Anda di halaman 1dari 13

Pengaruh Anestesi pada Sistem Kekebalan Tubuh Individu dengan

Kanker Kolorektal
Yangjie Dang, Xingxing Shi, William Xu, dan Mingzhang Zuo

Kanker kolorektal (colorectal cancer/CRC) merupakan salah satu jenis kanker


dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tertinggi di seluruh dunia. Prosedur eksisi
operatif merupakan salah satu prosedur yang paling efektif dalam tatalaksana CRC.
Namun, stres yang disebabkan oleh respons operasi dapat menurunkan derajat kekebalan
tubuh dan meningkatkan kemungkinan terjadinya penyebaran kanker serta metastasis.
Anestesi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengontrol respons stres, dan
sejumlah penelitian menunjukkan bahwa anestesi dan intervensi medikamentosa terkait
dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi sistem kekebalan kanker
kolorektal pasien selama periode perioperatif. Hal ini mendukung hipotesis bahwa
intervensi medikamentosa dapat mempengaruhi prognosis pasien yang menjalani
prosedur operasi CRC. Artikel tinjauan ini disusun untuk merangkum data yang tersedia
saat ini mengenai efek anestesi dan obat terkait pada fungsi kekebalan perioperatif dan
derajat rekurensi pasca operasi serta metastasis pada pasien CRC. Menentukan agen
anestesi yang untuk pasien CRC dan menyesuaikan dengan kebutuhan pasien secara
khusus merupakan salah satu aspek penting dalam tatalaksana CRC.

1. Pendahuluan
Kanker kolorektal (CRC) menempati peringkat ketiga penyebab kematian akibat
kanker di seluruh dunia, terhitung sekitar 135.430 kasus baru dan 50.260 kematian di
Amerika Serikat 2017. Patogenesis CRC melibatkan banyak aspek dan agen yang
mempengaruhi proses karsinogenesisnya, salah satunya adalah interaksi mikrobioma
epitel usus besar seperti Enterococcus faecalis.
Anestesi dan medikamentosa terkait dapat secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi sistem kekebalan pasien selama periode perioperatif, serta
mempengaruhi luaran regimen tatalaksana dan prognosis CRC individu oleh karena
prosedur operatif hingga saat ini masih merupakan metode tatalaksana CRC yang paling
efektif. The 2009 European Society of Anesthesiology (ESA) mengemukakan konsep baru
“teknologi anestesi antikanker" yang bertujuan untuk mengidentifikasi metode anestesi
yang paling sesuai untuk masing-masing pasien kanker yang akan menjalani prosedur
operatif. Evaluasi efek berbagai metode anestesi dan medikamentosa terkait sistem
kekebalan pasien CRC penting untuk diteliti lebih lanjut oleh karena dapat berkontribusi
terhadap peningkatan derajat kelangsungan hidup serta prognosis pasien CRC.

2. Kanker Kolorektal dan Konsep Dasar Imunologis


Pembentukan tumor membutuhkan asupan nutrisi yang umumnya diambil dari
lingkungan mikro sekitarnya. Tumor kemudian berkembang dan menginfiltrasi jaringan
dan organ sekitarnya. Lingkungan mikro tumor mencakup sejumlah besar sel, antara lain
sel-sel yang berperan dalam sistem imun, sel endotel, dan sel interstisial, seluruhnya
terlibat dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tumor. Penelitian menunjukkan
bahwa infiltrasi imunologis CRC dapat secara klinis terkait dengan sel-sel tersebut.
Respon imun bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi proses
perkembangan tumor, namun juga memainkan peran beragam seperti memicu inisiasi,
pertumbuhan, perkembangan, dan proses lainnya pada tumor. Sistem kekebalan tubuh
mengatur dan meningkatkan kemampuan pemrograman kanker, proses yang dikenal
sebagai "immunoediting." Tiga fase dalam proses ini meliputi: eliminasi, keseimbangan,
dan pelepasan sel.
Evidensi eksperimental menunjukkan bahwa inflamasi dapat mendorong proses
manifestasi awal dan perkembangan tumor, oleh karena itu respon inflamasi imun pada
karsinogenesis usus besar masih membutuhkan sejumlah penelitian lebih lanjut. Sejumlah
data klinis menunjukkan respons imun dapat berkontribusi dalam inhibisi tumor. Namun,
peneliti lain berpendapat bahwa respons imun justru berkotribusi dalam pertumbuhan dan
perkembangan tumor.

