Oleh :
Daniel Simanjuntak
Harry Bagus
Preceptor :
Asmaya, dr., SpKK
I. Pendahuluan
Hormon kortikosteroid yang alami berasal dari bahan dasar kortisol yang dihasilkan
dan dilepaskan oleh korteks adrenal. Fungsi hormon kortikosteroid adalah menjaga fungsi
hemostasis tubuh dengan mengatur aktivitas enzim dalam tubuh. Baik hormon
kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan gangguan
fungsi adrenal. Reseptor kortikosteroid ditemukan pada berbagai jenis sel seperti limfosit,
monosit/makrofag, osteoblas, sel hati, otot, lemak dan fibroblas. Hal ini menerangkan
mengapa kortikosteroid memberikan efek biologis terhadap begitu banyak sel.
Kedua kelenjar adrenal, yang masing-masing mempunyai berat kira-kira 4 gram,
terletak di kutub superior dari kedua ginjal. Tiap kelenjar terdiri atas 2 bagian yang berbeda,
yaitu medula adrenal dan korteks adrenal. Medula adrenal secara fungsional berkaitan
dengan sistem saraf simpatis yang mensekresi hormon epinefrin dan norepinefrin. Korteks
adrenal mensekresi kelompok hormon kortikosteroid. Korteks adrenal sendiri dibagi dalam
3 zona yang mensintesis berbagai steroid. Bagian luar yaitu zona glomerulosa menghasilkan
mineralokortikoid, yaitu aldosteron yang mempengaruhi keseimbangan elektrolit (mineral)
cairan ekstraselular, terutama natrium dan kalium. Tanpa mineralokortikoid, maka besarnya
konsentrasi ion kalium dalam cairan ekstraselular meningkat secara bermakna, konsentrasi
natrium dan klorida akan berkurang, dan volume total cairan ekstraselular dan volume darah
juga akan sangat berkurang. Pasien akan mengalami penurunan curah jantung yang dapat
berakibat kematian. Oleh karena itu mineralokortikoid dikatakan merupakan bagian
“penyelamat nyawa” dari hormon adrenokortikal. Bagian tengah, zona fasikulata dan
lapisan terdalam zona retikularis mensintesis glukokortikoid seperti kortisol/hidrokortison
dan androgen adrenal. Kortisol sendiri memiliki efek yang bermacam – macam, beberapa
diantaranya adalah untuk merangsang proses glukoneogenesis (pembentukan karbohidrat
dari beberapa protein dan zat lain) oleh hati, penurunan pemakaian glukosa oleh sel-sel
tubuh, pengurangan protein sel di seluruh tubuh kecuali protein hati, mobilisasi asam lemak
dan efek anti inflamasi.
Sekresi kortikosteroid diregulasi oleh hormon hipotalamus yaitu CRH
(Corticotropin Releasing Hormone). CRH kemudian akan memberi sinyal kepada hipofisis
anterior untuk mengeluarkan ACTH. ACTH ini akan merangsang sel fasikulata pada koterks
adrenal untuk mengeluarkan kortisol.
Penggunaan kortikosteroid topikal pertama kali diperkenalkan oleh Sulzberger dan
Witten pada tahun 1952 dengan menggunakan hidrokortison. Sejak itu kortikosteroid
topikal adalah obat yang paling umum diberikan dalam obat dermatologik.
II. Farmakologi
Kortisol dapat dimodifikasi dengan menambahkan/merubah gugus fungsional pada
suatu posisi. Menambahkan fluorin pada posisi 6 dan 9 akan meningkatkan potensi steroid,
juga mineralkortikoid. Menambahkan -hidroksil (triamkinolone), -metil (deksametason)
dan -metil (betametson) meningkatkan efisiensi senyawa tanpa menaikkan properti
penyimpanan sodium.
Potensi klinikal kortikosteroid tergantung tidak hanya dari potensi molekul, tetapi
juga dari vehikulum dan sifat kulit yang dipakaikan. Vehikulum adalah sangat penting,
karena mempengaruhi kuantitas steroid yang diberikan pada waktu tertentu. Sebagai contoh,
salep meningkatkan efek kortikosteroid karena menaikkan hidrasi dan permeabilitas pada
stratum korneum. Propilene glikol adalah vehikulum pelarut yang sering dipakai, sebab
senyawa yang mengandung proplilene glikol akan lebih poten.
2. Kelas II (potent)
Salep Cyclocort 0.1% (amkinonide)
Krim Diprolene AF 0.05% (betametason dipropionat) (vehikulum optimal)
Salep Diprosone 0.05% (betametason dipropionat) (vehikulum optimal)
Salep Florone 0.05% (diflorason diasetat)
Salep Elocon 0.1% (mometason furoate)
Krim Halog 0.1% (halkinonide)
Krim Lidex 0.05% (flukinonide)
Gel Lidex 0.05% (flukinonide)
Salep Lidex 0.05%(flukinonide)
Salep Maxiflor 0.05% (diflorason diasetat)
Krim Topicort 0.25% (deksometason)
Gel Topicort 0.05% (deksometason)
Salep Topicort 0.25%(deksometason)
3. Kelas III
Salep Aricocort 0.1% (triamkinolone asetonide)
Salep Cutivate 0.005% (flutikason propionat)
Krim Cyclocort 0.1% (amkinonide)
Lotion Cyclocort 0.1% (amkinonide)
Krim Diprosone 0.05% (betametason dipropionat)
Krim Florone 0.05 (diflorason diasetat)
Krim Lidex A 0.05% (flukinonide)
Krim Maxiflor 0.05%(diflorason diasetat)
Salep Valisone 0.1% (diflorason diasetat)
5. Kelas V
Krim Cordran 0.05% (flurandrenolide)
Lotion Cordran 0.05% (flurandrenolide)
Krim Cutivate 0.05%(flutikason proprionat)
Lotion Diprosone 0.05% (betametason diproprionat)
Lotion Kenalog 0.1% (triamkinolone asetonide)
Krim Locoid 0.1% (hidrokortison butirat)
Krim Synalar 0.025% (fluokinolon asetonide)
Krim Valisone 0.1 (betametason valerat)
Krim Westcort 0.2% (hidrokortison valerat)
6. Kelas VI (sedang)
Krim Aclovate 0.05% (aklometason dipropionat)
Salep Aclovate 0.05% (aklometason dipropionat)
Krim Aristocort 0.1% (triamkinolon asetonide)
Krim DesOwen 0.05% (desonide)
Krim Synalar 0.01% (fluokinolon asetonide)
Solusi Synalar 0.01% (fluokinolon asetonide)
Krim Tridesilon 0.05% (desonide)
Lotion Valisone 0.1% (betametason valerat)
7. Kelas VII
Topikal dengan hidrokortison.
Deksametason, flumetson, prenisolon dan metilprednisolon
V. Efek Samping
1. Striae dan atrofi kulit : biasanya terjadi karena penggunaan yang lama (3-4 minggu).
Terjadi pada daerah aksila atau inguinal dan bersifat reversibel.
2. Steroid akne
3. Dermatitis perioral dan periocular : biasanya akan membaik dengan menghentikan
pemakaian
4. Retardasi pertumbuhan dan Iatrogenic Cushing’s syndrome: terjadi akibat supresi
aksis pituitari - adrenal
5. Dermatitis kontak alergi atau iritan
6. Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi
7. Teleangiektasia
8. Hipertrikosis