Anda di halaman 1dari 30

AIRWAY MANAGEMENT

Oleh :
Nita (1301-1206-0108)

Preseptor:
Suwarman, dr., Sp.An, M.Kes

BAGIAN ANESTHESIOLOGI & REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
RS HASAN SADIKIN
BANDUNG
2007
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Jalan nafas adalah saluran tempat dilewatinya udara dan oksigen sebelum
mencapai paru – paru, meliputi struktur anatomi yang berawal dari hidung dan mulut
lalu menuju laring dan trakea.1
Tatalaksana jalan nafas merupakan suatu proses yang memastikan bahwa jalan
nafas pasien berada dalam keadaan yang patent (terdapat jalur yang terbuka antara paru-
paru dengan udara luar) dimana ventilasi yang efektif berlangsung.2

1.2 Tujuan
Obstruksi jalan nafas dapat menyebabkan tubuh kekurangan oksigen, yaitu
hipoksemia. Hipoksemia yang disebabkan oleh sumbatan jalan nafas paling cepat
dibandingkan hipoksemia akibat gangguan fungsi organ lain. Gangguan jalan nafas dapat
terjadi mendadak, perlahan – lahan progesif, total atau parsial dan berulang, oleh karena
itu perlu reevaluasi dari waktu ke waktu.3
Saat ventilasi tidak tercapai, kematian otak dapat terjadi dalam hitungan menit.
Tujuan utama dari manajemen jalan nafas yaitu memenuhi terbukanya jalan nafas yang
kontinyu untuk memberikan sumber oksigen secara kontinyu. Selain itu, manajemen
jalan nafas juga dimaksudkan dengan menyediakan jalan nafas artifisal yang sebisa
mungkin semirip jalan nafas alami pasien. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan
memberikan udara yang telah dilembabkan dan membuang sekresi.4

1.3 Anatomi
Udara dari dunia luar dapat memasuki jalan nafas melalui hidung dan mulut.
Dasar dari hidung merupakan atap dari mulut. Nasofaring merupakan ujung dari hidung,
sedangkan orofaring merupakan ujung dari mulut. Hidung dan mulut di bagian depan
dipisahkankan oleh palatum durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di
hipofaring. Hifofaring menuju esofagus dan laring yang dipisahkan oleh epiglotis menuju
trakea. Laring terdiri dari kartilago tiroidea, krikoidea, epiglotis dan sepasang kartilago
aritenoid, kornikulata dan kuneiformis.5

Gambar 1. Potongan medial kepala dan leher6

1.4 Persarafan5
a. N. Trigeminus (V) yang terdiri dari:
- V.1: mempersarafi mukosa hidung dan palatum
- V.2: mempersarafi daerah maksila
- V.3: mempersarafi lidah dan daerah mandibula
b. N. Fasialis, mempersarafi palatum
c. N. Glossofaringeus (IX), mempersarafi lidah, farin, palatum molle dan tonsil
d. N. Vagus (X), mempersarafi daerah sekitar epiglotis dan pita suara
Gambar 2. Persarafan hidung dan mulut.6

1.5 Vaskularisasi6
Palatum dipendarahi terutama oleh arteria palatina mayor di masing-masing sisi,
arteri ini merupakan cabang arteria palatina desenden. Arteri tersebut melalui foramen
palatinum majus dan melintas ke anterior dan medial. Arteria palatina minor sampai di
palatum melalui foramina palatina minora dan mengadakan anastomosis dengan arteria
palatian asendens, cabang arteria fasialis. Vena-vena palatum yang diberi nama-nama
yang sesuai dengan nama-nama arteri-arteri dan mengiringi cabang-cabang arteria
maksilaris, adalah anak cabang pleksus pterygoideus. Sedangkan lingua diperdarahi oleh
artera lingualis yang merupakan cabang arteria karotis eksterna,. Sewaktu memasuki
lingua, arteria lingualis melintas di sebelah dalam muskulus hyoglossus.
Perdarahan dinding medial dan lateral kavitas nasi terjadi melalui cabang arteria
sphenopalatina, arteia ethmoidalis anterior dan arteria ethmoidalis posterior, arteria
palatina major, arteraia labialis superior dan rami lateralaies arteraia fasialis. Pleksus
venosus menyalurkan darah kembali ke dalam vena sphenopalatina, vena fasialis dan
vena optalmika.
Gambar 3. Perdarahan hidung dan mulut.6

Pembuluh darah laring berasal dari A. carotis terutama A.thyroid. A. cricothyroid


berasal dari A. thyroid superior dan melintasi membran cricothyroid atas, yang meluas
mulai dari kartilago krikoid sampai kartilago krikoid.

Gambar 4. Arteri subklavia dan ateri carotis serta percabangannya.6


BAB II
JALAN NAFAS

2.1 Penyebab Sumbatan Jalan Nafas4


Gangguan atau obstruksi jalan nafas adalah suatu keadaan tersumbatnya saluran
pernapasan sebagian atau seluruhnya. Sumbatan jalan nafas dapat disebabkan oleh
tindakan anestesi (penderita tak sadar, obat pelumpuh otot, muntahan), suatu penyakit
(koma apapun sebabnya, stroke, radang otak), trauma/ kecelakaan (trauma
maksilofasial, trauma kepala, keracunan). Penyebab sumbatan jalan nafas yang paling
sering adalah: lidah yang jatuh menutupi hipofaring atau epiglotis yang jatuh menutupi
rima glotis, adanya muntahan, darah, sekret atau benda asing dan trauma daerah
maksilo fasial.