2.1. Sel Imun pada Kanker Kolorektal.


Berbagai jenis sel memainkan peran yang berbeda dalam proses kanker: beberapa jenis
sel mempengaruhi patogenesisnya sementara jenis sel lainnya berkontribusi terhadap
rekurensinya.
Makrofag pada CRC akan memiliki bentuk infiltrat. Dikenal sebagai makrofag pemicu
tumor, sel makrofag berperan penting dalam proses infiltrasi tumor ke jaringan. Makrofag
merupakan derivat sel mononuklear darah tepi. Berdasarkan berbagai fungsi dan
karakteristik yang ditemukan pada makrofag pemicu tumor, sel-sel ini dapat dibagi
menjadi dua subtipe yang berbeda: M1 dan M2. Sejumlah sitokin, seperti LPS dan TNF-
𝛂, memicu konversi makrofag teraktivasi ke tipe M1. Tipe lainnya kemudian
diklasifikasikan sebagai M2. M1 terlibat dalam respon kekebalan tipe TH1 yang dapat
membunuh patogen asing dan endogen sel tumor. Glukokortikoid dan IL-10 menginduksi
pembentukan makrofag yang dapat menginfiltrasi tumor menjadi M2, yang terutama
menyebabkan respons imun tipe-TH2 dan meningkatkan risiko terjadinya manifestasi dan
perkembangan tumor. Kedua tipe tersebut terlibat dalam respon imun kanker usus besar
dan dapat berubah menjadi tipe lainnya dalam keadaan tertentu.
Singkatnya, baik M1 dan M2 berpartisipasi dalam manifestasi dan luaran tumor,
dan konversi antara keduanya menentukan hasil dan prognosis tumor. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa infiltrasi makrofag pada CRC cenderung memberikan
prognosis yang lebih baik, karena infiltrasi infiltrasi makrofag dapat merupakan sarana
penting perlawanan sistem imun terhadap kanker melalui mekanisme regulasi endogen.
Sel NK. Sel natural killer (NK) merupakan jenis sel imun yang menjaga fungsi pertahanan
tubuh. Sel NK terlibat dalam proses regulasi kekebalan antitumor dan infeksi antivirus.
Baik penelitian yang menggunakan subjek hewan tikus maupun manusia menunjukkan
bahwa sel NK berkontribusi dalam mencegah tumor dan mengendalikan efek
pertumbuhan dan penyebaran tumor. Pada CRC, ditemukan infiltrasi ekstensif sel NK
dalam berbagai tumor yang dapat berkontribusi terhadap perbaikan prognosis. Penelitian
ini menunjukkan bahwa NK sel memainkan peran yang menguntungkan dalam
pengendalian tumor, namun hingga saat ini mekanisme kerja spesifiknya masih belum
jelas. Oleh karena itu, sebagai sel efektor penting dalam imunitas bawaan, sel NK
memiliki fungsi antitumor yang signifikan dan memiliki potensi aplikasi positif serta
signifikansi klinis pada imunoterapi tumor.
Sel T-Regulator (Treg). Treg, sel-T regulator CD25 +, tidak hanya dapat mencegah
gangguan autoimun pada manusia, namun juga berperan dalam perlindungan tubuh dari
infeksi mikroba dan melindungi janin. Sejumlah penelitian menunjukkan indikasi bahwa
Treg bberperan dalam pencegahan gangguan autoimun pada manusia. Treg dapat
mengontrol respon imun yang berlebihan, namun di sisi lain kontrol tersebut juga dapat
melemahkan efektivitas sistem kekebalan tubuh dalam mengeliminasi agen eksternal
yang merugikan bagi individu. Aplikasi langsung Tregs dalam tatalaksana gangguan
autoimun dapat dilakukan dengan meningkatkan aktivitas sel-sel tersebut. Selain itu,
mengurangi jumlah Treg juga dapat mengurangi respons imun terkait tumor; terdapat
evidensi bahwa sel-sel yang berperan dalam sistem imun terus memantau kelainan
molekuler yang terjadi ketika sel bermanifestasi menjadi kanker. Treg memiliki
karakteristik inhibisi aktivitas pemantauan ini dan mungkin membantu perkembangan
awal serta pertumbuhan tumor ganas dalam batas tertentu. Penelitiian ini juga menjadi
dasar ditemukannya respon imun terkait sel T yang terdeteksi pada pasien tumor.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sel-T berkembang pada jaringan tumor pasien
yang tidak mengalami imunosupresi atau hanya mengalami imunosupresi derajat ringan
hingga moderat. Hal ini dianggap sebagai penanda prognostik yang baik. Oleh karena itu,
memodulasi respon imun tumor pasien dapat menjadi tatalaksana pilihan untuk
meningkatkan prognosis pasien, namun penelitian lebih lanjut dengan skala yang lebih
besar perlu dilakukan sebelum aplikasinya dalam pengaturan klinis.

