Anda di halaman 1dari 22

KORTIKOSTEROID

PENDAHULUAN
Keberhasilan penyembuhan berbagai kelainan kulit dengan menggunakan
kortikosterid serta meningkatnya berbagai jenis sediaan di pasaran telah semakin
meningkatkan penggunaannya. Keadaan ini selain memberikan dampak positif,
berupa tersedianya alternatif sediaan kotikosteroid yang digunakan, juga
berdampak negatif, yaitu meningkatkan resiko terjadinya efek samping obat,
terutama akibat misuse dan abuse sediaan kortikosteroid.
Untuk meningkatkan keberhasilan terapi dan meminimalkan efek samping
obat akibat penggunaan kortikosteroid, perlu pola pikir yang rasional dalam
memilih sedian kortikosteriod dengan senantiasa mempertimbangkan antara lain
jenis, fase, lokalisasi dan distribusi kelainan kulit, usia penderita serta potensi,
keamanan dan formulasi obat.
Kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid adalah
penyimpanan glikogen hepar dan efek antiinflamasinya, sedangkan pengaruhnya
pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Efek utama golongan
mineralokortikoid adalah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan
pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar kecil. Golongan
mineralokortikoid tidak mempunyai efek antiinflamasi.
Sediaan kortikosteriod dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan
masa kerjanya, yaitu kerja singkat, sedang dan lama. Sediaan kerja singkat
mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam. Sediaan kerja sedang
mempunyai masa paruh biologis 12-36 jam. Sediaan kerja lama mempunyai masa
paruh biologis lebih dari 36 jam.
Kortikosteroid alami yang paling banyak dihasilkan oleh tubuh adalah
kortisol. Kortisol disintesis dari kolesterol oleh kortex adrenal. Sekresi kortisol per
hari berkisar antara 10 sampai 20 mg dengan puncak diurnal sekitar pukul 8 pagi.
Sediaan kortikosteroid dapat diberikan secara oral, parenteral (IV, IM,
intrasinovial, dan intralesi), topikal pada kulit dan mata (dalam bentuk salep,
krim, losio), serta aerosol melalui jalan napas.
KORTIKOSTEROID SISTEMIK

Glukokortikoid
Hormon yang dihasilkan korteks adrenal disebut hormon adrenokortikal.
Ada dua jenis hormon adrenokortikal yang utama, yakni mineralokortikoid dan
glukokortikoid.

Efek dan Mekanisme Kerja


Sebagian besar efek glukokortikoid dimediasi oleh reseptor glukokortikoid
pada sitoplasma dan dapat masuk ke inti sel. Kortikosteroid akan berinteraksi
dengan reseptor spesifik pada jaringan target untuk mengatur ekspresi gen yang
responsif terhadap kortikosteroid, sehingga akan mengubah proses sintesis protein
pada jaringan yang bersangkutan. Ekspresi gen dan sintesis protein akan
membutuhkan cukup banyak waktu, sehingga sebagian besar efek kortikosteroid
baru akan muncul beberapa jam kemudian.
Reseptor glukokortikoid terdiri atas sekitar 800 asam amino dan dapat
dibagi dalam 3 domain fungsional, yaitu :
1. Glukokortikoid-binding domain yang berada pada ujung karboksil molekul,
merupakan tempat berikatan dengan glukokortikoid bebas.
2. DNA-binding domain yang terletak pada pertengahan, mengandung 9 residu
sistein. Bagian ini terlipat sehingga membentuk struktur “two finger” yang
distabilisasi oleh ion seng.
3. Amino-terminal domain, bagian ini bersifat sangat antigenik dan
meningkatkan spesifisitas reseptor.

Gambar 6. Mekanisme kerja glukokortikoid.


Di dalam darah, steroid
berada dalam bentuk terikat
dengan kortikosteroid
binding-globulin (CBG), namun
berada dalam keadaan bebas
ketika memasuki sel target.
Reseptor steroid intraseluler
berikatan dengan beberapa protein stabilisator, termasuk dua buah molekul heat
shock protein (Hsp90), dan beberapa molekul lain, yang degambarkan dengan
‚“X“. Ketika kompleks reseptor tersebut berikatan dengan kortisol, terbentuklah
kompleks yang tidak stabil dan molekul Hsp90 dan “X“ dilepaskan. Kompleks
steroid-reseptor mampu memasuki nucleus, berikatan dengan gen melalui
glucocorticoid response element (GRE), dan mengatur transkripsi dengan bantuan
faktor-faktor transkripsi lain. mRNA yang terbentuk akan memasuki sitoplasma
untuk membentuk protein yang merupakan respon akhir hormon.
Gambar 7. Model interaksi steroid, S, (contoh : cortisol), reseptor steroid, R,
dan proses yang terjadi pada sel target.

