Anda di halaman 1dari 29

Tinjauan Pustaka 3

PERAN VEDOLIZUMAB PADA PENATALAKSANAAN


PENYAKIT CROHN

Shahnaz Fathia

Pembimbing
Dr. Suyata, SpPD, K-GEH, FINASIM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


ILMU PENYAKIT DALAM FK UNSRI/RSMH
PALEMBANG
2020
Halaman Judul …………………………………………………………........ i
Daftar Isi ……………………………………………………………………. ii
Daftar Tabel ……………………………………………………………........ iii
Daftar Gambar …………………………………………………………......... iv
Daftar Singkatan …………………………………………………………….. v

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………............... 1

BAB II PENYAKIT CROHN …………………………………………..


2.1 Definisi ………………………………………………………….
2.2 Epidemiologi ……………………………………………………
2.3 Etiopatogenesis
2.4 Diagnosis
2.5 Penatalaksanaan

BAB III PERAN VEDOLIZUMAB PADA PENATALAKSANAAN


PENYAKIT CROHN
3.1 Integrin
3.2 Peran Gut Selective Integrin pada Penyakit Crohn
3.3 Vedolizumab
3.4 Vedolizumab sebagai terapi Penyakit Crohn
BAB IV SIMPULAN

Daftar Pustaka
Lampiran
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Prevalensi kasus IBD di unit endoskopi Indonesia ............................ 4


Tabel 2 Faktor risiko lingkungan pada IBD.................................................... 12
Tabel 3 Perbedaan gambaran klinis dan endoskopi PC dan KU..................... 13
Tabel 4 Kriteria diagnosis IBD konsensus Asia Pasifik ................................. 14
Tabel 5 Penelitian anti-integrin dalam tatalaksana IBD ................................. 32

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Patogenesis IBD ............................................................................ 5


Gambar 2 Imunopatogenesis IBD .................................................................. 6
Gambar 3 Diagram ekspresi gen penentu kerentanan IBD ............................ 8
Gambar 4 Alur diagnosis IBD........................................................................ 13
Gambar 5 Algoritme terapi KU di pelayanan lini pertama ............................ 16
Gambar 6 Algoritme terapi PC di pelayanan lini pertama ............................. 17
Gambar 7 Pendekatan terapeutik pada IBD ................................................... 20
Gambar 8 Algoritme pendekatan stepwise pada penatalaksanaan IBD ......... 21
Gambar 9 Pasangan heterodimer integrin αβ ................................................. 22
Gambar 10 Aktivasi integrin oleh kemoatraktan ............................................. 23
Gambar 11 Migrasi leukosit ............................................................................. 27
Gambar 12 Lokalisasi sel T ke lamina propria di epitel usus .......................... 31
Gambar 13 Target terapeutik anti-integrin pada IBD ...................................... 32
Gambar 14 Algoritme penatalaksanaan standar IBD ....................................... 33

iv
DAFTAR SINGKATAN

APC Antigen Presenting Cell


CCR CC Chemokine Receptor
PC Crohn’s Disease
PCAI Crohn’s Disease Activity Index
PCEIS Crohn’s Disease Endoscopic Index of Severity
CXCL Chemokine C-C motif ligand
FDA Food and Drugs Administration
FRET Fluorescence Resonance Energy Transfer
GALT Gut-associated Lymphoid Tissue
HBI Harvey Bradshaw Index
HEV High Endothelial Venules
IBD Inflammatory Bowel Disease
ICAM Intercellular Cellular Adhesion Molecule
IHK Imunohistokimia
IL Interleukin
JAKSTAT Janus Associated Kinase Signal Tranducer and Activator of
Transcription
JAM Junctional Adhesion Molecule
KU Kolitis Ulseratif
LFA-1 Lymphocyte Function associated Antigen-1
MAdCAM-1 Mucosal Addressin Cellular Adhesion Molecule-1
MCH Major Histocompatibility
NFκB Nuclear Factor κB
NK Natural Killer
NSAID Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs
PAMPs Pathogen-associated Molecular Patterns
PC Penyakit Crohn’s
PROM Patient Reported Outcomes Measures
RGD Reseptor arginine-glisin-asam aspartat
SES PC Simplified Endoscopic Activity Score for Crohn’s disease
TCR T Cell Receptor
TGF-β Transforming Growth Factor β
Th T-helper
TLR Toll-Like Receptor
TNF-α Tumor Necrosis Factor-α
Treg T-regulator
UCEIS Ulcerative Colitis Endoscopic Index of Severity
VCAM Vascular Cellular Adhesion Molecule
5-ASA 5 Amino Salicilic Acid

