Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN PUSTAKA

TATALAKSANA NUTRISI PADA PENYAKIT GINJAL


KRONIS PREDIALISIS

Lucrezia Renata
Prof. Dr. dr. Emma Sy. Moeis Sp. PD-KGH

DIPENTASKAN DIDEPAN FORUM ILMIAH


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FK UNSRAT
BLU PROF. DR R.D. KANDOU MANADO
2018
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalensi dan insidens gagal ginjal yang terus meningkat.1 Penyakit
ginjal kronis secara definisi, diartikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih
dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan manifestasi berupa kelainan
patologis, terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urine, atau kelainan dalam tes pencitraan. Laju filtrasi glomerulus (LFG)
kurang dari 60mL/menit/1,73m2 selama lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.2
Prevalensi PGK meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk
usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi.1 Faktor resiko
PGK adalah diabetes melitus, hipertensi, obesitas, dan merokok. Modifikasi dari
gaya hidup, seperti pola makan yang sehat, olahraga teratur, berhenti merokok,
tidak mengkonsumsi alkohol, dan penurunan berat badan pada pasien obesitas dapat
menghambat progresi PGK.3
Penatalaksaaan PGK dapat dilakukan dua tahap yaitu dengan terapi
konservatif dan terapi pengganti ginjal (TPG). Rekomendasi terapi konservatif
dengan memodifikasi asupan diet pada pasien PGK predialisis yang bertujuan
untuk menjaga status nutrisi pasien, menunda progresivitas PGK dan menurunkan
faktor resiko terjadinya penyakit komorbid.4,5 Modifikasi diet pada PGK predialisis,
difokuskan kepada garam, protein, kalsium, fosfor, derivat alkalin, produk sitrat,
dan tentu saja jumlah asupan air.6 Selama bertahun-tahun, telah direkomendasikan
pasien dengan PGK untuk memodifikasi asupan diet. Hal ini dikarenakan seringnya
(20-80%) terjadi malnutrisi pada pasien dengan PGK. Malnutrisi berhubungan
dengan peningkatan mortalitas dan hasil keluaran yang buruk. 6,7
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai tatalaksana nutrisi pada
PGK predialisis yang difokuskan pada penilaian status nutrisi, strategi diet pada
PGK predialisi yang terdiri dari asupan protein, asupan lemak, asupan energi/kalori,
dan asupan mineral pada pasien PGK predialisis.

1
PATOGENESIS
Pada PGK, disfungsi ginjal dikaitkan dengan defek pada ekskresi toksin
sehingga menyebabkan asidosis metabolik, inflamasi sistemik, dan resistensi
hormonal yang akhirnya menyebabkan akumulasi toksin uremik.
Asidosis metabolik. Prevalensi dan keparahan asidosis metabolik pada
pasien dengan PGK meningkat secara progresif seiring dengan menurunnya LFG.
Asidosis metabolik berhubungan dengan meningkatnya katabolisme protein,
gangguan metabolisme glukosa, gangguan fungsi jantung, perjalanan penyakit
PGK, dan meningkatnya mortalitas.8 Pada keadaan normal, kosentrasi H+
ekstraseluler diperkirakan 40 nmol/L. Regulasi keseimbangan asam basa meliputi
tiga aspek yaitu, kesetimbangan kimiawi baik intraseluler maupun ekstraseluler,
perubahan dari ventilasi alveolar, dan perubahan eksresi H+. Ginjal meregulasi
eksresi asam dengan reabsorpsi untuk filtrasi HCO3- dan menghasilkan HCO3- bila
ada stimulus. Hasil H+ yang disekresikan digabung dengan buffer urine seperti
HPO42- dan amonia. Pada PGK, penurunan fungsi nefron dapat menyebabkan
gangguan eksresi asam oleh renal, terutama amonium. Walaupun pada PGK terjadi
penurunan kadar amonium yang dieksresi, pembentukan amoniak pada nefron
meningkat dan hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada nefron yang masih
bertahan. Disamping itu, pada asidosis metabolik, meningkatnya kadar amonia juga
dapat menyebabkan reaksi biokimia terhadap sistem komplemen C3 dan C5b-9
sehingga dapat menyebabkan kerusakan struktural dan fungsional dari tubulo-
interstisial.9 Pada keadaan asidosis, produksi endotelin (ET)-1 meningkat dan bisa
menyebabkan kerusakan tubulointerstisial. Endotelin-1 dapat menyebabkan
vasokontriksi dan menurunkan aliran darah ke ginjal.9,10 Peningkatan aldosteron
yang disebabkan oleh keadaan asidosis juga dapat pula menyebabkan terjadinya
penurunan LFG. Pada PGK, terjadi hiperaldosteronisme tanpa disertai dengan
peningkatan kadar renin. Peningkatan kadar aldosteron yang terjadi secara lokal
dan sitemik menyebabkan terjadinya kerusaka ginjal yang progresif. Plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) merupakan faktor penyebab fibrinolisis yang juga
dihasilkan karena terjadinya peningkatan aldosteron. Kemudian dapat
menyebabkan terjadinya trombosis dan akumulasi di matriks ekstraseluler. Hal ini
yang kemudian akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, kerusakan vaskular,

2
dan menyebabkan terjadinya jaringan parut yang kemudian akan menurunkan
fungsi ginjal.