Ketika berikatan dengan GRE, kompleks steroid-reseptor juga membentuk


kompleks dan mempengaruhi fungsi faktor transkripsi lain, seperti AP1 dan NF-
Қb, sehingga akan mempengaruhi pengaturan transkripsi gen yang bersangkutan.
Faktor-faktor transkripsi ini berpengaruh luas pada pengaturan hormon
pertumbuhan, sitokin proinflamasi, dan lain-lain, yang akan memediasi efek anti-
pertumbuhan, anti-inflamasi, dan imunosupresif pada glukokortikoid.
Interaksi reseptor glukokortikoid dengan GRE atau faktor transkripsi lain
difasilitasi atau diinhibisi oleh beberapa protein yang disebut “koregulator“
reseptor steroid (terdiri atas koaktivator dan korepresor). Molekul ini bekerja
dengan membentuk jembatan antara reseptor dan protein inti dan dengan
menghasilkan histon asetilase atau deasetilase yang akan mengubah konformasi
nukleosom dan mempengaruhi kemampuan gen untuk transkripsi.
Sekitar 10-20% ekspresi gen pada sel dipengaruhi oleh glukokortikoid.
Jumlah dan afinitas reseptor steroid, faktor transkripsi dan koregulator, dan proses
post-transkripsi akan menentukan spesifisitas aksi steroid pada berbagai sel.
Glukokortikoid menyebabkan penurunan eosinofil, basofil, monosit, dan
limfosit dengan jalan meredistribusinya ke jaringan limfoid dari sirkulasi.
Sebaliknya, glukokortikoid meningkatkan kadar hemoglobin, trombosit, eritrosit,
dan neutrofil yang terjadi karena meningkatnya influks dari sumsum tulang ke
dalam darah dan berkurangnya migrasi dari pembuluh darah (sehingga akan
mengurangi jumlah sel pada lokasi inflamasi).
Glukokortikoid akan meningkatkan ekspresi IқB sehingga mengaktivasi
NFқB, yang akan menyebabkan apoptosis pada sel yang teraktivasi. Selain itu
glukokortikoid juga mengurangi sitokin proinflamasi, seperti IL-1 dan IL-6;
menghambat sel-T dalam berproliferasi dan memproduksi IL-2; mengurangi
kemampuan kemotaksis dan sekresi enzim lisosomal neutrofil dan monosit.

Farmakokinetik
1. Absorpsi
Pada umumnya kortikosteroid sintetik dapat diabsorpsi secara cepat dan
lengkap bila diberikan per oral. Ester hidrokortison tertentu yang larut air dan
congener sintetiknya diberikan intravena agar dalam waktu singkat dapat
mencapai konsentrasi tinggi dalam cairan tubuh. Perubahan kecil pada struktur
kimianya dapat merubah absorpsi, onset of action, ataupun duration of action
obat.
Glukokortikoid juga dapat diserap secara sistemik melalui pemberian
lokal, seperti ruang sinovial, sakus konjungtiva, kulit, dan traktus respiratorius.
Jika diberikan dalam waktu yang cukup lama, atau pada area kulit yang luas,
absorpsi yang terjadi dapat menyebabkan efek sistemik, termasuk supresi sumbu
hipothalamus-hipofisis-adrenal.