v
8

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Crohn adalah bagian dari penyakit radang usus (inflammatory bowel
disease atau IBD yang terdiri dari penyakit Crohn (PC), kolitis ulserativa dan tipe campuran
(indeterminate).3) yang sering kambuh dan bersifat kronis. Hal ini ditandai dengan
peradangan granulomatous yang dapat mempengaruhi bagian mana pun dari saluran
pencernaan, paling sering pada ileum, usus besar atau keduanya. Penyakit ini juga
merupakan penyakit progresif yang dapat menyebabkan kerusakan usus dan kecacatan. 1,2
lnflammatory Bowel Disease (IBD) sendiri adalah suatu penyakit inflamasi kronik yang
melibatkan saluran cerna, bersifat remisi dan sering kambuh, dengan etiologi yang belum
diketahui dengan jelas. Strategi terapeutik dari IBD saat ini bertujuan untuk meminimalkan
resiko kekambuhan, memperpanjang masa remisi, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
menghentikan perjalanan penyakit yang progresif.4
Penyakit Crohn dapat terjadi di semua usia, dengan prevalensi tersering pada usia 20
sampai 40 tahun dan pada usia 70 sampai 90 tahun. Secara epidemiologi, tidak terdapat
perbedaan bermakna antara laki-laki dan perempuan. Prevalensi di negara maju lebih
banyak daripada di negara berkembang. Tingkat insiden yang dilaporkan tertinggi berada di
Kanada (20,2% per 1.000.000 penduduk), Eropa Utara (10.6% per 100.000 penduduk di
Inggris), dan Australia (29.3% per 100.000 penduduk). Prevalensi tertinggi di Eropa (322
orang per 100.000 penduduk di Italia) dan Kanada (319 orang per 100.000 penduduk). Data
mengenai penyakit Crohn di Indonesia masih sangat terbatas dan prevalensi berdasarkan
data hasil endoskopi awal tahun 2008, di seluruh rumah sakit di Indonesia berkisar antara 1-
3,3%.1,4
Sampai saat ini belum diketahui etiologi PC yang pasti. Banyak mediator inflamasi
yang telah diidentifikasi pada PC. Mediator-mediator tersebut memiliki peran penting pada
patologi dan karakteristik klinis penyakit ini. Pilihan pengobatan yang tersedia saat ini
9

termasuk kortikosteroid, 5-aminosalicylates, imunosupresan, dan antagonis TNF alpha.


Namun sering tidak efektif dalam mencapai respon dan remisi dari waktu ke waktu. Berbagai
modalitas terapi telah digunakan untuk mengatasi gejala klinis yang berulang, mulai dari
penggunaan golongan steroid, asam amino salisilat, hingga pemberian anti TNF-α dan anti
integrin. Anti – integrin, sejak diperkenalkan, telah diteliti perannya dalam patogenesis
PC, hingga hubungannya dengan efektifitas obat pada pasien dan pencapaian perpanjangan
status remisi penyakit. 4,5
Vedolizumab merupakan obat generasi kedua dari golongan anti integrin yang

merupakan antibodi monoklonal manusia, yang menghambat secara selektif adhesi leukosit
yang diperantarai oleh kedua tipe heterodimer dari a4 integrin. Uji klinis menunjukkan peran
potensial vedolizumab pada PC, terutama pada pasien yang sebelumnya telah gagal terapi
biologis seperti penghambat TNF alpha. Tinjauan pustaka ini akan membahas lebih lanjut
peran vedolizumab pada PC dan kapan pengobatan dengan agen biologis ini dapat dipakai
pada tatalaksana PC. Semoga pembahasan yang diberikan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan kita semua.

