Anda di halaman 1dari 25

STUDI KASUS FARMAKOTERAPI TERAPAN

INFEKSI SALURAN CERNA

PHARMACEUTICAL CARE PLAN

Dosen:
Antonius N. W. Pratama, S.Farm., M.P.H., Apt.

Oleh :

Kelompok 13
Asrin Rakhmaniyah I 192211101093
Ulfa Aliyatul Himmah 192211101094
Nuri Putri Azhari 192211101095
Ingga Dias Astri 192211101096
Tinton Agung Laksono 192211101097
Reny Diastri Noviriana 192211101098
Irsalina Triastutik 192211101099
Nurlaila Velayanti 192211101100

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1 PENDAHULUAN

1. Definisi Kolitis
Colitis berasal dari kata kolon (usus besar) dan itis (peradangan). Colitis
adalah penyakit berupa peradangan usus besar yang menyebabkan gejala nyeri,
meradang, diare dan perdarahan anus. Usus besar meliputi area dari caecum (tempat
menempel usus buntu/appendiks), kolon ascendant, kolon transversum, kolon
descendent, sigmoid, rektum, dan anus (Lestari, 2011). Colitis amoeba merukapan
salah satu jenis colitis infeksi yang termasuk peradangan kolon yang disebabkan
oleh protozoa Entamoeba histolytica (Dipiro, 2008). Gambaran tertentu kolitis
menunjukkan beberapa kemungkinan penting berkaitan dengan faktor :
a. Faktor Familia/Genetik
Lebih sering pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam dan Cina.
Insidensi meningkat 3-6 kali pada orang Yahudi dibandingkan orang Non
Yahudi. Hal ini dapat menunjukkan bahwa dapat ada predisposisi genetik
terhadap perkembangan penyakit ini.
b. Faktor Infeksi
Faktor infeksi diduga karena bakteri Pseudomonas (masih harus dikonfirmasi).
Amuba juga dapat menyebabkan kolitis (menyebabkan diare darah, demam dan
dehidrasi) dan Parasit
c. Faktor imunologik
Manifestasi ekstraintestinal yaitu dari atritis dan perikolangitis.
d. Faktor Psikologis
Faktor psikologis dapat berupa stres psikologi mayor (ex : kehilangan seorang
anggota keluarga), rentan terhadap radang usus dan dapat mengeksaserbasi
gejalanya.
e. Faktor Lingkungan/Kebiasaan
Perokok beresiko 40% terkena Kolitis dibanding bukan perokok. Hubungan
terbalik antara operasi apendikotomi dg kolitis (penyakit Kolitis menurun
secara signifikan) (Patogenesa dkk., 2008).
2. Tanda dan Gejala
Gejala utama Kolitis yaitu
a. Diare berdarah
b. Nyeri abdomen/Nyeri perut (nyeri bertambah saat diare dan kemudian
berkurang
c. Seringkali terjadi demam menggigil dan tanda-tanda infeksi lain (sesuai
penyebab kolitisnya
d. Penurunan berat badan (Kasus berat)
e. Feses mengandung sedikit darah/tanpa manifestasi sistemik (Kasus ringan)
f. Kembung dan peningkatan udara usus.

Gambar 1. Kolon normal dan kolitis


3. Patofisiologi
Penyebab kolitis tidak diketahui secara pasti, dugaan penyebabnya yaitu
infeksi oleh mikroorganisme, variasi genetik, dan disregulasi imun serta faktor
lainnya berupa keadaan psikologi. Infeksi mikroorganisme merupakan faktor yang
paling mungkin dalam inisiasi peradangan. Pada hewan bebas kuman, tidak
ditemukan etiologi infeksi colitis ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa invasi
patogen didapatkan dari lingkungan luar yang masuk ke dalam tubuh.
Kontamiansi/penularan agen infeksi ini biasanya dibawa oleh penderita kemudian
mengkontaminasi makanan dan lingkungan pasien baru. Salah satu patogen yang
berperan merupakan mikroba invasif seperti virus, protozoa seperti ameba , dan,
bakteri aerob. Umumnya yang menjadi agen infeksius merupakan bakteri penghasil
nekrotoksin, enterotoksin, dan hemolisins atau toksin sejenisnya yang dapat
merusak mukosa. Bakteri memiliki sifat kemotaksis dan menyebabkan masuknya
sel inflamasi, superantigen mikroba yang dapat menstimulasi sel imun.

Gambar 2. Daur hidup amoeba E. Histolytica


Infeksi yang disebabkan oleh parasit protozoa intraseluler disebut dengan
cryptosprorodiosis. Salah satu contoh parasit protozoa yang menyebabkan kolitis
pada saluran cerna salah satunya yaitu E. histolytica.. Proses penularan dimulai dari
kista dan topozites amoeba yang keluar bersamaan dengan feses penderita
mengkontaminasi lingkungan ataupun makanan pasien baru, sehingga kista ikut
tertelan kemudian menyebabkan lesi pada usus pasien (amoebiasis). Apabila pasien
menelan E. histolytica maka daur hidup parasit akan berkembang dalam tubuh
inang (host). Untuk melengkapi siklus hidup amoeba, kemudian kista akan
diekskresikan melalui feses dan mencapai lingkungan (Dipiro, 2015). Akibat invasi
amoeba ke dinding usus, menyebabkan infiltrate peradangan di lamina propria,
kemudian direspon dengan mengaktifkan reaksi imun cell mediated (produksi
imunoglobulin) serta keluarnya mediator inflamasi. Meningkatnya produksi sitokin
memodulasi mediator proinflamasi seperti makrofag, akibatnya terjadi penurunan
respon imun dan menyebabkan inflamasi. Invasi yang mencapai lapisan muskularis
dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan membentuk massa yang
disebut ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden (Dipiro, 2008; Dipiro,
2015).
Mekanisme parasit untuk menginvasi/menembus dinding usus yaitu dengan
merusak dinding usus dan membuat lesi. Toksin yang dikeluarkan kista/trofozoit
berupa enzim proteolitik akan menyebabkan desktruksi mukosa, apabila proses ini
berkelanjutan dapat menyebabkan ulcer ada rektum dan mengenai seluruh bagian
kolon. Ulcer yang terjadi di membran saluran pencernaan disebut ulkus. Apabila
jumlah ulkus banyak maka pulau-pulau ulkus ini disebut pseudopolyps. Nekrosis
jaringan pada mulanya hanya terjadi secara kasa mata kemudian akan menyebar
dan membuat borok. Pada kondisi ini terapi antibiotik lebih susah untuk penetrasi,
sehingga nekrosis jaringan yang sampai pada tahap ini harus di ambil
(debridement), dari jaringan nekrosis tadi akan mengeluarkan cairan purulen/pus
yang terdiri dari leukosit. Perubahan mukosa usus menyebabkan proses absorbsi
terganggu dan meningkatkan protein dan zat lainnya dalam lumen usus disertai
retensi cairan.
Desktruksi/perforasi mukosa yang lebih dalam akan merusak submukosa atau
lapisan submukolaris, dan serosa. Perforasi/ulserasi secara terus menerus pada
mukosa menimbulkan lesi ulkus, sehingga terbentuk abses. Pasien akan merasakan
nyeri akibat adanya iritasi yang berkelanjutan dan apabila dibiarkan dapat
menyebabkan tukak lambung seperti perdarahan terus menerus (Dipiro, 2015).
Gambar 3. Patofisiologi kolitis infeksi karena amoeba