2.2. Sistem Kekebalan Tubuh dan Kanker Kolorektal.


Respons imun bawaan merupakan pertahanan imun non-spesifik yang sudah dimiliki
setiap individu sejak lahir. Respons imun yang melekat ini memiliki berbagai efek,
termasuk kecepatan, efisiensi, dan stabilitas. Imunitas bawaan memberikan penolakan
non selektif untuk masuknya benda asing ke dalam tubuh antigen, sebagai salah satu
karakteristik fungsi pelindung. Imunitas bawaan diaktifkan melalui pengenalan terkait
patogen pola molekuler (PAMPs) oleh reseptor pengenalan pola (PRRs) yang, pada
gilirannya, menghasilkan serangkaian sitokin seperti interleukin (ILs) dan faktor nekrosis
tumor (TNF). Respons imun bawaan yang diprakarsai oleh PRR penting dalam
membentuk lingkungan mikro imun tumor serta tumorigenesis. PRR banyak
diekspresikan dalam berbagai sel imun bawaan inang, seperti sel dendritik dan sel NK
makrofag mononuklear. Toll-like receptor (TLR) sebagai salah satu PRR terlibat dalam
tumorigenesis melalui induksi peradangan yang disebabkan oleh PAMP. Inflammasom
dibentuk oleh keterlibatan Nod-like reseptor (NLR) yang juga telah mendapat banyak
perhatian baru-baru ini, karena terbukti berperan mengatur respon imun dan dengan
demikian menghambat tumorigenesis.
Rakof-Nahoum dkk. mempelajari kerentanan terinduksi sodium dekstran sulfat
terhadap kolitis dan receptor-interacting protein 2 (RIP2) pada TLR4, TLR2, dan myeloid
diferentiation factor (MyD88) tikus knockout pada tahun 2004 bila dibandingkan dengan
tikus tipe liar (WT). MyD88 adalah penaut kunci molekul dalam jalur pensinyalan TLR
dan memainkan peran penting dalam proses transmisi informasi hulu dan perkembangan
penyakit. Oleh karena itu, MyD88 ini merupakan salah satu mediator terpenting dari
banyak reaksi kaskade molekuler.
Selain itu, interleukin-17 (IL-17) merupakan promotor awal respons inflamasi
yang diinduksi sel-T tanggapan dan dapat memperkuat respons peradangan dengan
mempromosikan pelepasan sitokin proinfamasi. Efek utama sel T-helper penghasil
interleukin-17 (sel T17) adalah IL-17. Sel T17 mampu mensekresi IL-6 dan tumor
necrosis factor-𝛂 (TNF-𝛂), antara lain. Penelitian lainnya mengemukakan bahwa IL-17
berperan dalam inisiasi tumor pada tikus knockout IL-17.
Saat ini, prosedur operatif masih merupakan terapi definitif dalam penanganan
CRC. Oleh karena itu, manajemen anestesi memainkan peran penting dalam prognosis
pengobatan CRC pada periode perioperatif.

3. Pengaruh Anestesi pada Sistem Kekebalan Tubuh Penderita Kanker Kolorektal


Sistem kekebalan tubuh terutama mencakup dua subsistem: imunitas spesifik dan
non-spesifik. Efek anestesi pada imunisasi pasien kanker kolorektal terutama mencakup
sejumlah aspek berikut ini. (1) Anestesi mempengaruhi jumlah dan aktivitas sel imun:
saat ini, efek dari anestesi pada imunitas telah dipelajari pada sel NK, limfosit-B, limfosit-
T, makrofag, leukosit, dan eritrosit. Sel-sel ini terlibat dalam imunitas spesifik maupun
non-spesifik. (2) Anestesi mempengaruhi sekresi sitokin. Faktor proinflamasi terutama
terdiri dari tumor necrosis factor-𝛂 (TNF-𝛂), IL-1, IL-6, dan IL-8. Faktor-faktor anti-
inflamasi terutama terdiri dari IL-10. Kadar interferon-7 (IFN-7), interferon (IFN), TNF-
�, dan larut reseptor interleukin-2 (sIL-2R) meningkat secara umum anestesi. (3)
Anestesi mempengaruhi perilaku biologis sel tumor. Proliferasi, migrasi, dan apoptosis
adalah karakteristik biologis penting dari sel tumor, yaitumterkait erat dengan
pertumbuhan tumor dan metastasis.

