumnya dan respon terhadap terapi, dan
apakah terdapat penyakit yang menyertai.
5. Riwayat:
a. Epilepsi dan keluhan sama pada keluarga
b. Selama dalam kandungan, masa kelahiran, dan tumbuh kembang
c. Kejang demam
d. Trauma/stroke/infeksi SSP
o Trauma kepala
o Tanda tanda infeksi
o Kelainan congenital
o Kecanduan alcohol
o Kelainan pada kulit
o Tanda tanda keganasan
Pemeriksaan Neurologis
Untuk mencari tanda tanda defisit neurologis fokal atau difus yang telah berhubungan dengan
epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka akan tampak
pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi:
o Paresis Todd
o Gangguan kesadaran pascaiktal
o Afasia pascaiktal
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Electroencephalography (EEG)
Penempatan elektroda pada kulit kepala dan dilakukan minimal 20-30 menit sambil
dilakukan prosedur aktivasi seperti hiperventilasi dan stimulasi fotik untuk melihat
adanya gelombang epileptogenik sehingga dapat membantu menentukan letak fokus
epilepsi.
2. Pemeriksaan pencitraan otak: CT Scan dan MRI
Berguna untuk mendeteksi lesi di otak sebagai penyebab bangkitan.
3. Pemeriksaan lab: Hematologi, fungsi hati (SGOT/SGPT), elektrolit, ureum, kreatinin
4. Pemeriksaan kadar OAE dalam darah
5. Pemeriksaan penunjang lain: Dilakukan sesuai indikasi misalnya Pungsi lumbar dan
EKG.
F. TATALAKSANA EPILEPSI
Penanganan Pertama jika bangkitan terjadi di luar Faskes
1. Bersikaplah tenang dan beradalah disamping pasien
2. Hindarkan pasien dari kerumunan massa dan benda-benda berbahaya di sekitar.
3. Posisikan pasien ke posisi lateral decubitus, untuk mencegah aspirasi jika ada muntah.
4. Longgarkan pakaian pasien yang mengikat.
5. Jangan memasukkan apapun ke mulut pasien dan menahan pasien
6. Jangan menahan gerakan pasien.
7. Terus berbicara pada pasien selama bangkitan untuk menenangkan dan menyadarkan
pasien.
8. Amati bentuk dan lamanya kejang.
9. Hubungi ambulans jika:
a. Bangkitan terjadi di air
b. Terdapat kesulitan bernapas,
c. Bangkitan >5menit atau terjadi bangkitan susulan segera setelah bangkitan
pertama
d. Terdapat trauma
e. Terdapat nyeri kepala yang menetap setelah bangkitan
f. Terdapat gangguan penglihatan
g. Penurunan kesadaran pascabangkitan
h. Pupil anisokor/midriasis bilateral
i. Pasien muntah.
j.
Penanganan Pertama jika bangkitan terjadi di tempat praktik
- Dokumentasikan TTV dan derajat kesadaran
- Bentuk bangkitan
- Bila bangkitan umum > 5 menit beri diazepam
- Catat jumlah dan waktu pemberian diazepam
- Catat hasilnya setelah pemberian
- Nilai kembali TTV
- Hentikan diazepam jika sudah berhenti kejangnya
Terapi Pendahuluan
Bertujuan untuk menghentikan kejang/bangkitan dan mencegah terjadinya trauma akibat
kejang tersebut.
Pemberian antikonvulsan
- Pada bangkitan pertama, tidak direkomendasikan untuk pemberian antikonvulsan
jangka panjang, kecuali bila penyebabnya diketahui dan tidak dapat dikoreksi,
sehinggaakan timbul kejang susulan.
- Pada bangkitan berulang, bangkitan multiple atau status epilepticus diberikan
antikonvulsan.
Prinsip terapi
1. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan Obat Anti Epilepsi (OAE) pilihan
utama sesuai dengan jenis kejang/bangkitan.
2. Pemberian dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan/titrasi bertahap sampai dosis
efektif (dosis terkecil yang dapat menghentikan bangkitan) tercapai.
3. Dosis rumatan OAE memadai.
4. Hindari faktor pencetus/bangkitan seperti: tidur teratur, menghindari stress,
menghindari kelelahan berlebihan, menghindari pencetus spesifik untuk epilepsi
reflex.
5. Pemberian asam folat 1-5 mg/hari, terutama pada pasien wanita usia reproduktif untuk
mencegah cacat janin.
