Anda di halaman 1dari 24

TUGAS PAPER

MATA KULIAH : FARMAKOKINETIKA KLINIK

JUDUL PAPER:

“FARMAKOGENOMIK HEPATOTOKSISITAS OBAT ANTI TUBERKULOSIS”

OLEH:

ATIKA INDARWATI

NIM: 190105019

Kelas IVA Farmasi

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

PURWOKERTO

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah AWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas Paper yang berjudul Farmakogenomik Hepatotoksisitas
Obat Anti Tuberkulosis ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk memenuhi tugas individu pada mata
kuliah Farmakokinetika Klinik. Selain itu, Paper ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Konsep Farmakogenomik bagi para pembaca dan juga bai penulis.

Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaiakan Paper ini.

Saya menyadari, Paper yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan Paper ini.

Purwokerto, 29 Maret 2021

Atika Indarwati

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.................................................................................................. i

KATA PENGANTAR................................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................................. iii

I. PENDAHULUAN............................................................................................. 4
A. Latar Belakang............................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 6
C. Tujuan............................................................................................................ 6
II. PEMBAHASAN............................................................................................... 7
A. Pngertian Tuberkulosis & OAT.................................................................... 7
B. Prevalensi Tuberkulosis................................................................................ 8
C. Faktor Resiko Tuberkulosis........................................................................... 10
D. Efek Hepatotoksik dari OAT....................................................................... 10
E. Mekanisme Toksisitas dan Kerentanan dari Faktor Host Genetic............... 11
F. Peran Farmakogenomik Dalam Pengobatan TB.......................................... 17
III. KESIMPULAN............................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obat anti-TB (OAT) yang berhubungan dengan hepatotoksisitas adalah masalah
medis serius di dunia terutama untuk pasien TB. Produksi dan pengeluaran racun
metabolit obat tergantung pada aktivitas beberapa enzim, seperti N-asetil transferase 2
(NAT2), sitokrom P450 oksidase (CYP2E1) dan glutathione S-transferase (GSTM1).
Variasi dari urutan DNA atau polimorfisme pada lokus ini (NAT2, CYP2E1 dan
GSTM1) dapat memodulasi aktivitas enzim ini dan dapat mempengaruhi risiko
terjadinya hepatotoksisitas. Pengetahuan polimorfisme pada lokus ini terutama sebelum
pengobatan, berguna dalam mengevaluasi risiko dan mengendalikan hepatotoksisitas
oleh karena OAT (Farrell GC, 1994).
Sekitar 9 juta kasus baru aktif TB dilaporkan dan diperkirakan 1,7 juta orang
meninggal karena penyakit ini. Saat ini, kombinasi isoniazid (INH), rifampisin (RMP),
pyrazinamide (PZA) dan etambutol (E) digunakan untuk terapi TB pada banyak
populasi. Awalnya (dalam tahun 1950-an) INH dianggap aman tanpa efek samping,
tetapi pada awal 1970-an beberapa penelitian dengan jumlah sampel besar menyatakan
bahwa INH ternyata menginduksi terjadinya hepatotoksisitas. Frekuensi dari dampak
yang terjadi bervariasi pada setiap populasi: sekitar 1-30 dalam 100 individu dengan
pengobatan INH dan RMP. Hepatotoksisitas ini umumnya tidak terprediksi dan terjadi
pada sejumlah kecil pasien bahkan ketika obat telah diberikan sesuai dosis yang
dianjurkan. Efek samping ini tidak hanya menyebabkan morbiditas dan mortalitas,
tetapi juga menyebabkan terganggunya pengobatan karena ketidakpatuhan, kegagalan
dan kekambuhan, yang menyebabkan terus menyebarnya penyakit dan timbulnya
resistensi terhadap obat TB. Di antara obat anti-TB (OAT), metabolisme INH, yang
merupakan salah satu OAT terdepan, telah dipelajari secara ekstensif, dan dikatakan
asetilasi oleh NAT2, oksidasi oleh sitokrom P450 oksidase (CYP2E1) dan detoksifikasi
oleh GST memainkan peran penting dalam INH-induced hepatotoksisitas. Metabolit
yang dihasilkan oleh NAT2 biasanya tidak beracun. Namun, dalam beberapa kasus,
reaksi dimediasi CYP2E1 dapat menyebabkan pembentukan metabolit reaktif beracun
yang akan dikeluarkan dari tubuh oleh GST (Pessayre D, 1991).

4
Metabolit reaktif dapat merusak hepatosit baik dengan mengganggu
homeostasis sel atau dengan memicu reaksi kekebalan di mana metabolit reaktif, terikat
pada protein membran hepatosit plasma, dapat bertindak sebagai haptens (Pessayre D,
1991).
Polimorfisme pada lokus metabolisme obat yang berbeda dapat menyebabkan
perbedaan dalam respon farmakologi terhadap obat pada setiap individu.
Farmakogenetik dan N-asetiltransferase secara historis terkait, dan variasi in vivo
dalam aktifitas NAT adalah salah satu sifat farmakogenetik yang dikenali paling awal.
Aksi dari enzim NAT2 pertama kali diidentifikasi sebagai langkah lanjut yang secara
umum dikontrol untuk metabolisme INH. Pada tahun 1960, pasien TB secara rutin
diberikan INH dan terjadinya neuropati perifer diamati pada beberapa pasien. Hal ini
dijelaskan oleh lambatnya pembersihan senyawa beracun yang tidak seperti biasanya,
asetil hidrazin, dari pasien yang terkena, dan mereka disebut sebagai asetilator lambat.
Namun, beberapa penelitian juga melaporkan bahwa Asetilator cepat NAT2 juga rentan
terhadap hepatotoksisitas OAT. Sebelumnya, NAT2 acetilasi fenotipe ditentukan oleh
metode enzimatik, dan beberapa studi mengenai phenotypic sebelumnya telah
menyarankan seperti adanya predisposisi meskipun penelitian lain gagal untuk
mendukung observasi ini. Individu dibagi ke dalam populasi etnis yang memiliki
fenotipe asetilator lambat, menengah atau cepat atas dasar kapasitas asetilasi enzim
NAT2. Kebanyakan ras kaukasoid dan minoritas wilayah Asia Tenggara diobservasi
sebagai asetilator lambat. Saat ini diusulkan bahwa tidak hanya NAT2 yang enzim,
tetapi juga beberapa enzim lain (seperti CYP2E1 dan GSTM1) dilibatkan dalam
hepatotoksisitas OAT, menampilkan polimorfisme genetik, dan prevalensi dari
banyaknya populasi dengan variasi polimorfik alleles di seluruh dunia (Sim E, 2000).
Terdapat beberapa perbedaan definisi hepatotoksisitas oleh karena OAT seperti:
peningkatan (2-3 kali batas atas nilai normal) aktivitas transaminase, gejala klinis
hepatitis, adanya ikterus. Berdasarkan pertemuan international konsensus di Paris
tentang pengaruh obat pada gangguan hati, parameter biokimia hati meningkat lebih
dari dua kali dari batas normal dianggap sebagai hepatotoksisitas. Sekitar 10-20% dari
pasien TB mengalami peningkatan serum transaminase tanpa gejala klinik pada
pemberian OAT akan menghilang sendiri setelah beberapa minggu.