Apabila kerusakan jaringan dibarengi dengan terjadinya sumbatan


(obstruksi) akan meningkatkan tekanan intraluminal dapat memicu kolonisasi serta
mempermudah penetrasi dan penyebaran ke organ lain. Tersebarnya amoeba ke
organ lain seperti hati melalui pembuluh darah disebut amebiasis ekstraintestinal.
Apabila amoebik hepatis ini tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan abses
hepatikum. Selanjutnya jika terjadi pecahnya abses hati, amoeba dapat berekspansi
ke organ lainnya seperti pleura,paru, kulit, dan sekitar pencernaan.

4. Diagnosis
Amoebiasis usus umumnya didiagnosis dengan mengidentifikasi kista atau
trofozoit motil dengan pemeriksaan pada sampel tinja menggunakan formalin atau
garam fisiologis. Kelemahan dari metode ini adalah sensitivitas dan spesifisitasnya
rendah karna seringkali didapatkan hasil positif palsu karena kehadiran E. dispar
atau E. moshkovskii. Serologi paling berguna pada pasien dengan penyakit
ekstraintestinal ketika organisme tidak ditemukan dalam sampel tinja. Pemeriksaan
spesimen biopsi mukosa kolon dan eksudat (nanah) juga dapat dijadikan sebagai
diagnosa penunjang dengan ciri seperti berikut terjadi penebalan mukosa dengan
atau tanpa ulserasi, adanya kehadiran amuba dalam eksudat yang berlendir,
nekrosis dan perforasi pada dinding usus.
Pengujian diagnostik pasien dengan dugaan kolitis tergantung pada sampel
yang diperoleh. Dalam kasus sampel tinja, tinja difiksasi dengan formalin. Semua
jenis struktur parasit, baik kista maupun trofozoit, diawetkan secukupnya untuk
pemeriksaan mikroskopis berikutnya. Sampelnya lalu dikirim ke departemen
mikrobiologi lalu dilakukan identifikasi kemungkinan kista dan/atau trofozoit
menggunakan etil asetat. Dalam beberapa kasus, untuk mengkonfirmasi hasil,
keberadaan antigen anti-amuba pada sampel tinja segar diuji menggunakan
Entamoeba CELISA Path1test. Dalam beberapa kasus, diagnosis juga dapat
didasarkan pada biopsi dari endoskopi. Tes serologis dilakukan untuk mempelajari
penyakit ekstraintestinal dengan menggunakan NovaLisa Entamoeba histolytica
IgG. Kolitis invasif diobati dengan metronidazole 750 mg PO per × 7 hingga 10
hari atau tinidazole 2 g PO sekali × 3 hari, diikuti oleh agen luminal untuk
menghilangkan kista intraluminal, umumnya paromomycin 25 hingga 30 mg / kg /
d PO dalam 3 dosis × 7 hari (Roure, dkk., 2019).

5. Epidemiologi
Amoebic colitis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh Entamoeba
histolytica, yaitu protozoa parasit yang terdapat diseluruh dunia. Diperkirakan 10%
populasi dunia terinfeksi E.histolytica yang kemudian berkembang menjadi kolitis
amoeba atau extraintestinal abscesses yang mana dalam 50 juta kasus setiap tahun
di seluruh dunia yang menyebabkan 100.000 kematian. E.histolytica ini merupakan
endemik di daerah tropis maupun subtropis. Pada negara maju pasien yang terkena
biasanya yaitu imigran, pelancong, pria yang berhubungan seks dengan pria dll.
Infeksi dengan E. histolytica mewakili sebagian kecil dari infeksi simtomatik, dan
jumlah kasus asimptomatik mencapai 80 hingga 90% orang yang terinfeksi E.
histolytica. Di daerah endemik seperti Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Selatan,
di Asia, dan India, amebiasis lebih umum pada keseluruhan populas misalnya,
kejadian amebiasis usus di Meksiko dari 1995 hingga 2000 adalah antara 1000 dan
5000 kasus per 100.000 populasi per tahun (Lee dkk., 2014) .
6. Terapi Kolitis
a. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi penyakit inflamasi usus besar secara umum dapat
diberikan aminosalicylates, glucocorticoids, immunosuppressive agents
(azathioprine, mercaptopurine, cyclosporine, and methotrexate), antimicrobials
(metronidazole and ciprofloxacin), agent inhibir tumor necrosis factor-α (TNF-
α) (anti–TNF-α antibodies), dan leukocyte adhesion and migration
(natalizumab) (Dipiro, 2015). Terapi menggunakan kortikosteroid dan hormon
adrenkortikotropik merupakan terapi yang secara luas digunakan untuk
menekan inflamasi pada usus besar pada kondisi kolitis sedang sampai parah,
salah satu pilihan terapinya adalah prednisolone, namun bila penyebab
terjadinya inflamasi dapat diberikan terapi spesifik untuk menghilangkan agen
penyebab inflamasi.
Pada kolitis amubiasis dengan penyebab Entamoeba histolytica dapat
diberikan terapi metronidazol untuk membunuh amuba. Terapi lain yang dapat
diberikan adalah tinidazol untuk mengatasi resistensi pada metronidazole
(Gonzales, 2019). Metronidazol dapat diberikan dengan dosis oral dewasa 800
mg 3 kali sehari selama 5-10 hari atau tinidazole dengan dosis dewasa 1 g
perhari secara oral selama 2-3 hari. Terapi ajuvant juga dapat diberikan
tambahan terapi diloxanide furoate atau mepacrine hcl apabila terapi tunggal
tidak adekuat (BNF 76, 2018).
Kolitis yang disertai infeksi bakteri harus diberikan segera terapi empiris
dan definitif setelah kultur bakteri keluar. Antibiotik yang dapat diberikan dapat
disesuaikan dengan jenis bakteri hasil kultur beserta data sensitifitas bakterinya
sehingga tiap layanan kesehatan mungkin memiliki tatalaksana antibiotik yang
berbeda-beda. Antibiotik empiris yang dapat diberikan pada colitis antara lain
trimetroprim-sulfametoksazol, ampisilin, ampisilin-sulbactam, gentamisin,
metronidazole, cefoxitin, ceftriaxone, cefotaxim, klorampenikol, dan
vankomisin (David, 2019).
b. Terapi Non Farmakologi Kolitis
Terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien kolitis adalah
terapi suportif berupa intake protein untuk memperbaiki status gizi pasien baik
melalui infus atau oral bila memungkinkan. Terapi suportif lanjutan yang dapat
diberikan yaitu probiotik apabila infeksi telah berhasil diatasi untuk
memperbaiki kondisi flora normal di usus. (Dipiro, 2015; David, 2019).

7. Infeksi Luka Operasi


Infeksi luka operasi (ILO) atau Surgical site infection (SSI) adalah infeksi
pada tempat operasi yang merupakan salah satu komplikasi utama operasi yang
meningkatkan morbiditas dan biaya perawatan penderita di rumah sakit, bahkan
meningkatkan mortalitas penderita (Alsen dan Sihombing, 2014). Infeksi Luka
Operasi (ILO) terjadi ketika mikroorganisme dari kulit, bagian tubuh lain atau
lingkungan masuk kedalam insisi yang terjadi dalam waktu 30 hari dan jika ada
implant terjadi 1 tahun paska operasi, ditandai dengan adanya pus, inflamasi,
bengkak, nyeri dan rasa panas (Awad, dkk., 2009 dalam PP Hipkabi, 2010).
Penyebabnya sering dikaitkan dengan flora mikroba dan pasien, petugas bedah,
teknik pembedahan, lingkungan, dan faktor pasien sebagai pejamu (Gruendemann,
2005). Selain itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi infeksi luka operasi
antara lain sifat operasi (derajat kontaminasi operasi), komorbiditas DM (diabetes
melitus), suhu praoperasi, jumlah leukosit, dan lama operasi. Selain itu faktor lain
yang terkait dari pasien seperti umur, jenis kelamin, penyakit predisposisi ILO, dan
operasi dahulu. Lama pasien dirawat di rumah sakit, tingkat kebersihan luka,
kepatuhan melaksanakan teknik aseptik, jumlah personil di kamar operasi, dan
perawatan luka pasca operasi juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi
kejadian infeksi luka operasi (Sandy, dkk., 2015).

8. Infeksi Post Op Hemikolektomi

Hemikolektomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan mengangkat


sebagian dari kolon beserta pembuluh darah dan saluran limfe.
Terdapat beberapa tipe dari hemikolektomi, antara lain :
a. Hemikolektomi kanan
Hemikolektomi kanan dilakukan untuk mengangkat suatu tumor atau
penyakit pada kolon kanan. Dilakukan pada kasus tumor bersifat kuratif dengan
melakukan reseksi pada kasus karsinoma sekum, kolon asenden. Pembuluh darah
ileokolika, kolika kanan dan cabang kanan pembuluh darah kolika media diligasi
dan dipotong. Sepanjang 10 cm ileum terminal juga harus direseksi, yang
selanjutnya dibuat anastomosis antara ileum dan kolon transversum.
b. Hemikolektomi Kanan Diperluas
Hemikolektomi kanan diperluas (Extended Right Colectomy) dapat
dilakukan untuk mengangkat tumor pada fleksura hepatika atau proksimal kolon
transversum. Standar hemikolektomi kanan diperluas adalah dengan mengikut
sertakan pemotongan pembuluh darah kolika media. Kolon kanan dan proksimal
kolon transversum direseksi dilanjutkan anastomosis primer antara ileum dan
bagian distal kolon transversum. Jika supply darah diragukan, reseksi diperluas
sampai fleksura lienalis dan selanjutnya membuat anstomosis ileum dengan kolon
desenden.
c. Kolektomi Transversum
Suatu tumor pada pertengahan kolon transversum dapat direseksi dengan
melakukan ligasi pada pembuluh darah kolika media sekaligus mengangkat
seluruh kolon transversum yang diikuti membuat anastomosis kolon asenden
dengan kolon desenden. Bagaimanapun, suatu kolektomi kanan diperluas
dengan anastomosis antara ileum terminal dengan kolon desenden merupakan
anastomosis yang aman dengan menghasilkan fungsi yang baik.
d. Hemikolektomi kiri
Suatu tumor pada kolon transversum bagian distal, fleksura lienalis, atau
kolon descenden direncanakan untuk dilakukan hemikolektomi kiri. Cabang kiri
dari pembuluh darah kolika media, kolika kiri dan cabang pertama dari pembuluh
darah sigmoid dilakukan ligasi dan dipotong. Selanjutnya dilakukan anastomosis
kolon transversum dengan kolon sigmoid.
e. Hemikolektomi Kiri Diperluas
Digunakan untuk mengangkat tumor pada kolon transversum bagian distal.
Pada operasi ini, dilakukan kolektomi kiri dengan perluasan ke bagian proksimal
cabang kanan pembuluh darah kolika media.
f. Kolektomi Sigmoid
Tumor pada kolon sigmoid dengan melakukan ligasi dan pemotongan
cabang sigmoid dari arteri mesenterika inferior. Umumnya, kolon sigmoid
dilakukan reseksi setinggi refleksi peritoneum dilanjutkan anastomosis antara kolon
desenden dan rektum bagian proksimal. Untuk menghindari tension pada
anastomosis maka perlu dilakukan pembebasan fleksura lienalis.
g. Kolektomi Total atau Sub total
Dilakukan pada pasien dengan kolitis fulminan termasuk familial
adenomatous polyposis atau karsinoma kolon yang sinkronus. Sesuai prosedur,
pembuluh darah ileokolika, pembuluh darah kolika dekstra, kolika media, kolika
sinistra dilakukan ligasi dan dipotong. Selanjutnya ileum terminal sampai sigmoid
direseksi. Anastomosis ileo-rektal.
Hemikolektomi dapat dilakukan pada beberapa kondisi seperti :
 Keganasan pada sekum, kolon asenden, fleksura hepatika dan kolon tranversum
kanan.
 Keganasan pada kolon transversum kiri, fleksura lienalis, kolon desenden.
 Poliposis kolon.
 Trauma kolon.
BAB 2 SOAP

Pharmaceutical Care Plan

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. M
Umur : 80 tahun
Tanggal MRS : 25 Juli 2019
Tanggal KRS :-
Diagnosis : Kolitis amoeba + Post op hemikolektomi 10 hari

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
Nyeri pada luka operasi (operasi hemikolektomi pada tanggal 28 Juli
2019 dan operasi debridement pada tanggal 4 Agustus 2019)

2.2. Riwayat Penyakit :


Hipertensi

2.3. Riwayat Pengobatan :


-

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial :


-

2.5. Alergi Obat :


-
III. OBJEKTIF
A. Tanda-tanda vital
Tanggal
Data Klinik Nilai Normal
7-8-2019 8-8-2019 9-8-2019 10-8-2019 11-8-2019
Tekanan Darah <120/80 (mmHg) 130↑/100↑ 140↑/80↑ 130↑/80↑ 120/80 130↑/80↑
Suhu 37±5 (C) 36,2 36,2 36 36,5 36,8
Nadi 60-100 (x/menit) 82 88 84 89 88
RR 18-24 (x/menit) 18 18 20 20 20
SpO2 96-100 (%) - - - 96 98

B. Tanda-tanda klinik
Tanggal
Kondisi Klinik
7-8-2019 8-8-2019 9-8-2019 10-8-2019 11-8-2019
Nyeri 4 4 3 3 3
Mual-muntah - - - - +
Demam - - - - -
Pada luka keluar cairan kuning tidak berbau

C. Hasil pemeriksaan laboratorium


Data Tanggal
Nilai normal Keterangan
Lab 25-7-2019 26-7-2019 28-7-2019 29-7-2019 31-7-2019 7-8-2019
Albumin 3,5-5,5 (g/dL) 2,38↓ 1,4↓ 2,5↓ 3↓ Hipoalbuminea
Hiponatremia
Natrium 135-145 (mEq/L) 129↓ 137,8 142 141
pada tanggal 25
Hipokalemia
Kalium 3,4-5 (mEq/L) 2,8↓ 3,24↓ 3,3↓ 3,6 pada tanggal 25-
28
WBC tinggi pada
25-28
WBC 4,2-11 (x103/mm3) 28,2↑ 25,56↑ 17,1↑ 8,9
menandakan
adanya infeksi
GDA 100-140 (mg/dL) 159 Hiperglikemia
D. Hasil Pemeriksaan Histopatologi
Pada tanggal 7 Agustus 2019 : radang kronis supuratif + amubiasis

E. Hasil Pemeriksaan Kultur Pus


Tanggal 7-8-2019 8-8-2019
Mikroba Pseudomonas aeruginosa Klebsiella pneumonia
Resisten terhadap semua antibiotik, Sensitif terhadap antibiotik cefoperazone/sulbactam, doripenem,
Keterangan intermediate pada antibiotik imepenem, meropenem, amikasin, dan intermediate terhadap
polimyxin antibiotik amoxicillin, cefoxitin, tobramycin

IV. TERAPI PASIEN


Tanggal
Nama Obat Dosis dan rute
7-8-2019 8-8-2019 9-8-2019 10-8-2019 11-8-2019
Cefoperazone 3x1 iv √ √ Stop
Tramadol 1x2 ampul iv √ √ √ √ Stop
Novaldo 1x3 ampul iv √ √ √ √ √
Clinimix iv √ √ √ Stop
Novorapid 3x4 U iv √ √ √ √ Stop
Sucralfat syrup 3xCII p.o √ √ √ √ √
Albumin Iv √ Stop
Valsartan 80 mg 1x1 p.o √ √ √ √ √
Lisinopril 1x1 p.o √ √
Amoxan 500 mg 3x1 p.o √ √ √
Metronidazole 500 mg 3x1 p.o √ √ √
Asam mefenamat 500 mg 3x1 p.o √
V. ANALISIS SOAP

Problem Subyektif/
Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Medis Obyektif
Nyeri (pasca Subjektif: Novaldo 1x3  Novaldo mengandung metamizole - Plan:
operasi  Nyeri pada ampul iv 7/8-11/8 Na yang diindikasikan untuk Terapi novaldo tetap
hemikolekto luka operasi (1 ampul meredakan nyeri terutama pada dilanjutkan karena
mi) mengandung 1000 kolik dan pasca operasi (MIMS pasien masih
Objektif: mg/2 mL) online, 2019). mengalami nyeri (skala
 Skala nyeri  Dosis: Dosis awal 500 mg secara iv, nyeri 3), bisa
7/8-8/8=4 lalu 500 mg tiap 6-8 jam (Maksimal dihentikan jika pasien
(moderate) 3xsehari) (MIMS online, 2019). tidak mengalami nyeri.
 Skala nyeri  Efek samping: Reaksi
9/8-11/8=3 hipersensitivitas pd kulit Monitoring:
(mild) (kemerahan pd kulit)(MIMS Rasa nyeri pasien, efek
online, 2019). samping obat
Tramadol 1x2  Tramadol adalah golongan obat Adanya reaksi yang tidak Plan:
ampul iv 7/8-10/8 analgesik opioid yang diinginkan Terapi sudah tepat
(1 ampul diindikasikan untuk meringankan yakni berupa mual (24- dengan menghentikan
mengandung 100 nyeri sedang hingga berat dan 40%) dan muntah (9-17%) pemberian tramadol
mg/2 mL) nyeri pasca operasi (DIH, 17th (Medscape, 2019) pada tanggal 11/8/2019
Edition). dan selanjutnya
 Dosis : menggunakan asam
Pasien dengan usia >75 tahun mefenamat.
tidak boleh lebih dari 300 mg/hari
(DIH, 17th Edition). Monitoring:
Rasa nyeri pasien, efek
samping obat
Asam mefenamat  Asam mefenamat merupakan obat - Plan:
500 mg, 3x1 p.o golongan NSAID yang Terapi dilanjutkan,
11/8 diindikasikan untuk nyeri dan apabila pasien sudah
peradangan, nyeri pasca operasi, tidak mengalami nyeri,
nyeri ringan sampai nyeri sedang terapi dapat dihentikan.
(BNF 74, 2017).
 Dosis untuk nyeri ringan sampai Monitoring:
sedang, post operatif: 500 mg 3x1 Rasa nyeri pasien, efek
(BNF 74, 2017). samping obat
 Lansia berisiko lebih tinggi untuk
efek samping berupa peptic ulcer
dan toksisitas ginjal, bahkan pada
dosis rendah (DIH, 17th Edition).

Problem Subyektif/
Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Medis Obyektif
Kolitis Subjektif: Metronidazole 500  Metronidazole merupakan pilihan Dosis terlalu rendah dan Plan:
amoeba - mg (3x1 po) 9/8- terapi obat yang efektif pada durasi terapi terlalu pendek Metronidazole
11/8 infeksi bakteri dan protozoa serta terdapat indikasi yang sebaiknya diberikan
Objektif: anaerob pada kondisi amoebiasis jelas namun tidak diterapi, sejak tanggal 7/8
 Hasil invasif pada orang dewasa dan antiamoeba seharusnya selama 10 hari dengan
pemeriksaan anak-anak, infeksi intraabdominal, diberikan setelah adanya dosis 800 mg setiap 8
histopatologi dan pengobatan kolitis hasil pemeriksaan jam
pada tanggal pseudomembranosa, tetapi tidak histopatologi yaitu pasien
7 Agustus cukup untuk menghilangkan kista mengalami amubiasis pada Monitoring:
2019 adalah parasit di usus (Cochrane, 2009; tanggal 7, untuk Efek samping seperti
radang kronis DIH, 17th Edition). penggunaanya diberikan mual, muntah, dan
supuratif +  Metronidazole termasuk kategori dengan dosis 800 mg setiap gejala infeksi seperti
Amubiasis amebisida; antibiotik, antibiotik 8 jam selama 5-10 hari peningkatan suhu, dan
topikal; antiprotozoal, (DIH, 17th Edition, BNF histopatologi
nitroimidazole (DIH, 17th 76 2018).
Edition).
 Dosis Amebiasis secara oral: 800
mg setiap 8 jam selama 5-10 hari
(BNF 76, 2018)
Problem Subyektif/
Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Medis Obyektif
Infeksi post Subjektif: Cefoperazone Merupakan antibiotik golongan Terapi tidak tepat untuk Plan:
op Keluar cairan 3x1 iv tanggal sefalosporin generasi ketiga yang menangani P. aeruginosa, Terapi dilanjutkan dan
hemikolekto berwarna kuning 7/8-8/8 efektif mengatasi infeksi bakteri gram karena berdasarkan hasil dikombinasikan dengan
mi negatif dan memiliki aktivitas yang kultur tgl 7/8 terdapat Polimyxin iv 15.000-
Objektif: bagus pada Pseudomonas aeruginosa, bakteri P. aeruginosa 25.000 unit/kg/hari dibagi
 Hasil kultur Pus efek samping yang sering muncul yang resisten terhadap setiap 12 jam. Total dosis
tanggal 7/8: berupa diare (Martindale ed 36 p. semua antibiotik, dan harian tidak boleh lebih
bakteri P. 227, 2009). intermediate terhadap dari 2.000.000 unit/ hari
aeruginosa, Dosis dewasa = 2-4 gram setiap hari antibiotic polimyxin. selama 7-14 hari (DIH,
resisten terhadap dibagi menjadi 2 dosis terbagi. Infeksi 17th Edition, drugs.com)
semua antibiotik, berat : 12 gr per hari dalam 2-4 dosis
intermediate pada terbagi. (MIMS.com) Monitoring:
antibiotic Efek samping obat, kadar
polimyxin. WBC, cairan kuning dan
 Hasil kultur Pus keberadaan bakteri
tanggal 9/8: Amoxan 500 Amoxan (amoxicillin) merupakan obat Terapi kurang tepat Plan:
bakteri Klebsiella mg 3x1 p.o antibiotik golongan penicillin indikasi, karena dari hasil Sebaiknya diganti dengan
pneumonia sensitif tanggal 9/8- diindikasikan untuk susceptible kultur, tingkat sensitivitas antibiotik seperti
terhadap antibiotik 11/8 infections (termasuk urinary-tract penggunaan amoxicillin Cefoperazone dengan
cepoferazone / infections, otitis media, sinusitis, pada bakteri Klebsiella dosis 2-4 g per hari,
sulbactam, uncomplicated community acquired pneumonia adalah dibagi menjadi dua atau
doripenem, pneumonia, salmonellosis, oral intermediate tiga dosis sehari, karena
imepenem, infections (BNF 74, 2017). Klebsiella pneumonia
meropenem, Dosis : sensitif terhadap
amikasin dan 250-500 mg 3x1 antibiotik tersebut.
intermediate 500-875 mg 2x1 (DIH Edisi 17, 2009)
terhadap antibiotik Efek samping : diare, mual, muntah, Monitoring:
amoxicillin, ruam (BNF 58, 2009) Efek samping obat, kadar
cefoxitin, WBC, cairan kuning dan
tobramysin keberadaan bakteri
Problem Subyektif/
Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Medis Obyektif
Hipertensi Subjektif: Valsartan 80 Merupakan obat antihipertensi golongan - Plan:
Riwayat hipertensi mg 1x1 p.o ARB yang ditujukan untuk menurunkan Terapi dilanjutkan,
7/8-11/8 tekanan darah pasien. sebaiknya digunakan
Objektif: Dosis : golongan CCB untuk
TD 7/8-9/8 dan 11/8↑ Initial dose = 80-160 mg/hari pasien di atas 55 tahun
Dosis max = 320 mg/hari (JNC 8, 2014)
(DIH edisi 17, 2009)
Monitoring:
Tekanan darah
Lisinopril 1x1  Golongan obat (ACE)Inhibitor, Adanya interaksi berupa Plan:
p.o tanggal dengan mekanisme menghambat meningkatkan adverse Terapi dihentikan,
10/8-11/8 konversi angiotensin I menjadi effect dan toksisitas dari valsartan dilanjutkan
angiotensin II ACEI Risk C sehingga dan apabila
 Indikasi: pengobatan hipertensi, terapi tidak direkomendasikan membutuhkan terapi
tambahan gagal jantung, pengobatan penggunaan kombinasi ganda dapat
infark miokard akut ACEI dan ARB (DIH dikombinasikan
 Kontraindikasi: hipersensitivitas Edisi 17, 2009, JNC 8, dengan CCB
lisinopril, angiodema dari pengobatan 2014)
ACEI sebelumnya Monitoring:
Tekanan darah

