Anda di halaman 1dari 52

Kepada YTH:

Tinjauan Kepustakaan Tahap II


Sub-Bagian Gastroenterohepatologi

PERAN LONG-ACTING SOMATOSTATIN


PADA HIPOGLIKEMIA AKIBAT
PENYAKIT HATI KRONIK

Presentan : dr. Dendi Andrean


NIM :

Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I


Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2021
LEMBAR PENGESAHAN

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia–Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan tinjauan
kepustakaan Subbagian Reumatologi dengan judul “Peran Long-Acting
Somatostatin pada Hipoglikemi akibat Penyakit Hati Kronik”.

Penulisan tinjauan kepustakaan ini merupakan salah satu syarat untuk


menyelesaikan tugas pada Subbagian Reumatologi di bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNAND / RSUP Dr. M Djamil Padang. Penulis menyadari bahwa
penulisan tinjauan kepustakaan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan
tinjauan kepustakaan ini.

Akhirnya izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh


staf pengajar di bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND / RSUP Dr. M Djamil
Padang, khususnya Bapak Prof. Dr. dr. Nasrul Zubir, SpPD-KGEH, FINASIM,
dr. Arnelis, SpPD-KGEH dan dr. Saptino Miro, SpPD-KGEH yang telah
memberikan bimbingan dalam menyelesaikan tinjauan kepustakaan ini. Semoga
amalan dan kebaikan Beliau mendapat balasan dari Allah SWT.

Padang, Juni 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................2

KATA PENGANTAR.............................................................................................3

DAFTAR ISI............................................................................................................4

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................6

DAFTAR TABEL....................................................................................................7

DAFTAR SINGKATAN.........................................................................................8

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................12

2.1 Produksi Glukosa Hepatik.......................................................................12

2.1.1. Mekanisme molekuler yang mengontrol produksi glukosa hepatik 13

2.1.2. Regulasi transkripsi HGP.................................................................17

2.1.3. Efek indirek insulin pada keluaran glukosa hepatik........................22

2.2 Patofisiologi Hipoglikemia Akibat Penyakit Hati Kronik......................22

2.2.1. Tumor yang mensekresi insulin.......................................................26

2.2.2. Mekanisme selain insulin berlebih...................................................29

2.3 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Hipoglikemia.....................................30

4
BAB III PERAN LONG-ACTING SOMATOSTATIN PADA HIPOGLIKEMIA

AKIBAT PENYAKIT HATI KRONIK................................................................36

3.1 Somatostatin............................................................................................36

3.1.1 Analog Somatostatin (SSA).................................................................38

3.1.2 SSA Dalam Praktis Klinis...................................................................38

3.2 Peran Long-Acting Somatostatin Pada Hipoglikemia Akibat Penyakit

Hati Kronik........................................................................................................39

BAB IV PENUTUP...............................................................................................41

4.1 Kesimpulan..............................................................................................41

4.2 Saran........................................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................42

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Fluks metabolit dalam kontrol HGP 13


Gambar 2.2 Regulasi transkripsi HGP 17
Gambar 2.3 Algoritma diagnostik untuk pasien dengan dugaan 25
hipoglikemia tumor
Gambar 2.4 Gambar CT scan abdomen dengan kontras pada wanita 26
dengan insulinoma
Gambar 2.5 Tatalaksana hipoglikemia 33
Gambar 2.6 Evaluasi rekurensi hipoglikemia 34
Gambar 3.1 Mekanisme kerja somatostatin synthetic analog 36

6
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Mekanisme patogenik dan jenis tumor yang berkaitan 24


dengan tumor-induced hypoglycemia
Tabel 2.2 Mekanisme patogen dan jenis tumor yang berkaitan 29
dengan tumor-induced hypoglycemia
Tabel 2.3 Klasifikasi hipoglikemia 30
Tabel 2.4 Respon fisiologis terhadap penurunan glukosa plasma 31
Tabel 2.5 Penyebab hipoglikemia 31
Tabel 2.6 Manifestasi klinis hipoglikemia 32
Tabel 3.1 Indikasi pengobatan SSA 38

7
DAFTAR SINGKATAN

cAMP : Cyclic adenosine monophosphate

CCK : Cholecystokinin

CREB : cAMP response element binding protein

CRTC2 : CREB-regulated transcriptional coactivator 2

G6P : Glucose 6-phosphate

G6Pase : Glucose 6-phosphatase

GEP-NET : Gastroenteropancreatic neuroendocrine tumor

GH : Growth hormone

GK : Glucokinase

GIP : Gastric inhibitory peptide

GLP1 : Glukagon-like peptide 1

GKRP : Glucokinase regulatory protein

HBV : Hepatitis B virus

HCV : Hepatitis C virus

HGP : Hepatic glucose production

HNF4A : Hepatocyte nuclear factor 4α

8
IGF2 : Insulin-like growth factor 2

LAR : Long-acting release

LIRKO : Liver-specific insulin receptor knockout mice

NICTH : non-islet-cell tumor hypoglycemia

PEP : phosphenolpyruvate

PFK-1 : Phosfofructokinase-1

PGC-1a : Peroxisome proliferator-activated receptor γ coactivator-1a

PK : Piruvat kinase

PKA : Protein kinase A

PP : Polipeptida pankreas

PRL : Prolaktin

SIK2 : Salt inducible kinase 2

SST : Somastostatin

SSTR2 : Somatostatin receptor 2

TIH : Tumor-induced hypoglycemia

TSH : Thyroid-stimulating hormone / tirotropin

9
BAB I PENDAHULUAN

Konsentrasi glukosa yang abnormal dalam plasma menghasilkan efek

yang merusak pada tingkat organisme secara keseluruhan. Glukosa merupakan

sumber energi utama bagi otak dan penurunan kadar glukosa plasma

(hipoglikemia) dapat menyebabkan gangguan fungsi otak dan kematian.

Sebaliknya, peningkatan kadar glukosa plasma (hiperglikemia), gejala klinis

utama diabetes, secara dramatis meningkatkan risiko berbagai komplikasi

makrovaskular dan mikrovaskular.1

Hati memainkan peran utama dalam mempertahankan kadar glukosa

seluruh tubuh normal dengan mengatur proses produksi glukosa de novo

(glukoneogenesis) dan pemecahan glikogen (glikogenolisis), sehingga

mengendalikan tingkat pelepasan glukosa hati. Regulasi produksi glukosa hepatik

(HGP) yang menyimpang dapat mengakibatkan outcome klinis yang merugikan.2

Hipoglikemia adalah suatu kondisi yang ditandai dengan kadar glukosa

darah rendah yang abnormal dan memiliki konsekuensi klinis yang signifikan jika

tidak ditangani. Dalam kebanyakan kasus, penyebab hipoglikemia adalah

iatrogenik. Tatalaksana yang cepat dan evaluasi penyebabnya sangat penting

dalam strategi manajemen.3

Pada pasien dengan penyakit hati kronik misalkan seperti sirosis hati,

penghambatan produksi glukosa hati melalui peningkatan aktivitas insulin

merupakan hal yang normal tetapi penyerapan glukosa yang distimulasi insulin ke

10
dalam otot rangka terganggu. Selain itu, baik massa hepatosit berkurang atau

shunt portosystemic pada pasien sirosis dapat menyebabkan hiperinsulinemia dan

kemajuan menuju resistensi insulin melalui downregulation reseptor insulin.

Gangguan homeostasis glukosa pada pasien sirosis hati disebabkan oleh defek

glucose uptake baik ke dalam jaringan hati maupun otot rangka. Sedangkan pada

GEP-NET (gastroenteropancreatic neuroendocrine tumor), cenderung memiliki

tumor-induced hypoglycemia (TIH) yang menyebabkan kondisi hipoglikemia

akibat dari hipersekresi insulin oleh pancreatic islet β-cell tumor (insulinoma).4, 5

Somastostatin (SST) merupakan polipeptida siklik yang berasal dari

protein prekursor SST yang diproses menjadi beberapa hormon peptida, antara

lain SST-14, SST-28, dan neuronostatin. SST merupakan salah satu penghambat

utama sekresi hormon endokrin dan eksokrin pada manusia. STT menghambat

sekresi growth hormone (GH), prolaktin (PRL), tirotropin (TSH), kolesistokinin

(CCK), gastric inhibitory peptide (GIP), gastrin, motilin, neurotensin, sekretin,

glukagon, insulin, dan polipeptida pankreas (PP).6, 7

Salah satu analog somatostatin, Octreotide, menunjukkan afinitas tinggi

untuk SSTR2 (somatostatin receptor 2) dan menghambat proliferasi sel yang

mengekspresikan gen SSTR2 dengan mengaktifkan jalur tirosin fosfatase. SSA

merupakan pengobatan medis lini kedua untuk mengendalikan hipoglikemia pada

pasien dengan insulinoma, terutama untuk insulinoma ganas. Octreotide efektif

dalam mengendalikan hipoglikemia pada 59% pasien dengan insulinoma.7

11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Produksi Glukosa Hepatik

Konsentrasi glukosa darah normal pada individu sehat biasanya pada rentang 90

mg/dl. Angka tersebut merupakan hasil dari keseimbangan antara produksi

glukosa endogen dan pembuangan glukosa dari aliran darah, yang secara dinamis

diatur oleh sinyal hormonal dan nutrisi. Sumber jaringan utama untuk produksi

glukosa endogen adalah hati dan dalam beberapa kondisi merupakan tugas ginjal.