3.1. Pengaruh Berbagai Metode Anestesi Berbeda pada Sistem Imun Pasien Kanker
Kolorektal.
Sejumlah peneliti menemukan bahwa, bila dibandingkan dengan anestesi umum
sederhana, anestesi umum dikombinasikan dengan anestesi epidural atau anestesi spinal
dapat sederhana mengurangi derajat imunosupresi pasien. Penelitian mengenai efek
metode anestesi yang berbeda pada tingkat kelangsungan hidup jangka panjang pasien
setelah reseksi kanker usus besar mengemukakan aplikasi epidural dapat meningkatkan
tingkat kelangsungan hidup pasien tanpa metastasis sampai 1,46 tahun pasca operasi, tapi
tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut pada pasien dengan
tumor yang bermetastasis. Penelitian ini menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan
anestesi umum, anestesi epidural, blok paravertebral, dan jenis anestesi regional lainnya
dapat mengurangi inhibisi fungsi kekebalan dan memperbaiki prognosis pasien kanker.
Pembedahan dapat menyebabkan eksitasi medula adrenal simpatis dan sumbu
kortikal hipotalamus-hipofisis-adrenal berdasarkan respons stres oleh berbagai faktor
(nyeri, kehilangan darah, suhu rendah, dan faktor psikologis). Faktor-faktor yang
diproduksi dalam respons stres, seperti glukokortikoid, katekolamin, dan prostaglandin
E2 (PGE2), dapat memiliki efek merugikan pada fungsi kekebalan, menghasilkan inhibisi
fungsi kekebalan pada periode perioperatif. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
inhibisi fungsi kekebalan oleh stres responnya disebabkan oleh inhibisi fungsi sel
pembunuh alami (NK sel). Sel-sel ini adalah komponen nonspesifik kekebalan seluler.
Efek tumor tidak spesifik dan inhibisi sistem antigen histokompatibilitas utama (MHC)
memainkan peran penting dalam kekebalan antitumor. Efek respons stres pada metastasis
tumor dicapai dengan menghambat aktivitas Sel NK. Anestesi epidural dapat memblokir
jalur konduksi nyeri, jalur non-konduksi nyeri, dan serabut saraf simpatik dengan cara
memblokir akar saraf tulang belakang. Namun, obat opioid biasanya digunakan hanya
dalam anestesi umum dan memblokir jalur nyeri-konduksi, mendukung hipotesis bahwa
anestesi epidural dapat mempertahankan fungsi sel NK. Bila dibandingkan dengan
anestesi umum, anestesi epidural dapat mencegah transmisi iritasi nosiseptif ke saraf
pusat secara lebih baik dan mengurangi respons stres tubuh, yang memperbaiki prognosis
pasien dengan kanker.
Sel CD4 + T pertama kali berdiferensiasi menjadi sel T-helper 0 (TH0) dan
kemudian berdiferensiasi menjadi Sel TH1 atau TH2. Subkelompok TH1 atau TH2
mengeluarkan sejumlah sitokin yang berbeda: sel TH1 terutama mengeluarkan interferon-
1 (IFN-1), yang meningkatkan kekebalan seluler, sementara sel TH2 mensekresikan
interleukin-4 (IL-4) yang berhubungan dengan imunitas humoral. Sitokin ini juga
dapat meningkatkan perkembangannya sendiri dan menghambat perkembangan
subpopulasi lainnya. Proporsi IFN-a IL-4 in vivo menentukan rasio TH1/TH2 yang pada
gilirannya, menentukan respon imun in vivo yang dominan. Kekebalan seluler penting
dalam mengendalikan kekebalan respon tumor, dan dengan demikian reduksi rasio
TH1/TH2 harus dihindari untuk menjaga respons imun. Anestesi epidural, dibandingkan
dengan anestesi umum, mampu mempertahankan rasio TH1/TH2 dengan lebih baik dan
dengan demikian dapat menjaga fungsi kekebalan seluler dengan lebih baik. Mrakovcic-
Sutic menemukan bahwa, pada pasien kanker rektal pasca operasi analgesia, ada efek
inhibisi yang lebih rendah pada sel NK bila dibandingkan pada pasien dalam kelompok
analgesia intravena. Penelitian dengan subjek hewan menunjukkan bahwa anestesi
