Disusun oleh :
1.1.2 Patofisiologi
Proses pencernaan mulai dengan aktivitas mengunyah dimana makanan
dipecah kedalam partikel kecil yang dapat ditelan dan dicampur dengan enzim-
enzim pencernaan. Makan, atau bahkan melihat, mencium, atau mencicip makanan
dapat menyebabkan refleks salivasi. Saliva adalah sekresi pertama yang kontak
dengan makanan. Saliva disekresi dalam mulut melalui kelenjar saliva pada
kecepatan kira-kira 1,5 L setiap hari. Saliva juga mengandung mukus yang
membantu melumasi makanan saat dikunyah, sehingga memudahkan menelan. Dua
pusat dalam inti retikularis medula oblongata adalah zona pencetus kemoreseptif
yaitu uremia, emesis yang diinduksi oleh obat, emesis karena radiasi dan pusat yang
terintegrasi. Jaras eferen muncul dari hampir semua tempat tubuh. Jaras vagal
adalah sangat penting, tetapi vagotomi tidak menghilangkan muntah . jaras eferen
empatik yang memperantarai muntah berkaitan dengan distensi abdomen.
Muntah terjadi bila kedua jaras eferen somatik dan viseral menyebabkan
penutupan glotis, kontraksi diagfragma mempunyai pilorus dan relaksi lambung
diikuti oleh kontraksi peristaltik yang berjalan dari lambung tengah keujung
insisura dengan kontraksi abdmen, diagfragma, dan interkosta, muntah berkaitan
dengan tanda dan gejala cetusan otonom. Semua ada kaitan dengan gangguan
traktus gastrointestinalis, terutama obstruksi, dengan obstruksi tinngi akut
menyebabkan muntah dini. Kekacauan otonom, obat-obatan gangguan psikogenik,
dan penelanan bahan-bahan yang berbahaya merupakan menyebab lain yang
sering.( Chandranata, 2000)
Usus Besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan
panjang sekitar 1,5 meter (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani.
Diameter usus besar sudah pastu lebih besar dari usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5
inci), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar merupakan
tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki yang terbentang dari
sekum sampai canalis ani. Usus besar dibagi menjadi sekum, colon (ascenden,
tranversum, descenden, sigmoid) dan rektum. Pada sekum terdapat katup illeosekal
dan appendik yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati 2/3 atau 3 inchi
pertama dari usus besar. Katup illeosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke
sekum.
Colon dibagi menjadi colon ascenden, tranversum, desenden dan sigmoid.
Colon sigmoid mulai dari krista iliaka dan berbentuk lekukan seperti huruf S. Usus
besar memiliki 4 lapisan seperti juga pada usus lainnya. Akan tetapi ada beberapa
gambaran khas pada usus besar. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak
sempurana tetapi berkumpul dalam 3 pita yang dinamakan taenia collu. Taenia
bersatu pada sugmoid distal menjadi satu
lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih lebih pendek
daripada usus kecil yang disebut haustra. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih
tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung villi atau rugae.
Krista lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih
banyak sel goblet daripada usus halus.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sesuai
dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memvakularisasi
belahan bagian kanan (sekum, kolon ascenden, dan 2/3 proksimal kolom
tranversum, kolon, descenden, sigmoid dan bagian proksimal rektum). Aliran balik
vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesentrika superior dan inferior,
dan vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan
darah ke hati. Persyarafan usus besar disuplai oleh sistem syaraf otonom dengan
pengecualian. Sfingter ani eksterna berada dibawah kontrol volunter. Serabut staraf
parasimpatis berjalan melalui syaraf vagus kebagian tengan kolon tranversum, dan
syaraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut
simpatis meninggalkan medula spinalis melalui syaraf slangnikus untuk mencapai
kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan hambatan sekresi, kontraksi dan
perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai
efek yang berlawanan.
Usus besar mempunyai fungsu yang berkaitan dengan proses akhir isi usus.
Fungsi yang paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit, yang sudah
hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai
reservoir untuk menampung masa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi
berlangsung. Kapasitas absorbsi usus besar adalah sekitar 2000 ml per hari, bila
jumlah ini dilampaui maka akan terjadi diare. Sedikit pencernaan yang terjadi di
usus besar, terutama diakibatkan oleh bakteri dan bukan karena kerja enzim. Usus
besar mensekresi mukus alkali yang tidak mengandung enzim yang berfungsu
untuk melunasi dan melindungi mukosa.
Pada umumnya pergerakan usus besar adalah lambat, dan gerakan yang
khas adalah gerakan menganduk haustra, dimana haustra teregang dan dari waktu
ke waktu otot sirkuler akan berkontraksi untuk mengosongkannya. Pergerakan ini
menyebabkan isi usus bergerak bolak balik dan meremas remas sehingga memberi
cukup waktu untuk absorbsi. Rektum dan anus merupakan tempat penyakit yang
sering ditemukan pada manusia misalnya inkontinensia alvi bisa disebabkan oleh
kerusakan otot sfingter atau kerusakan medula spinalis dan daerah anorektal sering
menjadi tempat abses dan fistula
Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada kolon,
yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum yang menyebar
kebagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang normal tidak dijumpai.
Kelainan ini akan berhenti pada daerah ileosekal, namun pada keadaan yang berat
kelainan dapat terjadi pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal
akan terjadi kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi panjang kolon akan
menjadi 2/3 normal, pemendekan ini disebabkan terjadinya kelainan muskuler
terutama pada kolon distal dan rektum. Terjadinya struktur tidak selalu didapatkan
pada penyakit ini melainkan dapat terjadi hipertrofi lokal lapisan muskularis yang
akan berakibat stenosis yang reversibel. Lesi patologik awal hanya bterbatas pada
lapisan mukosa, berupa pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda
dengan lesi pada penyakit timbul edema dan kongesti mukosa. Edema dapat
menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi perdarahan pada trauma yang
hanya ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan. Pada stadium penyakit yang
lebih lanjut, abses kriptus pecah menembus dinding kriptus dan menyebar dalam
lapisan submukosa daerah yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mual-mula
tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih lanjutm permukaan mukosa
yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga menyebabkan banyak kehilagan
jaringan, protein dan darah (Lindsey, 2012)
1.2 Kolitis
1.2.1 Definisi
Colitis berasal dari kata kolon (usus besar) dan itis (peradangan). Colitis
adalah penyakit berupa peradangan usus besar yang menyebabkan gejala nyeri,
meradang, diare dan perdarahan anus. Usus besar meliputi area dari caecum (tempat
menempel usus buntu/appendiks), kolon ascendant, kolon transversum, kolon
descendent, sigmoid, rektum, dan anus (Lestari, 2011). Colitis amoeba merukapan
salah satu jenis colitis infeksi yang termasuk peradangan kolon yang disebabkan
oleh protozoa Entamoeba histolytica (Dipiro, 2008).
a. Faktor Familia / Genetik
Lebih sering pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam dan Cina.
Insidensi meningkat 3-6 kali pada orang Yahudi dibandingkan orang Non
Yahudi (Ariestine, 2008).
b. Faktor Infeksi
Pseudomonas (masih harus dikonfirmasi). Infeksi virus, bakteri atau parasit
dari makanan, minuman atau tangan yang kotor, umumnya : Shigella, E.
Coli, Salmonella dan Campylobacter. Amuba juga dapat menyebabkan
kolitis (menyebabkan diare darah, demam dan dehidrasi) dan Parasit :
Giardia. (Lestari, 2011)
c. Faktor Imunologik
Manifestasi ekstraintestinal : artritis, perikolangitis.
d. Faktor Psikologis
Stres psikologi mayor (ex : kehilangan seorang anggota keluarga), rentan
terhadap stres emosi yg dapat merangsang penyakit Kolitis.
e. Faktor Lingkungan / Kebiasaan
Perokok beresiko 40% terkena Kolitis dibanding bukan perokok. Hubungan
terbalik antara operasi apendikotomi dg kolitis (penyakit Kolitis menurun
secara signifikan) (Ariestine, 2008).
f. Kolitis akibat radiasi pada usus besar
1.2.5 Patofisiologi
E. histolytica memiliki bentuk pseudopod, merupakan parasit protozoa tidak
berflagel yang dapat menyebabkan proteolisis dan lisis jaringan, juga menginduksi
apoptosis sel host-nya. Manusia dan primata non-manusia merupakan satu-satunya
host bagi E. histolytica. Menelan kista E. histolytica yang berasal dari lingkungan
akan diikuti dengan eksistasi pada ileum terminal atau kolon, dan berubah
bentuknya menjadi trofozoit yang sangat motil. Saat kolonisasi di mukosa kolon,
trofozoit dapat menghasilkan kista yang kemudian dieksresikan melalui feces atau
dapat pula menembus barrier mukosa usus sehingga dapat masuk ke pembuluh
darah dan menyebar ke hati, paru, serta bagian tubuh lainnya. Kista yang
dieksresikan akan mencapai lingkungan dan melengkapi siklus ini.
Berdasarkan pola isoenzimnya, E. histolytica dibagi menjadi golongan
zymodeme patogenik dan zymogene nonpatogenik. Walaupun mekanismenya
belum seluruhnya jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan
cara mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi seperti
pemakan steroid memudahkan invasi parasit ini. Pelepasan bahan toksik
menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses
ini berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol, kedalaman ulkus mencapai
submukosa atau lapisan submuskularis. Tepi ulkus menebal dengan sedikit reaksi
radang. Mukosa di antara ulkus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian
kolon, tersering di sekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid, kadang-kadang
apendiks dan ileum terminalis.
Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated amibisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta
limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon
dapat menimbulkan jaringan granulasi dan membentuk massa yang disebut
ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden (Dipiro, 2008).
II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
Nyeri pada luka operasi (operasi hemikolektomi pada tanggal 28 Juli
2019 dan operasi debridement pada tanggal 4 Agustus 2019)
B. Tanda-tanda klinik
Tanggal
Gejala fisik
7/8 8/8 9/8 10/8 11/8
Nyeri 4 4 3 3 3
Mual-muntah - - - - +
Demam - - - - -
C. Data laboratorium
Nilai Tanggal
Parameter
Normal 25/7 26/7 28/7 29/7 31/7 7/8
3,5-5,0
Albumin 2,38 1,4 2,5 3
mg/dL
135-145
Natrium 129 137,8 142 141
mEq/L
3,5 – 5
Kalium 2,8 3,24 3,3 3,6
mEq/L
4-11 x 103
WBC 28,2 25,56 17,1 8,9
mg/dL
< 200
GDA 159
mg/dL
D. Data tambahan : pada luka keluar cairan kuning tetapi tidak berbau
• Hasil pemeriksaan histopatologi pada tanggal 7 Agustus 2019 adalah radang kronis supuratif + amubiasis.
• Hasil kultur Pus tanggal 7 Agustus 2019 : bakteri Ps. Aeruginosa, resisten terhadap semua antibiotik, intermediate
pada antibiotik polimyxin.
• Hasil kultur Pus tanggal 9 Agustus 2019 : bakteri Klebsiella pneumonia sensitif terhadap antibiotik cepoferazone /
sulbactam, doripenem, imepenem, meropenem, amikasin, dan intermediate terhadap antibiotik amoxicillin,
cefoxitin, tobramysin.
V. ANALISIS SOAP
Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Infeksi luka • Subyektif : Cefoperazone • Merupakan antibiotic • Plan
operasi Keluar cairan 3 x 1 IV generasi ketiga dari Terapi
berwarna sefalosporin dilanjutkan
kuning, nyeri • Dosis : 1 -2 g setiap 12
jam selama 7 hari atau 3 • Monitoring
hari. Untuk infeksi pada
• Obyektif : pasien diabetes perlu
Efek samping
/7/17, hasil penambahan jangka
obat, monitoring
kultur pus : waktu mulai dari 4 hari tingkat cairan
bateri Ps. sampai 2 hari (drugscom) kuning yang
aeruginosa keluar pada luka,
9/7/17, hasil Jumlah WBC,
kultur pus : keberadaan
bakteri
bateri Klebsiella Amoxan • Antibiotik golongan Dari hasil kultur, tingkat • Plan
pneumonia 3x1 mg (po) penisilin (BNF 58, resistensi penggunaan Terapi dihentikan
- WBC 2009). amoxicillin pada bakteri
25/7 = 28,2 • Oral: 250-500 mg Klebsiella pneumonia
26/7 = 25,56 setiap 8 jam atau 500- adalah intermediate
28/7 = 17,1 875 mg dua kali sehari (terapi kurang tepat
31/7 = 8,9 (DIH 17th edition). indikasi).
(BNF 58, 2009).
Problem Subyektif / Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Medis Obyektif
Amebic • Subyektif : - Metronidazol • Metronidazole adalah antibiotik - • Plan :
colitis rasa nyeri 500mg 3x1 p.o yang umum digunakan, termasuk -Memberikan obat tambahan
dalam kelas antibiotik sebagai kombinasi yaitu
• Obyektif : - nitroimidazole yang sering paromomycin secara p.o, sebab
Cek digunakan untuk mengobati jika memilih iodoquinol
histopatologi infeksi saluran cerna serta terdapat interaksi moderate
7/8/19 trichomoniasis, giardiasis, dan dengan metronidazol,
menunjukkan amebiasis yang merupakan infeksi penggunaan paromomycin
radang kronis parasit (drugbank.ca). tidak ditemukan interaksi
supuratif + dengan obat manapun yang
amubiasis • Dalam pengobatan colitis, digunakan oleh pasien
penggunaan terapi kombinasi (drugs.com).
lebih disarankan daripada - Pengobatan dengan
penggunaan metronidazole metronidazol diperpanjang
tunggal untuk memberantas hingga 10 hari sedangkan
amoeba (Gonzales, Dans, Sio- paromomycin digunakan
Aquilar. 2019) selama 7 hari
• Kombinasi terapi yang disarankan
yaitu antara agen luminal
(Iodoquinol, paromomycin) dan • Monitoring :
golongan amebisida Efek samping obat, kadar
WBC, colonoscopy/
(Metronidazol, nitazoxamide,
histopatologi dan gejala infeksi
erythromycin, klorokuin) dengan
ketentuan:
1. Pengobatan dimulai dengan
Metronidazole pada 10 hari
pertama guna mengeliminasi
infeksi berupa benjolan/kista
intraluminal, lalu diikuti
dengan penggunaan agen
luminal guna membunuh
benjolan tadi.
2. Dosis yang disarankan untuk
amebic colitis:
ü Metronidazole 500-750mg
3x/hari selama 10 hari
ü Paromomycine 25-
35mg/kg/hr dalam 3 Do
terbagi selama 7 hari
(Taherian et al. 2019)
Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Hipertensi • Subyektif : Valsartan 80 mg Valsartan digunakan untuk Drug Interaction • Plan
Memiliki (p.o) 1x1 mengobati tekanan darah tinggi (Penggunaan bersama Terapi
riwayat (hipertensi) pada orang dewasa antara valsartan dengan dilanjutkan
hipertensi asam mefenamat dapat
Dosis : 80-160 mg secara oral mengurangi efek • Monitoring
• Obyektif : sekai sehari (drugs.com) valsartan dalam Tekanan darah
Tekanan darah menurunkan tekanan
darah) (drugs.com)
• Monitoring
Kadar glukosa
dalam darah.
Salah satu ES
penggunaan
clinimix adalah
terjadinya
hiperglikemia
pada pasien
(Derenski dkk.,
2016)
Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Terapi tambahan • Subyektif : Sucralfat syrup • Sucralfat diindikasikan - • Plan
- (p.o) 3xCII sebagai terapi profilaksis Terapi
untuk ulkus duodenum dilanjutkan
• Obyektif : (DIH, Ed 17th).
Data klinik • Monitoring
mual-muntah • Sucralfat diindikasikan Kadar glukosa
untuk terapi tukak lambung dalam darah
dan tukak duodenum
(IONI).
Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Terapi tambahan • Subyektif : Albumin (iv) Albumin berfungsi untuk - • Plan
(Albumin) - mengatur tekanan dalam Terapi dihentikan
pembuluh darah dan menjaga (Albumin
• Obyektif : agar cairan yang terdapat dihentikan pada
Data kadar dalam pembuluh darah tidak tanggal 8/8
albumin bocor ke jaringan tubuh karena mungkin
sekitarnya. Saat albumin kadar albumin
rendah dalam darah pada pasien telah
(hipoalbuminemia), pasien kembali normal)
akan membutuhkan albumin
dari luar untuk meningkatkan • Monitoring
albumin ke nilai normal. Kadar albumin
Kondisi rendahnya kadar dalam darah
albumin dalam darah ini dapat
disebabkan oleh adanya proses
peradangan. Infus albumin
akan mengganti albumin yang
kurang dalam darah, dan
meningkatkan tekanan di
dalam pembuluh darah
sehingga cairan di luar
pembuluh darah akan menuju
ke dalam pembuluh darah.
BAB 3. PEMBAHASAN
3.2.Kolitis Amoeba
Pada kasus ini pasien mengalami colitis jenis infeksi, yaitu colitis amoeba.
Kolitis amoeba merupakan salah satu jenis kolitis infeksi yang termasuk
peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica (Dipiro,
2008). Kondisi kolitis amoeba pasien ditandai dengan nyeri pada luka operasi dan
terjadi radang kronis supuratif + amubiasis. Metronidazole adalah antibiotik yang
umum digunakan, termasuk dalam kelas antibiotik nitroimidazole yang sering
digunakan untuk mengobati infeksi saluran cerna serta trichomoniasis, giardiasis,
dan amebiasis yang merupakan infeksi parasit (drugbank.ca). Dalam pengobatan
colitis, penggunaan terapi kombinasi lebih disarankan daripada penggunaan
metronidazole tunggal untuk memberantas amoeba (Gonzales, Dans, Sio-Aquilar.
2019)
Kombinasi terapi yang disarankan yaitu antara agen luminal (Iodoquinol,
paromomycin) dan golongan amebisida (Metronidazol, nitazoxamide,
erythromycin, klorokuin) dengan ketentuan:
- Pengobatan dimulai dengan Metronidazole pada 10 hari pertama guna
mengeliminasi infeksi berupa benjolan/kista intraluminal, lalu diikuti
dengan penggunaan agen luminal guna membunuh benjolan tadi.
- Dosis yang disarankan untuk amebic colitis:
a. Metronidazole 500-750mg 3x/hari selama 10 hari
b. Paromomycine 25-35mg/kg/hr dalam 3 Do terbagi selama 7 hari
(Taherian et al. 2019)
3.3.Hipertensi
Penggunaan kombinasi Lisinopril dan valsartan tidak dilanjutkan karena
belum adanya bukti yang menunjukkan jika penggunaan kedua baik digunakan
untuk pasien hipertensi. Kombinasi keduanya digunakan jika pasien mengalami
penyakit kardiovaskular dan CKD dengan proteinuria namun pada pasien ini tidak
adanya riwayat dan data laboratorium yang menunjukkan adanya penyakit
kardiovaskular dan CKD. Maka disarankan untuk menghentikan penggunaan
Lisinopril dan tetap menggunakan valsartan sebagai antihipertensi pasien. Pada
jurnal menjelaskan penggunaan kombinasi ACEI (Lisinopril) dan ARB (Valsartan)
tidak menurunkan angka kematian pasien dan juga tidak dapat memperbaiki
progesifitas kerusakan ginjal. Selain itu guideline AHA, JNC dan KDOQI tidak
menyarankan penggunaan terapi kombinasi (Misra, 2009).
3.5.Terapi Tambahan
Pada kasus ini pasien mengalami hiperglikemia, hiperglikemia dapat
disebabkan karena penggunaan TPN pada pasien yag tidak memiliki riwayat
diabetes melitus. Hiperglikemia saat penggunaan TPN dapat mengakibatkan
kematian dan prevalensi komplikasi khususnya komplikasi infeksi (Lee dkk.,
2011). Data objektif pasien yakni data laboraturium GDA 159 pada tanggal 7
Agustus. Menurut Dipiro tenth, banyak dokter memutuskan bahwa insulin basal
menjadi pilihan terapi utama. Insulin aspart adalah analog yang lebih cepat diserap,
peak lebih cepat, dan memiliki durasi kerja lebih pendek daripada insulin biasa.
Pemberian dosisnya memungkinkan lebih nyaman yakni dalam waktu 10 menit
setelah makan (daripada 30 menit sebelumnya), menghasilkan kemanjuran yang
lebih baik dalam menurunkan glukosa darah postprandial dibandingkan insulin
reguler pada diabetes mellitus tipe 1, dan meminimalkan hipoglikemia pasca
makan.
Terapi Novorapid 3x4 U, iv dihentikan karena data laboratorium GDA
tidak terlalu besar dari rentang normal, dilakukan pemeriksaan diabetes pada
pasien. Data laboratorium pasien yang sudah ada didapat ketika dilakukan
penghentian terapi Novorapid 3x4 U, iv pada pasien. Tidak ada data pendukung
yang kuat meliputi data laboratorium, subjektif maupun objektif yang menunjukkan
bahwa pasien terkena diabetes mellitus beserta tipenya. Perlunya pemeriksaan
diabetes mellitus kepada pasien. Novorapid diberhentikan secara bersamaan
dengan pemberhentian nutrisi parenteral.
Ariestine, D.A., 2008. Kolitis Ulsoratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik dan
Patogenesa. Universitas Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran
Chandranata, Linda., ed. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 509–
517.
Kneale, Julia D dan Davis, Peter. 2011. Keperawatan Ortopedik dan Trauma
Edisi 2. Jakarta. EGC.
Lee, H., S. O. Koh., dan M. S. Park. 2011. Higher dextrose delivery via TPN related
to the development of hyperglycemia in non-diabetic critically ill patients.
Seoul.
Lestari, P. 2011. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Universitas
Tarumanegara: Fakultas Kedokteran
Misra, Shamita dan J. J., Stevermer. 2009. ACE Inhibitors and ARBs: One the
Other-not both-for high-risk patients. Chicago
Sandy, F. P. T., Yuliwar, R., dan Utami, N. W. 2015. Infeksi Luka Operasi (ILO)
pada Pasien Post Operasi Laparotomi. Jurnal Keperawatan Terapan, 1(1),
14-24.
Wells, Barbara G., DiPiro, T. Joseph, Schwinghammer, Terry L., dan Dipiro,
Cecily V. 2015. Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition. New York:
McGrawHill Education.