Pembersihan glukosa dari aliran darah merupakan hasil konsumsi bersih terutama

oleh otak, otot, jaringan adiposa dan hati.2

Hati memainkan peran utama dalam metabolisme glukosa seluruh tubuh

dengan menjaga keseimbangan antara produksi glukosa dan penyimpanan glukosa

dalam bentuk glikogen. Sekitar 80% dari produksi glukosa endogen dilakukan

oleh hati dan sisanya oleh ginjal. Splanchnic bed pada hati dan usus menyumbang

~25% dari glucose utilization dalam kondisi puasa dan 35% setelah oral glucose

load. Ketika nutrisi tersedia, seperti yang terjadi setelah makan, konsentrasi

glukosa darah meningkat. Efek glukosa tinggi pada hati merupakan kondisi 'dual'.

Pertama, hiperglikemia sendiri mendorong absorpsi glukosa dari aliran darah

untuk disimpan sebagai glikogen.8 Kedua, mempromosikan sekresi insulin dari

pankreas yang hepatic glucose production (HGP). Masuknya glukosa ke dalam

hepatosit merupakan kondisi insulin-independen dan difasilitasi oleh transporter

glukosa GLUT2. Ketika nutrisi dalam tubuh berkurang, bahkan setelah beberapa

12
jam puasa, hati melepaskan glukosa ke darah dengan mengatur dua jalur

metabolisme produksi glukosa utama, glikogenolisis dan glukoneogenesis. Untuk

mencapai produksi atau uptake net glucose, enzim pada pathway ini harus

diregulasi dengan ketat. Regulasi pathway ini terutama dilakukan oleh insulin dan

glukagon yang disekresikan dari pankreas.9 Peningkatan kadar insulin memulai

insulin signaling cascade di hati yang menekan glycogen breakdown dan

meningkatkan penyimpanan glikogen dan lipogenesis. Peran insulin di hati diatur

secara kontra oleh glukagon, yang mendorong pemecahan glikogen dan

glukoneogenesis ketika nutrisi tidak tersedia. Produksi glukosa oleh hati juga

dikendalikan oleh katekolamin yang disekresikan dari medula adrenal. Di hati,

katekolamin meningkatkan produksi glukosa melalui aktivasi cyclic AMP (cAMP)

dari glikogen fosforilase dan glukoneogenesis.10

2.1.1. Mekanisme molekuler yang mengontrol produksi glukosa hepatik

Mekanisme molekuler yang menentukan apakah hati berperan sebagai organ

penghasil glukosa atau organ penyimpan glukosa dapat dibagi menjadi dua

kategori yaitu kondisi akut maupun jangka panjang. Sementara efek akut terutama

disebabkan oleh perubahan fluks metabolit yang dikendalikan oleh modifikasi

protein atau efektor alosterik, sedangkan efek jangka panjang terutama disebabkan

oleh perubahan tingkat ekspresi mRNA dari enzim kunci dalam pathway

glikolisis/glukoneogenesis. Baik efek jangka pendek dan jangka panjang pada net

hepatic glucose output merupakan regulasi hormonal, yaitu insulin dan glukagon.2

13
Langkah utama dalam mengontrol produksi glukosa hepatik adalah dengan

fluks glikolitik/glukoneogenik. Dengan mengatur aktivitas enzim glikolitik atau

glukoneogenik, hati dapat beralih dari net hepatic glucose storage ke glucose

output. Dari 10 reaksi dalam glikolisis, 7 bersifat reversibel dan dapat digunakan

baik pada glikolisis maupun glukoneogenesis. Tiga reaksi yang tersisa, terdiri dari

konversi glukosa-6-fosfat (G6P) menjadi glukosa, konversi fruktosa 1,6-bifosfat

(F-1,6-P2) menjadi fruktosa-6-fosfat (F6P) dan konversi piruvat menjadi

phosphenolpyruvate (PEP), yang unik pada glukoneogenesis dan dikatalisis oleh

enzim tertentu. Jika reaksi berlawanan ini bekerja pada laju yang sama, akan

terjadi siklus yang sia-sia yang mengakibatkan pengeluaran energi yang sia-sia.

Regulasi enzim glukoneogenik dan rekan glikolitiknya baik oleh efektor alosterik,

pada tingkat ekspresi gen atau dengan modifikasi kovalen, merupakan mekanisme

di mana fluks net menuju glukoneogenesis atau glikolisis dicapai di hati (Gambar

2.1).11

14
Gambar 2.1. Fluks metabolit dalam kontrol HGP

Gambaran skematik enzim dan metabolit kunci yang terlibat dalam regulasi

glukoneogenesis dan hepatic glucose output (HGP). Fluks melalui metabolit ini

diregulasi secara ketat untuk mengontrol net glukoneogenesis atau glikolisis.

Proses insulin (biru) atau glukagon (merah) mempengaruhi enzim dan metabolit

utama merupakan poin utama.2, 11

2.1.1.1 Siklus Glukosa/Glukosa-6-fosfat

Transportasi glukosa ke dalam hepatosit difasilitasi oleh transporter GLUT2.

Glukosa kemudian difosforilasi oleh glukokinase (GK), heksokinase spesifik hati,

yang menghasilkan G6P. Dalam bentuk terfosforilasi, glukosa tidak dapat lagi

diekspor ke sirkulasi dan disimpan dalam hepatosit. Tidak seperti heksokinase

lainnya, GK tidak dihambat oleh produknya tetapi lebih dipertahankan dalam

nukleus dengan mengikat glucokinase regulatory protein (GKRP). Setelah

glukosa memasuki sel, GK dilepaskan ke sitoplasma, yang merupakan lokasi

fosforilasi glukosa. Aktivitas GK di hepatosit juga diregulasi oleh ekspresi

mRNA-nya. Enzim glukoneogenik yang berlawanan adalah glukosa-6-fosfatase

(G6Pase), yang terletak di retikulum endoplasma (ER) dan mengkatalisis

hidrolisis G6P. G6P merupakan substrat titik cabang yang dapat dimetabolisme

melalui glikolisis untuk menghasilkan piruvat atau disimpan sebagai glikogen.

Langkah terakhir dalam sintesis glikogen dikatalisis oleh glikogen sintase,

sedangkan langkah pertama dalam pemecahan glikogen dikatalisis oleh glikogen

15
fosforilase. Sama seperti pada glikolisis/glukoneogenesis, aktivitas enzim-enzim

ini diatur oleh regulasi alosterik dan hormonal. Fosforilasi glikogen sintase,

terutama oleh glikogen sintase 3 (GSK-3), menghambat aktivitasnya sementara

fosforilasi glikogen fosforilase merangsang aktivitas enzim. Selanjutnya, insulin

akan mengaktifkan Akt, menghasilkan fosforilasi dan inaktivasi GSK-3 dan

aktivasi selanjutnya dari glikogen sintase. Glukagon, melalui fosforilasi yang

dimediasi protein kinase A (PKA), mengaktifkan glikogen fosforilase sambil

menghambat glikogen sintase.12

2.1.1.2 Fluks fruktosa-6-P/Fruktosa -1,6-bifosfat

Siklus substrat F-6-P/F-1,6-P2 merupakan penentu utama fluks glikolitik atau net

glukoneogenik. Konversi fruktosa-6-fosfat (F-6-P) menjadi fruktosa-1,6-bifosfat

(F-1,6-P2), dikatalisis oleh fosfofruktokinase 1 (PFK1), yang merupakan langkah

komitmen pertama dalam glikolisis dan bersama-sama dengan enzim

glukoneogenik lawannya, fruktosa 1,6-bisphoshpatase (FBPase), enzim ini

mengontrol fluks glikolitik atau net glukoneogenik. Dengan demikian,

penghambatan farmakologis FBPase menghasilkan pengurangan glukoneogenesis

dan memperbaiki hiperglikemia puasa dan postprandial. 13 Aktivitas enzim ini

dimodulasi oleh hormon dan status nutrisi. Kondisi fisiologis yang mendukung

produksi glukosa, seperti puasa, akan menghasilkan aktivasi FBPase untuk

mempromosikan glukoneogenesis, sedangkan kondisi yang mendukung

penyimpanan glukosa, seperti makan, akan mengaktifkan PFK1 untuk

mempromosikan glikolisis. Baik PFK1 dan FBPase merupakan bagian fosforilasi

16
PKA, dan pada awalnya dianggap bahwa modifikasi ini mengontrol aktivitas

enzim ini.14

2.1.1.3 Siklus fosfoenolpiruvat/piruvat

Langkah terakhir dalam glikolisis, konversi PEP menjadi piruvat dikatalisis oleh

piruvat kinase (PK), sedangkan reaksi glukoneogenik yang berlawanan, konversi

oksaloasetat (dihasilkan oleh oksidasi malat sitosol oleh malat dehidrogenase)

