Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT SESSION

NYERI KEPALA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepanitraan


Ilmu Penyakit Saraf

Disusun oleh :

Vidia Kamila Noviyanti (4151161505)


I Nyoman Warastra (4151161510)
Novianti Hasnah Ludin (4151161519)

Pembimbing :
dr. Budhi Suwarma, Sp.S

Bagian Ilmu Penyakit Saraf


Fakultas Kedokteran Unjani–Rumkit Tk II Dustira
Cimahi
2018
STATUS NEUROLOGIK
Nama Mahasiswa : Vidia Kamila Noviyanti No. Pokok : 4151161505
I Nyoman Warastra 4151161510
Novianti Hasnah Nudin 4151161519

Tanggal : 10 September 2018 Ujian ke :

KETERANGAN UMUM
Nama : Ny. Esih Kawin : Menikah
Umur : 57 tahun Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Cipeundeuy RT 003/007 Pasirlangu
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

ANAMNESA
Keluhan Utama: nyeri kepala
Pasien datang ke UGD RS. Dustira pukul 13.00 WIB dengan keluhan nyeri kepala
di bagian atas sejak 1 hari SMRS. Nyeri kepala dirasakan seperti ditindih benda berat.
Keluhan dirasakan semakin bertambah saat beraktivitas dan dengan istirahat nyeri
kepala sedikit berkurang. Keluhan disertai rasa mual dan nyeri di lutut di kedua kaki
dan di jari jemari kedua tangan yang dirasakan sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan nyeri
di sendi-sendi nya membuat pasien tidak bisa lagi bekerja sebagai tukang pijit. Saat ini
pasien masih dapat melakukan aktivitas rutin walaupun nyeri kepala dirasakan
mengganggu. Keluhan nyeri kepala seperti ini sudah dialami sejak usia muda namun
dirasakan semakin sering timbul sejak 1 tahun yang lalu dan dirasakan hilang timbul.
Nyeri kepala timbul ± 6 kali dalam sebulan dan dapat berlangsung selama 1 jam hingga
6 jam setiap serangan.
Keluhan nyeri kepala tidak dirasakan seperti berdenyut, bertambah ketika
mendengar suara yang bising atau ketika melihat cahaya. Keluhan tidak didahului
adanya penglihatan bercak-bercak seperti bintang. Keluhan tidak disertai mual dan
muntah. Pasien mengatakan tidak terdapat keluhan bengkak pada daerah mata, hidung
tersumbat dan keluar cairan dari mata ataupun hidung. Keluhan juga tidak disertai
dengan adanya lemah badan, telinga berdenging, baal atau kesemutan pada tangan dan
kaki, serta gangguan bicara. Keluhan nyeri kepala tidak dipengaruhi oleh mengunyah,
menelan, dan berbicara. Riwayat trauma dan infeksi sebelumnya tidak ada.
Pasien memiliki riwayat darah tinggi dan pasien sering kontrol ke Puskesmas dan
rajin meminum obat. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit kencing manis dan
penyakit jantung. Pasien juga jarang melakukan olahraga. Menurut keterangan pasien,
pasien sering mengkonsumsi makanan seperti gorengan, masakan bersantan. Pasien
tidak memiliki kebiasaan merokok. Riwayat keluhan serupa di keluarga pasien tidak
ada

A. PEMERIKSAAN FISIK
 Kesadaran : Compos mentis
 Tensi : 150/90 mmHg
 Nadi : 88 x/menit
 Pernafasan : 18 x/menit
 Suhu : 37,0 C
 Tugor : Kembali Cepat
 Gizi : Normal
 Kepala : Normochepal
 Conjunctiva : Anemis -/-
 Sclera : Ikterik -/-
 Leher : Normal
 Thorax : Simetris
 Jantung : BJ I dan II murni reguler
 Paru-paru : VBS (+/+) kanan=kiri, wheezing (-/-), ronchi (-/-)
 Abdomen : Datar, soepel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
 Genital : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas : Akral hangat

B. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
1. Penampilan
Kepala : Normochepal
Columna vertebra : Tidak ada kelainan

2. Pemeriksaan Fungsi Luhur


Hubungan Psikis
Afasia : Motorik :-
Sensorik :-
Ingatan : Jangan pendek : Normal
Jangka panjang : Normal
Kemampuan berhitung : Normal

