Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER

RESEPTOR INTI

STEROID ANTI-INFLAMMATORY DRUG (SAID)

Disusun Oleh :

Rizki Amalia Husada (G1F014059)

Katarina (G1F014061)

Siti Sarah CH (G1F014063)

Kelompok 10

Kelas A

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2015
A. PENGANTAR OBAT
Senyawa steroid adalah senyawa golongan lipid yang memiliki struktur
kimia tertentu, yaitu memiliki 3 cincin sikloheksana dan 1 siklopentana. Suatu
molekul steroid yang dihasilkan secara alami oleh korteks adrenal tubuh dikenal
dengan nama senyawa kortikosteroid. Kortikosteroid sendiri digolongkan
menjadi dua berdasarkan aktivitasnya, yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki peranan pada metabolisme glukosa,
sedangkan mineralokortikoid memiliki aktivitas regulasi elektrolit. Pada manusia,
glukokortikoid alami yang utama adalah kortisol atau hidrokortison, sedangkan
mineralokortikoid utama adalah aldosteron (Ikawati, 2014).
Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal.
Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah,
otot dan resistensi tubuh. Berbagai jenis kortikosteroid sintetis telah dibuat
dengan tujuan utama untuk mengurangi aktivitas mineralokortikoidnya dan
meningkatkan aktivitas antiinflamasinya, misalnya deksametason yang
mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat dan efek retensi natrium lebih
kecil dibandingkan dengan kortisol (Anonim, 2012).
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap
penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Prototip dari golongan ini adalah
desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-
inflamasi yang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini
tidak pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada
keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar (Anonim, 2012).

 Patofisiologi asma
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan
dengan luas inflamasi, obstruksi jalan napas reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatab hipereaktiviti bronkus terhadap berbagai
rangsangan dan yang dengan terapi spesifik dapat secara total ataupun
parsial diredakan gejalanya (Mangunnegoro, 1995).
Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompeks antara sel-sel
inflamasi, mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran napas. Sel-sel
inflamasi utama yang turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada
serangan asma antara lain sel mast, limfosit, dan eosinofil, sedangkan
mediator inflamasi utama yang terlibat dalam asma adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil (eosinofil chemotactic factor) dan
beberapa sitokin yaitu interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13 (Ikawati, 2014).
Alergen yang terhirup akan ditangkap oleh makrofag atau sel dendritik
sebagai antigen presenting cell (APC) yang kemudian mempresentasikan
antigen tersebut terhadap limfosit TH2. Sebagai hasilnya, limfosit akan
teraktivasi dan menyekresikan berbagai sitokin, seperti IL-4, IL-13, dan IL-5.
IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang memiliki kemiripan fungsi. Mereka
bersama-sama akan menyebabkan peningkatan hipersensitivitas pada otot
polos saluran napas. Selain itu, IL-4 akan bekerja pada reseptornya di sel
limfosit B, memicu proliferasi dan diferensiasi sel B menjadi sel plasma,
dan menghasilkan imunoglobulin E (IgE). IgE akan melekat pada
reseptornya di permukaan sel mast dan memicu pelepasan berbagai
mediator, seperti histamin, leukotrien, prostaglandin, dan berbagai sitokin.
IL-5 bekerja pada eosinofil memicu migrasi dan survivval eosinofil pada
jaringan saluran napas. Selain IL-5, leukotrien B4 yang dihasilkan oleh sel
mast juga merupakan faktor kemotaktik bagi eosinofil menuju jaringan
(Ikawati, 2014).

