PENYAKIT MITOKONDRIA
Disusun Oleh :
Visto Pangestu
Pembimbing :
dr. Bambang F. Nurtjahjono, SpOG
dr. Arie Widiyasa, SpOG
dr. Komang Arianto, SpOG
dr. Achmad Irawan, SpOG
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN.........................................................................................................2
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................3
2.1 Definisi.............................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi....................................................................................................................3
2.3 Etiologi.............................................................................................................................3
2.4 Fisiologi dan Patofisiologi................................................................................................6
2.5 Jenis-Jenis Penyakit Mitokondria...................................................................................11
2.6 Gejala dan Tanda Klinis.................................................................................................15
2.7 Diagnosis........................................................................................................................17
2.8 Tatalaksana.....................................................................................................................20
2.9 Prognosis........................................................................................................................24
BAB III: KESIMPULAN.........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................26
BAB I
PENDAHULUAN
1
Mitokondria merupakan bagian dari sel tubuh yang fungsi utamanya adalah
memproduksi adenosine tiphosphate (ATP). Gangguan pada mitokondria ini dapat
mengganggu sel hingga ke level organ dimana gejala klinis sesuai dengan organ yang terkena.
Prevalensi penyakit mitokondria adalah 1 dari 5000 individu dimana penyakit ini dipegaruhi
oleh genetik dan mutasi spontan, akibat adanya pertambahan umur, obat-obatan, tobako,
alkohol, dan gas-gas yang beracun. Jenis- jenis sindroma yang berhubungan dengan penyakit
mitokondria antara lain: mitochondrial encephalopathy with lactic acidosis and stroke-like
episodes (MELAS), myoclonic epilepsy with ragged red fibers (MERRF), neuropathy, ataxia
and retinitis pigmentosa (NARP), leber hereditary optic neuropathy (LHON), chronic
progressive external ophthalmoplegia (CPEO), maternally inherited Leigh syndrome (MILS),
pearson syndrome, dan Kearns-Sayre syndrome (KSS).
Diagnosis untuk penyakit ini tetap melalui anamnesis, pemerisaan fisis, pemeriksaan
penunjang baik itu pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologi, bahkan sampai histopatologi.
Penegakan diagnosis penyakit ini sangat sulit dikarenakan gejala klinisnya tidak khas.
Tatalaksana pada kasus ini masih belum ada yang pasti, namun sampai sekarang, tatalaksan
berupa konseling, simptomatik, dan pengobatan farmakologi menjadi pilihan. Prognosis untuk
penyakit ini juga tergantung dari berat tidaknya penyakit dan bagimana penatalaksanaannya.
Prognosis tergolong baik apabila gejala ringan dan tatalaksana yang diberikan tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Mitokondria merupakan organel subseluler membran ganda yang berperan dalam
produksi adenosine triphosphate (ATP) melalui proses oxidative phosphorylation
(OXPHOS). Penyakit mitokondria memiliki gejala berupa gangguan neurodegeneratif
dan kardiovaskular, penyakit neurometabolik, kanker, obesitas dan sebagainya. Sindrom
yang termasuk penyakit mitokondria adalah mitochondrial encephalopathy with lactic
acidosis and stroke-like episodes (MELAS), myoclonic epilepsy with ragged red fibers
(MERRF), neuropathy, ataxia and retinitis pigmentosa (NARP), leber hereditary optic
neuropathy (LHON), chronic progressive external ophthalmoplegia (CPEO), maternally
inherited Leigh syndrome (MILS), pearson syndrome, dan Kearns-Sayre syndrome
(KSS).1
2.2 Epidemiologi
Satu dari 5000 individu1 atau 6000 individu2 terdiagnosa penyakit mitokondria
dimana prevalensi mutasi yang terjadi pada kelahiran lebih besar, yakni 1 dari 200