5
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu tuberkulosis dan OAT?
2. Bagaimana prevalensi tuberkulosis?
3. Apa faktor resiko tuberkulosis?
4. Bagaimana efek hepatotoksik dari OAT?
5. Bagaimana mekanisme toksisitas dan kerentanan dari faktor host genetic?
6. Bagaimana peran farmakogenomik dalam pengobatan TB?
C. Tujuan
Mengetahui faktor risiko TB, efek hepatotoksik dari OAT, kemungkinan
mekanisme toksisitas dan kerentanan dari faktor host genetic, peran farmakogenomik
dalam pengobatan tuberkulosis. Terutama ditekankan mengenai bagaimana
hepatotoksisitas oleh karena OAT dijelaskan oleh adanya alel polimorfik dari faktor
genetic host pada populasi.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycrobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Mycrobacterium Tuberculosa. Bakteri ini berbentuk basal dan bersifat
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini
pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk
mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan penyakit TBC
pada paru-paru kadang disebut sebagai Kosh Pulmonum (Siswanto, 2008).
 Menurut Naga (2012), ada beberapa tanda saat seseorang terkena tuberkulosis
paru, diantaranya:
a) Batuk – batuk berdahak lebih dari dua minggu
b) Batuk – batuk dengan mengeluarkan darah atau pernah mengeluarkan
darah
c) Dada terasa sakit atau nyeri, dan
d) Dada terasa sesak pada waktu bernafas

B. Definisi OAT (Obat Anti TB)


Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan
TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB (KemenKes RI, 2014). Pengobatan yang
adekuat harus memenuhi prinsip, diantaranya adalah:
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat
3) Ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO)
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

7
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) bukanlah obat tunggal, melainkan kombinasi
antara beberapa jenis, yaitu isoniazid, rimfampisin, pirasinamid, dan etambutol pada
tahap intensif; dan isoniazid, rifampisin pada tahap lanjutan. Pada kasus tertentu,
ditambahkan suntikan streptomisin (Laban 2012).
Penderita dengan tuberkulosis pada dahulu hanya memakai satu macam obat
saja. Dengan hanya digunakannya satu macam obat itu, banyak terjadi resistensi karena
sebagian besar bakteri penyebab tuberkulosis bisa dimatikan, tetapi sebagian kecil
bakteri tidak dapat dimatikan. Bagian kecil ini dapat berkembang biak dengan cepat.
Maka dari itu, untuk mencegah terjadinya resistensi ini, pengobatan tuberkulosis
dilakukan dengan memakai panduan obat, sedikitnya diberikan dua macam obat yang
bersifat bakterisid, yaitu obat primer dan obat sekunder (Setiati, 2014).
Meurut Setiati (2014), dibawah ini merupakan pengobatan tuberkulosis paru
menggunaakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT):
1) Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TBC paru BTA (+), BTA (-)
2) Kategori II (2 HRZES/1 HRZE/H3R3E3) untuk pasien ulangan pengobatan
kategorinya I-nya gagal atau pasien yang kambuh.
3) Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+)
4) Kategori IV (RHZES + obat lini) untuk pasien dengan tuberkulosis kronik
5) Kategori IV (OAT lini 2 atau H seumur hidup) untuk pasien MDR TB

C. Prevalensi Tuberkulosis
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta
– 12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan
insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan seperti
yang terlihat pada gambar berikut ini. Sebagian besar estimasi insiden TBC pada tahun
2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%) dimana Indonesia merupakan salah satu
di dalamnya dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika.
Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden
countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-
TBC. Terdapat 48 negara yang masuk dalam daftar tersebut. Satu negara dapat masuk
dalam salah satu daftar tersebut, atau keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya.
Indonesia bersama 13 negara lain, masuk dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator
tersebut. Artinya Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit
TBC.

8
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017
(data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017
pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan
Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi
dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini
terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya
merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa
dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7%
partisipan perempuan yang merokok.
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC
dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk
berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000
penduduk berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin
bertambah usia, prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC
dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya.
Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan (yang menggambarkan
kemampuan sosial ekonomi) semakin rendah prevalensi TBC.

Gambaran kesakitan menurut pendidikan menunjukkan, prevalensi semakin


rendah seiring dengan tingginya tingkat pendidikan. Kesakitan TBC menurut kuintil
indeks kepemilikian menunjukkan tidak ada perbedaan antara kelompok terbawah
sampai dengan menengah atas. Perbedaan hanya terjadi pada kelompok teratas. Hal ini
berarti risiko TBC dapat terjadi pada hampir semua tingkatan sosial ekonomi.