2. Distribusi
Pada keadaan normal, >90% kortisol dalam plasma terikat pada protein.
Hanya fraksi kortikosteroid yang tidak terikat yang dapat memasuki sel dan
menimbulkan efek.3 Jika kortisol plasma melebihi 20-30 μg/dL, CBG akan
tersaturasi dan konsentrasi kortisol bebas akan meningkat dengan cepat. Protein
plasma yang mengikat sebagian besar hormon steroid adalah :
1. Corticosteroid binding globulin (CBG, disebut juga transkortin)
CBG adalah suatu α-globulin yang disintesa oleh hepar. CBG memiliki
afinitas tinggi terhadap steroid, namun kapasitas pengikatan total (total
binding capacity) nya rendah.
CBG memiliki afinitas yang relatif tinggi terhadap kortisol, dan memiliki
afinitas rendah terhadap aldosteron dan metabolit steroid terkonjugasi
glukoronid.
CBG akan meningkat pada kehamilan, pemberian estrogen, dan hipertiroid,
dan menurun pada hipotiroid, defek genetik pada sintesis, dan defisiensi
protein.
2. Albumin
Albumin juga disintesa oleh hepar, namun memiliki sifat yang berbeda dengan
CBG, di mana memiliki afinitas yang rendah terhadap steroid dan kapasitas
pengikatan yang tinggi.
Kortikosteroid sintetik, seperti dexametason, sebagian besar terikat pada
albumin.
Waktu paruh kortisol pada sirkulasi adalah sekitar 60-90 menit; waktu
paruh dapat meningkat pada pemberian hidrokortison dalam dosis besar, pada
keadaan stres, hipotiroid, atau pada gangguan hepar.

3. Metabolisme
Sebagian besar kortisol diinaktivasi oleh hepar dengan reduksi ikatan
ganda 4, 5 pada cincin A dan akan diubah menjadi tetrahidrokortisol dan
tetrahidrokortison oleh 3-hidroksisteroid dehidrogenase. Beberapa diubah menjadi
kortol dan kortolon dengan reduksi keton C20.
Sebagian besar metabolit kortisol mengalami konjugasi dengan asam
glukoronat atau sulfat pada hidroksil C3 dan C21, yang kemudian akan kembali
memasuki sirkulasi.
Steroid sintetik dengan komponen 11-keto, seperti kortison dan prednison,
secara enzimatik harus direduksi menjadi derivat 11-β hidroksi supaya menjadi
aktif. Reaksi ini dikatalisis di hepar isozim tipe 1 11-β hidroksisteroid
dehidrogenase, sehingga untuk pasien dengan gagal hati ataupun gangguan enzim
tersebut, lebih baik diberi steroid yang tidak perlu aktivasi enzimatik (seperti
hidrokortison dan prednisolon).

4. Ekskresi
Steroid yang sudah terkonjugasi akan menjadi larut air (water soluble) dan
dapat diekskresikan melalui urin. Sekresi steroid juga dapat terjadi melalui bilier
dan fecal, namun dalam jumlah yang kurang bermakna.

Indikasi
Glukokortikoid diindikasikan sebagai agen imunosupresif pada
pencegahan dan pengobatan reaksi penolakan transplantasi organ, artritis
reumatoid, sistemik lupus eritematosus, dermatomiositis sistemik, psoriasis, asma,
eksaserbasi akut sklerosis multipel, reaksi alergi, dan gangguan otoimun lain.

Efek Samping
Efek samping penggunaan steroid antara lain retardasi pertumbuhan,
nekrosis avaskular tulang, osteopenia, meningkatkan resiko infeksi, menghambat
penyembuhan luka, katarak, hiperglikemia, dan hipertensi.

KORTIKOSTEROID TOPIKAL

A. Pemilihan Kortikosteroid Topikal (KST) Pada Orang Dewasa


Prinsip Dermatoterapi
Dalam mengobati seorang penderita penyakit kulit, dianut prinsip-prinsip
umum, dan bila diberikan obat topikal, selain berlaku prinsip umum dianut pula
prinsip khusus.

Prinsip umum:
1. Perhatikan penderita secara keseluruhan, somatik dan psikis
2. Berikan kesempatan pada alam untuk menyembuhkan penyakit tersebut, obat
yang diberikan bertujuan membantu penyembuhan oleh alam.
3. Segi fisiologi, patologi, biokimia dan anatomi kulit perlu diperhatikan.
4. Kuasai materi medika.
5. Perhatikan farmasi dan farmakologi obat-obatan, misalnya sinergisme, efek
samping dan toksisitas obat.
6. Terapi yang baik adalah terapi kausal.
7. Berikan obat sesederhana mungkin, untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.
Campuran obat yang pelik akan mempersulit atopik.
8. Individualisasi.
9. Perhatikan segi ekonomi penderita.