epidural dapat meningkatkan derajat kelangsungan hidup pasien kanker kolorektal setelah
operasi.
Jumlah limfosit, aktivitas sel NK, rasio TH1/TH2, dan metastasis tumor secara
signifikan lebih tinggi dari pada kelompok anestesi umum setelah anestesi spinal,
mengindikasikan bahwa anestesi regional spesifik dapat mempertahankan fungsi sel
imun. Oleh karena itu, anestesi umum yang digabungkan dengan anestesi epidural atau
anestesi spinal sederhana lebih baik daripada anestesi umum sederhana dalam
mengurangi inhibisi kekebalan terkait operasi dengan mengurangi respons stres.
Mekanisme perlindungan dari teknologi anestesi lokal tentang fungsi kekebalan hingga
saat ini belum jelas; namun, hingga saaat ini diperkirakan ada tiga kemungkinan
penyebabnya: (1) teknologi anestesi lokal, dengan pemblokiran neurotransmitter yang
masuk ke sistem saraf pusat, dapat secara signifikan mengurangi nyeri dan respons stres
akibat pembedahan; (2) penerapan teknologi anestesi lokal dapat mengurangi dosis
opioid; dan (3) gabungan anestesi umum dengan teknik anestesi lokal dapat mengurangi
penggunaan total obat anestesi umum. Kombinasi anestesi epidural-anestesi umum dapat
mengurangi jumlah analgesik, dan analgesia epidural berkelanjutan juga bisa mengurangi
penggunaan opioid pasca operasi, yang dapat menjadi faktor yang mempengaruhi reduksi
efek imunosupresif.
Sejumlah peneliti lainnya masih beranggapan bahwa anestesi lokal tidak dapat
melindungi fungsi kekebalan dan mengurangi kekambuhan tumor dan metastasis.
Gottschalk dkk. Menganalisis data 669 pasien kanker kolorektal yang menjalani proses
operasi radikal dan menemukan bahwa aplikasi analgesia epidural selama periode
perioperatif dan reduksi rekurensi pasca operasi tidak selalu terkait satu dengan lainnya.
Penelitian meta-analisis Conrick-Martin dkk mengemukakan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara anestesi umum dan anestesi spinal pada fungsi sel NK pasca operasi,
walaupun ukuran sampel penelitian klinis yang ada kecil, dan penelitian yang bersifat
retrospektif memiliki bias signifikan dan sejumlah kekurangan lainnya.
3.2. Efek Obat-obatan terkait Anestesi pada Sistem Imun Penderita Kanker Kolorektal
3.2.1. Anestesi Intravena. Anestesi intravena dapat mengurangi respon inflamasi
intraoperatif meskipun mempengaruhi fungsi sistem kekebalan pasien. Gangguan sistem
kekebalan atau inhibisi sistem imun selama periode perioperatif dapat menyebabkan
komplikasi pasca operasi, terutama pada pasien kanker.
Imunosupresi pascaoperatif juga dapat mempercepat penyebaran sel kanker sisa
dan memicu pembentukan kanker baru. Inada dkk. Mengemukakan bahwa propofol
menghasilkan efek antitumor dengan menghambat siklooksigenase-2 (COX-2) dan
prostaglandin E2 (PGE2). Propofol lebih unggul untuk anestesi inhalasi di imunoproteksi
pasca operasi. Propofol dapat meningkatkan aktivitas sel NK, menghambat COX-2,
mencegah pembentukan PGE2, dan melindungi fungsi sistem kekebalan, sehingga
memiliki efek biologis langsung pada tumor. Serangkaian percobaan kultur sel
menunjukkan bahwa propofol pada konsentrasi yang biasa digunakan tidak menghambat
proliferasi limfosit yang diinduksi phytohemagglutinin (PHA) dan tidak meningkatkan
apoptosis limfosit secara signifikan. Propofol menghambat sel-sel kekebalan hanya pada
dosis jauh di atas konsentrasi klinis. Ketamine, thiophanate, dan etomidate meningkatkan
kemungkinan retensi tumor dan metastasis karena aktivitas sel NK berkurang, sel T-
helper berkurang, dan meningkatkan viabilitas sel T penghambat . Ketamine menghambat
aktivitas sel NK karena aktivasi reseptor alfa dan beta adrenergik.