3. Rangsang Meningen / Iritasi Radiks


 Kaku Kuduk :-
 Test Brudzinsky I :-
 Test Brudzinsky II : -
 Test Brudzinsky III : -
 Test Laseque : kanan >700 kiri >700
 Test Kernig : kanan >1350 kiri >1350
4. Saraf Otak
N. I : Penciuman : Normosomia
N. II : Ketajaman Penglihatan : Dalam Batas Normal
Campus : Dalam Batas Normal
Fundus Oculi : tidak diperiksa

N. III/IV/V : Ptosis : Tidak ada


: Pupil : pupil bulat, isokor
: Refleks Cahaya (D/I) : Direk +/+ , Indirek +/+
: Refleks Konvergensi : +/+
: Posisi Mata : Di tengah
: Gerakan Bola Mata : Tidak ada kelainan
: Nystagmus :-

N. V : Sensorik : Normal
: Oftalmikus : Normal/Normal
: Maksilaris : Normal/Normal
: Mandibularis : Normal/Normal
: Motorik : Normal

N. VII : Gerakan Wajah : Normal/Normal


: Plicanasolabialis : Simetris
: Angkat Alis Mata : Simetris
: Memejamkan Mata : Simetris
: Rasa Kecap 2/3 bagian muka lidah : Normal

N. VIII : Pendengaran : Normal


: Keseimbangan :Tidak dilakukan
N. IX / X : Suara : Normal
: Menelan : Normal
: Gerakan Palatum & Uvula : Simetris
: Refleks Muntah : tidak dilakukan
: Rasa Kecap 1/3 bagian muka lidah : Normal

N. XI : Angkat Bahu : +/+


: Menengok ke kanan-kiri : +/+

N. XII : Gerakan Lidah : Normal


: Arofi :-
: Tremor / Fasikulasi :-

5. Motorik
Kekuatan Tonus Atrofi Fasikulasi
Anggota badan atas 5/5 Normal - -
Anggota badan 5/5 Normal - -
bawah

Batang Tubuh : Tidak ada kelainan


Gerakan Involunter : Tidak ada
Cara berjalan/gait : Sulit dinilai
Lain-lain :-

6. Sensorik
Permukaan Dalam
Anggota badan atas Nomal/Normal Normal/Normal
Batang tubuh Normal Normal
Anggota badan bawah Normal/Normal Normal/Normal

Gambar / Cap :

7. Koordinasi
Cara Bicara : Tidak ada kelainan
Tremor :-
Tes Telunjuk Hidung : Normal
Test Tumit Lutut : Tidak dilakukan
Tes Roomberg : Tidak dilakukan

Kanan Kiri
8. A. Refleks Fisiologis
Anggota Badan Atas : Biceps : + +
: Triceps : + +
: Radial : + +
Dinding Perut : Epigastrik : + +
: Hipogastrik : + +
: Mesogastrik : + +
: Kremaster : + +
Anggota Badan Bawah : Patella : + +
: Achilles : + +

B. Klonus : Patella : Tidak dilakukan pemeriksaan


: Achilles : Tidak dilakukan pemeriksaan
C. Refleks Patologi
 HoffmanTromner : - -
 Babinski : - -
 Chaddock : - -
 Openhaim : - -
 Schaeffer : - -
 Roselimo : - -
 Mendel Betherew : - -

D. Refleks Primitif
 Glabella : - -
 Mencucut Mulut : - -
 Palmo Mental : - -

9. Fungsi Otonom
BAK/BAB : Tidak terganggu

RESUME
ANAMNESA
Perrempuan 57 tahun, datang ke UGD RS. Dustira pukul 13.00 WIB dengan
keluhan nyeri kepala di bagian atas sejak 1 hari SMRS. Nyeri kepala dirasakan seperti
ditindih benda berat. Keluhan disertai mual dan nyeri-nyeri sendi sejak 2 tahun yang
lalu sehingga pasien berhenti bekerja sebagai tukang pijit. Keluhan dirasakan semakin
bertambah saat beraktivitas dan dengan istirahat nyeri kepala sedikit berkurang. Pasien
masih dapat melakukan aktivitas rutin walaupun nyeri kepala dirasakan mengganggu.
Keluhan nyeri kepala seperti ini sudah dialami sejak usia muda namun dirasakan
semakin sering timbul sejak 1 tahun yang lalu dan dirasakan hilang timbul. Nyeri
kepala timbul ± 6 kali dalam sebulan dan dapat berlangsung selama 1-6 jam setiap
serangan.
Pasien memiliki riwayat hipertensi (+) yang terkontrol. Riwayat DM (-) dan
penyakit jantung (-). Pasien sering mengonsumsi makanan berlemak dan jarang
olahraga. Riwayat keluarga (-)