9
D. Faktor Resiko TB
Penyakit TBC paru yang disebabkan terjadi ketika daya tahan tubuh menurun.
Dalam perspektif epidemiologi yang melihat kejadian penyakit sebagai hasil interaksi
antar tiga komponen pejamu (host), penyebab (agent), dan lingkungan (environment)
dapat ditelaah faktor risiko dari simpul-simpul tersebut. Pada sisi pejamu, kerentanan
terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
seseorang pada saat itu. Pengidap HIV AIDS atau orang dengan status gizi yang buruk
lebih mudah untuk terinfeksi dan terjangkit TBC.
Berikut disajikan notifikasi kasus koinfeksi TBC HIV tahun 2010-2017,
pencatatan untuk notifikasi TBC HIV dilakukan mengikuti kohort tahun sebelumnya.
Persentase pasien TBC yang mengetahui status HIV di antara pasien TBC yang
ternotifikasi meningkat dari tahun 2009 sebesar 2.393 menjadi 7.796 pada tahun 2017.

E. Efek Hepatotoksisik dari OAT


Gejala klinis disebabkan OAT dapat muncul dalam waktu 4 minggu setelah
memulai pengobatan. Sekitar 10% dari pasien dengan hepatotoksik hanya menderita
ikterus saja. Sisanya menunjukkan keluhan terutama pencernaan seperti: anoreksia,
mual, muntah dan sakit perut. Dalam sebagian besar kasus, serum alanin transaminase
(ALT), aspartat transaminase (AST), alkaline phosphatase (AP) dan bilirubin
meningkat lebih dari tiga kali lipat dari angka normal, yang juga berdampak pada
kerusakan hati.

10
Pasien dengan hepatitis imbas OAT memiliki angka kematian sekitar 10%.
Faktor yang paling sering dikaitkan dengan kejadian fatal seperti usia lebih dari 50
tahun dan terus menggunakan obat untuk beberapa minggu setelah timbulnya gejala.
ALT dan bilirubin merupakan marker yang menandakan kerusakan hati, biasanya
kembali normal atau mendekati nilai normal setelah minggu kedua/ketiga setelah
penghentian obat. Penting untuk mencegah hepatitis imbas OAT adalah pemantauan
secara intensif fungsi hati pada pasien dengan pemberian INH yang dikombinasi
dengan RMP atau PZA. Pentingnya penghentian pengobatan pada pasien yang diduga
telah menderita hepatitis imbas OAT. INH, RMP dan PZA merupakan obat lini pertama
yang efektif untuk TB, Penggunaan kembali obat ini dapat dilakukan ketika fungsi hati
telah kembali ketingkat normal. Namun dimulai dari dosis rendah dan selalu
memonitoring fungsi hati.

F. Mekanisme Toksisitas dan Kerentanan Dari Faktor Host Genetic


Asetilasi INH didapatkan dari pembentukan acetylisoniazid, yang mana
selanjutnya, dapat dihidrolisis menjadi asetil hidrazin dan kemudian menjadi nontoxic
diacetyl hidrazin oleh NAT2. Jalur alternatif hipotetis lain untuk sintesis asetil hidrazin
adalah hidrolisis INH ke hidrazin beracun yang mungkin diasetilasi menjadi (mungkin
beracun) monoacetyl hidrazin. Meskipun mekanisme tidak jelas, hidrazin telah terbukti
hepatotoksik pada hewan. Pada suatu penelitian menunjukkan bahwa oksidasi CYP2E1
dimediasi dari monoacetyl hidrazin dapat menghasilkan hepatotoksin seperti
acetyldiazene, ion acetylonium, asetil radikal atau ketena. Hepatotoksin ini dapat
didetoksifikasi oleh kehadiran GSTs dalam hati. Secara alternatif, monoacetyl hidrazin
juga selanjutnya dapat di asetilasi oleh NAT2 menjadi (mungkin tidak beracun) diacetyl
hidrazin.
INH juga dihidrolisis oleh isoniazid hidrolase menjadi asam isonikotinat yang
dapat dikonjugasi dengan glisin dan diekskresikan oleh ginjal. RMP adalah inducer
kuat dari CYP2E1, sehingga dapat meningkatkan aktivitas enzim ini dan dapat
mengatur produksi agen hepatotoksik. Hal ini bisa menjadi salah satu mekanisme yang
memungkinkan dimana RMP meningkatkan toksisitas INH. Dikatakan bahwa INH
diubah menjadi diacetyl hidrazin secara cepat dalam asetilator cepat dan diekskresikan
dari tubuh, sehingga asetilator cepat kurang rentan untuk hepatitis imbas OAT.

11
Namun, karena lambatnya proses asetilasi, sebagian kecil monoacetyl hidrazin
diubah menjadi diacetyl hidrazin di asetilator lambat dan sebagian besar monoacetyl
hidrazin dioksidasi menjadi produk beracun oleh CYP2E1. Karenanya asetilator lambat
menjadi rentan terhadap hepatitis imbas OAT apabila produk beracun tidak dihilangkan
dari hati. Pada NAT2 asetilator lambat, karena hidrolisis, sebagian INH mungkin juga
dikonversi ke hidrazin beracun, yang dapat meningkatkan hepatotoksisitas OAT.
Polimorfisme dan Hepatotoksisitas OAT
Beberapa penelitian mempelajari hubungan antara polimorfisme pada lokus
metabolisme obat yang berbeda dan risiko hepatotoksisitas oleh karena OAT pada
populasi yang berbeda. Dikatakan bahwa NAT2 asetilator lambat rentan terhadap
hepatotoksisitas INH. Saat ini tidak hanya enzim NAT2 saja tetapi beberapa enzim lain
(seperti CYP2E1 dan GSTM1) juga terlibat dalam hepatotoksisitas OAT. Pada bagian
selanjutnya akan dibahas polimorfisme pada lokus ini, serta asosiasi antara
polimorfisme dan risiko hepatotoksisitas OAT.
NAT2 Polimorfisme
Pada manusia, NAT2 mengurangi konsentrasi terapeutik dari INH oleh N-
asetilasi. Turunan asetilasi dari INH menghambat sekitar 100 kali lebih sedikit
aktifitasnya secara invivo dan 500-kali lebih sedikit aktifitasnya secara invitro terhadap
M. tuberculosis. Hal ini menunjukkan bahwa N-asetil transferase dari M. tuberculosis
meningkatkan kelangsungan hidup bakteri selama pengobatan INH. Oleh karena itu,
asetilasi dari INH oleh bakteri NAT dapat membuat itu tidak aktif. NAT endogen dari
M. tuberculosis mungkin memiliki fungsi yang berbeda dalam proses
perkembangannya, tetapi dapat mengubah sensitivitas bakteri terhadap INH. Pada
manusia, NAT2 memainkan peran penting dalam menentukan hepatotoksisitas INH,
dan beberapa bagian polimorfik telah dilaporkan pada NAT2. Oleh karena itu, sangat
penting untuk memahami hubungan antara variasi genetik/polimorfisme pada NAT2
dan kapasitas asetilasi enzim. Lokus NAT2 berisi beberapa single nucleotide
polymorphism (SNP) tetapi hanya sedikit yang monomorfik pada populasi etnis yang
berbeda. Genotip di beberapa SNP, mungkin diperlukan untuk menentukan status
asetilasi yang tepat pada setiap individu dalam suatu populasi. Sekitar 50% dari
individu heterozigot pada dua atau lebih SNP. Sebuah software digunakan untuk
mengidentifikasi sepasang alel atau kehadiran haplotype dalam individu dari populasi.

12
Sebagian besar peneliti mempelajari tujuh atau kurang SNP pada posisi
nukleotida (np) (191 [G/A], 282 [C/T], 341 [T > C], 481 [C > T], 590 [G > A], 803 [A
> G] dan 857 [G > A]) pada ekson 2 pada NAT2 lokus untuk menentukan status asetilasi
individu dalam studi different association. Alel pada SNP dapat ditentukan oleh PCR-
fragmen restriksi length polymorphism (RFLP) dan sebaliknya menganalisis data
genotipe di situs polimorfik secara terpisah, genotipe umumnya dinyatakan sebagai
alel/ haplotype, seperti NAT2*4, NAT2*5, NAT2*6, NAT2*7, NAT2*12 dan
seterusnya, tergantung pada pengaturan nukleotida (G/A, C/T , T/C , C/T , G/A , A/G
dan G/A pada 191, 282, 341, 481, 590, 803, dan 857np masing-masing) sesuai yang
disebutkan pada situs polimorfik diatas. Sebuah software (disebut FASE v2.1.1,
program statistik untuk rekonstruksi haplotype) digunakan untuk menentukan pasangan
haplotype pada setiap individu dari data genotipe. Beberapa dari SNP (seperti 341np T
> C, 481np C > T dan 803np A > G) berada dalam hubungan disequilibrium yang
kuat,18 sehingga genotipe pada SNP 341np T > C dapat memberikan informasi alel dua
SNP lainnya (481np C > T dan 803np A > G).
Beberapa SNP memiliki frekuensi yang kurang atau monomorfik di populasi
yang berbeda, seperti 191np G/A pada populasi India. Pada alel yang umum (yaitu,
NAT2 * 4) yang memiliki kesamaan nukleotida di semua situs polimorfik yang dikenal
sebagai NAT2 alel acetylating cepat. Polimorfisme pada 481 dan 803np tidak dapat
mengubah status asetilasi, tetapi varian alel/haplotipe17 memiliki setidaknya satu
varian nukleotida pada salah satu dari situs polimorfik pada 341, 590 dan 857np yang
dikenal sebagai alel acetylating lambat (misalnya, NAT2 * 5, NAT2 * 6B dan NAT2 *
7A).
Oleh karena itu, individu membawa dua alel acetylating cepat (seperti NAT2 *
4/NAT2 * 4 genotipe) di sepasang kromosom adalah asetilator cepat; membawa dua
alel acetylating lambat (seperti NAT2 * 5/NAT2 * 6B genotipe) merupakan asetilator
lambat; dan mereka membawa acetylating alel satu lambat dan satu cepat (yaitu, NAT2
* 4/NAT2 * 5 genotipe) yang merupakan asetilator intermediate.
Dengan menggunakan data haplotype, peneliti melaporkan bahwa frekuensi
NAT2 asetilator cepat, intermediate dan lambat sama pada ras Kaukasia dan populasi
di India. Frekuensi dari NAT2 asetilator cepat, intermediate dan lambat juga mirip pada
populasi di Jepang dan Cina. Oleh karena itu, bisa dicatat bahwa NAT2 asetilator
lambat lebih sering ditemukan pada populasi Kaukasia dan India, sedangkan jarang
pada populasi di Jepang dan Cina.

13
Studi pada populasi di Jepang dan Taiwan menggunakan metode genotip
PCRRFLP, di pnI (481np C > T), TaqI (590np G > A) dan BamHI (857np G > A) situs
polimorfik, untuk menemukan Status asetilasi pasien dan kontrol, dan mengesankan
risiko tinggi hepatotoksisitas OAT, dengan RR 28,0 dan CI 95% dari 26-30 dan OR
dari 3.66; 95% CI 1,58-8,49 dari, masingmasing, di NAT2 asetilator lambat.20 Baru-
baru ini, sebuah studi pada populasi Korea juga mengamati bahwa NAT2 asetilator
lambat memiliki risiko yang signifikan dari hepatotoksisitas oleh karena OAT (Risiko
3,8 kali lipat, p = 0,005). Kami menggenotipkan pada MspI, KPNI dan BamHI situs
polimorfik penduduk India, dan Vuilleumier et al.20 dan menggenotipkan pada 191np,
KPNI, TaqI dan BamHI situs polimorfik dalam campuran populasi Kaukasia, Hispanik,
Afrika, Amerika Selatan dan Asia. Namun, dua studi ini tidak bisa menunjukkan
hubungan antara hepatotoksisitas OAT dan status asetilasi NAT2. Semua studi yang
disebutkan di atas dianggap bahwa hilangnya situs KpnI di 481np akan menyebabkan
asetilasi lambat. Tapi telah dilaporkan bahwa hilangnya situs KPNI di 481np tidak
mengubah status asetilasi dalam uji fenotipik.
Oleh karena itu, pengamatan yang disebutkan di atas harus divalidasi oleh
genotip setidaknya satu lebih SNP, (katakanlah 341 T > C) meskipun C481T (Situs
KPNI) polimorfisme sangat terkait dengan polimorfisme T341C dalam populasi India
yang mengarah untuk memperlambat asetilasi (Das Roy P et al). Oleh karena itu,
penting untuk mengetahui status linkage disequilibrium pada populasi antara C481T
dan T341C, jika polimorfisme pada 481np digunakan untuk menentukan status asetilasi
dari individual. Namun, harus dilakukan untuk memilih SNP sesuai untuk genotip dan
mengklasifikasikan individu sebagai asetilator lambat, cepat atau intermediate, jika
tidak terlalu tinggi asetilator lambat dapat diperoleh. Hal ini mungkin menjadi sumber
kesalahan dalam studi. Namun, studi dengan ukuran sampel yang lebih besar dari
populasi yang berbeda dan genotip pada situs polimorfik yang tepat adalah sangat
penting dalam memperoleh pemahaman yang jelas dari hubungan antara status asetilasi
NAT2 dan hepatotoksisitas OAT.
CYP2E1 Polimorfisme
CYP merupakan kelompok besar multigen dengan spesifisitas substrat yang
berbeda, sangat penting dalam reaksi oksidasi beberapa bahan kimia eksogen dan
endogen ke bentuk reaktif utama mereka. CYP2E1, salah satu Enzim CYP, dapat
mengkonversi asetil hidrazin menjadi hepatotoksin, seperti acetyldiazene, ketena, ion
acetylonium dan sebagainya, yang dapat mempengaruhi hepatotoksisitas OAT.

