Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

PENYAKIT MITOKONDRIA

Disusun Oleh :
Visto Pangestu

Pembimbing :
dr. Bambang F. Nurtjahjono, SpOG
dr. Arie Widiyasa, SpOG
dr. Komang Arianto, SpOG
dr. Achmad Irawan, SpOG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 8 AGUSTUS 14 OKTOBER 2016

DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN.........................................................................................................2
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................3
2.1 Definisi.............................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi....................................................................................................................3
2.3 Etiologi.............................................................................................................................3
2.4 Fisiologi dan Patofisiologi................................................................................................6
2.5 Jenis-Jenis Penyakit Mitokondria...................................................................................11
2.6 Gejala dan Tanda Klinis.................................................................................................15
2.7 Diagnosis........................................................................................................................17
2.8 Tatalaksana.....................................................................................................................20
2.9 Prognosis........................................................................................................................24
BAB III: KESIMPULAN.........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................26

BAB I
PENDAHULUAN
1

Mitokondria merupakan bagian dari sel tubuh yang fungsi utamanya adalah
memproduksi adenosine tiphosphate (ATP). Gangguan pada mitokondria ini dapat
mengganggu sel hingga ke level organ dimana gejala klinis sesuai dengan organ yang terkena.
Prevalensi penyakit mitokondria adalah 1 dari 5000 individu dimana penyakit ini dipegaruhi
oleh genetik dan mutasi spontan, akibat adanya pertambahan umur, obat-obatan, tobako,
alkohol, dan gas-gas yang beracun. Jenis- jenis sindroma yang berhubungan dengan penyakit
mitokondria antara lain: mitochondrial encephalopathy with lactic acidosis and stroke-like
episodes (MELAS), myoclonic epilepsy with ragged red fibers (MERRF), neuropathy, ataxia
and retinitis pigmentosa (NARP), leber hereditary optic neuropathy (LHON), chronic
progressive external ophthalmoplegia (CPEO), maternally inherited Leigh syndrome (MILS),
pearson syndrome, dan Kearns-Sayre syndrome (KSS).
Diagnosis untuk penyakit ini tetap melalui anamnesis, pemerisaan fisis, pemeriksaan
penunjang baik itu pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologi, bahkan sampai histopatologi.
Penegakan diagnosis penyakit ini sangat sulit dikarenakan gejala klinisnya tidak khas.
Tatalaksana pada kasus ini masih belum ada yang pasti, namun sampai sekarang, tatalaksan
berupa konseling, simptomatik, dan pengobatan farmakologi menjadi pilihan. Prognosis untuk
penyakit ini juga tergantung dari berat tidaknya penyakit dan bagimana penatalaksanaannya.
Prognosis tergolong baik apabila gejala ringan dan tatalaksana yang diberikan tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Mitokondria merupakan organel subseluler membran ganda yang berperan dalam
produksi adenosine triphosphate (ATP) melalui proses oxidative phosphorylation
(OXPHOS). Penyakit mitokondria memiliki gejala berupa gangguan neurodegeneratif
dan kardiovaskular, penyakit neurometabolik, kanker, obesitas dan sebagainya. Sindrom
yang termasuk penyakit mitokondria adalah mitochondrial encephalopathy with lactic
acidosis and stroke-like episodes (MELAS), myoclonic epilepsy with ragged red fibers
(MERRF), neuropathy, ataxia and retinitis pigmentosa (NARP), leber hereditary optic
neuropathy (LHON), chronic progressive external ophthalmoplegia (CPEO), maternally
inherited Leigh syndrome (MILS), pearson syndrome, dan Kearns-Sayre syndrome
(KSS).1

2.2 Epidemiologi
Satu dari 5000 individu1 atau 6000 individu2 terdiagnosa penyakit mitokondria
dimana prevalensi mutasi yang terjadi pada kelahiran lebih besar, yakni 1 dari 200
kelahiran yang hanya sebagian kecil akan timbul menjadi penyakit.1

2.3 Etiologi
1) Genetik
Orang yang lahir dalam keluarga yang memiliki penyakit mitokondria, maka risiko
akan jauh meningkat untuk terjadinya penyakit mitokondria. Mitokondria terdiri atas 2
jenis genetik, yakni DNA mitokondria dimana yang disalurkan dari ibu ke anak
(maternal inheritence), dan DNA nuklear yang disalurkan dari kedua orang tua
(autosomal recessive inheritence dan autosomal dominant inheritence).2
ibu ke anak
Genetik
kedua orang
tua ke anak

maternal
inheritence
autosomal
recessive
inheritence
autosomal
dominant
inheritence

Gambar 1: Genetik penyakit mitokondria2

Gambar 2: Maternal inheritence2

Gambar 3: Autosomal recessive inherience2

Gambar 4: Autosomal dominant inheritence2


2) Mutasi spontan/ Penyakit Sekunder
Pada kasus yang sangat jarang, pada pasien yang tidak memiliki faktor risiko
dapat terjadi mutasi spontan sehingga mengalami penyakit mitokondria. Hal ini dapat
terjadi dikarenakan:
a. Umur; mitokondria bekerja lebih lambat dan tidak efektif sesuai dengan
bertambahnya umur.
4

b. Mengkonsumsi obat-obatan tertentu.