 Reseptor glukokortiokoid
Reseptor glukokortikoid adalah protein yang sebagian besar berada di
dalam sitoplasma (90% di sitoplasma, 10% di nukleus) dan dapat berikatan
dengan hormon/ligan yang bersifat lipofilik. Ada dau jalur mekanisme aksi
glukokortikoid, yaitu melalui jalur genomik dan jalur nongenomik. Pada jalur
genomik, glukokortikoid akan berikatan dengan reseptornya yang ada di
dalam sel yang kemudian memodulasi transkripsi gen dan sintesis protein.
Sementara itu, pada jalur non-genomik, aktivitasnya tidak di dalam inti,
tetapi pada sitosol dengan melibatkan berbagai protein intraseluler (Ikawati,
2014).
Pada kondisi basal, reseptor glukokortikoid (GC) berada di sitoplasma
dalam bentuk kompleks bersama dengan suatu protein chaperone, yaitu
heat shock protein Hsp90, GC terdisosiasi dari chaperon-nya dan
bertranslokasi ke nukleus, selanjutnya berfungsi sebagai faktor transkripsi
dengan mengikat ke glucocorticoid response elements (GRE). Ikatan GC
dengan GRE akan meregulasi transkripsi gen yang selanjutnya mengatur
sistesis protein tertentu yang akan menimbulkan respons biologis.
Mekanisme ini akan meningkatkan sintesis protein-protein antiinflamasi,
seperti lipocortin, IL-10, 1𝜿B, dan berbagai protein regulator lainnya dan
disebut sebagai transaktivasi (Ikawati, 2014).
Selain itu, aksi glukokortikoid pada reseptornya juga ada yang bersifat
transrepresi. Kompleks glukokortikoid-reseptor dapat menghambat
transkripsi gen dengan cara berikatan langsung dengan GRE negatif yang
dijumpai pada daerah promoter gen yang menyandi protein seperti pro-
opiotropik glukokortikoid, 𝛼-fetoprotein, dan gen prolaktin yang mendasari
aksi pleiotropik glukokortikoid. Aktivitas transrepresi juga dijumpai pada
penghambatan fungsi transaktivasi berbagai faktor transkripsi, di antaranya
aktivator protein 1 dan NF𝜅B, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Faktor transkripsi ini sangat penting untuk meregulasi ekspresi gen pro-
inflamasi. Dengan demikian, penghambatan ini dapat menyebabkan
penghambatan sintesis berbagai sitokin pro-inflamasi, seperti IL-1, IL-2,
TNF-𝜶, interferon-𝜸 (Schacke et al, 2006).

Gambar 1. Aktivitas genomik glukokortikoid pada reseptornya melibatkan


transaktivasi dan transrepresi (Stahn & Buttgereit, 2008).

Pengikatan reseptor glukokortikoid untuk GRE mereka mengaktifkan


transkripsi gen tertentu encoding protein anti-inflamasi, seperti IL-10 dan
IKB, dan protein regulasi. Proses ini disebut transactivation (gambar 1).
Beberapa glukokortikoid efek samping seperti glaukoma dan hiperglikemia
dimediasi melalui jalur ini (Schacke et al, 2002). Di sisi lain, mengikat
reseptor glukokortikoid faktor transkripsi pro-inflamasi seperti nuklear faktor
kappa B (NF𝜅B) atau protein aktivator 1 (AP-1), atau persaingan mereka
untuk koaktivator nuklear, mengatur transkripsi gen tertentu encoding
protein proinflamasi seperti IL-1, IL-2, IL-6, dan TNF. Proses ini disebut
transrepresi (De Bosscher et al, 2003) (gambar 1). Sebagian besar
tindakan genom yang diinginkan dari glukokortikoid pada asma dimediasi
melalui jalur ini.

B. MEKANISME KERJA GOLONGAN OBAT


1. Deksametason dan betametason
Ekspresi dan represi gen dikaitkan dengan remodeling struktur kromatin
oleh perubahan enzimatik. Transkripsi gen hanya berlangsung bila struktur
kromatin dalam keadaan terbuka sehingga RNA polymerase II dan
kompleks transkripsi basal dapat berikatan dengan DNA untuk menginisiasi
transkripsi. Histone acetyltransferase (HAT) berperan sebagai koaktivator
yang mengaktifkan gen dengan menempelkan asetil (bermuatan negatif)
pada histon (bermuatan positif) membentuk kromatin dengan DNA
(bermuatan negatif) sehingga histon dan DNA bermuatan negatif yang
menyebabkan keduanya saling tolak menolak dan terlepas satu sama lain,
sedangkan histone deacetylase (HDAC) berperan sebagai korepresor yang
menonaktifkan gen secara umum dengan mengambil kembali asetil yang
menempel pada histon sehingga histon dan DNA membentuk kromatin
(gambar 2) (Barnes et al, 2003).