Gambar 1. Perjalanan progresivitas PGK


Sumber: Zha Y, Qian Q. Review: Protein Nutrition and Malnutrition in CKD and ESRD. Nutrients. Feb 2017, 9, 208;
doi:10.3390/nu9030208

Inflamasi. Inflamasi dan aktivasi sistem imun merupakan unsur penting dari
terjadinya PGK. Sitokin atau penanda inflamasi seperti interleukin (IL)-1β,
antagonis reseptor IL-1, IL-6, tumor necroting factor (TNF)- α, C-reactive protein
(CRP), dan fibrinogen berhubungan dengan fungsi ginjal dan mempunyai korelasi
positif dengan albuminuria.12 Produksi sitokin-sitokin ini didapati meningkat pada
keadaan PGK dan meningkatkan produksi reaktif oksidatif stress dan hal ini terjadi
secara berkelanjutan dalam daur positif jaras nuclear factor kappa beta (NFkB).
Selain itu, inflamasi juga dipengaruhi oleh produk uremik (stres oksidatif dan stres
karbonil).13 Inflamasi juga dapat disebabkan karena asidosis metabolik.
Resistensi hormonal. Resistensi hormonal juga berperan penting pada
proses terjadinya PGK. Diantaranya adalah aksis Growh Hormone (GH) – Insulin-
like Growth Factor (IGF)-1, angiotensin II, aldosteron, adipositokin, leptin,
adiponektin, ghrelin, vitamin D, dan glukokortikoid. Mekanisme reduksi dan
inhibisi dari aktivitas GH-IGF dipengaruhi oleh stress neuro-endokrin kronis yang
signifikan pada sistem hormonal anabolik. Efek yang khas yaitu meningkatnya
aktivitas dari hypothalamic corticotrophin-releasing hormone (CRH) dan pituitary
adrenocorticotropin hormone (ACTH) sehingga menekan aktivitas GF-IGF yang
kemudian akan mempengaruhi jaringan. Keadaan uremia dan asidosis juga dapat
meningkatkan kadar kortisol pada pasien dengan PGK. Faktor lain yaitu induksi

3
terjadinya resistensi insulin pada stress inflamasi yang bersifat kronis. Hal ini
ditemukan, adanya perubahan signifikan pada aktivitas jaras IGF-1 (IGFBP-3 lebih
rendah secara signifikan dan IGFBP-1 lebih tinggi) dan angka mortalitas. Selain
itu, angiotensin II juga dinilai berpengaruh terhadap terjadinya PGK. Angiotensin
II dinilai bisa memproduksi reaktif oksidatif stress dan bisa menyebabkan fibrosis
jaringan. Hormon lain yang dinilai berperan yaitu adipositokin. Jaringan adiposa
merupakan organ endokrin yang sangat aktif dan memegang peranan untuk proses
eliminasi dan penyimpanan asam lemak, regulasi metabolisme/keseimbangan
energi, kontrol nafsu makan, fungsi insulin, dan aktivitas inflamasi. Jaringan
adiposa menghasilkan peptidase termasuk leptin, adiponektin, resistin, TNF-α dan
komponen RAAS seperti angiotensinogen dengan aktivitas autokrin, parakrin, dan
endokrin sehingga dapat memperberat PGK.13

PENILAIAN STATUS NUTRISI PADA PASIEN PREDIALISIS


Pada pasien dengan penurunan LFG yang bersifat kronis, perubahan status
nutrisi sudah terjadi semenjak LFG masih diantara 28-35 mL/menit/1,73m2.
Malnutrisi pada pasien dengan gangguan ginjal dapat berakibat kepada prognosis
yang kurang baik.8
Pada pasien dengan LFG yang menurun perlu dilakukan pengkajian
terhadap status nutrisi yang bisa dilakukan melalui beberapa panel, meliputi : 1)
Antropometri (komposisi tubuh), 2) Pemeriksaan biokimia darah, 3) Gejala klinis,
4) Asupan diet, 5) Latihan atau aktivitas fisik, kapasitas fungsional, dan lain-lain.8
1. Pemeriksaan Antropometri
Pengkajian massa protein somatik, yang paling mudah dilakukan
adalah pemeriksaan antopometri yang didalamnya termasuk pemeriksaan
berat dan tinggi badan, indeks massa tubuh, ketebalan lipatan kulit pada
daerah biseps, triseps, dan area subskapular, lingkar lengan bagian tengah,
dan lingkar lengan bagian tengah yang terkalkulasi. Seluruh pengkajian
hendaknya dilakukan sebanyak tiga kali, dihitung rerata, dan dibandingkan
dengan presentil dari populasi normal.6 Berikut adalah pengkajian yang
dilakukan untuk pemeriksaan antropometri:

