Anda di halaman 1dari 32

FARMAKOTERAPI TERAPAN

STUDI KASUS III


“GAGAL GINJAL KRONIS“

Oleh:
Siti Horrimatul Fhaturani 192211101069
Cholista Rizki Yesida 192211101070
Khusnul Khotimah 192211101071
Ifan Arif Maulana 192211101072
Weka Agustin Pratesya 192211101073
Ahmad Daris Sauqi 192211101074
Nur Huda 192211101075
Malikatur Rosyidah 192211101076

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i

BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2

1.3 Tujuan ..................................................................................................... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3

2.1 Gagal Ginjal Kronik .............................................................................. 3

2.1.1 Definisi .............................................................................................. 3

2.1.2 Klasifikasi ......................................................................................... 3

2.1.3 Etiologi .............................................................................................. 3

2.1.4 Tanda dan Gejala............................................................................... 4

2.1.5 Patofisiologi ...................................................................................... 4

2.1.6 Komplikasi CKD............................................................................... 5

2.1.7 Tatalaksana Terapi CKD ................................................................... 6

BAB 3. PEMBAHASAN ..................................................................................... 12

3.1 Kasus dan P h a r m a c e u t i c a l C a r e P l a n ......................................... 12

3.1.1 Kasus ..................................................................................................... 12

3.1.2 Pharmaceutical Care Plan …………………………………………….14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..28

i
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal merupakan salah satu organ penting di dalam tubuh yang berfungsi
untuk menyaring (filtrasi) dan mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme (racun) dari
darah melalui urin. Ginjal juga berfungsi menjaga komposisi darah dengan
mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan cairan dalam
tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat tetap stabil,
serta memproduksi hormon dan enzim (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Gagal ginjal atau penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) adalah gangguan
fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang
dapat menyebabkan uremia yaitu retensi cairan dan natrium dan sampah nitrogen
lain dalam darah (Smeltzer dkk, 2002). Pada keadaan gagal ginjal kronis (Chronic
Renal Failure) terjadi penurunan fungsi ginjal yang cukup berat dan terjadi secara
perlahan dalam jangka waktu yang lama (menahun) yang disebabkan oleh
berbagai penyakit ginjal, bersifat progresif dan tidak dapat pulih kembali
(Kemenkes RI, 2017).
Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler,
sehingga dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien
mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung koroner,
dan penyakit pembuluh darah perifer. Penyakit ginjal kronik biasanya disertai
berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas,
penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia. Pengelolaan
penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis dan pengobatan terhadap
penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal kronik serta
dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal (lgnatavius &
Walkman, 2006).
Berdasarkan diagnosis dokter prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia
sebesar 0,2%. Provinsi yang menempati urutan pertama dan mempunyai

1
prevelensi 0,5% dari 33 provinsi pada tahun 2013 adalah provinsi Sulawesi
Tengah diikuti Aceh, Gorontalo dan Sulawesi Utara masing –masing 0,4%. Untuk
provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur masing-masing 0,3% (Smeltzer dkk,
2002).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa definisi dan klasifikasi dari gagal ginjal kronis?
2. Bagaimana etiologi dari penyakit gagal ginjal kronis?
3. Apa saja tanda dan gejala dari gagal ginjal kronis?
4. Bagaimana patofisiologi dari gagal ginjal kronis?
5. Bagaimana penatalaksanaan terapi dari gagal ginjal kronis?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi dan klasifikasi gagal ginjal kronis
2. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit gagal ginjal kronis
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari gagal ginjal kronis
4. Untuk memahami patofisiologi dari gagal ginjal kronis
5. Untuk memahami penatalaksanaan terapi dari gagal ginjal kronis

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal Kronik


2.1.1 Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversible yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah. Kerusakan ginjal ditandai dengan albuminuria, hematuria, azotemia,
electrolite imbalance, asidosis metabolik, anemia (Kementerian Kesehatan RI,
2017).

2.1.2 Klasifikasi
KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality initiative) mengklasifikasikan
CKD (Tabel 2.1) berdasarkan tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerolus)(KDIGO, 2017):

Tabel 2.1 Klasifikasi CKD


Stadium Nilai LFG (ml/menit/1,73 m2)
1 >90
2 60-89
3a 45-59
3b 30-44
4 15-29
5 <15

2.1.3 Etiologi
Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya penyakit GGK adalah
sebagai berikut (DiPiro, 2016):
a. Faktor klinis
CKD dapat dipicu oleh autoimun, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih,
batu kemih, obstruksi saluran kemih bagian bawah, neoplasia, riwayat keluarga

3
CKD, pemulihan dari cedera ginjal akut, pengurangan massa ginjal, paparan
obat-obatan tertentu, dan berat badan lahir rendah.
b. Faktor sosiodemografi
CKD dapat dipicu oleh usia, status etnis minoritas AS (Afrika-Amerika,
India-Amerika, Hispanik, Asia, atau Kepulauan Pasifik), paparan kondisi kimia
dan lingkungan tertentu, dan rendahnya penghasilan maupun pendidikan
masyarakat.
c. Faktor resiko progresi penyakit
Faktor inisiasi yang persisten (misalnya diabetes mellitus, hipertensi,
glomerulonefritis) tampaknya menjadi salah satu pemicu terjadinya CKD
progresif. Faktor-faktor lain yang dapat memicu CKD yaitu merokok dan
obesitas dengan hiperlipidemia (DiPiro, 2016).