2.2. Gejala dan Tanda Terjadinya Gangguan Nafas

Gejala dan tanda dari gangguan jalan nafas sebenarnya mudah untuk didiagnosa,
sebagai berikut :

1. Untuk obstruksi jalan nafas penuh, penolong tidak dapat mendengar dan
merasakan aliran udara pada mulut dan hidung pasien/korban.
2. Jika pasien masih bernafas terlihat retraksi otot-otot pernafasan pada regio
interkostal dan supraklavikular.
3. Untuk obstruksi parsial dapat dilihat dari ada atau tidaknya snoring, crowing,
gurgling dan wheezing.
4. Status konstitusi (toksisitas, demam, denyur nadi)
5. Hypercarbia : somnolence
6. Hypoxemia : stimulasi simpatetik
7. Dengkuran
8. Air liur yang menetes
9. Batuk
10. Kemampuan berbicara menurun
11. Takipneu
12. Sentakan trakea (tracheal tug) saat inspirasi
13. Tarikan otot bantu pernapasan saat inspirasi
14. Pergerakan yang tidak simetris antara dinding dada dan abdomen
15. Pasien sianosis dan atau pingsan8
Distress pernapasan dapat terjadi tiba-tiba bersamaan atau diakibatkan oleh batuk.
Sering didapat gejala agitasi pada tahap awal obstruksi saluran napas. Tanda-tanda
distress pernapasan mencakup kesulitan/kesakitan dan ketidakefektifan dalam bernapas
sampai dengan individu yang bersangkutan tidak lagi bernapas (apneu). Kehilangan
kesadaran terjadi jika obstruksi tidak segera dibebaskan

2.3. Penyebab dan Faktor Resiko Obstruksi Saluran Nafas


Obstruksi saluran napas (atas) dapat disebabkan oleh berbagai penyebab yang
berbeda, termasuk diantaranya benda asing, reaksi alergi, hipoksia pada kebakaran atau
terjebak diruangan penuh asap (kurang oksigen), infeksi (virus maupun bakteri),
abnormalitas anatomis serta trauma.
Penyebab umum gangguan jalan nafas, antara lain :
1. Edema jalan nafas : dapat disebabkan infeksi (difteri), reaksi alergi atau akibat
instrumentasi (pemasangan pipa endotrakeal, bronkoskopi) dan trauma tumpul.
2. Benda asing
Pada orang dewasa, benda asing biasanya berupa binatang kecil yang terinhalasi
atau makanan yang terjadi karena tersedak. Pada anak-anak, kacang-kacangan
adalah makanan yang paling sering tertelan, selain itu anak-anak juga sering
secara tidak sengaja menelan uang logam, kancing dan atau mainan kecil lainnya.
3. Tumor: kista laring, papiloma laring, karsinoma laring; biasanya sumbatan terjadi
perlahan-lahan.
4. Trauma daerah laring : Abses retrofaringeal
5. Spasme otot laring: tetanus, reaksi emosi
6. Kelumpuhan otot abduktor pita suara (abductor paralysis): terutama bila bilateral
7. Kelainan kongenital: fistula trakeooesofagus yang menimbulkan
laringotrakeomalasia.
8. Reaksi anafilaksis : Reaksi alergi akut dapat menyebabkan pembengkakan di
regio trakea atau faring, sehingga menyumbat jalan nafas. Contoh reaksi alergi
yang paling sering terjadi yaitu reaksi alergi terhadap bee sting, yang umumnya
berupa reaksi anafilaktik Reaksi alergi lain yang juga sering terjadi antara lain
reaksi alergi terhadap kacang-kacangan, antibiotik (penicillin) dan obat-obat
pengatur tekanan darah (ACE inhibitors )
9. Epiglotitis : Epiglotitis bakterial akut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas
secara cepat, akibat dari pembengkakan epiglottis dan penutupan jalan nafas.
Epiglotitis akut dapat dicegah dengan vaksin H. influenzae.
10. Abses peritonsilar : Obstruksi jalan nafas yang terjadi menyerupai obstruksi yang
disebabkan oleh abses retrofaringeal.7