- Pengganggu fungsi rantai respirasi mitokondria: antibiotik (pierisidin A atau
antimisin A), obat anestesi, dan barbiturat, antineoplasma (flutamid,
-

tamoksifen, dan doksorubisin).


Pencegah produksi ATP: antibiotik (oligomisin), lokal anestesi, nonstreroial

anti-inflammatory (NSAIDs), antiaritmia (kuinidin)


Penghambat sintesis protein: kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin,

eperezolid, linezolid,dan aminoglikosida


Penurun transfer elektron: antikolesterol
Pengganggu jaras metabolisme lemak mitokondria: barbiturat
Peningkatan fungsi apoptosis: benzodiazepin
Pengganggu jaras fosforilasi oksidatif dan jaras metabolik lemak, penurun

membran potensial mitokondria: NSAIDs 3


c. Alkohol dan rokok yang dapat merusak mitokondria.
- Rokok atau tobako menyebabkan kerusakan folikel antral dan disfungsi
oosit melalui reactive oxidative stress (ROS). Karbon monoksida (CO) pada
tobako juga berikatan pada kelompok heme pada mitochondrial respiratory
chain (MRC) komplek IV (enzim yang berperan dalam penurunan molekul
oksigen pada air, dan memacu ROS). Tobako juga menurunkan mtDNA dan
-

menurunkan MRC komplek III. 3


Alkohol dapat menembus blood brain barrier (BBB) dan plasenta. Alkohol
dapat menyebabkan kematian janin. Konsumsi alkohol mengganggu redoks
seluler dan meningkatkan NADH/NAD+ sehingga membuat mitokondria
menjadi kelehan dimana mitokondria ssendiri beperan dalam memproses

NADH/NAD+.3
d. Gas beracun
- Nitric oxide (NO), sianida, hidrogen sulfida, dan CO menghambat MRC
komple IV yang akhirnya mengganggu konsumsi oksigen dan respirasi
seluler (proses perombakan molekul organik kompleks yang kaya akan
energi potensial menjadi produk limbah yang berenergi lebih rendah
<proses katabolik> pada tingkat seluler). Zat-zat ini juga meningkatkan
-

produksi ROS yang dapat menyebabkan preeklamsia pada kehamilan.


Pestisida dapat merusak mitokondria dengan menghambat aktivitas enzim
MRC komplek I dan juga meningkatkan produksi ROS.

2.4 Fisiologi dan Patofisiologi


Mitokondria merupakan organel subseluler membran ganda yang berperan dalam
produksi adenosine triphosphate (ATP) melalui proses oxidative phosphorylation
(OXPHOS). Mitokondria terdapat pada sitoplasma.3 Mitokondria terdiri atas 1.500 gen,
5

dimana 37 gen dikodekan oleh DNA mitokondria dan sisanya oleh DNA nuklear. 2
Electron transport chain (ETC) yang terdiri atas 80 polipeptida, yang dibagi menjadi 5
kelompok komplek protein transmembran, yakni I-V. Gradien proton diproses oleh
komplek I, III, dan IV yang dilepaskan melalui sintase ATP atau komplek V, yang
memfosforilasi adenosine diphosphate (ADP) menjadi ATP.1

Gambar 5: ETC4
Mitokondria juga dikenal dengan pusat signal metabolik sel, yang berperan dalam
berbagai fungsi biologi seperti regulasi apoptosis, mempertahankan homeostasis kalsium
sistosolik, biosintesis lemak, dan biogenesis sulfur besi1

serta produksi panas, dan

respirasi seluler.3
Peran mitokondria dalam fertilitas dapat diamati dalam in vitro. Dilaporkan
bahwa kegagalan sebesar 50% untuk fertilisasi in vitro akibat gangguan kromosom yang
secara langsung atau tidak langsung diakibatkan oleh gangguan fungsi mitokondria dan
produksi ROS. Cohen dkk melaporkan transfer ooplasma dari oosit donor muda ke oosit
nonfertil secara parsial mengembalikan kemampuan reproduksi pada oosit oopautik, dan
mereka beranggapan transfer mitokondria dapat mengembalikan fertilitas. Studi lain
menunjukan mtDNA (mitokondrial DNA) mempengaruhi kehidupan oosit dan fertilitas.
Maka dari itu, studi in vitro menyatakan mitokondria pada oosit berkontribusi dalam
keberhasilan fertilisasi dan perkembangan embrionik.3
Sprematozoa tidak menyediakan mitokondria pada embrio untuk ke depannya
dimana mitokondria pada spermatozoa hanya berfungsi dalam motilitas flagel dan
fertilitas untuk spermatozoa itu sendiri. Saat fetilisasi dan implantasi terjadi, aktivitas
mitokondria berperan dalam menyediakan energi dan metabolit untuk perkembangan
embrio. Blastokis dan sel embrio untuk kedepannya membutuhkan energi untuk
6

pembelahan sel, migrasi dan diferensiasi. Mitokondria berperan juga dalam apoptosis
pada sel-sel yang tidak berfungsi atau sel-sel penganggu. Adanya paparan toksik pada
mitokondria saat kehamilan tentu dapat mengganggu prose implantasi dan fertilisasi serta
perkembangan embrio dan kelahiran nantinya.3
Disfungsi atau penyakit mitokondria merupakan hal yang kompleks yang
memiliki tanda berupa