PEMERIKSAAN FISIK
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda Vital : Tensi : 150/90 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 37,0 C
 Status Interne dalam batas normal
 Status Neurologikus
- Fungsi Luhur : Normal
- Rangsang Meningen :-
- Saraf Otak : Normal
- Motorik 5 5
5 5
- Sensorik : Normal/ Normal
- Reflek Fisiologis : +/+
- Reflek Patologis : -/-
- Koordinasi : Normal
- Vegetatif : Normal

DIAGNOSA
 KLINIK : Tension Type Headache
 LOKASI : Frontal Bilateral
 ETIOLOGI : Idiopatik
 FAKTOR RISIKO :-

DIAGNOSA DIFFERENSIAL
1. Cephalgia Primer e.c Tension Type Headache
2. Nyeri Kepala Sekunder

PROGNOSA
 Ad Vitam : ad bonam
 Ad Fungsionam : ad bonam

USUL PEMRIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan laboratorium: Darah rutin lengkap, Elektrolit, Gula Darah Sewaktu,
Kolesterol total, LDL, HDL, Trigliserida, Asam urat.
2. CT-scan kepala

USUL TERAPI
1. TERAPI UMUM
• Edukasi: hindari faktor pencetus, tidur teratur, cegah stress, olahraga

2. TERAPI KHUSUS
Analgetik
- Asetaminofen: PCT 500 mg, 2 dd 1 tab
atau
- NSAID oral: Ibuprofen 800 mg/hari
GLASGOW COMA SCALE

Nama Pasien : Ny. Esih


Umur : 57 tahun
Alamat : Cipeundeuy RT 003/007 Pasirlangu
Tanggal : 10 September 2018

Membuka Mata

Tidak membuka mata E1


Terhadap rangsangan nyeri E2
Terhadap perintah atau suara E3
Spontan bersama kedipan E4

Respon Motorik (lakukan pada ekstremitas normal)

Tidak ada M1
Ekstensi lengan terhadap rangsangan nyeri M2
Flexi lengan terhadap rangsangan nyeri M3
Menarik lengan dari rangsangan nyeri M4
Tangan melokalisasi rangsangan nyeri M5
Menurut perintah M6

Respon Verbal

Tidak ada V1
Bersuara namun kata-kata tidak dikenal V2
Perkkataan tidak tepat (inappropriate) V3
Bicara ngawur V4
Normal V5

GCS : 15 (Normal)
INDEX BARTHEL

Nama pasien : Ny. Euis

Pemeriksa : Vidia Kamila Noviyanti, I Nyoman Warastra, dan Novianti Hasnah

Tanggal : 10/09/2018

AKTIVITAS

MAKAN

0 : Tidak mandiri
5 : Membutuhkan pertolongan (memotong, mengoleskan mentega, 8
atau membutuhkan modifikasi diet)
10 : Mandiri
MANDI

0 : Tidak mandiri
5 : Mandiri (atau dengan shower) 5
MENGURUS KEBERSIHAN DIRI

0 : Membutuhkan pertolongan dalam merawat diri


5 : Mampu mencuci muka, menyisir rambut, menyikat gigi, mencukur 5
BERPAKAIAN

0 : Tidak mandiri 10
5 : Perlu pertolongan, tapi dapat melakukan separuhnya
10 : Mandiri sendiri (mengancingkan, mengikat sepatu, memakai ikat pinggang)
CARA BAB

0 : Inkontinensia ( atau memerlukan enema)


5 : Sering ada hambatan
10 : Teratur 10
CARA BAK

0 : Inkontinensia ( atau dengan kateter dan tidak dapat mandiri )


5 : Sering ada hambatan
10 : Teratur 10
PENGGUNAAN TOILET

0 : Tidak mandiri
5 : Membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal sendiri 8
10 : Mandiri (membilas, berpakaian)
BERPINDAH (Kasur ke kursi/sebaliknya)