14
INH atau metabolit hidrazin dapat menginduksi aktivitas CYP2E1 pada tikus,
tergantung pada dosis INH dalam darah. Namun, INH juga bisa menghambat Aktivitas
CYP2E1, dan inhibisi ini lebih banyak terdapat pada manusia dengan varian genotipe
pada CYP2E1. Oleh karena itu, individu dengan genotipe umum di CYP2E1 mungkin
memiliki aktivitas lebih tinggi CYP2E1 dibandingkan dengan individu dengan varian
genotipe di CYP2E1 ketika diobati dengan INH. Aktivitas yang lebih tinggi dari
CYP2E1 mungkin meningkatkan sintesis hepatotoksin dan meningkatkan risiko
hepatotoksisitas.

Aktivitas CYP2E1 juga dipengaruhi oleh adanya lokus polimorfisme di


beberapa situs. Dua polimorfisme hulu dari CYP2E1 transkripsi situs awal ini terdeteksi
oleh PstI dan RsaI enzim restriksi dan menjadi linkage disequilibrium secara lengkap
(Gambar 2). Berdasarkan nilai positif [+] atau negatif [-] dari urutan RsaI dan PstI,
haplotype umum (RsaI [+]. PstI [-]), Dan salah satu varian haplotype, (RsaI [-]. PstI
[+]), yang ditunjuk sebagai ‘c1’ dan ‘c2’ alel, masing-masing. Saat ini, c1 liar ini
haplotype telah ditandai sebagai CYP2E1 * 1A, dan haplotype varian c2 telah diubah
namanya sebagai CYP2E1 * 5 alel. PstI dan RsaI situs polimorfik tersedia dalam Situs
HNF-1 mengikat, dan dengan demikian dapat memainkan penting peran dalam regulasi
transkripsi CYP2E1 dan ekspresi protein berikutnya. DraI polimorfisme pada intron 6
dari CYP2E1 mengarah ke varian CYP2E1 * 6 alel (tidak adanya situs restriksi DraI).
Polimorfisme lain (96 bp penyisipan/delesi CYP2E1 * 1D / * 1C polimorfisme) pada
5’-bagian regulasi dari gen ini juga bisa mengatur aktivitas enzim. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa varian CYP2E1 * 5, * 6 dan * 1D alel berhubungan dengan
peningkatan aktfitas enzim.

15
Namun, peneliti lain tidak dapat mengkonfirmasi hubungan ini. Frekuensi alel
CYP2E1 * 6 adalah 10%, 25%, 33%, 15% dan 20% di Eropa-Amerika, Taiwan, Jepang,
Hawaii dan India populasi masing-masing. Frekuensi CYP2E1 * 1A / * 1A, 1A * / * 5
dan * 5/5 * genotipe telah dilaporkan dalam populasi yang berbeda (Tabel 1). Mereka
serupa pada populasi Eropa-Amerika, Afrika-Amerika dan India, tetapi bervariasi pada
orang-orang di populasi Taiwan. Sebuah laporan pasien Taiwan telah menunjukkan
bahwa sangat umum * 1A / * 1A genotipe di CYP2E1 meningkatkan risiko
hepatotoksisitas OAT, dengan OR 2,52 dan 95% CI dari 1,26-5,05, pada pasien TB
dewasa. Penelitian yang sama juga melaporkan bahwa individu dengan genotipe * 1A
/ * 1A dan NAT2 dengan status asetilasi lambat telah meningkatkan risiko
hepatotoksisitas OAT, dengan OR 7,43 dan 95% CI dari 2,42-22,79, dibandingkan
dengan * 1A / * 1A genotipe (OR: 2,52, 95% CI: 1,26-5,05) atau status asetilasi lambat
saja (OR: 2,3, 95% CI: 1,21-4,39). Meskipun ukuran sampel rendah, juga diamati
bahwa CYP2E1 varian * 6 alel dan * 1A-* 6 - * 1D haplotype pada CYP2E1
meningkatkan risiko hepatotoksisitas (OR: 11,0; 95% CI: 1,02-110 dan OR: 4,6; 95%
CI: 1,3-16,3) pada pasien anak-anak di India.21 Haplotype ini * 1A-* 6 - * 1D termasuk
umum * 1A alel pada situs (RsaI [+]. PstI [-]), tetapi varian * 6 dan * 1D alel ada pada
dua situs polimorfik lainnya.
Studi lain pada populasi campuran Kaukasia, Hispanik, Afrika, Amerika
Selatan dan Asia juga mengamati bahwa * 1A alel umum pada CYP2E1 meningkatkan
enzim hati oleh karena OAT. Namun sebuah studi Korea tidak mengamati hubungan
antara hepatotoksisitas OAT dan CYP2E1 polimorfisme.
GSTM1 & GSTT1 polimorfisme
GSTs adalah keluarga enzim yang dikenal memainkan peran penting dalam
detoksifikasi beberapa karsinogen, bahan kimia beracun dan obat-obatan. GSTs
umumnya mengkatalisis konjugasi reaksi antara glutathione dan substrat untuk
solubilisasi dan ekskresi dari tubuh. Enzim ini dikodekan oleh setidaknya lima lokus
yang berbeda, yang dikenal sebagai α, μ, π, Φ dan ɣ. dari jumlah tersebut lima lokus,
GSTM1 (tipe μ) dan GSTT1 (tipe Φ) mendapatkan perhatian dalam hepatotoksisitas.
Delesi homozigot di GSTM1 dan GSTT1 pada beberapa individu mengakibatkan
hilangnya aktivitas enzimatik, tetapi individu yang membawa salah satu atau kedua alel
fungsional memiliki aktivitas enzimatik. Polimorfisme pada dua lokus ini telah
dipelajari secara ekstensif dalam populasi yang berbeda.