gangguan neurodegeneratif dan kardiovaskular, penyakit

neurometabolik, kanker, obesitas dan sebagainya. Studi terakhir berpendapat bahwa ada
hubungaan antara patogenik mutasi mtDNA, dan peranan dalam mengekspresikan
penyakit fenotip. Mekanisme pasti terjadinya gangguan atau peyakit mitokondria masih
belum dikeahui. 1
2.1.1 Genetik mitokondria
Genom mitokondria bertekstur padat, double standed, sirkular, 16569
pasang molekul panjang, terdiri atas 37 gen, yakni 13 polipeptida, 22 transfer
RNA (tRNA) dan 2 ribosomal gen RNA (rRNA). Protein yang digunakan
mitokondria berasal dari pengkodean nuklear, dimana diubah dan disusun menjadi
setiap kompartemen mitokondria. Karakteritik unik mtDNA dibanding DNA
nuklear (nuDNA) adalah adanya cetakan multipel pada satu sel, mode maternal
keturunan, dan tidak adanya intron (urutan nukleotida yang terdapat dalam gen
anara ekson). Laju mutasi mtDNA jauh lebih cepat dibanding nuDNA,
dikarenakan sangat sedikit urutan non koding dan yang paling penting adalah
keberadaanya pada daerah lingkungan yang kaya akan reactive oxydative stress
(ROS) pada membran dalam mitokondria.

ROS dapat menginduksi proses

oksidatif yang dapat menyebabkan mutasi mtDNA dimana sebenarnya ROS


bertambah sesuai dengan umur akibat penumpukan yang berkelanjutan.5
Keberadaan cetakan multipel mtDNA pada setiap sel (1000-100.000)
mengakibatkan tipe ganas dan molekul mtDNA mutan dapat bertahan, yang
dikenal dengan heteroplasmi (cetakan mtDNA tidak identik secara keseluruhan).
Hampir semua mutasi berperan dalam ekspresi penyakit fenotip pada kondisi
heteroplasmik. Beberapa yang terecuali, seperti Leber hereditary optic neuropathy
(LHON), dimana mutasi paling banyak terjadi pada keadaan homoplasmik
(cetakan mtDNA identik secara keseluruhan). Diperlukan 50-60% mtDNA
menajdi ganas untuk menyebabkan ekspresi penyakit fenotip yang mengakibatkan
kerusakan biokimia sel. Untuk mutasi tRNA, dibutuhkan tingkat treshold >90%.1

Gambar 6: Sel di kiri atas adalah heteroplasmik seperti yang ditunjukkan oleh mitocondria normal
(ungu) dan mitokondria dengan mutasi mtDNA (merah) .Karena ini sel membelah , mitokondria
bereplikasi dan secara independen ke sel anak . Hal ini menyebabkan dua-duanya positif atau
negatif homoplasmy (warna merah kanan)6

Transmisi penyakit yang menghasilkan mtDNA dari ibu heteroplasmik


kepada anak menunjukan variabilitas genetik dan fenotip antar saudara anak
sehingga memungkinkan ibu hamil yang terdiagnosa penyakit mitokondria dapat
melahirkan anak dari yang tidak terpengaruh hingga sangat terpengaruh. Hal ini
dikenal sebagai the bottleneck (penurunan jumlah mtDNA molekul)

dimana

timbul pada saat proses oogenesis. 1

2.1.2

Gambar 7: Mitochondrial genetic bottleneck1


Penyakit dan Mutasi DNA mitokondria
Terdapat 300 mutasi yang telah dilaporkan saat ini dimana sebagai
penyebab penyakit mitokondria. Patologi mitokondria menunjukan kegagalan
mitokondria daam menghasilkan ATP yang mengakibatkan gangguan multisitemik
8

organ.

Mutasi mtDNA pada protein pada sistem OXPHOS, menyebabkan

defisiensi biokimia. Mutasi rRNA dan tRNA juga mempengaruhi mitokondria


dimana mengganggu proses translasi mitokondria, dikarenakan tidak terdapat
RNA. Sulit untuk membedakan antara mtDNA normal dan mutasi yang sebagai
penyebab penyakit. Sampai sekarang telah ditemukan 120 jenis berbeda mtDNA
deletion yang dapat menyebabkan beberapa jenis penaykit. Deletion ini selalu
heteroplasmik dan sporadik yang tidak ditransisikan melalui kehamilan. Sindrom
Pearson, sindrom Kearns-Sayre syndrome (KS) dan optalmoplegia eksternal
progresif kronik (CPEO) merupakan fenotip klinis yang berhubungan dengan
sporadik tunggal mtDNA deletion. Multiple deletion sering ditemukan pada
2.1.3