0 : Tidak mampu, tidak seimbang saat duduk 12


5 : Membutuhkan pertolongan mayor (bantuan fisik, ½ orang), dapat duduk
10 : Membutuhkan pertolongan minor (bantuan verbal atau fisik)
15 : Mandiri
MOBILITAS

0 : Immobile atau < 50 yard 12


5 : Tidak mampu menggunakan kursi roda, >50 yard
10 : Berjalan dengan bantuan 1 orang (bantuan verbal atau fisik) >50 yard
15 : Mandiri
NAIK TURUN TANGGA

0 : Tidak mandiri 10
5 : Membutuhkan bantuan
10 : Mandiri
Skor : 90

Skor < 60 : Prognosa buruk

Skor > 60 : Prognosa baik


TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
TTH adalah nyeri kepala yang dapat bersifat episodik, maupun kronik, yang bersifat
jarang, berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa hari. Nyeri memiliki
karakteristik bilateral, menekan (pressing/squeezing), atau mengikat, tidak berdenyut,
tidak dipengaruhi dan tidak diperburuk oleh aktivitas fisik, bersifat ringan hingga
sedang, tidak disertai mual dan atau muntah.

B. Etiologi
Penyebab dari TTH belum begitu jelas. Selama ini penyebab dari TTH sering
dihubungkan dengan peningkatan kontraksi otot pada daerah bahu, leher, kulit kepala,
dan rahang saat pada kondisi stres. Namun menurut teori terbaru TTH terjadi karena
adanya perubahan neurotransmitter (serotonin) yang terjadi juga pada nyeri kepala tipe
migraine.

C. Epidemiologi
Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri kepala. TTH
dan nyeri kepala servikogenik adalah dua tipe nyeri kepala yang paling sering dijumpai.
TTH adalah bentuk paling umum nyeri kepala primer yang mempengaruhi hingga dua
pertiga populasi. Sekitar 78% orang dewasa pernah mengalami TTH setidaknya sekali
dalam hidupnya. TTH episodik adalah nyeri kepala primer yang paling umum terjadi,
dengan prevalensi 1-tahun sekitar 38–74%.7 Rata-rata prevalensiTTH 11-93%. Satu
studi menyebutkan prevalensi TTH sebesar 87%. Prevalensi TTH di Korea sebesar
16,2% sampai 30,8%,8,9 di Kanada sekitar 36%,10 di Jerman sebanyak 38,3%, di
Brazil hanya 13%.12 Insiden di Denmark sebesar 14,2 per 1000 orang per tahun. Suatu
survei populasi di USA menemukan prevalensi tahunan TTH episodik sebesar 38,3%
dan TTH kronis sebesar 2,2%.13 TTH dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak
adalah 25-30 tahun, namun puncak prevalensi meningkat di usia 30-39 tahun. Sekitar
40% penderita TTH memiliki riwayat keluarga dengan TTH, 25% penderita TTH juga
menderita migren. Prevalensi seumur hidup pada perempuan mencapai 88%,
sedangkan pada laki-laki hanya 69%. Rasio perempuan:laki-laki adalah 5:4. Onset usia
penderita TTH adalah dekade ke dua atau ke tiga kehidupan, antara 25 hingga 30 tahun.
Meskipun jarang, TTH dapat dialami setelah berusia 50-65 tahun.

