Anda di halaman 1dari 17

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

PATOFISIOLOGI GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN CKD

Oleh:

Kelompok 1

1. Anak Agung Gde Weda Pratama (193213005)

2. I Komang Febiana (193213016)

3. Kadek Ayu Rani Ariasih (193213019)

4. Leila Da Silva Pinto (193213021)

5. Ni Gusti Ayu Indah Adsari (193213022)

6. Ni Kadek Winda Pramana Putri (193213026)

7. Ni Luh Putu Satyaning Natha Dewi (193213033)

8. Ni Luh Widiningsih (193213034)

9. Putri Sukma Maha Dewi (193213047)

10. Putu Riska Pramudita Dewi (193213049)

11. Solangia Cabral Da Conceicao Santos (193213052)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

DENPASAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik
dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai “Patofisiologi
Gangguan Sistem Perkemihan CKD”

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah
ini.Oleh karena itu kami berharap kepada pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
membangun untuk menyekampurnakan makalah kedepannya.

Dalam kesempatan ini tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyusun makalah ini. Dan oleh sebab itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak

Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya bagi pembaca pada
umumnya

Denpasar, 25-02- 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang.................................................................................................1
1.2.Rumusan Masalah............................................................................................2
1.3.Tujuan ............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD) .........................................................3

2.2. Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) .....................................................4

2.3. Etiologi dan Faktor Resiko Chronic Kidney Disease (CKD) .............................4

2.4. Patofisiologi Chronic Kidney Disease (CKD) ..................................................6

2.5. Manifestasi Klinis Chronic Kidney Disease (CKD)..........................................7

2.6. Diagnostik Chronic Kidney Disease (CKD) .....................................................8

2.7. Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease (CKD).............................................9

2.8. Hemodialisa ..................................................................................................11

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan ..........................................................................................................13

3.2 Saran...............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Penyakit gagal ginjal termasuk salah satu penyakit ginjal yang paling berbahaya.
Penyakit ginjal tidak menular, namun menyebabkan kematian. Penyakit gagal ginjal
dibedakan menjadi dua, yaitu gagal ginjal akut (GGA) dan gagal ginjal kronik (GGK)
(Muhammad, 2012). Penyakit GGK pada stadium akhir disebut dengan End Stage Renal
Disease (ESDR). Penyakit GGK merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan
prevalensi dan insidensi gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang
tinggi (Word Kidney Day n.d., diakses 7 September 2018). Perawatan penyakit ginjal di
Indonesia merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah
penyakit jantung (Infodatin, 2017). Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013 prevalensi GGK di Indonesia sekitar 0,2%. Prevalensi kelompok umur ≥ 75
tahun dengan 0,6% lebih tinggi daripada kelompok umur yang lain. Salah satu penanganan
yang tepat untuk pasien GGK adalah terapi pengganti ginjal (Widyastuti, et al., 2014).
Tindakan medis pemberian pelayanan terapi pengganti fungsi ginjal sebagai bagian dari
pengobatan pasien gagal ginjal dalam upaya mempertahankan kualitas hidup yang optimal
terdiri dari dialisis peritoneal dan hemodialisis (HD). Berdasarkan IRR (Indonesian Renal
Registry) tahun 2014 mayoritas layanan yang diberikan pada fasilitas pelayanan dialisis
adalah hemodialisis 82%, layanan CAPD 12,8%, transplantasi 2,6% dan CRRT 2,3%
(Infodatin, 2017).
Penyakit hati merupakan penyakit yang umum terjadi pada pasien GGK dan
pemeriksaan fungsi hati terutama enzim memainkan peran penting dalam mendiagnosis
dan memantau kondisi pasien (Ray et al., 2015). Pada pasien gagal ginjal kronik, tindakan
hemodialisis merupakan suatu tindakan invasif yang mempunyai risiko untuk terjadinya
infeksi (Pusparini, 2000). Infeksi merupakan risiko utama pada pasien hemodialisis kronik
(telah menjalani hemodialisis lebih dari 3 bulan) (Bhattacharyaa, dkk., 2009). Oleh karena
itu, serum enzim seperti Alanine aminotransferase (ALT), Aspartat aminotransferase
(AST) dan Alkalin fosfatase (ALP) biasanya digunakan untuk menilai dan memantau
penyakit hati (Fabrizi, dkk., 2001). Tingkat ALT (Alanine Aminotransferase) pada pasien
GGK yang menjalani terapi hemodialisa dapat lebih rendah dikarenakan kekurangan
vitamin B6, yang merupakan koenzim ALT (Alanine Amino Transferase), atau hemodilus i,

1
yang terjadi karena retensi air pada pasien dengan GGK sebelum sesi hemodialisa (Ramos
et al., 2012).