Benzodiazepin adalah salah satu obat penenang yang paling umum digunakan
pada pasien perawatan intensif. Midazolam bisa menghambat produksi IL-2 dan IL-8 dan
menghasilkan efek imunosupresi. Midazolam dapat menghambat aktivitas transkripsi
nuklir yang diinduksi lipopolisakarida faktor KB, aktivitas TNF-a, fosforilasi mitogen
kinase p38, dan pembentukan peroksida, yang dapat diblok oleh agonis benzodiazepine
perifer PKII 195. Midazolam dapat menghambat adhesi neutrofil dan menghambat
tingkat IL-8, sehingga mengurangi fungsi kekebalan. Pemberian diazepam yang cepat
akan menghasilkan respon proinfamasi dan meningkatkan fungsi neutrofil,namun
administrasi yang lambat dan berkelanjutan (60 hari atau lebih) akan menghambat fungsi
leukosit multinuklear dan pada akhirnya menhasilkan inhibisi respon imun. Hal ini
menunjukkan bahwa benzodiazepin memiliki efek inhibisi yang signifikan terhadap
imunitas bawaan, namun masih diperlukan lebih banyak penelitian mengenai penaruh
substansi ini terhadap sistem imun. Clonidine dan dexmedetomidine dapat secara
signifikan meningkatkan pertumbuhan sel tumor.
3.2.2. Anestesi Inhalasi. Anestesi inhalasi yang umum digunakan antara lain sevofurane,
halothane, isofurane, dan desfurane. Efek inhibisi anestesi inhalasi pada fungsi kekebalan
telah dikonfirmasi oleh banyak penelitian. Guptill dkk. menemukan bahwa anestesi
intravena dengan propofol dan remifentanil cenderung memiliki lebih sedikit
karakteristik imunosupresif dibandingkan anestesi inhalasi. Anestesi inhalasi memiliki
inhibisi sel kekebalan yang lebih besar bila dibandingkan anestesi intravena.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa halotan menghambat aktivitas sel NK
dengan bergantung pada dosis. Eksperimen in vitro menunjukkan bahwa peningkatan
konsentrasi halotan linier dengan pengurangan aktivitas sel NK yang signifikan. Dengan
peningkatan konsentrasi halotan, aktivitas sel NKberkurang secara signifikan dalam
percobaan in vitro. Penelitian lain melaporkan bahwa sevofurane dapat mereduksi
kemampuan invasif kanker kolorektal. Fleischmann dkk. melakukan studi lanjutan
dengan 204 pasien operasi kanker kolorektal dan menemukan bahwa penggunaan anestesi
nitrous oxide (N2O) tidak meningkatkan risiko kekambuhan kanker rektal pasca operasi.
3.2.3. Analgesik Opioid. Nyeri akut adalah penyebab utama dari aktivasi aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA axis), aktivasi yang dapat menyebabkan
imunosupresi, penurunan aktivitas sel NK, dan ketidakseimbangan sel T. Opioid
merupakan salah satu analgesik utama dalam anestesi, dan sejumlah penelitian
menemukan bahwa opioid dan tumor memiliki hubungan yang kompleks. Mekanisme
hingga saat ini belum diketahui dan cenderung kontradiktif hingga batas tertentu.
Opioid sendiri dapat secara langsung mempengaruhi proliferasi, apoptosis, dan
kelangsungan hidup sel normal dan sel tumor. Analgesik opioid memiliki efek inhibisi
sistem imun sel dan humoral. Dalam percobaan terisolasi, morfin, salah satu opioid yang
biasa digunakan sebagai analgesik intraoperatif,dapat menghambat pembentukan
peroksida dan ekspresi sitokin. Morfin juga dapat menghambat fungsi makrofag dan
aktivitas sel NK. Morfin mengatur invasi sel tumor selama proses adhesi, degradasi
matriks ekstraseluler, dan migrasi sel. Opioid dapat mengatur angiogenesis, memicu
proliferasi dan migrasi sel endotel, memicu angiogenesis, meningkatkan permeabilitas
vaskular, dan meningkatkan proliferasi sel tumor pada pembuluh darah.
Opioid lain yang biasa digunakan, fentanil, menunjukkan sitotoksisitas tergantung