2.3.1 Patofisiologi4
Pada keadaan dimana ada penurunan kesadaran, misalnya pada tindakan aestesi,
penderita trauma kepala oleh karena suatu penyakit, maka akan terjadi relaksasi otot –
otot termasuk otot lidah dan sphincter cadia, akibatnya bila posisi pendeita terlentang
maka pangkal lidah akan jatuhke posterior menutup orofaring, sehingga menimbulkan
sumbatan jalan nafas. Sphinter cardia yang relaks, menyebabkan isi lambung mengalir
kembalai ke orofaring (regurgitasi). Hal ini merupakan ancaman terjadinya sumbatan
jalan nafas oleh aspirat yang padat dan aspirasi pneumonia oleh aspirat cair, sebab pada
keadaan ini pada umumnya reflek batuk sudah menurun atau hilang.
Trauma di daerah wajah dapat menyebabkan edema, patah tulang, perdarahan,
lepasnya gigi dan hipersekresi yang dapat menimbulkan masalah/ sumbatan jala nafas.
Patah tulang mandibula bilateral menyebabkan lidah kehilangan penyangga sehingga
penderita sulit untuk menelan dan bil berbaring lidah akan jatuh menutup jalan nafas
walaupun penderita dalam keadaan sadar. Pada keadaan seperti ini, posisi penderita yang
paling nyaman adalah agak membungkuk.
Trauma tajam pada leher dapat menimbulkan perdarahan oleh hematoma, hal ini
dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas dan menyulitkan pada waktu intubasi
endotrakeal. Apabla tidak memungkinkan dilakukan intubasi endotrakeal, harus segera
dilakukan krikotiroidotomi atau trakeotomi. Trauma tumpul pada leher dapat
menimbulkan edema dan kerusakan pada laring dan trakea yang dapat jalan nafas.
2.3.2 Tanda – tanda Sumbatan Jalan Nafas4
Pada keadaan penderita yang masih bernafas, mengenali ada tidaknya sumbatan
jalan nafas dapat dilakukan dengan lihat (look), dengar (listen), dan raba (feel).
a. Lihat (Look)
Dilihat apakah penderita mengalami agitasi atau penurunan kesadaran. Agitasi
memberi kesan adanya hipoksemia yang mungkin disebabkan oleh karena sumbatan
jalan nafas. Dilihat pula pergerakan dada dan perut waktu bernafas, normalnya pada
posisi berbaring waktu inspirasi dinding dada bergerak keatas, dinding perut bergerak
ke atas dan waktu ekspirasi dinding dada turun dan dinding perut juga turun. Pada
sumbatan jalan nafas total atau parsial berarti waktu inspirasi dinding dada bergerak
turun tapi dinding perut bergerak naik sedangkan waktu ekspirasi terjadi sebaliknya.
Gerak nafas ini disebut seesaw atau rocking respiration.
Adanya retraksi sela iga, supra klavikula atau subkostal merupakan tanda
tambahan sumbatan jalan nafas. Sianosis yang terlihat di kuku atau bibir
menunjukkan adanya hipoksemia akibat oksigenasi yang tidak adekuat. Pada
penderita trauma perlu dilihat adanya deformitas daerah maksilofasial atau leher serta
adanya gumpalan darah, patah tulang, gigi dan muntahan yang dapat menyumbat
jalan nafas.
b. Dengar (Listen)
Didengar suara nafas`dan tidaknya suara tambahan. Adanyasuara nafas`tambahan
berarti ada sumbatan jalan nafas parsial. Suara nafas tambahan dapat berupa
dengkuran (snoring), kumuran (gurgling), atau siulan (crowing stridor) menunjukan
adanya penyempitan jalan nafas karena spasme, edema taau pendesekan. Suara bicara
pendrita yang normal menujukkan tidak ada sumbatan jalan nafas sedangkan suara
yang parau menunjukkan adanya masalah di daerah laring.
c. Raba (Feel)
Dirabakan hawa ekspresi yang keluar dari lubang hidung atau mulut, dan ada
tidaknya getaran di leher waktu bernafas. Adanya getaran di leher menunjukkan
sumbatan parsial ringan. Pada penderita trauma perlu diraba apakah ada faktur di
daerah maksiofasial, bagaimana posisi trakhea.
Lihat Dengar Raba
Sumbatan Gerak Nafas Suara Tambahan Hawa Ekspresi
Bebas Normal (-) (+)
Parsial Ringan Normal (+) (+)
Parsial Berat See saw (+) (+/-)
Total See saw (-) (-)

2.4 Penyebab Gangguan Nafas4


Gangguan nafas dapat berupa hipoventilasi sampai ke henti nafas yang dapat
disebabkan oleh bermacam-macam faktor tapi pada dasarnya dapat dibagi dalam dua
kelompok :
a. Penyebab di sentral
Segala sesuatu yang menimbulkan depresi pada pusat nafas akan menimbulkan
gangguan nafas. Contoh: obat-obatan (anesthesia, narfkotik, tranquilizer), trauma
kepala, radang otak, stroke, tumor.
b. Penyebab di perifer
- Jalan nafas: sumbatan jalan nafas akan menganggu ventilasi dan oksigenasi, tetapi
setelah jalan nafas bebas masih tetap ada gangguan ventilasi, maka harus dicari
penyebab yang lain.
- Paru: kelainan di paru seperti radang,aspirasi, atelektasis, edema, contusio dapat
menyebabkan gangguan nafas.
- Rongga pleura: normalnya rongga pleura kosong dan bertekanan negatif, tetapi bila
ada sesuatu yang menyebabkan tekanan menjadi positif seperti udara
(pneumothoraks), cairan (fluidothoraks), darah (hematothoraks) maka paru dapat
terdesak dan timbul ganguan nafas.
- Dinding dada: patah tulang yang multipel apalagi segmental akan menyebablan
nyeri waktu inspirasi dan terjadinya flail chest sehingga terjadi hipoventilasi sampai
ateleksis paru.
- Otot nafas: otot inspirasi utama adalh difragma dan interkostal eksternus, bila ada
kelumpuhan otot-otot tersebut, misal karena sisa obat pelumpuh otot, miastenia
gravis akan menyebabkan gangguan nafas. Tekanan intra abdominal yang tinggi
akan menghambat gerak difragma
- Syaraf: kelumpuhan atau menurunnya fungsi syaraf yang menginervasi otot
intekostal da difragma akan menurunkan kemampuan inspirasi sehingga terjadi
hipoventilasi. Contoh: Blok subaracnoid yang terlalu tinggi, cedera tulang leher,
Guillain Barre Syndrome, Poliomyelitis.
- Jantung: kelainan pada jantung seperti payah jantung kiri, infark miokard akut,
tamponade jantung dapat menyebabkan gangguan pada paru yang akan
menimbulkan gangguan nafas.

