Oleh:
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam beberapa dekade terakhir, berkembang suatu disiplin ilmu yang cukup
populer yaitu Nanotechnology. Istilah nanoteknologi pertama kali dipopulerkan
peneliti Jepang Norio Taniguchi pada tahun 1974. Nanoteknologi merupakan teknologi
yang mampu mengerjakan dengan ketepatan lebih kecil dari satu mikrometer (seperjuta
meter) yakni dalam skala nanometer (sepermiliar meter), dengan aplikasi yang sangat
luas melingkupi hampir di seluruh kehidupan manusia. Secara umum, penerapan
nanoteknologi di industri pangan dapat ditemui pada berbagai sektor, diantaranya pada
pengolahan, produk, pemantauan kualitas, dan kemasan pangan.
Teknologi nano merupakan pengembangan, pemanfaatan dan manipulasi
bahan, perangkat atau sistem dalam skala nano atau lebih kecil dari 100 nm. Teknologi
ini telah menghasilkan berbagai aplikasi dalam industri pangan, di antaranya yaitu
nanoenkapsulasi.
Enkapsulasi menjadikan komponen kecil sebagai bahan utama untuk dilapisi
dengan dinding atau membran yang kemudian terwadahi dalam sebuah kapsul. Proses
ini secara luas telah dikembangkan dalam bidang pangan, di mana enkapsulasi mampu
menjaga komponen bioaktif seperti polifenol, zat gizi mikro, enzim, dan antioksidan;
sehingga meningkatkan kestabilan dalam produk pangan.
Pada bidang pangan, nanoteknologi sudah berdampak pada pengembangan
makanan dengan fungsi khusus yang akan merespon sesuai kebutuhan di dalam tubuh
manusia. Salah satu contohnya adalah desain nanokapsul yang mampu menghantarkan
zat gizi secara lebih baik, efisien dan sesuai kebutuhan tubuh.
Di bidang pangan, teknologi nano telah mendapat perhatian yang cukup
signifikan. Beberapa contoh aplikasinya adalah sebagai nano-ingredient, nano-emulsi,
nano-enkapsulasi, dan nano-material additive pada produk-produk susu, nutritional
drink, dan pengemas. Di tahun 2008, Friends of the Earth (lembaga internasional yang
bergerak dalam pelestarian lingkungan hidup) melaporkan terdapat 104 jenis pangan,
bahan tambahan pangan, food contact materials (kemasan, dll) yang mengandung
partikel nano. Setidaknya, terdapat 4 benefit dapat diperoleh dari pemanfaatan
teknologi nano di bidang pangan yaitu memiliki kemampuan antimikroba, perbaikan
sifat barrier dan mekanis, perbaikan stabilitas system emulsi, dan Bioavailability.
Penambahan nanokapsul pada pangan dapat membantu penyerapan zat gizi
yang lebih baik. Salah satu perusahaan roti di Australia, misalnya, menambahkan
nanokapsul berisi minyak ikan tuna (mengandung omega 3) pada produk roti mereka.
Kapsul ini dirancang untuk melepaskan isi minyak ikan hanya ketika kapsul berada di
dalam perut, sehingga menghindari rasa dan bau yang kurang menyenangkan dari
minyak ikan. Contoh lainnya adalah perusahaan bernama Biodelivery Sciences
International yang telah mengembangkan nanokapsul yang dapat digunakan untuk
dengan lebih efektif mengantarkan zat gizi seperti vitamin, asam lemak, omega, dan
antioksidan likopen ke sel-sel tubuh tanpa mempengaruhi rasa dan warna produk
pangan.
B. Rumusan Masalah
Nanoenkapsulasi adalah teknologi untuk melindungi zat dalam ukuran kecil yang
mengacu pada kemasan bioaktif pada kisaran nano yakni 10-9nm. Peningkatan sifat-
sifat fungsional asap cair perlu dikembangkan melalui teknik nanoenkapsulasi.
Keuntungan yang bisa didapatkan dengan teknologi nanoenkapsulasi ini antara lain
peningkatan rasa, warna, tekstur,flavor, dan stabilitas komponen bioaktif di dalamnya
Banyaknya keuntungan dari nanoenkapsulasi diharapkan dapat dimanfaatkan
masyarakat Indonesia dengan baik, namun hingga saat ini teknologi nanoenkapsulasi
masih belum begitu dikenal oleh masyarakat awam, berdasarkan hal tersebut kelompok
kami ingin membahas mengenai teknologi nano berupa nanoenkapsulasi, dengan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan nanoenkapsulasi ?