Prinsip khusus
1. Pemilihan vehikulum tergantung pada
a. Stadium/gambaran klinis penyakit
- obat topikal yang diberikan diubah sesuai dengan perjalanan penyakitnya.
- pada stadium akut (eritem/edem/basah)  kompres beri krim, bedak
kocok, bedak pasta.
- stadium kronik/kering  beri salep.

b. Distribusi dan lokalisasi penyakit


- misalnya salep tidak untuk kelainan kulit yang generalisata (kecuali salep
2-4 untuk skabies), dan tidak boleh digunakan untuk kepala berambut.
c. Efek yang diinginkan
- misalnya digunakan kompres untuk membersihkan.

2. Makin akut/produktif penyakit kulitnya, makin rendah konsentrasi bahan aktif


yang digunakan.

3. Beri penjelasan kepada penderita mengenai cara pemakaian obat dan cara
membersihkannya.

4. Hindarkan pemberian obat topikal yang bersifat sensitizer: misalnya


mengandung penisilin, sulfa dan antihistamin.

5. Batasi jumlah obat yang tidak stabil/tidak dapat disimpan lama misalnya larutan
permanganas kalikus.

Klasifikasi Kortikosteroid Menurut Potensinya


Lemah:
Hydrocortisone acetate 0,1 – 1 %
Desonide 0,05 %
Alclomatasone dipropionate 0,05 %
Methylprednisolone 0,25 – 1 %
Sedang:
Beclomethasone dipropionate 0,025 %
Fluocinolone acetonide 0,01 – 0,25 %
Hydrocortisone butyrate 0,1 %
Mometasone furoate 0,1 %
Triamcinolon acetonide 0,05 – 0,1 %

Kuat:
Betamethasone dipropionate 0,05 %
Desoximetasone 0,05 – 0,25 %
Halcinonide 0,025 – 0,1 %
Sangat kuat:
Clobetasol propionate 0,05 %
Diflorasone diacetate 0,05 %

Pemakaian Kortikosteroid pada Beberapa Dermatosa


a. Sensitif terhadap kortikosteroid
- Sunburn, sebaiknya dipakai KST lemah sampai medium
- Intertrigo, sebaiknya dipakai KST lemah sampai medium.
- Pruritus vulva, skrotum dan anus sebaiknya dipakai KST lemah sampai
- medium.
- Pytiriasis rosea, sebaiknya dipakai KST medium sampai kuat.
- Psoriasis, sebaiknya dipakai KST lemah sampai kuat.
- Berbagai dermatitis sebaiknya dipakai KST lemah sampai medium.

b. Resisten:
- Lichen planus, sebaiknya dipakai KST medium sampai kuat.
- Granuloma anulare, sebaiknya dipakai KST medium sampai kuat.
- Necrobiosis lipoidica diabeticum, sebaiknya dipakai KST medium sampai
kuat.

c. Moderat:
- Dermatitis kontak iritan, sebaiknya dipakai KST medium sampai kuat.
- Insect bite, sebaiknya dipakai KST medium sampai kuat.
- Discoid lupus erythematosus, sebaiknya dipakai KST medium sampai
kuat.

Efek Kortikosteroid Topikal


1. Vasokonstriksi
KST akan mengakibatkan kapiler-kapiler mengecil di lapisan dermis
superfisial sehingga eritem berkurang.
2. Anti proliferasi
KST akan mengurangi mitosis dan proliferasi seluler.
3. Anti peradangan
Efek anti peradangan pada lekosit, PMN dan monosit sangat berperan
dalam pengobatan dermatosa, karena seperti diketahui kebanyakan dermatosa
ditandai oleh proses peradangan.

Contoh efektifitas KST terhadap berbagai dermatosa


Sunburn : efek yang diharapkan dari KST: vasokonstriksi dan anti
peradangan
Eczema : efek yang diharapkan dari KST: anti peradangan
Psoriasis : efek yang diharapkan dari KST: antiproliferasi

Efek Samping KST dan Kontraindikasi


1. Lokal:
- Atrofi dermal
- Rosacea
- Perioral dermatitis
- Purpura
- Tinea inkognito
- Steroid akne
- Teleangiektasis
- Hipertrikosis

2. Sistemik
- Cushingoid: melalui supresi axis pituitary-adrenal

Kontraindikasi
Bila ada tanda-tanda seperti tersebut diatas maka sebaiknya pemberian
KST dihentikan.

