Anda di halaman 1dari 38

FARMAKOTERAPI TERAPAN

KASUS INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

Disusun oleh :

Annisa Ragdha E. N. 192211101009


Novialda N. 192211101010
Novia Kristanti 192211101011
Dyah Rahma 192211101012
Rosyidah F. Zahra 192211101013
Shafira Putri Pertiwi 192211101014
Firdatus Sholehah 192211101015
Iskandar P. A. Siregar 192211101016

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Infeksi Saluran Cerna


1.1.1 Definisi
Infeksi saluran cerna atau Gastrointestinal (GI) infection adalah infeksi
yang terjadi pada saluran cerna yang penyebab utamanya adalah virus yang
mengakibatkan terjadinya inflamasi pada bagian lambung dan usus halus
(gastroenteritis). Selain virus, bakteri dan organisme lain juga merupakan penyebab
dari infeksi GI. Gejala yang dapat muncul pada infeksi GI ini dapat berupa diare,
muntah, nyeri pada perut, demam, kehilangan nafsu makan, dehidrasi, sakit kepala,
turunnya berat badan dan adanya cairan atau darah pada feses. Kebanyakan kasus
infeksi GI merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya dalam
beberapa hari. Penyebab dari penyakit ini dapat diakibatkan dari beberapa factor.
Faktor-faktor yang dapat memperparah dan dapat menyebabkan komplikasi pada
penyakit ini yaitu bayi dengan umur dibawah 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI
ekslusif, pasien dengan defisiensi vitamin A dan zat besi, serta pasien dengan
defisiensi imun akibat penyakit lain atau pengaruh obat-obatan. Selain itu,
kebersihan lingkungan yang buruk, penggunaan air yang tidak bersih dan tranposrt
makanan dalam skala luas juga merupakan penyebab terjadinya infeksi GI (Dipiro,
2015; Hammer, 2018).
Infeksi GI dapat terjadi akibat banyaknya jumlah mikroorganisme pathogen
dalam tubuh. Mikroorganisme-mikroorganisme tersebut, termasuk (Biomerieux-
diagnostics.com; Dipiro, 2015):
a. Rotavirus
Merupakan penyebab utama diare pada anak dan bayi. Telah ada vaksin
untuk rotavirus, namun rotavirus menyebabkan kematian lebih dari
setengah juta jiwa tiap tahunnya pada anak dibawah 5 tahun.
b. Adenovirus
Menyebabkan diare, demam, pendarahan dan kemerahan pada kulit serta
gagguan pada pernapasan. Adenovirus merupakan virus yang paling sering
menyebabkan diare pada pasien pediatrik setelah rotavirus.
c. Campylobacter
Bakteri yang paling sering menyebabkan gastroenteritis. Campylobacter
dapat menyebabkan diare (kadang disertai pendarahan), nyeri pada perut,
muntah dan demam. Infeksi campylobacter biasanya akibat dari memakan
makanan mentah atau kurang matang dan akibat mengkonsumsi susu yang
terkontaminasi.
d. Clostridium difficile
Penyebab utama infeksi diare yang terjadi pada pasien di rumah sakit.
Pasien geriatric dan pasien dengan defisiensi imun memiliki risiko terinfeksi
yang lebih tinggi. Pengobatan infeksi akibat C. difficile ini biasanya
menggunakan antibiotik dengan spektrum luas. Diagnosa yang dapat
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi oleh C. difficile dapat
dilihat dari kultur feses dan endoskopi.
e. Escherichia coli
Penyebab utama dari travelers’ diarrhea dan penyebab dari diare pada anak.
Infeksi E. coli dapat disebabkan akibat penggunaan air yang terkontaminasi
oleh feses manusia maupun hewan.
f. Helicobacter pylori
Penyebab dari gastritis yang dapat mengakibatkan nyeri pada perut dan
mual. Pasien yang terinfeksi oleh H. pylory ini memiliki risiko terjadinya
peptic ulcer 10-20% lebih tinggi dan risiko terjadinya kanker perut 1-2%.
g. Salmonella dan Shigella
Salmonella merupakan bakteri yang dapat menyebabkan mual, muntah,
nyeri perut, diare, demam dan sakit kepala. Salmonella dapat ditemukan
pada daging mentah, daging ungags, makanan laut, telur, susu dan produk
hasil ternak. Shigella merupakan bakteri yang menyebabkan nyeri perut,
kram, diare, demam, muntah, dan pendarahan. Shigella dapat ditemukan
pada air yang terkontaminasi oleh feses manusia.
h. Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan bakteri yang menyebabkan diare akibat keracunan
makanan yang ditandai dengan mual, muntah dan kram perut.
i. Yersinia enterocolitica
Y. enterocolitica merupakan bakteri yang dapat menyebabkan diare dan
nyeri pada perut. Infeksi bakteri ini diakibatkan memakan makanan yang
terkontaminasi, biasanya pada makanan mentah dari babi, termasuk es krim
dan susu babi. Gejala yang muncul akibat infeksi bakteri ini adalah nyeri
perut, diare yang sering disertai dengan pendarahan.