Gambar 2. Aktivasi dan represi gen yang diatur oleh asetilasi histon
(Barnes et al, 2003).
a) Deksametason
Deksametason adalah suatu
glukokortikoid sintetis yang memiliki efek
antiinflamasi, antialergi dan anti shock yang
sangat kuat, di samping sebagai antirematik.
Tidak menimbulkan efek retensi natrium dan
dapat diterima oleh tubuh dengan baik. Mengurangi inflamasi
dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi produksi mediator
inflamasi, dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula
tinggi dan menekan respon imun (Ito et al, 2006).

a) Betametason
Betametason adalah glukokortikoid
sintetik yang mempunyai efek sebagai
antiinflamasi dan imunosupresan. Karena
efek retensi natriumnya (sifat
mineralokortikosteroid) sangat sedikit, maka bila digunakan untuk
pengobatan insufisiensi adrenokortikal, betametason harus
dikombinasikan dengan suatu mineralokortikoid (Lowenberg et al,
2008).
Deksametason dan betametason bekerja secara transaktivasi.
Aktivasi gen oleh kortikosteroid berhubungan dengan asetilasi residu
lisin-5 dan 6 pada histon-H4 dan menyebabkan peningkatan transkripsi
gen (Ito et al, 2000). Reseptor glukokortikoid yang teraktivasi dapat
berikatan dengan GRE pada daerah gen sensitif kortikosteroid serta
berikatan dengan molekul koaktivator misalnya CBP, pCAF, steroid
receptor coactivator-1 (SRC-1) dan GR interacting protein-1 (GRIP-1)
yang memungkinkan aktivitas HAT sehingga terjadilah asetilasi lisin
pada histon-H4. Proses itu akan menyebabkan aktivasi gen yang
menyandi protein antiinflamasi misalnya SLPI, MKP-1, I𝜅B dan GILZ (Ito
et al, 2005). Kortikosteroid dosis tinggi secara teori diperlukan untuk
meningkatkan transkripsi sejumlah kecil gen antiinflamasi tetapi pada
kenyataannya kortikosteroid dosis rendah pun dapat menekan proses
inflamasi (Barnes et al, 2003). Aktivasi ekspresi gen antiinflamasi oleh
kortikosteroid ditunjukkan dalam gambar 3.
Gambar 3. Kortikosteroid mengaktifkan ekspresi gen antiinflamasi (Barnes
et al, 2003).