D. Etiopatofisiologi
Secara umum diklasifi kasikan sebagai berikut:
a. organik, seperti: tumor serebral, meningitis, hidrosefalus, dan sifi lis
b. gangguan fungsional, misalnya: lelah, bekerja tak kenal waktu, anemia, gout,
ketidaknormalan endokrin, obesitas, intoksikasi, dan nyeri yang direfl eksikan.
Buruknya upaya kesehatan diri sendiri (poorself-related health), tidak mampu relaks
setelah bekerja, gangguan tidur, tidur beberapa jam setiap malam, dan usia muda adalah
faktor risiko TTH. Pencetus TTH antara lain: kelaparan, dehidrasi, pekerjaan/beban
yang terlalu berat (overexertion), perubahan pola tidur, caffeine withdrawal,dan
fluktuasi hormonal wanita. Stres dan konflik emosional adalah pemicu tersering TTH.
Gangguan emosional berimplikasi sebagai faktor risiko TTH, sedangkan ketegangan
mental dan stres adalah faktorfaktor tersering penyebab TTH. Asosiasi positif antara
nyeri kepala dan stres terbukti nyata pada penderita TTH.
Iskemi dan meningkatnya kontraksi otot-otot di kepala dan leher diduga penyebab
TTH, tetapi kadar laktat otot penderita TTH kronis normal selama berolahraga (static
muscle exercise). Aktivitas EMG (electromyography) menunjukkan peningkatan titik-
titik pemicudi otot wajah (myofascial trigger points). Riset terbaru membuktikan
peningkatan substansi endogen di otot trapezius penderita tipe frequent episodic TTH.
Juga ditemukan nitric oxide sebagai perantara (local mediator) TTH. Menghambat
produksi nitric oxide dengan agen investigatif (L-NMMA) mengurangi ketegangan
otot dan nyeri yang berkaitan dengan TTH. Mekanisme myofascial perifer berperan
penting pada TTH episodik, sedangkan pada TTH kronis terjadi sensitisasi central
nociceptive pathways dan inadequate endogenous antinociceptive circuitry. Jadi
mekanisme sentral berperan utama pada TTH kronis. Sensitisasi jalur nyeri (pain
pathways) di sistem saraf pusat karena perpanjangan rangsang nosiseptif (prolonged
nociceptive stimuli) dari jaringan-jaringan miofasial perikranial tampaknya
bertanggung-jawab untuk konversi TTH episodik menjadi TTH kronis. TTH episodik
dapat berevolusi menjadi TTH kronis:
A. Pada individu yang rentan secara genetis, stres kronis menyebabkan elevasi
glutamat yang persisten. Stimulasi reseptor NMDA mengaktivasi NFκB, yang memicu
transkripsi iNOS dan COX-2, di antara enzim-enzim lainnya. Tingginya kadar nitric
oxide menyebabkan vasodilatasi struktur intrakranial, seperti sinus sagitalis superior,
dan kerusakan nitrosative memicu terjadinya nyeri dari beragam struktur lainnya
seperti dura.
B. Nyeri kemudian ditransmisikan melalui serabut-serabut C dan neuron-neuron
nociceptive Aδ menuju dorsal horn dan nukleus trigeminal di TCC (trigeminocervical
complex.), tempat mereka bersinap dengan second-order neurons.
C. Pada beragam sinap ini, terjadi konvergensi nosiseptif primer dan neuron-neuron
mekanoreseptor yang dapat direkrut melalui fasilitasi homosinaptik dan heterosinaptik
sebagai bagian dari plastisitas sinaptik yang memicu terjadinya sensitisasi sentral.
D1. Pada tingkat molekuler, sinyal nyeri dari perifer menyebabkan pelepasan beragam
neuropeptida dan neurotransmiter (misalnya: substansi P dan glutamat) yang
mengaktivas reseptor-reseptor di membran postsynaptic, membangkitkan potensial-
potensial aksi dan berkulminasi pada plastisitas sinaptik serta menurunkan ambang
nyeri (pain thresholds).
D2. Sirkuit spinobulbospinal muncul dari RVM (rostroventral medulla) secara normal
melalui sinyal-sinyal fi ne-tunes pain yang bermula dari perifer, namun pada individu
yang rentan, disfungsi dapat memfasilitasi sinyal-sinyal nyeri, serta membiarkan
terjadinya sensitisasi sentral.
E. Pericranial tenderness berkembang seiring waktu oleh recruitment serabut-serabut
C dan mekanoreseptor Aβ di sinap-sinap TCC, membiarkan perkembangan allodynia
dan hiperalgesia.
F. Intensitas, frekuensi, dan pericranial tenderness berkembang seiring waktu,
berbagai perubahan molekuler di pusatpusat lebih tinggi seperti thalamus memicu
terjadinya sensitisasi sentral dari neuron-neuron tersier dan perubahan-perubahan
selanjutnya pada persepsi nyeri.

Proses ini dapat dilihat pada Skema 1.