mutasi nuDNA. 1
Mutasi DNA nukleus pada penyakit mitokondria
Mitokondria terdiri atas lebih dari 1.500 protein yang bervariasi. Mutasi
DNA nukleus diakibatkan mutasi nuDNA dan mtDNA yang berpengaruh dalam
penyakit dan gangguan mitokondria. Kebanyakan gangguan pada gen nukleus
menyebabkan gangguan mitokondria dengan mengganggu struktur dan fungsi
genom mitokondria. Penyakit yang mengenai gen nukleus umumnya yang
berperan dalam perbaikan (correction), ekspresi, dan menggandakan (duplication)
jumlah mtDNA, seperti POLG (promoter of growth protein) 1 yang mengkodekan
subunit katalitik, POLG2 untuk subunit aksesori gama polimerase mitokondria,
dan kinase tidin 2 (TK2). Gen nuklear yang lain yang menyebabkan penyakit pada
transport dan sintesis nukleus, seperti SLC25A4 (solute carrier family 25 member
4) yang mengkode adenine nucleotide translocator 1 (ANT1) yang berguna untuk
membawa ATP dari matriks mitokondria dan mengimpor ADP ke matriks; dan
RRM2B (ribonucleotide reductase regulatory TP53 inducible subunit M2B) yang
mengkode subunit p53-inducible ribonucleotide redutase protein yang berfungsi
untuk menjaga keseimbangan mitochondrial deoxyribonucleoside triphosphates
(dNTP) pool. 1
Mutasi SURF1, SCO1, SCO2, dan COX10 telah dilaporkan berperan
dalam sindrom Leigh (LS) dan kematian kardiomiopati infantil dengan defisit
otot dalam jumlah besar pada skeletal dan jantung. Gen translasi mitokondria
seperti mitochondrial aminocyl tRNA synthetase (AARs), DARS2 (aspartyl-tRNA
synthetase 2), RARS2 (arginyl-tRNA synthetase 2), EARS2 (glutamyl-tRNA
synthetase 2), YaARS2, HARS2 (histidyl-TRNA synthetase 2), AARS2 (alanylTRNA synthetase 2) juga berhubungan dengan LS. 1
9

2.5 Jenis-Jenis Penyakit Mitokondria

Mitochondrial encephalopathy with lactic acidosis and stroke-like episodes


(MELAS)
Definisi
MELAS didefinisikan secara klinis dnegan adanya strok sebelum umur
40 tahun, ensefalopati yang dicirikan dengan demensia, kejang, atau
keduanya, dan adanya disfungsi mitokondria dengan RRF, asidosis laktat,
atau keduanya. Strok ini umumnya menyebabkan hemianopia atau kebutaan
kortikal. Gejala klinis yang lain seperti muntah berulang, kelemahan
ekstremitas, intoleran aktivitas, nyeri kepala migrain, dan perawakan pendek.
Keluarga dengan MELAS umumnya tidak bergejala atau hanya sedikit
gejalanya. Pada pemeriksaan CT scan, didapatkan kerusakan otak tanpa ada

sangkut pautnya dengan pembuluh darah arteri. 7


Genetik
MELAS berhubungan dngn mutasi heteroplasmik

pada

gen

tRNAleu(UUR) MTTL1. Beberapa mutasi dalam jumlah sedikit ditemukan pada

komplek I dan IV, paling terlihat pada ND5. 7


Morfologi
Adanya RRF dengan adanya aktivitas COX dan juga adanya SDH-

poitive vessels (SSV). 7


Diagnostik molekuler
Dari 29 mutasi telah ditemukan berhubungan dengan MELAS. Mutasi
m.3243A>G sering ditemukan sekitar 80% pada MELAS. 7

Myoclonic epilepsy with ragged red fibers (MERRF)


Definisi
MERRF dicirikan dengan adanya mioklonus, ataksia, kejang umum,
dan miopati dengan Ragged Red Fibers (RRF). Onset biasanya pada anakanak. Gejala klinis yang lain adalah penurunan pendengaran, neuropati,
perawakan

pendek,

demensia,

dan

atrofi

optik.

Riwayat

keluarga

berhubungan dengan maternal inheritence, namun anggota keluarga bisa saja


tidak bergejala atau gejala minimmal. Pada pemeriksaan patologi, didapatkan
hilangnya neuron pada nukleus dentata dan loivari inferior, menyebarnya
gliosis pada substansia alba batang otak dan otak kecil, dan degenrasi

kolumna posterior sumsum tulang belakang. 7


Genetik
Kebanyakan pasien dengan MERFF

mengalami

mutasi

pada

heteroplastik pada gen MTTK. 7


Morfologi
10

Adanya RRF. Banyak serat COX negatif. 7


Diagnostik Molekuler
Transisi m.8344A>G terdeteksi sekitar 80% dari pasien MERRF. 7

Neuropathy, ataxia and retinitis pigmentosa (NARP); maternally inherited


Leigh syndrome (MILS)
Definisi
NARP dicirikan dengan adanya keterlambatan dalam perkembangan,
kejang, kelemahan otot neurogenik proksimal, ataksia, demensi, neuropati
sensorik, dan pigmentosa retinitis. MILS merupakan ensefalopati degeneratif
multisistem dengan onset pada infan yang dicirikan dengan hipotonia,
mioklonus,

disfungsi

batang

otak,

neuropati

perifer,

keterlambatan

perkembangan, regresi psikomotor, ataksia, kejang, dan atrofi optik.


Diagnosis dapat ditegakan dengan adanya penemua patologis fokus nekrotik
simetrik pada talamus, ganglia basal, batang otak, dan nukleus dentata.