Cara Pemilihan Kortikosteroid Topikal


1. Muka, aksilla, inguinal atau daerah intertriginosa, sebaiknya dipakai KST
dengan kekuatan lemah sampai medium (intermediet).
2. Telapak kaki, telapak tangan sebaiknya memakai yang kuat (potent).
3. Skrotum, kulit pada kelopak mata, sebaiknya dipakai yang lemah.

Perlu diingat bahwa pemakaian harus diperhatikan bentuk sediaannya,


apakah salep, krim, gel, losion atau secara oklusif, sebagai contoh pada daerah
yang berambut sebaiknya dipakai jenis losion.
Pada pemakaian kortikosteroid topikal bila kasusnya tidak ada perbaikan,
maka potensi KST dapat dinaikkan atau dengan menambahkan zat-zat tertentu
sebagai misal Momethason furoat (Elocon) dalam bentuk ointment yang termasuk
golongan kuat akan tetapi bila dalam bentuk krim dimasukkan dalam golongan
intermediet. Pada momethason furoat yang lipofilik bila dilarutkan dalam propilen
glikol bisa menembus kulit dan ditimbun, sehingga pelepasannya lebih lama dan
akibatnya momethason furoat dapat diberikan hanya sekali sehari. Hal ini akan
mempermudah pemakaian dan mempertinggi ketaatan penderita.

1. Cara aplikasi
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3×/hari sampai penyakit
tersebut sembuh. Gejala takifilaksis perlu dipertimbangkan yaitu menurunnya
respon kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang,
berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang,
setelah beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan
menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.

2. Jumlah obat yang dipakai


Jumlah obat topikal yang diperlukan untuk sekali aplikasi merupakan faktor
yang penting. Jumlah obat yang dibutuhkan untuk suatu daerah tertentu dapat
dihitung yaitu 1 gram krim dapat menutup 10×10 cm 2 kulit kepala, wajah atau
tangan memerlukan kira-kira 2 gram, satu lengan 3 gram, satu tungkai 4 gram dan
seluruh tubuh 12 sampai 26 gram atau lebih.

3. Lamanya pemakaian KST


Lamanya pemakaian KST sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk steroid
potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.

B. Pemilihan Kortikosteroid Topikal Pada Anak


Pendahuluan
Kulit merupakan organ tubuh paling luas. Fungsi kulit sangat banyak
tetapi paling penting adalah sebagai pelindung terhadap trauma fisik, infeksi,
dalam pengaturan suhu, cairan serta elektrolit antara tubuh dan lingkungan.
Terdapat perbedaan kulit bayi dibanding dewasa. Kulit bayi lebih tipis, perlekatan
interseluler lebih longgar, lebih sedikit sekresi kelenjar keringat dan kelenjar
sebasea serta lebih sedikit rambut.
Dibanding dengan dewasa, bayi dan anak-anak mempunyai permukaan
kulit relatif lebih luas dibanding dengan berat badan. Peningkatan ini
menyebabkan absorpsi sistemik pemakaian obat-obat topikal meningkat.
Kortikosteroid topikal dipakai pada pengobatan berbagai penyakit anak secara
luas. Kerusakan pada stratum korneum dapat meningkatkan permeabilitas
terhadap obat.
Mengingat efek sampingnya baik lokal maupun sistemik perlu diperhatikan
pemakaian obat sesuai dengan indikasi, pemilihan potensi obat, lokasi anatomis,
pemilihan vehikulum, timbulnya efek samping dan cara penggunaan yang benar
sehingga obat tersebut digunakan secara tepat dan aman.

I. Prinsip Penggunaan Kortikosteroid Topikal pada Anak


I.1. Indikasi
Pengaruh kortikosteroid terhadap epidermis dan dermis adalah
vasokonstriksi, anti proliferasi dan anti inflamasi, sehingga indikasi terutama
ditujukan pada dermatosis dengan dasar peradangan dan proliferasi sel-sel
epidermis.
Kortikosteroid tidak boleh diberikan pada infeksi primer oleh bakteri,
virus dan jamur serta pada daerah yang mengalami ulserasi.

