Shahnaz Fathia
Pembimbing
Dr. Suyata, SpPD, K-GEH, FINASIM
Daftar Pustaka
Lampiran
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR SINGKATAN
v
8
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Crohn adalah bagian dari penyakit radang usus (inflammatory bowel
disease atau IBD yang terdiri dari penyakit Crohn (PC), kolitis ulserativa dan tipe campuran
(indeterminate).3) yang sering kambuh dan bersifat kronis. Hal ini ditandai dengan
peradangan granulomatous yang dapat mempengaruhi bagian mana pun dari saluran
pencernaan, paling sering pada ileum, usus besar atau keduanya. Penyakit ini juga
merupakan penyakit progresif yang dapat menyebabkan kerusakan usus dan kecacatan. 1,2
lnflammatory Bowel Disease (IBD) sendiri adalah suatu penyakit inflamasi kronik yang
melibatkan saluran cerna, bersifat remisi dan sering kambuh, dengan etiologi yang belum
diketahui dengan jelas. Strategi terapeutik dari IBD saat ini bertujuan untuk meminimalkan
resiko kekambuhan, memperpanjang masa remisi, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
menghentikan perjalanan penyakit yang progresif.4
Penyakit Crohn dapat terjadi di semua usia, dengan prevalensi tersering pada usia 20
sampai 40 tahun dan pada usia 70 sampai 90 tahun. Secara epidemiologi, tidak terdapat
perbedaan bermakna antara laki-laki dan perempuan. Prevalensi di negara maju lebih
banyak daripada di negara berkembang. Tingkat insiden yang dilaporkan tertinggi berada di
Kanada (20,2% per 1.000.000 penduduk), Eropa Utara (10.6% per 100.000 penduduk di
Inggris), dan Australia (29.3% per 100.000 penduduk). Prevalensi tertinggi di Eropa (322
orang per 100.000 penduduk di Italia) dan Kanada (319 orang per 100.000 penduduk). Data
mengenai penyakit Crohn di Indonesia masih sangat terbatas dan prevalensi berdasarkan
data hasil endoskopi awal tahun 2008, di seluruh rumah sakit di Indonesia berkisar antara 1-
3,3%.1,4
Sampai saat ini belum diketahui etiologi PC yang pasti. Banyak mediator inflamasi
yang telah diidentifikasi pada PC. Mediator-mediator tersebut memiliki peran penting pada
patologi dan karakteristik klinis penyakit ini. Pilihan pengobatan yang tersedia saat ini
9
merupakan antibodi monoklonal manusia, yang menghambat secara selektif adhesi leukosit
yang diperantarai oleh kedua tipe heterodimer dari a4 integrin. Uji klinis menunjukkan peran
potensial vedolizumab pada PC, terutama pada pasien yang sebelumnya telah gagal terapi
biologis seperti penghambat TNF alpha. Tinjauan pustaka ini akan membahas lebih lanjut
peran vedolizumab pada PC dan kapan pengobatan dengan agen biologis ini dapat dipakai
pada tatalaksana PC. Semoga pembahasan yang diberikan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan kita semua.