4
Pemeriksaan Tinggi Badan. Pemeriksaan antropometri yang
paling sederhana yang bisa dilakukan adalah tinggi badan. Secara ideal,
pengukuran tinggi badan harus dilakukan dengan posisi berdiri tegak.
Bila tidak memungkinkan, dapat digantikan dengan pengukuran tinggi
lutut dan rentang lengan untuk membantu prediksi. 5
Pemeriksaan Berat Badan. Berat badan juga harus diukur.
Berat badan yang dimaksud disini adalah berat badan kering tanpa
edema yang nantinya akan dievaulasi bersamaan dengan tinggi badan,
berat badan sebelumnya, indeks massa tubuh, dan komposisi tubuh.5
Pengukuran Lingkar Pinggang. Lingkar pinggang juga dikaji,
bila lingkar pinggang lebih dari 102 cm pada laki-laki dan lebih dari 80
cm pada wanita. Pengukuran harus dilakukan pada 2 cm dibawah
umbilikus.5
Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Pengukuran status
nutrisi seseorang, sekarang ini lebih sering dipilih melalui pengukuran
IMT. Sedangkan untuk pengelompokan status nutrisi berdasarkan
kehilangan berat badan, dapat digunakan rumus dr.Blackburn yang juga
digunakan sebagai prediktor resiko malnutrisi: prosentase dari berat
badan sebelumnya yaitu, 85%-95% adalah malnutrisi ringan, 75-84%
adalah malnutrisi sedang, dan <74% adalah malnutrisi berat.5
Pengukuran ketebalan lipatan kulit. Metode lain yang dapat
digunakan untuk memprediksi komposisi tubuh adalah ketebalan
lipatan kulit triseps dan area otot lengan. Ketebalan lipatan kulit triseps
untuk menentukan indeks penumpukkan lemak tubuh dan area otot
lengan menggambarkan protein otot.5,14 Ketebalan lipatan kulit trisep
diukur menggunakan kaliper dan area otot lengan diukur menggunakan
tali ukur.5

5
Gambar 2. Pengukuran ketebalan kulit trisep
Sumber: Othersen JB, Thomas LK. Nutrition Therapy for Chronic Kidney Disease. US: CRC Press. 2012

2. Pemeriksaan Biokimia Darah


Pemeriksaan darah lengkap dan serum biokimia merupakan
pemeriksaan rutin yang dilakukan terhadap seluruh pasien. Yang perlu
dilakukan antaranya pemeriksaan darah lengkap, serum ureum dan
kreatinin, natrium, kalium, kalsium, fosfat. Disamping itu, pemeriksaan
terhadap status besi pasien yang terdiri dari serum iron (SI), total iron
binding capacity (TIBC) juga diperlukan.11
Pemeriksaan protein total juga perlu dilakukan untuk mengetahui
status nutrisi seorang pasien, termasuk pemeriksaan kadar vitamin dan
mineral lainnya.15
Serum albumin. Pengkajian status serum albumin, merupakan
pemeriksaan yang paling mudah dan dapat menggambarkan mengenai
status nutrisi seorang pasien.8 Serum albumin merupakan serangkaian
pemeriksaan yang dilakukan pada pasien dengan penyakit gagal ginjal
kronis untuk mengkaji massa protein pada setiap pasien. Selain serum
albumin, yang dapat pula diperiksa adalah serum prealbumin (trastiretin),
serum transferin.6 Serum albumin, albumin yang di sintesis di hati dan
disekresi kedalam darah yang kemudian akan masuk ke intra dan
ekstravaskular. Nilai normal albumin adalah 3,5-5,3 gram/kg. Asupan
protein harian yang tidak cukup akan membuat turunnya nilai albumin yang
di sintesis.5 Beberapa keadaan yang perlu dipertimbangkan karena dapat
mempengaruhi nilai albumin yaitu: kelainan hepatik, inflamasi, umur tua,

6
jenis kelamin perempuan, ras kulit putih, dan adanya penyakit kronis. Maka
dari itu, serum albumin tidak bisa berdiri sendiri sebagai penanda status
nutrisi, tetapi dapat digunakan sebagai penanda adanya suatu penyakit
kronis.14
Serum prealbumin. Pemeriksaan serum prealbumin pada pasien
dengan PGK juga bisa dijadikan salah satu pemeriksaan untuk menentukan
status nutrisi pasien dengan gagal ginjal kronis. Serum prealbumin
merupakan protein karier retinol binding protein (RBP) dan tiroksin.
Pemeriksaan terhadap serum prealbumin dianggap lebih sensitif untuk
mengetahui status nutrisi seseorang karena tidak terpengaruh oleh kelainan
hepar, dan tidak dipengaruhi oleh serum albumin.5,14 Hal yang
mempengaruhi peningkatan serum prealbumin dan perlu dipertimbangkan
yaitu intoksikasi alkohol akut, pasien dengan terapi prednison, serta pada
penggunaan agen progesteron. Perlu diperhatikan pula, serum albumin
dapat turun pada pasien dengan defisiensi zink dan infeksi.6 Serum
prealbumin, dikarenakan komponen protein dari prealbumin terdegradasi
oleh ginjal, prealbumin cenderung meningkat pada penurunan LFG yang
progresif. Jadi serum prealbumin sebaiknya hanya digunakan untuk
mengkaji status nutrisi pada pasien dengan LFG yang stabil. Nilai serum
prealbumin kurang dari 29 mg/dL mengindikasikan status nutrisi yang
buruk dan peningkatan mortalitas.6,14
Serum transferin. Serum trasferin juga bisa diperiksa untuk
mengetahui status nutrisi seorang pasien. Nilai serum transferin dibawah
200 mg/dL didapati berhubungan dengan prognosis yang buruk dan
terjadinya malnutrisi pada pasien. Tetapi, beberapa keadaan mempengaruhi
saturasi transferin, yaitu pasokan besi yang rutin di lakukan pada pasien
dengan PGK, kehilangan pada sindroma nefrotik, dan respons inflamasi dan
kegagalan hati. Maka dari itu, serum transferin tidak direkomendasikan
sebagai alat untuk monitoring status nutrisi pada pasien dengan PGK. 6
Retinol-binding protein (RBP). Retinol-binding protein sama
dengan serum prealbumin, kadarnya dipengaruhi oleh inflamasi. Keadaan
lain yang berpengaruh adalah defisiensi vitamin A dan hipertiroidisme.