Pigmentosa retinitis ditemukan 50% pada pasien MILS. 7


Genetik
NARP berhubungan dengan mutasi gen ATPase 6 (MTATP6; subunit 6
kompleks V). Ketika proporsi mitokondria dengan mutasi NARP sangat

tinggi (>90%), fenotip klinis bukan NARP, melainkan MILS. 7


Morfologi
Tidak ada RRF, namu pada mikroskop elektron pada biopsi otot
ditemukan agregasi subsarkolemal mitokondria dan mitokondria okasional
dengan krista abnormaal. Fiber otot COX positif, namun bagian fiber bisa

saja negatif atau kurangnya ATPase mitokondria. 7


Diagnostik Molekuler
Pada MILS atau NARP ditemukan mutasi pada m.8993T>G dan
m.8993T>C. 7

Leber hereditary optic neuropathy (LHON)


Definisi
LHON merupakan bentuk maaternally-inherited yang menyebabkan
kebutaandikarenakan neuropati optik, dengan onset dekade kedua sampai
ketiga kehidupan. Hilangnya penglihatan dimulai dari paangan sentral, yang
diawali dengan satu mata yang kemudian meyerang kedua mata. Pasien

sering mengalami telangekstasis peripapilari. 7


Genetik
Tiga poin mutasi pada komplek I leih sering terkena dan sangat kuat
diduga berhubungan dengan fenotip LHON. Terapat juga mutasi spontan juga

11

berhubungan dengan LHON, tetapi hal ini mungkin berinteraksi dengan

mutasi mtDNA yang lain. 7


Morfologi
Biopsi otot menunjukan hasil normal. Pewarnaan Ragged Red Fibers

(RRF) tidak bermakna. 7


Diagnostik molekuler
PCR-RFLP pada DNA darah menunjukan 3 mutasi primer LHON
(m.3460G>A MTND1 <45-91%>, m.11778G>A MTND4, dan m.14484T>C
MTND6). PCR-RFLP memiliki false positive sebesar 2-7%.7

Chronic progressive external ophthalmoplegia (CPEO)


Definisi
CPEO dicirikan dengan adanya kelemahan otot ekstraokular dengan
ptosis pada anak-anak dan remaja, dan sering disertai klemahan ekstremitas.
CPEO juga berhubungan dengan gangguan multisistem yang dikenal dengan
KSS. Sebesar 20% pasien CPEO positif riwayat keluarganya dengan
maternal inheritance. 7

Genetik
Mutasi poin pada jumlah gen tRNA berhubungan dengan CPEO. 7
Morfologi
Adanya RRF, dimana COX-negatif lebih sering ditemukan dibanding

positif.7
Diagnostik molekuler
Adanya mutasi m.3243A>G.7
Kearns-Sayre syndrome (KSS)
Definisi
KSS didefinisikan sebagai trias invarian PEO, retinopati pigmen, dan
onset sebelum usia 20 tahun dengan gejala seperti ataksia, blok konduksi
jantung, dan CSF protein > 100

mg/dL. Gejala lain seperti kelemahan

anggota gerak proksimal, disfungsi tubular renal, hilangnya pendengaran, dan

endokrinopati (diabetes melitus dan hipoparatiroid). 7


Genetik
KSS didiagnosis dengan adanya single large-scale rearrangement of
mtDNA yang diobservasi pada analisa Southern blot hybridization dari DNA

otot. 7
Morfologi
Adanya RRF dimana paling banyak dengan COX negatif. 7
Diagnostik Molekuler
Southern blot atau long range PCR untuk mendeteksi mtDNA
rearrangement.7
12

Pearsons marrow syndrome


Definisi
Pearsons marrow syndrome merupakan delesi dan duplikasi mtDNA
pada hematopoetik sel. Penyakit ini dimulai saat infan atau anak-anak dengan
anemia sideroblastik dan disfungsi eksokrin pankreas. Pasien dengan sindrom
ini dapat menjadi KSS. 7

Genetik
Pearsons marrow syndrome didiagnosa dengan adannya single largescale rearrangement of mtDNA, yang dapat diobservasi dengan Southern blot

hybridization dari DNA darah. 7


Morfologi
Tidak ditemukan kelainan morfologi otot. 7
Diagnostik Molekuler
Southern blot atau long range PCR untuk mendeteksi mtDNA
rearrangement.7

Tabel 1: Penyakit mitokondria dan mutasi

2.6 Gejala dan Tanda Klinis


Gejala dan tanda dari penyakit mitokondria sangat bervariasi sehingga diagnosis
terkadang sulit dibuat. Umumnya level gejala penyakit mitokondria berat dikarenakan
penyakit genetik dan biokimia dapat datang secara bersamaan. 1 Mitokondria apabila
gagal bekerja mengakibatkan sel pada organ tertentu tergnggu fungsinya. 2 Gejala yang
dapat ditemukan sesuai organ yang terkena, seperti: 1
13

1) Visual: Renitis pigmentosa, ptosis, penurunan tajam penglihatan progresif (LHON),


atrofi, neuropati optik.
2) Auditori: tuli sensorineural
3) Muskular: kelemahan, intoleransi akivitas, disfagia, disartria
4) Neurologi: kejang, migrain, ataksia defisit lokal
5) Jantung: kardiomiopati, aritmia, blok konduksi
6) Gastrointestinal: konstipasi, pseudo-obstruksi
7) Endokrin: diabetes, perawakan pendek, hipoparatiroid
8) Ginjal: asidosis tubular renal, sindrom Fanconi, glomerulonefritis
9) Hati: kerusakan hati1
10) Organ reproduksi: infertilitas, lahir prematur, stillbirth, intrauterine growth
restriction (IUGR), dan kematian infan.