menjadi PEP merupakan proses katalisis oleh phosphoenolpyruvate

carboxykinase (PEPCK). Glukagon dan peningkatan kadar cAMP sangat

menghambat aktivitas PK, memblokir fluks glikolitik, dengan meningkatkan

fosforilasi yang dimediasi PKA. Selanjutnya, insulin mengurangi kadar cAMP,

melepaskan penghambatan yang dimediasi fosforilasi dan mengaktifkan PK untuk

meningkatkan fluks glikolitik. PK juga mengalami aktivasi alosterik oleh

fruktosa-1,6-BP dan penghambatan oleh alanin dan ATP. Fruktosa-1,6-BP, selain

mengaktifkan PK secara alosterik, juga menghambat fosforilasi PK yang

dimediasi cAMP, memberikan laju kontrol aktivitas PK lainnya. Glukagon juga

menurunkan fruktosa hati-1,6-BP untuk lebih meningkatkan penghambatan yang

dimediasi oleh PKA.15

2.1.2. Regulasi transkripsi HGP

HGP dan glukoneogenesis khususnya sebagian besar dikendalikan oleh regulasi

transkripsi enzim dalam pathway glukoneogenik, khususnya PEPCK dan G-6-

Pase. Beberapa faktor transkripsi dan koaktivator telah diidentifikasi untuk

17
mengontrol ekspresi enzim ini, dan regulator transkripsi ini dikendalikan oleh

sinyal hormonal yang mengatur respons hati terhadap keadaan makan atau puasa.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa penekanan atau induksi PEPCK

dan G-6-Pase dapat mempengaruhi HGP baik pada hepatosit primer yang dikultur

maupun in vivo.16

Sebuah studi telah menunjukkan bahwa meskipun produksi glukosa hati

pada tikus sangat berkurang, hal tersebut mendukung pentingnya PEPCK dalam

glukoneogenesis hati, glukoneogenesis endogen tidak berubah mungkin karena

kompensasi oleh ginjal dan usus yang juga mengekspresikan enzim

glukoneogenik. Demikian pula, tikus dengan liver-specific knockout of G-6-Pase

menunjukkan glukosa darah puasa normal karena kompensasi dari jaringan ekstra-

hepatik. Studi-studi ini menunjukkan bahwa hati merupakan sumber utama

produksi glukosa endogen, ketika HGP terganggu homeostasis glukosa

dipertahankan melalui kompensasi oleh jaringan ekstra-hepatik (Gambar 2).17

18
Gambar 2.2 Regulasi transkripsi HGP

Pada gambar 2.2 menunjukkan bahwa program transkripsi yang

mengontrol ekspresi gen glukoneogenik dalam hepatosit diatur oleh insulin dan

glukagon. Insulin, dengan mengaktifkan Akt, menyebabkan fosforilasi dan

eksklusi nuklear FoxO1 dan selanjutnya menekan gen glukoneogenik. Glukagon,

dengan meningkatkan kadar cAMP intraseluler, mengaktifkan PKA dan

menghasilkan aktivasi CREB dan aktivasi selanjutnya dari gen glukoneogenik.16, 17

2.1.2.1. Sinyal insulin pada hati

Pada hati, insulin menghambat produksi glukosa dan merangsang penyimpanan

glukosa sebagai glikogen serta sintesis lipid. Reseptor insulin terdiri dari dua

subunit alfa dan dua beta, di mana subunit beta memiliki aktivitas katalitik tirosin

kinase yang secara alosterik dihambat oleh subunit alfa. Setelah insulin mengikat

subunit alfa, penghambatan alosterik dilepaskan dan autofosforilasi subunit unit

beta terjadi. Substrat reseptor insulin (IRS1 dan IRS2) selanjutnya difosforilasi

dan dikaitkan dengan PI3K melalui subunit pengatur p85 yang mengarah pada

aktivasi dan fosforilasi PDK1 dan Akt berikutnya. Pentingnya respons hati yang

tepat terhadap insulin disoroti pada liver-specific insulin receptor KO mice

(LIRKO). Tikus-tikus ini mengalami peningkatan kadar glukosa darah dalam

keadaan makan, sangat tidak toleran terhadap glukosa dan hiperinsulinemia

(Michael et al., 2000). Diketahui bahwa insulin menekan ekspresi enzim kunci

glukoneogenik baik secara in vivo maupun pada hepatosit terisolasi, tetapi efektor

yang memediasi respon ini tidak diketahui.18

19
20
2.1.2.2. Peroxisome proliferator-activated receptor γ coactivator-1a (PGC-1α)

PGC-1α awalnya ditemukan sebagai koaktivator PPARγ yang secara kuat

menginduksi termogenesis adaptif dalam jaringan adiposa coklat. Setelah puasa,

kadar mRNA PGC-1α di hati meningkat secara dramatis, dan dalam kondisi ini

PGC-1α mengkoaktivasi FoxO1 untuk lebih meningkatkan transkripsi gen

glukoneogenik dan produksi glukosa hati. Selain FoxO1, PGC-1α juga terbukti

mengaktivasi bersama faktor nuklear reseptor hepatocyte nuclear factor 4α

(HNF4α).19

Aktivitas PGC-1α sangat dipengaruhi oleh keadaan asetilasinya. Sementara

deasetilasi berpotensi mengaktifkan aktivitas transkripsi PGC-1α, hiperasetilasi

menghambat aktivitasnya. Beberapa faktor yang memodulasi keadaan asetilasi

PGC-1α dan selanjutnya aktivitas transkripsinya telah diidentifikasi. Sebagai

respon terhadap puasa, deasetilase SIRT1 diinduksi dan ditunjukkan untuk

mengikat dan mendeasetilasi PGC-1α pada residu lisin spesifik.20

2.1.2.3. Pensinyalan glukagon di hati

Sebagai respons terhadap puasa, pankreas mengeluarkan glukagon. Studi yang

dilakukan pada tikus mengidentifikasi pentingnya cAMP response element

binding protein (CREB) dalam memediasi respons adaptif transkripsional

hepatosit terhadap glukagon. Pengikatan glukagon ke reseptor permukaan selnya

memicu aktivasi adenilat siklase yang mengkatalisis produksi cAMP di hepatosit.

Peningkatan kadar cAMP mendorong pelepasan subunit katalitik PKA. PKA

21
memfosforilasi CREB di Ser133 dan fosforilasi CREB merangsang aktivitasnya

dengan mempromosikan pengikatan pada histone acetyl transferases CBP/p300.

Untuk mendapatkan kapasitas penuh CREB dalam menginduksi gen targetnya,

diperlukan pengikatan dengan CREB-regulated transcriptional coactivator 2

(CRTC2) yang diatur oleh CREB. CRTC2 mengalami fosforilasi oleh salt

inducible kinase 2 (SIK2) yang mendorong retensinya dalam sitoplasma, dan

defosforilasi oleh kalsineurin yang mendorong translokasi inti selnya.

Peningkatan cAMP dan Ca2+ masing-masing memicu penghambatan yang

dimediasi PKA dari SIK2 dan defosforilasi yang dimediasi kalsineurin, yang pada

akhirnya mengarah pada translokasi nuklir CRTC2.21 CRTC2 kemudian

berasosiasi dengan CREB dan mempotensiasi aktivitas transkripsinya terhadap

gen tertentu. Di hati, CREB mengikat daerah promotor gen glukoneogenik Pck1

dan G-6-Pase, dan peningkatan kadar glukagon yang bersirkulasi menginduksi

aktivitas transkripsi CREB terhadap gen ini. Inhibitor CREB negatif dominan

menyebabkan hipoglikemia puasa karena penurunan produksi glukosa hati dan

penurunan ekspresi gen glukoneogenik. CREB juga mengontrol program

glukoneogenik dengan meningkatkan ekspresi PGC-1α yang memberikan tingkat

kontrol lain dari ekspresi gen glukoneogenik. Menariknya, overekspresi PGC-1α

di hadapan inhibitor negatif dominan CREB mengembalikan glikemia normal,

menekankan pentingnya PGC-1 dalam kontrol homeostasis glukosa yang

dimediasi CREB.22

22
2.1.3. Efek indirek insulin pada keluaran glukosa hepatik

Insulin dapat menekan output glukosa hepatik secara indirek dengan

mempengaruhi jaringan ekstrahepatik. Di pankreas, sekresi insulin dari sel

menekan sekresi glukagon dari sel terutama dengan mengubah potensial membran

sel. Mekanisme indirek lain dimana insulin menekan HGP adalah dengan

mengurangi substrat glukoneogenik yang dipasok oleh jaringan adiposa dan otot.