16
Frekuensi dari GSTM1 dan GSTT1 delesi homozigot genotipe pada individu
yang sehat dilaporkan pada populasi yang berbeda. Secara umum, frekuensi delesi
homozigot relatif lebih besar di Kepulauan Pasifik, Malaysia, Populasi Cina, Korea dan
Jepang. Sedikit populasi etnis di India juga memiliki tinggi frekuensi GSTM1 dan
GSTT1 delesi homozigot genotipe.
Glutathione S-transferase memainkan peran penting pada metabolisme OAT,
terutama INH. Hepatotoksisitas INH terbukti berhubungan dengan pengurangan
kandungan glutathione hati dan penurunan aktivitas GST. Glutathione (GSH)
memainkan peran sebagai pelindung intraseluler scavenger radikal bebas konjugasi
dengan metabolit toksik yang dihasilkan dari metabolisme INH. Sulfhidril (SH)
konjugasi memiliki peran pengeluaran dari tubuh dan mengurangi potensi toksisitas.
Kekurangan aktivitas GST, karena delesi homozigot di lokus GSTM1 dan GSTT1,
dapat memodulasi kerentanan untuk terjadinya hepatotoksisitas. Risiko
hepatotoksisitas OAT meningkat, dengan OR 2,13 dan CI 95% dari 1,25-3,10, pada
pasien India dengan delesi GSTM1 homozigot. Demikian pula, Huang et al. juga
melaporkan bahwa pasien dengan delesi GSTM1 homozigot memiliki risiko tinggi
INH-induced hepatotoksisitas, dengan OR: 2,23; 95% CI: 1,07-4,67, pada populasi di
Taiwan. Oleh karena itu, skrining pada pasien dengan delesi GSTM1 homozigot dapat
memberikan informasi yang lebih baik untuk mengontrol kerusahan organ hati.

G. Peran Farmakogenomik Dalam Pengobatan TB


Farmakogenomik adalah ilmu yang mempelajari pengaruh genetik terhadap
variasi antar individu pada respon obat. Pengaruh genetik tiap individu terhadap
respon obat ditunjukkan dengan adanya variasi berkisar 20-95% pada peruraian obat
dalam tubuh dan efeknya. Efektivitas rifampisin sebagai bakterisida terhadap
Mycobacterium tuberculosis (M.tb.) sangat bergantung pada konsentrasi rifampisin
dalam plasma. Peningkatan dosis akan diikuti dengan peningkatan konsentrasi
rifampisin dalam plasma di atas konsentrasi hambat minimal (MIC) M.tb dapat
menginduksi lebih cepat efek bakterisida terhadap M.tb dan diindikasikan dengan
outcomeklinis (konversi dahak). Pada standar terapi tuberkulosis, konsentrasi
rifampisin dalam plasma antar pasien TB menunjukkan variasi yang lebar. Variasi antar
pasien ini erat kaitannya dengan perbedaan genetik dari masing-masing pasien
tersebut.

17
Rifampisin merupakan substrat dari protein polipeptida transporter organik
anion (OATP1B1) yang diekspresikan pada membran sinusoidal hepatosit. Gen solute
carrier organic anion 1B1 (SLCO1B1) merupakan gen penyandi OATP1B1 dan
diketahui terdapat variasi urutan gen. SLCO1B1 rs4149032 dan c.463 C>A dijumpai
pada sebagian besar pasien tuberkulosis paru dan berhubungan dengan penurunan
kadar rifampisin dalam plasma. Pada subyek Indonesia menunjukkan adanya
polimorfisme gen SLCO1B1 SNPc.463C>A dengan frekuensi C 30% dan A 70%.
Variasi genetik antar individu ini diduga dapat menyebabkan variasi respon rifampisin
antar individu pasien tuberkulosis paru yang berdampak adanya variasi outcomeklinis,
dalam hal ini konversi dahak.

Perkembangan Farmakogenetik Pada Pengobatan TB

Mekanisme pengaruh variasi genetik terhadap respon obat dapat dikategorikan


kedalam 3 rute, yaitu farmakokinetik, farmakodinamik dan pathway penyebab penyakit
Farmakokinetik suatu obat berkaitan dengan proses absorpsi, distribusi, metabolisme,
ekskresi dan transpor. Variasi genetik pada setiap tahap proses tersebut akan mengubah
konsentasi obat dalam plasma dan akan mengubah respon obat yang dapat berupa
respon yang dikehendaki atau sebaliknya berupa respon obat yang tidak dikehendaki.

Absorpsi, distribusi dan eliminasi obat dimodulasi oleh transportermelalui


pengendalian influx dan eflux obat ke dalam sel. Belakangan ini telah banyak
diungkapkan hasil penelitian yang menunjukkan polimorfisme genetik transporter
dapat mempunyai dampak yang bermakna pada peruraian obat, efikasi obat dan
keamanan obat.