I.2. Memilih potensi


Gunakan kortikosteroid yang lemah untuk pengobatan terhadap bayi dan
anak-anak. Konsentrasi 0,5 % pada bayi cukup efektif dan pada anak-anak dapat
digunakan 1-2,5 % sesuai dengan kebutuhannya.
Apabila dipandang perlu menggunakan kortikosteroid yang kuat,
sebaiknya dipakai dalam waktu relatif singkat dengan dosis minimal atau
digunakan kortikosteroid berselang-seling dengan krim yang netral. Setelah lesi
ada perbaikan, hendaknya pengobatan diganti dengan kotikosteroid yang lemah
diikuti dengan pemakaian emolien. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan
terjadinya ”rebound phenomen” dan efek samping baik lokal maupun sistemik.
Penggunaan kortikosteroid golongan lemah tidak dianjurkan lebih dari 4-6
minggu, sedangkan golongan kuat tidak lebih dari 2 minggu.

I.3 Lokasi anatomi dan luas lesi


Terdapat variasi pada lokasi regional tubuh dalam kemampuan absorbsi
melalui kulit untuk setiap obat yang dioleskan. Variasi ini ditentukan oleh
sejumlah faktyor seperti ketebalan stratum korneum, kepadatan folikel rambut dan
kualitas vaskularisasi daerah tersebut pada masing-masing regio tubuh.
Berturut-turut lokasi penetrasi obat tertinggi sampai terrendah yaitu;
selaput lendir, skrotum, kelopak mata, muka, dada, punggung, lengan, tungkai
atas, tungkai bawah, telapak tangan, telapak kaki, kuku. Selain faktor tersebut,
potensi dari kortikosteroid itu sendiri harus dipertimbangkan.

POTENSI KORTIKOSTEROID TOPIKAL


Potensi Nama Dagang Nama Generik
Sangat kuat Diprolene ointment 0,05 % Bethametasone dipropionat
Temovate ointment 0,05 % Klobetasone propionat

Kuat Elocon ointment 0,1 % Mometasone furoate

Agak kuat Cutivate ointment 0,05 % Flutikason propionat

Sedang Elocon Cream/lotion 0,1 % Mometasone furoate


Kenalog ointment 0,1 % Triamsinolon asetonide

Lemah Dermatop cream 0,1 % prednicarbate

Lebih lemah Kenalog cream/lotion 0,025% Triamsinolon asetonid


Synalar cream 0,1 % Fluocinolon asetonide

Paling lemah Hidrokortison,


Dexamethason,
Prednisolon,
Metilprednisolon

I.4 Vehikulum dan bahan tambahan


Jenis vehikulum dan bahan tambahan sangat mempengaruhi hasil dari
pengobatan kortikosteroid. Seperti contoh, bahan salep akan lebih besar daya
penetrasinya dibanding krim. Bahan tambahan seperti urea, asam salisilat atau
propilen glikol akan menanmbah daya penetrasi kortikosteroid. Obat-obnat
kortikosteroid yang mengandung vehikulum salep biasanya akan digolongkan
sebagai potensi tinggi.
Perlu dingat juga jenis lesi dan letak lesi dalam memilih vehikulum.
Sediaan minyak dalam air (O/W) atau krim, baik digunakan pada lesi akut dan
basah. Sediaan krim atau gel, baik digunakan pada daerah lipatan atau banyak
rambutnya. Sedangkan salep atau air dalam minyak (W/O) digunakan pada lesi
yang kering atau kronis.
Petunjuk ringkas dalam menentukan jenis sediaan kortikosteroid sebagai
berikut;
a. Lesi pada muka / lipatan : Krim kortikosteroid lemah
b. Lesi luas dengan gejala minimal : Krim kortikosteroid lemah
c. Lesi basah : krim kortikosteroid sedang
d. Lesi di daerah berambut (tertutup) : gel kortikosteroid dengan pelarut alkohol
e. Lesi di daerah berambut (terbuka) : gel kortikosteroid bebas alkohol
f. Lesi dengan infeksi sekunder : Berikan kompres antibiotik selama 5 hari
sebelum pemakaian kortikosteroid
g. Lesi tebal dan kering : Salep kortikosteroid potensi sedang-kuat
dikombinasikan dengan zat keratolitik
h. Gigitan serangga : Salep kortikosteroid lalu ditutup dengan
pembalut tekan
(memperkuat efek vasokonstriksi)
i. Lesi intraoral : Kortikosteroid sediaan “orabase”