Gambar 2: Kerusakan organ akibat penyakit mitokondria1

Tabel 3: Presentasi Klinis Sindrom Mitokondria1

14

2.7 Diagnosis
Semua pasien disarankan dilakukan computed tomografi (CT), elektrokardiografi
(EKG) dan elektromiografi (EMG). CT scan dilakukan pada keadaan awal untuk
menyingkirkan peningkatan intrakranial pada pasien datang dengan kejang atau
ensefalopati. Pada CT scan dapat ditemukan juga kalsifikasi bangsal ganglia yang umum
ditemukan pada penyakit mitokondria. Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan
perubahan pola denyut jantung. Pada EMG dapat ditemukan neuropati sensorimotor
perifer. Magnetic resonance tomography (MRI) jarang digunakan namun MRI dapat
megidentifikasi pasien dengan fenotip sindrom, seperti hipodens simetris pada brainsem,
talamus, dan basal ganglia pada penyakit Leigh; asimetrik dan multifokal yang ditemukan
pada lobus oksipital dan parietal dapat ditemukan pada ensefalopati mitokondrial,
asidosis laktat, dengan stroke like episodes (MELAS). Abnormalitas pada substansia alba
dapat

ditemukan

pada

sindrom

Kearns-Sayre

(KSS)

atau

ensefalopati

neurogastrointestinal mitokondria (MNGIE). Pada MRI dapat ditemukan intensitas sinyal

15

abnormal pada brainstem dan nukleus subtentorial dengan peningkatan laktat yang
ditemukan pada defisensi MTC kompleks I. 1
Sindrom Leigh --> hipodens simetris pada brainsem,
talamus, dan basal ganglia
MELA S --> asimetrik dan multifokal yang ditemukan pada
lobus oksipital dan parietal
KSS --> Abnormalitas pada substansia alba
MNGIE --> ensefalopati neurogastrointestinal mitokondria

Pemeriksaan biokimia standar dari darah dapat memberikan arti yang cukup
bermakna. Tes biokimia antara lain laktat, piruvat, creatinine kinase (CK), hitung darah
lengkap, fungsi tiroid dan hati, kimia tulang, dan gula darah sewaktu. CK, laktat dan
piruvat pada umumnya meningkat. 1
Biopsi otot skeletal dibutuhkan untuk menganalisa kerusakan OXPHOS. Pewarnaan
hematoxylin dan Eoin (HE) digunakan untuk pemeriksaan histologi. Pewarnaan ini dapat
membedakan jenis jaringan dan perubahan morfologi dan struktural. Pewarnaan Ragged
Red Fibers (RRF) dengan modified gomorie trichrome (MGT) secara umum
mengindikasikan

akumulasi

abnormal

subsarkolemal

mitokondria.

Succint

dehydrogenase (SDH) digunakan untuk mengidentifikasi gangguan kompleks II, dn tidak


berefek pada mutasi mtDNA. Adanya cytochrome c oxidase (COX) dengan tidak adanya
fiber menunjukkan kurangnya aktivitas komplek IV dan dapat disimpulkan disfungsi
mitokondria. Kurangnya aktivitas COX pada otot menunjukan mutasi pada nuDNA yang
mengkode subunit COX atau faktor COX, seperti SURF1, SCO2, etc. Pasien dengan
mutasi MT-tRNA atau deletion dalam jumlah besar juga menunjukkan penurunan akivitas
COX. Meskipun pada pemeriksaan mikroskop elektron ditemukan perubahan pada
mitokondria, perlu pemeriksaan lain untuk menegakan diagnosis. Beberapa jenis penyakit
mitokondria seperti LHON, neuropati, ataksia dan pigmentoa rinitis (NARP) dan
maternally inherited Leigh Syndrome (MILS) akibat mutasi mtDNA, tidak menunjukan
kelainan pada histopatologi. Aktivitas enzim untuk komplek rantai respiratori dapat
dinilai dengan mengisolasi mitokondria dari jaringan atau kultur sel dengan
spektrofotometri. 1

16

Gambar 8: potongan jaringan menunjukan hasil abnormal dari penyakit mitokondria. (a) pewarnaan HE;
(B) Fiber merah pada MGT menunjukan akumulasi subsarkolemal abnormal mitokondria; (C) fiber merah
biru pada pewarnaan SDH menunjukkan bertambahnya jumlah mitokondria; (D) pewarnaan COX
menunjukkan tidak adany aenzim rantai respiratori; (E dan F) mikroskop elektron menunjukan pembesaran
kecil dan besar mitokondria dengan menggunakan parakristalin. 1

Investigsi genetik pada pasien dengan penyakit mitokondria harus didahului dengan
pemeriksaan klinis, biokimia dan histopatologi. Walaupun pemeriksaan mutasi dapat
dilakukan dari darah, tetap perlu dipastikan dengan otot skeletal untuk mendeteksi mutasi
mtDNA. Rearrangements mtDNA biasanya terdeteksi dengan Southern hybridization dan
long range PCR. Multipel deletion ditemukan pada kerusakan pada gen nukleus yang
berfungsi sebagi replikasi dan mempertahankan mtDNA. Penurunan mtDNA dapat
terdeteksi dengn real-time PCR, dimana dapat mengedentifikasi mutasi gen nuklear,
khususnya infan dengan miopati atau fenotip hepatoserebral. 1
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yakni pungsi lumbal untuk menganalisa CSF,
ekokardiogram (Echo) untuk melihat otot jantung, elektroensefalogram (EEG) untuk
menilai aktivitas otak untuk menyingkirkan kejang, tes fungsi paru atau sfirometri unuk
menilai fungsi paru.