BAB II
10

PENYAKIT CROHN

2.1 Definisi
Penyakit Crohn (PC) diambil dari nama seorang dokter di New York bernama Burri
B.Crohn, yang pertama kali menemukan suatu peradangan pada usus kecil pada tahun
1932. Berdasarkan dari definisinya, PC adalah gangguan peradangan yang terus-menerus
dan melibatkan semua lokasi pada traktus digestivus (traktus intestinalis) dari mulut sampai
anus, akan tetapi umumnya mengenai bagian akhir usus halus, yakni ileum sering juga
disebut ileitis atau enteritis. Peradangan dapat meluas dan melibatkan semua lapisan
dinding usus mulai dari mukosa sampai serosa, menimbulkan nyari dan membuat usus
sering memberikan reaksi pengosongan berupa diare, pada kolonoskopi dapat ditemukkan
usus yang sehat-normal diantara peradangan yang terjadi, yang disebut skip area. 1,2,3
Penyakit Crohn merupakan penyakit progresif yang dapat menyebabkan kerusakan
dan kecacatan pada organ usus. Penyakit ini dapat mempengaruhi semua segmen saluran
pencernaan, yang tersering adalah ileum terminal dan usus besar. Peradangan yang terjadi
pada usus biasanya bersifat segmental, asimetris, dan transmural. Sebagian besar pasien
memiliki fenotipe inflamasi pada diagnosis, tetapi seiring dengan waktu maka komplikasi
(seperti striktur, fistula,atau abses) akan berkembang pada setengah dari pasien dan sering
mengakibatkan tatalaksana dengan tindakan operasi.3,4

2.2 Epidemiologi
Penyakit radang usus (IBD), termasuk penyakit Crohn (PC) dan kolitis ulserativa
(UC), adalah gangguan peradangan idiopatik kronis pada saluran pencernaan, yang
dihasilkan dari kombinasi predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan respon imun yang
tidak tepat terhadap mikrobiota usus. Sejak penyakit ini mula dikenal, kejadian IBD telah
meningkat secara substansial di seluruh dunia. Selama abad ke-20, prevalensi IBD
mencapai lebih dari 0,3% di Amerika Utara, Oseania, dan banyak negara di Eropa. Pada
11

pergantian abad ke-21, sementara kejadian IBD tampaknya tidak berubah di Amerika Utara
dan Eropa,9 kejadian IBD terus meningkat di antara negara-negara industri baru di Asia,
Afrika, dan Amerika Selatan.
The Asia-Pacific Crohn's and Colitis Epidemiologic Study (ACCESS), sebuah studi
kohort berbasis populasi dari pasien yang baru didiagnosis dengan IBD (dari tahun 2011
sampai 2013) dari 13 negara di wilayah Asia-Pasifik, telah melaporkan bahwa keseluruhan
kejadian IBD di Asia adalah 1,4 kasus per 100.000. Meskipun insiden IBD di Asia saat ini
masih rendah, dengan peningkatan insiden berdasarkan 60% populasi global, namun jumlah
absolut pasien IBD di Asia mungkin akan menyusul di dunia barat selama dekade berikutnya.
Salah satu negara di Asia yang mengalami peningkatan prevalensi IBD adalah Jepang. Data
ini didapatkan berdasarkan the National Japan IBD Registry yang dijalankan oleh
Kementerian Kesehatan di Jepang. Meskipun UC adalah jenis IBD yang dominan di Asia,
dari pelaporan kasus yang ada, terjadi peningkatan rasio kejadian PC terhadap UC dari waktu
ke waktu. Dilihat dari biaya perawatan kesehatan, PC memakan biaya perawatan hampir tiga
kali lebih tinggi daripada UC.10
Melihat dari wilayah geografis, lingkungan, populasi pendatang, dan kelompok etnis,
insiden dan prevalensi PC sangat bervariasi. Insiden PC tahunan di Amerika Utara dilaporkan
3,1 - 20,2 per 100.000 dengan prevalensi 201 per 100.000 penduduk. Berdasarkan data
epidemiologi, genetik dan imunologi, PC dianggap sebagai kelainan heterogen dengan
etiologi multifaktorial dimana genetika dan lingkungan berinteraksi untuk mewujudkan
penyakit. Beberapa gen telah dipelajari sehubungan dengan PC, tetapi sejauh ini asosiasi yang
kuat dan direplikasi telah diidentifikasi fi dengan gen NOD2, IL23R dan ATG16L1. Faktor
risiko yang terlibat dengan PC termasuk merokok, rendah fiber diet tinggi karbohidrat,
Di Indonesia, sistim rujukan yang belum berkembang secara optimal menyebabkan
sebagian besar kasus terduga PC mengalami under-diagnosed atau justru over-diagnosed dan
sangat dimungkinkan oleh karena terjadinya variasi akurasi diagnosis antar laporan,
mengingat adanya perbedaan sarana penunjang diagnostik yang tersedia. Kewenangan profesi
yang mampu melakukan penilaian pada kasus tersebut bertujuan agar tidak terjadi under-
12