1.1.2 Patofisiologi
Proses pencernaan mulai dengan aktivitas mengunyah dimana makanan
dipecah kedalam partikel kecil yang dapat ditelan dan dicampur dengan enzim-
enzim pencernaan. Makan, atau bahkan melihat, mencium, atau mencicip makanan
dapat menyebabkan refleks salivasi. Saliva adalah sekresi pertama yang kontak
dengan makanan. Saliva disekresi dalam mulut melalui kelenjar saliva pada
kecepatan kira-kira 1,5 L setiap hari. Saliva juga mengandung mukus yang
membantu melumasi makanan saat dikunyah, sehingga memudahkan menelan. Dua
pusat dalam inti retikularis medula oblongata adalah zona pencetus kemoreseptif
yaitu uremia, emesis yang diinduksi oleh obat, emesis karena radiasi dan pusat yang
terintegrasi. Jaras eferen muncul dari hampir semua tempat tubuh. Jaras vagal
adalah sangat penting, tetapi vagotomi tidak menghilangkan muntah . jaras eferen
empatik yang memperantarai muntah berkaitan dengan distensi abdomen.
Muntah terjadi bila kedua jaras eferen somatik dan viseral menyebabkan
penutupan glotis, kontraksi diagfragma mempunyai pilorus dan relaksi lambung
diikuti oleh kontraksi peristaltik yang berjalan dari lambung tengah keujung
insisura dengan kontraksi abdmen, diagfragma, dan interkosta, muntah berkaitan
dengan tanda dan gejala cetusan otonom. Semua ada kaitan dengan gangguan
traktus gastrointestinalis, terutama obstruksi, dengan obstruksi tinngi akut
menyebabkan muntah dini. Kekacauan otonom, obat-obatan gangguan psikogenik,
dan penelanan bahan-bahan yang berbahaya merupakan menyebab lain yang
sering.( Chandranata, 2000)
Usus Besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan
panjang sekitar 1,5 meter (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani.
Diameter usus besar sudah pastu lebih besar dari usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5
inci), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar merupakan
tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki yang terbentang dari
sekum sampai canalis ani. Usus besar dibagi menjadi sekum, colon (ascenden,
tranversum, descenden, sigmoid) dan rektum. Pada sekum terdapat katup illeosekal
dan appendik yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati 2/3 atau 3 inchi
pertama dari usus besar. Katup illeosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke
sekum.
Colon dibagi menjadi colon ascenden, tranversum, desenden dan sigmoid.
Colon sigmoid mulai dari krista iliaka dan berbentuk lekukan seperti huruf S. Usus
besar memiliki 4 lapisan seperti juga pada usus lainnya. Akan tetapi ada beberapa
gambaran khas pada usus besar. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak
sempurana tetapi berkumpul dalam 3 pita yang dinamakan taenia collu. Taenia
bersatu pada sugmoid distal menjadi satu
lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih lebih pendek
daripada usus kecil yang disebut haustra. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih
tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung villi atau rugae.
Krista lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih
banyak sel goblet daripada usus halus.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sesuai
dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memvakularisasi
belahan bagian kanan (sekum, kolon ascenden, dan 2/3 proksimal kolom
tranversum, kolon, descenden, sigmoid dan bagian proksimal rektum). Aliran balik
vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesentrika superior dan inferior,
dan vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan
darah ke hati. Persyarafan usus besar disuplai oleh sistem syaraf otonom dengan
pengecualian. Sfingter ani eksterna berada dibawah kontrol volunter. Serabut staraf
parasimpatis berjalan melalui syaraf vagus kebagian tengan kolon tranversum, dan
syaraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut
simpatis meninggalkan medula spinalis melalui syaraf slangnikus untuk mencapai
kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan hambatan sekresi, kontraksi dan
perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai
efek yang berlawanan.
Usus besar mempunyai fungsu yang berkaitan dengan proses akhir isi usus.
Fungsi yang paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit, yang sudah
hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai
reservoir untuk menampung masa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi
berlangsung. Kapasitas absorbsi usus besar adalah sekitar 2000 ml per hari, bila
jumlah ini dilampaui maka akan terjadi diare. Sedikit pencernaan yang terjadi di
usus besar, terutama diakibatkan oleh bakteri dan bukan karena kerja enzim. Usus
besar mensekresi mukus alkali yang tidak mengandung enzim yang berfungsu
untuk melunasi dan melindungi mukosa.
Pada umumnya pergerakan usus besar adalah lambat, dan gerakan yang
khas adalah gerakan menganduk haustra, dimana haustra teregang dan dari waktu
ke waktu otot sirkuler akan berkontraksi untuk mengosongkannya. Pergerakan ini
menyebabkan isi usus bergerak bolak balik dan meremas remas sehingga memberi
cukup waktu untuk absorbsi. Rektum dan anus merupakan tempat penyakit yang
sering ditemukan pada manusia misalnya inkontinensia alvi bisa disebabkan oleh
kerusakan otot sfingter atau kerusakan medula spinalis dan daerah anorektal sering
menjadi tempat abses dan fistula
Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada kolon,
yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum yang menyebar
kebagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang normal tidak dijumpai.
Kelainan ini akan berhenti pada daerah ileosekal, namun pada keadaan yang berat
kelainan dapat terjadi pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal
akan terjadi kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi panjang kolon akan
menjadi 2/3 normal, pemendekan ini disebabkan terjadinya kelainan muskuler
terutama pada kolon distal dan rektum. Terjadinya struktur tidak selalu didapatkan
pada penyakit ini melainkan dapat terjadi hipertrofi lokal lapisan muskularis yang
akan berakibat stenosis yang reversibel. Lesi patologik awal hanya bterbatas pada
lapisan mukosa, berupa pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda
dengan lesi pada penyakit timbul edema dan kongesti mukosa. Edema dapat
menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi perdarahan pada trauma yang
hanya ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan. Pada stadium penyakit yang
lebih lanjut, abses kriptus pecah menembus dinding kriptus dan menyebar dalam
lapisan submukosa daerah yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mual-mula
tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih lanjutm permukaan mukosa
yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga menyebabkan banyak kehilagan
jaringan, protein dan darah (Lindsey, 2012)

1.2 Kolitis
1.2.1 Definisi
Colitis berasal dari kata kolon (usus besar) dan itis (peradangan). Colitis
adalah penyakit berupa peradangan usus besar yang menyebabkan gejala nyeri,
meradang, diare dan perdarahan anus. Usus besar meliputi area dari caecum (tempat
menempel usus buntu/appendiks), kolon ascendant, kolon transversum, kolon
descendent, sigmoid, rektum, dan anus (Lestari, 2011). Colitis amoeba merukapan
salah satu jenis colitis infeksi yang termasuk peradangan kolon yang disebabkan
oleh protozoa Entamoeba histolytica (Dipiro, 2008).
a. Faktor Familia / Genetik
Lebih sering pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam dan Cina.
Insidensi meningkat 3-6 kali pada orang Yahudi dibandingkan orang Non
Yahudi (Ariestine, 2008).
b. Faktor Infeksi
Pseudomonas (masih harus dikonfirmasi). Infeksi virus, bakteri atau parasit
dari makanan, minuman atau tangan yang kotor, umumnya : Shigella, E.
Coli, Salmonella dan Campylobacter. Amuba juga dapat menyebabkan
kolitis (menyebabkan diare darah, demam dan dehidrasi) dan Parasit :
Giardia. (Lestari, 2011)
c. Faktor Imunologik
Manifestasi ekstraintestinal : artritis, perikolangitis.
d. Faktor Psikologis
Stres psikologi mayor (ex : kehilangan seorang anggota keluarga), rentan
terhadap stres emosi yg dapat merangsang penyakit Kolitis.
e. Faktor Lingkungan / Kebiasaan
Perokok beresiko 40% terkena Kolitis dibanding bukan perokok. Hubungan
terbalik antara operasi apendikotomi dg kolitis (penyakit Kolitis menurun
secara signifikan) (Ariestine, 2008).
f. Kolitis akibat radiasi pada usus besar

1.2.2 Tanda dan Gejala.


a. Diare berdarah
b. Nyeri abdomen/Nyeri perut (nyeri bertambah saat diare dan kemudian
berkurang)
c. Seringkali terjadi demam menggigil dan tanda-tanda infeksi lain (sesuai
penyebab kolitisnya)
d. Penurunan berat badan (Kasus berat)
e. Feses mengandung sedikit darah/tanpa manifestasi sistemik (Kasus ringan)
f. Kembung dan peningkatan udara usus.