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dari makalah ini
adalah:
1. Apa itu CKD?
2. Bagaimana klasifikasi CKD?
3. Bagaimana etiologi dan faktor resiko CKD?
4. Bagaimana patofisiologi CKD?
5. Apa saja manifestasi klinis CKD?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada CKD?
7. Bagaimana penatalaksanaan CKD?
8. Apa itu hemodialisis?

1.3. TUJUAN
1. Agar mengetahui definisi dari CKD.
2. Agar mengetahui bagaimana klasifikasi CKD.
3. Agar mengetahui bagaimana etiologi dan faktor resiko CKD.
4. Agar mengetahui bagaimana patofisiologi CKD.
5. Agar mengetahui manifestasi klinis CKD.
6. Agar mengetahui bagaimana diagnostik pada CKD.
7. Agar mengetahui bagaimana penatalaksanaan CKD.
8. Agar mengetahui bagaimana hemodialisis.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)

Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik merupakan


ketidakmampuan fungsi ginjal mempertahankan metabolism, keseimbangan cairan dan
elektrolit yang mengakibatkan destruksi struktur ginjal yang progresif adanya manifestasi
penumpukan bahan sisa metabolism seperti toksik uremik di dalam darah (Muttaqin &
Sari, dalam Tanujiarso, dkk. 2014).

Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan Glomerulus
Filtration Rate (GFR) (Nahas & Levin, 2010). Sedangkan menurut Terry & Aurora (2013)
CKD merupakan suatu perubahan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible. Pada gagal
ginjal kronik. Ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan cairan sisa metabolism
sehingga menyebabkan penyakit gagal ginjal stadium akhir.

Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan patologis yang ditandai dengan
kelainan struktural maupun fungsional yang berlangsung lebih dari tiga bulan serta
terjadinya kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal dengan Glomerular Filtrate Rate
(GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 . Pada CKD didapatkan kelainan komposisi
darah, urin maupun kelainan tes pencitraan (imaging). 18 Keadaan dimana terjadi
penurunan fungsi ginjal secara bertahap dan bersifat ireversibel disebut sebagai penyakit
ginjal kronik, dimana akan terjadi kerusakan total fungsi ekskresi yang dapat mengancam
jiwa.

Penyakit ginjal dikategorikan sebagai CKD bila memenuhi kriteria berikut :

1. Kerusakan ginjal berlangsung lebih dari tiga bulan.


2. GFR < 60 ml/menit/1,73 m2 . GFR merupakan indeks pengukuran fungsi ginjal
dimana nilai normal pada dewasa sekitar 125 mL/min per 1,73 m².
3. Kelainan struktural atau fungsional dengan manifestasi berupa: kelainan patologis,
albuminuria, abnormalitas sedimen urin, riwayat transplantasi ginjal, dan kelainan
imaging.

3
2.2. Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD)

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit ginjal yang ditandai dengan
penurunan nilai laju filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration Rate (GFR) selama tiga
bulan atau lebih. Menurut (Derebail, et al., 2011), klasifikasi CKD berdasarkan nilai GFR
dapat dilihat pada table dibawah ini.

