Anda di halaman 1dari 20

Acc dibaca Reading

Assignment

Dibacakan oleh :

Dr. Gusti Nugroho.

Dr. Sumi Ramadhani,SpPD.

Metabolik Asidosis pada CKD


Gusti Nugroho, Harun Rasyid Lubis, Syafrizal Nasution, Alwi Thamrin Nasution,
Sumi Ramadani, Radar Radius Tarigan,
Riri Muzasti, Bayu Rusfandi, M Feldy Gazali.
Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Fakultas Kedokteran USU/RSUP H.Adam Malik Medan.

LATAR BELAKANG
Asidosis metabolik dihubungkan dengan berbagai macam dari komplikasi pada penyakit
ginjal kronis (CKD), komplikasi tersebut termaksuk, penyakit tulang (bone disease), katabolisme
protein otot, dan penurunan secara progresif dari Glomerular Filration Rate (GFR). KDOQI
(Kidney Disease Outcomes Quality Initiative) mengeluarkan guideline, berdasarkan dari
evidence dan opinion, keperluan untuk mempertahankan kadar bikarbonat serum pada level
>22 mEq/L untuk mengurangi dari kejadian komplikasi-komplikasi tersebut1. Beberapa
penelitian menemukan bahwa koreksi asidosis metabolik dengan terapi alkali memperbaiki status
ginjal dan status nutrisi pada pasien dengan CKD. Pada penelitian De Brito Ashrust, random 134
partisipan dengan CKD stage 4 atau 5 dan serum bicarbonat konsentrasi 17-19mEq/L, dan serum
bicarbonat normal. Grup dengan serum bicarbonat normal mempunyai penurunan creatinine
clearance lebih rendah dan resiko lebih rendah secara nyata untuk menjadi ESRD setelah 2 tahun
follow-up2. Peneltian lainnya oleh phisitkul membandingkan induvidu dengan estimasi GFR 2060mL/min/1.72m2 dan level bicarbonat <22mEq/L yang mana diresepkan obat sodium sitrat oral
dengan pasien yang sama yang mana tidak mendapatkan terapi alkali sama sekali. Setelah 2
tahun follow up grup yang mendapat terapi sodium sitrat mempunyai eGFR yang lebih tinggi

(pengukuran cystatin C) dan tingkat albuminuria yang lebih rendah dibandingkan dengan grup
kontrol walaupun dengan kadar baseline yang sama3.
Asidosis metabolik kronis sering terjadi pada pasien dengan CKD. Walaupun renal
tubular asidosis, dan kehilangan bicarbonat melalui gastrointestinal dapat juga menyebabkan
asidosis metabolik, tetapi CKD merupakan penyebab paling sering dari pasien asidosis
metabolik. Pada individu dengan CKD, asidosis metabolik biasanya didiagnosa ketika serum
bicarbonat < 22 mEq/L selama seminggu sampai sebulan4.
Ginjal secara normal akan mempertahankan/menjaga kadar stabil konsentrasi serum
bikarbonat dengan mereabsorbsi bikarbonat yang terfiltrasi dan mensintesis cukup bikarbonat
untuk menetralisir dari pembentukan maupun pemasukan dari asam-asam endogen. Olehkarena
itu, ketika fungsi ginjal terganggu, penurunan kadar bicarbonat dalam serum dapat terjadi.
Sebelumnya istilah uremik asidosis dipakai pada kelainan ini, tetapi istilah asidosis metabolik
pada CKD lebih sesuai dipakai pada kelainan ini, karena ini biasanya tidak diikuti atau disertai
oleh tanda dan gejala dari uremia 5 6.

PREVALENSI
Prevalensi dari asidosis metabolik pada pasien CKD bergantung pada definisi dari
asidosis metabolik itu sendiri. Didefinisikan asidosis metabolik pada pasien CKD jika
konsentrasi bikarbonat serum secara kontinu <22mEq/L pada orang-orang dengan penurunan
fungsi ginjal. Asidosis metabolik pada pasien CKD diperkirakan pada kisaran 2.3% sampai 13%
pada pasien dengan CKD stage 3, dan 19% sampai 37% pada pasien dengan CKD stage 4.
Penelitian terbaru menduga bahwa keseimbangan asam positif (asidosis) dikarenakan fungsi
ginjal yang menurun dapat terjadi pada ketiadaaan konsentrasi serum bikarbonat yang