treatment atau over-treatment pada pasien. Data prevalensi IBD di Indonesia sendiri,
termasuk penyakit Crohn masih berdasarkan pelaporan Rumah Sakit (Hospital based) saja.
Berikut gambaran prevalensi kasus penyakit Crohn berdasarkan data yang dilaporkan dari
beberapa rumah sakit di Indonesia, dapat dilihat seperti pada tabel 1.3
Tabel 1. Prevalensi kasus Penyakit Crohn di unit endoskopi Indonesia3
Sumber Data PC
RSCM Jakarta 2.9%
RS. Gatot Subroto Jakarta 3.2%
RS. Hasan Sadikin, Bandung 1.56%
RS. Sardjito, Jogjakarta 3.3%
RS. Zainal Abidin, Banda Aceh 1.7%
RS. Pekanbaru 2.15%
RS. Syaiful Anwar, Malang 1%
RS. Usada Insani, Tanggerang 10.2%

Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir prevalensi penyakit Crohn di dunia terus
meningkat, dengan insiden tertinggi dilaporkan di Eropa utara, Inggris dan Amerika Utara.
Meskipun pengobatan biologis dikaitkan dengan peningkatan kualitas hidup pasien yang
terkait dengan kesehatan, pasien masih melaporkan adanya hambatan yang cukup signifikan
berhubungan dengan gaya hidup dan aktivitas sehari-hari selama flare dan remisi. Angka
mortalitas di antara pasien dengan penyakit Crohn secara persisten lebih tinggi daripada
populasi umum, berdasarkan data dari hasil penelitian meta-analisis yang menunjukkan
perkiraan gabungan untuk rasio kematian standar. Tidak ada perubahan yang signifikan
secara statistik dari yang telah diperkirakan dalam 30 tahun terakhir.9

2.3 Etiopatogenesis
Sampai sekarang, penyebab pasti dari PC masih belum jelas dimengerti. Berbagai
teori yang berkembang namun belum dapat ditemukan penyebab tunggal yang diketahui
sebagai etiologi PC. Salah satu teori yang diyakini adalah peran perantara sistem imun pada
individu yang memang rentan secara genetik. PC dianggap sebagai suatu respons imun
yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada flora normal usus yang berakibat
13

terjadinya inflamasi kronik pada usus. Kondisi ini didukung dengan adanya temuan
antibodi terhadap antigen mikrobial dan diidentifikasinya gen CARD15 sebagai gen
penyebab kerentanan terjadinya PC.7
Ketiga faktor utama yang berperan pada PC yaitu faktor genetik, respon imun usus,
dan mikrobiota, dimana masing – masing faktor dipengaruhi oleh pajanan pada masing –
masing individu atau dapat dipicu oleh suatu lingkungan yang dapat memicu berbagai
mekanisme yang menjadi penyebab PC, sebuah konsep yang kemudian menggantikan
paradigma lama, dimana PC dianggap sebagai suatu kondisi klinis yang disebabkan oleh
satu mekanisme yang dominan (Gambar 1).11

Gambar 1. Patogenesis penyakit Crohn11


Sementara pada IBD, secara genetik ditemukan bahwa adanya mutasi gen NOD2
14

(yang merupakan gen IBD1) atau CARD15 (gen NOD2) di kromosom 16 dapat
dihubungkan dengan terjadinya IBD (terutama pada PC). Meski demikian, gen-gen ini tidak
disebutkan sebagai penyebab PC.8 Secara teori, patogenesis IBD dapat digambarkan seperti
pada gambar 2.