II. Pemakaian Kortikosteroid Topikal pada Dermatosis.


Tidak semua penyakit kulit bisa diobati/bereaksi pada kortikosteroid
topikal. Data dari Subbagian Dermatologi anak, SMF I.P Kulit-Kelamin RSHS
antara tahun 1992-1995 didapat data jenis dermatosis yang dapat diobati dengan
kortikosteroid topikal antara lain; Dermatitis seborhoik, dermatitis numularis,
pitiriasis alba, gigitan serangga dan dermatitis karena popok (“diapers
dermatitis”).
II.1 Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik merupakan penyakit yang dapat menyerang bayi,
anak, dewasa dengan etiologi yang belum jelas. Pada neonatus diduga dipengaruhi
oleh hormon ibu. Timbul erupsi kulit biasanya pada umur 4-6 minggu.
Kelainan kulit yang timbul biasanya berupa bercak eritem dengan skuama
yang menebal pada daerah rambut kepala, muka serta lipatan kulit. Pada kulit
rambut kepala, lesi difus dengan penebalan skuama, berminyaj kekuningan
dikenal sebagai “craddle cap”.
Pengobatan untuk penyakit ringan dipakai emolien yang diurut/ditekan-
tekan di kulit kepala atau muka. Bila penyakit tampak berat, gunakan sampo bayi
untuk keramas dilanjutkan dengan pengolesan larutan hidrokortison 1%. Pada
anak yang lebih besar, dapat diberikan juga sampo yang mengandung asam
salisilat. Untuk lesi pada kulit, dapat dipakai krim kortikosteroid lemah seperti
Triamsinolon, dioleskan 3x sehari selama 1-2 minggu.

II.2 Dermatitis Numularis


Kelainan ini ditandai dengan lesi-lesi berbentuk bulat dengan diameter lesi
1 cm atau lebih. Penyebab pastinya belum diketahui.
Pada anak terdapat dua bentuk lesi, yaitu bentuk basah berkrusta dan
bentuk kering dengan eritem berskuama. Kelainan ini dapat menetap selama
beberapa bulan atau terjadi berulang jika tidak diobati. Predileksi terutama pada
tungkai bawah dan dapat juga terjadi pada tungkai atas, lengan atau dada dengan
disertai rasa gatal hebat.
Pengobatan tergantung berat ringan penyakit. Jika ringan, cukup berikan
kortikosteroid topikal lemah saja. Sementara jika berat diberikan kortikosteroid
topikal potensi kuat disertai kortikosteroid sistemik.

II.3 Pitiriasis Alba


Pitiriasis alba adalah kelainan kulit yang ditandai dengan bercak-bercak
hipopigmentasi, diskret, terutama di muka, leher, dada bagian atas dengan ukuran
bervariasi dari satu sampai beberapa sentimeter.
Etiologinya belum diketahui, diduga disebabkan oleh karena pajanan sinar
matahari berlebih atau merupakan bentuk ringan dari atopik dermatitis.
Penyakit ini kadang dapat sembuh sendiri walaupun kelainan
hipopigmentasi dapat berjalan berbulan-bulan.
Pengobatan pada pitiriasis alba adalah pemberian kortikosteropid salep
topikal potensi lemah, biasanya hdrokortison 1% disertai aplikasi tabir surya saat
keluar rumah.

II.4 Gigitan serangga


Kelainan kulit ini biasanya disebabkan oleh serangga-serangga yang
menggigit manusia, biasanya dari filum arthropoda seperti nyamuk kebun, kutu
busuk, semut dan lain-lain. Gambaran lesi dapat berupa eritem, papula, vesikel
atau nodul yang terasa sakit pada daerah gigitan. Lesi dapat menetap beberapa
hari menimbulkan bula yang hemorhagik dilanjutkan dengan ekskoriasi dan
eksema atau infeksi sekunder.
Pengobatan pada kasus ini adalah pemberian krim kortikosteroid potensi
tinggi ditambah antihistamin. kortikosteroid sistemik dapat diberikan pada
keadaan berat.