dosis terhadap sel NK. Fentanil itu mampu menghambat aktivitas sel NK pada tikus. Efek
dosis fentanil yang berbeda terhadap fungsi sistem imun terlihat pada sejumlah penelitian.
Reduksi aktivitas sel NK berkurang pada pasien dengan fentanil dosis tinggi dan rendah
pada 24 jam pasca operasi. Namun, aktivitas sel NK pada kelompok dosis rendah kembali
ke tingkat pra operasi setelah 48 jam, sedangkan aktivitas sel NK pada kelompok dosis
tinggi tetap cenderung rendah, menunjukkan bahwa efek inhibisi fentanil pada sel NK
bergantung pada dosis dan durasi pascaoperasi. Namun, sejumlah penelitian lainnya
menunjukkan opioid dapat meningkatkan fungsi kekebalan dengan meningkatkan
aktivitas sel NK dan respons imun yang dimediasi sel-T.
Sufentanil adalah salah satu analgesik opioid kuat, namun masih belum jelas
apakah substansi ini secara negatif mempengaruhi fungsi kekebalan. Tramadol
merupakan golongan agonis reseptor opioid lemah yang memainkan peran penting dalam
analgesia multimodal klinis. Sufentanil menunjukkan efek perlindungan pada kekebalan
seluler dalam beberapa penelitian.
3.2.4. NSAID. Inflamasi akut dan kronis secara signifikan meningkatkan ekspresi
siklooksigenase (COX), menyebabkan peningkatan prostaglandin, nyeri, dan percepatan
metastasis tumor. NSAID memiliki efek antipiretik, analgesik, efek anti-inflamasi, dan
pada jaringan dengan menghambat aktivitas COX in vivo. NSAID dapat meningkatkan
fungsi kekebalan pasien dan menghambat rekurensi metastasis tumor. NSAID dapat
digunakan untuk mengurangi rasa sakit, mengurangi dosis opioid, dan menyeimbangkan
efek samping opioid pada pasien dengan operasi radikal neoplasma.
Model hewan menunjukkan bahwa inhibitor COX dapat mencegah pertumbuhan
tumor dan metastasis dengan menghambat apoptosis dan mengurangi faktor
angiogenetik. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa penggunaan inhibitor COX
berkelanjutan dapat menurunkan risiko kanker. Penggunaan celecoxib inhibitor COX
selektif setiap hari dapat mengurangi risiko kanker kolorektal sebesar 69%. NSAID juga
menghambat pelepasan bradikinin pada inflamasi, mengubah respon limfosit, dan
mengurangi migrasi dan fagositosis granulosit dan monosit untuk mengatur respon imun.
NSAID dapat menghambat imunosupresi yang disebabkan oleh trauma, nyeri, anestesi,
penggunaan opioid, pembedahan, dan seterusnya hingga tingkat yang berbeda-beda.
Inhibitor COX dapat digunakan untuk menghambat sintesis PG dan memperlambat
perkembangan tumor. Reduksi aktivitas inhibisi sel NK dan menjaga keseimbangan sel
T dapat memperbaiki efek imunosupresi yang disebabkan oleh stres bedah yang
disebabkan intervensi anestesi.
3.2.5. Reseptor Beta Blocker. Penggunaan beta-blocker dapat mengurangi risiko
metastasis tumor dengan menghambat pelepasan katekolamin dan aktivitas transduser
sinyal serta aktivator transkripsi-3 (STAT-3), menghasilkan reduksi inhibisi aktivitas sel
NK dan angiogenesis
3.2.6. Anestesi Lokal. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa anestesi lokal
memiliki efek antitumor dan cocok sebagai pilihan metode anestesi pada penderita
kanker. Martinsson menemukan bahwa dosis klinis ropivacaine dapat menghambat
proliferasi sel kanker usus besar dalam percobaan in vitro yang bergantung pada dosis.
Lucchinetti dkk. mengemukakan bahwa bupivacaine dapat menghambat proliferasi sel
induk mesenkimal dan memberikan efek negatif terhadap pembentukan tumor,
metastasis, dan diferensiasi sel.
3.3. Efek Intervensi Anestesi Lain
3.3.1. Monitoring Suhu. Sebagai respons stres, hipotermia mengaktifkan sistem simpatis