7
Penggunaan RBP sebagai penanda malnutrisi lebih kompleks dibandingkan
dengan menggunakan serum prealbumin.6
Serum kolestrol total. Serum kolestrol total yang rendah juga bisa
digunakan sebagai penanda status nutrisi. Hubungan antara asupan nutrisi
dan rendahnya serum kolestrol terjadi secara tidak langsung.
Hipokolestrolemia (kurang dari 150-180 mg/dL) dapat dijadikan sebagai
penanda asupan energi dan protein yang tidak adekuat dan bersifat kronis.
Namun dikarenakan oleh sensitivitas dan spesivisitas yang rendah maka
serum kolestrol total sebaiknya hanya digunakan sebagai alat untuk
skrining.8,14
Kadar fosfat. Rendahnya asupan protein berhubungan dengan
hipofosfatemia kecuali pada keadaan dengan hipoparatiroid sekunder.
Rendahnya kadar fosfat pada pasien tanpa suplemen pengikat fosfat dapat
mengambarkan asupan protein yang tidak adekuat.11
3. Pemeriksaan Klinis
Penilaian status nutrisi juga bisa dilakukan dengan melakukan
anamnesa mengenai riwayat penyakit. Biasanya termasuk dengan keluhan
utama. Penyakit komorbid, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit
sebelumnya perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi status nutrisi
pasien saat ini. Penyakit gastrointestinal dan riwayat operasi yang
berhubungan dengan gaster perlu diperhatikan. Berat badan awal, adanya
penurunan berat badan dan gejala seperti mual, muntah, konstipasi, dan
diare perlu ditanyakan kepada pasien. Riwayat alergi dan intoleransi
terhadap suatu jenis makanan juga perlu ditanyakan.5
4. Pemeriksaan Asupan Diet
Asupan diet merupakan faktor resiko yang mempunyai dampak cukup besar
pada penyakit kronis. Kajian terhadap asupan gizi dapat dikaji melalui
dengan kuesioner frekuensi makan (food frequency questionnaire(FFQ))
sejak tahun 1990. Pada perkembangannya, metode yang digunakan untuk
pengkajian asupan diet pada pasien terdiri dari beberapa macam cara, yaitu
24-hour dietary recall (24HR), rekaman diet, dan FFQ.16

8
Twenty-four-hour (24HR) dietary recall dan rekaman diet.
Metode 24HR mencakup data-data mengenai metode penyajian makanan,
bahan dasar yang digunakan, dan merk produk yang bersangkutan. Jumlah
makanan yang dikonsumsi diperkirakan dengan satuan yaitu kemasan
(contohnya : mangkok, cangkir, dan gelas), sendok dan gelas ukur, dan
model makanan dua dimensi dan tiga dimensi. Sedangkan pada rekaman
diet, dilakukan rekaman diet secara mandiri oleh pasien setiap kali makan,
hal ini sangat bergantung oleh daya ingat pasien sendiri. Untuk
mendapatkan data yang akurat, pasien harus dilatih sebelumnya. Kelemahan
dari kedua metode ini adalah keduanya berfokus pada rekaman asupan
jangka pendek, sedangkan yang diperlukan pada pasien dengan penyakit
kronis adalah rekaman asupan diet jangka panjang. 16
Food frequency questionnaire (FFQ) adalah kuesioner yang
digunakan sebagai metode untuk mengetahui seberapa sering dan berapa
banyak jumlah makanan yang dikonsumsi pada periode tertentu. Kuesioner
ini, mampu digunakan untuk mengetahui asupan diet jangka panjang.16
5. Latihan atau Aktivitas Fisik
Pola tidur, aktivitas fisik, amputasi tungkai, transplantasi organ,
penyembuhan luka yang lama, dan komplikasi yang terjadi karena riwayat
penyakit terdahului juga harus digali karena dapat mempengaruhi status
nutrisi pasien.5
6. Kapasitas Fungsional
Pemeriksaan kekuatan genggaman otot tangan (hand grip
muscle strength). Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengevaulasi
kekuatan tubuh secara objektif. Kekuatan yang dinilai merupakan hasil dari
kekuatan fleksi maksimum seluruh sendi jari tangan. Pada saat melakukan
pemeriksaan ini, pasien diposisikan berdiri dengan lengan dikedua sisi
kanan dan kiri tetapi tidak menyentuh badan, siku agak menekuk. Kemudian
pasien diminta untuk menekan dinamometer dengan sekuat mungkin, hanya
sekali setiap kali pengukuran. Pemeriksaan dilakukan sebanyak tiga kali dan
diberi jeda 10-20 detik untuk menghindari kelelahan otot.17

9
Tabel 1. Hasil pemeriksaan dinamometer

Sumber : Hand Grip Strength Protocol, Tuffs University Nutrition Collaborative.