II.5 Dermatitis “diapers”


Merupakan dermatitis yang terjadi pada bayi yang pakai popok. Penyakit
ini diperkirakan terjadi akibat multifaktorial seperti oklusi dan stasis vena akibat
popok yang sempit, maserasi dan gesekan akibat popok.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 3-18 bulan, ditandai dengan eritem
pada paha bagioan atas dan bokong, pemukaanya mengkilat dan berkerut.
Sering terjadi infeksi sekunder oleh Candida albicans atau Staphylokokus
yang menambah buruk keadaan.
Prinsip pengobatan penyakit ini yaitu dengan membersihkan kulit paha
dan bokong sebaik mungkin serta kausatif sesuai gejala penyakit. Kulit
dibersihkan, dikeringkan lalu diolesi krim kortikosteroid Hidrokortison 1%, 3 kali
sehari. Bila diduga ada infeksi bakteri, diberikan antibiotik topikal (gentamycin).
Jika disangka ada infeksi jamur diberikan nistatin topikal.

III. Efek Samping Kortikosteroid Topikal pada Anak


Pemakaian kortikosteroid pada anak dapat menimbulkan efek samping
baik lokal maupun sistemik. Efek samping sering timbul pada pemakaian
kortikosteroid kuat dalam jangka waktu lama.

III.1 Efek samping lokal


Teleangiektasis, striae, atrofi merupakan efek samping lokal yang sering
dilaporkan setelah pemberian kortikosteroid topikal kuat lebih dari 4 minggu,
biasanya pada pemakaian daerah muka. Selain itu, penyembuhan luka dapat
m,enjadi terhambat, timbul perioral dermatitis, akne, hipertrikosis dapat terjadi.
Pemakaian di daerah mata juga dapat menyebabkan efek samping berupa katarak
sekunder akibat kortikosteroid.
Pada kondisi infeksi kulit, kortikosteroid dapat menimbulkan penyamaran
gejala serta memperluas infeksi yang timbul. Kondisi ini sering memberikan
gambaran yang tidak khas lagi, terutama pada infeksi scabies dan jamur. Keadaan
ini dikenal sebagai scabies atau tinea “incognito”.
Kandungan vehikulum pada kortikosteroid topikal juga dapat menyebakan
alergi pada pasien tertentu (Dermatitis kontak alergika). Zat vehikulum yang
paling sering menimbulkan alergi adalah propilen glikol, setosteril alkohol serta
metil paraben.

III.2 Efek samping sistemik


Penggunaan preparat potensi tinggi dalam jangka waktu pendek atau dosis
rendah dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek samping sistemik pada
anak. Penggunaan kortikosteroid topikal secara kronis dapat menyebabkan
terjadinya supresi kelenjar pituitari adrenal dan gangguan pertumbuhan. Setiap
anak yang memasuki tahap tumbuh kembang harus dimonitor ketat parameter
pertumbuhan jika mendapat kortikosteroid dalam jangka waktu lama.

DAFTAR PUSTAKA
1. Lake DF, Briggs AD, Akporiaye ET. Imunopharmacology. In : Katzung, BG,
editor. Basic & Clinical Pharmacology. 9th edition. Singapore : The McGraw-
Hill Companies, Inc., 2004 : 931–955.
2. Krensky AM, Strom TB, Bluestone JA. Imunomodulators : Imunosuppresive
Agents, Tolerogens, and Imunostimulants. In : Gilman AG, editor. The
Pharmacological Basis of Therapeutics. 10th edition. Singapore : The McGraw-
Hill Companies, Inc., 2001 : 1463-1480.
3. Chrousos GP. Adrenocorticosteroids & Adrenocortical Antagonists. In :
Katzung, BG, editor. Basic & Clinical Pharmacology. 9th edition. Singapore :
The McGraw-Hill Companies, Inc., 2004 : 641 – 653.
4. Schimmer BP, Parker KL. Adrenocorticotropic Hormone; Adrenocortical
Steroids and Their Synthetic Analogs; Inhibitors of The Synthesis and Actions
of Adrenocortical Hormones. In : Gilman AG, editor. The Pharmacological
Basis of Therapeutics. 10th edition. Singapore : The McGraw-Hill Companies,
Inc., 2001 : 1655-1673.
5. Standar Pelayanan Medik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin. Bandung,
2005
6. Tirza D, Handoko T. Imunosupresan. Dalam : Farmakologi dan Terapi. Edisi
4. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1995 : 702-713.

Anda mungkin juga menyukai