subnormal. Pada suatu penelitian pada hewan dengan nefrectomy dan normal GFR,
keseimbangan asam yang positif didapatkan dan mengakibatkan proses pengasaman (asidifikasi)
dari kompartemen interstisium ginjal dan otot, walaupun dalam keadaan konsentrasi bikarbonat
yang normal. Juga pada manusia dengan eGFR diantara 60-90mL/min/1.73m2., retensi dari asam
(direfleksikan oleh respon kepada load bikarbonat) telah dilaporkan ada walaupun dengan
konsentrasi serum bikarbonat yang normal7.
Oleh karena itu, penemuan ini menyarankan bahwa definisi dari asidosis metabolik pada
pasien dengan CKD harus diluaskan pada mencakup keadaan dimana terjadinya retensi dari
asam pada tidak adanya penurunan konsentrasi bikarbonat serum (asidosis metabolik subklinis).
Akan meberikan dampak potensial pada outcome klinis.

PATOFISOLOGI
Secara normal, 1 mEq dari produksi net asam endogen per Kg berat badan terjadi setiap
hari pada orang dewasa (2-3mEq/Kg pada anak-anak). Produksi net asam endogen
merepresentasikan jumlah dari proton berasal dari metabolisme protein yang dimakan dikurang
dengan perbedaan antara bikarbonat berasal dari metabolisme asam organik anion (berasal
sebagian besar dari buah dan sayuran yang dimakan) dan asam anion yang hilang di urin8.
Oleh karena itu, produksi net asam endogen sebagian besar bergantung pada jumlah dan
tipe protein, buah-buahan, dan sayuran yang dimakan dan jumlah dari asam organik anion yang
diekskresikan melalui urin. Jumlah asam organik yang diekskresikan melalui urin bergantung
sebagian oleh GFR, kemampuan dari tubulus proximal untuk mereabsorbsi asam organik anion
yang terfiltrasi, dan status asam-basa dari seseorang. Diet tinggi protein mempunyai net asam

endogen produksi yang paling besar, dimana diet rendah protein/ tinggi akan buah-buahan dan
sayuran mempunyai net asam endogen yang paling rendah8.
Produksi net asam endogen tidak mempengaruhi keadaan konsentrasi bikarbonat serum
pada individu dengan fungsi ginjal yang normal, tetapi dampak produksi net asam endogen
mempunyai pengaruh besar pada individu dengan penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu, studi
MDRD, konsentrasi bikarbonat serum adalah berpengaruh secara terbalik dengan intake
konsumsi protein (1.0mEq/L lebih rendah per 1-gr kelebihan intake protein per kg BB per hari).
lebih lagi, sebuah penurunan 25% dari intake protein pada seseorang dengan rerata GFR 38 9.2
mL/min/1.73 m2 akan meningkatkan konsentrasi bikarbonat serum sampai hampir 1 mEq/L. efek
ini dari perkiraan intake protein pada konsentrasi bikarbonat serum telah dikonfirmasi juga oleh
studi pada ras amerika dan afrika pada CKD8.
Produksi net asam endogen dinetralisir oleh buffer tubuh. Efek yang cepat dari
penambahannya pada keseimbangan asam-basa dapat diperkirakan dengan mengaplikasikan
suatu jarak dari distribusi 50% berat badan. Secara bersamaan, dalam kondisi normal, tubulus
renalis akan menghasilkan jumlah yang setara dari bikarbonat untuk mencukupi buffer tubuh
ketika reabsorbsi dari ~4.500 mEq dari bikarbonat yang terfiltrasi oleh glomerulus setiap
harinya. Sebagai hasilnya, keseimbangan asam-basa adalah netral dan konsentrasi bikarbonat
serum tidak berubah8.
Dengan adanya progresi atau terjadinya CKD, kemampan dari ginjal untuk mengekskresi
ammonium atau mereabsorbsi bikarbonat sering terganggu. Umumnya, ekskresi ammonium
menurun ketika GFR bersesuaian dengan CKD stage 3b dan 4. Penurunan dari ekskresi ammonia
adalah penyebab utama dari asidosis dan itu merefleksikan penurunan dari jumlah dari nephrons
yang masih berfungsi karena ekskresi amonia per nephrons secara dasarrnya meningkat.