2.4.1 Patofisiologi4
Jalan nafas yang tersumbat akan menyebabkan gangguan ventilasi, sehingga
langkah pertama adalah membuka jalan nafas dan menjaganya agar tetap bebas. Setelah
jalan nafas bebas tetapi tetap ada gangguan ventilasi, maka itu harus dicari penyebab
yang lainnya. Penyebab lain yang terutama adalah gangguan pada mekanik ventilasi dan
depresi susunan syaraf pusat.
Untuk inspirasi agar diperoleh volume udara yang cukup diperlukan jalan nafas
yang bebas, kekuatan otot inspirasi yang kuat, dinding thoraks yang utuh, rongga pleura
yang negatif dan susunan syaraf yang baik. Bila ada gangguan dari unsur-unsur mekanik
diatas, maka menyebabkan volume udara inspirasi tidak adekuwat sehingga terjadi
hipoventilasi yang mengakibatkan hiperkabia dan hiposekmia. Hiperkabia menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah otak yang akan meningkatkan tekanan intrakranial yang
dapat menurunkan kesadaran dan menekan pusat nafas bila disertai hiposekmia maka
keadaan akan makin buruk. Penekanan pusat nafas akan menurunkan ventilasi. Lingkaran
ini harus dipatahkan dengan memberikan ventilasi dan oksigenasi.
Pusat nafas bekerja secara otomatis dan menurut kendali, oleh karena itu pada
penderita dengan gangguan ventilasi dimana penolong belum mampu menguasai
ventilasinya dan masih diperlukan kerjasama dengan penderita, sehingga sebaiknya
penderita tidak ditidurkan, tetap dalam keadaan sadar.
Gangguan ventilasi dan oksigenasi juga dapat terjadi akibat kelainan di paru dan
kegagalan fungsi jantung.
Parameter ventilasi: PaCO2 (N: 35 – 45 mmHg)
ETCO2 (N: 25 – 35 mmHg)
Parameter Oksigenas: PaO2 (N: 80 – 100 mmHg)
SaO2 (N: 95 – 100 %)

2.4.2 Tanda – Tanda Gangguan Ventilasi4


a. Lihat (Look)
- Takhipnea: walaupun dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti nyeri,
ketakutan, shock, dapat dianggap sebagai tanda adanay masalah jalan
nafas dan ventilasi, apalagi bila disertai dengan upaya nafas yang berat
(abnormal breathing)
- Perubahan status mental: agitasi menunjukkan adanya hipoksemia,
sedangkan penurunan kesadaran diakibatkan hipoventilasi sehingga terjadi
peningkatan PaCO2 yang akan meningkatkan tekanan intra kranial.
- Gerak nafas: Bagaiman pengembangan dada dan perut sewaktu inspirasi,
bila menurun terjadi hipoventilasi. Apakah ada paralisis otot nafas
(interkostal atau diafragma), bila terjadi kemungkina cedera tulang leher.
- Sianosis: bila ada berarti hipoksemia tetapi bila tidak nampak bukan
berarti yidak ada sumbatan jalan nafas atau gangguan ventilasi, mungkin
ada pneumothoraks, hematothoraks, fluidothoraks atau atelektasis paru.
- Disteni vena leher: perlu dilihat pada penderita trauma, mungkin ada
tension pneumithorkas atau tamponade jantung.
- Jejas di dada: dapat berupa luka tusuk, luka lecet, hematoma atau bekas
roda

b. Dengar (Listen)
- Keluhan: bila penderita masih sadar dapat ditanyakan apakah ada keluhan
sesak.
- Suara nafas: didengarkan apakah suara nafas normal, menurun atau hilang,
apakah ada suara tambahan stridor, wheeze, ronkhi.
c. Raba (Feel)
- Hawa ekspirasi: diraba di lubang hidung ekshalasi, hidung, nulut,
trakheostomi atau pipa endotrakeal.
- Emfisema subkutis: pada penderita trauma sering terjadi patah tulang iga
multipel yang menimbulkan emfisema subkutis.
- Krepitasi/ nyeri tekan: pada trauma thoraks sering terjadi patah tulanh iga
multipel yang menimbulkan nyeri pada waktu dipakai bernafas, sehingga
penderita bernafas dangkal yang dapat menyebabkan hipoventilasi dan
atelektasis paru.
- Deviasi trakea

2.5 Rangkaian Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik mungkin menunjukkan suara nafas yang menurun. Rangkaian


pemeriksaan biasanya tidak terlalu dibutuhkan, tapi jika diperlukan, biasanya meliputi X-
rays, bronkoskopi dan laringoskopi. 7

2.6 Tatalaksana

Jika korban mengalami obstruksi penuh / komplit dan tidak mampu untuk bicara
atau bernafas, Heimlich maneuver kemungkinan dapat menyelamatkan nyawanya.
Tatalaksana yang dapat dilakukan bergantung pada penyebab terjadinya sumbatan jalan
nafas. Benda asing yang tertahan di saluran nafas dapat dipindahkan dengan
menggunakan laringoskopi atau bronkoskopi. Sebuah tube dapa dimasukkan ke dalam
saluran nafas (endotracheal tube atau nasotracheal tube). Terkadang dilakukan
pembukaan langsung ke dalam saluran pernafasan (tracheostomy atau
cricothyroidotomy).