Pelepasan asam amino dari otot rangka mensuplai hati dengan substrat

glukoneogenik esensial, dan penghambatan proteolisis oleh insulin mengurangi

fluks substrat yang berasal dari otot. Dalam jaringan adiposa, insulin menekan

pelepasan gliserol, substrat glukoneogenesis, dan asam lemak non-esterifikasi

(NEFA). NEFA yang dipasok ke hati menyebabkan oksidasi asam lemak dan

produksi ATP, NADH dan asetil-KoA, yang mendorong glukoneogenesis dengan

mengaktifkan piruvat karboksilase. Penurunan fluks FFA ke hati terbukti menjadi

mekanisme utama dari kontrol tidak langsung insulin pada HGP. Tindakan insulin

di otak juga terbukti mengontrol HGP. Injeksi insulin ke ventrikel ketiga

hipotalamus mengurangi HGP terlepas dari tingkat sistemik insulin dan glukagon,

sementara penekanan sinyal insulin di hipotalamus merusak kemampuan insulin

untuk mengurangi HGP.23

2.2 Patofisiologi Hipoglikemia Akibat Penyakit Hati Kronik

Hati berperan dalam menjaga metabolisme glukosa dengan menyimpan glukosa

dan memproduksi glukosa endogen dari penyimpanan glikogen di hati, hal ini

berkontribusi untuk menjaga kadar glukosa darah normal. Selain itu, otot rangka

23
juga berperan penting dalam menjaga homeostasis glukosa.1 Umumnya,

penurunan deposisi glukosa pada otot rangka dan peningkatan produksi glukosa

endogen berkontribusi pada perkembangan hiperglikemia postprandial pada

pasien dengan DM tipe 2. Sirosis hati ditunjukkan oleh penurunan massa hepatosit

dan otot rangka selama perkembangan penyakit, dan sirosis hati dengan diabetes

hepatogenik stadium awal ditandai dengan hiperglikemia postprandial dan

peningkatan resistensi insulin.24 Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa

penghambatan produksi glukosa hati melalui peningkatan aktivitas insulin

merupakan hal yang normal tetapi penyerapan glukosa yang distimulasi insulin ke

dalam otot rangka terganggu pada pasien dengan sirosis hati. Selain itu, baik

massa hepatosit berkurang atau shunt portosystemic pada pasien sirosis dapat

menyebabkan hiperinsulinemia dan kemajuan menuju resistensi insulin melalui

downregulation reseptor insulin. Resistensi insulin ini meningkatkan permintaan

untuk sekresi insulin pankreas dan akhirnya mengarah kepada DM. Mekanisme

molekuler yang tepat dari gangguan aktivitas insulin pada otot rangka pasien

sirosis masih belum jelas. Namun, kondisi tersebut mungkin tergantung pada

fungsi hati pasien dan massa otot rangka.25

Infeksi virus hepatitis merupakan salah satu penyebab utama penyakit hati.

Menariknya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan infeksi virus

hepatitis C (HCV) memiliki prevalensi diabetes yang lebih tinggi daripada pasien

dengan virus hepatitis B (HBV).26 Sebuah meta-analisis baru-baru ini

membandingkan pasien yang terinfeksi HCV dan HBV juga mendukung

hubungan antara infeksi HCV dan DM tipe 2. Sebagai mekanisme prevalensi DM

24
yang lebih tinggi di antara pasien dengan infeksi HCV, HCV itu sendiri

diperkirakan menyebabkan resistensi insulin. Berbagai model eksperimental telah

menyarankan bahwa efek langsung dari infeksi HCV di hati, yaitu promosi

protein HCV dari degradasi substrat reseptor insulin 1, menyebabkan resistensi

insulin. Selain itu, Pazienza dkk. melaporkan bahwa genotipe HCV yang berbeda

menentukan perbedaan dalam tingkat resistensi insulin.27 Oleh karena itu, derajat

keparahan gangguan homeostasis glukosa tampaknya tergantung pada berbagai

faktor tetapi terutama pada derajat keparahan penyakit hati kronis, volume otot

rangka, dan adanya portosystemic shunt. Penurunan fungsi hati dan hilangnya otot

rangka merupakan kondisi patologis yang umum dari sirosis hati. Kehilangan otot

rangka berdampak buruk pada outcome klinis pasien dengan penyakit hati kronis,

terutama karena malnutrisi, tetapi mekanisme kerjanya yang tepat masih belum

diketahui. Gangguan homeostasis glukosa pada pasien sirosis hati disebabkan oleh

defek glucose uptake baik ke dalam jaringan hati maupun otot rangka. Selain itu,

DM tipe 2 itu sendiri diketahui sebagai faktor risiko penyakit hati kronis karena

menyebabkan cacat pada metabolisme glukosa otot rangka. Baik sirosis maupun

diabetes tidak menunjukkan gejala selama tahap awal penyakit dalam beberapa

situasi, sehingga keduanya mungkin saling memberi umpan balik dalam vicious

cycle yang mengganggu metabolisme glukosa dan fungsi hati selama perjalanan

alami sirosis hati. Akhirnya, pada pasien sirosis dengan DM yang nyata, sulit

untuk membedakan antara diabetes konvensional dan hepatogen.28

Tumor-induced hypoglycemia (TIH) merupakan jenis hipoglikemia klinis

langka yang biasanya muncul sebagai akibat dari hipersekresi insulin oleh

25
pancreatic islet β-cell tumor (insulinoma). Namun, TIH juga dapat disebabkan

oleh tumor non-pankreas lainnya (non-islet-cell tumor hypoglycemia (NICTH)).

Tabel 2.1 Mekanisme patogenik dan jenis tumor yang berkaitan dengan tumor-induced
hypoglycemia

Beberapa mekanisme patogenetik dapat menjelaskan TIH (Tabel 2.1 dan

Gambar 2.3). Pada kasus ini, penyebab utama hipoglikemia adalah pelepasan

insulin-like growth factor 2 (IGF2) oleh tumor atau high-molecular-weight

precursor (big IGF2). Mekanisme lain untuk NICTH adalah sekresi tumor IGF1,

produksi autoantibodi terhadap insulin atau reseptornya, atau lebih jarang, sekresi

glukagon-like peptide 1 (GLP1), dan tumor besar. Terakhir, sekresi insulin

ektopik oleh non-islet-cell tumor juga telah dilaporkan secara luar biasa.

26
Gambar 2.3 Algoritma diagnostik untuk pasien dengan dugaan hipoglikemia tumor.

2.2.1. Tumor yang mensekresi insulin

2.2.1.1. Eutopic tumor insulin secretion: pancreatic islet β-cell tumor

(insulinoma)

Insulinoma adalah tumor langka dengan insiden 0,4/100.000 orang/tahun, lebih

sering diamati pada dekade kelima kehidupan dan dengan sedikit dominasi pada

jenis kelamin perempuan. Tumor ini merupakan tumor neuroendokrin pankreas

(pNET). Insulinoma biasanya terdiri dari massa tunggal, kecil (biasanya

berdiameter <2 cm), berbatas tegas, jinak, sporadis, tumor intrapankreas, dan

tersebar merata di seluruh pankreas (Gambar 2.4).4

Gejala hipoglikemik sekunder akibat sekresi insulin yang berlebihan dan

tidak terkontrol oleh tumor biasanya terjadi pada keadaan puasa (73%). Namun,

27
hipoglikemik juga dapat muncul hanya dalam keadaan postprandial (6%) dan di

kedua keadaan puasa dan postprandial (21%). Diagnosis yang benar sering

tertunda sampai 2 tahun dari timbulnya gejala karena fakta bahwa, pada banyak

kesempatan, gejala neuropsikiatri atau neurologis disalahpahami. Gejala

hipoglikemik dapat berupa neurogenik/otonom (lapar, berkeringat, parestesia,

palpitasi, diaforesis, cemas, dan tremor) dan neuroglikopenik (bingung, gangguan

penglihatan, perubahan perilaku, kejang epilepsi, kebingungan, dan koma).

Pertambahan berat badan dan obesitas sebagai konsekuensi dari sering makan

kecil untuk menghindari gejala hipoglikemik adalah tanda klinis insulinoma yang

paling terkenal.5

Gambar 2.4. Gambar CT scan abdomen dengan kontras pada wanita dengan 1,5 cm insulinoma
jinak (panah putih) yang terletak di kepala pankreas (A). CT scan abdomen dengan kontras
menunjukkan tiga gambar kecil (panah hitam) yang kompatibel dengan beberapa insulinoma di
kepala pankreas pada pasien wanita (B). CT scan tanpa kontras abdomen menunjukkan beberapa
metastasis hati pada pasien wanita dengan insulinoma maligna (C).