Peningkatan produksi amonia adalah dikarenakan dari hipertrofi dari nephrons yang masih
tersisa dan peningkatan aktivitas dari enzim critical ammoniogenik. Peningkatan penumpukan
dari transporter ammonia RHCG dan RHBG pada membran apikal dan basolateral dari tubulus
renalis ditemukan pada ekperimen CKD akan menfasilitasi pemasukan dari amonia dan
ammonium kepada cairan tubular8.
Peningkatan produksi ammonia mengaktivasi jalur komplemen dan menaikkan fibrosis
ginjal dan penurunan dari GFR, menduga itu sebagai target potensial dalam menunda progresi
dari CKD. Faktor tambahan yang menaikkan ekskresi tubular asam termaksuk endothelin,
aldosterone, dan angiotensi II, hormone yang mana produksinya distimulasi oleh asidosis pada
CKD. Hormon ini juga mempercepat fibrosis ginjal dan progresifitas penyakit ginjal dan oleh
karena itu menjadi salah satu target dari terapi8.
Ekskresi asam biasanya berubah secara minimal pada CKD karena determinan 2
utamanya, phospate urin dan urin pH, tidak terpengaruh begitu banyak. Akan tetapi, pembatasan
diet protein, perubahan tipe protein menjadi protein yang mengandung sedikit phospor, atau
pemberian obat phospat binder dapat menurunkan ekskresi phospate dan kemudian menurunkan
ekskresi asam8.
Kemampuan untuk mengasamkan urin pada CKD umumnya masih berlangsung/bagus,
digambarkan dengan urin pH < 5.5 ketika konsentrasi bikarbonat serum dibawah normal. Akan
tetapi, pH urin agak sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan yang diobservasi pada orang-orang
dengan fungsi ginjal yang normal walaupun pada keadaan konsentrasi bikarbonat serum yang
sama8.
Ketika konsentrasi bikarbonat serum menurun, dia biasanya akan tetap stabil meskipun
keseimbangan hidrogen postif secara nyata (12 mEq/d). stabilitas dari konsentrasi bikarbonat

serum dianggap berasal dari buffering dari proton oleh buffer tubuh selain dari bikarbonat,
khususnya yangmana dalam tulang.
Akan tetapi, terdapat ketidaksepakatan pada apakah orang-orang dengan CKD secara
terus menerus dalam keadaan keseimbangan proton positif. Terdapat penelitian dilakukan pada
20 pasien dengan CKD dan asidosis metabolik kronis menunjukkan bahwa 20 pasien tersebut
berada dalam kondisi keseimbangan asam netral. Sebaliknya, penelitian terbaru dari lebih 1000
pasien pada NephroTest cohort dengan CKD stage 1 dan 4 difollow up sampai 4.3 tahun
menunjukkan bahwa pasien dengan CKD stage 4 berada dalam keseimbangan asam positif
ketika kebanyakan lainnya mempertahankan konsentrasi bikarbonat serum normal8.
Konsentrasi serum bikarbonat dapat beragam diantara individu meskipun dengan GFR
yang sama. Faktor yang dihungkan dengan konsentrasi bikarbonat serum rendah termaksuk
merokok, albuminuria, lingkar pinggang besar, dan penggunaan dari obat ACE inhibitors. Faktor
kemungkinan lainnya termaksuk intake protein lebih besar dan tekanan parsial CO 2 yang lebih
rendah. Defek pengasaman tubular yang disebabkan oleh kerusakan instrinsik pada tubukus
renalis atau hiperaldosteronism akan juga predisposisi untuk menjadikan asidosis metabolik yang
lebih parah8.

MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan asidosis meabolik pada CKD umumnya akan asimptomatik dan kelainan
asam-basa pada pasien tersebut biasanya terdeteksi pada saat pemeriksaan laboratorium gas
darah. Konsentrasi bikarbonat serum jarang sekali < 14 15 mEq/L dan lebih sering > 20
mEq/L. sebagai contohnya, analisis pada sebuah cohort dari lebih 900 pasien berasal dari klinik
ginjal yang difollow up selama lebih dari 7 tahun menunjukkan bahwa konsentrasi bikarbonat