Farmakodinamik berkaitan dengan efek farmakologi obat dengan reseptor,


enzim dan saluran ion. Obat akan di absorpsi dan di transpor ke tempat target obat.
Efek obat akan berubah apabila terdapat perbedaan respon obat di tempat target obat.
Oleh karena itu, adanya polimorfisme pada gen yang menyandi target obat
kemungkinan akan mengubah respon individu terhadap pengobatan. Polimorfisme
genetik juga dimungkinkan mengubah status penyakit yang merupakan target terapi
obat. Variasi genetik pada status penyakit juga perlu mendapat perhatian untuk
mengkaitkan terapi obat dengan spesifik genotipe yang berhubungan dengan penyakit
dan respon obat.

18
WHO Global Tuberculosis Report melaporkan estimasi insiden, prevalen dan
mortalitas TB di Indonesia pada tahun 2013 dalam angka mutlak, yaitu berturut-turut
460 (95% CI 410-520), 680 (95% CI 340-1.100), dan 64 (95% CI 36 -93). Sedangkan
estimasi angka insiden, prevalen dan mortalitas TB di Indonesia pada tahun 2013 yang
dinyatakan dalam 100.000 penduduk, yaitu berturut-turut 183 (95% CI 164 -207), 272
(95% CI 138-450), dan 25 (95% CI 14 - 37). Secara global, sesuai urutan besarnya
angka 63 mutlak insiden, Indonesia menduduki urutan ke lima setelah India, Tiongkok,
Nigeria dan Pakistan, namun berdasarkan urutan besarnya angka insiden per 100.000
penduduk, Indonesia tidak masuk dalam 10 besar. Angka prevalen TB di Indonesia
tahun 2013 mengalami penurunan dibandingkan angka prevalen tahun 2012. Angka
prevalensi TB tahun 2012 dan 2013 yaitu berturut-turut 297/100.000 dan 272/100.000.

Rifampisin merupakan tulang punggung pengobatan TB dan aktivitas


rifampisin terhadap Mycobacterium tuberculosis(M.tb.) diketahui bergantung pada
konsentrasi rifampisin dalam serum. Penurunan konsentrasi maksimum rifampisin
dalam plasma akan berpengaruh terhadap konsentrasi hambat minimal (MIC) sehingga
berpengaruh terhadap respon rifampisin sebagai bakterisida yang diindikasikan dengan
tidak mengalami konversi dahak 17). Konsentrasi maksimum rifampisin dalam plasma
antar pasien TB memiliki variasi yang lebar (Cmaks 8,1±5,0 μg/ml). Gambaran ini
tidak berbeda pada pasien TB di Indonesia yaitu Cmaks 9,0 μg/ml (95% CI 6,6 – 12,8).
Variasi antar pasien ini erat kaitannya dengan perbedaan genetik dari masing-masing
pasien tersebut.

Farmakogenomik Rifampisisn

Frekuensi varian genotipe SLCO1B1 SNP c.463C>A dan frekuensi varian


genotipe SLCO1B1 SNP rs4149032 pada populasi dari wilayah yang berbeda
menunjukkan adanya perbedaan. Frekuensi varian genotipe SLCO1B1 SNP c.463C>A
pada penelitian Chigutsa et al. diungkapkan kecil (4%) dan frekuensi varian genotipe
SLCO1B1 SNP rs4149032 diungkapkan frekuensinya besar (70%). Hal ini berbeda
dengan penelitian Kwara et al. dan Weiner et al. yang menggunakan pasien TB paru
dari wilayah yang berbeda, dimana diungkapkan varian genotipe SLCO1B1 SNP
c.463C>A lebih besar daripada pada penelitian Chigutsa et al.

19
Terkait frekuensi genotipe SNP c.463C>A, data lain menunjukkan bahwa di
populasi sehat Eropa diketahui berkisar 13-23% di populasi Eropa, 2-10% di Sub
Sahara Afrika/Afrika-Amerika dan 0-3% di Asia Timur. Sedangkan terkait dengan
frekuensi varian genotipe SLCO 1B1 SNP rs4149032, di populasi Nigeria sebesar 75%,
Kaukasia 29% dan Asia 56%).

Frekuensi varian genotipe SLCO1B1 SNP c.463C>A dan SLCO1B1


rs4149032 di populasi pasien TB maupun di populasi orang sehat di Indonesia belum
diketahui. Di samping itu, perbedaan varian genotipe SLCO1B1 SNP c.463C>A pada
populasi dari etnik yang berbeda juga menunjukkan perbedaan frekuensi. Hal ini
seperti diungkapkan Weiner et al) bahwa proporsi gen SLCO1B1 SNP c.463C>A
genotipe CA pada subyek kulit hitam lebih besar daripada subyek kulit putih. Variasi
genotipe gen SLCO1B1 SNP c.463C>A maupun SNP rs4149032 pada populasi pasien
TB di Indonesia belum diketahui. Pola variasi genotipe pada populasi pasien TB tidak
berbeda dengan pola pada populasi orang sehat. Hal ini mengingat gen SLCO1B1
SNPs c.463C>A maupun SNPs rs4149032 ada pada semua orang dan akan beraksi
terhadap obat bila individu terpapar dengan obat yang menjadi substrat dari protein
yang disandi oleh gen tersebut. Untuk mengetahui pola variasi genotipe gen
SLCO1B1 SNP c.463C>A maupun SNP rs4149032 telah dilakukan studi pendahuluan
menggunakan 30 orang sehat, 60% laki-laki, dan berumur 25–58 tahun. Hasil studi
pendahuluan menunjukkan bahwa gen SLCO1B1 SNP c.463C>A terdapat
polimorfisme yaitu frekuensi allel C 30%, allel A 70%, sedangkan pada SNP
rs4149032 tidak terdapat polimorfisme yaitu frekuensi allel C 100%. Variasi genotipe
gen SLCO1B1 SNP c.463C>A dari subyek yang ada, diperoleh proporsi genotipe CC
46,7%, CA 46,7%, dan AA 6,6%.