Obstruksi jalan nafas adalah suatu keadaan yang sangat darurat. Merupakan
pemikiran yang baik untuk belajar membersihkan suatu sumbatan jalan nafas karena
benda asing dengan menggunakan metode Heimlich maneuver. Penyakit-penyakit yang
dapat menyebabkan terjadinya gangguan jalan nafas berkembang dalam beberapa jam,
kondisi ini memungkinkan pasien untuk pergi ke rumah sakit terdekat. Jika terjadi
obstruksi jalan nafas akut, telepon ambulan rumah sakit terdekat yang Anda ketahui, dan
pergunakan pengetahuan dan alat atau bahan apapun yang Anda miliki yang dapat
membantu mempertahankan pernapasan korban, sampai dengan bantuan medis datang. 7

2.7 Prognosis

Tatalaksana sedini mungkin sering menunjukkan keberhasilan. Bagaimanapun,


kondisi dimana seseorang mengalami gangguan jalan nafas adalah berbahaya dan dapat
menjadi fatal, bahkan jika dilakukan tatalaksana sekalipun. 7 Adapun kebrhasilan
tatalaksana gangguan jalan nafas sangat bergantung pada :

• kecepatan menemukan korban,


• kecepatan meminta bantuan pertolongan, serta
• kemampuan penolong yang ada di tempat kejadian.
2.8 Pemeriksaan Tambahan4
a. Pulse Oximeter: untuk mengukur saturasi O2 secara kontinyu dan tidak invasif.
b. CO2 detector (capnograf): untuk mengukur kadar CO2 pada hawa saat akan
ekspirasi (End Tidal CO2) secara kontinyu dan tidak invasif, dapat pula untuk
membantu mencek apakah intubasi yang dilakukan masuk trakea atau esofagus,
bila masuk esofagus kadar CO2 rendah.
c. Gas darah: tindakan untuk mengukur PH, PaCO2 dan BE sehingga bisa diketahui
oksigenasi, ventilasi dan asam basa penderita saat itu.
d. Foto thoraks: untuk mengetahui jalan nafas, paru, rongga pleura, sinus
phrenicocostalis, difragma, tulang dinding dada, jantung dan mediastinum. Untuk
melihat keadaan trakea, paru, rongga pleura, jantung dan dinding dada.

BAB III
TATA LAKSANA JALAN NAFAS

Tatalaksana jalan nafas (air way) merupakan tindakan awal dari resusitasi. Hal ini
sangat penting karena jika terdapat sumbatan pada jalan nafas, oksigen tidak dapat masuk
ke paru-paru, sehingga jantung dan sistem sirkulasi tidak dapat mendistribusikan oksigen
ke organ – organ vital tubuh.
Tindakan untuk membebaskan jalan nafas dibedakan menjadi:
 Manuver Tanpa alat7
1. Membuka jalan nafas
2. Membersihkan jalan nafas
3. Mengatasi sumbatan jalan nafas
 Manuver Dengan Alat8
1. Sungkup muka dengan ambu bag atau dihubungkan dengan O2
2. Mayo (pemasangan pipa orofaring atau nasofaring)
3. Intubasi dengan ETT (Endo Tracheal Tube)
4. Sungkup laring (LMA, Laryngeal Mask Airway)
5. Krikotirodektomi
6. Trakeostomi
7. Suction

3.1 Manuver Tanpa Alat7


3.1.1. Buka Jalan Nafas
Triple Air Manuver menurut Saffar: posisi operator dekat dengan kepala penderita,
1. Leher diekstensikan dan dipertahan oleh kedua tangan pada sendi atlanto-oksipital.
(head tilt)
2. Elevasikan mandibula penderita oleh kedua tangan (jaw thrust)
3. Membuka mulut dengan ibu jari atau keempat jari yang lain (mouth opening)
Dengan manuver tersebut, diharapkan lidah terangkat dan jalan nafas bebas,
sehingga gas atau udara lancar masuk trakea lewat hidung atau mulut.5
Gambar 5. Triple Airway Maneuver7

Bila diketahui atau dicurigai ada trauma kepala dan leher, korban hanya
digrakkan/ dipindahkan bila memang mutlak perlu. Pada dugaan patah tulang leher,
pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala (jaw thrust) merupakan metode yang
paling aman untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Bila belum berhasil, dapat
dilakukan sedikit ekstensi kepala.5
3.1.2 Bersihkan Jalan Nafas
Untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat jalan nafas ada beberapa cara
yang dapat dilakukan yaitu :
1. Finger sweep (disapu dengan jari)8
Pada tindakan menyapu korban sebaiknya digulingkan pada salah satu sisi.
Sesudah tindakan membuka mulut dengan satu tangan memegang lidah dan rahangnya,
penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lain ke dalam satu sisi
mulut korban, melalui bagian belakang faring, keluar lagi melalui sisi lain mulut, dalam
gerakan menyapu.
Gambar 6. Finger sweep8

2. Abdominal thrust 8
Tindakan hentakan abdomen ini dilakukan apabila kita gagal melakukan finger
sweeping.
3.Chest thrust8
Tindakan ini dilakukan pada pasien anak, obesitas, dan wanita hamil. Hentakan
dada dilakukan pada posisi terlentang. Urutan yang dianjurkan adalah :
1. Berikan 6-10 kali hentakan abdomen
2. Buka mulut dan lakukan sapuan jari
Reposisi pasien, buka jalan nafas dan berikan ventilasi buatan. Urutan ini
hendaknya diulang sampai benda asing keluar dan ventilasi buatan dapat dilakukan.

Gambar 7. Back blows


Gambar 8. Abdominal thrust.

4. Heimlich manuver 8
Untuk kemungkinan sumbatan apabila saat bantuan nafas, rongga dada tidak
mengembang. Apabila pasien tidak sadar maka kita dapat melakukan abdominal thrust
atau back blows pada posisi horizontal Apabila pasien sadar, minta penderita untuk
membatukkan benda asing tersebut atau dapat juga dilakukan abdominal thrust dan back
blows. Untuk pasien bayi sebaiknya dilakukan back blow (pemukulan pada punggung).
5. Back Blow5
Untuk pasien bayi, lakukan pemukulan pada punggung. Bila bayi sadar akan
terbatuk dan bila batuk tidak efektif lakukan pemukulan pada punggung 5 kali.
3.2.2. Atasi sumbatan jalan nafas3
Bila sesudah dilakukan gerakan tripel, serta pembersihan mjlut dan faring lalu
masih ada sumbatan pasang pipa jalan nafas (oropharyngeal aiway atau nasopharyngeal
airway). Bila belum berhasil, lakukan intubasi trakea. Bila tidak dapat dilakukan intubasi,
sebagai alternatifnya adalah krikotirotomi atau fungsi membran krikotiroid dengan jarum
berlumen besar (kanula intra vena 14G).

Manuver dengan Alat


3.2.1 Jalan Nafas Faring 5
Jika manuver tripel kurang berhasil, maka dapt dipasang jalan nafas mulut-faring
lewat mulut (OPA, Oro-Pharyngeal Airway) atau jalan nafas hidung-faring lewat hidung
(NPA, Naso-Pharyngeal Airway).
NPA: berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut.
Pemasangan harus berhati-hati untuk menghindari trauma mukosa hidung, pipa diolesi
dengan jelly.
OPA: berbentuk pipa gepeng lenkung sepert huruf C, berlubang di tengahnya dengan
salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras unutk mencegah kalau
penderita mengigit lubang tetap paten, sehingga aliran udar tetap terjamin. OPA juga
dipasang bersama pipatrakea atau sungkup laring untuk menjaga patensi kedua alat
tersebut dari gigitan penderita.

3.2.2 Sungkup muka/ Fask Mask


Sungkup muka (face mask) mengantar udar/ gas dari alat resusitasi stsu sistem
anestesi ke jalan nafas penderita. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika
digunakan untuk bernafas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk
semua ke trakea lewat mulut dan hidung. Bentk sungkup muka sangat beragam
bergantung usia da pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir; 02, 01, 1 untuk anak
kecil; 2, 3 untuk anak yang lebih besar dan 4, 5 untuk dewasa. Sebagian sungkup muka
dari bahan transparan supaya udara eksprasi terlihat ( berembun) atau jika terdapat
muntahan atau bibir terjepit akan terlihat.5

Gambar 9. Sungkup muka.9


Cara memegang sungkup muka:
1. Posisi penderita terlentang
2. Sungkup muka diletakkan menutupi mulut dan hidung penderita
3. Pegang sungkup muka dengan mengunakan tangan kiri, sedangkan tangan
kanan memompa kantung udara untuk memberikan ventilasi tekanan positif
4. Sungkup ditekankan ke bawah (wajah penderita) dengan menggunakan jari
telunjuk dan ibu jari tangan kiri.
5. Jari tengah dan jari amnis memegang mandibula penderita
6. Jari kelingking mendorong angulus mandibula penderita penderita ke arah
anterior (jaw thrust) untuk mengekstensikan kepala penderita sehingga
pangkal lidah tidak jatuh.
7. Jari penolong yang mememgang penderita harus diletakkan pada tulang
mandibula. Jari yang diletakkan di jaringan lunak pendukung lidah dapt
menyebabkan obstruksi jalan nafas.
8. pada situasi yang sulit, kedua tangan dapat digunakan untuk memmegang
sungkup dengan benar dan menciptakan jaw thrust yang adekwat, sedangkan
kantung dapat dipompa oleh asisten penolong morgan.

Gambar 10. Cara memegang sungkup muka dengan satu dan dua tangan9

Tekanan ventilasi positif yang normal diberikan adalah 20 mmH2O. Tekanan lebih
dari 20 mmH2O dapat menyebabkan inflasi lambung. Komplikasi penggunaan sungkup
muka yang lama adalah cedera pada cabang saraf trigeminal dan saraf fasialis akibat
tekanan di wajah, dan juga dapat menyebabkan iskemia. Hal ini dapat dicegah dengan
tidak menekan sungkup terlalu keras pada wajah pasien (gunakan tenaga minimal yang
dibutuhkan untuk menciptakan sungkup yang kedap) dan mengubah posisi sungkup
secara berkala. Penekanan pada mata dan abrasi kornea harus dihindari.9

3.2.3 Sungkup Laring/ LMA/ Laryngeal Mask Airway


Sungkup laring (LMA, Laryngeal-Mask –Airway) ialah alat jalan nafas berbentuk
sendok terdiri atas pipa besar berlubang denganujung menyerupai sendiok yang
pinggirnya dapat dikembeng-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai lama
LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spinal untuk menjaga
supaya tetap paten.5
Dikenal 2 macam sungkup laring, yaitu:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa nafas
2. Sungkup laring dengan dua pipa, yaitu satu pipa standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujungnya distalnya berhubungan dengan esofagus.
Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengancara atau tanpa bantuan
laringoskop. Sebenrnya alat ini dibuat dengantujuan diantaranya supaya dapat dipasang
langsung tanpa bantuan alat dan dapat digunakan jika intubasi trakea diperkirakan akan
mendapat kesulitan. LMA memang tidak dapat mengganti kedudukan intubasi trakea
diperkirakan akan mengganti kedudukan intubasi trakea, tetapi ia terletak diantara
sungkup muka dan intubasi trakea. Pemasangan hendaknya menunggu anestesi cukup
dalam atau menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut, faring-
laring. Setelah alat terpasang untuk menghindari pipa nafasnya tergigit, maka dpat
dopasang glungan kain kasa (bite block) atau pipa nafas mulut faring (OPA).
Gambar 11. Laryngeal Mask Airway9
A. LMA yang sudah siap untuk dimasukkan. B,C,D. Cara memasukkan LMA.