Problem Subyektif/
Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Medis Obyektif
Hipo- Subjektif: Albumin iv Albumin merupakan terapi tambahan - Plan:
albumin - tgl 7/8 yang diberikan kepada pasien yang Terapi sebaiknya diberikan apabila
memiliki kadar albumin rendah kadar albumin <2,5
Objektif: (hipoalbuminia) yang disebabkan infeksi
Kadar albumin tanggal kronik, malnutrisi, sindroma absorbsi, Monitoring:
26/7 = 2,38↓ hipertiroid, gangguan fungsi hati, luka Albumin dalam darah
28/7 = 1,4↓ bakar, asites, dan perdarahan. Terapi
29/7 = 2,5↓ albumin diberikan ketika nilai kadar
31/7 = 3↓ albumin < 2 g/dL (Liumbruno.G, dkk,
2009).
Problem Subyektif/
Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Medis Obyektif
- Subjektif: Novorapid Gol insulin kerja cepat ( insulin aspart) Terapi tanpa Plan:
- 3x4 U iv Kegunaan & mekanisme = menurunkan indikasi Terapi dihentikan
Objektif: tanggal 7/8- gula darah degan menstimulasi perifer
GDA 159 pada 7/8 10/8 dalam uptake glukosa. Menghambat Monitoring:
2019 produksi glukosa hati. Cepat diabsorbsi, Gula darah pasien
durasi aksi lebih pendek , baik dalam
menurunkan gula darah post prandial dari
pada insulin biasa (Dipiro 9th ED)

Problem Subyektif/
Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Medis Obyektif
Mual Subjektif: - - Ada indikasi yang Plan:
muntah Mengalami mual tidak diterapi Diberikan metoklopramid
muntah pada tanggal bila diperlukan
11/8 2019
Monitoring:
Objektif: Mual muntah pasien
-

Subyektif/
Terapi Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Terapi Subjektif: Clinimix iv Clinimix merupakan infus larutan nutrisi - Plan:
suportif - tgl 7/8-9/8 untuk mendukung kebutuhan nutrisi Pemberian terapi sudah tepat
selama pasien tidak dapat menyerap
Objektif: nutrisi melalui saluran pencernaan, tidak Monitoring:
- mendapat nutrisi yang cukup secara oral Kadar elektrolit, efek
atau enteral (DIH ed 17th). samping, kadar gula darah
Komposisi Clinimix : asam amino 2,75%, pasien
dekstrosa dan elektrolit 10%.
Dosis (DIH ed 17 th):
 Kalori total : 85-105 kcal/kg/hari
 Cairan Elektrolit : 130-150
mL/kg/hari
 Asam Amino : 2.5 g/kg/day
 Karbohidrat : 6-8 mg/kg/menit
Efek samping: Hiperglikemia (kelebihan
kadar gula pada darah) dan flebitis
(peradangan pembuluh darah vena).
Terapi Subjektif: Sucralfat Merupakan obat yang digunakan untuk Adanya interaksi Plan:
preventif - Syrup 3XCII mengobati duodenal ulcer atau mencegah yaitu dapat Terapi dilanjutkan dan diberi
tukak (p.o) tanggal tukak lambung yaitu dengan cara mempengaruhi rentang minimal 2 jam bila
lambung Objektif: 7/8-11/8 melindungi mukosa dari serangan asam- penyerapan obat mengonsumsi obat lain
- pepsin di gastric atau duodenal ulcer lain (DIH ed 17th).
(DIH ed 17th). Dosis dewasa terapi awal Monitoring:
digunakan 1 g 4x sehari , terapi Nyeri lambung
maintenance 1 g 2x1.
Pembahasan tambahan :