Frekuensi polimorfisme gen SLCO1B1 SNP c.463C>A dan SNP rs4149032


ditentukan menggunakan Real-time PCR primer yang sesuai. Individu yang diketahui
mempunyai konsentrasi maksimum rifampisin dalam plasma yang rendah, dapat
dinaikan dengan penambahan dosis rifampisin untuk dapat mencapai konsentrasi
maksimum terapetik dalam plasma (8 - 20 μg/ml). Pasien TB yang menunjukkan respon
yang lambat pada pengobatan dengan obat TB dosis standar, setelah dinaikkan dosis
rifampisin, menunjukkan perbaikan respon secara klinis, secara radiografi maupun
secara mikrobakterologi. Peningkatan dosis rifampisin untuk mencapai konsentrasi
maksimum rifampisin dalam plasma tidak menimbulkan efek samping.

20
BAB III

KESIMPULAN

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran
lebih lanjut dari kuman TB.

Hepatotoksisitas oleh karena OAT adalah masalah medis serius di dunia terutama untuk
pasien TB. Telah dipelajari hubungan antara hepatotoksisitas OAT dan polimorfisme pada
berbagai metabolisme obat dalam populasi yang berbeda di seluruh dunia. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa NAT2 asetilasi lambat dan alel CYP2E1 * IA meningkatkan risiko
hepatotoksisitas OAT. Selain itu, delesi GSTM1 homozigot bisa meningkatkan risiko
hepatotoksisitas.

Subyek Indonesia menunjukkan adanya polimorfisme gen SLCO1B1 SNP c.463C>A


dengan frekuensi C 30% dan A 70%. Variasi genetik antar individu ini diduga dapat
menyebabkan variasi respon rifampisin antar individu pasien TB paru baru yang
berdampak adanya variasi outcome klinis, dalam hal ini konversi dahak.

21
DAFTAR PUSTAKA

Andri DW & Soedarsono, Farmakogenomik Hepatotoksisitas Obat Anti Tuberkulosis, Jurnal

Respirasi, 2015, Vol. 3, Hal. 103-108.

A software to restructure the haplotypes from genotype data www.

stat.washington.edu/stephens/

Benichou C: Criteria of drug induced liver disorder: report of an International Consensus

Meeting. J. Hepatol. 1990: 11; 272-276.

Cho HJ, Koh WJ, Ryu YJ et al.: Genetic polymorphisms of NAT2 and CYP2E1 associated

with antituberculosis drug-induced hepatotoxicity in Korean patients with pulmonary

tuberculosis. Tuberculosis (Edinb.) 2007: 87; (6), 551-556.

Description of different alleles at NAT2 and corresponding acetylating status

www.louisville.edu/medschool/pharmacology/nat.html

Farrell GC: Drug-induced acute hepatitis. In: Drug-induced liver disease Farrell GG (Ed.).

Churchill Livingstone, Edinburgh, UK.1994; 247-299.

Fountain FF, Tolley E, Chrisman CR, Self TH: Isoniazid hepatotoxicity associated with

treatment of latent tuberculosis infection: a 7-year evaluation from a public health


tuberculosis clinic. Chest. 2005: 128; 116-123.

Garg PK, Tandon RK: Antituberculous Agents Induced Liver Injury. In: Drug-induced Liver

Disease. Kaplowitz N, Deleve LD (Eds). Marcel Dekker, New York, USA. 2003.

Girling DJ: The hepatic toxicity of antituberculosis regimens containing isoniazid, rifampicin

and pyrazinamide. Tubercle. 1978: 59; 13-32.

Golka K, Blaszkewicz M, Samimi M, Bolt HM, Selinski S: Reconstruction of N-

acetyltransferase 2 haplotypes using PHASE. Arch. Toxicol. (2007) (Epub ahead of


print).

Huang YS, Chern HD, Su WJ et al.: Cytochrome P450 2E1 genotype and the susceptibility to

22
antituberculosis druginduced hepatitis. Hepatology. 2003: 37; 924-930.

Larrey D. Epidemiology and individual susceptibility to adverse drug reactions aff ecting the

liver. Semin Liver Dis. 2002; 22; 145-55.

Navarro VJ, Senior JR. Drug-related hepatotoxicity. N Engl J Med. 2006; 354: 731-9.

Nebert DW: Polymorphism in drug-metabolizing enzymes: what is their clinical relevance and

why do they exist. Am. J. Hum. Genet. 1997; 60: 265-271.

Ondri DS, Tinjauan Farmakogenomik Rifampisin dalam Pengobatan Tuberkulosis Paru, Jurnal

Biotek Medisiana Indonesia, Vol. 4, 2015, Hal 59-70.

Pande JN, Singh SPN, Khilnani GC, Khilnani S, Tandon RK: Risk Factors for hepatotoxicity

from antituberculous drugs: a case control study. Thorax 1996: 51; 132-136.

Pessayre D, Larrey D: Drug-induced liver injury: In: Oxford Textbook of clinical Hepatology.

Volume 2. (Eds). Oxford University Press, Oxford, UK. 1991.

Rapp RS, Campbell RW, Howell JC, Kendig ELJ: Isoniazid hepatotoxicity in children. Am.

Rev. Respir. Dis. 1978: 118; 794- 796.

Sarma GR, Immanuel, C, Kailasam S, Narayana AS, Venkatesan P: Rifampicininduced release

of hydrazine from isoniazid. A possible cause of hepatitis during treatment of


tuberculosis with regimens containing isoniazid and rifampicin. Am. Rev. Respir. Dis.
1986: 133; 1072-1075.

Saukkonen JJ, Cohn DL, Jasmer RM et al.: An official ATS statement: hepatotoxicity of

antituberculosis therapy. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 2006: 174; 935-952.

Sim E, Payton M, Noble M, Minchin R: An update on genetic, structural and functional studies

on arylamine N-acetyltransferases in eucaryotes and procaryotes. Hum. Mol.


Genet.2000; 9: 2435-2441.

23
Upton AM, Mushtaq A, Victor TC et al.: Arylamine N-acetyltransferase of Mycobacterium

tuberculosis is a polymorphic enzyme and a site of isoniazid metabolism. Mol.


Microbiol. 2001: 42; 309-317.

Yamamoto T, Suou T, Hirayama C: Elevated serum aminotransferase induced by isoniazid in

relation to isoniazid acetylator phenotype. Hepatology 1986: 6; 295-298.

24

Anda mungkin juga menyukai