1.2.3 Anatomi letak


Colitis penyakit ulcer inflamatorik yang mengenai kolon, tetapi sebatas
mukosa dan submukosa. Kecuali pada keadaan parah. Berawal dari rektum meluas
ke perkontinuitatum. Colitis terjadi pada usus besar, khususnya bagian kolon
desenden sampai rectum.
1.2.4 Epidemiologi
Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10%
populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia
merupakan host sekaligus resevoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke
makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal atau
lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang
padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya (Dipiro,
2008).
Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan
kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia.
Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain kista
juga mengeluarkan trofozoit, namun bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan
lama diluar tubuh manusia (Dipiro, 2008).

1.2.5 Patofisiologi
E. histolytica memiliki bentuk pseudopod, merupakan parasit protozoa tidak
berflagel yang dapat menyebabkan proteolisis dan lisis jaringan, juga menginduksi
apoptosis sel host-nya. Manusia dan primata non-manusia merupakan satu-satunya
host bagi E. histolytica. Menelan kista E. histolytica yang berasal dari lingkungan
akan diikuti dengan eksistasi pada ileum terminal atau kolon, dan berubah
bentuknya menjadi trofozoit yang sangat motil. Saat kolonisasi di mukosa kolon,
trofozoit dapat menghasilkan kista yang kemudian dieksresikan melalui feces atau
dapat pula menembus barrier mukosa usus sehingga dapat masuk ke pembuluh
darah dan menyebar ke hati, paru, serta bagian tubuh lainnya. Kista yang
dieksresikan akan mencapai lingkungan dan melengkapi siklus ini.
Berdasarkan pola isoenzimnya, E. histolytica dibagi menjadi golongan
zymodeme patogenik dan zymogene nonpatogenik. Walaupun mekanismenya
belum seluruhnya jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan
cara mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi seperti
pemakan steroid memudahkan invasi parasit ini. Pelepasan bahan toksik
menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses
ini berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol, kedalaman ulkus mencapai
submukosa atau lapisan submuskularis. Tepi ulkus menebal dengan sedikit reaksi
radang. Mukosa di antara ulkus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian
kolon, tersering di sekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid, kadang-kadang
apendiks dan ileum terminalis.
Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated amibisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta
limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon
dapat menimbulkan jaringan granulasi dan membentuk massa yang disebut
ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden (Dipiro, 2008).