2.8 Tatalaksana
Tidak ada pengobatan pasti untuk gangguan mitokondria, dimana tatalaksana sampai
sekarang

hanya berupa simtomatik. Sangat jarang pembedahan dan transplan


17

memberikan dampak positif. Tatalaksana pada pasien dengan penyakit mitokondria


terbagi menjadi tiga, yakni konseling, terapi suportif, dan terapi farmakologi. 1

Konseling
Tatalaksa
na

Suportif
Farmakolo
gi

1) Konseling genetik dan diagnosis prenatal


Gejala dan tanda klinis serta penemuan genetik heterogenik merupakan tanda
khas untuk penyakit mtDNA. Sebagai contoh, mutasi A3243G pada tRNA leucine
beperan dalam pasien dengan fenotip klinis yang berat, dan juga ditemukan pada
pasien yang asimptomatik, gejala ringan seperti tuli dengan diabetes, kardiomiopati
atau ensefalopati berat dengan kematian pada usia muda. Manifestasi gejala klinis ini
sesuai dengan mtDNA mutasi pada jaringan yang telah bermitosis, akan tetapi,
prognosis tergantung dari tes darah, baik itu meningkat atau menurun. Faktor nukleus
dan lingkungan juga berperan dalam mempengaruhi ekspresi kerusakan mtDNA. 1
Disarankan untuk melakukan pemeriksaan gen dalam keluarga yang berisiko tinggi. 2
Diagnosis penyakit mitokondria pada prenatal belum ada kepastian dikarenakan
kompleksitas dari transmisi mtDNA. Pemeriksaan chorionic villus sampling (CVS)
belum dapat dijadikan patokan dikarenakan perbedaan mtDNA mutasi pada CVS dan
fetus. Diagnosis genetik prenatal telah berhasil ditemukan pada sebagian kecil mutasi
poin mtDNA, seperti T8993G yang menyebabkan NARP dan A3243G untuk
MELAS pada risiko tinggi dalam keluarga. Diagnosis genetik pre-implantasi (PDG)
secara umum dapat mengeliminasi risiko anak yang tekena dengan memilih embrio
dengan 0% mutasi. 1

2) Terapi suportif
a. Olahraga
Olahraga disarankan untuk dilakukan dikarenakan dapat meningkatkan
kapasitas fisik dan kualitas hidup pasien dengan meningkatkan fungsi
mitokondria, dan menurunkan beban pada mitokondria yang tidak normal.
Beberapa studi menyatakan bahwa dengan adanya olahraga, maka dapat

18

meningkatkan aktivitas OXPHOS dan juga menghambat progesivitas pada COX


10 (protein coding gene), meningkatkan ATP, dan memperbaiki harapan hidup.1

Gambar: Peran aktivitas fisik bagi penderita penyakit mitokondria1


b. Diet
Kebutuhan kalori pada pasien dengan penyakit mitokondria kebanyakan
terganggu dibanding individu normal. Mengoptimalisasi kuantitas dan kualitas
kalori terbukti menjaga kesehatan pasien. Diet ketogenik (KD) merupakan diet
dengan tinggi lemak dan rendah gula yang menstimulasi penggunaan lipid
dengan oksidasi beta mitokondria dan prosuksi keton pada liver. KD sebenarnya
telah digunakan pada pasien anak kejang dimana resisten terhadap obat
antiepilepsi (AEDs). Penggunaan KD terbukti dalam memperbaiki metabolisme
energi otak dengan meningkatkan biognesis mitokondria, menghambat produksi
ROS, meningkatkan interaksi glia neuron dan konsentrasi ATP. Studi pada tikus
dengan miopati late onset, KD menginduksi biogenesis mitokondria,
menunjukan melambatnya progesi penyakit dan menurunkan fiber otot negatif
COX. 1
3) Terapi farmakologi
a. Koenzim Q10
Koenzim Q10 (CoQ10) yang juga dikenal ubikuinon, telah lama
digunakan dikarenakan efek samping yang sangat minimal, bahkan dalam
penggunaan dosis yang besar. CoQ10 memiliki dua efek, yakni berperan sebagai
komponen rantai respiratori dan penangkal ROS. Studi kohort mengenai hal ini
masih belum ada.1 Pasien dengan penurunan kadar CoQ10 dianjurkan untuk
diberikan CoQ10 dengan dosis 300-2.400 mg/ hari. 8
b. Kreatin
Sebagai tambahan untuk CoQ10, kreatin digunakan sebagai peningkat
energi (energy booster) untuk pengobatan penyakit mitokondria. Pada studi
kontrol acak pada pasien dewasa dengan sitopati mitokondria menunjukan hasil
positif dengan pemberian 2 x 5 gr per hari selama 2 minggu diikuti 2 x 2 gr
dalam 1 minggu. Studi mengeksplorasi efek kedua zat ini memiliki mekanisme
yang berbeda, seperti CoQ10 dan kreatin meningkatkan produksi ATP, CoQ10
dan asam lipoik mengurangi ROS, sedangkan kreatin sendiri hanya sebagai
alternatif sumber energi. 1
19