Diagnosis biokimia insulinoma ditegakkan ketika hipoglikemia, didukung

oleh adanya trias Whipple, dikaitkan dengan hiperinsulinisme endogen yang

menunjukkan kriteria berikut: konsentrasi glukosa plasma puasa <55 mg/dl (3,0 

mmol/l), konsentrasi insulin plasma 3 μU /ml (18 pmol/l), konsentrasi C-peptida

plasma 0,6 ng/ml (0,2 nmol/l), konsentrasi proinsulin plasma 5 pmol/l, kadar β-

hydroxybutyrate plasma ≤2,7 mmol/l, perubahan glukosa darah 25 mg/dl (1,4 

28
mmol/l) pada 30 min setelah 1 mg iv glukagon, skrining sulfonilurea negatif dalam

plasma dan/atau urin dan tidak ada antibodi yang bersirkulasi terhadap insulin.

Ketika trias Whipple belum ditemukan pada pasien dengan bukti klinis sugestif

hipoglikemia atau ketika studi biokimia selama hipoglikemia tidak dapat

dilakukan, pasien harus menjalani tes cepat 72 jam yang diawasi dengan tujuan

untuk mereproduksi episode hipoglikemik. Diagnosis insulinoma harus

dikonfirmasi dengan melokalisasi tumor dengan pencitraan konvensional, seperti

computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan

ultrasonografi transabdominal. Teknik lokalisasi ini mendeteksi sebagian besar

insulinoma (Gambar 2.4).29

Meskipun terapi medis dengan sering makan yang mengandung

karbohidrat dan diazoksida (∼200-600 m/hari secara oral) atau analog

somatostatin dapat mengontrol gejala hipoglikemik pada 50-60% pasien, namun

hanya pembedahan yang bersifat kuratif. Oleh karena itu, setelah tumor

ditemukan, pengobatan pilihan adalah eksisi bedah. Metode pembedahan yang

biasanya digunakan (∼60%) adalah enukleasi tumor, diikuti dengan

pankreatektomi parsial. Meskipun sebagian besar intervensi telah dilakukan

dengan menggunakan operasi terbuka, operasi laparoskopi merupakan pilihan

pembedahan di beberapa pusat. Ketika tumor tidak ditemukan selama laparoskopi,

ultrasonografi laparoskopi tampaknya menjadi alat yang paling efisien untuk

melokalisasinya dan mungkin untuk mencegah konversi. Tumor yang terletak di

tubuh atau ekor pankreas dapat memperoleh manfaat yang lebih baik dari

pendekatan laparoskopi. Perawatan medis alternatif mungkin diperlukan bagi

29
pasien simtomatik dengan tumor yang tidak dapat direseksi dan bagi mereka yang

bukan kandidat untuk perawatan bedah atau menolak operasi. Pilihan alternatif

dari ultrasonografi endoskopik (EUS) atau intraoperative (IO) US-guided ethanol

fine-needle injection baru-baru ini telah dilaporkan untuk pengobatan insulinoma

simtomatik yang membutuhkan reseksi ekstensif dan bagi kandidat bedah yang

buruk.29

2.2.2. Mekanisme selain insulin berlebih

NICTH karena IGF2 awalnya dilaporkan oleh Daughaday et al. (1988) pada

seorang wanita berusia 67 tahun yang datang dengan hipoglikemia berat berulang

dan leiomyosarcoma toraks besar yang sembuh setelah reseksi tumor. Tumor

menunjukkan konsentrasi tinggi IGF2 mRNA dan IGF2 imunoreaktif dalam

bentuk molekul prekursor besar, dan fraksi serupa dari IGF2 dengan berat

molekul tinggi dalam serum pasien. Sejak laporan pertama, terdapat banyak kasus

klinis NICTH sekunder akibat hipersekresi tumor IGF2 oleh jenis tumor lain

(Tabel 2.2). Mekanisme patogen ini adalah penyebab utama NICTH dan istilah

'IGF2-oma' telah diusulkan untuk menggambarkan jenis tumor ini.30

Mekanisme utama pada NICTH yang diinduksi IGF2 adalah ekspresi

berlebih dari gen IGF2 (secara struktural homolog dengan gen insulin) oleh tumor

yang dikaitkan dengan sekresi tumor dari prekursor IGF2. IGF2 besar menekan

GH dan insulin masing-masing pada tingkat hipofisis dan pankreas. Karena

penekanan sekresi GH, sintesis dan sekresi IGF1 dan IGF-binding protein 3

(IGFBP3) juga menurun. Meskipun kadar serum total IGF2 mungkin normal, baik

30
rasio pro-IGF2:IGF2 dan IGF2:IGF1 dapat meningkat. Dalam satu penelitian,

rasio IGF2:IGF1 berkisar antara 16,4 hingga 64,2 dengan rata-rata 35,0±2,2 pada

kelompok pasien dengan NICTH dengan IGF2 besar. Terakhir, kadar insulin

basal-imunoreaktif rendah pada pasien ini (Tabel 2.2). Bioavailabilitas yang tinggi

dari IGF2 besar dan bebas meningkatkan konsumsi glukosa perifer dan

menurunkan produksi glukosa di hati sehingga menimbulkan perkembangan

hipoglikemia.31

Tabel 2.2. Mekanisme patogen dan jenis tumor yang berkaitan dengan tumor-induced
hypoglycemia.

2.3 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Hipoglikemia

Hipoglikemia seperti yang didefinisikan oleh American Diabetes Association dan

European Association for the Study of Diabetes adalah ketika kadar glukosa darah

<70 mg/dL.3

Namun, kadar ini bukan merupakan indikasi untuk pengobatan atau

memerlukan adanya gejala tetapi mungkin hanya menunjukkan kecenderungan

gula rendah dan memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Pengobatan untuk

memperbaiki kadar glukosa darah harus dipertimbangkan jika individu tersebut

bergejala atau jika ada faktor risiko hipoglikemia sebelumnya.32

31
Telah ditunjukkan dalam sebuah studi epidemiologi di India Selatan

bahwa 23% dari kontrol normal memiliki kadar glukosa darah postprandial

kurang dari 70 mg/dL saat puasa. Angka 70 mg/dL ini merupakan batas bawah

kisaran normal postprandial dan merupakan tingkat di mana hormon kontra-

regulasi diaktifkan pada orang nondiabetes. Selain itu, kadar glukosa darah

sebelumnya 70 mg/dL mengurangi respons simpatoadrenal terhadap hipoglikemia

berikutnya dan oleh karena itu kriteria ini menetapkan batas bawah konservatif

untuk individu dengan diabetes.33

Definisi alternatif hipoglikemia adalah penurunan kadar glukosa darah

yang menyebabkan tanda atau gejala yang dapat dibuktikan. Tanda atau gejala ini

biasanya mencakup perubahan status mental dan/atau stimulasi sistem saraf

simpatis. Tingkat glukosa di mana seorang individu menjadi gejala sangat

bervariasi. Tujuan dokter adalah untuk mencapai keseimbangan antara kedua

ujung spektrum dimana pada salah satu ujungnya terdapat komplikasi

mikrovaskuler yang berhubungan dengan hiperglikemia dan pada ujung lainnya

terdapat peningkatan morbiditas akibat hipoglikemia. Hipoglikemia pada diabetes

dapat diklasifikasikan seperti pada Tabel 2.3. Sedangkan pada Tabel 2.4

merangkum berbagai respons fisiologis terhadap penurunan konsentrasi glukosa

plasma.34

32
Tabel 2.3. Klasifikasi hipoglikemia

Tabel 2.4 Respon fisiologis terhadap penurunan glukosa plasma

Penyebab hipoglikemia bervariasi, tetapi pada pasien diabetes, paling

sering iatrogenik. Pada awal perjalanan diabetes tipe 2, pasien mungkin

mengalami episode hipoglikemia beberapa jam setelah makan. Gejala umumnya

singkat dan merespon secara spontan. Beberapa penyebab penting dan mereka

33
yang berisiko tinggi mengalami hipoglikemia dirangkum dalam Tabel 2.5. Gejala

adrenergik dan gejala neuroglikopenik dirangkum dalam Tabel 2.6.35

Tabel 2.5. Penyebab hipoglikemia

Tabel 2.6. Manifestasi klinis hipoglikemia

Dalam mendiagnosis hipoglikemia diperlukan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Riwayat penggunaan insulin atau konsumsi

agen hipoglikemik oral perlu diketahui, dan kemungkinan konsumsi toksik harus

34
dipertimbangkan. Tanyakan apakah pasien sedang mengonsumsi obat baru.

Mendapatkan riwayat medis yang akurat mungkin sulit jika status mental pasien

berubah. Riwayat penyakit sebelumnya seperti diabetes mellitus,

insufisiensi/gagal ginjal, alkoholisme, sirosis/gagal hati, penyakit endokrin

lainnya, atau operasi perlu diketahui. Selain itu tanyakan apabila terdapat

penurunan berat badan, kelelahan, mengantuk, mual dan muntah, dan sakit kepala.