Stage Deskripsi GFR (ml/min per 1,73


m2)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal >90
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR 60-89
ringan
3 Penurunan GFR sedang 35-59
4 Penurunan GFR berat 15-20
5 Gagal ginjal <15 (atau dialisis)

Berdasarkan albumin di dalam urin (albuminuria), penyakit CKD dibagi menjadi:

AER (mg/24 ACR (approximate


Kategori Terms
hours) equivalent)
A1 <30 <3 <30 Normal-peningkatan ringan
A2 30-300 3-30 30-300 Sedang
A3 >30 >30 >300 Berat

2.3. Etiologi dan Faktor Resiko Chronic Kidney Disease (CKD)

Menurut Muttaqqin & Sari (2011) kondisi klinis yang bisa memicu munculnya CKD,
yaitu:

1. Penyakit dari ginjal


a. Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonephritis
b. Infeksi kuman: pyelonephritis, ureteritis
c. Batu ginjal: nefrolitiasis
d. Kista di ginjal: polycitis kidney
e. Trauma langsung pada ginjal

4
f. Keganasan pada ginjal
g. Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur
2. Penyakit umum di luar ginjal
a. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi sangat
berkaitan erat untuk terjadinya kerusakan pada ginjal. Saat kadar insulin
dalam darah berlebih akan menyebabkan resistensi insulin yang dapat
meningkatkan lipolisis pada jaringan adiposa yang membuat lemak dalam
darah meningkat termasuk kolesterol dan trigliserida. Hiperkolesterolemia
akan meningkatkan LDL-kol dan penurunan HDL-kol yang akan memicu
aterosklerosis karena ada akumulasi LDL-kol yang akan membentuk plak
pada pembuluh darah. Terbentuknya plak akan membuat retensi natrium
sehingga tekanan darah naik. Retensi ini yang nantinya akan merusak
struktur tubulus ginjal (Noviyanti dkk, 2015).
b. Dyslipidemia karena dapat memicu aterosklerosis akibat akumulasi LDL-
kol sehingga memunculkan plak pada pembuluh darah yang akan
meningkatkan tekanan darah karena ada retensi natrium bisa membuat
ginjal rusak (Noviyanti dkk, 2015).
c. SLE (Systemic Lupus Erythematosus) adalah penyakit autoimun yang dapat
menyebabkan peradangan pada jaringan dan pembuluh darah di semua
bagian tubuh, terutama menyerang pembuluh darah di ginjal. Pembuluh
darah dan membran pada ginjal akan menyimpan bahan kimia yang
seharusnya ginjal keluarkan dari tubuh karena hal ini ginjal tidak berfungsi
sebagaimana mestinya (Roviati, 2012).
d. Infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis karena apabila tidak
segera diobati maka bakteri, virus dan parasit akan menggerogoti organ
yang ditempati hingga nanti akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran
darah dan menyerang organ lain seperti ginjal (Mohamad dkk, 2016).
e. Preeklamsi menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan aliran
darah ke ginjal yang berakibat GFR menurun dan laju ekskresi kreatinin dan
urea juga menurun (Fadhila dkk, 2018).
f. Obat-obatan seperti antihipertensi memiliki efek samping yaitu
meningkatkan serum kreatinin jika digunakan dalam jangka panjang
(Irawan, 2014).

5
g. Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar, diare) akan
membuat seseorang mengalami dehidrasi sehingga akan membuat urine
menjadi lebih pekat (Arifa dkk, 2017).

2.4. Patofisiologi Chronic Kidney Disease (CKD)

Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Ginjal
normal memiliki sekitar satu juta nefron yang memberikan kontribusi terhadap nilai GFR.
Terjadinya suatu cedera ataupun kerusakan ginjal masih dapat dipertahankan proses
pembersihan zat plasma terlarut oleh ginjal dengan adanya kompensasi berupa hipertrofi
yang diperentarai oleh molekul seperti sitokin dan growth factor.

Pathogenesis gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD) melibatkan
penurunan dan kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total
laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan klirens menurun, BUN dan kretinin meningkat.
Nefron yang masih tersisa mengalami hipertropi akibat usaha menyaring jumlah cairan
lebih banyak. Akibatnya, ginjal kehilangan kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk
melanjutkan ekskresi, sejumlah besar urin dikeluarkan, yang menyebabkan klien
mengalami kekurangan cairan. Tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan menyerap
elektrolit. Biasanya, urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi
poliuri berlebih. Oleh karena ginjal berkembang dan jumlah nefron yang berfungsi
menurun, GFR total menurun lebih jauh. Dengan demikian tubuh menjadi tidak mampu
membebaskan diri dari kelebihan air, garam dan produk sisa metabolism (Bayhakki, 2013).