serum menurun hanya pada penurunan GFR yang parah. Oleh karena itu, konsentrasi bikarbonat
serum rerata adalah umumnya dalam kisaran refrensi, 26.3 0.3 (SD) mEq/L, ketika kadar
kreatinin serum < 5 mg/dL dan penurunan pada < 20 (19.5 0.14) mEq/L hanya ketika kadar
kreatinin serum meningkat > 10 mg/dL. Pada study yang dilakkan MDRD dan AASK (African
American of Kidney Disease and Hypertension), tredapat sebuah hubungan yang terbalik antara
GFR dan konsentrasi bikarbonat serum, tetapi rerata konsentrasi bikarbonat serum adalah 21.0
3.9 mEq/L pada study MDRD walaupun ketika GFR < 18 mL/min. lebih lagi, analisis pada lebih
dari 5000 individu CKD stage 5 yang difollow up menunjukkan bahwa hanya 20% yang
mempunyai konsentrasi bikarbonat serum < 22 mEq/L, respon respiratory sama pada tipe dari
asidosis metabolik kronis lainya: perubahan pada tekanan parsial CO 2 sebanding pada 1.2 kali
perubahan pada konsentrasi bikarbonat serum. Karena itu, pH darah biasanya 7.30.
Akan tetapi, penurunan pada konsentrasi serum bikarbonat mungkin tidak terelakkan,
bahkan dengan penurunan parah dari GFR. Pada suatu study observasional dikumpulkan data 70
pasien dari lebih 2 tahun dengan awal dari mulai terapi dialisis, 14 pasien dengan rerata kadar
creatinin 9 2.3 mg/dL mempunyai konsentrasi bikarbonat serum dalam kisaran referensi
normal (25.0 3.0 mEq/L). mayoritas dari pasien tidak mempunyai riwayat dari muntah ataupun
memakan substansi yang mungkin dapat mempengaruhi keseimbangan asam-basa.
Pada pemeriksaan pertama, konsentrasi serum bicarbonat yang normal pada CKD,
mungkin menduga tidak adanya gangguan yang signifikan pada ginjal dalam pengaturan
keseimbangan asam-basa. Akan tetapi, sebagai catatan, penelitian pada hewan dan manusia pada
CKD mengindikasikan bahwa sebuah konsenrasi bikarbonat serum yang normal dapat dilihat
bahkan pada terdapatnya dari gangguan yang jelas pada eksresi asam ginjal dan terdapatnya
retensi asam.

Penemuan ini menegaskan suatu kompleksitas dari keseimbangan asam-basa pada CKD
dan suatu sulitnya untuk menentukan suatu sebab dari kondisi konsentrasi bikarbonat serum
tertentu pada pasien secara induvidu. Sama halnya pada kondisi fungsi ginjal yang masih bagus,
faktor yang berpotensial yang mungkin berefek pada konsentrasi bikarbonat serum termaksuk:
intake diet yang dimetabolisme menjadi asam atau basa, rerata absorbsi dari substansi makanan
oleh traktus gastrointestinal, kemampuan dari tubulus ginjal seseorang untuk mengekskresikan
asam atau mereabsorbsi basa, kadar dari PaCO 2, dan pemakaian obat-obatan seperti diuretik atau
phospat binder yang dapat merubah keseimbangan asam-basa. Penelitian lainnya juga
berspekulasi bahwa variasi dari penyakit tulang juga dapat mempengaruhi kemampuan buffering
tubuh, tetapi hal ini masih harus diklarifikasi.
Pola penentuan asidosis metabolik pada CKD masih dalam kontroversi. Dengan
menggunakan rumus biasa dari serum anion gap (sodium kurang jumlah dari klorida dan
bikarbonat), beberapa peneliti menemukan bahwa pada perjalanan awal CKD, terjadi suatu
asidosis non-anion gap, yang mana akan berlanjut kepada variasi mixed normal- dan high-anion
gap. Sejalan dengan GFR yang terus menurun (GFR < 10-15mL/min/1.73 m 2), dominan asidosi
high-anion gap akan berkembang.
Menggolongkan jenis dari asidosis dianggap perlu karena kelainan tertentu, termaksuk
tubulointerstitial kidney disease, dan hyporenininemic hypoaldosteronism, dihubungkan dengan
asidosis yangs ecara predominan non-anion gap. Kelainan-kelainan ini juga dikarakteristikkan
dengan hiperkalemia terlalu besar untuk GFR dan asidosi yang lebih parah dibandingkan dengan
pasien lainnya dengan nilai GFR yang sama. Hiperkalemia dihubungkan kepada asidosis karena
dia hiperkalemia akan menekan produksi dari ammonia. Mengkoreksi dari hiperklaemia akan
meningkatkan ekskresi ammonia dan memperbaiki keadaan asidosis, setidaknya pada individu

dengan hyporeninemic hypoaldosteronism. Pasien hypoaldosteronism dapat dibedakan dengan


yang lainnya karena pasien dengan hypoaldosteronism akan mempunyai urin pH rendah
(ph<6.0). sedangkan pada pasien dengan interstitial kidney disease tidak mempunyai urin pH
rendah. Mengenali tipe pasien ini berguna karena berbagai terapi, seperti pemberian potassiumexchange resins, diuretik, dan alkali/prekursor alkali, dapat memperaiki atau bahkan
mengkoreksi sepenuhnya dari asidosi metabolik tersebut. Pemberian mineralokortikod pada
pasien dengan hypoaldosteronism juga dapat berhasil, tetapi lebih sedikit dipakai karena dapat
berpotensi menyebabkan hipertensi.