kelahiran yang hanya sebagian kecil akan timbul menjadi penyakit.1
2.3 Etiologi
1) Genetik
Orang yang lahir dalam keluarga yang memiliki penyakit mitokondria, maka risiko
akan jauh meningkat untuk terjadinya penyakit mitokondria. Mitokondria terdiri atas 2
jenis genetik, yakni DNA mitokondria dimana yang disalurkan dari ibu ke anak
(maternal inheritence), dan DNA nuklear yang disalurkan dari kedua orang tua
(autosomal recessive inheritence dan autosomal dominant inheritence).2
ibu ke anak
Genetik
kedua orang
tua ke anak
maternal
inheritence
autosomal
recessive
inheritence
autosomal
dominant
inheritence
NADH/NAD+.3
d. Gas beracun
- Nitric oxide (NO), sianida, hidrogen sulfida, dan CO menghambat MRC
komple IV yang akhirnya mengganggu konsumsi oksigen dan respirasi
seluler (proses perombakan molekul organik kompleks yang kaya akan
energi potensial menjadi produk limbah yang berenergi lebih rendah
<proses katabolik> pada tingkat seluler). Zat-zat ini juga meningkatkan
-
dimana 37 gen dikodekan oleh DNA mitokondria dan sisanya oleh DNA nuklear. 2
Electron transport chain (ETC) yang terdiri atas 80 polipeptida, yang dibagi menjadi 5
kelompok komplek protein transmembran, yakni I-V. Gradien proton diproses oleh
komplek I, III, dan IV yang dilepaskan melalui sintase ATP atau komplek V, yang
memfosforilasi adenosine diphosphate (ADP) menjadi ATP.1
Gambar 5: ETC4
Mitokondria juga dikenal dengan pusat signal metabolik sel, yang berperan dalam
berbagai fungsi biologi seperti regulasi apoptosis, mempertahankan homeostasis kalsium
sistosolik, biosintesis lemak, dan biogenesis sulfur besi1
respirasi seluler.3
Peran mitokondria dalam fertilitas dapat diamati dalam in vitro. Dilaporkan
bahwa kegagalan sebesar 50% untuk fertilisasi in vitro akibat gangguan kromosom yang
secara langsung atau tidak langsung diakibatkan oleh gangguan fungsi mitokondria dan
produksi ROS. Cohen dkk melaporkan transfer ooplasma dari oosit donor muda ke oosit
nonfertil secara parsial mengembalikan kemampuan reproduksi pada oosit oopautik, dan
mereka beranggapan transfer mitokondria dapat mengembalikan fertilitas. Studi lain
menunjukan mtDNA (mitokondrial DNA) mempengaruhi kehidupan oosit dan fertilitas.
Maka dari itu, studi in vitro menyatakan mitokondria pada oosit berkontribusi dalam
keberhasilan fertilisasi dan perkembangan embrionik.3
Sprematozoa tidak menyediakan mitokondria pada embrio untuk ke depannya
dimana mitokondria pada spermatozoa hanya berfungsi dalam motilitas flagel dan
fertilitas untuk spermatozoa itu sendiri. Saat fetilisasi dan implantasi terjadi, aktivitas
mitokondria berperan dalam menyediakan energi dan metabolit untuk perkembangan
embrio. Blastokis dan sel embrio untuk kedepannya membutuhkan energi untuk
6
pembelahan sel, migrasi dan diferensiasi. Mitokondria berperan juga dalam apoptosis
pada sel-sel yang tidak berfungsi atau sel-sel penganggu. Adanya paparan toksik pada
mitokondria saat kehamilan tentu dapat mengganggu prose implantasi dan fertilisasi serta
perkembangan embrio dan kelahiran nantinya.3
Disfungsi atau penyakit mitokondria merupakan hal yang kompleks yang
memiliki tanda berupa
neurometabolik, kanker, obesitas dan sebagainya. Studi terakhir berpendapat bahwa ada
hubungaan antara patogenik mutasi mtDNA, dan peranan dalam mengekspresikan
penyakit fenotip. Mekanisme pasti terjadinya gangguan atau peyakit mitokondria masih
belum dikeahui. 1
2.1.1 Genetik mitokondria
Genom mitokondria bertekstur padat, double standed, sirkular, 16569
pasang molekul panjang, terdiri atas 37 gen, yakni 13 polipeptida, 22 transfer
RNA (tRNA) dan 2 ribosomal gen RNA (rRNA). Protein yang digunakan
mitokondria berasal dari pengkodean nuklear, dimana diubah dan disusun menjadi
setiap kompartemen mitokondria. Karakteritik unik mtDNA dibanding DNA
nuklear (nuDNA) adalah adanya cetakan multipel pada satu sel, mode maternal
keturunan, dan tidak adanya intron (urutan nukleotida yang terdapat dalam gen
anara ekson). Laju mutasi mtDNA jauh lebih cepat dibanding nuDNA,
dikarenakan sangat sedikit urutan non koding dan yang paling penting adalah
keberadaanya pada daerah lingkungan yang kaya akan reactive oxydative stress
(ROS) pada membran dalam mitokondria.