BAB II
10
PENYAKIT CROHN
2.1 Definisi
Penyakit Crohn (PC) diambil dari nama seorang dokter di New York bernama Burri
B.Crohn, yang pertama kali menemukan suatu peradangan pada usus kecil pada tahun
1932. Berdasarkan dari definisinya, PC adalah gangguan peradangan yang terus-menerus
dan melibatkan semua lokasi pada traktus digestivus (traktus intestinalis) dari mulut sampai
anus, akan tetapi umumnya mengenai bagian akhir usus halus, yakni ileum sering juga
disebut ileitis atau enteritis. Peradangan dapat meluas dan melibatkan semua lapisan
dinding usus mulai dari mukosa sampai serosa, menimbulkan nyari dan membuat usus
sering memberikan reaksi pengosongan berupa diare, pada kolonoskopi dapat ditemukkan
usus yang sehat-normal diantara peradangan yang terjadi, yang disebut skip area. 1,2,3
Penyakit Crohn merupakan penyakit progresif yang dapat menyebabkan kerusakan
dan kecacatan pada organ usus. Penyakit ini dapat mempengaruhi semua segmen saluran
pencernaan, yang tersering adalah ileum terminal dan usus besar. Peradangan yang terjadi
pada usus biasanya bersifat segmental, asimetris, dan transmural. Sebagian besar pasien
memiliki fenotipe inflamasi pada diagnosis, tetapi seiring dengan waktu maka komplikasi
(seperti striktur, fistula,atau abses) akan berkembang pada setengah dari pasien dan sering
mengakibatkan tatalaksana dengan tindakan operasi.3,4
2.2 Epidemiologi
Penyakit radang usus (IBD), termasuk penyakit Crohn (PC) dan kolitis ulserativa
(UC), adalah gangguan peradangan idiopatik kronis pada saluran pencernaan, yang
dihasilkan dari kombinasi predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan respon imun yang
tidak tepat terhadap mikrobiota usus. Sejak penyakit ini mula dikenal, kejadian IBD telah
meningkat secara substansial di seluruh dunia. Selama abad ke-20, prevalensi IBD
mencapai lebih dari 0,3% di Amerika Utara, Oseania, dan banyak negara di Eropa. Pada
11
pergantian abad ke-21, sementara kejadian IBD tampaknya tidak berubah di Amerika Utara
dan Eropa,9 kejadian IBD terus meningkat di antara negara-negara industri baru di Asia,
Afrika, dan Amerika Selatan.
The Asia-Pacific Crohn's and Colitis Epidemiologic Study (ACCESS), sebuah studi
kohort berbasis populasi dari pasien yang baru didiagnosis dengan IBD (dari tahun 2011
sampai 2013) dari 13 negara di wilayah Asia-Pasifik, telah melaporkan bahwa keseluruhan
kejadian IBD di Asia adalah 1,4 kasus per 100.000. Meskipun insiden IBD di Asia saat ini
masih rendah, dengan peningkatan insiden berdasarkan 60% populasi global, namun jumlah
absolut pasien IBD di Asia mungkin akan menyusul di dunia barat selama dekade berikutnya.
Salah satu negara di Asia yang mengalami peningkatan prevalensi IBD adalah Jepang. Data
ini didapatkan berdasarkan the National Japan IBD Registry yang dijalankan oleh
Kementerian Kesehatan di Jepang. Meskipun UC adalah jenis IBD yang dominan di Asia,
dari pelaporan kasus yang ada, terjadi peningkatan rasio kejadian PC terhadap UC dari waktu
ke waktu. Dilihat dari biaya perawatan kesehatan, PC memakan biaya perawatan hampir tiga
kali lebih tinggi daripada UC.10
Melihat dari wilayah geografis, lingkungan, populasi pendatang, dan kelompok etnis,
insiden dan prevalensi PC sangat bervariasi. Insiden PC tahunan di Amerika Utara dilaporkan
3,1 - 20,2 per 100.000 dengan prevalensi 201 per 100.000 penduduk. Berdasarkan data
epidemiologi, genetik dan imunologi, PC dianggap sebagai kelainan heterogen dengan
etiologi multifaktorial dimana genetika dan lingkungan berinteraksi untuk mewujudkan
penyakit. Beberapa gen telah dipelajari sehubungan dengan PC, tetapi sejauh ini asosiasi yang
kuat dan direplikasi telah diidentifikasi fi dengan gen NOD2, IL23R dan ATG16L1. Faktor
risiko yang terlibat dengan PC termasuk merokok, rendah fiber diet tinggi karbohidrat,
Di Indonesia, sistim rujukan yang belum berkembang secara optimal menyebabkan
sebagian besar kasus terduga PC mengalami under-diagnosed atau justru over-diagnosed dan
sangat dimungkinkan oleh karena terjadinya variasi akurasi diagnosis antar laporan,
mengingat adanya perbedaan sarana penunjang diagnostik yang tersedia. Kewenangan profesi
yang mampu melakukan penilaian pada kasus tersebut bertujuan agar tidak terjadi under-
12
treatment atau over-treatment pada pasien. Data prevalensi IBD di Indonesia sendiri,
termasuk penyakit Crohn masih berdasarkan pelaporan Rumah Sakit (Hospital based) saja.
Berikut gambaran prevalensi kasus penyakit Crohn berdasarkan data yang dilaporkan dari
beberapa rumah sakit di Indonesia, dapat dilihat seperti pada tabel 1.3
Tabel 1. Prevalensi kasus Penyakit Crohn di unit endoskopi Indonesia3
Sumber Data PC
RSCM Jakarta 2.9%
RS. Gatot Subroto Jakarta 3.2%
RS. Hasan Sadikin, Bandung 1.56%
RS. Sardjito, Jogjakarta 3.3%
RS. Zainal Abidin, Banda Aceh 1.7%
RS. Pekanbaru 2.15%
RS. Syaiful Anwar, Malang 1%
RS. Usada Insani, Tanggerang 10.2%
Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir prevalensi penyakit Crohn di dunia terus
meningkat, dengan insiden tertinggi dilaporkan di Eropa utara, Inggris dan Amerika Utara.
Meskipun pengobatan biologis dikaitkan dengan peningkatan kualitas hidup pasien yang
terkait dengan kesehatan, pasien masih melaporkan adanya hambatan yang cukup signifikan
berhubungan dengan gaya hidup dan aktivitas sehari-hari selama flare dan remisi. Angka
mortalitas di antara pasien dengan penyakit Crohn secara persisten lebih tinggi daripada
populasi umum, berdasarkan data dari hasil penelitian meta-analisis yang menunjukkan
perkiraan gabungan untuk rasio kematian standar. Tidak ada perubahan yang signifikan
secara statistik dari yang telah diperkirakan dalam 30 tahun terakhir.9
2.3 Etiopatogenesis
Sampai sekarang, penyebab pasti dari PC masih belum jelas dimengerti. Berbagai
teori yang berkembang namun belum dapat ditemukan penyebab tunggal yang diketahui
sebagai etiologi PC. Salah satu teori yang diyakini adalah peran perantara sistem imun pada
individu yang memang rentan secara genetik. PC dianggap sebagai suatu respons imun
yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada flora normal usus yang berakibat
13
terjadinya inflamasi kronik pada usus. Kondisi ini didukung dengan adanya temuan
antibodi terhadap antigen mikrobial dan diidentifikasinya gen CARD15 sebagai gen
penyebab kerentanan terjadinya PC.7
Ketiga faktor utama yang berperan pada PC yaitu faktor genetik, respon imun usus,
dan mikrobiota, dimana masing – masing faktor dipengaruhi oleh pajanan pada masing –
masing individu atau dapat dipicu oleh suatu lingkungan yang dapat memicu berbagai
mekanisme yang menjadi penyebab PC, sebuah konsep yang kemudian menggantikan
paradigma lama, dimana PC dianggap sebagai suatu kondisi klinis yang disebabkan oleh
satu mekanisme yang dominan (Gambar 1).11
(yang merupakan gen IBD1) atau CARD15 (gen NOD2) di kromosom 16 dapat
dihubungkan dengan terjadinya IBD (terutama pada PC). Meski demikian, gen-gen ini tidak
disebutkan sebagai penyebab PC.8 Secara teori, patogenesis IBD dapat digambarkan seperti
pada gambar 2.
Sitokin
Protease,
leukotrin dll Netrofil Makrofag
Pada IBD terjadi disregulasi respon imun mukosa terhadap antigen mikroba
komensal pada pejamu yang memiliki kelemahan genetik yang mendapat pengaruh
lingkungan, demikian halnya pada PC. Respon sel T secara berlebihan dari sel T yang
terpolarisasi mengeluarkan sitokin T helper (Th) 1,2, atau 17 yang menyebabkan kerusakan
jaringan dan gejala klinis. Respon sel T regulator yang tidak adekuat memberi kontribusi
yang signifikan baik pada patogenesis IBD dan PC.14-18
Secara umum diperkirakan bahwa proses patogenesis PC diawali oleh adanya
infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang
rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi proses
inflamasi pada dinding usus. Sistem imun mukosa usus telah didesain untuk
1-5
mempertahankan diri dari serangan patogen dan mentoleransi bakteri komensal.
Sistem pertahanan ini terganggu pada PC, sehingga inflamasi justru terpacu oleh
mikroflora komensalnya. Bukti lain menunjukkan bahwa bakteri komensal usus dan produk
yang dihasilkannya menyebabkan terjadinya PC dan memperpanjang gejala klinis serta
mengaktifkan penyakit lain yang bersifat laten, sehingga sering muncul komplikasi septik
PC dan memunculkan manifestasi ekstraintestinal. 19,20
Lapisan lamina propria usus mengandung populasi kompleks sel-sel imun yang
menyeimbangkan toleransi kekebalan tubuh terhadap mikrobiota komensal usus dengan
sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi patogen, pertumbuhan berlebihan mikrobiota
komensal usus, atau keduanya. Ciri dari PC adalah adanya infiltrasi sel-sel imun tubuh
sendiri ke dalam lamina propria seperti netrofil, makrofag, sel dendritik, dan natural killer
sel T. Peningkatan jumlah dan aktivasi sel-sel imun pada mukosa intestinal menyebabkan
peningkatan lokal kadar tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin (IL) 1-β, interferon
(IFN) γ, dan jalur sitokin IL12, IL-23 dan Th17.20,21
Sistem imun alamiah adalah bagian dari sistem imun nonspesifik terhadap patogen
16
yang akan memberikan respon segera atau dalam beberapa jam pertama setelah terjadinya
suatu infeksi di dalam tubuh. Sistem imun ini merupakan lini pertahanan pertama, termasuk
di dalamnya perlindungan fisik seperti pada kulit dan mukosa usus serta sel-sel kekebalan
tubuh lainnya yang mampu mengidentifikasi dan menghilangkan benda asing dari tubuh.
Sistem imun alamiah cenderung bereaksi dengan bahan kimia yang dihasilkan oleh antigen
daripada terhadap antigen spesifik itu sendiri, sebaliknya sistem imun yang didapat lebih
cenderung merespon secara spesifik kepada antigen itu sendiri karena antigen akan diproses
dan dikenali, dan diproduksi sel-sel kekebalan yang spesifik terhadap antigen tersebut yang
meningkatkan efisiensi respon kekebalan tubuh terhadap infeksi selanjutnya. 22
Pandangan yang konservatif terhadap patogenesis PC adalah bahwa peradangan
usus diperantarai oleh sistem imun alamiah (Gambar 2). Dimana peradangan kronis terjadi
akibat agresifnya aktifitas efektor limfosit dan sitokin proinflamasi. Selain itu, PC dapat
disebabkan juga akibat kegagalan pengaturan limfosit dan sitokin (IL-10 dan TGF-β) dalam
mengendalikan peradangan dan jalur efektor.
17
Sel Th1 memediasi respon imun seluler dan mensekresikan IL-2, IL-12 dan IFN-γ.
Sel Th2 memediasi respon imuun humoral dan mensekresi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-
13. Pengaturan keseimbangan setiap sel ini terjadi secara timbal balik melalui sinyal
sitokin. Interferon-γ (IFN-γ) yang diproduksi oleh sel Th1 menekan perkembangan Th2,
sedangkan IL-4, IL-10 dan IL-13 yang disekresi oleh Th2 menghambat respon Th1.
Penyakit Chrohn dikaitkan dengan sitokin yang dihasilkan oleh Th1, sementara pola sitokin
pada KU kurang jelas. Saat ini, penyebab utama yang bertanggung jawab terhadap IBD
adalah respon sel T yang berlebihan sehingga mukosa usus menjadi hiperresponsif terhadap
bakteri komensal. Aktivasi sel Th1 dan pelepasan sitokin dihubungkan dengan aktifnya
matriks metaloproteinase yang merupakan mediator penting kerusakan jaringan. Selain itu,
sitokin juga bekerja lokal pada mikrovaskuler usus, meningkatkan regulasi adhesi mukosa
18
dan meningkatkan rekruitmen sel efektor termasuk netrofil dan fagosit yang berkontribusi
terhadap menghebatnya respon inflamasi dan kerusakan jaringan berkelanjutan. 23
Setidaknya terdapat dua mekanisme yang mengatur aktivasi sel T mukosa usus.
Pertama, berdasarkan fungsi sel efektor dan sel T regulator pada mukosa usus normal.
Aktifitas imunosupresif sel T regulator memerlukan produksi IL-10 dan TGF-β yang
tergantung pada sinyal cytotoxic T lymphocyte-associated antigen 4 (CTLA-4) yang
merupakan regulator negatif aktivasi sel T. Kedua, mekanisme yang melibatkan hilangnya
respon imun akibat induksi apoptosis oleh sel T yang teraktivasi saat terpapar dengan
patogen. Pada PC, sel T mukosa usus resisten terhadap proses apoptosis yang menyebabkan
akumulasi sel T dan respon imun yang persisten. Resistensi mukosa sel T ini diperkirakan
akibat peningkatan konsentrasi IL-6 pada mukosa usus yang terus menerus memberikan
sinyal ke sel T. Pada PC, IL-6 bersama dengan soluble interleukin-6 receptors (sIL-6R)
mengaktifkan makrofag yang menstimulasi kaskade ekspresi gen antiapoptosis. Pada KU,
sel T pada lamina propria lebih suseptibel terhadap apoptosis yang dimediasi oleh Fas-
ligand (FasL).22-24
2.5 Gambaran Klinik
Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi
klinik IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis,
uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum dan kolangitis.1,2,5 Gambaran ini klinis
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Diare kronik ++ ++
Hematoskhezia ++ +
Nyeri perut + ++
Massa abdomen 0 ++
Fistulasi +/- ++
Stenosis/striktur + ++
Keterlibatan usus halus +/- +++
Keterlibatan rektum 95% 50%
Ekstraintestinal + +
Megatoksik kolon + +/-
Disamping itu disertai dengan gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai
dampak keadaan patologis yang ada, seperti gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU relatif
lebih seragam dibandingkan gambaran klinis pada PC. Hal ini disebabkan distribusi
anatomis saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih
bervariasi yaitu dapat melibatkan atau terjadi pada semua segmen saluran cerna mulai dari
mulut sampai anorektal.1,2,3,5
Perjalanan klinik IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi ini dapat
disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan. Dengan sifat
perjalanan klinik IBD yang kronik eksaserbasi remisi, diperlukan suatu kriteria klinis
sebagai gambaran aktifitas penyakit untuk keperluan pedoman keberhasilan pengobatan
maupun menetapkan fase remisi. Secara umum digunakan disease activity index (DAl)
yang didasarkan pada frekuensi diare, ada tidaknya perdarahan per-anal dari penilaian
kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan endoskopi, dan penilaian keadaan umum. 1,5
Gambaran patologis IBD dibagi berdasarkan lesi yaitu segmental, transmural dan
predileksi anatomik.
Tabel 2. Gambaran patologi IBD.2
Gambaran klinis IBD KU PC
Lesi anatomis bersifat segmental 0 ++
Sifat lesi mukosal Kontinu Skip lesion
Dapat melibatkan semua lapis dinding usus +/- ++
(bersifat transmural)
20
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium,
pemeriksaan radiologi, endoskopi, serta histopatologi. Alur diagnosis dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.2
Anamnesis
Terdapat perjalanan penyakit episodikal aktif-remisi-
kronik-eksaserbasi
Kolonoskopi Laboratorium
histopatologi, radiologi DPL,LED,CRP, FOBT/feses lengkap,
gambaran sesuai IBD CEA, CA 19-9
Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah, dan nyeri
perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna (ekstraintestinal), seperti
artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara
sistemik, dapat dijumpai gambaran sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti
anemia, demam, gangguan nutrisi. Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan
klinis IBD bersifat kronik-eksaserbasi-remisi atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan
21
fase remisi. Pemahaman atas proses inflamasi yang terjadi pada patogenesis IBD akan
membantu kita mengenali gambaran klinis untuk masing-masing entitas IBD. Misalnya kita
akan menemui keluhan yang lebih seragam pada UC dibandingkan PC karena distribusi
anatomis saluran cerna yang terlibat pada UC adalah kolon sedangkan pada PC lebih
bervariasi. Namun perlu diingat bahwa terkadang sulit membedakan gambaran IBD dengan
penyakit lain yang kerap ditemukan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia
yakni kolitis infeksi dan tuberkulosis usus. 25
Terdapat dua masalah utama dalam mendiagnosis IBD, yaitu kesulitan dalam
mencari baku emasnya baik secara histologi dan serologi dan adanya kondisi yang mirip
dengan IBD. Diagnosis IBD ditegakkan berdasarkan penilaian keseluruhan dari
manifestasi klinis, radiologis, endoskopi, dan patologi anatomi. 26
Tabel 3. Perbedaan gambaran klinis dan endoskopi antara UC dan PC. 1,27
Ulcerative Colitis (UC) Crohn Disease (PC)
Area yang terlibat Hanya kolon Seluruh bagian traktus
gastrointestinal
Komplikasi
- Fistula dan abses Jarang Sering
- Striktur Jarang Sering
- Risiko kanker Lebih sering Lebih sedikit
Tampilan kolonoskopi Kerapuhan yang difus atau Focal apthous ulcer, lineal
ulserasi ulcers, cobblestone
Berdasarkan konsensus Asia Pasifik 2006, kriteria diagnosis IBD ditegakkan sebagai
berikut.26
22
2.7 Pengobatan
Jenis obat-obat yang umum dipakai terdiri dari obat antiinflamasi, kortisol atau
steroid, dan asam amino salisilat. Adanya berbagai golongan obat yang dapat berperan
dalam mengobati peradangan aktif pada IBD dngan tujuan menginduksi remisi secepat
mungkin dan mencegah terjadinya komplikasi. 1,2,3,5
Fokus utama rencana terapi pada IBD adalah upaya penghambatan kaskade proses
inflamasi (jika tidak dapat dihilangkan sama sekali). Secara umum prinsip terapi IBD
adalah mengobati peradangan aktif IBD dengan cepat sehingga tercapai remisi, mencegah
peradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin, mengobati serta
mencegah komplikasi.25
Kesulitan dalam pengobatan IBD diakibatkan adanya keraguan tentang etiologi
yang tepat. Pengobatan meliputi terapi konservatif, termasuk juga terapi bedah untuk
penderita yang tidak respon terhadap obat-obatan. Obat-obatan yang dipakai yaitu obat anti
inflamasi (mesalazine, kortikosteroid), imunosupresan (metotreksat, siklosporin, azatioprin,
23
dan 6-merkaptopurin), agen biologis (anti TNF alfa seperti infliksimab, adalimumab),
antibiotik (ciprofloksasin, metronidazol, ornidazol, klaritromisin) dan obat simptomatis.
Obat-obatan ini mempunyai variasi dalam mengontrol gejala penyakit, sebanding antara
tolerabilitas dan toksisitasnya. Tidak ada satupun pengobatan yang efektif untuk seluruh
penderita dan semua terapi dihubungkan dengan sejumlah kerugian termasuk efek samping
obat yang ditimbulkan. Hal ini sangat dibutuhkan pilihan terapi baru untuk mengobati IBD.
Oleh sebab itu, terapi di masa depan tidak hanya difokuskan untuk menghilangkan gejala
saja, tetapi juga difokuskan untuk memperbaiki gangguan fisiologi tubuh akibat komplikasi
jangka pendek dan jangka panjang.
pengobatan pemeliharaan. Jadi secepatnya dilakukan tappering dose setelah remisi tercapai.
Seperti juga pada PC, steroid sangat berguna dalam pengobatan fase akut pada KU yang
moderat-berat.1,2,3,5
BAB III
PERAN VEDOLIZUMAB PADA PENYAKIT CROHN
Namun, hanya beberapa di antaranya yang dapat digunakan untuk pengobatan CD, termasuk
IL1, 2, 6, 12, 18, IFN. α, dan TNF γ. Mereka dapat bekerja pada sel epitel usus dan
menyebabkan apoptosis sel epitel dengan mengaktifkan limfosit. Sejauh ini, contoh paling
sukses adalah penggunaan antiTNF α antibodi untuk pengobatan CD tahan api dengan
fistula. Mannon dkk [ 46] melaporkan keamanan antibodi monoklonal antiIL12 subkutan
selama 7 minggu, dan meskipun jumlah kasus yang diteliti sedikit, respons klinis signifikan
ketika diberikan terapi antibodi monoklonal IL12 dosis tinggi (3 mg / kg berat badan).
Keamanan jangka Panjang merupakan masalah yang sangat penting karena sitokin Th1
merupakan faktor anti infeksi yang penting. Misalnya, penghambatan jangka Panjang dari
tanggapan pejamu terhadap tuberkulosis (TB) dengan pengobatan antibodi anti TNFalpha
dapat menyebabkan kambuhnya TB laten pada pasien; pengobatan antiIL12 harus
dipertimbangkan untuk kemungkinan
DAFTAR PUSTAKA
27
19. Pan G, Fiocchi C, Lam S, et al. Special report: Management concensus of
inflammatory bowel disease for the asia-pacific region. J of Gastro and Hep.
2006;21:1772-82.
ii