Tabel Efektivitas Obat Anti Epilepsi (OAE) untuk tiap jenis bangkitan
OAE Bangkitan Bangkitan BU Tonik- Bangkitan Bangkitan
Fokal Umum Klonik Lena Mioklonik
Sekunder
As. Valproat +B +B +C +A +D
Carbamazepin +A +A +C - -
Clonazepam +D - - - -
Fenobarbital +C +C +C 0 ?+
Fenitoin +A +A +C - -
Gabapentin +C +C ?+D 0 ?-
Lamotrigin +C +C +C +A +-
Levetiracetam +A +A ? +D ?+ ?+
Oxcarbazepin +C +C +C - -
Topiramat +C +C +C ? ?+D
Zonisamid +A +A ?+ ?+ ?+
A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin efektif sebagai monoterapi; C: mungkin
efektif sebagai monoterapi; - tidak dapat digunakan.
Berdasarkan Badan POM Indonesia
Kejang fokal (Partial seizures) dengan atau tanpa generalisasi sekunder. Karbamazepin,
lamotrigin, okskarbazepin, natrium valproat, dan topiramat merupakan obat pilihan untuk
partial (fokal) seizure; terapi lini kedua meliputi klobazam, gabapentin, levetirasetam,
pregabalin, tiagabin, dan zonisamid.
Kejang mioklonik (myoclonic seizures). Kejang mioklonik (myoclonic jerk) muncul dalam
berbagai gejala dan respon terhadap terapi amat bervariasi. Natrium valproat merupakan obat
pilihan dan klonazepam dan lamotrigin dapat digunakan.
Obat alternatif meliputi klobazam, levetirasetam dan topiranat. Untuk rujukan penggunaan
pirasetam sebagai terapi tambahan, dapat dilihat pada Bab 4.9.3.
Kejang tonik, atonik dan absans atipikal (Atypical absence, atonic, and tonic seizures). Jenis
kejang ini biasanya muncul pada masa kanak-kanak, pada sindroma epilepsi spesifik, atau
yang berhubungan dengan kerusakan serebral atau retardasi mental. Tipe kejang ini
memberikan respon yang buruk terhadap terapi tradisional. Dapat dicoba pemberian natrium
valproat, lamotrigin, dan klonazepam. Terapi lini kedua yang meliputi asetazolamid,
klobazam, etosuksimid, levetirasetam, fenobarbital, fenitoin, dan topiramat cukup menolong.
Sindrom Epilepsi
Kejang pada anak Vigabatrin adalah obat pilihan untuk kejang pada anak terkait
tuberous sclerosis. Untuk penanganan kejang karena sebab lain penggunaan kortikosteroid
dosis tinggi seperti prednisolon lebih efektif. Pilihan lini kedua adalah klobazam,
klonazepam, natrium valproat dan topiramat; nitrazepam juga digunakan tetapi
menimbulkan efek sedasi. Dapat juga digunakan tetrakosaktid (bab 6.5.1). Sindrom
Lennox-Gastaut Lamotrigin, natrium valproat, dan topiramat merupakan obat lini pertama
dalam penanganan sindrom Lennox-Gastaut. Dapat juga digunakan klobazam, klonazepam,
etosuksimid, dan levetirasetam.
Kejang pada neonatal Kejang dapat terjadi sebelum bayi dilahirkan, tetapi biasanya
terjadi hingga 24 jam setelah dilahirkan. Kejang pada neonatal terjadi sebagai akibat dari
enselopati, gangguan biokimiawi, gangguan metabolisme bawaan, hypoxic ischaemia,
penghentian obat, severe jaundice (kernicterus), meningitis, atau kerusakan otak. Kejang
yang disebabkan ketidakseimbangan biokimiawi dan pada neonatal dengan kelainan
metabolisme piridoksin atau biotin, sebaiknya diperbaiki dengan mengatasi penyebabnya.
Kejang karena penghentian obat yang diikuti pajanan intrauterus diatasi dengan
memberikan regimen obat yang dihentikan tersebut.
Fenobarbital dapat menjadi pilihan jika terdapat risiko kejang berulang pada neonatal.
Benzodiazepin (klonazepam, diazepam, lorazepam dan midazolam) dan paraldehid rektal
dapat digunakan dalam penanganan kejang singkat dengan risiko kecil untuk berulang.
Sediaan
Penggolongan
e) Golongan lain : asam Valproat yakni Untuk epilepsi umum, kurang efektif untuk
psikomotor. Obat ini bekerja dengan cara:
1) Memperkuat efek GABA ( Gamma-aminobutiric acid ) sehingga mencegah
terjadinya konvulsi/kejang
2) Meningkatnya kadar asam gama amino butirat ( GABA ) dalam otak .