EFEK BURUK ASIDOSIS METABOLIK PADA CKD


Efek buruk utama dari asidosis metabolik pada tubuh pasien dengan CKD adalah
peningkatanan

degradasi/pengrusakan

protein

otot,

penurunan

sintesis

dari

albumin/hipoalbuminemia, penyakit tulang, preogresifitas dari CKD, kemungkinan perburukan


ataupun terbentuknya penyakit jantung, stimulasi dari inflamasi, dan peningkatan mortalitas pada
pasien dengan CKD.

Pada eksperimen pada hewan, asidosis metabolik kronis dihubungkan dengan


peningkatan degradasi/pengrusakan protein otot tanpa adanya perubahan pada sintesis protein
otot. Peningkatan proteolysis ini dihubungkan dengan perubahan dari insulin growth factor 1 dan
peningkatan dari inflamasi. Pada manusia dengan asidosis metabolik kronis akan terjadi muscle
wasting dan keseimbangan nitrogen negatif.
Suatu peningkatan dari degradasi protein otot ini dapat terjadi bahkan pada keadaan tidak
adanya penurunan dari kadar bikarbonat serum. Oleh karena itu, pada wanita dengan
postmenopause dengan kadar serum bikarbonat yang normal, pemberian dari obat basa akan
menghasilkan pada keseimbangan nitrogen yang lebih positif. Penemuan ini menduga bahwa
walaupun produksi net asam endogen berasal dari diet biasa yang bersifat asam, itu akan
meningkatnkan degradasi dari protein otot.
Secara studi ekperimental, sintesis albumin oleh hati akan di terhambat pada keadaan
asidosis metabolik. Contahnya pada studi yang dilakukan NHANES III, menunjukkan bahwa
suatu kadar bikarbonat serum yang rendah dihubungkan dengan hipolabuminemia pada pasien
dengan CKD
Asidosis metabolik dapat menginduksi atau memperbarah dari penyakit tulang, dan
menghambat pertumbuhan tulang pada anak-anak. Koreksi dari asidosis metabolik dengan alkali
dapat membuat pada penyembuhan tulang dan memperbaiki pertumbuhan pada anak-anak.
Tanpa memperhatikan apakah kadar bikarbonat serum menurun dari normal atau tidak, konsumsi
dari diet yang bersifat produksi asam akan mengganggu dari pertumbuhan tulang.
Pada suatu studi yang dilakukan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa asidosis
metabolik dihubungkan dengan peningkatan progresifitas dari CKD. Penemuan ini didukung
oleh suatu studi observasional yang lebih besar lagi, dimana 5000 individu dari suatu single

klinik yang difollow up selama 4 tahun menunjukkan bahwa kadar bikarbonat serum < 22 mEq/L
adalah dihubungkan dengan progresifitas CKD (penurunan pada GFR > 50% dari baseline awal
atau mencapai GFR < 15 ml). Padastudi CRIC (Chronic Renal Insufficiency Cohort) dari lebih
3500 peserta yang di follow up selama 6 tahun, peserta yang mempertahankan kadar serum
bikarbonat < 22mEq/L mempunyai peningkatan 2kali lipa dari resiko progresifitas CKD
(penurunan GFR>50% atau menjadi ESRD). Juga pada 2 studi lainnya yang melibatkan lebih
dari 1000 pasien, kadar bikarbonat serum yang tinggi, meskipun dalam kisaran yang normal,
dihubungkan dengan GFR yang lebih tinggi dan insidensi yang lebih rendah dari terjadinya
ESRD.
Seperti yang sudah dijabarkan diatas, peningkatan progresifitas dari CKD ini tampaknya
dikaitkan pada retensi dari proton pada kompartemen interstisial dari ginjal dan proton tersebut
tetap ada walaupun ketika kadar bikarbonat serum dalam kisaran yang normal. Sampai saat ini,
studi untuk menentukan apakah keparahan dari asidosis metabolik mempunyai efek pada
percepatan dari progresifitas belum dapat dilakukan. Akan tetapi, hal ini merupakan pokok
penting yang mana telah menghubungkan kepada rekomendasi terapi untuk asidosis metabolik
pada pasien CKD.
Kemungkinan besar mekanisme yang memicu pada percepatan dari progresifitas dari
pasien CKD dengan asidosi metabolik dapat dijelaskan pada gambar dibawah ini :