Genetik Virus Kerusakan


lingkungan langsung, autoimun,
virus,bakteri, protein

Kaskade Sel Target


inflamasi Limfosit

Sitokin

Protease,
leukotrin dll Netrofil Makrofag

Gambar 2. Patogenesis IBD

Secara umum, diperkirakan bahwa patogenesis PC tidak berbeda dengan


patogenesis pada IBD. Diawali dengan adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet
intralumen kolon pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek
imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.4
Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan yang kuat antara faktor
genetik dengan terjadinya PC. Selain daripada itu, beberapa mikroorganisme juga diduga
memiliki peran penting terhadap kejadian PC, seperti Mycobacterium paratuberculosis,
Listeria monocytogenes, Chlamydia trachomatis, Escherichia coli, Cytomegalovirus dan
Saccharomyces cerevisiae. Namun dengan semakin berkembangnya penelitian, terjadi
pergeseran etiologi, yang semula berasal dari infeksi/agen patogen ke agen komensal, yang
kemudian berubah menjadi agen inflamasi. 13
15

Pada IBD terjadi disregulasi respon imun mukosa terhadap antigen mikroba
komensal pada pejamu yang memiliki kelemahan genetik yang mendapat pengaruh
lingkungan, demikian halnya pada PC. Respon sel T secara berlebihan dari sel T yang
terpolarisasi mengeluarkan sitokin T helper (Th) 1,2, atau 17 yang menyebabkan kerusakan
jaringan dan gejala klinis. Respon sel T regulator yang tidak adekuat memberi kontribusi
yang signifikan baik pada patogenesis IBD dan PC.14-18
Secara umum diperkirakan bahwa proses patogenesis PC diawali oleh adanya
infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang
rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi proses
inflamasi pada dinding usus. Sistem imun mukosa usus telah didesain untuk
1-5
mempertahankan diri dari serangan patogen dan mentoleransi bakteri komensal.
Sistem pertahanan ini terganggu pada PC, sehingga inflamasi justru terpacu oleh
mikroflora komensalnya. Bukti lain menunjukkan bahwa bakteri komensal usus dan produk
yang dihasilkannya menyebabkan terjadinya PC dan memperpanjang gejala klinis serta
mengaktifkan penyakit lain yang bersifat laten, sehingga sering muncul komplikasi septik
PC dan memunculkan manifestasi ekstraintestinal. 19,20
Lapisan lamina propria usus mengandung populasi kompleks sel-sel imun yang
menyeimbangkan toleransi kekebalan tubuh terhadap mikrobiota komensal usus dengan
sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi patogen, pertumbuhan berlebihan mikrobiota
komensal usus, atau keduanya. Ciri dari PC adalah adanya infiltrasi sel-sel imun tubuh
sendiri ke dalam lamina propria seperti netrofil, makrofag, sel dendritik, dan natural killer
sel T. Peningkatan jumlah dan aktivasi sel-sel imun pada mukosa intestinal menyebabkan
peningkatan lokal kadar tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin (IL) 1-β, interferon
(IFN) γ, dan jalur sitokin IL12, IL-23 dan Th17.20,21

2.4 Peranan Sistem Imun pada PC

Sistem imun alamiah adalah bagian dari sistem imun nonspesifik terhadap patogen
16

yang akan memberikan respon segera atau dalam beberapa jam pertama setelah terjadinya
suatu infeksi di dalam tubuh. Sistem imun ini merupakan lini pertahanan pertama, termasuk
di dalamnya perlindungan fisik seperti pada kulit dan mukosa usus serta sel-sel kekebalan
tubuh lainnya yang mampu mengidentifikasi dan menghilangkan benda asing dari tubuh.
Sistem imun alamiah cenderung bereaksi dengan bahan kimia yang dihasilkan oleh antigen
daripada terhadap antigen spesifik itu sendiri, sebaliknya sistem imun yang didapat lebih
cenderung merespon secara spesifik kepada antigen itu sendiri karena antigen akan diproses
dan dikenali, dan diproduksi sel-sel kekebalan yang spesifik terhadap antigen tersebut yang
meningkatkan efisiensi respon kekebalan tubuh terhadap infeksi selanjutnya. 22
Pandangan yang konservatif terhadap patogenesis PC adalah bahwa peradangan
usus diperantarai oleh sistem imun alamiah (Gambar 2). Dimana peradangan kronis terjadi
akibat agresifnya aktifitas efektor limfosit dan sitokin proinflamasi. Selain itu, PC dapat
disebabkan juga akibat kegagalan pengaturan limfosit dan sitokin (IL-10 dan TGF-β) dalam
mengendalikan peradangan dan jalur efektor.
17