Penghentian OAE secara bertahap dipertimbangkan bila 3-5 tahun pasien bebas bangkitan,
kecuali pada epilepsi simptomatik dan kriptogenik, yang pengobatannya dapat seumur hidup.
G. STATUS EPILEPTIKUS
Status Epileptikus adalah kejang yang berlangsung selama >=30 menit atau adanya 2
bangkitan atau lebih tanpa disertai pemulihan kesadaran di antaranya.
1) Tipe
• SE konvulsif (bangkitan >=5 menit, atau 2 bangkitan berulang tanpa disertai
pemuliham keaadaran di antaranya, berbentuk umum tonik-klonik)
• SE non-konvulsif (aktivitas EEG meningkat dengan Gejala klinis nonmotorik
termasuk Perubahan perlaku, dan penurunan kesadaran)
2) Durasi
• SE dini/ impending(5-30 menit)
• SE menetap/established (>30 menit)
• SE refrakter (SE yang menetap Setelah mendapat 2 atau 3 jenis antikonvulsan
awal dengan dosis adekuat)
3) Diagnosis Klinis
• SE KONVULSIF
• Terdapat kejang umum tonik-klonik
• Kejang berlangsung 5 menit atau lebih, ATAU kejang berulang tanpa
pemulihan kesadaran di antaranya
• SE NON-KONVULSIF
• Terdapat gangguan kesadaran yg memanjang, berlangsung 5 menit
atau lebih, ATAU
• Terdapat bangkitan Selain Bangkitan umum tonik-klonik Yang
berlangsung 5 menit atau lebih
4) Tatalaksana Sebelum di Rumah Sakit
• Pemberian benzodiazepine (diazepam) 10-20 mg perrektal atau 0,3-0,5
mg/kgBB dgn kecepatan 5 mg/menit, diulang 15 menit kemudian max. 3 kali /
midazolam buccal (belum tersedia di Indonesia)
• Panggil ambulans jika
• Bangkitan >=5 menit Setelah pemberian obat
• Pasien ada riwayat sering bangkitan serial/konvulsius
• Terdapat kesulitan monitoring jalam napas, Pernapasan, sirkulasi, atau
tanda vital lainnya
• Lanjutkan OAE sesuai yang digunakan sebelumnya, dengan dosis penuh.
5) Tatalaksana Emergensi di PPK 1
Stadium I (0-10 menit, SE dini)
• Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi
• Berikan oksigen
• Periksa fungsi kardiorespirasi
• Pasang infus
Stadium 2 (0-30 menit)
• Monitor pasien
• Pertimbangan kemungkinan kondisi non-epileptik
• Terapi antiepilepsi emergensi
• Pemeriksaan emergensi
• Berikan glukosa (D5%) 50ml dan/atau thiamine 250mg IV jika ada kecurigaan
penyalahgunaan Alkohol atau defisiensi nutrisi
• Terapi asidosis jika terdapat asidosis berat
Pemeriksaan Emergensi
Darah lengkap, gas darah, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium, faal
hemostasis, kadar obat antiepilepsi, toksikologi jika penyebab tidak jelas, foto thorax
utk evaluasi kemungkinan aspirasi, pungsi lumbal dan pencitraan otak bila perlu
Stadium 3 (0-60 menit, SE Menetap)
• Pastikan etiologi
• Siapkan rujuk ke ICU
• Identifikasi dan terapi komplikasi yg terjadi
• Vasopressor bila diperlukan
Stadium 4 (30-90 menit, SE refrakter)
• Pindah ke ICU dan monitor EEG
• Monitor tekanan intrakranial bila diperlukan
• Berikan antiepilepsi jangka panjang
Pengawasan
Observasi tanda vital, EKG, status neurologis, kimia darah, gas darah, pembekuan
darah, kadar OAE, monitor EEG pada SE refrakter
6) Rujukan
Setelah stabilisasi jalam napas, pernapasan, sirkulasi, dan pemberian terapi emergensi,
rujuk ke spesialis saraf di rumah sakit
• Pasien harus didampingi dokter atau peraeat yang mahir resusitasi
• Pertahankan patensi jalan napas dan kardiorespirasi
• Berikan O2 dan infus normal saline 0,9%
• Monitor tanda vital
• Buat catatan kronologis status epileptikus dan terapi yang telah diberikan
7) Terapi Pasca Rujukan Balik
Berikan terapi sesuai saran dokter spesialis saraf yang tertulis di lembar rujukan balik
Rujuk kembali ke spesialis saraf jika:
• Keluhan Terkait efek samping obat
• Perubahan bentuk bangkitan
• Rencana pernikahan dan kehamilan
• Bangkitan belum teratasi