Peningkatan tekanan kapiler glomerulus akan merusak kapiler dan menyebabkan


Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS) yang dapat berlanjut menjadi kerusakan
glomerulosklerosis. Hiperfiltrasi akan mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosteron
System (RAAS) yang diperantarai oleh transforming growth factor β (TGF-β). Peningkatan
RAAS berperan dalam terjadinya hipertensi dan peningkatan permeabilitas glomerulus
berperan dalam terjadinya proteinuria. Beberapa faktor seperti hipertensi, albuminur ia ,
hiperlipidemia, hiperglikemia, hiperfosfatemia dan diabetes yang tidak terkontrol dapat
meningkatkan progresifitas CKD hingga menyebabkan sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstisial.

6
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan penurunan GFR dan peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Penurunan GFR sebesar 60% atau PGK stadium 1-3 dengan kadar
urea dan kreatinin serum normal atau sedikit meningkat biasanya belum menimbulka n
gejala klinis (asimtomatik). Akan tetapi, penurunan GFR < 30 mL/min/1,73m2 (PGK
stadium 4-5) mulai menimbulkan keluhan berupa nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang, dan penurunan berat badan hingga menimbulkan tanda uremia seperti
anemia, hipertensi, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus dan sebagainya.
Penurunan GFR akan menimbulkan manifestasi seperti anemia, hipertensi, proteinuria,
asidosis, hiperfosfatemia, hiponatremi, uremia, hiperkalemia, hipokalsemia dan lain-lain.

Kerusakan ginjal akan menurunkan produksi eritropoetin sehingga tidak


terbentuknya eritrosit yang menimbulkan anemia dengan gejala pucat, kelelahan dan
aktivitas fisik bekurang. Proteinuria merupakan tanda terjadinya kerusakan ginjal.
Penurunan fungsi ginjal akan menyebabkan permeabilitas glomerulus meningkat sehingga
molekul protein seperti albumin akan bebas melewati membran filtrasi. Selain itu, fungsi
filtrasi yang terganggu akan menyebabkan akumulasi urea dalam darah (uremia).

Hipertensi timbul akibat kerusakan fungsional ginjal yang mengaktifkan pelepasan


renin yang mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I dan oleh converting enzyme
diubah menjadi angiotensin II. Kemudian timbul efek vasokonstriksi yang meningkatkan
tekanan darah. Hiperfosfatemia terjadi karena penurunan GFR menyebabkan ekskresi
fosfat meningkat dan fosfat akan berikatan dengan Ca2+ yang membentuk kalsium fosfat.
Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap dan menyebabkan nyeri sendi dan
pruritus. Pada CKD dapat terjadi asidosis metabolik yang menyebabkan rasa mual, muntah,
anoreksia dan lelah.

2.5. Manifestasi Klinis Chronic Kidney Disease (CKD)

Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang


mendasarinya. Bila glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan didapatkan
edema, hipertensi, hematuria, dan proteinuria. Anak dengan kelainan kongenital sistem
traktus urinarius, seperti renal dysplasia atau uropati obstruksi akan ditemukan gagal
tumbuh, gejala infeksi saluran kemih berulang, dan gejala nonspesifik lainnya.

7
Penderita CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) biasanya asimtomatik dan gejala
klinis biasanya baru muncul pada CKD stadium 4 dan 5. Kerusakan ginjal yang progresif
dapat menyebabkan:

1. Peningkatan tekanan darah aibat overload cairan dan produksi hormon


vasoaktif (hipertensi, edem paru dan gagal jantung kongestif).
2. Gejala uremia (letargis, perikarditis hingga ensefalopati).
3. Akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga keadaan fatal yaitu aritmia.
4. Gejala anemia akibat sintesis eritropoietin yang menurun.
5. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia (akibat defisiensi vitamin D3).
6. Asidosis metabolik akibat penumpuan sulfat, fosfat, dan asam urat.