dan meningkatkan pelepasan glukokortikoid. Suhu normal (35,5 C) memiliki sejumlah
pengaruh kekebalan seluler, namun suhu rendah (30 C) akan secara langsung
menghambat aktivitas sel NK dan mengurangi resistensi metastasis tumor. Oleh karena
itu, penggunaan selimut hangat, udara panas, infus cairan yang dihangatkan, dan tindakan
lainnya memastikan agar pasien mempertahankan suhu tubuh yang sesuai pada proses
perioperatif, yang dapat menawarkan perlindungan bagi fungsi kekebalan tubuh pada
pasien kanker pasca operasi.
3.3.2. Transfusi darah. Transfusi darah merupakan komponen penting yang dibutuhkan
oleh dokter anestesi pada saat dan setelah operasi. Transfusi darah perioperatif dapat
mempengaruhi tingkat rekurensi kanker yang bergantung pada kesehatan gizi pasien,
status anemia, jenis tumor, stadium dan derajat reseksi, kehilangan darah, jenis anestesi,
tingkat stres, dan komplikasi pasca operasi. Transfusi produk darah perioperatif, termasuk
PRC, trombosit, dan plasma beku segar, dapat mempengaruhi peningkatan risiko
kekambuhan kanker pada pasien CRC. Kontrol transfusi yang ketat harus disarankan
untuk menghindari transfusi darah yang tidak perlu dan berlebihan.
3.3.3. Suasana hati. Kecemasan pada pasien dengan kanker berhubungan dengan tingkat
imunosupresif pasca operasi, dan anestesi dapat membantu meredakan kecemasan pasien
pascaoperatif.
POIN TAMBAHAN
Ringkasan. Faktor perioperatif seperti trauma bedah, anestesi inhalasi, penggunaan
opioid, stres fisiologis, hiperglikemia, hipotermia, transfusi produk darah, dan suasana
hati dapat memicu ketidakseimbangan TH1/TH2 yang signifikan antara lingkungan
antitumor dan protumor dalam tubuh manusia dan dapat berkontribusi secara signifikan
terhadap inisiasi dan perkembangan karsinogenesis usus besar, metastasis kanker usus
besar, kekambuhan, respon terhadap terapi antitumor standar, dan prognosis serta luaran
terapi. Secara umum, anestesi regional memiliki indeks efek lebih baik dari anestesi
umum berdasarkan derajat respon kekebalan tubuh, rekurensi tumor dan metastasis.
Anestesi umum yang dikombinasikan dengan anestesi regional lebih baik bila
dibandingkan dengan anestesi umum. Sebagian besar anestesi inhalasi, opioid, anestesi
lokal, dan anestesi intravena lainnya dapat mengurangi kekebalan sampai batas tertentu,
dan pada sejumlah kasus berkontribusi terhadap peningkatan risiko kekambuhan tumor
ganas. Namun, tramadol, analgesik anti-inflamasi nonsteroid selektif, dan propofol
memiliki efek perlindungan pada fungsi kekebalan tubuh dan terbukti mengurangi
rekurensi serta metastasis tumor. Oleh karena itu, penting untuk berhati-hati dalam
merencanakan prosedur anestesi dan memilih substansi narkotika yang sesuai pada pasien
dengan tumor ganas, oleh karena keputusan ini akan memiliki dampak penting pada efek
terapeutik dan prognosis.
Selain itu, sel darah merah, trombosit, dan transfusi FFP selama periode
perioperatif juga secara langsung menyebabkan imunosupresi dan meningkatkan risiko
kekambuhan kanker pasien kolorektal. Hipotermia, hiperglikemia, dan bahkan suasana
hati pasien berkontribusi pada perubahan kekebalan dan hasil akhir klinis pada kanker
kolorektal perioperatif. Kekurangan artikel penelitian meliputi ukuran sampel penelitian
klinis yang cenderung kecil, bias pada penelitian retrospektif serta kekurangan lainnya.
Penelitian yang lebih mendasar dan berskala besar, prospektif, dengan metode klinis acak
diperlukan untuk eksplorasi lebih lanjut hubungan dan mekanisme antara faktor anestesi
dan prognosis tumor ganas untuk memberikan pilihan anestesi yang lebih aman untuk
pasien kanker.

Anda mungkin juga menyukai