Gambar 6: Sel di kiri atas adalah heteroplasmik seperti yang ditunjukkan oleh mitocondria normal
(ungu) dan mitokondria dengan mutasi mtDNA (merah) .Karena ini sel membelah , mitokondria
bereplikasi dan secara independen ke sel anak . Hal ini menyebabkan dua-duanya positif atau
negatif homoplasmy (warna merah kanan)6
dimana
2.1.2
organ.
mutasi nuDNA. 1
Mutasi DNA nukleus pada penyakit mitokondria
Mitokondria terdiri atas lebih dari 1.500 protein yang bervariasi. Mutasi
DNA nukleus diakibatkan mutasi nuDNA dan mtDNA yang berpengaruh dalam
penyakit dan gangguan mitokondria. Kebanyakan gangguan pada gen nukleus
menyebabkan gangguan mitokondria dengan mengganggu struktur dan fungsi
genom mitokondria. Penyakit yang mengenai gen nukleus umumnya yang
berperan dalam perbaikan (correction), ekspresi, dan menggandakan (duplication)
jumlah mtDNA, seperti POLG (promoter of growth protein) 1 yang mengkodekan
subunit katalitik, POLG2 untuk subunit aksesori gama polimerase mitokondria,
dan kinase tidin 2 (TK2). Gen nuklear yang lain yang menyebabkan penyakit pada
transport dan sintesis nukleus, seperti SLC25A4 (solute carrier family 25 member
4) yang mengkode adenine nucleotide translocator 1 (ANT1) yang berguna untuk
membawa ATP dari matriks mitokondria dan mengimpor ADP ke matriks; dan
RRM2B (ribonucleotide reductase regulatory TP53 inducible subunit M2B) yang
mengkode subunit p53-inducible ribonucleotide redutase protein yang berfungsi
untuk menjaga keseimbangan mitochondrial deoxyribonucleoside triphosphates
(dNTP) pool. 1
Mutasi SURF1, SCO1, SCO2, dan COX10 telah dilaporkan berperan
dalam sindrom Leigh (LS) dan kematian kardiomiopati infantil dengan defisit
otot dalam jumlah besar pada skeletal dan jantung. Gen translasi mitokondria
seperti mitochondrial aminocyl tRNA synthetase (AARs), DARS2 (aspartyl-tRNA
synthetase 2), RARS2 (arginyl-tRNA synthetase 2), EARS2 (glutamyl-tRNA
synthetase 2), YaARS2, HARS2 (histidyl-TRNA synthetase 2), AARS2 (alanylTRNA synthetase 2) juga berhubungan dengan LS. 1
9
pada
gen
pendek,
demensia,
dan
atrofi
optik.
Riwayat
keluarga
mengalami
mutasi
pada
disfungsi
batang
otak,
neuropati
perifer,
keterlambatan
11
Genetik
Mutasi poin pada jumlah gen tRNA berhubungan dengan CPEO. 7
Morfologi
Adanya RRF, dimana COX-negatif lebih sering ditemukan dibanding
positif.7
Diagnostik molekuler
Adanya mutasi m.3243A>G.7
Kearns-Sayre syndrome (KSS)
Definisi
KSS didefinisikan sebagai trias invarian PEO, retinopati pigmen, dan
onset sebelum usia 20 tahun dengan gejala seperti ataksia, blok konduksi
jantung, dan CSF protein > 100
otot. 7
Morfologi
Adanya RRF dimana paling banyak dengan COX negatif. 7
Diagnostik Molekuler
Southern blot atau long range PCR untuk mendeteksi mtDNA
rearrangement.7
12
Genetik
Pearsons marrow syndrome didiagnosa dengan adannya single largescale rearrangement of mtDNA, yang dapat diobservasi dengan Southern blot
14
2.7 Diagnosis
Semua pasien disarankan dilakukan computed tomografi (CT), elektrokardiografi
(EKG) dan elektromiografi (EMG). CT scan dilakukan pada keadaan awal untuk
menyingkirkan peningkatan intrakranial pada pasien datang dengan kejang atau
ensefalopati. Pada CT scan dapat ditemukan juga kalsifikasi bangsal ganglia yang umum
ditemukan pada penyakit mitokondria. Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan
perubahan pola denyut jantung. Pada EMG dapat ditemukan neuropati sensorimotor
perifer. Magnetic resonance tomography (MRI) jarang digunakan namun MRI dapat
megidentifikasi pasien dengan fenotip sindrom, seperti hipodens simetris pada brainsem,
talamus, dan basal ganglia pada penyakit Leigh; asimetrik dan multifokal yang ditemukan
pada lobus oksipital dan parietal dapat ditemukan pada ensefalopati mitokondrial,
asidosis laktat, dengan stroke like episodes (MELAS). Abnormalitas pada substansia alba
dapat
ditemukan
pada
sindrom
Kearns-Sayre
(KSS)
atau
ensefalopati
15
abnormal pada brainstem dan nukleus subtentorial dengan peningkatan laktat yang
ditemukan pada defisensi MTC kompleks I. 1
Sindrom Leigh --> hipodens simetris pada brainsem,
talamus, dan basal ganglia
MELA S --> asimetrik dan multifokal yang ditemukan pada
lobus oksipital dan parietal
KSS --> Abnormalitas pada substansia alba
MNGIE --> ensefalopati neurogastrointestinal mitokondria
Pemeriksaan biokimia standar dari darah dapat memberikan arti yang cukup
bermakna. Tes biokimia antara lain laktat, piruvat, creatinine kinase (CK), hitung darah
lengkap, fungsi tiroid dan hati, kimia tulang, dan gula darah sewaktu. CK, laktat dan
piruvat pada umumnya meningkat. 1
Biopsi otot skeletal dibutuhkan untuk menganalisa kerusakan OXPHOS. Pewarnaan
hematoxylin dan Eoin (HE) digunakan untuk pemeriksaan histologi. Pewarnaan ini dapat
membedakan jenis jaringan dan perubahan morfologi dan struktural. Pewarnaan Ragged
Red Fibers (RRF) dengan modified gomorie trichrome (MGT) secara umum
mengindikasikan
akumulasi
abnormal
subsarkolemal
mitokondria.
Succint
16
Gambar 8: potongan jaringan menunjukan hasil abnormal dari penyakit mitokondria. (a) pewarnaan HE;
(B) Fiber merah pada MGT menunjukan akumulasi subsarkolemal abnormal mitokondria; (C) fiber merah
biru pada pewarnaan SDH menunjukkan bertambahnya jumlah mitokondria; (D) pewarnaan COX
menunjukkan tidak adany aenzim rantai respiratori; (E dan F) mikroskop elektron menunjukan pembesaran
kecil dan besar mitokondria dengan menggunakan parakristalin. 1
Investigsi genetik pada pasien dengan penyakit mitokondria harus didahului dengan
pemeriksaan klinis, biokimia dan histopatologi. Walaupun pemeriksaan mutasi dapat
dilakukan dari darah, tetap perlu dipastikan dengan otot skeletal untuk mendeteksi mutasi
mtDNA. Rearrangements mtDNA biasanya terdeteksi dengan Southern hybridization dan
long range PCR. Multipel deletion ditemukan pada kerusakan pada gen nukleus yang
berfungsi sebagi replikasi dan mempertahankan mtDNA. Penurunan mtDNA dapat
terdeteksi dengn real-time PCR, dimana dapat mengedentifikasi mutasi gen nuklear,
khususnya infan dengan miopati atau fenotip hepatoserebral. 1
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yakni pungsi lumbal untuk menganalisa CSF,
ekokardiogram (Echo) untuk melihat otot jantung, elektroensefalogram (EEG) untuk
menilai aktivitas otak untuk menyingkirkan kejang, tes fungsi paru atau sfirometri unuk
menilai fungsi paru.
2.8 Tatalaksana
Tidak ada pengobatan pasti untuk gangguan mitokondria, dimana tatalaksana sampai
sekarang
Konseling
Tatalaksa
na
Suportif
Farmakolo
gi
2) Terapi suportif
a. Olahraga
Olahraga disarankan untuk dilakukan dikarenakan dapat meningkatkan
kapasitas fisik dan kualitas hidup pasien dengan meningkatkan fungsi
mitokondria, dan menurunkan beban pada mitokondria yang tidak normal.