Gambar 3. Dinamometer Lafayette model 78010


Sumber : Hand Grip Strength Protocol, Tuffs University Nutrition Collaborative.
Kualitas hidup. Pengukuran kualitas hidup dapat dilakukan
menggunakan kuesioner Medical Outcome Study 36-Item short- Form
Health Survey (SF-36). Kuesioner ini berisikan 36 pertanyaan yang dapat
menggambarkan delapan aspek, yaitu sepuluh pertanyaan untuk penilaian
kapasitas fungsional, dua pertanyaan untuk penilaian aspek fisik, tiga
pertanyaan untuk penilaian aspek emosional, dua pertanyaan untuk
penilaian aspek nyeri, lima pertanyaan untuk penilaian aspek kesehatan
secara umum, empat pertanyaan untuk penilaian aspek vitalitas, dua
pertanyaan untuk penilaian aspek sosial, dan lima pertanyaan untuk
penilaian aspek kesehatan mental. Nilai yang bisa didapat adalah 0-100. 0
paling rendah dan 100 paling tinggi.18

10
7. Pemeriksaan Lain-lain
Subjective Global Assessment (SGA) adalah pengkajian sederhana
yang paling sering digunakan untuk mengkaji status nutrisi seseorang
melalui beberapa komponen penilaian berdasarkan dari riwayat medis dan
pemeriksaan fisik.6 Pengkajian ini sering digunakan karena dinilai sangat
komprehensif dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.5
Pedoman praktik klinis KDOQI tahun 2000 juga merekomendasikan
penggunaan pengkajian ini untuk menilai status nutrisi dari pasien PGK.
Pengkajian ini mencakup beberapa aspek, yaitu status berat badan, asupan
makanan, gejala gastrointestinal, status fungsional, stress metabolik, dan
pemeriksaan fisik.5
Tabel 2. Komponen penilaian Subjective Global Assesment (SGA)

Sumber: Othersen JB, Thomas LK. Nutrition Therapy for Chronic Kidney Disease. US: CRC Press. 2012

Normalized Protein Nitrogen Apperance (nPNA). Panel ini dapat


digunakan untuk mengkaji asupan protein pasien dan berdasarkan berat badan
kering pasien. Batasan panel ini, karena berhubungan dengan nitrogen maka
hanya bisa digunakan pada pasien dengan nitrogen yang seimbang sehingga
agak kurang akurat bila digunakan pada pasien dengan PGK.8

11
Pengkajian terhadap panel-panel nutrisi seperti serum albumin, berat
badan aktual atau prosentase standard dan SGA dapat dilakukan setiap 1-3
bulan. Wawancara teradap asupan diet harian dan atau nPNA dapat dilakukan
secara rutin setiap 3-4 bulan. Monitoring terhadap pasien dengan PGK, harus
dilakukan lebih sering pada pasien dengan penyakit penyerta yang lain atau
pada pasien dengan LFG < 15 mL/menit/1,73 m2.8

TATALAKSANA NUTRISI PADA PGK PREDIALISIS


Penatalaksanaan nutrisi pada PGK predialisis terdiri dari dua tahap, yaitu:
1) Strategi diet untuk memperlambat progresivitas PGK dan menurunkan terjadinya
komorbid dan 2) Strategi diet untuk meminimalisasi komplikasi PGK predialisis.
1. Strategi Diet untuk Memperlambat Progresivitas PGK dan
Menurunkan Terjadinya Komorbid
Strategi diet untuk emmperlambat progresivitas PGK dan menurunkan
terjadinya komorbid terdiri dari kontrol terhadap asupan diet pasien yang
bersangkutan. Berikut adalah strategi pengaturan asupan diet pada pPGK
predialisis :
Asupan protein
Diet rendah protein dinilai dapat mencegah progresivitas PGK.5 Hal
ini tentunya berhubungan dengan efek samping dari peningkatan asupan
protein dan asam amino yang mampu mengubah hemodinamik ginjal dan
merusak fungsi ginjal.6 Dari studi terdahulu, asupan protein yang tinggi,
dapat menyebabkan hiperfiltrasi dan meningkatnya tekanan glomerular.
Namun pada perkembangannya, ditemukan bahwa asupan protein yang
berlebihan baru dapat menyebabkan terjadinya PGK secara progresif
apabila terjadi pada pasien yang sudah memiliki penyakit predisposisi
terjadinya PGK, seperti obesitas, hipertensi, dan diabetes.7
Di Amerika Serikat, rerata asupan protein harian adalah 90-110
gram pada pria dewasa dan 65-70 gram pada wanita dewasa dan 1,3
gram/kilogram pada hampir seluruh negara di Eropa. Asupan protein,
disarankan untuk diturunkan sebanyak 15% setelah usia 70 tahun.6

12
Diet rendah protein telah dibuktikan dapat menghambat progresi
penyakit ginjal kronis. NKF-KDOQI, menyarankan asupan protein 0,6
gram/kgBB/ hari bila LFG < 25mL/min/1,73m2 dan dapat ditingkatkan
hingga 0,75 gram protein/kgBB/hari bila asupan energi sulit dimonitor.8
Pada penelitian sebelumnya, tidak ditemukan efek yang merugikan dari
asupan protein bila diberikan sesuai dengan referensi asupan diet (protein
0,8mg/kgBB/hari), maka dari itu asupan protein ditingkatkan. Pada pasien
dengan PGK, paling kurang 50-60% protein biologis yang tinggi untuk
memenuhi kebutuhan asam amino esensial.6,8
Diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. Asupan rendah protein
mengurangi beban eksresi ginjal sehingga menurunkan hiperfiltrasi
glomerulus, tekanan intraglomerulus, dan cedera sekunder pada nefron
intak. Hal ini dikarenakan, protein yang dicerna akan dipecah menjadi asam
dan basa. Protein yang berasal dari daging dan produk susu akan cenderung
menghasilkan produk yang bersifat asam termasuk hidrogen klorida (HCl),
asam sulfat (H2SO4) dan asam fosfat (H3PO4). Senyawa asam ini tidak stabil
dan dieksresi di ginjal, biasanya dalam bentuk garam amoniak dan garam
fosfat. Pada pasien dengan fungsi ginjal menurun, akumulasi asam tidak
stabil inilah yang dapat menyebabkan munculnya asidosis metabolik.11
Pembatasan terhadap konsumsi protein, terbukti dapat menghambat
terjadinya gagal ginjal.4 Diet rendah protein juga dapat menurunkan gejala-
gejala uremikum seperti hiperfosfatemia, asidosis metabolik, hiperkalemia,
dan gangguan elektrolit lainnya.8
Asupan Energi/Kalori
Kebutuhan jumlah kalori untuk gagal ginjal kronik harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan nitrogen,
memelihara status gizi.4 Total keluaran energi terdiri dari keluaran energi
ketika istirahat, aktivitas fisik, dan termogenesis. Pada studi terdahulu,
didapati bahwa pada pasien dengan PGK predialisis stadium 1-3, diperlukan
energi 35 kkal/kgBB/hari untuk menjaga keseimbangan nitrogen netral,

13
menjaga kosentrasi serum albumin lebih tinggi dan menjaga komposisi
tubuh sehingga tetap normal dan meningkatkan penyimpanan protein. Pada
pasien gagal ginjal dengan usia > 60 tahun yang aktivitas fisiknya sudah
lebih rendah, kebutuhan energi yang lebih sedikit.6
Asupan kalori yang disarankan berdasarkan NKF-KDOQI dibagi
berdasarkan usia, bila lebih muda dari 60 tahun kebutuhan kalorinya adalah
35 kkal/kgBB/hari dan bilang lebih tua dari 60 tahun adalah 30
kkal/kgBB/hari.8
Asupan Lemak
Pada PGK stadium 1-3, prevalensi dari dislipidemia dan penyakit
jantung koroner sangat tinggi. Pengendalian terhadap dislipidemia mampu
menurunkan kecepatan penurunan LFG. Penduan terhadap dislipidemia dari
National Cholestrol Education Program Adult Treatment Panel (NCEP
ATP III) dapat diterapkan pada pasien dengan PGK predialisis.
Rekomendasi pendekatan gaya hidup yang diadaptasi dari NCEP ATP III
disebut dengan Theurapeutic Lifestyle Changes (TLC). Pada TLC, asam
lemak jenuh < 7% dari kalori dan menurunkan asupan kolestrol sampai
dengan < 200mg/hari. Pola makan TLC, merekomendasikan total asupan
lemak berkisar antara 20-30% terdiri dari 10% dari energi dan asam lemak
tak jenuh ganda dan 20% asam lemak tak jenuh tunggal. Asam lemak trans
harus dibatasi. Asupan karbohidrat 50-60% dari total kalori dan terdiri dari
karbohidrat kompleks.5
2. Strategi Diet untuk Meminimalisasi Komplikasi PGK Predialisis
Pada strategi diet yang dilakukan dengan tujuan meminimalisasi komplikasi
PGK predialisis, asupan mineral dan vitamin perlu diperhatikan, berikut
adalah anjuran mengenai asupan mineral dan vitamin-vitamin yang bisa
digunakan, yaitu :
Asupan Mineral pada PGK Predialisis
Mineral merupakan salah satu komponen penting dari asupan diet pasien
PGK. Berikut adalah mineral-mineral yang harus diperhatikan pada
pengaturan diet pada PGK, yaitu :

14
Asupan Natrium. Pada keadaan ginjal yang normal, ginjal mampu
mempertahankan status volume yang cukup walaupun dengan pemberian
asupan natrium yang beragam.6 Natrium seharusnya dapat terfiltrasi secara
keseluruhan oleh glomerulus. Pada individu yang sehat, 99,5% dari natrium
bisa direabsorpsi. Pada pasien dengan PGK, LFG dan reabsorpsi fraksional
tubular menurun seiring dengan progresivitas penyakit. 5 Kemampuan
pasien dengan PGK untuk mengatur keseimbangan garam bisa dikatakan
normal atau mendekati normal bila LFG lebih dari 15 ml/menit. Bila kurang
dari 15 ml/menit pasien cenderung tidak bisa mengeksresikan garam
sehingga asupan garam pada pasien dengan PGK harus disesuaikan.6
Asupan garam pada pasien dengan PGK sangat penting untuk diperhatikan,
karena bila berlebihan dapat menyebabkan hipertensi dan memperparah
proteinuria. Keduanya merupakan faktor resiko yang dapat mempercepat
terjadinya progresivitas pada PGK.6 Pembesaran glomeruli, dilatasi tubulus
yang berisi silinder hialin yang sangat banyak dan hipertrofi pembuluh
darah. Glomerulus juga tampak membesar dikarenakan oleh ekspansi
mesangial dan berisi subtansi fibrinoid yang mengandung eosin. Dan pada
beberapa ateri-arteri kecil terdapat penebalan segmental dari dinding
pembuluh darah yang merupakan akibat dari sesposisi komponen plasma
dan perubahan fibrinoid dari lapisan paling luar arteri interlobular.7 Asupan
garam yang paling banyak adalah garam dapur atau sodium klorida. Satu
sendok teh garam terdiri dari 2.300 mg natrium. 5 Panduan dari NKDEP
merekomendasikan membatasi asupan natrium sebanyak 2.300 mg/hari atau
lebih rendah untuk memperlambat progresivitas dari PGK.8 Menurut
KDIGO 2012, rekomendasi jumlah konsumsi harian garam adalah < 2 gram/
hari atau tidak lebih dari 90 mmol.19 Sekarang ini, pola makan DASH
(Dietary Approach to Stop Hypertension) menggabungkan penurunan
asupan natrium termasuk buah, sayur, dan gandum utuh; dan pembatasan
lemak sesuai dengan diet TLC. Pola makan DASH membatasi kadar sodium
antara 1.500-2.400 mg/hari. Pola makan DASH ini bermanfaat untuk
menurunkan tekanan darah, tetapi pada pola makan ini perlu diperhatikan