Gambar 3. Mekanisme molekuler pada patogenesis PC

Sel Th1 memediasi respon imun seluler dan mensekresikan IL-2, IL-12 dan IFN-γ.
Sel Th2 memediasi respon imuun humoral dan mensekresi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-
13. Pengaturan keseimbangan setiap sel ini terjadi secara timbal balik melalui sinyal
sitokin. Interferon-γ (IFN-γ) yang diproduksi oleh sel Th1 menekan perkembangan Th2,
sedangkan IL-4, IL-10 dan IL-13 yang disekresi oleh Th2 menghambat respon Th1.
Penyakit Chrohn dikaitkan dengan sitokin yang dihasilkan oleh Th1, sementara pola sitokin
pada KU kurang jelas. Saat ini, penyebab utama yang bertanggung jawab terhadap IBD
adalah respon sel T yang berlebihan sehingga mukosa usus menjadi hiperresponsif terhadap
bakteri komensal. Aktivasi sel Th1 dan pelepasan sitokin dihubungkan dengan aktifnya
matriks metaloproteinase yang merupakan mediator penting kerusakan jaringan. Selain itu,
sitokin juga bekerja lokal pada mikrovaskuler usus, meningkatkan regulasi adhesi mukosa
18

dan meningkatkan rekruitmen sel efektor termasuk netrofil dan fagosit yang berkontribusi
terhadap menghebatnya respon inflamasi dan kerusakan jaringan berkelanjutan. 23
Setidaknya terdapat dua mekanisme yang mengatur aktivasi sel T mukosa usus.
Pertama, berdasarkan fungsi sel efektor dan sel T regulator pada mukosa usus normal.
Aktifitas imunosupresif sel T regulator memerlukan produksi IL-10 dan TGF-β yang
tergantung pada sinyal cytotoxic T lymphocyte-associated antigen 4 (CTLA-4) yang
merupakan regulator negatif aktivasi sel T. Kedua, mekanisme yang melibatkan hilangnya
respon imun akibat induksi apoptosis oleh sel T yang teraktivasi saat terpapar dengan
patogen. Pada PC, sel T mukosa usus resisten terhadap proses apoptosis yang menyebabkan
akumulasi sel T dan respon imun yang persisten. Resistensi mukosa sel T ini diperkirakan
akibat peningkatan konsentrasi IL-6 pada mukosa usus yang terus menerus memberikan
sinyal ke sel T. Pada PC, IL-6 bersama dengan soluble interleukin-6 receptors (sIL-6R)
mengaktifkan makrofag yang menstimulasi kaskade ekspresi gen antiapoptosis. Pada KU,
sel T pada lamina propria lebih suseptibel terhadap apoptosis yang dimediasi oleh Fas-
ligand (FasL).22-24
2.5 Gambaran Klinik
Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi
klinik IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstraintestinal seperti arthritis,
uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum dan kolangitis.1,2,5 Gambaran ini klinis
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Gambaran klinis IBD. 2


Klinis Kolitis ulseratif Penyakit Crohn
19

Diare kronik ++ ++
Hematoskhezia ++ +
Nyeri perut + ++
Massa abdomen 0 ++
Fistulasi +/- ++
Stenosis/striktur + ++
Keterlibatan usus halus +/- +++
Keterlibatan rektum 95% 50%
Ekstraintestinal + +
Megatoksik kolon + +/-

Keterangan: ++ Sering + Kadang +/- Jarang 0 Tidak ada

Disamping itu disertai dengan gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai
dampak keadaan patologis yang ada, seperti gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU relatif
lebih seragam dibandingkan gambaran klinis pada PC. Hal ini disebabkan distribusi
anatomis saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih
bervariasi yaitu dapat melibatkan atau terjadi pada semua segmen saluran cerna mulai dari
mulut sampai anorektal.1,2,3,5
Perjalanan klinik IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi ini dapat
disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan. Dengan sifat
perjalanan klinik IBD yang kronik eksaserbasi remisi, diperlukan suatu kriteria klinis
sebagai gambaran aktifitas penyakit untuk keperluan pedoman keberhasilan pengobatan
maupun menetapkan fase remisi. Secara umum digunakan disease activity index (DAl)
yang didasarkan pada frekuensi diare, ada tidaknya perdarahan per-anal dari penilaian
kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan endoskopi, dan penilaian keadaan umum. 1,5
Gambaran patologis IBD dibagi berdasarkan lesi yaitu segmental, transmural dan
predileksi anatomik.
Tabel 2. Gambaran patologi IBD.2
Gambaran klinis IBD KU PC
Lesi anatomis bersifat segmental 0 ++
Sifat lesi mukosal Kontinu Skip lesion
Dapat melibatkan semua lapis dinding usus +/- ++
(bersifat transmural)
20