2.6. Diagnostik Chronic Kidney Disease (CKD)

Menurut Syamsiah (2011) ada beberapa pemeriksaan diagnostic untuk gagal ginjal kronik
antara lain:

1. Pemeriksaan Laboratorium
Penilaian CKD dengan gangguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium, seperti kadar serum sodium atau natrium dan potassium
atau kalium, pH, kadar serum fosfor, kadr Hb, hematocrit, kadar urea nitrogen dalam
darah (BUN) serum dan konsentrasi kreatinin urin urinalisis.
Pada stadium yang cepat pada insufiensi ginjal, analisa urine dapat menunjang
dan sebagai indicator untuk melihat kelainan fungsi ginjal, batas kreatinin, urin rata-
rata dari urin tamping selama 24 jam. Analisa urine dapat dilakukan pada stadium
gagal ginjal yang mana dijumpai produksi urine tidak normal. Dengan urine analisa
juga dapat menunjukan kadar protein, glukosa, RBC/eritrosit dan WBC/leukosit serta
penurunan osmolaritas urin. Pada gagal ginjal yang progesif dapat terjadi output urin
yang kurang dan frekuensi urine menurun, monitor kadar BUN dan kadar kreatinin
sangat penting bagi pasien gagal ginjal. Urea nitrogen adalah produksi akhir dari
metabolism protein serta urea yang harus dikeluarkan oleh ginjal. Normal kadar BUM
dan kreatinin 20:1. Bila ada peningkatan BUN selalu diindikasikan adanya dehidrasi
dan kelebihan intake protein.
2. Pemeriksaan Radiologi

8
Beberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunakan untuk mengetahui gangguan
fungsi ginjal antara lain:
a. Flat-flat radiografi keadaan ginjal, ureter dan vesika urinaria untuk
mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi dan klasifikasi dari ginjal. Pada
gambaran ini akan terlihat nahwa ginjal mengecil yang mungkin disebabkan
adanya proses infeksi.
b. Computer Tomography Scan yang digunakan untuk melihat secara jelas
anatomi ginjal yang penggunaannya dengan memakai kontras atau tanpa
kontras.
c. Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan fungsi
ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus gangguan
ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomaly kongenital,
kelainan prostat, caculi ginjal, abses ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
d. Arteriorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena dan
kapiler ginjal dengan menggunakan kontras.
e. Magnetig Rosonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathy, ARF, proses infeksi ginjal serta post
transplantasi ginjal.
3. Biopsy Ginjal
Untuk mendiagnosa kelainan ginjal dengan mengambil jaringan ginjal lalu dianalisa.
Biasanya biopsy dilakukan pada kasus glomerulonephritis, sindrom nefrotik, penyakit
ginjal bawaan dan perencanaan transplantasi ginjal.

2.7. Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Farmakologi
a. Antihipertensi
Tekanan darah tinggi dapat menurunkan fungsi ginjal dan mengubah komposisi
elektrolit dalam tubuh. Bagi penderita GGK yang juga disertai hipertensi, dokter
dapat memberikan obat ACE inhibitor atau ARB.
b. Suplemen Besi
c. Agen Pengikat Fosfat
d. Obat Kortikosteroid

9
Obat ini diberikan untuk penderita GGK karena penyakit glomerulonefritis atau
peradangan unit penyaringan dalam ginjal.
e. Obat Diuretik
Obat ini dapat mengurangi penumpukan cairan pada bagian tubuh, seperti
tungkai. Contoh obat ini adalah furosemide. Efek samping yang mungkin
ditimbulkan adalah dehidrasi serta penurunan kadar kalium dan natrium dalam
darah.
f. Suplemen Kalsium dan Vitamin D
Kedua suplemen ini diberikan untuk mencegah kondisi tulang yang melemah dan
berisiko mengalami patah tulang.
g. Furesemid (membantu berkemih)
h. Tranfusi Darah
2. Non-Farmakologi
a. Pengaturan diet rendah protein (0,4-0,8) gram/kg BB) bisa memperlambat
perkembangan gagal ginjal kronik.
b. Diet rendah garam. Asupan garam biasanya tidak dibatasi kecuali jika terjadi
edema (penimbunan cairan di dalam jaringan) atau hipertensi.
c. Tambahan vitamin B dan C diberikan jika penderita menjalani diet ketat atau
menjalani dialisa.
d. Asupan cairan dibatasi untuk mencegah terlalu rendahnya kadar garam (natrium)
dalam darah.
e. Hindari makanan kaya kalium, hiperkalemia (tingginya kadar kalium dalam
darah) sangat berbahaya karena meningkatkan resiko terjadinya gangguan irama
jantung dan cardiac arrest.
f. Jika kadar kalium terlalu tinggi maka diberikan natrium polisteren sulfonat untuk
mengikat kalium sehingga kalium dapat dibuang bersama tinja.
g. Kadar fosfat dalam darah dikendalikan dengan membatasi asupan makanan kaya
fosfat (misalnya produk olahan susu, hati, polong, kacang-kacang dan minuman
ringan).
h. Menurunkan berat badan jika berat badan berlebih atau obesitas.