a. Nyeri pasca operasi


Untuk nyeri dengan tingkatan sedang (nilai 4-6) direkomendasikan untuk
penggunaan analgesik kuat golongan opiod, yakni tramadol. Untuk nyeri dengan
tingkatan ringan (nilai 1-3) direkomendasikan untuk penggunaan OAINS. Pada
kasus, penanganan nyeri pasien menggunakan novaldo secara iv (7/8-11/8) yang
dikombinasi dengan tramadol sampai 10/8/19 dan pada 11/8/19 dikombinasi
dengan asam mefenamat. Penggunaan tramadol diberikan sampai tanggal 10/8/19
dan dihentikan pada tanggal 11/8/19 diduga karena terdapat efek samping berupa
mual muntah yang muncul pada tanggal 11/8/19. Kemungkinan terjadinya mual
dari penggunaan tramadol yaitu 24-40% dan muntah 9-17% (Medscape, 2019),
sehingga terapi sudah tepat dengan menghentikan tramadol pada tanggal tersebut
dan menggunakan asam mefenamat untuk nyeri ringan, dimana pada tanggal
tersebut skala nyeri pasien menunjukkan angka 3 dan masih butuh diterapi. Apabila
pasien sudah merasa membaik dan tidak mengalami nyeri, terapi bisa dihentikan.
b. Kolitis amoeba
Pada kasus ini pasien mengalami colitis jenis infeksi, yaitu colitis amoeba
dengan hasil pemeriksaan histopatologi yang menunjukkan terjadi radang kronis
supuratif + amubiasis pada tanggal 7/8. Kolitis amoeba pasien ditangani dengan
diberikan obat golongan amebisida yaitu menggunakan Metronidazole 500 mg 3
kali sehari, sedangkan dosis untuk amoebiasis secara oral yaitu 800 mg setiap 8 jam
selama 5-10 hari (BNF 76, 2018). Dosis penggunaan obat tersebut terlalu rendah
dan durasi terapi terlalu pendek serta terdapat indikasi yang jelas namun tidak
diterapi, karena antiamoeba seharusnya diberikan setelah adanya hasil pemeriksaan
histopatologi yaitu pasien mengalami amubiasis pada tanggal 7, dan untuk
penggunaanya diberikan dengan dosis 800 mg setiap 8 jam selama 5-10 hari (DIH,
17th Edition, BNF 76 2018). Efek samping yang disebabkan oleh metronidazole
yang umum terjadi untuk sediaan oral adalah mual, gangguan rasa, furred tongue,
mucositis oral dan anoreksia, oleh karena itu perlu dilakukan monitoring efek
samping obat seperti mual, muntah, dan gejala infeksi seperti peningkatan suhu,
dan histopatologi.
c. Infeksi Post op Hemikolektomi
Pada kasus ini pasien mengalami infeksi luka operasi yang ditunjukkan dari
adanya nyeri pada luka operasi (operasi hemikolektomi 28/7/19 dan operasi
debridement 4/8/19). Berdasar hasil objektif pasien, pada luka keluar cairan kuning
tidak berbau, kultur pus tanggal 7 Agustus 2019 terdapat bakteri Ps. aeruginosa
yang resisten terhadap semua antibiotik tetapi intermediet pada polimyxin dan
tanggal 9 Agustus 2019 terdapat bakteri Klebsiella pneumonia yang sensitif
cepoferazone/sulbactam, doripenem, imepenem, meropenem, amikasin, dan
intermediet terhadap amoxicillin, cefoxitin, tobramysin. Terapi antibiotik
Cefoperazone 3x1 iv untuk infeksi luka operasi diberikan ke pasien pada tanggal
7/8-8/8 lalu dihentikan dan digantikan dengan terapi Amoxan 500 mg 3x1 mg
secara peroral. Perlunya kultur pus pada pasien untuk mendapatkan data bakteri
yang menyebabkan infeksi serta dapat ditentukan terapi antibiotik yang cocok bagi
pasien. Cefoperazone merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga
yang efektif mengatasi infeksi bakteri gram negatif dan memiliki aktivitas yang
bagus pada Pseudomonas aeruginosa, efek samping yang sering muncul berupa
diare (Martindale ed 36 p. 227, 2009). Namun, terapi tidak tepat untuk menangani
P. aeruginosa, karena berdasarkan hasil kultur tgl 7/8/19 terdapat bakteri P.
aeruginosa yang resisten terhadap semua antibiotik, dan intermediate terhadap
antibiotic polimyxin.
Amoxan berisi antibiotik amoxicillin (golongan beta lactam/penisilin).
Amoxan ini diindikasikan untuk pengobatan infeksi pasien. Penggunaan amoxan
ini kurang tepat indikasi, karena berdasarkan hasil kultur, tingkat sensitivitas
penggunaan amoxicillin pada bakteri Klebsiella pneumonia adalah intermediate.
Sehingga sebaiknya diganti dengan antibiotik seperti Cefoperazone dengan dosis
2-4 gram perhari dibagi menjadi 2-3 dosis sehari dan dikombinasikan dengan
Polimyxin iv 15.000-25.000 unit/kg/hari dibagi setiap 12 jam. Total dosis harian
tidak boleh lebih dari 2.000.000 unit/ hari (DIH, 17th Edition). Hal ini berdasarkan
hasil kultur Pus tanggal 7 Agustus 2019 terdapat bakteri Ps. aeruginosa yang
resisten terhadap semua antibiotik tetapi intermediet pada polimyxin dan tanggal 9
Agustus 2019 terdapat bakteri Klebsiella pneumonia yang sensitif terhadap
antibiotik cepoferazone. Selama terapi antibiotik ini harus dilakukan monitoring
terhadap efek samping obat, kadar WBC, keberadaan dan tingkat cairan kuning
yang keluar pada luka, serta keberadaan bakteri.
d. Hipertensi
Penggunaan kombinasi Lisinopril dan valsartan tidak dilanjutkan karena
adanya interaksi berupa meningkatkan adverse effect dan toksisitas dari ACEI Risk
C sehingga tidak direkomendasikan penggunaan kombinasi ACEI dan ARB (DIH
Edisi 17, 2009; JNC 8, 2014). Maka disarankan untuk menghentikan penggunaan
Lisinopril dan tetap menggunakan valsartan sebagai antihipertensi pasien dengan
tetap memonitor tekanan darah pasien. Menurut JNC 8, sebaiknya digunakan
golongan CCB untuk pasien di atas 55 tahun. Dan apabila membutuhkan terapi
ganda dapat dikombinasikan dengan CCB.
e. Hipoalbumin
Albumin merupakan terapi tambahan yang diberikan kepada pasien yang
memiliki kadar albumin rendah (hipoalbuminia) yang disebabkan infeksi kronik,
malnutrisi, sindroma absorbsi, hipertiroid, gangguan fungsi hati, luka bakar, asites,
dan perdarahan. Terapi albumin diberikan ketika nilai kadar albumin < 2 g/dL
(Liumbruno.G, dkk, 2009). Sehingga erapi sebaiknya diberikan apabila kadar
albumin <2,5 dengan tetap memonitor kadar albumin dalam darah.
f. Terapi tanpa indikasi
Novorapid diberikan sejak tanggal 7-10/8 2019. Novorapid merupakan
golongan insulin kerja cepat ( insulin aspart) yang menurunkan gula darah degan
menstimulasi perifer dalam uptake glukosa. Menghambat produksi glukosa hati.
Cepat diabsorbsi, durasi aksi lebih pendek , baik dalam menurunkan gula darah post
prandial dari pada insulin biasa (Dipiro 9th EDBerdasarkan data laboratorium, GDA
tidak terlalu besar dari rentang normal, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
diabetes pada pasien untuk menegakkan apakah pasien memang perlu terapi
hiperglikemia atau tidak. Sehingga terapi dihentikan karena tidak ada indikasi DM
dan tidak ada data pendukung yang kuat meliputi data laboratorium, riwayat
penyakit, subjektif maupun objektif yang menunjukkan bahwa pasien terkena
diabetes mellitus beserta tipenya. Perlunya pemeriksaan diabetes mellitus kepada
pasien. Monitoring gula darah pasien tetap dilakukan.
g. Terapi suportif
Diberikan clinimix sejak tanggal 7/8/19-9/9/19 untuk terapi suportif pasien.
Clinimix merupakan infus larutan nutrisi untuk mendukung kebutuhan nutrisi
selama pasien tidak dapat menyerap nutrisi melalui saluran pencernaan, tidak
mendapat nutrisi yang cukup secara oral atau enteral (DIH ed 17th). Komposisi
Clinimix : asam amino 2,75%, dekstrosa dan elektrolit 10%. Dosis Kalori total : 85-
105 kcal/kg/hari
 Cairan Elektrolit : 130-150 mL/kg/hari
 Asam Amino : 2.5 g/kg/day
 Karbohidrat : 6-8 mg/kg/menit
Efek samping: Hiperglikemia (kelebihan kadar gula pada darah) dan flebitis
(peradangan pembuluh darah vena). Sehingga dalam pemberian terapi perlu
dilakukan monitoring kadar elektrolit dan gula darah pasien.
h. Terapi preventif tukak lambung
Diberikan Sucralfat Syrup 3XCII (p.o) tanggal 7/8-11/8 untuk mengobati
duodenal ulcer atau mencegah tukak lambung yaitu dengan cara melindungi
mukosa dari serangan asam-pepsin di gastric atau duodenal ulcer. Biasanyaterdapat
interaksi berupa mempengaruhi penyerapan obat lain. Sehingga terapi tetap
dilanjutkan dan diberi rentang minimal 2 jam bila mengonsumsi obat lain.
i. Mual muntah
Pasien mengalami mual muntah pada tanggal 11/8 2019. Hal ini diduga
merupakan efek samping dari penggunaan obat-obatan tertentu, khususnya
tramadol. Sehingga terdapat indikasi yang belum diterapi pada tanggal
tersebut.Oleh karena itu, disarankan untuk diberikan metoklopramid bila
diperlukan dan memonitoring mual muntah pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Alsen, M. dan Sihombing, R. 2014. Infeksi Luka Operasi. Majalah Kedokteran


