Anda di halaman 1dari 5

Peran Asam Amino Ketocid Dalam Pengelolaan CKD

Septiyanti

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi

PENDAHULUAN

Pengaturan nutrisi dalam penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu hal yang
menarik dalam manajemen PGK secara komprehensif. Penyakit ginjal kronik adalah faktor
resiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Oleh karena itu penatalaksanaan nutrisi yang
baik adalah salah satu komponen yang sangat perlu diperhatikan karena nutrisi pada pasien
PGK turut mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler serta progresivitas
penyakit ginjal.1

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan yang sudah umum, baik
di negara maju maupun negara berkembang. Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap
progresi PGK antara lain diabetes, hipertensi, proteinuria, hiperparatiroid sekunder,
dislipidemia, asidosis metabolik, dan asupan tinggi protein. Dengan demikian sebagai bagian
dari penatalaksanaan PGK adalah pengendalian berbagai faktor tersebut untuk mencegah
progresi PGK.2

Penatalaksanaan nutrisi dapat mengurangi gejala uremia. Protein yang melebihi


kebutuhan akan menyebabkan akumulasi produk hasil metabolisme protein, sebaiknya diet
protein yang tidak ade kuat akan memicu terjadinya katabolisme cadangan protein dan
menyebabkan akumulasi produk – produk sisa yang tidak diekskresikan. Sehingga dengan
diit yang tepat akan mengurangi gejala – gejala uremia.1

Asidosis metabolik terjadi sebagai akibat penurunan eksresi asam merupakan kondisi
yang sering dijumpai pada PGK. Sumber asam pada metabolisme adalah protein, sehingga
asupan protein harus disesuaikan dengan kebutuhan. Kondisi asidosis metabolik
menyebabkan hilangnya massa otot dan tulang, keseimbangan nitrogen negatif, peningkatan
katabolisme, dan penurunan sintesis protein.1

Untuk itu diperlukan penambahan suplemen asam amino esensial atau ketoacids yang
tidak mengandung nitrogen pada diit yang sangat rendah protein sebagai upaya untuk
memelihara status nutrisi, mempertahankan keseimbangan nitrogen positif atau netral,
menahan laju progresi penyakit ginjal kronik, dan sebagai koreksi terhadap komplikasi
metabolik.(3)

1
PENGARUH ASUPAN PROTEIN TERHADAP FUNGSI GINJAL

Hubungan antara kadar protein diit dan laju ekskresi urea awalnya diteliti oleh Addis
dan Drury pada tahun 1923, dan selanjutnya ditemukan bawa peningkatan asupan protein
meningkatkan ekskresi kreatinin dan urea pada anjing.4 Sarjana Van Slyke dkk menemukan
bahwa dasar dari perubahan laju filtrasi glomerulus dan perubahan klirens setelah
peningkatan asupan protein adalah peningkatan laju aliran darah ginjal.4 Pemberian asam
amino atau diit tinggi protein waktu singkat ataupun lama meningkatkan LFG antara 22-
100% pada binatang ataupun manusia. St. Pulman dkk menemukan bahwa peningkatan
asupan protein meningkatkan LFG dan RPF efektif.4 Hostetter meneliti respon hemodinamik
ginjal terhadap diit daging pada 10 sukarelawan normal setelah makan 3,5 g/kg BB daging
pada satu hari, dan di hari yang lain setelah makan makanan mengandung garam dan air yang
sama dengan daging tersebut. Laju filtrasi glomerulus juga meningkat 15% dari basal.4 Aliran
darah ginjal meningkat disebabkan karena penurunan resistensi vaskuler ginjal.

Mekanisme bagaimana asupan protein atau infus asam amino meningkatkan LFG dan
RPF masih belum jelas, namun diduga akibat perubahan kadar hormon dan/atau produksi
eicosanoid oleh ginjal, perubahan umpan balik tubuloglomeruler perubahan metabolisme
ginjal dan pelepasan vasodilator yang belum diketahui apa.5 Asupan protein atau infus asam
amino merangsang pelepasan insulin, growth hormone atau glukagon, yang mana akan
meningkatkan LFG dan RPF. Subyek normal yang diberi somatostatin dan asam amino
intravena tidak menunjukkan peningkatan LFG dan RPF. Sementara itu infus growth
hormone insulin dan glukagon pada kadar yang sama dengan yang dicapai saat infus asam
amino, meningkatkan LFG dan RPF.6 Diduga salah satu dari hormon tersebut yang berperan
dalam hal tersebut. Insulin telah diketahui dalam kadar fisiologis tidak meningkatkan LFG
atau RPF. Kadar farmakologik glukagon dapat meningkatan LFG dan RPF pada anjing dan
lebih nyata bila diberikan langsung ke dalam vena porta. Peningkatan LFG setelah diit
protein mungkin dimediasi oleh suatu substansi vasoaktif yang berasal dari hepar.6

PENGARUH DIIT RENDAH PROTEIN TERHADAP PROGRESI PENYAKIT


GINJAL KRONIK

Mikro albuminuria/proteinuria selain merupakan pertanda adanya dan beratnya


kerusakan glomerulus, juga dibuktikan berperan pada patomekanisme perburukan fungsi
ginjal pada penderita PGK dan sebagai petanda progesivitas penyakit kardiovaskular.7

Sejumlah penelitian klinik telah melaporkan hubungan antara restriksi asupan protein
dengan perbaikan proteinuria. Penurunan proteinuria sudah terlihat dalam minggu pertama
perubahan diit tapi pada sebagian besar pasien terjadi perbaikan proteinuria sekama 3 bulan
mengurangi asupan protein walaupun tetap terdapat variasi yang luas antarindividu.8
Pemberian ketoacid dan asam amino dapat mempengaruhi mekanisme transport tubuler asam
amino yaitu meningkatkan reabsorpsi tubuler. Perbaikan fungsi tubuler ini berpengaruh pada
penurunan proteinuria selain juga karena pengaruh perubahan hemodinamik glomeruler dan
permselectivity membran.9

2
Chaveau dkk melaporkan bahwa pasien proteinuria dengan PGK stradium lanjut yang
mendapat supplemented very low protein diet (SPLVD) mengalami penurunan proteinuria
secara bermakna pada bulan pertama dan prosentase maksimal penurunan terjadi pada bulan
ketiga yaitu dari 2,7 ± 1,9 menjadi 1,4 ± 1,1 g/hari (47 ± 27%). Prosentase penurunan
proteinuria antara kelompok yang pada awalnya mengalami proteinuria 1-3 g/hari dengan > 3
g/hari adalah sama, yaitu mendekati 50%, masing-masing 45% ± 30% dan 52% ± 21%.
Baseline proteinuria yang lebih tinggi mengalami reduksi yang lebih besar dan reduksi
proteinuria akan memberi derajat proteksi yang lebih besar pula terhadap ginjal. Perbedaan
respon terhadap SVLPD tersebut tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan compliance terhadap
diit, kontrol tekanan darah, jumlah pasian yang mendapat ACEI maupun oleh baseline LFG
oleh karena semua variabel tersebutr sama pada kedua kelompok. Dibandingkan kelompok
yang mengalami reduksi proteinuria < 50%, maka kelompok dengan reduksi proteinuria
>50% menunjukkan penurunan LFG yang lebih rendah secara bermakna, dan prosentase
pasien yang mengalami endstage renal disease (ESRD) pada tahun kedua lebih sedikit
(progresivitas lebih lambat) dan median renal survival (pasien meninggal/fungsi ginjal
memburuk/dialisi) dua kali lebih panjang yaitu 44 bulan. Aparicio melaporkan bahwa dari 41
pasien PGK dengan proteinuria >3,5 g/hari pada saat SPLVD dimulai, terjadi penurunan
ekskresi protein urin secara bermakna dari 5,7 ± 2,8 menjadi 3,0 ± 2,1 g/hari pada akhir
penelitian (30 bulan).10

Mekanisme utama bagaimana asupan protein yang lebiih rendah dapat memperlambat
progresi PGK yaitu dengan menurunkan derajat proteinuria. Disamping itu, asupan tinggi
protein biasanya disertasi asupan fosfor, sodium dan lemak jenuh yang lebih tinggi, yang
secara langsung maupun tidah langsung dapat mengganggu fungsi ginjal.11 Kepustakaan lain
melaporkan bahwa ada 11 alasan untuk mengontrol asupan protein pasien PGK oleh karrena
bermanfaat dalam adaptasi ade kuat asupan protein, penurunan beban nefron sisa,
meningkatkan resistensi insulin, menurunkan stress oksidatif, memperbaiki proteinuria,
menurunkan serum hormon PTH, memperbaiki profil lipid, efek tambahan SIACEI,
menurunkan angka kematian dan menunda inisiasi dialisi, meningkatkan number needed to
thread, kurangnya bukti klinis tentang efektivitas diit rendah protein pada PGK.8

3
SUPLEMENTASI ASAM AMINO ESENSIAL DAN KETOANALOG

Selama 60 tahun terakhir, terdapat berbagai penelitian untuk menentukan jumlah


restriksi protein yang dianjurkan. Attman dkk menemukan bahwa terjadi penurunan LFG
pada pasien diabetes dengan insufiensi ginjal yang berat (LFG 7,5 ml/mnt) yang
mendapatkan diet protein 20-30 g/hari dan suplementasi asam amino esensial. Penelitian oleh
Barsotti juga melaporkan bahwa diit sangat rendah protein dengan ketoacid dapat
memperlambat progresi penyakit ginjal pada pasien yang mengalami perburukan fungsi
ginjal saat mendapatkan diit rendah protein yang konvensional.8

Asam keto adalah asam amino yang mengalami deaminasi dengan rantai karbon yang
tidak mengandung gugus amino. Asam keto tidak mengandung nitrogen dan tidak
menghasilkan nitrogen sehingga tidak membebani ginjal. Di sisi lain, asam keto juga sebagai
akseptor gugus amino sehingga dapat membentuk asam amino nya kembali. Branche cain
ketoacid (α-keto-isocaproate atau KIC, α-keto-β-methylvalerate atau KMV dan α-keto-
isovalerate atau KIV) bisa mengalami aminasi secara reversible menjadi BCAA atau asam
aminonya masing-masing (leucin, isoleucine valine) atau bisa juga mengalami dekarboksilasi
yang bersifat irreversible.12

Metabolisme protein pada orang sehat atau pada orang dewasa dengan PGK dapat
mentoleransi diit sangat rendah protein 0,3 g/kg/hari, bila diberikan suplai energi dan asam
amino esensial yang cukup. Bila diberikan asupan protein kurang dari 0,6 g/kg/hari maka
harus diberikan suplementasi asam amino esensial atau keto analog untuk menghindari
defisiensi asam amino esensial. Setelah transaminasi, ketoanalog akan kenangkap nitrogen
hasil produk uremik endogen dan mensintesis asam amino esensial yang sesuai. Bila asupan
protein lebih besar dari kebutuhan minimum, misalnya 0,7-0,8 g/kg/hari, ppenambahan
ketoanalog tidak akan diikuti transaminasi sehingga suplemen tersebut akan di oksidasi dan
tidak akan membentuk protein yang baru.11

RINGKASAN

Dengan demikian, intervensi nutrisi pada pasien penyakit ginjal kronik dengan diit
rendah protein dengan disertai tambahan asam keto memegang peranan penting dalam tata
laksana pasien PGK karena dapat memperlambat progesivitas PGK, mengurangi gejala
sindrom uremik, mempertahankan status nutrisi, menurunkan proteinuria, dan dapat
memperlambat progesivitas PGK serta memperlambat inisiasi TPG. Ketika diit rendah
protein diberikan, kepatuhan penderita dan status nutrisi perlu diperhatikan seksama untuk
menghindari mal nutrisi.

4
DAFTAR PUSTAKA

1. PERNEFRI 2011. Konsensus Nutrisi Pada Penyakit Ginjal Kronik. Perhimpunan


Nefrologi Indonesia. Jakarta.
2. Bellizzi V, Low Protein Diet or Nutritional Therapy in Chronic Kidney Disease?.
Blood Purif 2013;36:41-46
3. Mandayam S, Mitch WF, Dietary protein restriction benefits patients with chronic
kidney disease. Nephrology. 2006;36:41-46
4. Martin WF, Armstrong LE, Rodriguez NR. Dietary protein intake and renal function.
Nutrition & Metabolism 2005;2:25.
5. Teplan V. Keto/amoino acids in the treatment of chronic kidney disease patients: 30
years experience in 3,000 patients. Am J Nephrol 2005:25:8-9.
6. Kahr S. Effects of Protein Intake on the Progression of Renal Disease. Annu Rev Nutr
1989:9:87-108.
7. Garg JP, Bakris GL. Microalbuminuria: marker of vasculer dysfunction, risk factor
for cardiovasculer disease. Vas Med 2002;7:35-43
8. Fouque D, Aparicio M. Eleven reasons to control the protein intake of patients with
chronic kidney disease. Nature Clinical Practice Nephrology 2007;3:383-9.
9. Teplan V. Keto/amoino acids in the treatment of chronic kidney disease patients: 30
years experience in 3,000 patients. Am J Nephrol 2005:25:8-9.
10. Aparicio M, Chauveau P, PrecigoUT VD, Bouchetr JL, Lasseur C, Combe C.
Nutrition and Outcome on renal replacement therapy of patients with chronic renal
failure treated by a supplemented very low protein diet. J Am Soc Nephrol
200;11:708-16.
11. Fouque D, Juillard L. Protein Intake. In: Daugirdas JT, ed. Handbook of Chronic
Kidney Disease Management: Lippincott Williams & Wilkins; 2011:97-106.
12. Mitch WE. Metabolism and metabolic effects of ketoacids. Am. J Clin Nutr
1980;33:1642-8

Anda mungkin juga menyukai