Konsentrasi platelet factor 4, betathromboglobulin, thromboxane B2, dan 11-


dehydrothromboxane B2 plasma meningkat signifikan di kelompok TTH episodik
dibandingkan dengan di kelompok TTH kronis dan kelompok kontrol (sehat). Pada
penderita TTH episodik, peningkatankonsentrasisubstansi P jelas terlihat di platelet
dan penurunan konsentrasi beta-endorphin dijumpai di selsel mononuklear darah
perifer. Peningkatan konsentrasi metenkephalin dijumpai pada CSF (cairan
serebrospinal) penderita TTH kronis, hal ini mendukung hipotesis ketidakseimbangan
mekanisme pronociceptive dan antinociceptive pada TTH.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa TTH adalah proses multifaktorial yang
melibatkan baik faktor-faktor miofasial perifer dan komponen-komponen sistim saraf
pusat.

E. Kriteria Diagnosis
Penegakan diagnosis pada TTH didapatkan terutama dari deskripsi penyakit oleh
pasien (kriteria diagnosis). Tidak ada uji spesifik untuk menegakan diagnosis TTH.
Pemeriksaan lain yang dilakukan hanya berguna untuk menyingkirkan nyeri kepala
akibat sebab lainnya. Saat dilakukan pemeriksaan neurologis tidak ditemukan adanya
kelainan apapun. Kriteria diagnosis dari TTH menurut The International Classification
of Headche Disorder :

1. Infrequent episodic tension-type headache :


A. Minimal 10 episode nyeri kepala yang terjadi <1 hari pada tiap bulan (<12 hari
dalam setahun) dan memenuhi kriteria B-D
B. Dapat berlangsung selama 30 menit hingga 7 hari
C. Memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut:
o Bilateral
o Terasa seperti ditekan/ diikat (non-pulsating)
o Intensitas ringan atau sedang
o Tidak diperberat oleh aktivitas fisik sehari-hari (seperti berjalan atau naik
tangga)
D. Tidak disertai mual maupun muntah, dapat disertai salah satu dari fotofobia
atau fonofobia
2. Infrequent episodic tension-type headache associated with pericranial tenderness
A. Memenuhi kriteria infrequent episodic tension-type headache
B. Nyeri perikranium meningkat pada saat dilakukan palpasi
3. Infrequent episodic tension-type headache not associated with pericranial
tenderness8
A. Memenuhi kriteria infrequent episodic tension-type headache
B. Nyeri pada perikranium tidak meningkat
4. Frequent episodic tension-type headache8
A. Minimal 10 episode nyeri kepala yang terjadi 1-14 hari pada tiap bulan selama
>3 bulan ( ≥12 dan <180 hari tiap tahun) dan memenuhi kriteria B-D
B. Dapat berlangsung selama 30 menit hingga 7 hari
C. Memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut:
o Bilateral
o Terasa seperti ditekan/ diikat (non-pulsating)
o Intensitas ringan atau sedang
o Tidak diperberat oleh aktivitas fisik sehari-hari (seperti berjalan atau naik
tangga)
D. Tidak disertai mual maupun muntah dan dapat disertai minimal satu dari
fotofobia atau fonofobia
5. Frequent episodic tension-type headache associated with pericranial tenderness8
A. Memenuhi kriteria frequent episodic tension-type headache
B. Nyeri perikranium meningkat pada saat dipalpasi
6. Frequent episodic tension-type headache not associated with pericranial
tenderness8
A. Memenuhi kriteria frequent episodic tension-type headache
B. Nyeri perikranium tidak meningkat saat di palpasi
7. Chronic tension-type headache8
A. Nyeri kepala berlangsung ≥ 15 hari pada tiap bulan, selama > 3 bulan ( ≥180 hari
tiap tahun), memenuhi kriteria B-D
B. Berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari, atau konstan
C. Memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut:
o Bilateral
o Terasa seperti ditekan/ diikat (non-pulsating)
o Intensitas ringan atau sedang
o Tidak diperberat oleh aktivitas fisik sehari-hari (seperti berjalan atau naik
tangga)
o Dapat disertai salah satu dari: fotofobia, fonofobia, atau mual ringan. Tidak
disertai mual dengan intensitas sedang atau berat, maupun muntah

F. Tatalaksana
Secara umum terapi dari tension-type headache dibagi menjadi dua, yaitu terapi akut
dan terapi profilaksis. Terapi akut dimana memiliki tujuan untuk menghentikan atau
mengurangi intersitas serangan pada TTH. Pada terapi akut analgesik dan NSAIDs
tetap menjadi pilihan pertama. Sedangkan terapi profilaksis memiliki tujuan untuk
mecegah timbulnya TTH yang berulang. Terapi profilaksis dibagi menjadi dua, yaitu
terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.