2. Prednison
Kortikosteroid dapat diberikan secara oral,
terhirup lisan, dan dengan rute parenteral (IV,
IM, subkutan, dan intra-articularly).
Kortikosteroid digunakan untuk imunosupresi
dalam transplantasi yang diberikan secara oral
atau parenteral. Karena suntikan kortikosteroid
sedikit larut dapat menghasilkan atrofi di tempat
suntikan, suntikan IM harus diberikan dalam ke otot gluteal, dan
mengulangi suntikan di lokasi yang sama harus dihindari (Thom, 1966).
Dosis berkisar untuk kortikosteroid bervariasi dengan penyakit atau
kondisi yang mereka sedang diresepkan. Jenis rentang dosis yang
digunakan di berbagai negara termasuk penyakit fisiologis atau terapi
penggantian (dosis setara dengan jumlah kortikosteroid biasanya
disekresikan oleh korteks adrenal per hari) atau terapi farmakologis (setiap
dosis lebih besar dari dosis fisiologis). Terapi prednison farmakologis dapat
dibagi menjadi beberapa kategori: (1) pemeliharaan atau dosis rendah:
dosis yang sedikit lebih besar dari fisiologis (misalnya, 5-15 mg / hari), (2)
sedang dosis: sekitar 0,5 mg / kg / hari, (3) dosis tinggi: sekitar 1-3 mg / kg
/ hari, dan (4) besar-besaran dosis: sekitar 15 sampai 30 mg / kg / hari.
Biasanya, dosis farmakologis kortikosteroid yang digunakan dalam rejimen
imunosupresif (Fauci et al, 1976).
Terapi kortikosteroid jangka panjang tidak harus dimulai tanpa terlebih
dahulu mempertimbangkan risiko terapi. Beberapa prinsip dasar untuk
terapi kortikosteroid, jika memungkinkan: (1) mempertahankan pasien pada
alternatif hari (setiap-lain-hari) jadwal dosis (biasanya 2 1/2 sampai 3 kali
dosis harian minimum), (2) penggunaan dari short-acting kortikosteroid oral
(prednisone yang diresepkan paling sering karena murah dan memiliki
serum pendek paruh) (Fauci et al, 1976).
Efek samping yang timbul bergantung pada dosis dan durasi. Terapi
dosis rendah yang berkepanjangan (<7,5 mg prednisone-setara pada
orang dewasa / hari) biasanya berhubungan dengan efek samping ringan.
Dosis sedang (7,5 mg - 30 mg / hari) biasanya berhubungan dengan efek
samping yang signifikan, dan dosis tinggi (30 mg - 100 mg) dapat dikaitkan
dengan efek samping yang serius (Stahn & Buttgereit, 2008).
Prednison bekerja secara transrepresi. Efek utama kortikosteroid dalam
mengontrol inflamasi adalah menghambat sintesis berbagai protein
proinflamasi melalui supresi gen yang menyandinya. Hal itu terjadi melalui
interaksi reseptor glukokortikoid dengan situs GRE yang akan
menonaktifkan transkripsi. Pasien asma menunjukkan peningkatan
ekspresi berbagai gen inflamasi misalnya sitokin, molekul adhesi enzim
inflamasi dan reseptor inflamasi. Gen inflamasi akan diaktivasi oleh
berbagai rangsangan inflamasi misalnya interleukin-1𝛽 (IL-1 𝛽) atau tumor
necrosis factor-𝛼 (TNF-𝛼) yang akan mengaktivasi NF𝜅B kinase 2 (IKK2)
selanjutnya terjadi aktivasi faktor transkripsi NF-𝜅B (Barnes, 2006).
Dimer p50 dan p65 protein NF-𝜅B pada gen inflamasi yang teraktivasi
akan bertranslokasi ke dalam inti sel dan berikatan dengan koaktivator
misalnya CBP atau PCAF yang memiliki aktivitas HAT intrinsik. Asetilasi
lisin terjadi pada histon-H4 yang menyebabkan peningkatan ekspresi gen
yang menyandi protein inflamasi misalnya granulocytemacrophagecolony-
stimulating factor (GM-CSF) atau cyclooxygenase-2 (COX-2). Reseptor
glukokortikoid akan bertranslokasi ke dalam inti sel setelah diaktivasi oleh
kortikosteroid dosis rendah seperti yang digunakan dalam terapi
kortikosteroid inhalasi pasien asma. Reseptor tersebut selanjutnya
berikatan dengan koaktivator misalnya CBP, pCAF, SRC-1 dan GRIP-1
untuk menghambat aktivitas HAT secara langsung serta merekrut HDAC
yang akan menghambat asetilasi histon. Proses itu akan menyebabkan
supresi gen inflamasi. Proses inaktivasi gen inflamasi oleh kortikosteroid
ditunjukkan pada gambar 4 (Barnes, 2006).

