Anda di halaman 1dari 8

DIAGNOSA DAN TATALAKSANA ULKUS PEPTIKUM DAN INFEKSI H.

PYLORI

Dispepsia merupakan kumpulan gejala dari nyeri perut, nyeri epigastrium, rasa tidak nyaman atau
rasa terbakar pada perut bagian kiri atas. Salah satu penyebab dari dispepsia adalah ulkus peptikum
yang terdiri dari ulkus gaster dan ulkus duodenum. Walaupun penyebab ulkus peptikum
kebanyakan disebabkan oleh Helicobacter pylori (H. pylori), namun penggunaan obat NSAID dan
penyebab lain perlu dipertimbangkan.

Tabel 1. Differential Diagnosis of Peptic Ulcer Disease

PATOFISIOLOGI

H. pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk heliks batang yang berkolonisasi di bagian
mukosa gaster. H. pylori ditemukan pada 95% pasien dengan ulkus duodenum dan 70% pada
pasien dengan ulkus gaster. Bakteri ini ditularkan dengan cara fekal-oral. Infeksi bakteri ini
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya adenokarsinoma gaster dan limfoma MALT.

A. DIAGNOSA

Perkumpulan gastrologi Amerika merekomendasikan pemeriksaan H. pylori pada pasien yang


sedang atau pernah menderita ulkus peptikum, pasien dengan gejala dispepsia, dan limfoma
MALT. Strategi pemeriksaan dan penanganan untuk mendeteksi H. pylori direkomendasikan
kepada pasien dengan usia di bawah 55 tahun yang menderita dispepsia tanpa memiliki gejala khas
kanker gaster seperti berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, disfagia, odinofagia, muntah
berulang, riwayat kanker gastrointestinal pada keluarga, perdarahan gastrointestinal, massa
abdomen, anemia defisiensi besi, atau penyakit kuning. Endoskopi direkomendasikan kepada
pasien dengan umur ≥ 55 tahun atau yang memiliki gejala khas.

UREA BREATH TEST

Urea Breath Test (UBT) atau uji napas urea memiliki sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100%.
Tes ini dapat dilakukan setelah selesai pengobatan eradikasi bakteri H. pylori selama 4-6 minggu.
Penggunaan proton pump inhibitor (PPI) harus dihentikan 2 minggu sebelum uji dilakukan.
Kerugian dari pemeriksaan ini adalah biaya yang mahal serta cara tes yang kurang nyaman bagi
pasien.

STOOL MONOCLONAL ANTI TEST

Tes ini lebih murah dan membutuhkan peralatan yang lebih sedikit dibandingkan dengan UBT.
Sama seperti UBT, tes ini hanya dapat mendeteksi infeksi akut dan dapat digunakan sebagai tes
paska terapi. Penggunaan PPI juga harus dihentikan selama 2 minggu sebelum tes dilakukan.

TES SEROLOGI

Serologi antibodi yang mendeteksi IgG spesifik H. pylori tidak dapat membedakan antara infeksi
akut dan infeksi terdahulu. Tes ini memiliki kelebihan karena dapat digunakan pada pasien dengan
ketergantungan PPI karena tes ini tidak dipengaruhi penggunaan PPI maupun antibiotik.

BIOPSI ENDOSKOPI

Biopsi dengan endoskopi direkomendasikan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kanker


dan penyulit lainnya pada pasien diatas 55 tahun atau pasien yang memiliki minimal 1 dari gejala
khas kanker.
Tabel 2. Accuracy of Diagnostic Tests for Helicobacter pylori Infection

B. TATALAKSANA

Eradikasi H. pylori direkomendasikan pada semua pasien dengan ulkus peptikum. Eradikasi
diketahui dapat menyembuhkan pada hampir sebagian kasus ulkus duodenal dan menurunkan
faktor resiko terjadinya perdarahan berulang. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa
tatalaksana infeksi H. pylori lebih efektif dibandingkan dengan terapi non antisekretorik dalam
pencegahan perdarahan berulang pada ulkus peptikum. Bila terapi digunakan selama 14 hari maka
dapat meningkatkan angka eradikasi kuman.