a. Terapi farmakologis profilaksis pada TTH


Profilaksis farmakoterapi harus dipertimbangkan pada pasien dengan TTH kronik
dan frequent episodic TTH. Tricyclic antidepresan amitriptyline telah menjadi pilihan
pengobatan setelah sekian lama. Sekarang obat-obat seperti jenis muscle relaxants,
anticovulsan, dan botulinum toxin telah digunakan pada chronic TTH.
Cyclobenzaprine adalah suatu muscle relaxant yang stukturnya mirip dengan
amitriptyline. Menurut penelitian 10 dari 20 pasien TTH yang menerima
Cyclobenzaprine menunjukan perbaikan. Dosis yang digunakan dalam mengobati TTH
adalah 10 mg saat malam hari. Selain Cyclobenzaprine, tizanidine juga dilaporkan
efektif dalam mengobati chronic TTH. Dosis yang digunakan dititrasi dari 2 mg
sampai 20 mg perhari. Efek sedasi merupakan efek samping dari pengobatan ini.
Valaproat (gamma-aminobutryric acid) merupakan salah satu jenis dari
anticonvulsan yang cukup sering digunakan pada sakit kepala. Terdapat penelitian
yang menguji efektivitas dari Valproat. Ditemukan dosis efektif dari valproat ini adalah
1000-2000 mg per hari dimana menunjukan perbaikan pada chronic TTH setelah 3
bulan pengobatan. Efek samping yang sering dilaporkan adalah peningkatan berat
badan, tremor, rambut rontok, dan mual.
Injeksi Botulinum Toxin sering dikaitkan dengan pengobatan pada pasien dengan
nyeri kepala kronis. Namun literatur yang mebahas tentang efektifitas dari injeksi
Botulinum Toxin masih sangat bervariasi. Menurut meta-analysis yang dilakukan oleh
American Medical Association, injeksi botulinum toxin tidak memiliki manfaat dalam
terapi profilaksis pada episodic migraine dan chronic TTH. Namun Botulinum toxin
masih memberikan manfaat pada penyakit chronic migraine headache.
Tricyclic antidepresan amitriptyline tetap merupakan obat pilihan pertama pada
chronic TTH. Menurut peneilitian 40-70% pasien TTH dengan pengobatan Trcyclic
antidepresan menunjukan perkembangan yang signifikan dimana teradapat 50%
perbaikan gejala pada nyeri kepala dan terjadi pengurangan penggunaan obat
analgesik. Namun, efek dari terapi ini baru terlihat setelah 6 bulan dari pemakaian
pertama.7 Tricyclic lebh efektif dibandingkan dengan Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor dengan mengurangi 50% timbulnya nyeri kepala yang berulang.
Pengobatan amitriptyline dimulai dengan dosis rendah (10-25mg/hari) dan
dilakukan titrasi sebesar 10-25 mg setiap minggu sampai mencapai hasil terapi yang
memuaskan. Dosis pemeliharaan yang paling sering dipakai adalah 30-75 mg per hari
yang diminum 1-2 jam sebelum waktu tidur. Efek terapi dari amitriptyline harus
diobservasi dalam seminggu pertama sejak memulai dosis terapi. Jika pasien tidak
berespon pada setelah 4 minggu pada dosis pemeliharaan, pengobatan profilaksis dapa
diganti menggunakan pilihan lain.
b. Terapi non-farmakologis pada TTH
Penelitian lebih lanjut tentang terapi non-farmakologis masih terus dilakukan. Pada
kondisi-kondisi tertentu seperti kehamilan, toleransi yang buruk terhadap pengobatan
farmakologis, riwayat pengobatan jangka panjang dengan pengobatan analgesik dan
lain-lain membuat terapi non farmakologis dapat menjadi pilihan alternatif dalam
pengobatan TTH.
Identifikasi faktor pencetus sangatlah penting untuk dilakukan. Pencetus TTH yang
paling sering dialami pasien adalah stress (secara mental atau fisik), makan yang tidak
teratur, konsumsi kafein yang berlebih, dehidrasi, gangguan tidur, tidur yang terlalu
banyak atau sedikit, aktivitas fisik yang minim, serta siklus menstrual dan faktor
hormonal pada wanita.