Gambar 4. Proses inaktivasi gen inflamasi oleh kortikosteroid

Glukokortikoid Perkiraan Potensi Potensi Durasi Rute


dosis relatif relatif Kerja Pembe-
equivalent antiinflama Mineralokor- rian
(mg) si tikoid
(Glukokor-
tikoid)
Kortison 25 0,8 2 Short Oral, i.v,
(8-12 topikal
jam)
Hidrokortison 20 1 2 Short Oral, i.v,
topikal
Prednison 5 4 1 Interme Oral
diate
(12-36
jam)
Prednisolon 5 4 1 Interme Oral, i.v,
diate topikal
Triamsinolon 4 5 0 Interme Oral, i.v,
diate topikal
Metilprednisolon 4 5 0 Interme Oral, i.v,
diate topikal
Deksametason 0,75 20-30 0 Long Oral, i.v,
(36-72 topikal
jam)
Betametason 0,65-0,75 20-30 0 Long Oral, i.v,
topikal
Tabel 1. Nama obat, dosis, durasi dan bentuk sediaan golongan
kortikosteroid (Mercer et al, 2004).

C. DISKUSI
1. Suci Ramadhani : Bagaimana hubungan asma dengan mekanisme
kortikosteroid dalam mengatur ekspresi gen? Apakah glukokortikoid masuk
ke dalam inti sel dengan protein pembawa?
2. Astriana D W : Bagaimana ligan dapat masuk ke dalam sel? Mengapa
pemberian prednison dalam dosis rendah sedangkan deksametason dan
betametason dalam dosis tinggi?
3. Dina Prarika : Bagaimana perbedaan mekanisme glukokortikoid secara
genomik dan nongenomik? Apa contoh protein dalam mekanisme
nongenomik?