2.1.4 Tanda dan Gejala


CKD seringkali ditemukan tanpa adanya gejala yang menyertai, sehingga
menjadi alasan banyak pasien tidak didiagnosis dengan penyakit ini sampai
mencapai CKD stadium 4 atau 5. Pasien CKD stadium 4 atau 5 umumnya
mengalami gejala berupa kelelahan, kelemahan, sesak napas, kebingungan mental,
mual, muntah, pendarahan, kehilangan nafsu makan, gatal, intoleransi dingin, dan
neuropati perifer, sedangkan tanda-tanda yang dapat ditemukan berupa adanya
edema, pertambahan berat badan (dari akumulasi cairan), perubahan output urin
(volume dan konsistensi), urin berbusa (indikasi proteinuria), dan distensi perut
(DiPiro, 2016).

2.1.5 Patofisiologi
Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati
adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Hal
tersebut menyebabkan penebalan membran basal dan ekspansi mesangial
glomerulus yang akhirnya menyebabkan beberapa progresi CKD seperti
glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen, serta fibrosis tubulo interstitial.
4
Peningkatan glukosa pada pasien diabetes yang menahun (glukotoksisitas) dapat
menjadi faktor yang melandasi timbulnya nefropati yang berujung kerusakan
ginjal. Glukotoksisitas meningkatkan AGE’s (advance glycosilation end-
products) yang memicu kerusakan pada glomerulus ginjal dan gangguan
osmolaritas membran basal. Faktor penyakit klinis lain seperti hipertensi dan
hiperlipidemia memang tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati,
tetapi keduanya mempercepat progesivitas ke arah GGK. Hipertensi akan
mempengaruhi proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli,
sedangkan hiperlipidemia mempengaruhi ekspansi mesangial glomerulus.
Berdasarkan DiPiro (2015), patofisiologi CKD dapat dilihat lebih lanjut pada
Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Patofisiologi GGK

2.1.6 Komplikasi CKD


Seringkali komplikasi CKD tidak dikelola secara tidak tepat, namun
berkontribusi terhadap morbiditas yang signifikan, mortalitas prematur, atau
prognosis yang lebih buruk terutama pada CKD stadium 5. Komplikasi CKD yang
sering ditemukan meliputi perubahan kadar natrium dan air, hiperkalemia,
5
asidosis metabolik, anemia, gangguan mineral dan tulang yang berhubungan
dengan CKD (CKD-MBD), dan penyakit kardiovaskular (CVD). Komplikasi lain
yang dapat terjadi pada pasien CKD dapat dilihat pada Tabel 2.2 (DiPiro, 2017).

Tabel 2.2 Komplikasi lain yang dapat terjadi pada pasien CKD
Sistem Organ/
Manifestasi Klinis
Komplikasi
Akumulasi β2-mikroglobulin
Amyloidosis Sindrom carpal tunnel
Diatesis berdarah
Gangguan/ lemahnya sistem imun
Gangguan darah dan
Limfopenia
kekebalan tubuh
Disfungsi trombosit
Endokrin hipoglikemik (akibat penurunan degradasi
insulin oleh ginjal)
Mual, muntah, anoreksia (akibat uremia)
Penundaan pengosongan lambung
Gastrointestinal
Refluks gastroesofagus
Perdarahan GI
Pembuangan protein Malnutrisi
Neurologis Neuropati perifer
Ensefalopati uremik
Gatal umum terutama pada punggung, wajah,
Pruritis uremia dan dapat di seluruh area tubuh
Mungkin lebih parah selama atau segera setelah
hemodialysis

2.1.7 Tatalaksana Terapi CKD


a. Terapi non farmakologis
Pasien CKD membatasi konsumsi protein hingga 0,8 gram/kg/hari, tidak
merokok, dan olahraga minimal selama 30 menit sebanyak lima kali dalam
seminggu hingga mencapai body mass index (BMI) sebesar 20-25 kg/m2.
b. Terapi Farmakologis
1. Terapi Hipertensi pada CKD dengan non DM dan DM
Manajemen terapi hipertensi CKD dengan non DM dan DM
berdasarkan ekskresi albumin dan nilai LFG atau GFR dapat dilihat pada
Gambar 2.2 dan 2.3.

6
Gambar 2.2 Algoritma terapi hipertensi pada CKD dengan non DM (DiPiro, 2015)

7
Gambar 2.3 Algoritma terapi hipertensi pada CKD dengan DM (DiPiro, 2015)

8
2. Terapi anemia pada CKD
Terapi lini pertama yang digunakan adalah suplemen Fe, namun jika
tidak adekuat meningkatkan Hb, maka terapi lini kedua adalah dengan
memberikan ESA (EPO stimulating agent). Monitoring tekanan darah
perlu dilakukan saat penggunaan ESA. Transfusi RBC (red blood cell)
merupakan pilihan akhir pada anemia berat atau pasien dengan
kontraindikasi terhadap ESA.
Defisiensi Fe dapat diketahui dengan menghitung nilai TSAT dan
serum ferritin, dengan rumus sebagai berikut:

Indikasi terapi suplemen Fe adalah % TSAT <20% dan serum ferritin


<100 ng/mL (utk CKD stage 2-4/ tanpa dialisis) dan <200 ng/mL (utk
CKD stage 5). Target terapi dari pemberian suplemen Fe yaitu Serum
ferritin >500 ng/mL dan TSAT >30%. First line suplemen Fe yaitu sediaan
oral dengan dosis 200 mg elemen Fe (dapat digunakan dg dosis terpisah).
Jika dengan sediaan oral kurang adekuat maka diganti suplemen Fe iv.
Sediaan Fe iv menunjukkan efektivitas yang sama untuk meningkatkan
jumlah Fe untuk pasien CKD. Efek samping pemberian suplemen Fe iv
yaitu reaksi anafilaksis, atralgia dan myalgia.
Pada pasien CKD dengan Hb 9-10 g/dL maka terapi awal
menggunakan ESA (EPO stimulating agent) hingga Hb sebesar 11-11,5
g/dL. Agen ESA meliputi epoetin alfa dan Epoetin beta (memiliki
efektivitas sama), serta darbepoetin (terdapat penambahan gugus
karbohidrat pada epoetin alfa yang dapat meningkatkan t½). Efektivitas
dari semua jenis ESA setara begitu juga dengan efek sampingnya. Starting
dose Epoetin alfa 50-100 unit/kgBB (iv atau sc) 2-3x/minggu, Darbepoetin
alfa 0,45 mcg/kgBB (Sc atau Iv) 1x/minggu. Pada umunya ESA memiliki
efek samping hipertensi.

9
3. Terapi gangguan tulang dan mineral pada CKD
Gangguan metabolisme tulang dan mineral sering terjadi pada
penderita CKD. Gangguan metabolisme tulang dan mineral termasuk
kelainan pada hormon paratiroid (PTH), kalsium, fosfor, keseimbangan
kalsium-fosfor dan vitamin D. Keseimbangan kalsium-fosfor berinteraksi
dengan hormon yang kompleks dan berpengaruh pada tulang, saluran
gastrointestinal (GI), ginjal, dan kelenjar paratiroid. Ketika terjadi penyakit
ginjal berkelanjutan maka aktivasi vitamin D pada ginjal terganggu yang
mana mengurangi penyerapan kalsium usus. Konsentrasi kalsium darah
yang rendah mengakibatkan peningkatan sekresi PTH. Saat fungsi ginjal
menurun, keseimbangan kalsium serum dapat dipertahankan hanya dengan
mengurangi resorpsi tulang dan akhirnya menyebabkan osteodistrofi
ginjal.
Agen pengikat fosfat (CaCO3, Ca(CH3COOH)2, dan lainnya)
merupakan agen lini pertama untuk mengendalikan konsentrasi serum
fosfor dan kalsium. KDOQI merekomendasikan dosis Ca elemental dari
Ca containing binders tidak lebih dari 1500mg/hari dan total intake dari
Ca elemental tidak lebih dari 2000 mg/hari. Efek samping dari agen
pengikat fosfat umumnya terbatas pada efek GI, termasuk sembelit, diare,
mual, muntah, dan sakit perut. Risiko hiperkalsemia mengharuskan
pembatasan penggunaan agen pengikat fosfat yang mengandung kalsium.
Solusi untuk meminimalisir risiko hiperkalsemia oleh penggunaan
agen pengikat fosfat dapat dilakukan dengan mengganti terapi
menggunakan vitamin D (nutrisional maupun aktif) atau analog vitamin D
(doxercalciferol atau paricalcitol) sesuai dosis pada Gambar 2.4. Vitamin
D dan analognya secara langsung menekan sintesis dan sekresi PTH.
Cinacalcet (kalimimetik) dapat digunakan sebagai terapi kombinasi
vitamin D dan analognya untuk memaksimalkan penekanan sintesis dan
sekresi PTH. Dosis cinacalcet awal adalah 30 mg/hari, yang dapat dititrasi
ke PTH dan kalsium yang diinginkan konsentrasi setiap 2 hingga 4 minggu
hingga maksimal 180 mg setiap hari.
10
Gambar 2.4 Agen vitamin D

4. Terapi hiperlipidemia pada CKD


Prevalensi hiperlipidemia meningkat ketika fungsi ginjal menurun.
Pedoman KDIGO merekomendasikan pengobatan dengan statin (misalnya,
atorvastatin 20 mg, fluvastatin 80 mg, rosuvastatin 10 mg, simvastatin 20
mg) pada orang dewasa berusia 50 tahun dengan CKD stadium 1 sampai 5
tanpa dialisis. Pada pasien dengan ESRD (stadium akhir penyakit ginjal),
profil lipid harus dinilai ulang setidaknya setiap tahun dan 2 hingga 3
bulan setelah berganti pengobatan.

11
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Kasus dan P h a r m a c e u t i c a l C a r e P l a n


3.1.1 Kasus
Ny. ATM usia 56 tahun, BB 67 kg, TB 159 cm MRS ke IGD dengan
keluhan sesak nafas, mual-muntah, lemas, tidak nafsu makan. Sesak nafas yang
sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan perutnya
kembung dan terasa penuh seperti terisi cairan. BAB normal, BAK keluar hanya
sedikit meskipun pasien minum banyak. Pasien juga mengeluh gatal-gatal di
seluruh tubuh dan muncul bentol kemerahan pada seluruh tubuh. Pasien memiliki
riwayat DM (14 tahun), Hipertensi (28 tahun). Pasien mengaku rutin
menggunakan glibenklamid dan HCT.

Hasil pemeriksaan TTV saat MRS TD 170/90, Nadi 92x/menit, RR


27x/menit, Suhu 36 fisik GCS 456, sesak nafas (+++), muntah (++), gatal (+++),
bentol merah (+++), udema peritoneal (++), udema kaki (++). Data laboratorium
GDA 262 mg/dL, GD2JPP 209 mg/dL, GDP 190 mg/dL, HbA1C 8,9%, Hb 8,6
g/dL, Hct 25%, BUN 32 mg/dL, Scr 5,6 mg/dL, Albumin 3,1 g/dL, proteinuria
(3+).
Diagnosa pasien : CKD stage V, udema peritoneal, HT stage 2

Terapi H(1) MRS : NS 500cc 12 tpm, O2 2L/menit, Furosemid 2x40mg (iv),


Metoklopramid 3x10 mg (iv), Amlodipin 1x10 mg (iv), Glibenklamid 1x5 mg
(po), Metformin 3x500 mg (po), Clonidin 2x0,15 mg (po), CTM 1x2 mg (po)

Pemeriksaan H(2):
TTV : TD 160/90, Nadi 92x/menit, RR 26x/menit, suhu 36,5
Pemeriksaan fisik : fisik GCS 456, sesak nafas (++), muntah (+-), gatal (++),
bentol merah (++), udema peritoneal (++), udema kaki (++)

12
Data laboratorium : Asam urat 8,8 mg/dL, Na, 143 mg/dL, K 5,7 mg/dL, Cl 95
mg/dL, Ca 7,9 mg/dL, GDA 233 mg/dL
Terapi H(2): NS 500cc 12 tpm, O2 2L/menit, Furosemid 2x40mg (iv),
Metoklopramid 3x10 mg (iv), Amlodipin 1x10 mg (iv), Glibenklamid 1x5 mg
(po), Metformin 3x500 mg (po), Clonidin 2x0,15 mg (po), CTM 1x2 mg (po),
Metilprednisolon 1x6,25 mg (iv), Novorapid 10iu + D40% 50 ml (iv), Allopurinol
3x200 mg (po)

Pemeriksaan H(3)
TTV : TD 170/80, Nadi 92x/menit, RR 26x/menit, suhu 36,5
Pemeriksaan fisik : fisik GCS 456, sesak nafas (++), muntah (+-), gatal (+-),
bentol merah (++), udema peritoneal (++), udema kaki (+-)
Data laboratorium : Na, 145 mg/dL, K 5,1 mg/dL, Cl 98 mg/dL, Ca 7,9 mg/dL,
GDA 245 mg/dL, BUN 30 mg/dL, Scr 5,8 mg/dL.
Terapi H(3): NS 500cc 12 tpm, O2 2L/menit, Furosemid 2x40mg (iv),
Metoklopramid 3x10 mg (iv), Amlodipin 1x10 mg (iv), Glibenklamid 1x5 mg
(po), Metformin 3x500 mg (po), Clonidin 2x0,15 mg (po), CTM 1x2 mg (po),
Metilprednisolon 1x6,25 mg (iv), Allopurinol 3x200 mg (po), Novorapid 3x8 iu
(sc)

13
3.1.2 Pharmaceutical Care Plan

Pharmaceutical Care Plan

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. ATM
Umur : 56 tahun BB: 67 kg
TB: 159 cm
Tanggal MRS :-
Tanggal KRS :-
Diagnosis : CKD stage V, Udema peritoneal, Hipertensi stage 2

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
Sesak nafas, mual-muntah, lemas, tidak nafsu makan, perut kembung dan
terasa penuh seperti terisi cairan, BAK keluar sedikit meskipun minum
banyak, gatal-gatal di seluruh tubuh dan muncul bentol kemerahan pada
seluruh tubuh

2.2. Riwayat Penyakit :


Diabetes militus (14 tahun) dan Hipertensi (28 tahun)

2.3. Riwayat Pengobatan :


Glibenklamid dan HCT

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial : -

2.5. Alergi Obat :

14
III. OBJEKTIF
a. Tanda-tanda vital
Tanggal
Parameter Nilai Normal
Hari 1 Hari 2 Hari 3
o o
Suhu ( C) 37 C 36oC 36,5oC 36,5oC
Tekanan darah
120/80 170/90 160/90 170/80
(mmHg)
Nadi (x/menit) <100 x/menit 92 92 92
RR (x/menit) 14-20 x/memorial 26 26 26

b. Tanda-tanda klinik
Tanggal
Gejala Fisik
Hari 1 Hari 2 Hari 3
GGC 456 456 456
Sesak nafas +++ ++ ++
Muntah ++ +- +-
Gatal +++ ++ +-
Bentol merah +++ ++ ++
Udema peritonial ++ ++ ++
Udema kaki ++ ++ ++

c. Data laboratorium
Tanggal
Parameter Nilai Normal
Hari 1 Hari 2 Hari 3
GDA 233
262mg/dL 245 mg/dL
mg/dL
GD2JPP <200 mg/dL 209mg/dL
GDP <125 mg/dL 190mg/dL
HbA1C <6,5% 8,9%
Hb 12 – 16 mg/dL 8,6 g/dL
Hct 33 – 43 mg/dL 25%
BUN 6 – 23 mg/dL 32 mg/dL 30 mg/dL
Scr 0,6 – 1,2 mg/dL 5,6 mg/dL 5,8 mg/dL
Albumin 3,5 – 4,5 mg/dL 3,1 g/dL
Proteinuria - 3+
Asamurat 2 – 8 mg/dL 8,8 mg/dL
Na 135-145 mg/dL 143
145 mg/dL
mg/dL
K 3,5 - 5mg/dL 5,7 mg/dL 5,1 mg/dL
Cl 95 - 105 mg/dL 95 mg/dL 98 mg/dL
Ca 8,8 – 10,4 mg/dL 7,9 mg/dL 7,9 mg/dL

15
V. ANALISIS SOAP
Subjek/ Rekomendasi &
Problem medik Terapi Analisa DRP
objektif Monitoring
HT stage 2 Objektif: Furosemide Merupakan obat golongan Inefective drug: Clonidin Plan:
Tekanan darah 2x40 mg (iv) loop diuretik yang digunakan untuk pasien  Furosemide tetap
Hari ke 1: memiliki onset lebih cepat CKD dengan DM yang dilanjutkan untuk
170/90 dan efek diuretiknya lebih tidak mengalami mengurangi udema
Hari ke 2: kuat dibandingkan dengan penurunan TD peritonial
160/90 thiazid. Obat ini cepat <130mmHg setelah  Amlodipin dan
Hari ke 3: sekali menguras tubuh dan penggunaan ACEI/ARB clonidin dihentikan
170/80 elektrolit. (Gunawan S.G, selama 4-6 minggu  AntiHT yang
2016) (DiPiro, 2015) digunakan yaitu
Dosis awal furosemid 20- Losartan (ARB) 50-
40mg, dosis dapat Manajemen hipertensi 100 mg, karena
ditingkatkan 20mg setiap pada CKD komplikasi selain menurunkan
interval 2 jam hingga efek DM dapat digunakan TD, Losartan dapat
tercapai. Pemberian iv ACEI/ARB sebagai first membantu
harus perlahan dengan line therapy (Dennison- menurunkan kadar
kecepatan tidak melebihi himmerfarb C. dkk,
16
4mg/menit (Evaria, 2018) 2014) asam urat sehingga
meminimalisir efek
Amlodipin Merupakan penghambat Amlodipin memiliki efek samping
1x10 mg (iv) saluran kalsium yang samping berupa edema peningkatan asam
melebarkan (memperlebar) periferal (Evaria, 2018) urat akibat
pembuluh darah dan penggunaan diuretik
meningkatkan aliran darah Furosemide memiliki (Rayner dkk., 2006)
dan digunakan untuk efek samping
mengobati nyeri dada meningkatkan kadar Monitoring:
(angina) dan kondisi lain asam urat (Gunawan Tekanan darah selama
yang disebabkan oleh S.G, 2016) 4-6minggu, udem, dan
penyakit arteri koroner. kadar asam urat
(Evaria, 2018)

Dosis dari amlodipin yaitu


5 mg perhari dengan
maksimal dosis 10 mg
perhari. (Lacy dkk, 2009)

17
Clonidin Merupakan obat
2x0,15 mg antiadrenergik kerja
(po) sentral dengan meaknisme
kerja menurunkan aktifitas
saraf simpatis (Lacy dkk,
2009)

Dosis awal clonidin yaitu


3x50-100 µg (Evaria,
2018)
Hiperurisemia Hari ke-2 : Allopurinol Allopurinol digunakan Allopurinol berinteraksi Plan:
Obyektif : 3x500 mg untuk menurunkan dengan furosemid yang  Dosis diturunkan
Asam urat 8,8 (po) konsentrasi serum dan dapat meningkatkan 100 mg tiap 2 hari
mg/dL asam urat urin dalam toksisitas allupurinol. sekali
pengelolaan gout primer Dosis terlalu tinggi  Terapi
dan sekunder. karena nilai GFR <15 metilprednisolone
Dosis allupurinol yaitu (Lacy dkk, 2009) dihentikan
200-300mg perhari dengan
dosis maksimal 800 mg
18
perhari (Lacy dkk, 2009). Monitoring:
Kadar asam urat
Metilprednis- Merupakan salah satu jenis Metilprednisolon (Dennison dkk., 2014)
olon obat kortikosteroid yang memiliki efek samping
1x6,25 mg bisa mengurangi reaksi meningkatkan gula darah
(iv) peradangan seperti ruam, (glucose intolerance) dan
nyeri atau pembengkakan menyebabkan edema
dan menekan sistem (Lacy dkk, 2009)
kekebalan tubuh (Lacy
dkk, 2009).
Diabetes Objektif Glibenklamid Merupakan obat golongan Metformin dapat Plan:
Melitus -hari ke 1 1x5 mg (po) sulfonil urea yang menyebabkan asidosis  Metformin dan
GDA : 262 memiliki efek utama metabolik glibenklamid
mg/dL meningkatkan sekresi dihentikan
G2JPP : 209 insulin sel beta pankreas. Dihentikan ketika nilai  Novorapid diganti
mg/dL Dosisnya 2,5-20 mg EGFR<30 dengan insulin basal
GDP : 190 perhari dan dosis
mg/dL maksimalnya 20 mg Glibenklamid tidak

19
HA1C : 8,9% perhari. (Lacy dkk, 2009) direkomendasikan pada Monitoring:
pasien CKD stadium 5 Kadar gula darah dan
-hari ke 2 karena memiliki half-life HbA1C
GDA : 233 yang cukup lama untuk (ADA, 2018)
mg/dL diekskresikan melalui
ginjal sehingga
-hari ke 3 berpotensi mengalami
GDA : 245 hipoglikemia berat
mg/dL (Krepinsky, 2000)
Metformin merupakan obat golongan
3x500 mg biguanida yang memiliki Incorrect drug choice:
(iv) efek utama mengurangi Menurut ADA (2018),
produksi glukosa hati terapi awal (inisiasi) dan
(glukoniogenesis) dan lini utama DM
memperbaiki ambilan menggunakan insulin
glukosa di jaringan perifer. basal 10 IU/hari atau 0,1-
Dosisnya yaitu 500-3000 0,2 IU/kg/hari hingga
mg perhari (Soelistijo dkk, didapatkan nilai HbA1C
2015) <8%
20
Novorapid Analog insulin manusia
3x8 IU sc (iv) yang bertindak cepat dan
biosintetik yang dibuat
menggunakan teknologi
DNA rekombinan dan
dimodifikasi secara
genetik. Novorapid
merupakan insulin aspart
yang digunakan untuk
mengendalikan
hiperglikemia dalam
penatalaksanaan diabetes
mellitus 1. (Lacy dkk,
2009)
CKD Subjektif : Furosemide Merupakan obat golongan Furosemide memiliki Plan:
-hari ke 1 2x40 mg (iv) loop diuretik yang efek samping  Furosemide tetap
Muntah (++) memiliki onset lebih cepat meningkatkan kadar dilanjutkan untuk
Gatal (+++) dan efek diuretiknya lebih asam urat mengurangi udema
Bentol merah kuat dibandingkan dengan
21
(+++) thiazid. Obat ini cepat peritonial
Udema sekali menguras tubuh dan
peritoneal (++) elektrolit. (Gunawan S.G Monitoring:
Udema kaki dkk, 2016) Udem peritoneal dan
(++) Dosis awal furosemid 20- udem kaki
Sesak nafas 40mg, dosis dapat Kadar asam urat
(+++) ditingkatkan 20mg setiap
interval 2 jam hingga efek
-Hari ke 2 tercapai. Pemberian iv
Muntah (+-) harus perlahan dengan
Gatal (++) kecepatan tidak melebihi
Bentol merah 4mg/menit (Evaria, 2018)
(++)
Udema CTM CTM dapat digunakan - Plan :
peritoneal (++) untuk meringankan gejala Terapi dilanjutkan,
Udema kaki alergi seperti demam, jika gatal menghilang
(++) urtikaria, alergi makanan, terapi dihentikan.
Sesak nafas reaksi obat dan gatal Montoring :
(++) terkait cacar air (Evaria, Gatal
22
2018) Retensi urin
-Hari ke 3
Muntah (+-) Metoklopra- Metoklopramid digunakan Tidak disarankan untuk Plan:
Gatal (+-) mid dalam berbagai gangguan pasien dengan udema, Diganti terapi
Bentol merah 3x10mg (iv) GI, terutama untuk hipertensi dan gangguan ondansentron
(++) pengelolaan gangguan ginjal (Risk C)
Udema motilitas GI yang (Lacy dkk, 2009)
peritoneal (++) bertujuan untuk
Udema kaki pencegahan mual dan
(+-) muntah yang diinduksi
Sesak nafas oleh kemoterapi kanker,
(++) dan untuk pencegahan
mual pasca operasi. (Lacy
Objektif dkk, 2009)
-hari ke 1
27x/menit
-hari ke 2
26x/menit
-hari ke 3
23
26x/menit

NS 500cc 12 Sebagai zat pembawa atau - Plan : terapi


tpm pelarut untuk obat-obat diteruskan
infus.
Sebagai pengganti cairan
yang hilang karena mual
dan muntah. (Evaria,
2018)

O2 2L/menit Terapi suportif untuk - Plan : terapi


membantu pernafasan diteruskan, dihentikan
(menurunkan sesak napas) ketika nilai saturasi
(Evaria, 2018) normal >95%

Monitoring : nilai
saturasi

24
Hiperkalemia Kadar K >3,5 - Novorapid 10 Merupakan terapi Plan:
5mg/dL IU + D40% kombinasi yang dapat Terapi dilanjutkan dan
50 ml menurunkan kadar kalium dihentikan ketika
dalam darah (Lacy dkk, kadar K dalam rentang
2009) normal

Monitoring:
Kadar K

25
BAB 4. PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien mengalami Chronic kidney diseases (CKD), udema
peritoneal dan hipertensi stage 2. CKD terjadi sebagai akibat dari riwayat
penyakit kronis yang terjadi pada pasien yaitu penyakit diabetes melitus.
Peningkatan glukosa pada pasien diabetes yang menahun (glukotoksisitas) dapat
menjadi faktor yang melandasi timbulnya nefropati yang berujung kerusakan
ginjal. Glukotoksisitas meningkatkan AGE’s (advance glycosilation end-
products) yang memicu kerusakan pada glomerulus ginjal dan gangguan
osmolaritas membran basal. Faktor penyakit klinis lain seperti hipertensi dan
hiperlipidemia memang tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati,
tetapi keduanya mempercepat progesivitas ke arah GGK. Pasien mengalami CKD
stadium V dengan ditunjukkan melalui gejala yang terjadi seperti gatal dan
kemerahan (pruiritis) dan mual muntah. Diagnosa CKD stadium V didukung
dengan memperhatikan data laboratorium pasien yang ditunjukkan dengan
penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar blood urea nitrogen (BUN) dan
serum kreatinin. Selain itu CKD stadium V juga ditunjukkan dengan turunnya
nilai Glomerulus Filtration Rate (GFR) dibawah 15 mL/min/1,73 m2(Wells dkk.,
2015). Pada pasien ini nilai GFR yaitu 7,9 mL/min/1,73 m2. Nilai eGFR
digunakan untuk menentukan klasifikasi kerusakan ginjal. Perhitungan nilai eGFR
menggunakan rumus dibawah ini:

eGFR pasien = 173 x (Scr)-1,154x (Usia)-0,203x (0,742 jika wanita)

= 7,9 mL/min/1,73

(Levey AS,dkk 1999)

Riwayat terapi pada pasien yaitu menggunakan glibenklamid dan


hidroklorotiazid. Terapi hidroklorotiazid pada pasien yang mengalami penyakit
kronis diabetes melitus dapat berefek pada meningkatnya kadar glukosa darah
dalam tubuh (hiperglikemia) (Departemen Kesehatan RI, 2005). Berdasarkan

25
etiologinya CKD dapat berasal dari diabetes melitus maupun hipertensi. Tujuan
terapi CKD pada dasarnya adalah untuk melakukan terapi pada penyakit dasar dan
mengatasi progresifitas dari kerusakan ginjal itu sendiri. Pasien juga mengalami
anemia yang biasa terjadi pada penyakit CKD. Kondisi anemia ini menurut
kelompok kami belum diterapi sebagaimana mestinya, bahkan tidak ada terapi
yang dilakukan untuk mengatasi anemia pada pasien. Terapi pemberian suplemen
Fe (besi) oral dapat ditambahkan dalam kasus ini guna menaikkan kadar
hemoglobin pasien. Kadar kalsium dalam tubuh pasien juga mengalami
penurunan sehingga perlu ditambahkan analog vitamin D guna menaikkan kadar
kalsium hingga normal. Berdasarkan progresifitas keadaan pasien kadar glukosa
darah dalam tubuh tidak mengalami perubahan signifikan atau masih dalam
keadaan tidak normal meskipun telah di terapi dengan menggunakan metformin,
glibenklamid dan dengan penambahan insulin pada hari ke-2 dan ke-3. Terapi
metformin dan glibenklamid harus segera dihentikan karena kedua obat ini
dikontraindikasikan untuk pasien yang mengalami CKD. Pada kasus ini pasien
pada hari ketiga hanya diberikan monoterapi berupa insulin onset cepat
(novorapid). Terapi novorapid menurut kelompok kami kurang tepat karena
novorapid biasa digunakan untuk terapi diabetes melitus tipe 1. Rekomendasi
yang kami berikan untuk mengatasi diabetes melitus tipe 2 dapat digunakan
insulin basal.
Diagnosa penyakit selanjutnya yaitu pasien mengalami hipertensi stage 2
yang ditunjukkan dengan nilai tekanan darah 170/90 (Wells dkk., 2015). Terapi
hipertensi yang diberikan yaitu dengan menggunakan clonidin. Terapi obat
clonidin menurut kelompok kami dianggap kurang tepat. Hal ini disebabkan
karena obat tidak efektif untuk pasien CKD dengan DM. Terapi hipertensi yang
disarankan yaitu dengan menggunakan obat golongan angiotensin reseptor
blocker (ARB) yang merupakan first line terapi CKD dengan DM (Wells dkk.,
2015). Obat yang digunakan atau disarankan untuk hipertensi yaitu losartan.
Pemberian losartan juga dapat menurunkan kadar asam urat pada pasien. Pasien
ini juga mengalami udema peritoneal yang ditunjukkan dengan adanya udem
peritoneal dan udem kaki. Pemberian furosemid untuk udem dapat meningkatkan