Untuk penderita gagal ginjal kronis tahap akhir atau berada pada stadium 5, maka
penanganan yang dapat dilakukan mengganti tugas ginjal dalam tubuh dengan terapi
pengganti ginjal, yang terdiri dari:

10
a. Dialisis
Dialisis atau penyaringan limbah serta cairan dalam tubuh dengan mesin atau
memanfaatkan rongga perut. Dialisis yang dilakukan dengan mesin disebut
hemodialisis atau yang dikenal dengan cuci darah. Sedangkan dialisis yang
dilakukan dalam rongga perut dengan menggunakan cairan dialisis untuk menyerap
cairan atau limbah yang berlebih disebut continuous ambulatory peritoneal
dialysis atau CAPD.
b. Tranplantasi ginjal
Untuk prosedur transplantasi ginjal, ginjal penderita diganti dengan ginjal sehat yang
didapat dari donor. Penderita GGK bisa lepas dari cuci darah seumur hidup pasca
transplantasi. Namun, untuk menghindari risiko penolakan organ cangkok, pasien
perlu mengonsumsi obat imunosupresif untuk jangka panjang.

2.8. Hemodialisis

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan


menggunakan selaput membran semi permeabel yang berfungsi seperti nefron sehingga
dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal. Pada umumnya hemodialisis dilakukan
sebanyak 2-3 kali seminggu dengan waktu 4-5 jam setiap hemodialisis. Hemodialisis
berfungsi untuk mengeluarkan sisa garam dan cairan berlebih untuk mencegah
penumpukan molekul kimia di darah serta menjaga tekanan darah. Hemodialisis
merupakan suatu proses difusi dan filtrasi zat terlarut melewati suatu membran
semipermeabel yang akan mengeluarkan molekul urea, kreatinin, elektrolit dan
mempertahankan bikarbonat serta dapat mengadsorbsi protein seperti sitokin, interleukin
yang bermanfaat pada keadaan inflamasi atau sindrom uremia.

Menurut Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDQOI) 2006, indikasi


dilaksanakan terapi HD yaitu :

1. Kelebihan cairan yang sulit dikendalikan dan hipertensi.


2. Asidosis metabolik refrakter.

11
3. Hiperkalemia refrakter terhadap terapi diit dan farmakologi.
4. Hiperfosfatemia refrakter terhadap terapi diit dan farmakologi.
5. Penurunan kualitas hidup dan kapasitas fungsional tanpa sebab yang jelas.
6. Anemia refrakter.
7. Terdapatnya malnutrisi dan penurunan berat badan.
8. Indikasi segera berupa gangguan neurologis, leuritis, perikarditis dan
pemanjangan waktu perdarahan

Kontraindikasi absolut dilakukan HD ialah tidak terdapatnya akses vaskular dan


kontra relatif seperti kesulitan menemukan akses vaskular, fobia jarum gagal jantung dan
koagulopati. Akses vaskular dialisis dapat berupa fistula (arteri-vena), graft, dan kateter
intra vena. Akses fistula dibuat dengan melakukan anastomosis arteri vena dan merupakan
pilihan pertama karna dapat mengalirkan darah hingga 300 ml/menit. Graft dilakukan bila
diameter vena kecil atau vena telah mengalami kerusakan. Sedangkan kateter dimasukkan
ke vena dekat leher atau dada dan digunakan pada dialisis periode singkat.