Bila pemasangan LMA benar maka LMA akan terletak dibawah basis lidah,
dibatasi oleh sinus piriformis di lateral, dan diatas sfingter esofagus atas. LMA, secara
parsial, melindungi faring dari sekresi faring. Tetapi LMA tidak dapat melindungi laring
dari regurgitasi lambung. Bukti terbaru menunjukkan bahwa LMA lebih sedikit
menyebabkan bronkospasme daripada endotcheal tube karena LMA tidak dimasukkan ke
dalam trakea. 9
Kontraindikasi LMA adalah pasien-pasien yang membutuhkan ventilasi tekanan
positif lebih dari 20 cmH2O, pasien dengan risiko aspirasi, patologi faring (misalnya
abses), obstruksi faring, perut penuh (misalnya wanita hamil, hiatal hernia) atau pasien
dengan compliance paru rendah (contohnya obesitas) yang membutuhkan ventilasi
tekanan positif lebih dari 20 cmH2O.9

3.2.4 Endotracheal Tubes (ETT atau pipa trakeal)


ETT menghantarkan udara secara langsung ke trakea. Pipa ini dapat dimasukkan
melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube). Stylet dapat
dimasukkan ke dalam ETT untuk mengatur bentuk dan kekakuannya. Orotracheal tube
adalah cara intubasi yang paling sering digunakan karena keberhasilannya tinggi dan
komplikasi yang terjadi relatif sedikit.9

Gambar 12. ETT Murphy.9

Kelancaran aliran udara melalui ETT bergantung terutama pada diameter pipa,
tetapi panjang pipa dan kelengkungan pipa juga mempengaruhinya. Pemilihan diameter
pipa yang digunakan harus mempertimbangkan aliran udara maksimal yang dapat
diberikan dengan trauma jalan nafas seminimal mungkin.9
Tabel 1. Ukuran ETT.9

Balon udara pada ETT mencegah kemungkinan aspirasi dan menciptakan


ventilasi tekanan positif. Pipa tanpa balon udara digunakan pada anak-anak untuk
menghindari trauma tekanan dan batuk post intubasi.Komplikasi yang mungkin terjadi
pada nasotracheal tube adalah perdarahan, infeksi, laringospasme, dan kerusakan
choncha.9

Rigid Laringoscopes
Laringoskop adalah alat untuk memeriksa laring dan memfasilitas intubasi trakea.
Pengangan laringoskop memiliki baterai untuk menyalakan lampu yang terdapat pada
blade. Berdasarkan bentuk blade-nya, laringoskop dibagi menjadi dua jenis, yaitu
bladelurus dan blade lengkung. Pemilihan blade bergantung pada pertimbangan penolong
dan anatomi saluran pernafasan pasien.9

Gambar 13. Berbagai macam blade laringoskopi.4

Laringoskop dipegang dengan menggunakan tangan kiri, kemudian dimasukkan


melalui sisi kanan mulut pasien yang terbuka lebar dan geser lidah kearah kiri. Ujung
blade yang melengkung diletakkan pada valekula sedangkan ujung blade yang lurus
diletakkan melingkupi epiglotis. Kemudian angkat laringoskopi tegak lurus terhadap
mandibula pasien sehingga pita suara dapat terlihat.9
Gambar 14. Laringoskopi dengan blade Macintosh.9

Intubasi Trakea
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan ETT ke dalam trakea melalui rima
glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara
dan bifurkasio trakea. Indikasi dilakukannnya intubasi trakea adalah:5
1. Menjaga potensi jalan nafas oleh sebab apapun (kelainan anatomi, bedah khusus,
bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas, dan lain-lain).
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, dan ventilasi jangka
panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Penyulit intubasi adalah leher yang pendek dan berotot, mandibula menonjol,
maksila atau gigi depan menonjol, uvula tidak terlihat, gerak sendi temporo mandibular
terbatas dan gerak vetebra servikal yang terbatas.
Untuk intubasi pada posisi pasien telungkup dapat digunakan ETT dengan kawat
spiral yang fleksibel. Kawat spiral mencegah ETT tertekuk atau terjepit dan menjaga
aliran udara tetap lancar.9
Untuk persiapan intubasi yang direncanakan dapat digunakan panduan
MSMAID. Pasien diletakkan pada posisi sniffing dan dilakukan preoksigenisasi melalui
sungkup muka. Intubasi dilakukan saat obat relaksasi otot telah bekerja, hal ini penting
untuk mencegah refleks pasien.