Asidosis metabolik akan meningkatkan aldosterone jaringan, endothelin, dan


angiostensinII. Peningkatan pada hormon ini tampaknya berkontribusi pada penurunan dari GFR
karena koreksi dari asidosis akan memicu pada penurunan kadar dari hormon tersebut dan
perlambatan dari penurunan dari GFR.
Peningkatan dari produksi ammonia pada CKD adalah dihubungkan dengan aktivasi dari
komplemen dan sebuah kaskade inflamasi yang kemudian akan diikuti dengan fibrosis pada
ginjal. Secara teoretis mungkin bahwa progresifitas akan lebih cepat pada pasien dengan tingkat
produsi ammonia yang lebih tinggi per residual sel nefron. Suatu lingkungan yang asam
tampaknya akan menstimulasi produksi ginjal dari sitokin proinflamasi dan chemokines, yang
selanjutnya akan memberikan mekanisme tambahan dalam terjadinya perusakan pada ginjal.
Toleransi glukosa mungkin dapat terganggu dan disebabkan sebagian oleh resistensi pada
insulin, ini mencerminkan penurunan ikatannya pada resptornya. Akan tetapi, kadar insulin
sekitar akan meningkat oelh karena penurunan metabolisme dari penyakit ginjal. Pengaruh yang

paling besar pada metabolisme glukosa tergantung dari kekuatan relatif dari

kemampuan

bersaing substansi-substansi tersebut.


Hubungan yang mungkin terjadi antara asidosis metabolik dan kelainan pada fungsi
kardiovaskular adalah peningkatan dari 2-microglobulin pada pasien CKD dengan asidosis.
Pada pasien dengan peningkatan/kelebihan 2-microglobulin, terdapat deposisi/penumpukan
besar dari substansi amyloid pada berbagai jaringan, termaksuk pada jantung. Asidosis metabolik
dapat secara tidak langsung dihubungkan dihubungkan dengan penyakit jantung melalui efek
tersebut pada prevalensi terjadinya hipertensi. Pada suatu studi diantara peserta wanita dewasa
nonobes, kadar serum biakrbonat yang tinggi ditemukan berhubungan dengan rendahnya
prevalensi dari hipertensi setelah disesuaikan dengan faktor-faktor yang terlibat. Juga, pada anakanak, hipertensi ditemukan secara positif berkorelasi dengan peningkatan pemasukan diet yang
bersifat asam. Data-data tersebut diatas adalah konsisten dengan peningkatan keasaman jaringan
menjadi seuatu faktor yang berkontribusi pada suatu terjadinya hipertensi.
Mortalitas juga mengalami peningkatan pada keberadaan asidosis metabolik pada pasien
CKD. Suatu studi pada CKD registry di Cleveland Clinic yang melibatkan lebih dari 41.00
pasien mengungkapkan bahwa peningkatan mortalitas dihubungkan dengan kadar serum
bikarbonat < 23 Eq/L, khususnya pada pasien dengan penurunan moderate dari fungsi ginjal
(CKD stage 3). Lebih lagi, analisis dari MDRD study dan NHANES III database menunjukkan
bahwa kadar serum bikarbonat < 22 mEq/L pada pasien dengan CKD (GFR<60mL/min/1.73m2)
dihubungkan dengan peningkatan mortalitas, dengan hazard raiot (HR) 2.6 kali lipat mortalitas.
Mekanisme yang mendasari yang mungkin terjadi pada ortalitas ini masih belum dapat
ditetapkan, walaupun suatu dampak dari keberadaan dan keparahan dari penyakit jantung pada

pasien-pasien asidosis metabolik CKD merupakan suatu kemungkinan yang dapat dipikirkan,
dan mungkin harus dieksplorasi lebih jauh lagi.