Sriwijaya. 46(3): 229-235.
American Pharmacist Association. 2009. Drug Information of Handbook 17th
Edition. American : Lexi Comp.
BNF. 2018. British National Formulary 76th ed. Lamberth High Street. London:
BMJ Group and RPS Publishing.
Dipiro, J.T., et al. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Seventh
Edition. Mc-Graw Hill. USA.
Dipiro, J.T., et al. 2015. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Ninth
Edition. Mc-Graw Hill. USA.
Gonzales, M. 2019. Antiamoebic drugs for treating amoebic colitis (review).
Cochrane Library.
Gruandemann, Barbara J. 2005. Keperawatan Perioperatif Volume 1. Terjemahan
Oleh Brahm Pendit. Jakarta: EGC.
Lee, K., C. Lu, W. Hu, S. Lin, dan H. Chen. 2014. Colonoscopic diagnosis of
amebiasis : a case series and systematic review.
Lestari, P. 2011. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Universitas
Tarumanegara: Fakultas Kedokteran.
Medscape. 2019. Medscape Reference, Aplikasi Medscape [diakses tanggal 8
Oktober 2019].
MIMS. 2019. MIMS Indonesia, Aplikasi MIMS online [diakses tanggal 8 Oktober
2019].
Patogenesa, K. D., U. S. Utara, dan D. A. Ariestine. 2008. Kolitis ulsoratif ditinjau
dari aspek. 1–12.
PP Hipkabi. 2010. Buku Kumpulan Materi Pelatihan Manajemen Kamar Bedah.
Jakarta: Hipkabi Press Jakarta.
Roure, Silvia dkk. 2019. Approach to amoebic colitis: Epidemiological, clinical and
diagnostic considerations in a non-endemic context (Barcelona, 2007-2017).
PLoS ONE. 14 (2): 1-10
Sandy, F. P. T., Yuliwar, R., dan Utami, N. W. 2015. Infeksi Luka Operasi (ILO)
pada Pasien Post Operasi Laparotomi. Jurnal Keperawatan Terapan. 1(1):
14-24.
Sweetman, S.C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference 36th Edition.
London: Pharmaceutical Press.

Anda mungkin juga menyukai