Dializer memiliki dua bagian yaitu bagian yang berhubungan dengan aliran dan
bagian yang dinamakan dialisat. Terapi HD biasanya dilakukan 3 kali seminggu dan tiap
terapi membutuhkan waktu sekitar 4 jam atau lebih tergantung dengan kebutuhan. Jumlah
terapi HD tergantung pada kerja ginjal, seberapa banyak pertambahan cairan setiap kali
terapi, berat badan, molekul sisa di darah dan tergantung tipe pengganti ginjal yang
digunakan. Terapi HD yang lebih lama menunjukkan hasil yang lebih baik di Eropa dan
Asia. Pasien dengan peningkatan berat badan saat terapi berisiko tinggi mengalami
kematian. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya penurunan tekanan darah,
berkurangnya kebutuhan akan obat hipertensi pada pasien yang menerima terapi HD
jangka panjang. Kemudian kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
frekuensi terapi HD. Komplikasi akut tersering selama menjalani HD ialah hipotensi
terutama pada pasien dengan diabetes. Hal ini terjadi karena beberapa faktor seperti
ultrafiltasi yang terlalu besar, penurunan kemampuan vasoaktif dan penggunaan
antihipertensi berlebihan. Selain itu kram otot sering terjadi selama dialisis, namun belum
diketahui penyebabnya. Hal ini dikaitkan dengan gangguan perfusi otot karena
pengambilan cairan yang berlebihan dan pemakaian dialisat rendah sodium. Sedangkan
komplikasi jangka panjang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular pada pasien
dengan faktor resiko seperti diabetes, inflamasi kronik anemia, dislipidemia dan
perubahan hemodinamik kardiovaskular selama dialisi.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan patologis yang ditandai dengan
kelainan struktural maupun fungsional yang berlangsung lebih dari tiga bulan serta
terjadinya kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal dengan Glomerular Filtrate Rate
(GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2. Penyebab PGK berbeda antara satu negara dengan
negara lainnya. National Health Insurance (NHI) menyatakan bahwa pertambahan usia,
diabetes, hipertensi, hiperlipidemia dan jenis kelamin berhubungan dengan faktor resiko
terjadinya PGK yaitu faktor klinis,faktor sosiodemografi, Patofisiologi PGK pada awalnya
tergantung dari penyakit yang mendasarinya, Diagnostik Gambaran Klinis Manifestasi
klinis pasien PGK sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti hipertensi, hiperurisemi,
diabetes malitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, Lupus eritomatosus
sistemik, Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel yang berfungsi seperti nefron sehingga
dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal

3.2 Saran
Dengan mengetahui permasalahan penyebab penyakit gagal ginjal kronik,
diharapkan masyarakat lebih berhati-hati dan menghindari penyebab penyakit ini serta
benar-benar menjaga kesehatan melalui makanan maupun berolaharaga yang benar.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunanya, besar harapan kami kepada
para pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar
makalah ini menjadi lebih sempurna

13
DAFTAR PUSTAKA

Arifa, Saniya Ilma; Azam, Mahalul; Handayani, O. W. K. 2017. Factors Associated with

Chronic Kidney Disease Incidence among Patients with Hypertension in Indonesia. Jurnal

MKMI, Vol 13.

Aulawi, K. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishing.

Bayhakki. 2013. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: EGC

Derebail V.K, Abhijit V.K., dan Melanie S.J. 2011. Chronic Kidney Disease: Progression-

ModifyingTherapies in Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Edisi Kedelapan.

USA: Mc-GrawHills Companies. Halaman 767 - 782.

Herdmand, Heather dan Kamitsuru, Shigemi. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan


Defenisi dan klarifikasi. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A & Sari, K. 2014. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.

National Kidney Foundation. 2011. Chronic Kidney Disease (CKD) and Diet: Assessment,
Management and Treatment.
Syamsiah, N. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Pasien CKD yang
Menjalani Hemodialisa di RSPAU Dr Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma Jakarta.

Terry, Cynthia Lee & Aurora Weaver. 2013. Keperawatan Kritis. Yogyakarta: Rapha
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai