PENDAHULUAN
Mitokondria merupakan salah satu komponen di dalam sel yang penting untuk
berbagai proses seluler. Salah satu mekanisme penting yang dilakukan mitokondria adalah
fosforilasi oksidatif. Fosforilasi oksidatif ini bertujuan untukk memproduksi energi seluler
dalam bentuk adenosine trifosfat (ATP). Gangguan yang terjadi pada mitokondria akan
berupa sekelompok penyakit heterogen yang biasanya bermanifestasi pada jaringan yang
membutuhkan energi tinggi seperti otot, otak, jantung, dan saraf, sehingga disebut dengan
mitochondrial encephalomyopathies (Selim, 2013).
Penyakit mitokondria pada anak semakin diakui keberadaannya. Penyakit ini telah
dilaporkan sebagai penyakit neurometabolik paling sering yang dapat diturunkan pada
populasi berbeda di Inggris. Prevalensi penyakit yang sebenarnya sulit dipastikan,
mengingat penyakit mitokondrial jarang dilaporkan. Akan tetapi, bukti epidemiologis
menunjukkan sebuah prevalensi 1 dari 7.634 kelahiran hidup dan resiko seumur hidup
mengalami penyakit mitokondria sekitar 1 dari 5.000. Mutasi individual dilaporkan berada
pada frekuensi karier lebih tinggi, mendekati 1 dari 400, namun hanya sebagian kecil dari
individu tersebut akan mengalami penyakit tersebut (Kisler, 2010).
Bidang kedokteran mitokondria baru saja berkembang dalam 25 tahun terakhir. Para
dokter memiliki keterbatasan bukti dalam membuat formulasi keputusan klinis mengenai
diagnosis, terapi, dan manajemen keseharian pasien. Penyakit ini pun masih kekurangan
penanda yang cukup sensitif dan spesifik. Hal ini dapat dikarenakan penyakit tersebut
tergolong penyakit yang jarang sehingga pembiayaan untuk studi terbatas (Parikh, 2014;
Parikh, 2009). Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai penyakit mitokondria pada anak,
khususnya ensefalopati mitokondria.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mitokondria
Mitokondria adalah suatu organel yang terdapat pada semua sel berinti dan
merupakan pembentuk utama ATP melalui reaksi oxidative phosphorylation (OXPHOS).
Proses ini melibatkan tahapan transfer elektron pada rantai respirasi (kompleks IIV) dan
ATP synthase (kompleks V). Mitokondria mempunyai DNA sendiri, namun organel ini
bekerja di bawah kendali genetik dari DNA inti maupun dari genome mitokondria (Chial,
2008; Solano, 2001).
DNA mitokondria (mtDNA) merupakan molekul dengan ukuran 16,569-kb berbentuk
sirkuler, double-stranded, yang mengandung 37 gen: 2 gen rRNA, 22 gen tRNA, dan 13 gen
structural yang mengkode protein enzim yang bekerja pada respiratory chain (OXPHOS) di
mitokondria, Rantai respirasi ini merupakan tahap akhir dari metabolism oksidatif dan
terbentuknya ATP (Chial, 2008; Solano, 2001).
dengan mutasi
pada mtDNA dibagi menjadi dua kelompok besar: 1) kelompok gangguan yang disebabkan
oleh mutasi pada gen yang terlibat pada sintesis protein (sindrom deplesi DNA mitokondria),
dan 2) kelompok gangguan yang disebabkan mutasi pada gen yang mengkode protein
individual yang terlibat dalam respiratory chain (sindrom delesi DNA mitokondria) (Chial,
2008; Solano, 2001; Reeve, 2008). Sindroma delesi mtDNA lebih bermanifestasi pada
dewasa, sedangkan sindrom deplesi mtDNA biasanya terjadi pada anak, dengan
karakteristik keterlibatan satu organ saja atau multisistem (Bonnen, 2013). Pembagiannya
adalah sebagai berikut
TIPE
MUTASI
Delesi tunggal
Mutasi yang
mempengaruh
i sintesis
protein
mitokondria in
vivo
Mutasi tRNA
Gen ND
KLINIS
BIOKIMIAWI
KSS
Penurunan I, III, IV
PEO
Penurunan I, III, IV
PS
MELAS
Penurunan I, III, IV
MERRF &
multisitem
lain
Penurunan I, III, IV
Miopati
Penurunan I, III, IV
LHON
Penurunan I (+/-)
Mutasi pada
gen pengkode
protein
Cyt b
Gen COX
Gen ATPase 6
MELAS, LS
Penurunan I
Miopati
Penurunan I
Multisitem
Penurunan III
Miopati
Penurunan III
Multisistem
Penurunan IV
Miopati
Penurunan IV
NARP/MILS
Penurunan V
Studi tentang mutasi DNA mitokondria masih dilakukan untuk lebih memperjelas
etiologi dari penyakit mitokondria ini. Bonnen et al pada tahun 2013 menemukan mutasi
FBXL4 pada anak yang datang dengan ensefalopati, asidosis lakat, dan deplesi mtDNA
berat pada ototnya. Mereka menunjukkan bahwa FBXL4 merupakan protein F-box yang
terletak berdekatan dengan mitokondria dan mutasi serta hilangnya fungsi dari protein ini
menyebabkan defisiensi rantai respiratori berat, hilangnya potensi membran mitokondria,
dan gangguan jaringan mitokondria dinamis serta distribusi nukleoid pada fibroblas. Mereka
menyimpulkan bahwa FBXL4 merupakan penyebab penyakit dan menetapkannya sebagai
protein mitokondria dengan kemungkinan peran dalam mempertahankan integritas dan
stabilitas mtDNA (Bonnen, 2013)
2.3 Diagnosis
Tidak ada parameter praktis berbasis konsensus yang dapat digunakan untuk klinis
untuk membuat diagnosis atau memberikan terapi pada pasien terkait penyakit mitokondria.
Kebanyakan ahli kedokteran mitokondria menggunakan sebuah pedoman yang didasarkan
pada konsep teoritis, rekomendasi yang terbatas, dan pengalaman pribadi. Variabilitas
terjadi pada pendekatan diagnostik yang digunakan, luasnya pemeriksaan penunjang,
interpretasi hasil, dan bukti penegakan diagnosis penyakit mitokondria tersebut (Parikh,
2014).
Sindroma ensefalopati mitokondria, asidosis laktat, dan episode seperti stroke
(MELAS) adalah salah satu penyakit mitokondria paling sering yang ditemukan pertama
pada tahun 1984. Pada tahun 1992, kriteria diagnostik klinis untuk sindrom MELAS meliputi
episode stroke sebelum usia 40 tahun, ensefalopati iyang ditandai dengan kejang dan/atau
demensia, dan bukti miopati mitokondria yaitu asidosis laktat dan/atau ragged-red fibers
(RRF). Diagnosis dapat diterima jika juga terdapat minimal dua dari kriteria berikut,
perkembangan psikomotor awal normal, nyeri kepala rekuren, dan episode muntah rekuren.
Lebih terkini, komite kelompokk studi MELAS di Jepang menerbitkan kriteria diagnosis lain
yaitu kriteria definitif dengan minimal dua kriteria kategori A (nyeri kepala dengan muntah,
kejang, hemiplegia, buta kortikal, dan lesi fokal akut pada pencitraan neurologi) dan dua
kriteria kategori B (kadar laktat plasma atau cairan serebrospinal tinggi, abnormalitas
mitokondrial pada biopsi otot, dan mutasi gen terkait MELAS) (Yatsuga, 2012; El-Hattab,
2015).
Peda
prinsipnya,
penurunan
produksi
ATP
akibat
gangguan
mitokondria
menyebabkan gejala klinis. Beberapa studi telah menunjukkan manifestasi klinis pada
pasien dengan penyakit mitokondria yang mendukung istilah semua jaringan dan semua
tanda pada semua usia. Akan tetapi, bayi dan anak-anak dengan penyakit mitokondria
cenderung memiliki onset akut dari gejala dan perjalanan klinis jika dibandingkan dengan
pasien dewasa, yang lebih perlahan dan progresif. Manifestasi klinis pada 103 pasien
pediatrik yang didokumentasikan oleh Chi pada tahun 2014 adalah sebagai berikut (Chi,
2014).
Sistem skor untuk Kriteria Biokimia: Unlikely: 0; Possible: 12; Probable: 2; Highly Probable:
>2
Tabel Kriteria Genetik (Wolf, 2002)
Sistem skor untuk Kriteria Genetik: Definite: kriteria 1 atau 2 abnormal; Probable: Kriteria 3
abnormal; Undetermined: kriteria 4 ada
2.4 Terapi
Seperti penyakit genetis lain, penyakit akibat mutasi mtDNA membutuhkan
penanganan yang cukup kompleks. Secara garis besar, pendekatan terapi penyakit ini dapat
dibagi menjadi tiga kelompok. Yaitu: 1) Terapi simptomatis sesuai gejala yang timbul pada
masing-masing penderita; 2) Terapi farmakologis untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita; dan 3) Terapi gen (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
pasien dengan gejala psikiatrik, khususnya depresi, Hambatan perkembangan mental dan
motoris pada penderita PDH defisiensi memerlukan penanganan khusus antara lain terapi
wicara dan terapi okupasi. Tindakan pembedahan oleh opthalmologist diperlukan untuk
penanganan ptosis parah pada pasien dengan oftalmoplegia eksternal progresif. Katarak
kongenital juga dapat ditangani dengan pembedahan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh,
2014).
Pada pasien dengan sindroma Kearns-Sayre disertai blockade konduksi jantung.
Perlu dilakukan pemasangan pacemaker untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pada pasien
dengan kardiomiopati dan gangguan multisystem dapat dipertimbangkan tindakan
transplantasi jantung (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Kehilangan pendengaran neurosensoris dapat ditangani dengan implantasi koklea.
Gagal hepar yang sering terkait dengan sindroma deplesi mtDNA, dapat ditangani dengan
transplantasi liver. Myoglobinuria rekuren dapat ditemukan pada pasien dengan defisiensi
coenzyme Q10 (CoQ10) primer atau dengan mutasi gen pengkode protein mtDNA. Selama
episode akut, semua pasien harus dilakukan rehidrasi dan menjalani dialysis ginjal karena
myoglobinuria dapat menyebabkan komplikasi gagal ginjal (Dimauro, 2005; Taylor, 2005;
Parikh, 2014).
2.4.2 Terapi Farmakologis
Dalam makalah ini, yang dimaksud dengan terapi farmakologis adalah pemberian
obat-obatan yang bekerja dengan menghambat metabolit toksik sebagai hasil dari
metabolism alternative, maupun obat-obatan yang bekerja meningkatkan fungsi dan life time
enzim pada rantai respirasi. Yang termasuk di sini adalah:
umum digunakan adalah dikloroasetat (DKA) yang bekerja dengan menghambat piruvat
dehydrogenase (PDH) kinase, menyebabkan PDH tetap defosforilasi, bentuk aktif dan
membantu metabolism piruvat dan oksidasi laktat. DKA sendiri mempunyai efek samping
neuropati perifer, sehingga DKA tidak boleh digunakan dalam jangka panjang pada kelainan
mitokondria yang rentan terkena neurophaty perifer (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh,
2014).
Sindroma ensefalopati neurogastrointestinal mitokondrial (MNGIE) mempunyai tanda
khas adanya defek pada sinyal intergenomik. Pasien dengan kelainan multisistemik ini
mengalami mutasi pada gen TP yang mengkode enzim timidin kinase, akibat yang
ditimbulkan adalah akumulasi timidin dalam darah. Strategi pengobatan yang dapat
dilakukan adalah dengan menurunkan metabolit ini dengan hemodialisa. Pendekatan yang
lebih radikal seperti transplantasi sel stem allogenik dapat dipertimbangakan karena
hasilnya cukup menjanjikan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Dari beberapa pengamatan, telah diketahui bahwa sel satelit dan mioblas
mengandung jumlah mtDNA mutan lebih sedikit dibandingkan serabut otot matur. Dari data
ini,
beberapa
peneliti
berusaha
mengembangkan
strategi
pengobatan
dengan
berfungsi sebagai antioksidan sehingga defisiensinya akan berdampak pada sel post-mitotik
seperti neuron dan otot yang rentan terhadap kerusakan oksidatif Pendekatan terapi yang
dapat dilakukan adalah pemberian 2 akseptor elektron buatan, yaitu menadiol difosfat 40
mg/hari dan vitamin C 4 g/hari (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Beberapa clinical trial dengan kedua obat itu menunjukkan kembalinya kekuatan dan
ketahanan otot, biopsy otot setelah 8 bulan terapi menunjukkan bahwa level CoQ10 kembali
normal, penumpukan lipid menghilang, aktivitas enzim rantai pernafasan meningkat, dan
penurunan proporsi miofibril yang terapoptosis. Meskipun demikian, pasien yang mengalami
ataksia membutuhkan dosis yang lebih besar (hingga 1.000 mg/hari) dan berespon lambat,
hal ini mungkin diakibatkan kerusakan serbelar yang ireversibe (Dimauro, 2005; Taylor,
2005; Parikh, 2014).
menurun
karena
carnitine
teresterifikasi
meningkat.
Pergeseran
ini
meningkatkan aktivitas oxygen radical scavenger CoQ10 (Dimauro, 2005; Taylor, 2005;
Parikh, 2014).
Pada pasien MELAS, terjadi defisiensi carnitin primer, pendekatan terapi yang dapat
dilakukan adalah pemberian Carnitine Monohidrat. Pada suatu percobaan, pemberian
Carnitine monohidrat pada 6 pasien dengan MELAS dan 1 dengan kelainan mitokondrial
yang tidak jelas menunjukkan adanya perbaikan pada aktifitas yang berat tetapi tidak pada
latihan aerobik yang ringan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Suplementasi tembaga memberikan hasil yang positif pada beberapa penelitian in
vitro untuk terapi ensepalomiopati infantile yang terkait dengan defisiensi COX. Pada
kelainan ini terjadi mutasi gen SCO2, yang mengkode protein COX-assembly yang
dibutuhkan untuk insersi cooper ke holoenzim. Ketika tembaga ditambahkan pada medium
kultur dari mioblast defisit COX yang memiliki mutasi SCO2, aktivitas COX dapat kembali
normal. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi tembaga kemungkinan besar bermanfaat
untuk bayi yang menderita cardiomiopati dan mutasi SCO2 (Dimauro, 2005; Taylor, 2005;
Parikh, 2014).
Deplesi mtDNA juga dapat dicegah dengan penambahan produk defektif enzim
(deoksiguinosine monofosfat dan deoxyadenosin monofosfat), deoxiguinase kinase, pada
fibroblas dari pasien dengan sindrom hepatoserebral dan mutasi homozigus pada gen
DGUOK (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
hasil positif dan efek negatif yang minimal. CoQ10 dan analognya, idebenone, telah
digunakan secara luas sebagai terapi kelainan neurodegenerative yang terkait dengan
peningkatan ROS (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Genome
mitokondria
yang
bersifat
poliploid,
fenomena
heteroplasmy,
juga
digunakan
untuk mengekspresikan
gen
modifikasi
subunit
NADH
mitokondria maupun gen inti dari organisme lain tetapi mengkode cognate protein xenotopic
expression. Pendekatan molekuler langsung adalah dengan mengimpor endonuclease
restriktif spesifik sebagai magic bullets untuk merusak mtDNA mutan secara selektif.
Pendekatan ini telah dilakukan pada sel cybrid model mutasi pada gen ATPase 6 T8993G
NARP/MILS dengan membuat site Smal unik pada mtDNA manusia. Gen untuk Smal fusi ke
sekuen target mitokondria dan secara transien diekspresikan pada cybrid heteroplasmik
yang kehilangan mtDNA mutan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Pendekatan lain yang cukup efektif untuk menurunkan beban mutasi mtDNA secara
in vitro adalah pemaparan terhadap metabolit keton. Sel hybrid yang mengalami delesi
tunggal mtDNA dibiakkan dalam medium yang mengandung keton sebagai sumber karbon.
Sel yang homoplasmik untuk delesi mtDNA mati, sedangkan sel homoplasmik untuk mtDNA
wild-type hidup. Pada heteroplasmic cell lines, proporsi mtDNA wild-type meningkat dari
13% menjadi 22% setelah 5 hari perlakuan dalam medium ketogenik, dan pada percobaan
ini
didapatkan
perbaikan
sintesis
protein
mitokondria.
Pergeseran
heteroplasmik
(heteroplasmic shifting) tidak hanya terjadi diantara sel (seleksi interseluler) tetapi juga di
dalam sel (seleksi intraseluler). Hasil ini dapat dijadikan rujukan kemungkinan dilakukannya
percobaan in vivo pada pasien menggunakan diet ketogenik (Dimauro, 2005; Taylor, 2005;
Parikh, 2014).
Dalam kaitannya dengan heteroplasmic shifting, mungkin tidak perlu lagi
menurunkan jumlah mutasi jika kita dapat mendistribusikan ulang proporsi mtDNA mutan
dengan wild-type dalam mitokondria, mengubah organel mutan homoplasmi dan organel
wild-type homoplasmi menjadi organel heteroplasmi. Dengan cara ini, maka dapat
dimanipulasi populasi mitokondria mutan di bawah threshold untuk mengobati disfungsi
mitokondria (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Pendekatan terapi selanjutnya adalah mengurangi produksi ROS. Pendekatan
genetic dengan menangkap ROS telah berhasil dilakukan pada hewan coba tikus. Pertama,
defisiensi kompleks I disebabkan oleh ekspresi anti-NDUFA1 ribozyme (NDUFA1
merupakan subunit katalitik kompleks I) menginduksi lesi retina dan saraf optic sama
dengan LHON pada manusia. Kedua, regulasi penurunan MnSOD oleh ekspresi anti-SOD2
ribozyme pada tikus juga menginduksi lesi menyerupai LHON. Data ini mendukung konsep
bahwa produksi ROS berlebihan merusak retina dan saraf optic. Ketika peneliti melakukan
ko-ekspresi anti-NDUFA1 rybozyme (racun) dan SOD2 (antidot) pada tikus yang sama, lesi
tidak muncul. Fakta ini menjelaskan bagaimana potensi terapi suatu SOD scavenging
(Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Chial H, Craig J. 2008. mtDNA and Mitochondrial Diseases. Nature Education 1(1).
http://www.nature.com/scitable/topicpage/mtdna-and-mitochondrial-diseases-903. Diakses
tanggal 1 Januari 2013.
Solano A, Playn A, Lpez-Prez MJ, Montoya J. 2001. Genetic Diseases of Human
Mitochondrial DNA. Salud Publica Mex 2001;43:151-161
Reeve AK, Krishnan KJ, Turnbull D. 2008. Mitochondrial DNA Mutations in Disease, Aging,
and Neurodegeneration. Annals of the New York Academy of Sciences; 1147: 21-29
Dimauro S, Dacidzon G. 2005. Mitochondrial DNA and Disease. Annals of Medicine. 2005;
37: 222-232
Taylor RW, Turnbull DM. 2005. Mitochondrial DNA Mutations in Human Disease. (Online)
http://www.nature.com/reviews/genetics. Diakses tanggal 1 Januari 2013.
Parikh S, Goldste
Wolf NI, Smeitink JA. Mitochondrial disorders: a proposal for consensus diagnostic criteria in
infants and children. Neurology. 2002 Nov 12;59(9):1402-5.
Parikh S, Goldstein A, Koenig MK, Scaglia F, Enns GM, Saneto R, Anselm I, Cohen BH, Falk
MJ, Greene C, Gropman AL, Haas R, Hirano M, Morgan P, Sims K, Tarnopolsky M, Van
Hove JL, Wolfe L, DiMauro S. Diagnosis and management of mitochondrial disease: a
consensus statement from the Mitochondrial Medicine Society. Genet Med. 2015 Sep
2;17(9):689-701.
Kisler JE, Whittaker RG, McFarland R. Mitochondrial diseases in childhood: a clinical
approach to investigation and management. Dev Med Child Neurol. 2010 May;52(5):422-33.
Bonnen PE, Yarham JW, Besse A, Wu P, Faqeih EA, Al-Asmari AM, Saleh MA, Eyaid W,
Hadeel A, He L, Smith F, Yau S, Simcox EM, Miwa S, Donti T, Abu-Amero KK, Wong LJ,
Craigen WJ, Graham BH, Scott KL, McFarland R, Taylor RW. Mutations in FBXL4 cause
mitochondrial encephalopathy and a disorder of mitochondrial DNA maintenance. Am J Hum
Genet. 2013 Sep 5;93(3):471-81.
Parikh S, Saneto R, Falk MJ, Anselm I, Cohen BH, Haas R, Medicine Society TM. A modern
approach to the treatment of mitochondrial disease. Curr Treat Options Neurol. 2009
Nov;11(6):414-30.
Chi CS. Diagnostic approach in infants and children with mitochondrial diseases. Pediatr
Neonatol. 2015 Feb;56(1):7-18.
Selim L, Mehaney D. Mitochondrial encephalopathy with lactic acidosis and stroke-like
episodes in a Japanese child: Clinical, radiological and molecular genetic analysis. The
Egyptian Journal of Medical Human Genetics (2013) 14, 317322
El-Hattab AW, Adesina AM, Jones J, Scaglia F. MELAS syndrome: Clinical manifestations,
pathogenesis, and treatment options. Molecular Genetics and Metabolism (2015) 116, 412