Beberapa studi menyatakan bahwa dengan adanya olahraga, maka dapat
18
c. L-Arginin
Pemberian intravena L-arginin dengan dosis 500 mg/kg/dosis menurunkan
risisko stroke like symptoms, meningkatkan dinamika mikrosirkulasi, dan
menurunkan kerusakan jaringan dari iskemia dengan pasien MELAS. Studi
besar menyatakan bahwa dengan pemberian profilaksis berupa L-arginin dengan
dosis 150-300 mg/kg/hari dapat menurunkan risiko strok pada MELAS. 1
d. Karnitin
Karnitin berperan penting dalam oksidasi asam lemak dan esterifikasi
asam lemak dengan memindahkan rantai panjang melalui membran dalam
mitokondria sebagai ester karnitin asil. Ester ini kemudian memasuki siklus
krebs yang dapat menghasilkan ATP melalui melalui fosforilasi oksidatif. Pasien
dengan penyakit mitokondria umumnya memiliki kadar L-kartinin yang rendah.s
L-karnitin sebaiknya dikombinasi denga asam valproat untuk mencegah uptake
karnitin atau dikombinasi dengan CoQ10. 1
e. Dikloroasetat
Dikloroasetat (DCA) lebih spesifik dalam menurunkan asam lakat. DCA
mengaktivasi kompleks dehidrogenase piruvat dengan menghambat aktivitas
kinase dehidrogenase piruvat, yang secara normal difosforilasi dan dihambat
dengan enzim. DCA memiliki kemampuan
20
21
2.9 Prognosis
Prognosis pasien dengan penyakit mitokondria tergantung dari kerusakan organ yang
dialami. Banyak orang hidup dengan normal apabila gejala tidak berat dan terapi berupa
suportif dan farmakologi dapat berjalan dengan lancar.
22
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit mitokondria berhubungan dengan jumlah besar gangguan dan presentasi
klinis heterogenus, seperti gangguan neuromuskular, penyakit kardiovaskular, sindrom
metabolik, kanker, obesitas, dan sebagainya. Penyakit mitokondria sangat penting dalam
proses fertilisasi, perkembangan embrio dan juga perkembangan janin, hingga neonatus
dan seterusnya. Penyakit mitokondria merupakan penyakit yang komplek dan sulit untuk
didiagnosa dan ditatalaksana. Pasien dengan kecurigaan penyakit mitokondria, perlu
pendekatan secara klinis, histopatologi, biokimia dan genetik, manegemen dan
tatalaksana. Diagnosis dan tatalaksana yang cepat dan tepat memberikan hasil prognosis
yang lebih baik. Tatalaksana pasien dengan penyakit mitokondria belum ada yang efektif,
namun tatalaksana berupa konseling yang dikombinasi dengan farmakologi diharapkan
dapat membantu.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Khan NA, Govindaraj P, Meena AK, Thangaraj K. Mitochondrial disorders: Challenges
in Diagnosis & Treatment. Indian Journa Medicine Res 141, Januari 2015. India. Hal: 1326
2. Bainbridge L, Tarnopolsky M. Understanding and Coping with Mitochondrial Disease.
Hamilton Health Siences. Amerika. 2010
3. Moren C, Hernandez S, Mapel MG, Garrabou G. Mitochondrial Toxicity in Human
Pregnancy: An Update on Clinical and Experimental Approaches in the Last 10 Years.
Amerika: Int J Environ Res Public Health. 2014; 11(9): 9897-9918.
4. Zhunussova A, Sen B, Friedman L. Mitochondria: from bioenergetics to the metabolic
regulation of carcinogenesis. England. Frontiers in Bioscience. 2016.
5. Shokolenko I, Venediktova N, Bochkareva A, Wilson GL, Alexeyev MF. Oxidative stress
induces degradation of mitochondrial DNA. Amerika: Pubmed. 2009; 37 (8): 2539-48.
6. Dimauro S, Davidzon G.Mitochondrial DNA and disease. Amerika. Annals of Medicine.
2016. 37: 222232.
7. DiMauro S, Hirano M, Naini AB, Tanji K, Schon EA, Nagy PI. The Diagnosis of
Mitochondrial Disease. Kolumbia: Columbia University Medical Center. 2015.
8. Parikh S, Saneto R, Falk MJ, Anselm I, Cohen BH, Haas R. A modern Approach to the
treatment of Mitochondrial Disease. Amerika: Current Treat Options Neurology. 2009. 11
(6): 414-30.
24