c. Psycho-behavioural treatments
Terapi ini banyak digunakan dalam menangani TTH kronik. Psycho-behavioural
treatment yang paling umum digunakan adalah EMG biofeedback, cognitive
behavioural therapy, dan terapi relaksasi. Selain itu, hipnoterapi juga dilaporkan efektif
dalam menangani TTH kronik, namun belum terbukti kebenarannya.
A. EMG biofeedback
Biofeedback adalah suatu teknik yang bertujuan melatih pasien untuk meningkatkan
kesehatannya dengan mengendalikan keadaan tubuh tertentu yang involunter seperti
detak jantung, tekanan darah, ketegangan otot, dan suhu kulit. Terdapat berbagai
macam terapi dari biofeedback antara lain dengan menggunakan EMG biofeedback
yang berguna untuk mengukur ketegangan otot, thermal biofeedback untuk mengukur
suhu kulit, dan neurofeedback atau EEG biofeedback untuk mengukur aktivitas
gelombang otak. Tujuan dari EMG biofeedback adalah untuk membantu pasien
mengenali dan mengendalikan ketegangan otot dengan cara memberikan feedback
secara terus menerus terhadap aktivitas otot. Pada umumnya EMG biofeedback ini
digunakan untuk mengatasi stress yang menyebabkan timbulnya suatu penyakit, salah
satunya pasien dengan TTH.
B. Terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif adalah terapi psikologis yang berfokus pada kognitif dan
perilaku. Terapi perilaku kognitif bertujuan mengajarkan pasien untuk
mengidentifikasi pemikiran dan keyakinan yang dapat menimbulkan stres dan
kemudian mencetuskan nyeri kepala. CBT berfokus pada hubungan antara kognitif,
perilaku, dan perasaan terhadap gejala klinis, fungsi, dan kualitas hidup dari seseorang.
Diharapkan dengan CBT seseorang dapat mengubah cara untuk berpikir, bertindak,
dan merasakan dari kesulitan yang mereka hadapi.
C. Terapi relaksasi
Tujuan dari terapi relaksasi adalah untuk membantu pasien mengenali dan
mengendalikan tekanan yang cenderung meningkat dari aktivitas sehari-hari. Untuk
melaksanakan terapi ini dibutuhkan waktu selama 10 menit setiap pagi dan malam.
Terapi relaksasi membutuhkan tempat yang tenang dan kondisi pikiran pasien yang
tenang pula. Pertama pasien diminta untuk berbaring ditempat yang nyaman, sangat
penting diperhatikan agar pasien telah masuk kedalam kondisi yang sangat tenang.
Terapis memeriksa otot-otot tungkai, lengan, leher, kepala, mata, dan rahang untuk
memastikan tidak ada otot yang tegang. Ketika telah mencapai relaksasi tubuh secara
keseluruhan, pasien diminta untuk memikirkan sesuatu yang dapat membawa
ketenangan kepada dirinya selama 5 menit.
Diharapkan dengan latihan ini, pasien dapat membawa suasana yang tenang dalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga diharapkan tingkat stress dalam menghadapi
kehidupan sehari-hari dapat berkurang.
D. Non-invasive physical therapy
Terapi fisik seperti perbaikan postur, pemijatan, manipulasi spinal, terapi
oromandibular, program olahraga, ultrasound, dan stimulasi elektrik digunakan dalam
terapi TTH.
E. Accupunture and nerve block
Efek profilaksis dari akupuntur telah diteliti dari beberapa percobaan pada pasien
dengan frequent episodic atau chronic TTH. Dari beberapa penelitian dan analisis,
belum ditemukan bukti yang mendukung tentang efektifitas dari terapi ini.

G. Prognosis
TTH memiliki intensitas nyeri kepala dari ringan sampai sedang oleh karena itu
jarang membuat seseorang menderita dan membutuhkan terapi darurat. Namun
walaupun tidak berbahaya, kronik TTH seringkali memberikan efek negatif terhadap
kualitas hidup, keluarga, dan produktivitas dari pekerjaan. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa ditemukan penurunan kualitas hidup dari seseorang yang menderita
kronik TTH dibandingkan orang yang tidak memiliki penyakit tersebut. Banyak orang
yang menderita kronik TTH juga mengalami depresi dan cemas.

Anda mungkin juga menyukai