15
juga mengenai kemungkinan terjadinya hiperkalemia dan hiperfosfatemia
terutama pada pasien dengan PGK.5
Asupan Kalium. Asupan kalium pada pasien dengan PGK stadium
awal tidak dibatasi. Asupan kalium baru dibatasi bila kadar kalium dalam
darah sudah lebih dari 5 mEq/l. Satu gram asupan protein, mengandung 1
mEq kalium. Hal ini merupakan salah satu yang perlu dipertimbangkan pada
pasien dengan PGK. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya,
pembatan protein diberlakukan pada pasien dengan PGK predialisis.
Sehingga asupan kalium juga secara tidak langsung menjadi terbatas.5,6
Asupan Fosfor. Asupan fosfor pada pasien dengan PGK juga harus
diperhatikan. Asupan fosfor yang rendah, dinilai berpengaruh terhadap
menurunnya kosentrasi hormon paratiroid, menghambat hiperplasia
kelenjar paratiroid, dan memperbaiki adanya penyakit tulang terutama pada
PGK tahap awal.6 Maka dari itu, disepakati target fosfor pada pasien dengan
PGK. Pada pasien dengan PGK stadium 3 dan 4 target fosfor adalah 2,7-
4,6mg/dl dan 3,5 -5,5 pada pasien dengan PGK stadium 5. Asupan fosfor
menurut KDOQI, direstriksi 800-1.000 mg per hari pada PGK stadium 3
sampai 5 dan terutama pasien dengan hiperfosfatemia atau peningkatan
serum paratiroid. Jenis diet yang dapat dipakai dalam diet rendah bahan
aditif tinggi fosfor, dan protein berbasis sayuran dengan bioavailabilitas
fosfor rendah atau meningkatkan konsumsi makanan dengan rasio fosfor
dibanding dengan protein rendah.6,8
Asupan Kalsium. Asupan kalsium pada pasien dengan PGK
predialisis belum bisa ditentukan. Tetapi, serum kalsium harus
dipertahankan pada rentang 8,5-10,2 mg/dL. Menurut KDIGO, disarankan
pada pasien dengan PGK untuk memonitor serum kalsium setiap 6 sampai
12 bulan. Koreksi kalsium, harus diperhatikan karena kalsium berikatan
dengan albumin. Sehingga harus memperhatikan nilai albumin serum.
Asupan kalsium yang disarankan pada populasi umum di wanita usia 19-50
tahun dan laki-laki sampai dengan 71 tahun adalah 800 mg per hari dan
1.000 mg per hari pada populasi wanita usia lebih dari 50 dan laki-laki lebih
dari usia 71 tahun.5

16
Asupan Serat. Asupan serat bisa didapati dari asupan tumbuh-
tumbuhan dan buah-buahan yang cukup pada makanan harian. Asupan serat
yang cukup dapat menurunkan insidensi konstipasi, irritable bowel
syndrome, divertikulitis, dan kanker kolon. Asupan serat yang
direkomendasikan adalah 14 gram asupan serat per 1.000 kalori atau 25
gram per hari pada wanita dan 38 gram per hari pada pria. Sampai saat ini
belum ada pembatasan asupan serat pada pasien dengan PGK. 5
Asupan Vitamin. Asupan vitamin pada pasien dengan PGK
predialisis dapat dikelompokkan berdasarkan jenis dari vitamin itu sendiri,
yaitu vitamin larut lemak dan vitamin larut air, sebagai berikut :
 Asupan vitamin larut lemak. suplementasi vitamin D pada pasien
dengan PGK predialisis sangat diperlukan. Abnormalitas dari
vitamin D bida dimulai dari PGK stadium 3. Penurunan fungsi
ginjal, berdampak pada penurunan produksi dan komversi dari
kalsidiol menjadi kalsitriol. Pemeriksaan kecukupan vitamin D,
biasa dinilai dari konsentrasi 25-hidroksivitamin D, dimana
merupakan produk kombinasi dari asupan gizi dan paparan terhadap
matahari. Pada pasien dengan kadar serum 25-hidroksivitamin D
kurang dari 30ng/mL, bisa diberikan suplementasi vitamin D.
Suplementasi yang diberikan berupa kolekalsififerol (vitamin D3)
dan bisa digunakan pada pasien dengan PGK predialisis. Hal ini
dikarenakan, pada pasien dengan deifisiensi dapat menyebabkan
peningkatan hormon paratiroid, dan dapat meningkatkan mortalitas
pada pasien dengan PGK. Dosis suplementasi yang
direkomendarikan adalah 1.000-2.000 U per hari.5 Suplementasi
vitamin larut lemak lain seperti vitamin A,E, dan K belum terbukti
diperlukan untuk pasien predialisis. Tetapi ada beberapa
rekomendasi yang mengatakan bahwa harus dihindari karena dapat
meningkat secara cepat pada pasien dengan PGK.5
 Asupan Vitamin Larut Air. Pasien dengan PGK yang
mendapatkan suplemen vitamin B6, B12, C, dan folat memiliki