MANAJEMEN DAN TERAPI


Mencegah atau memperbaiki efek buruk yang diakibatkan oleh asidosis metabolik pada
pasien CKD merupakan tujuan utama dari terapi. Efek dari pemberian alkali/basa pada satu atau
beberapa efek buruk asidosis metabolik (penyakit tulang, degradasi protein otot, muscle wasting,
percepatan penurunan GFR) telah dilakukan pada eksperimental hewan dan manusia dengan
ataupun tanpa CKD. Pemberian bikarbona akan memperbaiki pertumbuhan pada anak-anak
dengan penyakit renal tubular asidosis. Sama halnya, pemberian alkali/basa akan memicu pada
penyembuhan dari penyakit tulang pada uji hewan maupun manusia dengan penyakit asidosis
metabolik dan CKD. Pada suatu studi lainnya pemberian alkali/basa pada hewan uji coba tikus
dengan asidosis metabolik dan CKD akan menurunkan degradasi/perusakan protein otot, dan
juga memperbaiki berat massa tubuh.
Efek dari pengkoreksian asidosis pada progresifitas CKD juga diteliti pada suatu studi
dan menunjukkan bahwa pemberian dari sodium bikarbonat, sodium sitrat, atau dengan
meningkatkan diet tinggi buah-buahan dan sayuran menghasilkan perlambatan dari penurunan
GFR pada uji hewan ataupun manusia dengan CKD dan asidosis metabolik, hal penting lainnya
bahwa penurunan dari progresifitas CKD ini juga ditemukan pada hewan ataupun manusia yang
mana dengan manifestasi retensi asam, tetapi tidak ada penurunan kadar serum bikarbonat. Hasil
ini dirasakan konsisten dengan observasi sebelumnya tentang keuntungan dari pemberian
alkali/basa pada wanita postmenopause yangmana tidak kelainan pada keseimbangan asam-basa.

Tabel dibawah ini akan merangkum dari beberapa penelitian yang dipublikasi yang
membahas tentang efek/keuntungan dari pemberian alkali/basa pada progresifitas dari CKD :

Pada studi-studi diatas telah menunjukkan bahwa pemberian alkai/basa akan


menghasilkan perbaikan pada fungsi selular termaksuk penyembuhan dari penyakit tulang,
perbaikan pertumbuhan pada anak-anak, memperlambat progresifitas dari CKD, dan
menurunkan dari proses mucle wating, saat ini tampaknya beralasan/rasional untuk memberikan
alkali/basa pada orang-orang dengan CKD dan kadar serum bikarbonat yang rendah. Untuk akhir
ini, beberapa organisasi-organisasi ginjal besar telah menyediakan beberapa guideline terhadap
topik/pokok pembahasan ini. Semua rekomendasi berdasarkan expert opinion yang diambil dari
beberapa review studi yang tersedia.

NKF-KDOQI (National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcome Quality Initiative)


merekomendasikan bahwa pemberian basa/alkali dilakukan ketika kadar serum biakrbonat
adalah < 22 mEq/L untuk mempertahankan konsentrasi serum bikarbonat pada 22 mEq/L. The
Renal Association of Great Britain juga merekomendasikan pemberian dari basa/alkali untuk
mempertahankan kadar serum bikarbonat pada 22 mEq/L, sama juga halnya CARI (Care of
Australian With Renal Impairment). Sekali lagi tidak ada target yang spesifik untuk kadar serum
bikarbonat yang diharapkan. Akan tetapi guideline KDIGO 2013 merekomendasikan
mempertahankan kadar serum bikarbonat didalam kisaran referensi untuk laboratorium klinis (23
29 mEq/L).
Pada studi CRIC menunjukkan bahwa peserta dengan CKD dan kadar serum bikarbonat
> 24 mEq/L (apapun penyebabnya) mempunyai prevalensi lebih tinggi untuk penyakit CHF,
walaupun tidak ada hubungan dengan mortalitas ataupun kejadian atherosclerotik. Mortalitas
tidak tampak meningkat pada individu-individu dengan kadar serum bikarbonat 22 30 mEq/L
pada satu studi, walaupun mortalitas akan meningkat ketika kadar bikarbonat serum > 32 mEq/L.
sehingga target berlebihan dari kadar serum bikarbonat mungkin dapat mempunyai efek pada
outcome klinis.
Pada tabel dibawah akan menggambarkan beberapa metode yang tersedia untuk
mengobati asidosis metabolik pada pasien CKD.

Dikarenakan produksi asam sebagian besar berasal dari makanan protein yang dimakan,
restriksi protein dirasakan akan menurunkan pembebanan asam dan phospate. Sodium
bikarbonat oral murah dan mudah untuk diberikan/dikonsumsi. Tablet dari 300 sampai 650 mg
bikarbonat natrium tersedia dipasaran. Bikarbonat akan bereaksi dengan proton pada lambung
untuk memproduksi asam karbonat, yang mana akan berdisosiasi menjadi CO 2 dan H2O, yang
selanjutnya CO2 akan menyebabkan sensai dari begah/fullness. Terdapat juga sediaan tablet
enteric-coated dan soft capsules yang mengandung sodium bicarbonate dan poassium
bicarbonate, tetapi masih tersedia di negara bagian eropa.
Karena basa/alkali dapat mempunyai efek samping pada tubuh jika kita menaikkan kadar
serum bikarbonat secara berlebih, direkomendasikan untuk mengestimasi kebutuhan bikarbonat
menggunakan rumus pemberian bicarbonat 50% dari berat badan. Jadi, kebutuhan bicarbonat
sama dengan kadar serum bikarbonat yang diinginkan kurangi kadar aktual serum bikarbonat,
dikalikan dengan 50% dari berat badan. Ketika kebutuhan bicarbonat telah dihitung, jumlah dari