2. Apa saja manfaat nanoenkapsulasi ?
3. Bagaimana teknik pembuatan nanoenkapsulasi ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari nanoekapsulasi
2. Mengetahui manfaat manfaat dari nanoenkapsulasi
3. Mengetahui teknik pembuatan nanoenkapsulai
BAB II
PEMBAHASAN
C. Teknik Nanoenkapsulasi
L: Lipofilik
H: Hidrofilik
Sistem gelasi ionik merupakan teknik nanoenkapsulasi yang melibatkan
pemecahan fase tunggal atau campuran polielektrolit dalam suatu larutan yang
kemudian endapan dari pemecahan tersebut akan membentuk sistem gelasi inonik di
sekitar komponen bioaktif yang menjadi target. Palupi dkk (2014) mengembangkan
proses enkapsulasi teknik sistem gelasi ionik pada cabai merah menggunakan alginat
dan protein yang disubsitusi dengan tapioka terfotooksidasi. Diketahui bahwa cabai
merah mengandung senyawa aktif kapsaisin dan alginat digunakan karena memiliki
gugus karboksil yang mampu membentuk gel. Penggunaan tapioka terfotooksidasi
sebagai bahan subsitusi karena perlakuan oksidasi dan iradiasi ultraviolet pada pati ini
menghasilkan pati yang memiliki ikatan silang. Adanya matrik ikatan silang tersebut
pada level rendah dapat meningkatkan kapasitas enkapsulasi. Palupi menjelaskan
bahwa subsitusi pati terfotooksidasi dan perbedaan konsentrasi memengaruhi efisiensi
enkapsulasi. Nilai rendemen semakin meningkat dengan meningkatan konsentrasi
subsitusi pati terfotooksidasi dan semakin tinggi konsentrasi suspensi kapsul cabai
merah, maka akan meningkatkan loading capacity, kadar air, dan rendemen. Loading
capacity adalah banyaknya kapsaisin kapsul cabai merah yang diperoleh per berat
kapsul.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nanoteknologi merupakan teknologi yang mampu mengerjakan dengan
ketepatan lebih kecil dari satu mikrometer (seperjuta meter) yakni dalam skala
nanometer (sepermiliar meter), dengan aplikasi yang sangat luas melingkupi hampir di
seluruh kehidupan manusia. Komponen utama dalam nanoenkapsulasi dibedakan
menjadi dua macam yaitu komponen hidrofilik dan lipolifik. Manfaat teknologi
nanoenkapsulasi adalah meningkatkan kelarutan, bioavailabilitas dan control release,
menjaga kestabilan komponen bioaktif selama pemrosesan dan penyimpanan,
melindungi zat aktif terhadap interaksi dengan lingkungan.
Terdapat beberapa metode dalam proses pembuatan nanokapsul, seperti
emulsifikasi, emulsifikasi-evaporasi pelarut (emulsification-solvent evaporation),
sistem gelasi ionik (coacervation), nanopresipitasi, serta dengan metode pengeringan.
Pemilihan teknik tersebut mengacu pada sifat fisik dan kimia dari bahan utama yang
nanokapsul.
DAFTAR PUSTAKA
Reis, C.P., Neufeld, R.J., Ribeiro, A.J and Veiga, F. 2006. Nanoencapsulation I. Methods for
Preparation of Drug-Loaded Polymeric Nanoparticles. Nanomedicine : Nanotechnology,
Biology & Medicine (2) : 8-21.
Wang, Y., Lu, Z., Lu, F., dan Bie, X. 2009. Study on Microcapsulation of Curcumin Pigments
by Spray Drying. Europena Food Research Technology (229) : 391-396.
Ezhilarasi, P.N., Karthik, P., Chhanwal, N. Nanoencapsulation Techniques for Food Bioactive
Components: A Review. Food Bioprocess Technology (2013) 6: 628-647
Palupi, Niken Widya., Setiadi, Pandu Khrisna Juang., Yuwanti, Sih. Enkapsulasi Cabai Merah
dengan Teknik Coacervation Menggunakan Alginat yang Disubsitusi dengan Tapioka
Terfotooksidasi. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 3 (3) 2014
Duncan TV. 2011. Applications of nanotechnology in food packaging and food safety: barrier
materials, antimicrobials and sensors. J Colloid Interface Sci. 363:1 – 24.
Fanny, Silvia. 2012. Zeolit nano partikel untuk pencegahan penyebaran virus flu burung.
[Diakses tanggal 14 Februari 2017]. Tersedia di: http://www.scribd.com/doc/89968408/K3.
Li D, Lyon DY, Li Q, Alvarez PJJ. 2008. Effect of natural organic matter on antibacterial
activity of fullerene water suspension. Environ Toxicol Chem. 27: 1888 – 1894.
Marbun E. 2012. Sintesis bioplastik dari pati ubi jalar menggunakan penguat logam ZnO dan
penguat alami selulosa. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Rhim JW, Wang LF. 2013. Mechanical and water barrier properties of agar/κ-
carrageenan/konjac glucomanan tertiery blend hydrogel film. Carbohyd Polym. 96: 71 – 81.
Yousef JM, Danial EN. 2012. In vitro antibacterial activity and minimum inhibitory
concentration of zinc oxide and nano-particle zinc oxide against pathogenic strains. J of Health
Sci. 2 (4): 38 – 42.