17
status gizi yang lebih baik (dapat dinilai dari serum albumin dan
nPNA) dan menurunkan mortalitas sebanyak 16%. Hal ini
berhubungan dengan menurunnya homosistein, meningkatnya nafsu
makan dan intake protein dengan diberikannya suplementasi
vitamin.6,20 Menurut KDOQI, jumlah dari asupan vitamin larut air
harus tetap dipantau karena asam folat atau vitamin B12 dinilai dapat
meningkatkan respons dari pemberian eritropoetin pada pasien
dengan PGK predialisis.8 Sampai saat ini, masih belum ada
ketentuan yang menjelaskan mengenai suplementasi vitamin yang
larut air pada pasien dengan predialisis.5

RINGKASAN
Penyakit ginjal kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat global
dengan prevalensi dan insidens yang terus meningkat. Prevalensi PGK meningkat
seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit
diabetes melitus dan hipertensi.1 Modifikasi gaya hidup, seperti pola makan yang
sehat, olahraga teratur, berhenti merokok, tidak mengoknsumsi alkohol, penurunan
berat badan pada pasien obesitas, dinilai dapat menghambat progresivitas dari
PGK.3 Beberapa studi, telah direkomendasikan pembatasan asupan protein, kalori,
dan mineral supaya menghambat munculnya gejala-gejala uremikum dan
progresivitas.

SUMMARY
Chronic kidney disease is a global public health problem with increasing
prevalence and incidence. The prevalence of CKD increases with the increasing
age of the elderly and the incidence of diabetes mellitus and hypertension.1 Lifestyle
modifications, such as a healthy diet, regular exercise, smoking cessation, no
alcohol consumption, weight loss in obese patients, are considered to inhibit
progresivity of CKD.3 Several studies have recommended limiting protein intake,
calories, and minerals to inhibit the appearance of uremic symptoms and progres-
sivity.

18
19
DAFTAR PUSTAKA

1. Infodatin: Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta: Pusat data dan informasi
kementrian kesehatan RI; 2017. 12 p
2. Suwitra, K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 6 vol
2. Jakarta: Interna publishing; 2014.
3. Chan M, Johnson D. Modification of lifestyle and nutrition interventions for
management of early chronic kidney disease. Australia: Kidney health australia
CARI guidelines. 2012 Jul.
4. Haryanti IA, Nisa K. Terapi Konservatif dan terapi pengganti ginjal sebagai
penatalaksanaan pada gagal ginjal kronis. Majority. 2015 Jun; 4(7). hlm 49-54.
5. Othersen JB, Thomas LK. Nutrition Therapy for Chronic Kidney Disease. US: CRC
Press. 2012
6. Kalantar-Zadeh K, Massry SG, Kopple JD. Nutritional Management of renal
disease. 3rd Ed. United States of America: Elsevier 2013.
7. Suzuki H, Kimmel PL. Nutrition and Kidney Disease A New Era. Switzerland:
Karger. 2007.
8. K/DOQI Nutrition in Chronic Renal Failure. American Journal of Kidney Diseases,
vol 35, No.6, Suppl 2. 2000 Jun. p s11-s16.
9. Chen W, Abramoqitz MK. Metabolic acidosis and the progression of chronic
kidney disease. New York, USA: BMC Nephrology 2014. 15:55.
10. Dhaun N, Webb DJ, Kluth DC. Endothelin-1 and the kidney-beyond BP.
Edinburgh :British Journal of Pharmacology. 2012. Vol.165. p720-731.
11. Zha Y, Qian Q. Review: Protein Nutrition and Malnutrition in CKD and ESRD.
Nutrients. Feb 2017, 9, 208; doi:10.3390/nu9030208
12. Akchurin OM, Kaskel F. Update on Inflammation in Chronic Kidney Disease. New
York:Karger. 2015; 39:84-92.
13. Slee AD. Exploring metabolic dysfunction in chronic kidney disease. Nutrition &
Metabolism. United Kingdom. 2012. 9:36.
14. Byham-Gray L, Burrowes JD, Chertow GM. Nutrition in Kidney Disease. Ed 2nd.
New York: Humana Press. 2008
15. Horl WH, Wittwer M, Kribben A, Kuhlmann MK. Malnutrition in chronic renal
failure. Germany:Nephro Dial Transplant. 2007. Vol 22(3). p13-19.
16. Shim JS, Oh Kyungwon, Kim HC. Dietary assessment methods in epidemiologic
studies. Korea: Epidemiology and health. Jun 2014. Vol 36.
17. Tufts, Brown, Hopkins J. Hand Grip Strength Protocol. Tuffs University Nutrition
Coolaborative. 2017
18. Fassbinder TRC, Winkeimann ER, Scheneider J, Wendland J, Oliveira OB.
Functional capacity and quality of life patients with chronic kidney disease in pre-
dialytic treatment and on hemodialysis-A cross sectional study. Brazil: J Bras
Nefrol 2015;37(1):p47-54.
19. Kidney International Supplements. KDIGO 2017 Clinical practice guideline update
for the diagnosis, evalution, prevention, and treatment of chronic kidney disease-
mineral and bone disorder (CKD-MBD). Official Journal of The International
society of nephrology. Vol 7. Jul 2017.
20. Brown O, Comper C. A.S.P.E.N. Clinical Guidelines: Nutrition Support in Adult
Acute and Chronic Renal Failure. Journal of Parenteral and Enteral Nutririon. Vol
34(4) Jul 2010. p366-377

Anda mungkin juga menyukai