Cari gejala lain yang menunjukkan infeksi.33

Temuan fisik tidak spesifik pada hipoglikemia dan umumnya berhubungan

dengan sistem saraf pusat dan otonom. Kaji tanda-tanda vital untuk hipotermia,

takipnea, takikardia, hipertensi. Gangguan kardiovaskular mungkin termasuk

takikardia, hipertensi atau hipotensi, dan disritmia. Gangguan pernapasan

mungkin termasuk dispnea, takipnea, dan edema paru akut. Gangguan

gastrointestinal mungkin termasuk mual dan muntah, dispepsia, dan kram perut.

Kulit mungkin mengeluarkan keringat atau menunjukkan tanda-tanda dehidrasi

dengan penurunan turgor. Kondisi neurologis termasuk koma, kebingungan,

kelelahan, kehilangan koordinasi, disposisi agresif atau gelisah, sindrom stroke,

tremor, kejang, dan diplopia.33, 34

35
Pada pemeriksaan penunjang, perlu dilakukan pemeriksaan glukosa serum.

Glukosa serum harus sering diukur dan digunakan untuk memandu pengobatan,

karena penampilan klinis saja mungkin tidak mencerminkan keseriusan situasi.

Jika penyebab hipoglikemia selain agen hipoglikemik oral atau insulin pada

pasien diabetes, pemeriksaan laboratorium lain mungkin diperlukan, seperti

pemeriksaan fungsi hati, kadar kortisol dan tiroid (jika ada indikasi klinis).35

Gambar 2.5 Tatalaksana hipoglikemia.

Pendekatan tatalaksana hipoglikemia digambarkan pada Gambar 2.5.

Pengobatan tidak boleh ditunda sambil menunggu nilai glukosa laboratorium

karena otak menggunakan glukosa sebagai sumber energi utamanya, kerusakan

saraf dapat terjadi jika pengobatan hipoglikemia tertunda.32, 33

36
Protokol pada Gambar 2.6 disarankan pada individu dengan rekurensi

hipoglikemia, dimana penggunaan obat dan perubahan gaya hidup saja tidak dapat

menjelaskan penyebab hipoglikemia. Meskipun jarang, jika semua penyebab yang

disebutkan disingkirkan, maka pasien mungkin memerlukan evaluasi dan

pencitraan untuk insulinoma.35

Gambar 2.6 Evaluasi rekurensi hipoglikemia.

37
BAB III PERAN LONG-ACTING SOMATOSTATIN PADA
HIPOGLIKEMIA AKIBAT PENYAKIT HATI KRONIK

3.1 Somatostatin

Somastostatin (SST) merupakan polipeptida siklik yang berasal dari protein

prekursor SST yang diproses menjadi beberapa hormon peptida, antara lain SST-

14, SST-28, dan neuronostatin. SST merupakan salah satu penghambat utama

sekresi hormon endokrin dan eksokrin pada manusia. SST asli tidak berguna

dalam praktik klinis karena memiliki waktu paruh yang sangat singkat yaitu 1-3

menit, cepat terdegradasi oleh peptidase yang tersebar di mana-mana dalam

plasma dan jaringan. Setelah karakterisasi SST, beberapa analog sintetik SST

(SSA) dengan waktu paruh yang lebih lama dikembangkan. Sampai saat ini, tiga

di antaranya telah disetujui dalam praktik klinis yaitu lanreotide dan octretide

dianggap sebagai SSA generasi pertama, dan pasireotide dianggap sebagai SSA

generasi kedua. Penggunaan klinis utama mereka telah dievaluasi dalam Uji klinis

Fase III, dan beberapa kegunaan lain telah dievaluasi dalam studi prospektif.7

STT menghambat sekresi hormon pertumbuhan (GH), prolaktin (PRL),

tirotropin (TSH), kolesistokinin (CCK), gastric inhibitory peptide (GIP), gastrin,

motilin, neurotensin, sekretin, glukagon, insulin, dan polipeptida pankreas (PP).

SST juga menghambat sekresi eksokrin amilase kelenjar saliva yaitu asam

klorida, pepsinogen, dan faktor intrinsik mukosa gastrointestinal serta enzim dan

bikarbonat pankreas dan empedu di hati. Selanjutnya, absorpsi glukosa, lemak,

38
dan asam amino dihambat oleh SST. SST juga memodulasi motilitas

gastrointestinal, menunda fase akhir gastric emptying, melemahkan kontraksi

kandung empedu, dan memperpanjang waktu transit usus halus, tetapi juga

mempercepat pengosongan lambung awal. SST menurunkan tekanan portal (dan

varises), menghambat sekresi retina dan memiliki efek antidiuretik pada manusia.

Selain itu, diyakini bahwa SST memodulasi aktivitas sistem saraf pusat yang

mendasari kognisi. Telah diamati penghambatan sintesis imunoglobulin dan

proliferasi limfosit dalam jaringan limfoid juga. Potensi antiproliferatif juga

ditunjukkan dengan membalikkan dampak sinyal mitogenik yang disampaikan

oleh zat seperti epidermal growth factor (EGF) dan insulin-like growth factor 1

(IGF-1). Mekanisme aksi SSA dijelaskan pada Gambar 3.1.36

Gambar 3.1. Mekanisme kerja somatostatin synthetic Analog (SSA). (A). Efek antisekresi terjadi
melalui penghambatan enzim adenilil siklase (AC), penghambatan saluran kalsium yang
bergantung pada tegangan dan stimulasi saluran kalium yang bergantung pada tegangan. (B). Efek
antiproliferatif. (B.1) Efek antiproliferatif langsung terjadi melalui aktivasi Src Homology 2
Domain Phosphatase-1 (SHP-1) dan Src Homology 2 Domain Phosphatase-2 (SHP-2). SHP-1

39
memicu sinyal pro-apoptosis intraseluler dengan induksi p53 dan Bax, sementara SHP-2
mengaktifkan tirosin kinase Src yang menginduksi phosphorylation of protein tyrosine
phosphatase receptor type J (PTPRJ), yang selanjutnya, mendefosforilasi fosfatidilinositol 3-
kinase (PI3K/Akt) dan protein kinase 1 dan 2 yang diatur sinyal ekstraseluler (ERK1/2), sehingga
mengganggu proliferasi sel. (B.2 dan B.3). Efek antiproliferatif tidak langsung terjadi melalui
penghambatan faktor pertumbuhan yang bersirkulasi seperti VEGF, IGF-1, IGF-2 (B.2) dan
melalui penghambatan angiogenesis tumor dengan mengubah pelepasan oksida nitrat (NO) (B.3).

Gambar 3.2 Mekanisme kerja SST pada sekresi insulin. SST akan berikatan dengan SSTR pada sel
beta dan menghambat kanal kalsium dan kanal kalium. Proses ini akan menyebabkan
berkurangnya cAMP dan pada akhirnya sekresi insulin akan berkurang

3.1.1 Analog Somatostatin (SSA)

Analog SST sintetis pertama (SSA) yang disetujui oleh Food and Drug

Administration (FDA) adalah octapeptide octreotide (SMS 201-995) yang

dipasarkan sebagai Sandostatin® (50, 100, dan 200 mcg subkutan setiap 8-12

jam). Obat ini tersedia dalam injeksi long-acting release (LAR) konvensional dan

modifikasi (Sandostatin LAR®), masing-masing disetujui pada tahun 1988 dan

1998. Formulasi Sandostatin LAR® mengandung octreotide yang didistribusikan

dalam mikrosfer polimer dan tersedia untuk injeksi intramuskular dengan dosis

10, 20, atau 30 mg setiap 28 hari. Kapsul Octreotide, formulasi oral baru yang

40
tampaknya efektif dan aman untuk pengobatan akromegali, belum disetujui untuk

digunakan dan studi Fase III baru saat ini sedang dilakukan. Octreotide

menunjukkan afinitas tinggi untuk SSTR2 (somatostatin receptor 2) dan

menghambat proliferasi sel yang mengekspresikan gen SSTR2 dengan

mengaktifkan jalur tirosin fosfatase.7, 36

SST analog memiliki efek anti proliferatif, antisekresi, dan anti angiogenik

yang dapat berperan dalam berbagai penyakit pada sistem pencernaan, endokrin

dan juga saraf. Rerata waktu paruh dari SST hanya berkisar pada 1-3 menit dan

akan langsung didegradasi oleh peptidase dari jaringan dan juga plasma sehingga

penggunaannya perlu dilakukan melalui prosedur intravena secara langsung.

Modifikasi pada beberapa analog memberikan kelebihan metode administrasi

sehingga administrasinya dapat dilakukan secara subkutan.36

Ocreotide merupakan analog SST yang pertama kali disetujui oleh FDA

dengan nama sandostatin dan tersedia juga sebagai bentuk kerja lama sandostatin

LAR. Ocreotide tersusun dari 4 rantai asam amino esensial yang membuatnya

menjadi resisten terhadap degradasi metabolik. Ocreotide memiliki waktu paruh

90-120 menit melalui injeksi subkutan dan memiliki waktu kerja sekitar 8-12 jam.