TEST OF CURE

Test of cure atau tes paska terapi merupakan pemeriksaan yang tidak memiliki efektifitas dalam
hal biaya maupun pelaksanaan. Indikasi penggunaan tes ini adalah untuk ulkus dengan infeksi H.
pylori, sindrom dispepsia berulang, kanker gaster, dan limfoma MALT. Tes ini dilakukan 4
minggu setelah terapi selesai diberikan.
STANDART TRIPLE THERAPY

Terapi ini menggunakan triple regimen obat yang terdiri dari PPI, amoksisilin 1 gram, dan
klaritromisin 500 mg yang dikonsumsi 2 kali sehari selama 7-10 hari maksimal 14 hari. Terapi ini
merupakan lini pertama untuk mengeradikasi H. pylori. Namun karena banyak terjadi resistensi
klaritromisin, maka digunakan terapi alternatif dengan mengganti amoksisilin dengan
metronidazol 500 mg dengan durasi terapi selama 10-14 hari.

SEQUENTIAL THERAPY

Terapi ini terdiri dari PPI dan amoksisilin 1 gram yang dikonsumsi 2 kali sehari untuk 5 hari
pertama. Pada 5 hari selanjutnya digunakan PPI, klaritromisin 500 mg, dan metronidazole 500 mg
atau tinidazol 300 mg. Pada penelitian terbaru, terapi tipe ini lebih bagus dibandingkan dengan
terapi triple selama 7 hari.

NON-BISMUTH-BASED QUADRUPLE THERAPY

Terapi ini menambahkan metronidazole 500 mg atau tinidazol 300 mg 2 kali sehari pada terapi
standar triple. Terapi ini mungkin lebih efektif dan mudah diterapkan dibandingkan dengan terapi
sequensial pada pasien yang resisten terhadap klaritromisin dan metronidazol.

BISMUTH-BASED QUADRUPLE THERAPY

Terapi ini merupakan terapi lama dari terapi quadruple karena pengobatan meliputi penggunaan
bismuth salt (subsalisilat 525 mg atau subsitrat potassium 420 mg), metronidazol 250 mg, dan
tetrasiklin 375-500 mg yang kesemuanya dikonsumsi 4 kali sehari sebagai tambahan PPI yang
dikonsumsi 2 kali sehari. Regimen terapi ini diberikan selama 10-14 hari. Terapi ini biasanya
digunakan sebagai terapi alternatif bila terapi lini pertama gagal, atau dapat digunakan sebagai
terapi lini pertama pada daerah dengan resistensi yang tinggi dan ekonomi yang rendah.
LEVOFLOXACIN-BASED TRIPLE THERAPY

Regimen yang digunakan dalam terapi ini adalah PPI dan amoksisilin 1 gram 2 kali sehari dan
levofloksasin 500 mg 1 kali sehari selama 10 hari. Terapi ini direkomendasikan sebagai terapi lini
kedua dan memiliki tingkat toleransi yang lebih baik dibandingkan dengan terapi bismuth
quadruple.

Tabel 3. Treatment Regiments for Helicobacter pylori Infection

C. PENCEGAHAN

Faktor resiko pada penggunaan NSAID dalam menimbulkan toksisitas gastrointestinal meliputi
pasien dengan usia tua, penggunaan NSAID yang lama, penggunaan aspirin, antikoagulan,
kortikosteroid, dan riwayat ulkus. Terapi selain NSAID dan PPI yang ditujukan untuk melindungi
mukosa adalah analog prostaglandin misoprostol (Cytotec), antagonis reseptor histamine H2, dan
inhibitor COX-2. Pada penelitian terbaru terhadap efektifitas obat-obatan ini dibandingkan dengan
placebo merekomendasikan penggunaan COX-2 inhibitor dengan PPI pada pasien dengan resiko
tinggi untuk perlindungan gastrointestinal yang maksimal.
Asosiasi gastroenterologi Amerika dan Kanada membuat petunjuk berdasarkan bukti penelitian
ilmiah mengenai penggunaan NSAID pada pasien dengan ulkus yang memiliki faktor resiko
penyakit kardiovaskular atau yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular. NSAID dapat
digunakan pada pasien yang memiliki resiko rendah terjadinya komplikasi gastrointestinal,
sedangkan penggunaan terapi PPI atau misoprostol direkomendasikan untuk pasien dengan faktor
resiko gastrointestinal. Pasien yang memiliki resiko rendah kardiovaskular dapat menggunakan
NSAID atau COX-2 inhibitor. Untuk pasien dengan resiko tinggi kardiovaskular dapat
menggunakan naproxen.

NSAID DAN H. PYLORI

Ulkus peptikum sering terjadi pada pasien yang menggunakan NSAID dan mengidap infeksi H.
pylori dibandingkan dengan pasien tanpa infeksi H. pylori. Perdarahan juga sering terjadi pada
pasien NSAID dengan H. pylori positif. Penelitian mengungkapkan penggunaan berkelanjutan PPI
lebih efektif untuk pencegahan ulkus yang berkaitan dengan NSAID dibandingkan dengan terapi
yang hanya bertujuan untuk eradikasi H. pylori. Rekomendasi juga diberikan untuk pasien dengan
penggunaan NSAID yang lama untuk dilakukan deteksi infeksi H. pylori sehingga dapat segera
diberikan terapi eradikasi bila hasil positif.

Tabel 4. Recommendations for Prevention of NSAID-Related Ulcer Complications


D. KEADAAN KHUSUS PADA ULKUS PEPTIKUM

LANSIA
Lansia memiliki faktor resiko yang lebih tinggi dalam menderita ulkus peptikum. Hal ini berkaitan
dengan penggunaan obat seperti antiplatelet, warfarin, dan bisfosfonat. Dibandingkan dengan
pasien yang lebih muda, lansia lebih jarang merasakan nyeri perut akibat ulkus. Faktor resiko
terjadinya ullkus pada lansia adalah penggunaan NSAID, riwayat ulkus sebelumnya, penggunaan
antiplatelet, antikoagulan, merokok, dan konsumsi alkohol. Pilihan terapi dalam kasus ini adalah
mengurangi sampai menghentikan penggunaan NSAID, mengganti dengan COX-2 inhibitor, atau
mulai menggunakan PPI atau misoprostol. Setelah dilakukan terapi eradikasi H. pylori, lansia yang
menggunakan NSAID masih membutuhkan penggunaan PPI yang berkelanjutan. Akan tetapi
penggunaan PPI dalam jangka lama dapat meningkatkan resiko diare akibat Clostridium difficile,
CAP, interstisial nefritis, osteoporosis, dan malabsorbsi vitamin dan mineral tertentu.

ANAK-ANAK
Ulkus peptikum pada anak-anak jarang terjadi. Nyeri abdomen yang berulang tidak berhubungan
dengan infeksi H. pylori dan terdapat bukti yang berlawanan mengenai hubungan antara nyeri
epigastrium dan infeksi H. pylori. Sebuah studi mengungkapkan bahwa rasa mual, muntah dan
diare berhubungan dengan H. pylori namun nyeri abdomen dan rasa terbakar tidak. Internasional
panel membuat petunjuk berdasarkan bukti ilmiah berisi rekomendasi untuk infeksi H. pylori yang
terjadi pada anak-anak dan remaja.
Tabel 5. Recommendation for Helicobacter pylori Infection in Children

E. KOMPLIKASI
Komplikasi dari ulkus peptikum, apapun penyebabnya, adalah perdarahan, perforasi dan obstruksi
gaster. Perdarahan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Endoskopi
direkomendasikan sebagai standar penunjang bagi pasien dengan perdarahan gastrointestinal.
Perforasi dapat menjadi peritonitis. Ulkus yang mengalami perforasi dapat mempengaruhi organ
didekatnya seperti hati atau pankreas dan enzim amilase, lipase dan transaminase hepar dapat juga
dipengaruhi. Duodenum dapat mengalami penyempitan oleh karena inflamasi yang berkelanjutan
dan luka dari ulkus sehingga mengakibatkan obstruksi gaster. Pasien biasanya memiliki gejela
muntah hebat dan hematemesis. Obstruksi gaster jarang terjadi sehingga dokter harus memikirkan
kemungkinan adanya keganasan pada pasien. H. pylori dapat meningkatkan resiko terjadinya
keganasan. Hal ini dapat terjadi pada pasien yang memiliki infeksi H. pylori yang kronis dimana
terjadi transformasi dari sel. Inflamasi yang kronik juga dapat mengakibatkan respon imun yang
berlebihan yang berperan dalam proses karsinogenesis.

Anda mungkin juga menyukai