c. L-Arginin
Pemberian intravena L-arginin dengan dosis 500 mg/kg/dosis menurunkan
risisko stroke like symptoms, meningkatkan dinamika mikrosirkulasi, dan
menurunkan kerusakan jaringan dari iskemia dengan pasien MELAS. Studi
besar menyatakan bahwa dengan pemberian profilaksis berupa L-arginin dengan
dosis 150-300 mg/kg/hari dapat menurunkan risiko strok pada MELAS. 1
d. Karnitin
Karnitin berperan penting dalam oksidasi asam lemak dan esterifikasi
asam lemak dengan memindahkan rantai panjang melalui membran dalam
mitokondria sebagai ester karnitin asil. Ester ini kemudian memasuki siklus
krebs yang dapat menghasilkan ATP melalui melalui fosforilasi oksidatif. Pasien
dengan penyakit mitokondria umumnya memiliki kadar L-kartinin yang rendah.s
L-karnitin sebaiknya dikombinasi denga asam valproat untuk mencegah uptake
karnitin atau dikombinasi dengan CoQ10. 1
e. Dikloroasetat
Dikloroasetat (DCA) lebih spesifik dalam menurunkan asam lakat. DCA
mengaktivasi kompleks dehidrogenase piruvat dengan menghambat aktivitas
kinase dehidrogenase piruvat, yang secara normal difosforilasi dan dihambat
dengan enzim. DCA memiliki kemampuan

dalam menjaga komplek

dehidrogenase piruvat dalam keadaan aktif dimana menurunkan akumulasi laktat


pada jaringan tubuh. Pada trial klinis kontrol, penggunaan 25 mg/kg/hari DCA
pada MELAS memberikan toksik pada saraf sehigga tidak menjadi indikasi
pemberian lagi.1
f. Idebenon
Idebenon meupakan analog koenzim Q yang memfasilitasi transfer elektron.
Idebenon menjadi obat pasien LHON. Penggunaan idebenon meningkatkan
akivitas komplek I. Pada trial kontro acak, pemberian idebenon pada LHON
memberikan dampak positif pada tajam penglihatan dan penyembuhan visual.
Dosis: 3 x 45 mg yang ditingkatkan 135 mg/2 hari hingga pada hari ke-6
menjadi 3 x 135 mg selama 3 bulan. 1
Tabel 4: Farmakologi Penyakit Mitokondria8

20

21

2.9 Prognosis
Prognosis pasien dengan penyakit mitokondria tergantung dari kerusakan organ yang
dialami. Banyak orang hidup dengan normal apabila gejala tidak berat dan terapi berupa
suportif dan farmakologi dapat berjalan dengan lancar.

22

BAB III
KESIMPULAN
Penyakit mitokondria berhubungan dengan jumlah besar gangguan dan presentasi
klinis heterogenus, seperti gangguan neuromuskular, penyakit kardiovaskular, sindrom
metabolik, kanker, obesitas, dan sebagainya. Penyakit mitokondria sangat penting dalam
proses fertilisasi, perkembangan embrio dan juga perkembangan janin, hingga neonatus
dan seterusnya. Penyakit mitokondria merupakan penyakit yang komplek dan sulit untuk
didiagnosa dan ditatalaksana. Pasien dengan kecurigaan penyakit mitokondria, perlu
pendekatan secara klinis, histopatologi, biokimia dan genetik, manegemen dan
tatalaksana. Diagnosis dan tatalaksana yang cepat dan tepat memberikan hasil prognosis
yang lebih baik. Tatalaksana pasien dengan penyakit mitokondria belum ada yang efektif,
namun tatalaksana berupa konseling yang dikombinasi dengan farmakologi diharapkan
dapat membantu.

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Khan NA, Govindaraj P, Meena AK, Thangaraj K. Mitochondrial disorders: Challenges
in Diagnosis & Treatment. Indian Journa Medicine Res 141, Januari 2015. India. Hal: 1326
2. Bainbridge L, Tarnopolsky M. Understanding and Coping with Mitochondrial Disease.
Hamilton Health Siences. Amerika. 2010
3. Moren C, Hernandez S, Mapel MG, Garrabou G. Mitochondrial Toxicity in Human
Pregnancy: An Update on Clinical and Experimental Approaches in the Last 10 Years.
Amerika: Int J Environ Res Public Health. 2014; 11(9): 9897-9918.
4. Zhunussova A, Sen B, Friedman L. Mitochondria: from bioenergetics to the metabolic
regulation of carcinogenesis. England. Frontiers in Bioscience. 2016.
5. Shokolenko I, Venediktova N, Bochkareva A, Wilson GL, Alexeyev MF. Oxidative stress
induces degradation of mitochondrial DNA. Amerika: Pubmed. 2009; 37 (8): 2539-48.
6. Dimauro S, Davidzon G.Mitochondrial DNA and disease. Amerika. Annals of Medicine.
2016. 37: 222232.
7. DiMauro S, Hirano M, Naini AB, Tanji K, Schon EA, Nagy PI. The Diagnosis of
Mitochondrial Disease. Kolumbia: Columbia University Medical Center. 2015.
8. Parikh S, Saneto R, Falk MJ, Anselm I, Cohen BH, Haas R. A modern Approach to the
treatment of Mitochondrial Disease. Amerika: Current Treat Options Neurology. 2009. 11
(6): 414-30.

24

Anda mungkin juga menyukai