Ocreotide akan berikatan dengan reseptor SST yang secara spesifik memberikan

efek yang berbeda. Ocreotide memiliki efek potensi 40 kali lebih tinggi

dibandingkan inhibisi SST pada GH. Pengembangan SST analog jangka panjang

saat ini masih dilakukan dengan pertimbangan efektivitas dan perbaikan kualitas

hidup yang hanya memerlukan 1 kali injeksi per minggu atau bahkan per bulan.36

41
3.1.2 SSA Dalam Praktis Klinis

Tabel 3.1. Indikasi pengobatan SSA

SST adalah hormon pluripotensial yang banyak digunakan dalam pengobatan

berbagai kondisi. SSA terutama digunakan untuk diagnosis dan pengobatan GEP-

NET (gastroenteropancreatic neuroendocrine tumor) berdiferensiasi baik dan

dalam pengobatan akromegali, sebagai pengobatan lini pertama atau adjuvant

setelah operasi. Karena aktivitas antisekresinya yang signifikan, antiproliferatif

42
langsung dan tidak langsung, dan imunomodular, SSA juga digunakan di bidang

endokrinologi, onkologi, pencernaan, bedah umum, dan oftalmologi (Tabel 3.1).7

3.2 Peran Long-Acting Somatostatin Pada Hipoglikemia Akibat Penyakit


Hati Kronik
SST akan terlibat dalam proses regulasi insulin dan glukagon sebagai respon pada

perubahan kadar gula dalam darah melalui mekanisme feedback negative. Sebagai

respon terhadap hiperglikemia, insulin akan semakin disekresikan dan berlaku

sebaliknya. Proses sekresi insulin dapat dipengaruhi juga oleh SST. Mekanisme

molekular dibalik regulasi ini masih tidak diketahui secara pasti namun ada

beberapa hipotesis yang mungkin dapat terjadi. SST14 dan SST28 merupakan

bentuk paling aktif dari SST. SST14 lebih berperan dalam proses regulasi dari

alpha cell mediated glucagon secretion, sedangkan SST28 berperan dalam

regulasi insulin dari sel beta. Namun terapi SST pada pasien-pasien dengan

kondisi hipoglikemik tidak akan mempengaruhi sekresi insulin, hal ini

menunjukan bahwa SST berperan meregulasi glukosa secara dependen.37

SST merupakan suatu hormon yang akan menjaga stabilitas kelistrikan

dari sel beta pankreas sehingga akan mencegah sekresi dari hormon insulin. SST

akan bekerja dengan melalui 5 protein transmembrane coupled SST receptor

(SSTR) tipe 1 sampai dengan 5 yang banyak di ekspresikan di dalam sel beta.

Kelima reseptor ini akan saling memberikan efek molekukar masing-masing

seperti inhibisi adenil siklase, aktivasi fosfotirosine fosfatase dan modulasi proses

mitosis melalui mekanisme G protein dependent. Kelima reseptor ini pada

akhirnya akan saling bekerja sama untuk memberikan efek hambatan pada kanal

kalsium tipe L. Pada beberapa studi molekular yang dilakukan, pada sel beta yang

43
siap mensekresikan insulin, ketika terjadi peningkatakan kadar calcium dalam

selnya, akan menyebabkan berkuranngya eksresi dari insulin dari dalam sel beta.37

Ocretide yang merupakan analog kerja pendek dari somatostatin sangat

umum digunakan sebagai terapi lini kedua hiperinsulinemia. Ocretide ini memiliki

waktu paruh yang pendek berkisar 100 menit sehingga administrasinya harus

dilakukan melalui infus, injeksi subkutan ataupun subcutaneous pump therapy.

Penggunaan somatostatin dengan kerja yang lebih panjang (sandostatin)

sebenenarnya memberikan keuntungan berupa efektivitas dan peningkatan

kualitas hidup pasien karena tidak memerlukan ocreotide jangka pendek, namun

belum banyaknya studi yang meneliti penggunaan long acting somatostatin, terapi

ini masih belum umum dilakukan.37

Pada beberapa studi yang ada, penggunaan long acting somatostatin pada

pasien dengan hiperinsulinemia. Penggunaan long acting somatostatin pada

pasien dengan hiperinsulinemia diberikan secara subkutan ataupun intramuskuler

tiap 4-6 minggu sekali mengikuti panduan penggunaannya pada pasien dengan

kelainan pituitari ataupin kelainan sistem gastrointestinal lainnya. Penggunaan

long acting somatostatin pada pasien dengan hiperinsulinemia menunjukan angka

keberhasilan 89% dalam 24 jam pertama.37

Analog somatostatin dinilai memiliki peran yang efektif dalam

mengendalikan gejala pada pasien dengan tumor neuroendokrin fungsional,

bahkan penggunaannya juga dapat mengurangi ukuran tumor. Namun pada

beberapa kasus dengan penyebab yang masih belum diketahui, penggunaan

somatostatin dinilai dapat menyebabkan penghambatan sekresi glukagon dan

44
menyebabkan inhibisi dari growth hormone. Hal tersebut akan menyebabkan

gangguan output glukosa dari liver dan penurunan absorbsi glukosa pada mukosa

usus. Penggunaan analog somatostatin pada pasien dengan ukuran tumor yang

besar dan metastatis hepar multipel memiliki risiko lebih besar mengalami hal

tersebut yang pada akhirnya dapat menyebabkan efek hipoglikemia.37

SSA merupakan pengobatan medis lini kedua untuk mengendalikan

hipoglikemia pada pasien dengan insulinoma, terutama untuk insulinoma ganas.

Octreotide efektif dalam mengendalikan hipoglikemia pada 59% pasien dengan

insulinoma. Meskipun hipoglikemia subklinis bisa saja terjadi sebelum memulai

terapi octreotide, karena mempertahnkan kerja hormon kontraregulasi. Setelah

pengobatan octreotide, hipoglikemia berat tetap dapat terjadi karena penekanan

hormon kontraregulasi. Terdapat kemungkinan bahwa derajat keparahan

hipoglikemia pasien mungkin telah diperburuk oleh infiltrasi tumor ganas hati

yang luas, yang menyebabkan penurunan simpanan glikogen dan

glukoneogenesis.37

Sensitivitas intrinsik insulin-producing tumour terhadap octreotide

mungkin menjadi penentu penting dari perubahan kadar glukosa darah. Efektivitas

terapi octreotide tergantung pada jumlah dan afinitas reseptor somatostatin, SSTr2

dan SSTr5. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan ekspresi heterogen dari

subtipe reseptor yang berbeda pada permukaan insulinoma. Insiden hipoglikemia

setelah pemberian octreotide tampaknya lebih tinggi pada pasien yang memiliki

sedikit SSTr2 dan SSTr5. Setelah pemberian octreotide, pasien dengan insulinoma

dengan afinitas octreotide rendah menunjukkan hiperinsulinemia persisten yang

45
menyebabkan hipoglikemia yang memburuk. Sebaliknya, pasien dengan

insulinoma dengan afinitas octreotide tinggi menunjukkan penekanan

hiperinsulinemia yang menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa darah dan

perbaikan gejala.6

Pasireotide mampu mengontrol hipoglikemia pada insulinoma yang

resisten terhadap pilihan pengobatan lain (octreotide LAR, everolimus,

kemoterapi) dan dapat menjadi pilihan terapi alternatif pada insulinoma ganas dan

kejadian hipoglikemik berulang. Namun, pada insulinoma tanpa ekspresi SSTR,

SSA memperburuk hipoglikemia dengan menghambat mekanisme kontra-regulasi

(glukagon dan GH).38

46
BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Hati memainkan peran utama dalam metabolisme glukosa seluruh tubuh

dengan menjaga keseimbangan antara produksi glukosa dan penyimpanan

glukosa dalam bentuk glikogen.

2. Somastostatin (SST) merupakan polipeptida siklik yang berasal dari

protein prekursor SST yang diproses menjadi beberapa hormon peptide.

3. SSA terutama digunakan untuk diagnosis dan pengobatan GEP-NET

(gastroenteropancreatic neuroendocrine tumor) berdiferensiasi baik dan

dalam pengobatan akromegali, sebagai pengobatan lini pertama atau

adjuvant setelah operasi.

4. Long-acting SSA efektif dalam mengendalikan hipoglikemia pada 59%

pasien dengan insulinoma.

5. Efektivitas terapi octreotide tergantung pada jumlah dan afinitas reseptor

somatostatin, SSTr2 dan SSTr5.