26
kadar asam urat dalam tubuh. Perencanaan yang dilakukan menurut kelompok
kami adalah penggunaan terapi furosemid tetap dilanjutkan. Peningkatan asam
urat yang disebabkan oleh furosemid ini diminimalisir dengan pemberian
allupurinol. Pemberian allupurinol pada kasus ini memiliki dosis yang terlalu
tinggi karena terapi allupurinol dengan nilai GFR < 30 sebaiknya dengan
menggunakan dosis 100 mg tiap 2 hari sekali.
Pasien pada hari ketiga masih mengalami muntah meskipun sudah mulai
turun. Pemberian terapi metoklopramid pada pasien yang mengalami udema,
hipertensi dan gangguan ginjal tidak disarankan. Perencanaam yang dilakukan
menurut kelompok kami adalah dengan ondansentron sebagai pengganti. Pada
keadaan muntah pasien mengalami kekurangan cairan sehingga terapi infus
normal salin tetap dilanjutkan, selain itu pemberian infu NS digunakan sebagai
pembawa administrasi obat secara intravena (IV). Pasien pada hari ketiga masih
mengalami sesak nafas (++). Menurut kelompok kami kejadian ini di karenakan
efek dari penyakit CKD dengan udema. Terapi O2 tetap di lanjutkan untuk
menjaga keadaan pasien agar tetap stabil. Pada pasien yang mengalami CKD
Stage V perlu dilakukan tindakan lanjutan atau transplantasi ginjal dan dialysis.

27
DAFTAR PUSTAKA

ADA (American Diabetic Asssociations). 2018. Diabetes Care: Standars of


Medical Care in Diabetes. Suplement 1.

Bethesda.”Kidney Disease of Diabetes” Available at:


http://www.kidney.niddk.nih. gov/kudiseases /pubs /kdd/index.htm.
Accessed; september 05, 2019.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical care untuk penyakit diabetes


mellitus.

Dennison-himmerfarb C., H. J. (2014). Evidance Based Guideline for the


Management of High Blood Pressure in Adult Report from the Panel
Memebrs Appointed to the Eight Joint National Comitte (JNC8). 1-14.

Evaria, P. A. (2018). MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 18. Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer.

Hendromartono. (Juni 2006), Nefropati Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi IV Jilid III, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI, Jakarta, Hal. 1920-1923

Ignatavicius, & Walkman, M.L. (2006). Medical surgical nursing: Critical


thinking for collaborative care, (5th ed). St. Louis: Missouri.

KDIGO. 2017. Kdigo 2017 clinical practice guideline update for the diagnosis ,
evaluation , prevention , and treatment of chronic kidney disease –
mineral and bone disorder ( ckd-mbd ) treatment of chronic kidney
disease – mineral and. 7(1)

Keane WF, Eknoyan G. Proteinuria, albuminuria, risk, assessment, detection,


elimination (PARADE): a position paper for the National Kidney
Foundation. Am J Kidney Dis. 1999;33:1004-1010.

Kementerian Kesehatan RI. 2017. InfoDATIN. Jakarta Selatan: Kementerian


Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2013.Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS.


Jakarta:BalitbangKemenkes RI

Krepinsky, J., Ingram, A. J., & Clase, C. M. (2000). Prolonged sulfonylurea-


induced hypoglycemia in diabetic patients with end-stage renal
disease. American journal of kidney diseases, 35(3), 500-505.

28
Levey AS, Bosch JP, Greene T, Rogers N, R. D. 1999. Amore accurate method to
estimate glomerular filtration rate from serum creatinine: a new
prediction equation. Modification of Diet in Renal Disease Study Grup

Rayner, B. L., Trinder, Y. A., Baines, D., Isaacs, S., & Opie, L. H. (2006). Effect
of losartan versus candesartan on uric acid, renal function, and
fibrinogen in patients with hypertension and hyperuricemia associated
with diuretics. American journal of hypertension, 19(2), 208-213.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002,Buku Ajar Keperawatan
MedikalBedah Brunner dan Suddarth(Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh
AgungWaluyo...(dkk), EGC, Jakarta.
Soelistijo SA, N. H. (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB perkeni.
Wells, B. G., J. T. Dipiro, T. L. Schwinghammer, dan C. V DiPiro. 2015.
Pharmacotherapy handbook. Edisi 9. New York: McGraw-Hill.

29

Anda mungkin juga menyukai