Tabel 2. MSMAID8
Gambar 15. Posisi sniffing.9
Cara melakukan intubasi9
1. Buka blade pegang tangkai laryngoskop dengan tenang.
2. Buka mulut pasien.
3. Masukkan blade pelan-pelan menyusur dasar lidah sampai ujung blade berada di
pangkal lidah kemudian geser lidah pelan-pelan ke arah kiri.
4. Angkat tangkai laryngoskop ke depan sehingga menyangkut seluruh lidah ke depan
sehingga rima glotis terlihat.
5. Ambil pipa ETT.
6. Masukkan dari sudut mulut kanan pasien arahkan ujung ETT menyusur ke rima
glotis masuk di celah pita suara.
7. Dorong pelan sehingga seluruh balon ETT berada dibawah pita suara.
8. Cabut stylet.
9. Tiup balon ETT sesuai volumenya.
10. Cek adakah suara keluar dari pipa ETT dengan menhentak dada pasien kemudian
fiksasi dengan plester
11. Hubungkan ETT dengan konektor sumber oksigen.
Konfirmasi penempatan ETT yang benar dapat dilakukan dengan :
1. Melihat langsung bahwa balon udara ETT telah melewati pita suara.
2. Tidak ada suara gelembung udara di lambung. Auskultasi lambung dilakukan terlebih
dahulu daripada auskultasi paru karena lambung lebih cepat terisi oleh gas.
3. Suara pernafasan di paru kanan sama dengan di paru kiri.
4. Adanya embun di ETT.
5. Pengisian kembali kantung ventilasi oleh udara ekspirasi.
6. Foto X-ray dada (jarang dilakukan).

Gambar 16. Tempat dilakukannya auskultasi setelah pemasangan ETT.9


Ekstubasi ETT paling baik dilakukan pada saat obat anestesi masih bekerja
dengan baik atau saat pasien sadar. Selain itu harus dipastikan bahwa efek obat relaksasi
otot benar-benar telah hilang saat ekstubasi dilakukan. Ekstubasi pada saat pasien masih
sedikit berada dalam pengaruh obat anestesi harus dihindari karena meningkatkan
kemungkinan terjadinya bronkospasme.
Komplikasi intubasi dapat terjadi selama intubasi ataupun setelah ekstubasi.
Komplikasi selama intubasi adalah trauma gigi-geligi, laserasi bibir, gusi, dan laring,
rangsangan saraf simpatis (hipertensi, takikardia), intubasi bronkus, intubasi esofagus,
aspirasi, dan bronkospasme. Komplikasi setelah ekstubasi adalah laringospasme, aspirasi,
gangguan fonasi, edema glotis-subglotis, dan infeksi laing,faring, dan trakea.9

3.2.5 Cricothiroid emergency airway 8

Teknik pembedahan untuk jalan nafas (surgical airway) dilakukan bila terjadi
obstruksi jalan nafas namun tindakan-tindakan lain untuk menyelamatkan jalan nafas
gagal dilakukan.
Langkah melakukan cricothiroid emergency airway adalah, pertama-tama
mencari lokasi membran dengan menekan garis tengah (mid line), diantara kartilago
krikoid yang mudah diraba dan bagian bawah kartilago tiroid. Kemudian tusuk daerah
tersebut dengan memakai jarum infus nomor 12 atau 14 yang disambung dengan tabung
suntik (syringe), sampai udara dapat diaspirasi.
Ujung kanula kemudian dihubungkan pada sumber oksigen dan berikan
oksigen 15 L/ menit dan ventilasi pasien selama 1 detik dan biarkan untuk ekspirasi
selama 4 detik.

3.2.6 Trakheostomi8
Trakheostomi dilakukan dengan diseksi ke arah trakea, setelah sebelumnya
dilakukan suctioning untuk menghindari aspirasi darah dan sekret. Setelah dilakukan
diseksi, balon ETT dikempiskan untuk menghindari perforasi oleh skalpel. Setelah
dinding trakhea ditranseksi, ETT ditarik hingga ujungnya berada di daerah atas insisi.
Laringektomi steril berbentuk “J” diletakkan pada trakhea, dihubungkan dengan sirkuit
pernapasan steril, dan disuturasi ke dinding dada. Setelah berada dalam posisi yang tepat,
lakukan konfirmasi dengan capnography dan auskultasi dada.
DAFTAR PUSTAKA

1. Benumof, Jonathan L. Nonintubation Management of The Airway: Mask


Ventilation. In: Airway Management Principles and Practice. Mosby-Year
Book, Inc. 1996.
2. Parsons, Polly E. Tracheal Intubation and Airway Management. In: Critical
Care Secrets. Third ed. Hanley & Belfus, Inc. 2003.
3. Soerasdi, E. Resusitasi Jantung Paru Bantuan Hidup Dasar. Bagian/ SMF
Anestesiologi dan Perawatan. Bandung. 2004.
4. Tim SPDGT dan PPGD. Materi Anesthesi. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
2001.
5. Latief, S. A. Petunjuk praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta. Penerbit FKUI. 2002.
6. Moore, Keith L. Clinically Oriented Anatomy. 4th edition. Lipincott Williams &
Wilkins. Awolter Kluwer Company. 1999.
7. Zimmerman, Janice L. Airway management. In: Fundamental Critical Care
Support Textbook. The Society of Critical Care Medicine. United States of
America.1998.
8. Safar, P. Airway Control. In: Cardiopulmonal Cerebral Resuscitation. 3rd
edition. World Federation of Societies of Anaesthiesiologists. W B Saunders
Company. 1988.
9. Morgan, Edward G. Airway Management. In: Clinical anesthesiology. 2ndedition
Appleton & Lange. A Simon & Schuster company. 1996.

Anda mungkin juga menyukai