1.3 Tata Laksana Terapi


Kolitis yang disebabkan oleh amoeba sering dikelirukan dengan berbagai
bentuk penyakit radang usus seperti kolitis ulserativa. Amubiasis merupakan suatu
infeksi Entamoeba histolytica pada manusia dapat terjadi secara akut dan kronis.
Untuk penatalaksanaan terapi secara umum bisa dilakukan isolasi terlebih dahulu,
pemberian cairan yang adekuat, pengobatan penyulit, monitor pemeriksaan feses 3
kali untuk memastikan apakah infeksi sudah dapat dieradikasi. Secara spesifik
dapat diterapi dengan 2 golongan obat, golongan pertama yaitu golongan luminal
yang dapat membunuh amoeba secara primer, efektif di dalam lumen usus seperti
iodoquinol, paromomycin, dan diloksanid furoat. Golongan kedua efektif untuk
pengobatan dari amubiasis invasif yaitu, metronidazol atau nitriomidazol lainnya,
klorokuin, dihidroemetin. Pengobatan standar dengan metronidazole ditambah
dengan obat luminal dapat menyembuhkan sebagian besar pasien dengan amebiasis
invasif dan resistansi obat, untuk sekarang masih belum ditemui, akan tetapi sudah
ada beberapa penelitian yang merekomendasikan obat tersebut.
a. Infeksi usus asimtomatik
Pengobatan dapat digunakan diloksanid furoat (furamid) 7-
10Mg/kgBB/hari dalam tiga dosis adalah obat oral yang efektif melawan
infeksi luminal (hanya tersedia melalui Centers for Disease Control and
Prevention) dan digunakan selama 10 hari; iodokuinol (diiodohidroksi
kuinin) 10 mg/kgBB/hari selama 3 dosis (untuk pnggunaan jangka panjang
jarang menyebabkan neuritis optik dan atrofi) selama 20 hari; atau
paromomisin (humatin) 8 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis selama 8 hari.
b. Infeksi ringan sampai sedang
Dalam kasus di mana agen luminal tidak dapat digunakan untuk mengobati
infeksi luminal dapat digunakan metronidazol dan uji untuk penyembuhan
dengan tes deteksi antigen tinja. Dosis Metronidazol 15 mg/kgBB/hari
dalam 3 dosis peroral atau intravena selama 10 hari; dehidroemetin 0,5-1
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis intramuskular selama 5 hari dengan dosis
maksimal 90 mg/hari. Efek sampingnya yaitu sakit kepala dan mual (jarang
terjadi), untuk pemberian intravena dapat menyebabkan efek samping
berikut aritmia jantung, nyeri dada dan selulitis pada tempat suntikan
(jarang terjadi). Terapi dengan metronidazole harus diikuti dengan agen
luminal, karena pasien dinyatakan berisiko kambuh dari infeksi residu di
usus. Akan tetapi untuk pasien dengan amobiasis yang tidak merespon
metronidazole, dapat diberikan terapi tambahan klorokuinon fosfat selama
3-4 hari. Dosis klorokuin fosfat 10 mg/kgBB/hari diberikan secara oral
dalam 3 dosis untuk 10 hari, dosis maksimum 600 mg/hari efektif untuk
abses hati amuba tetapi tidak untuk amubiasis usus. Efek samping yang
mungkin terjadi yaitu gatal, muntah, kerusakan kornea mata, dan tefek
samping yang paling serius ialah kerusakan retina yang reversibel (jarang
terjadi).
c. Infeksi usus berat dan abses amoeba hati
Iodoquinol adalah obat lini pertama untuk mengobati karier kista
asimptomatik, besarnya regimen yang dianjurkan sebanyak 30-40
mg/kgBB/ 24 jam dibagi dalam 3 dosis (maksimum 650 mg/dosis) diberikan
secara oral untuk 20 hari. Paromomycin, sebuah aminoglikosida yang tidak
dapat larut, adalah alternatif lainnya, regimen yang dianjurkan adalah 25-35
mg/kgBB/24 jam dibagi menjadi 3 dosis, diberikan secara oral untuk 7 hari.
Diloksanid furoat hanya tersedia di beberapa pusat pengobatan yang besar
saja. Amubiasis invasif dari usus, hepar dan organ lainnya membutuhkan
metronidazole, sebuah obat antiamuba. Tinidazol dan ornidazol tersedia dan
telah banyak digunakan. Efek yang tidak diharapkan dari metronidazol
termasuk mual, rasa tidak nyaman pada abdomen, dan rasa logam pada
lidah, gejala ini tidak umum dan dapat hilang setelah terapi diselesaikan.
Metronidazol juga termasuk amubisid luminal namun efektivitasnya kecil
untuk tujuan ini dan harus diikuti dengan pemberikan golongan luminal. E.
histolytica yang resisten metronidazol tidak banyak dilaporkan. Namun
demikian pada kasus-kasus fulminan, beberapa ahli menyarankan untuk
menambahkan dehidroemetin untuk beberapa hari pertama, diberikan dapat
secara subkutan atau intramuskular (tidak melalui intravena) dalam dosis 1
mg/kgBB/24 jam. Pasien harus dirawat inap di rumah sakit jika obat ini
diberikan. Jika terjadi takikardi, depresi gelombang T, aritmia, atau
berkembang menjadi proteinuria pemberian obat tersebut harus dihentikan.
Klorokuin, yang terkonsentrasi di dalam hepar, dapat sangat bermanfaat
untuk pengobatan abses hepar amubiasis. Aspirasi dari lesi yang besar atau
dari abses lobus hepar kiri dapat dilakukan jika terjadi ruptur atau pasien
hanya menunjukkan respon pengobatan yang minimal dalm 4-6 hari setelah
pemberian obat antiamuba tersebut. Pemeriksaan tinja harus diulang setiap
2 minggu sampai hasilnya negatif setelah selesai terapi antiamuba untuk
mengkonfirmasikan kesembuhan (Petri dan Singh, 1999).
1.4 Infeksi Luka Operasi
Infeksi nosokomial yang merupakan infeksi yang didapat oleh pasien rawat
inap di rumah sakit dalam waktu 3 kali 24 jam, dan penyebab utamanya adalah
bakteri. Jenis infeksi nosokomial yang terbanyak adalah infeksi luka operasi (ILO),
saluran kemih (ISK) dan pneumonia nosokomial. Infeksi nosokomial dapat terjadi
akibat bakteri yang berada baik dalam tubuh penderita sendiri (endogen) maupun
dari luar penderita (eksogen), seperti lingkungan rumah sakit, udara ruang operasi,
peralatan kesehatan, bahan cairan atau petugas rumah sakit yang kurang
menerapkan cara sterilisasi yang baik dan benar sehingga terjadilah suatu infeksi
(Warganegara, 2013).
Diagnosis Infeksi luka operasi (ILO) sebagai salah satu infeksi nosokomial
ditegakkan atas dasar adanya nanah, rasa nyeri, serta kemerahan pada luka bekas
operasi, dan pada biakan dari pus tersebut didapatkan berbagai bakteri sebagai
penyebab infeksi, baik bakteri Gram positip maupun Gram negatip. Beberapa
peneliti telah melaporkan angka kejadian ILO dengan 3 jenis bakteri penyebab
infeksi terbanyak anatara lain di RSU Bangladesh bakteri teridentifikasi adalah
Pseudomonas sp., Staphylococcus epidermidis, dan Escherichia coli; RS M. Djamil
Padang didapatkan Klebsiella sp., Staphylococcus aureus, dan Enterobacter
aglomerans, sedangkan RS Moewardi Surakarta didapatkan Enterobacter sp.,
Pseudomonas sp., dan Proteus sp. (Warganegara, 2013).
Infeksi luka operasi (ILO) atau Surgical site infection (SSI) adalah infeksi pada
tempat operasi yang merupakan salah satu komplikasi utama operasi yang
meningkatkan morbiditas dan biaya perawatan penderita di rumah sakit, bahkan
meningkatkan mortalitas penderita (Alsen dan Sihombing, 2014). Infeksi Luka
Operasi (ILO) terjadi ketika mikroorganisme dari kulit, bagian tubuh lain atau
lingkungan masuk kedalam insisi yang terjadi dalam waktu 30 hari dan jika ada
implant terjadi 1 tahun paska operasi, ditandai dengan adanya pus, inflamasi,
bengkak, nyeri dan rasa panas (Awad, dkk., 2009 dalam PP Hipkabi, 2010).
Penyebabnya sering dikaitkan dengan flora mikroba dan pasien, petugas bedah,
teknik pembedahan, lingkungan, dan faktor pasien sebagai pejamu (Gruendemann,
2005).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi infeksi luka operasi antara lain sifat
operasi (derajat kontaminasi operasi), Nilai ASA (American Society of
Anesthesiologists), komorbiditas DM (diabetes melitus), suhu praoperasi, jumlah
lekosit, dan lama operasi. Selain itu faktor lain yang terkait dari pasien seperti umur,
jenis kelamin, penyakit predisposisi ILO, dan operasi dahulu. Lama pasien dirawat
di rumah sakit, tingkat kebersihan luka, kepatuhan melaksanakan teknik aseptik,
jumlah personil di kamar operasi, dan perawatan luka pasca operasi juga dapat
menjadi faktor yang memengaruhi kejadian infeksi luka operasi (Sandy, dkk.,
2015).
Pengobatan infeksi nosokomial bergantung pada etiologi yang mendasarinya.
Infeksi nosokomial pada daerah bedah atau ulkus dekubitus dapat dilakukan
debridement. Sampel dari jaringan harus di kultur untuk identifikasi patogen yang
dicurigai. Debridement adalah pengeluaran jaringan yang terlepas atau nekrotik
dari luka yang dapat dilakukan melalui pembedahan (Brooker, 2008).
Penatalaksanaan bedah pada tulang atau sendi yang terinfeksi umumnya meliputi
pengeluaran materi terinfeksi dan nekrotik yang diikuti dengan peningkatan
penyembuhan normal jaringan lunak dan tulang, pembedahan tersebut diantaranya
adalah debridement ekstensif untuk mengendalikan infeksi. Pengulangan
debridement diperlukan jika infeksi luas (Kneale dan Davis, 2011). Angka kejadian
ILO telah terbukti dapat diturunkan dengan memberikan antibiotik profilaksis yang
tepat sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, dkk., 2010). Pedoman praktis klinis
tentang antibiotik profilaksis tindakan bedah yang dikeluarkan oleh The American
Society of Health-System Pharmacists (ASHP) merekomendasikan Ampisilin-
Sulbaktam, Cefazolin, Ceftriakson dan beberapa antibiotik lainnya. Penggunaan
antibiotik profilaksis setiap rumah sakit berbeda sesuai dengan pola bakteri dan
kepekaan di rumah sakit yang bersangkutan (Bratzler, dkk., 2013).
Pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan antara lain untuk
menurunkan angka kejadian ILO, penurunan morbiditas dan mortalitas
pascaoperasi, penghambatan munculnya flora normal resisten, dan meminimalkan
biaya pelayanan kesehatan. Selain itu, pemberian antibiotik profilaksis
diindikasikan terhadap jenis operasi bersih dan bersih-terkontaminasi (Permenkes,
2011). Pemberian antibiotik untuk profilaksis menurut Permenkes pada tahun
2011, yaitu berdasarkan:
a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri pathogen terbanyak pada kasus
yang bersangkutan
b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri
c. Toksisitas rendah
d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anastesi
e. Bersifat bakterisidal
f. Harga terjangkau
Pemberian antibiotik menggunakan sefalosporin generasi I-II untuk
profilaksis bedah, namun pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri
anaerob dapat ditambahkan metronidazole. Antibiotik sefalosporin generasi III- IV,
antibiotik golongan karbapenem dan golongan kuinolon tidak dianjurkan untuk
profilaksis bedah (Permenkes, 2011). Antibiotik diberikan secara intravena dan
diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit, idealnya diberikan pada saat induksi
anastesi. Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml
atau operasi berlangsung lebih dari 3 jam (Permenkes, 2011).
BAB 2. ANALISA SOAP

Pharmaceutical Care Plan


I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. M
Umur : 80 Tahun BB: TB:
Tanggal MRS : 25 Juli 2019
Tanggal KRS :-
Diagnosis : Kolitis amoeba + Post op hemikolektomi 10 hari

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
Nyeri pada luka operasi (operasi hemikolektomi pada tanggal 28 Juli
2019 dan operasi debridement pada tanggal 4 Agustus 2019)

2.2. Riwayat Penyakit :


Hipertensi

2.3. Riwayat Pengobatan :


-

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial :


-

2.5. Alergi Obat :


-
III. OBJEKTIF
A. Tanda-tanda vital
Tanggal
Parameter Nilai Normal
7/8 8/8 9/8 10/8 11/8
Suhu (°C) 36-37 36,2 36,2 36 36,5 36,8
Tekanan darah
120/80-140/90 130/100 140/80 130/80 120/80 130/80
(mmHg)
Nadi (x/menit) 60-100 82 88 84 89 88
RR (x/menit) 12-20 18 18 20 20 20
SpO2 (%) 95-99 - - - 96 98

B. Tanda-tanda klinik
Tanggal
Gejala fisik
7/8 8/8 9/8 10/8 11/8
Nyeri 4 4 3 3 3
Mual-muntah - - - - +
Demam - - - - -

C. Data laboratorium
Nilai Tanggal
Parameter
Normal 25/7 26/7 28/7 29/7 31/7 7/8
3,5-5,0
Albumin 2,38 1,4 2,5 3
mg/dL
135-145
Natrium 129 137,8 142 141
mEq/L
3,5 – 5
Kalium 2,8 3,24 3,3 3,6
mEq/L
4-11 x 103
WBC 28,2 25,56 17,1 8,9
mg/dL
< 200
GDA 159
mg/dL

D. Data tambahan : pada luka keluar cairan kuning tetapi tidak berbau
• Hasil pemeriksaan histopatologi pada tanggal 7 Agustus 2019 adalah radang kronis supuratif + amubiasis.
• Hasil kultur Pus tanggal 7 Agustus 2019 : bakteri Ps. Aeruginosa, resisten terhadap semua antibiotik, intermediate
pada antibiotik polimyxin.
• Hasil kultur Pus tanggal 9 Agustus 2019 : bakteri Klebsiella pneumonia sensitif terhadap antibiotik cepoferazone /
sulbactam, doripenem, imepenem, meropenem, amikasin, dan intermediate terhadap antibiotik amoxicillin,
cefoxitin, tobramysin.

IV. TERAPI PASIEN


Tanggal
Nama Obat Dosis & rute
7/8 8/8 9/8 10/8 11/8
Cefoperazone 3x1, IV v v Stop
Tramadol 1x2 ampul, IV v v v v Stop
Novaldo 1x3 ampul, IV v v v v v
Clinimix IV v v v Stop
Novorapid 3x4 U, IV v v v v Stop
Sucralfat syrup 3xCII, p.o v v v v v
Albumin IV v Stop
Valsartan 80 mg 1x1, p.o v v v v v
Lisinopril 1x1, p.o v v
Amoxan 500 mg 3x1, p.o v v v
Metronidazole 500 mg 3x1, p.o v v v
Asam Mefenamat 500 mg 3x1, p.o v

V. ANALISIS SOAP

Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Infeksi luka • Subyektif : Cefoperazone • Merupakan antibiotic • Plan
operasi Keluar cairan 3 x 1 IV generasi ketiga dari Terapi
berwarna sefalosporin dilanjutkan
kuning, nyeri • Dosis : 1 -2 g setiap 12
jam selama 7 hari atau 3 • Monitoring
hari. Untuk infeksi pada
• Obyektif : pasien diabetes perlu
Efek samping
/7/17, hasil penambahan jangka
obat, monitoring
kultur pus : waktu mulai dari 4 hari tingkat cairan
bateri Ps. sampai 2 hari (drugscom) kuning yang
aeruginosa keluar pada luka,
9/7/17, hasil Jumlah WBC,
kultur pus : keberadaan
bakteri
bateri Klebsiella Amoxan • Antibiotik golongan Dari hasil kultur, tingkat • Plan
pneumonia 3x1 mg (po) penisilin (BNF 58, resistensi penggunaan Terapi dihentikan
- WBC 2009). amoxicillin pada bakteri
25/7 = 28,2 • Oral: 250-500 mg Klebsiella pneumonia
26/7 = 25,56 setiap 8 jam atau 500- adalah intermediate
28/7 = 17,1 875 mg dua kali sehari (terapi kurang tepat
31/7 = 8,9 (DIH 17th edition). indikasi).
(BNF 58, 2009).
Problem Subyektif / Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Medis Obyektif
Amebic • Subyektif : - Metronidazol • Metronidazole adalah antibiotik - • Plan :
colitis rasa nyeri 500mg 3x1 p.o yang umum digunakan, termasuk -Memberikan obat tambahan
dalam kelas antibiotik sebagai kombinasi yaitu
• Obyektif : - nitroimidazole yang sering paromomycin secara p.o, sebab
Cek digunakan untuk mengobati jika memilih iodoquinol
histopatologi infeksi saluran cerna serta terdapat interaksi moderate
7/8/19 trichomoniasis, giardiasis, dan dengan metronidazol,
menunjukkan amebiasis yang merupakan infeksi penggunaan paromomycin
radang kronis parasit (drugbank.ca). tidak ditemukan interaksi
supuratif + dengan obat manapun yang
amubiasis • Dalam pengobatan colitis, digunakan oleh pasien
penggunaan terapi kombinasi (drugs.com).
lebih disarankan daripada - Pengobatan dengan
penggunaan metronidazole metronidazol diperpanjang
tunggal untuk memberantas hingga 10 hari sedangkan
amoeba (Gonzales, Dans, Sio- paromomycin digunakan
Aquilar. 2019) selama 7 hari
• Kombinasi terapi yang disarankan
yaitu antara agen luminal
(Iodoquinol, paromomycin) dan • Monitoring :
golongan amebisida Efek samping obat, kadar
WBC, colonoscopy/
(Metronidazol, nitazoxamide,
histopatologi dan gejala infeksi
erythromycin, klorokuin) dengan
ketentuan:
1. Pengobatan dimulai dengan
Metronidazole pada 10 hari
pertama guna mengeliminasi
infeksi berupa benjolan/kista
intraluminal, lalu diikuti
dengan penggunaan agen
luminal guna membunuh
benjolan tadi.
2. Dosis yang disarankan untuk
amebic colitis:
ü Metronidazole 500-750mg
3x/hari selama 10 hari
ü Paromomycine 25-
35mg/kg/hr dalam 3 Do
terbagi selama 7 hari
(Taherian et al. 2019)
Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Hipertensi • Subyektif : Valsartan 80 mg Valsartan digunakan untuk Drug Interaction • Plan
Memiliki (p.o) 1x1 mengobati tekanan darah tinggi (Penggunaan bersama Terapi
riwayat (hipertensi) pada orang dewasa antara valsartan dengan dilanjutkan
hipertensi asam mefenamat dapat
Dosis : 80-160 mg secara oral mengurangi efek • Monitoring
• Obyektif : sekai sehari (drugs.com) valsartan dalam Tekanan darah
Tekanan darah menurunkan tekanan
darah) (drugs.com)

Lisinopril (p.o) Lisinopril merupakan obat Drug Interaction • Plan


1x1 golongan ACEi yang (Lisinopril berinteraksi Terapi dihentikan
digunakan untuk mengobati dengan Clinimix dan
tekanan darah tinggi asam mefenamat) • Monitoring
(drugs.com) Tekanan darah

Dosis: 10-40 mg/hari (DIH, Ed


17th)
Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Nyeri pasca • Subyektif : Tramadol (iv) 1x2 Obat analgesik opioid sintesis - • Plan
operasi Rasa nyeri ampul yang digunakan secara oral Terapi dihentikan
maupun parenteral yang (Tramadol
• Obyektif : ditujukan untuk mengobati dihentikan pada
Level nyeri nyeri. Tramadol digunakan tanggal 11/8
untuk nyeri moderate hingga karena level nyeri
severe, nyeri pada punggung sudah turun dari
bagian bawah, dan nyeri 4 menjadi 3)
setelah operasi (Upahdhyay,
2015) • Monitoring
Rasa nyeri

Novaldo (iv) 1x3 Mengandung metamizole yang - • Plan


ampul merupakan analgesik NSAID Terapi
dengan efek analgesik dan dilanjutkan
antipiretik yang digunakan
untuk mengatasi nyeri setelah • Monitoring
operasi, nyeri pada kannker Rasa nyeri
dan migraine (Hearn, 2019)

Asam Mefenamat NSAID yang memiliki efek Drug Interaction • Plan


500 mg (p.o) 3x1 analgesik, antiinflamasi, dan (Interaksi moderate
antipiretik. Bekerja dengan antara asam mefenamat Terapi dihentikan
cara mengikat reseptor dengan lisinopril dan (Karena efek
prostaglandin sintetase COX-1 valsartan. Efek samping yang
dan COX-2, menghambat aksi antihipertensi pada ACEi cukup signifikan
prostaglandin sintetase. Karena dapat menurun akibat secara klinis
reseptor-reseptor ini memiliki kemampuan NSAID terhadap kejadian
peran sebagai mediator utama untuk mengurangi hipertensi, selain
peradangan dan / atau peran sintesis vasodilatasi itu juga
pensinyalan prostanoid dalam prostaglandin ginjal. berkontribusi
plastisitas yang bergantung Begitu juga pada ARB pada peningkatan
pada aktivitas, gejala-gejala (Valsartan) efek terapetik kardiovaskular,
nyeri berkurang sementara dari ARB secara maka akan lebih
(Drugbank.ca) signifikan mengurangi baik jika
filtrasi glomerulus dan digantikan
fungsi ginjal. dengan pereda
Penggunaan kedua obat nyeri lain)
tersebut secara (drugs.com)
bersamaan dengan asmef
secara signifikan • Monitoring
mengurangi filtrasi Rasa nyeri
glomerulus dan fungsi
ginjal terutama pada
pasien geriatri)
(drugs.com, medscape,
DIH, drugbank.ca)
Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Terapi tambahan • Subyektif : Novorapid (iv) • Novorapid merupakan - • Plan
(Diabetes) - 3x4 U sediaan insulin aspart yang Terapi dihentikan
bekerja cepat (rapid acting) (Novorapid
• Obyektif : yang digunakan bersamaan dihentikan seiring
GDA dengan penggunaan pemberhentian
clinimix sebagai cairan terapi nutrisi
nutrisi parenteral parenteral)
(Drugs.com)
• Monitoring
• Hiperglikemia merupakan Kadar glukosa
efek umum penggunaan dalam darah
terapi nutrisi parenteral,
sehingga diperlukan
pencegahan hiperglikemia
salah satunya melalui
pengggunaan terapi insulin
selama terapi nutrisi
parenteral (Darenski, 2016)
Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Terapi tambahan • Subyektif : Clinimix (iv) • Suatu nutrisi parenteral - • Plan
(Terapi cairan - yang diberikan pada pasien Terapi dihentikan
parenteral) ketika kondisi pasien tidak (Clinimix
• Obyektif : mampu menerima asupan dihentikan pada
- nutrisi secara oral, tanggal 10/8
dikontraindikasikan atau karena terdapat
tidak mencukupi (drugs.com) interaksi obat
ketika clinimix
• Penggunaan nutrisi parenteral digunakan
merupakan terapi penunjang bersamaan
hidup pada kondisi pasien dengan ACEi
yang sedang mengalami yang dapat
infeksi (Derenski dkk., 2016)
menyebabkan
terjadinya
hiperkalemia)
(drugs.com)

• Monitoring
Kadar glukosa
dalam darah.
Salah satu ES
penggunaan
clinimix adalah
terjadinya
hiperglikemia
pada pasien
(Derenski dkk.,
2016)

Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Terapi tambahan • Subyektif : Sucralfat syrup • Sucralfat diindikasikan - • Plan
- (p.o) 3xCII sebagai terapi profilaksis Terapi
untuk ulkus duodenum dilanjutkan
• Obyektif : (DIH, Ed 17th).
Data klinik • Monitoring
mual-muntah • Sucralfat diindikasikan Kadar glukosa
untuk terapi tukak lambung dalam darah
dan tukak duodenum
(IONI).

• Obat ini bekerja dengan


membentuk lapisan pada
bagian yang luka dan
melindunginya dari asam
lambung yang dapat
memperlambat
penyembuhan.

• Sucralfat juga dapat


digunakan untuk tujuan
yang tidak tercantum dalam
panduan pengobatan.

• Pada pasien ini sucralfate


digunakan sebagai
profilaksis dan mencegah
perdarahan pada saluran
cerna (drugs.com)

Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Terapi tambahan • Subyektif : Albumin (iv) Albumin berfungsi untuk - • Plan
(Albumin) - mengatur tekanan dalam Terapi dihentikan
pembuluh darah dan menjaga (Albumin
• Obyektif : agar cairan yang terdapat dihentikan pada
Data kadar dalam pembuluh darah tidak tanggal 8/8
albumin bocor ke jaringan tubuh karena mungkin
sekitarnya. Saat albumin kadar albumin
rendah dalam darah pada pasien telah
(hipoalbuminemia), pasien kembali normal)
akan membutuhkan albumin
dari luar untuk meningkatkan • Monitoring
albumin ke nilai normal. Kadar albumin
Kondisi rendahnya kadar dalam darah
albumin dalam darah ini dapat
disebabkan oleh adanya proses
peradangan. Infus albumin
akan mengganti albumin yang
kurang dalam darah, dan
meningkatkan tekanan di
dalam pembuluh darah
sehingga cairan di luar
pembuluh darah akan menuju
ke dalam pembuluh darah.
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1. Infeksi Luka Operasi


Pada kasus ini pasien mengalami infeksi luka operasi yang ditunjukkan dari
adanya nyeri pada luka operasi (operasi hemikolektomi 28/7/19 dan operasi
debridement 4/8/19). Pasien telah mendapatkan operasi debridement yang
dimungkinkan untuk infeksi luka operasi hemikolektomi. Berdasar hasil obejktif
pasien, pada luka keluar cairan kuning tidak berbau, kultur pus tanggal 7 Agustus
2019 terdapat bakteri Ps. aeruginosa yang resisten terhadap semua antibiotik tetapi
intermediet pada polimyxin. Akan tetapi, harga polymyxin cukup mahal sehingga
kami tetap menyarankan menggunakan cepoferazone dan tanggal 9 Agustus 2019
terdapat bakteri Klebsiella pneumonia yang sensitif cepoferazone/sulbactam,
doripenem, imepenem, meropenem, amikasin, dan intermediet terhadap
amoxicillin, cefoxitin, tobramysin. Selain itu dilihat dari hasil pemeriksaan lab
WBC pasien cukup tinggi pada tanggal 25, 26, 27 Juli secara berturut-turut sebesar
28,2; 25,56; dan 17,1.
Terapi antibiotik Cefoperazone 3x1 iv untuk infeksi luka operasi diberikan ke
pasien pada tanggal 7/8-8/8 lalu dihentikan dan digantikan dengan terapi Amoxan
500 mg 3x1 mg secara peroral. Perlunya kultur pus pada pasien untuk mendapatkan
data bakteri yang menyebabkan infeksi serta dapat ditentukan terapi antibiotik yang
cocok bagi pasien. Cefoperazone merupakan antibiotik golongan sefalosporin
generasi ke tiga. Cefoperazone diindikasikan untuk infeksi yang rentangnya luas
(MIMS.com). Amoxan berisi antibiotik amoxicillin (golongan beta
lactam/penisilin) (BNF 58, 2009). Amoxan ini diindikasikan untuk pengobatan
infeksi pasien. Penggunaan amoxan ini kurang tepat indikasi, karena berdasarkan
hasil kultur, tingkat resistensi penggunaan amoxicillin pada bakteri Klebsiella
pneumonia adalah intermediate. Selain itu efek samping lain amoxicillin yaitu
mual, muntah, dan diare. pasien mengalami mual pada 11 Agustus. Amoxicillin ini
juga akan memperparah diare dari pasien mengingat pasien mengalami kolitis
amoeba.
Berdasarkan beberapa pertimbangan, kami menyarankan antibiotic amoxan
diganti dengan cefoperazone yang digunakan kembali dengan dosis 1- 2 gram
perhari dibagi menjadi 2-3 dosis sehari.

3.2.Kolitis Amoeba
Pada kasus ini pasien mengalami colitis jenis infeksi, yaitu colitis amoeba.
Kolitis amoeba merupakan salah satu jenis kolitis infeksi yang termasuk
peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica (Dipiro,
2008). Kondisi kolitis amoeba pasien ditandai dengan nyeri pada luka operasi dan
terjadi radang kronis supuratif + amubiasis. Metronidazole adalah antibiotik yang
umum digunakan, termasuk dalam kelas antibiotik nitroimidazole yang sering
digunakan untuk mengobati infeksi saluran cerna serta trichomoniasis, giardiasis,
dan amebiasis yang merupakan infeksi parasit (drugbank.ca). Dalam pengobatan
colitis, penggunaan terapi kombinasi lebih disarankan daripada penggunaan
metronidazole tunggal untuk memberantas amoeba (Gonzales, Dans, Sio-Aquilar.
2019)
Kombinasi terapi yang disarankan yaitu antara agen luminal (Iodoquinol,
paromomycin) dan golongan amebisida (Metronidazol, nitazoxamide,
erythromycin, klorokuin) dengan ketentuan:
- Pengobatan dimulai dengan Metronidazole pada 10 hari pertama guna
mengeliminasi infeksi berupa benjolan/kista intraluminal, lalu diikuti
dengan penggunaan agen luminal guna membunuh benjolan tadi.
- Dosis yang disarankan untuk amebic colitis:
a. Metronidazole 500-750mg 3x/hari selama 10 hari
b. Paromomycine 25-35mg/kg/hr dalam 3 Do terbagi selama 7 hari
(Taherian et al. 2019)

3.3.Hipertensi
Penggunaan kombinasi Lisinopril dan valsartan tidak dilanjutkan karena
belum adanya bukti yang menunjukkan jika penggunaan kedua baik digunakan
untuk pasien hipertensi. Kombinasi keduanya digunakan jika pasien mengalami
penyakit kardiovaskular dan CKD dengan proteinuria namun pada pasien ini tidak
adanya riwayat dan data laboratorium yang menunjukkan adanya penyakit
kardiovaskular dan CKD. Maka disarankan untuk menghentikan penggunaan
Lisinopril dan tetap menggunakan valsartan sebagai antihipertensi pasien. Pada
jurnal menjelaskan penggunaan kombinasi ACEI (Lisinopril) dan ARB (Valsartan)
tidak menurunkan angka kematian pasien dan juga tidak dapat memperbaiki
progesifitas kerusakan ginjal. Selain itu guideline AHA, JNC dan KDOQI tidak
menyarankan penggunaan terapi kombinasi (Misra, 2009).

3.4. Nyeri Pasca Operasi


Untuk nyeri dengan tingkatan sedang (nilai 4-6) direkomendasikan untuk
penggunaan analgesik kuat golongan opiod, yakni tramadol. Untuk nyeri dengan
tingkatan ringan (nilai 1-3) direkomendasikan untuk penggunaan OAINS. Pada
kasus, penggunaan tramadol bisa dihentikan karena tingkat nyeri pada pasien sudah
berangsur berkurang. Sehingga, penanganan nyeri pasien cukup menggunakan
OAINS yakni novaldo (iv) yang mengandung metamizole yang merupakan
analgesik NSAID dengan efek analgesik dan antipiretik yang digunakan untuk
mengatasi nyeri setelah operasi, nyeri pada kannker dan migraine (Hearn, 2019)
Pemberian asam mefenamat juga ditujukan untuk mengatasi nyeri pasien
pasca operasi. Tetapi pasien ini merupakan pasien geriatri yang memiliki risiko
tinggi terhadap efek samping dari penggunaan asam mefenamat, seperti pendarahan
asimtomatik dan peptic ulcer (DIH ed 17). Asam mefenamat memiliki interaksi
moderate antara asam mefenamat dengan lisinopril dan valsartan. Efek
antihipertensi pada ACEi dapat menurun akibat kemampuan NSAID untuk
mengurangi sintesis vasodilatasi prostaglandin ginjal. Begitu juga pada ARB
(Valsartan) efek terapetik dari ARB secara signifikan mengurangi filtrasi
glomerulus dan fungsi ginjal. Penggunaan kedua obat tersebut secara bersamaan
dengan asmef secara signifikan mengurangi filtrasi glomerulus dan fungsi ginjal
terutama pada pasien geriatri) (drugs.com, medscape, DIH, drugbank.ca). Pada
tanggal yang sama dengan pemberian asam mefenamat yakni tanggal 11 Agustus,
pasien ini mengalami mual muntah dimungkinkan karena pemberian asam
mefenamat. Sehingga terapi asam mefenamat disarankan untuk dihentikan.

3.5.Terapi Tambahan
Pada kasus ini pasien mengalami hiperglikemia, hiperglikemia dapat
disebabkan karena penggunaan TPN pada pasien yag tidak memiliki riwayat
diabetes melitus. Hiperglikemia saat penggunaan TPN dapat mengakibatkan
kematian dan prevalensi komplikasi khususnya komplikasi infeksi (Lee dkk.,
2011). Data objektif pasien yakni data laboraturium GDA 159 pada tanggal 7
Agustus. Menurut Dipiro tenth, banyak dokter memutuskan bahwa insulin basal
menjadi pilihan terapi utama. Insulin aspart adalah analog yang lebih cepat diserap,
peak lebih cepat, dan memiliki durasi kerja lebih pendek daripada insulin biasa.
Pemberian dosisnya memungkinkan lebih nyaman yakni dalam waktu 10 menit
setelah makan (daripada 30 menit sebelumnya), menghasilkan kemanjuran yang
lebih baik dalam menurunkan glukosa darah postprandial dibandingkan insulin
reguler pada diabetes mellitus tipe 1, dan meminimalkan hipoglikemia pasca
makan.
Terapi Novorapid 3x4 U, iv dihentikan karena data laboratorium GDA
tidak terlalu besar dari rentang normal, dilakukan pemeriksaan diabetes pada
pasien. Data laboratorium pasien yang sudah ada didapat ketika dilakukan
penghentian terapi Novorapid 3x4 U, iv pada pasien. Tidak ada data pendukung
yang kuat meliputi data laboratorium, subjektif maupun objektif yang menunjukkan
bahwa pasien terkena diabetes mellitus beserta tipenya. Perlunya pemeriksaan
diabetes mellitus kepada pasien. Novorapid diberhentikan secara bersamaan
dengan pemberhentian nutrisi parenteral.

3.6. Mual Muntah

Sucralfat diindikasikan sebagai terapi profilaksis untuk ulkus duodenum


(DIH, Ed 17th).Sucralfat diindikasikan untuk terapi tukak lambung dan tukak
duodenum (IONI). Obat ini bekerja dengan membentuk lapisan pada bagian yang
luka dan melindunginya dari asam lambung yang dapat memperlambat
penyembuhan. Sucralfat juga dapat digunakan untuk tujuan yang tidak tercantum
dalam panduan pengobatan. Pada pasien ini sucralfate digunakan sebagai
profilaksis dan mencegah perdarahan pada saluran cerna (drugs.com)
DAFTAR PUSTAKA

Ariestine, D.A., 2008. Kolitis Ulsoratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik dan
Patogenesa. Universitas Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran

Bratzler, D.W., E. Patchen Dellinger, Keith M. Olsen, Trish M. Perl, Paul G.


Auwaerter, Maureen K. Bolon, Douglas N. Fish, Lena M. Napolitano, Robert
G. Sawyer, Douglas Slain, James P. Steinberg, dan Robert A. Weinstein. 2013.
Clinical practice guidelines for antimicrobial prophylaxis in surgery. Surgical
infections, 14(1), 73-156.

Chandranata, Linda., ed. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 509–
517.

Dipiro, J.T., et al. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Seventh


Edition. Mc-Graw Hill. USA.

Gruandemann, Barbara J. 2005. Keperawatan Perioperatif Volume 1. Terjemahan


Oleh Brahm Pendit. Jakarta : EGC.

Hammer, Davidson H. 2017. Intestinal Infections: Overview. International


Encyclopedia of Public Health, Second Edition. 3:683-695.

https://www.biomerieux-diagnostics.com/gastrointestinal-infections (yang diakses


pada 13 September 2019)

Kneale, Julia D dan Davis, Peter. 2011. Keperawatan Ortopedik dan Trauma
Edisi 2. Jakarta. EGC.

Lee, H., S. O. Koh., dan M. S. Park. 2011. Higher dextrose delivery via TPN related
to the development of hyperglycemia in non-diabetic critically ill patients.
Seoul.
Lestari, P. 2011. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Universitas
Tarumanegara: Fakultas Kedokteran

Lindsey, G. (2012). Gangguan Usus Besar. Dalam Patofisiologi : Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit (Edisi 6). Jakarta: EGC.

Misra, Shamita dan J. J., Stevermer. 2009. ACE Inhibitors and ARBs: One the
Other-not both-for high-risk patients. Chicago

Petri, William.A., Singh, Upinder. 1999. Diagnosis and Management of Amebiasis.


Clinical Infectious Disease. 29:1117–1125.

Sandy, F. P. T., Yuliwar, R., dan Utami, N. W. 2015. Infeksi Luka Operasi (ILO)
pada Pasien Post Operasi Laparotomi. Jurnal Keperawatan Terapan, 1(1),
14-24.

Warganegara, E., Apriliana, E., & Ardiansyah, R. 2013. Identifikasi bakteri


penyebab infeksi luka operasi (ilo) nosokomial pada ruang rawat inap bedah
dan kebidanan RSAM di Bandar Lampung. In Prosiding Seminar Nasional
Sains Mipa dan Aplikasi (ISBN: 978-602-98559-1-3) (Vol. 3, No. 3).

Wells, Barbara G., DiPiro, T. Joseph, Schwinghammer, Terry L., dan Dipiro,
Cecily V. 2015. Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition. New York:
McGrawHill Education.

Anda mungkin juga menyukai