Jawab :
1. Glukokortikoid masuk ke dalam inti sel bersama dengan reseptor
glukokortikoid, tidak bersama dengan protein pembawa. Kortikosteroid
adalah salah satu obat yang bekerja pada penyakit asma dengan 3 cara.
Pertama, transaktivasi yaitu bila kortikosteroid menempel pada reseptor
GC akan menimbulkan perubahan struktur reseptor sehingga terjadi
disosiasi GR (glucocorticoid receptor) dengan Hsp90 lalu bertranslokasi ke
dalam inti sel, homodimer GR berikatan dengan GRE di daerah promoter
gen sensitif steroid yang menyandi protein antiinflamasi diantaranya
Annexin, NF𝜅B, dll. Kedua, transrepresi yaitu bila GR berinteraksi dengan
molekul koaktivator misalnya CBP yang mengaktivasi faktor transkripsi
proinflamasi diantaranya NF𝜅 B yang akan menghentikan gen inflamasi.
Yang ketiga, cis-represi yaitu bila GR berikatan dengan GRE akan
menyebabkan transkripsi gen tetapi bila tidak terdapat situs GRE (GRE
negatif), pengikatan GR menyebabkan supresi gen yang dikaitkan dengan
efek samping kortikosteroid yang berhubungan dengan gen yang mengatur
aksis hipotalamus-pituitari yaitu pro-opiomelanocortin (POMC) dan
corticotrophin releasing factor (CRF-1), metabolisme tulang (osteocalcin)
dan kulit (keratin).
2. Beberapa ligan membutuhkan transporter untuk masuk ke dalam sel,
namun beberapa ligan dapat masuk secara langsung ke dalam sel karena
sifatnya yang lipofilik. Menurut jurnal, perbedaan pemberian prednison
dalam dosis rendah karena kortikosteroid dosis tinggi secara teori
diperlukan untuk meningkatkan transkripsi sejumlah kecil gen antiinflamasi
tetapi pada kenyataannya kortikosteroid dosis rendah pun dapat menekan
proses inflamasi, sama halnya dengan deksametason dan betametason.
3. Mekanisme kortikosteroid untuk efek non genomik yang dimediasi oleh
reseptor, terdapat 2 kemungkinan yaitu (Craig,2005):
a) Reseptor non-genomik yang memiliki tipe/struktur yang mirip dengan
reseptor intraseluler klasik (nuklear), tetapi pada lokasi yang berbeda
Ikatan dengan reseptor non-genomik ini mengakibatkan transduksi
sinyal melalui protein G, caveolin dan reseptor tirosin kinase.
b) Reseptor non genomik yang berbeda dengan reseptor nuklear. Protein
membran reseptor ini banyak ditemukan pada fraksi membran plasma
neuronal dan berespon terhadap analog nukleosida guanidin
nonhidrolisa, yang diduga merupakan G-protein coupled receptor
(GPCR). Untuk estrogen, protein membran reseptor yang memediasi
efek non genomik adalah GPCR 30.
D. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Kortikosteroid Topikal, Jenis Penggolongan dan Efek
Sampingnya. http://allergycliniconline.com/2012/06/04/kortikosteroid-
topikal-jenis-penggolongan-dan-efek-sampingnya/ Diakses tanggal 19
Desember 2015.
Barnes PJ, Addock IM. 2003. How do corticosteroids work in asthma? Ann
Intern Med, 139:359-370.
Barnes PJ. 2006. Corticosteroids: The drug to beat. Eur J Pharmacol, 533:2-14.
Chojkier, M., Houglum, K., Lee, K. S. & Buck, M. 1998. Longand short-term D-
alpha-tocopherol supplementation inhibits liver collagen alpha1(I)
geneexpression. Am. J. Physiol., 275: G1480-1485.
Craig, D.Q.M. 2002. The Mechanisms of Drug ReleaseFrom Solid
Dispersion in Water-Soluble Polymers. Int. J Pharm, 24(3):131-144.
De Bosscher K, Vanden Berghe W, Haegeman G. 2003. The interplay between
the glucocorticoid receptor and nuclear factor-kappaB or activator protein-
1: molecular mechanisms for gene repression. Endocr Rev, 24(4): 488-
522.
Fauci A, Dale D, Balow J. 1976. Glucocorticosteroid therapy: mechanism of
action and clinical considerations. Ann Intern Med, 84:304-315.
Ito K, Barnes PJ, Addock IM. 2000. Glucocorticoid receptor recruitment if
histone deacetylase 2 inhibits IL-1B-induced histone H4 acetylation on
lysines 8 and 12. Mol Cell Biol, 20: 6891-6903.
Ito K, Elliott WM, Cosio B, Caramori G, Kon OM, Barczyk A, et al. 2005.
Decreased Histone Deacetylase activity in Chronic Pulmonary Disease.
New Engl J Med, 352: 1967-1976.
Ito K, Chung KF, Adcock IM. 2006. Update on glucocorticoid action and
resistance. J Allergy Clin Immunol, 117(3): 522-543.
Lowenberg M, Stahn C, Hommes DW, Buttgereit F (2008) Novel insights into
mechanisms of glucocorticoid action and the development of new
glucocorticoid receptor ligands. Steroids, 73(9-10): 1025-1029.
Mangunnegoro, H. 1995. Diagnosis Penatalaksanaan Asma Seri 2.
Penatalaksanaan Asma, 15: 111-119.
Mercer BM. 2014. Assessment and Introduction of Fetal Pulmonary Maturity; In
Maternal Fetal Medicine Principles and Practice 5th Ed. London: Saunders
Company, Appleton and Lange.
Schacke H, Docke WD, Asadullah K. 2002. Mechanisms involved in the side
effects of glucocorticoids. Pharmacol Ther, 96(1): 23-43
Schacke, H. et al. 2006. Molecular Mechanism of Insulin Resistance: Serine
Phosphorylation of Insulin Receptor Substrate-1 and Incresed Expression
of p85. Diabetes, 55(8):2392-2397.
Stahn C, Buttgereit F. 2008. Genomic and nongenomic effects of
glucocorticoids. Nat Clin Pract Rheumatol, 4(10): 525-533.
Ther, Aliment. 2007. Adverse Reactions Prednisolone. http://insa.us/adverse-
reactions-prednisolone/ Diakses tanggal 19 Desember 2015.
Thorn GW. 1966. Clinical considerations in the use of corticosteroids. N Engl J
Med, 274:775-781.

E. LAMPIRAN PAPER
Dalam halaman terpisah.

Anda mungkin juga menyukai