basa/alkali yang dibutuhkan dapat diberikan selama 3 sampai 4 hari karena jarang untuk
mengobati asidosis metabolik secara segera.
Penatalaksaan diet pada pasien hypobicarbonateia pernah dicoba dan dapat dikatakan
sukses. Pada satu study, pasien dengan CKD stages 3 dan 4 yang mana tidak menerima obatan
ACEi diberikan sejumlah buah-buahan dan sayuran (yang mengandng anion organik yang akan
dimetabolisme menjadi bicarbonat) dengan hasil pasien dapat memproduksi basa/alkali yang
cukup untuk menetralisir 50% dari bebanan net asam endogen. Regimen diet tersebut
meningkatkan konsentrasi serum bikarbonat sampai rerata 24.5 mEq/L tanpa menghasilkan
hyperkalemia (serum potasium tetap < 5 mEq/L). Dari data tersebut menduga dan menunjukkan
bahwa regimen tersebut dapat berhasil walaupun menghindari dari peresepan terapi basa/alkali.
Akan tetapi, pasien yang menjalani regimen diet tersebut harus secara hati-hati dimonitor oleh
ahli gizi. Rekomendasi untuk terapi basa/alkali pada pasien CKD dapat terangkum pada tabel
dibawah ini:.

Kesimpulan
Retensi dari asam pada perjalanan penyakit CKD dapat mengakibatkan peningkatan dari
keasaman pada kompartemen interstisial dan ekstraselular dan pada sirkulasi sistemik. Yang
terakhir itulah yang bertanggung jawab dalam efek buruk pada beberapa jaringan tubuh. Khusus
dalam tinjauan progresifitas dari penyakit CKD walaupun dengan terapi zaman sekarang,
terdapat kebutuhan yang penting untuk menjelaskan lebih baik lagi, tanda yang khas dari
individu dengan asidosis metabolik subklinis, dan atas dasar RCT, diperlukan penentuan
keuntungan dari terapi alkali/basa dalam memperlambat progresifitas dari CKD dan penentuan
komplikasi dari terapi tersebut. Lebih lagi, pada pasien CKD dengan asidosis metabolik subklinis
maupun over asidosis metabolik, penting untuk menentukan kadar bikarbonat serum yang harus
dicapai. Data dan informasi ini semua akan menyediakan dasar ataupun landasan untuk
rekomendasi yang evidence-based untuk terapi dari pasien dengan asidosis metabolik pada CKD.

DAFTAR PUSTAKA
1. National Kidney Foundation. K/DOQI clinical practiceguidelines for chronic kidney disease:
evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis. 2002;39(2)(suppl 1):S1-S266
2. de Brito-Ashurst I, Varagunam M, Raftery MJ, Yaqoob MM. Bicarbonate supplementation slows
progression of CKD and improves nutritional status. J Am Soc Nephrol.2009;20(9):2075-2084.

3. Phisitkul S, Khanna A, Simoni J, et al. Amelioration ofmetabolic acidosis in patients with low
GFR reduced kidney endothelin production and kidney injury, and better preserved GFR. Kidney
Int. 2010;77(7):617-623.

4. Moranne

O, Froissart M, Rossert J, et al. Timing of onset of CKD-related metabolic

complications. J Am Soc Nephrol. 2009;20(1):164-171.

5.

Uribarri J, Douyon H, Oh MS. A re-evaluation of the urinary parameters of acid

production and excretion in patients with chronic renal acidosis. Kidney Int. 1995;47(2):624-627.

6.

Kraut JA, Madias NE. Metabolic acidosis: pathophysiology, diagnosis and management.

Nat Rev Nephrol. 2010;6(5):274-285.


7. Wesson DE, Simoni J, Broglio K, Sheather SJ. Acid retention accompanies reduced GFR in
humans and increases plasma levels of aldosterone and endothelin. Am J Physiol Renal
Physiol.2011;300(4):F830-F837.
8. Jeffrey AK, Nicholas E, Madias. Metabolic Acidosis of CKD : An Update. Am J Kidney Dis.
67(2):307-317. Elsevier Inc.

Anda mungkin juga menyukai