4.2 Saran

Saat ini penelitian yang membahas peran long-acting SSA pada hipoglikemia

akibat penyakit hati kronik masih jarang, oleh karena itu diperlukan studi lebih

lanjut.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Nishida T. Diagnosis and clinical implications of diabetes in liver cirrhosis:


a focus on the oral glucose tolerance test. J Endocr Soc. 2017;1(7):886-96.
2. Sharabi K, Tavares CD, Rines AK, Puigserver P. Molecular
pathophysiology of hepatic glucose production. Mol Aspects Med.
2015;46:21-33.
3. Kapoor N, Jagan J, Thomas N. Management of hypoglycemia. Curr Med
Issues. 2017;15(3):211.
4. Iglesias P, Díez JJ. Management of endocrine disease: a clinical update on
tumor-induced hypoglycemia. Eur J Endocrinol. 2014;170(4):R147-R57.
5. Cryer P, Axelrod L, Grossman A, Heller S, Montori V, Seaquist E, et al.
Evaluation and management of adult hypoglycemic disorders: an Endocrine
Society Clinical Practice Guideline. Endocrine Society. 2009;94:709-28.
6. Healy M, Dawson S, Murray R, Zalcberg J, Jefford M. Severe
hypoglycaemia after long‐acting octreotide in a patient with an
unrecognized malignant insulinoma. Intern Med J. 2007;37(6):406-9.
7. Gomes-Porras M, Cárdenas-Salas J. Somatostatin analogs in clinical
practice: a review. Int J Mol Sci. 2020;21(5):1682.
8. Gerich JE. Role of the kidney in normal glucose homeostasis and in the
hyperglycaemia of diabetes mellitus: therapeutic implications. Diabetic
medicine : a journal of the British Diabetic Association. 2010; 27(2):136–
142.
9. DeFronzo RA. Pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. The Medical clinics
of North America. 2004; 88(4):787–835.
10. Rizza RA. Pathogenesis of Fasting and Postprandial Hyperglycemia in Type
2 Diabetes: Implications for Therapy. Diabetes. 2010; 59(11):2697–2707.
11. Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB, Diamant M, Ferrannini E, Nauck M,
Peters AL, Tsapas A, Wender R, Matthews DR. Management of
hyperglycaemia in type 2 diabetes: a patient-centered approach. Position

48
statement of the American Diabetes Association (ADA) and the European
Association for the Study of Diabetes (EASD). Diabetologia. 2012;
55(6):1577–1596.
12. Iynedjian PB. Molecular physiology of mammalian glucokinase. Cellular
and molecular life sciences : CMLS. 2009; 66(1):27–42.
13. van Poelje PD, Potter SC, Erion MD. Fructose-1, 6-bisphosphatase
inhibitors for reducing excessive endogenous glucose production in type 2
diabetes. Handbook of experimental pharmacology. 2011; (203):279–301.
14. Clark MG, Kneer NM, Bosch AL, Lardy HA. The fructose 1,6-
diphosphatasephosphofructokinase substrate cycle. A site of regulation of
hepatic gluconeogenesis by glucagon. The Journal of biological chemistry.
1974; 249(18):5695–5703.
15. Pilkis SJ, Granner DK. Molecular physiology of the regulation of hepatic
gluconeogenesis and glycolysis. Annu Rev Physiol. 1992; 54:885–909.
16. She P, Shiota M, Shelton KD, Chalkley R, Postic C, Magnuson MA.
Phosphoenolpyruvate Carboxykinase Is Necessary for the Integration of
Hepatic Energy Metabolism. Molecular and Cellular Biology. 2000;
20(17):6508–6517.
17. Mutel E, Gautier-Stein A, Abdul-Wahed A, Amigo-Correig M, Zitoun C,
Stefanutti A, Houberdon I, Tourette JA, Mithieux G, Rajas F. Control of
blood glucose in the absence of hepatic glucose production during
prolonged fasting in mice: induction of renal and intestinal gluconeogenesis
by glucagon. Diabetes. 2011; 60(12):3121–3131.
18. Saltiel AR, Kahn CR. Insulin signalling and the regulation of glucose and
lipid metabolism. Nature. 2001; 414(6865):799–806.
19. Yoon JC, Puigserver P, Chen G, Donovan J, Wu Z, Rhee J, Adelmant G,
Stafford J, Kahn CR, Granner DK, Newgard CB, Spiegelman BM. Control
of hepatic gluconeogenesis through the transcriptional coactivator PGC-1.
Nature. 2001; 413(6852):131–138.

49
20. Rodgers JT, Haas W, Gygi SP, Puigserver P. Cdc2-like kinase 2 is an
insulin-regulated suppressor of hepatic gluconeogenesis. Cell Metab. 2010;
11(1):23–34.
21. Screaton RA, Conkright MD, Katoh Y, Best JL, Canettieri G, Jeffries S,
Guzman E, Niessen S, Yates JR 3rd, Takemori H, Okamoto M, Montminy
M. The CREB coactivator TORC2 functions as a calcium- and cAMP-
sensitive coincidence detector. Cell. 2004; 119(1):61–74.
22. Herzig S, Long F, Jhala US, Hedrick S, Quinn R, Bauer A, Rudolph D,
Schutz G, Yoon C, Puigserver P, Spiegelman B, Montminy M. CREB
regulates hepatic gluconeogenesis through the coactivator PGC-1. Nature.
2001; 413.
23. Gelling RW, Morton GJ, Morrison CD, Niswender KD, Myers MG Jr.
Rhodes CJ, Schwartz MW. Insulin action in the brain contributes to glucose
lowering during insulin treatment of diabetes. Cell Metab. 2006; 3(1):67–
73.
24. Krssak M, Brehm A, Bernroider E, Anderwald C, Nowotny P, Dalla Man C,
Cobelli C, Cline GW, Shulman GI, Waldha¨ usl W, Roden M. Alterations in
postprandial hepatic glycogen metabolism in type 2 diabetes. Diabetes.
2004;53(12):3048–3056.
25. Shmueli E, Record CO, Alberti KG. Liver disease, carbohydrate metabolism
and diabetes. Baillieres Clin Endocrinol Metab. 1992;6(4):719–743.
26. Huang JF, Dai CY, Hwang SJ, Ho CK, Hsiao PJ, Hsieh MY, Lee LP, Lin
ZY, Chen SC, Hsieh MY, Wang LY, Shin SJ, Chang WY, Chuang WL, Yu
ML. Hepatitis C viremia increases the association with type 2 diabetes
mellitus in a hepatitis B and C endemic area: an epidemiological link with
virological im- plication. Am J Gastroenterol. 2007;102(6):1237–1243.
27. Pazienza V, Cle´ment S, Pugnale P, Conzelman S, Foti M, Mangia A,
Negro F. The hepatitis C virus core protein of genotypes 3a and 1b
downregulates insulin receptor substrate 1 through genotype-specific
mechanisms. Hepatology. 2007;45(5):1164–1171.

50
28. Carey PE, Halliday J, Snaar JE, Morris PG, Taylor R. Direct assessment of
muscle glycogen storage after mixed meals in normal and type 2 diabetic
subjects. Am J Physiol Endocrinol Metab. 2003;284(4): E688–E694.
29. de Groot J, Rikhof B, van Doorn J, Bilo H, Alleman M, Honkoop A, et al.
Non-islet cell tumour-induced hypoglycaemia: a review of the literature
including two new cases. Endocr Relat Cancer. 2007;14:979-93.
30. Chan J, Cheuk W, Ho L, Wen J. Recurrent meningeal hemangiopericytoma
with multiple metastasis and hypoglycemia: a case report. Case Rep Med.
2012;2012:628756.
31. Chan J, Cheuk W, Ho L, Wen J. Recurrent meningeal hemangiopericytoma
with multiple metastasis and hypoglycemia: a case report. J Clin Endocrinol
Metab. 2012;2012:628756.
32. Yale J-F, Paty B, Senior PA. Hypoglycemia. Can J Diabetes. 2018;42:S104-
S8.
33. Vasan SK, Ramachandran P, Mathew M, Natraj CV,Antonisamy B, Thomas
N, et al. Post-absorptive glucose lowering in normal healthy individuals: An
epidemiological observation. Diabetes Res Clin Pract 2014;104:e5-7.
34. Esterson YB, Carey M, Piette JD, Thomas N, Hawkins M. A systematic
review of innovative diabetes care models in low-and middle-income
countries (LMICs). J Health Care Poor Underserved 2014;25:72-93.
35. Standards of medical care in diabetes-2017: Summary of revisions. Diabetes
Care 2017;40 Suppl 1:S4-5.
36. Lamberts S.W.J., van der Lely A.J., Hofland L.J. New somatostatin analogs:
Will they fulfil old promises? Eur J Endocrinol. 2002;146:701–705.
37. Vezzosi D., Bennet A., Rochaix P., Courbon F., Selves J., Pradere B.,
Buscail L., Susini C., Caron P. Octreotide in insulinoma patients: Efficacy
on hypoglycemia, relationships with Octreoscan scintigraphy and
immunostaining with anti-sst2A and anti-sst5 antibodies. Eur J Endocrinol.
2005;152:757–767.

51
38. Tirosh A., Stemmer S.M., Solomonov E., Elnekave E., Saeger W., Ravkin
Y., Nir K., Talmor Y., Shimon I. Pasireotide for malignant insulinoma.
Horm Athens Greece. 2016;15:271–276.

52

Anda mungkin juga menyukai