Terjadinya granuloma (cobblestone) 0 50%


Timbulnya fibrosis + ++
Terjadinya fistulasi +/- ++

Keterangan: ++ sering + kadang +/- jarang 0 Tidak ada

2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium,
pemeriksaan radiologi, endoskopi, serta histopatologi. Alur diagnosis dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.2

Anamnesis
Terdapat perjalanan penyakit episodikal aktif-remisi-
kronik-eksaserbasi

Pemantauan Pemeriksaan fisik


perjalanan klinis Keadaan umum, status gizi,
nyeri tekan abdomen, gejala/tanda
ekstraintestinal, fistula

Kolonoskopi Laboratorium
histopatologi, radiologi DPL,LED,CRP, FOBT/feses lengkap,
gambaran sesuai IBD CEA, CA 19-9

Gambar 4. Alur diagnosis IBD.2

Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah, dan nyeri
perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna (ekstraintestinal), seperti
artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara
sistemik, dapat dijumpai gambaran sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti
anemia, demam, gangguan nutrisi. Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan
klinis IBD bersifat kronik-eksaserbasi-remisi atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan
21

fase remisi. Pemahaman atas proses inflamasi yang terjadi pada patogenesis IBD akan
membantu kita mengenali gambaran klinis untuk masing-masing entitas IBD. Misalnya kita
akan menemui keluhan yang lebih seragam pada UC dibandingkan PC karena distribusi
anatomis saluran cerna yang terlibat pada UC adalah kolon sedangkan pada PC lebih
bervariasi. Namun perlu diingat bahwa terkadang sulit membedakan gambaran IBD dengan
penyakit lain yang kerap ditemukan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia
yakni kolitis infeksi dan tuberkulosis usus. 25
Terdapat dua masalah utama dalam mendiagnosis IBD, yaitu kesulitan dalam
mencari baku emasnya baik secara histologi dan serologi dan adanya kondisi yang mirip
dengan IBD. Diagnosis IBD ditegakkan berdasarkan penilaian keseluruhan dari
manifestasi klinis, radiologis, endoskopi, dan patologi anatomi. 26

Tabel 3. Perbedaan gambaran klinis dan endoskopi antara UC dan PC. 1,27
Ulcerative Colitis (UC) Crohn Disease (PC)
Area yang terlibat Hanya kolon Seluruh bagian traktus
gastrointestinal

Distribusi Difus Fokal segmental, skip areas

Mukosa dan submukosa Transmural

Komplikasi
- Fistula dan abses Jarang Sering
- Striktur Jarang Sering
- Risiko kanker Lebih sering Lebih sedikit

Tampilan kolonoskopi Kerapuhan yang difus atau Focal apthous ulcer, lineal
ulserasi ulcers, cobblestone

Lesi anus Jarang Hampir 75%

Berdasarkan konsensus Asia Pasifik 2006, kriteria diagnosis IBD ditegakkan sebagai
berikut.26
22

Diagnosis pasti PC berdasarkan dari hasil pemeriksaan histopatologi spesimen yang


didapatkan dari tindakan operatif menunjukkan lesi segmental transmural, abses yang
berbentuk fisura, granuloma nonkaseosa, dan agregasi limfoid dalam lamina propria dan
submukosa.
Kemungkinan PC
a. Laparotomi secara makroskopik menunjukkan suatu PC tanpa pemeriksaan
histologi.
b. Pemeriksaan histologi yang berasal dari tindakan operasi menunjukkan hasil yang
samar untuk PC.
c. Kolonoskopi sesuai dengan PC dan hasil pemeriksaan histologi dari biopsi
mendukung PC.
d. Pemeriksaan radiologis menunjukkan peradangan kronis dengan obstruksi atau
fistula.

2.7 Pengobatan
Jenis obat-obat yang umum dipakai terdiri dari obat antiinflamasi, kortisol atau
steroid, dan asam amino salisilat. Adanya berbagai golongan obat yang dapat berperan
dalam mengobati peradangan aktif pada IBD dngan tujuan menginduksi remisi secepat
mungkin dan mencegah terjadinya komplikasi. 1,2,3,5
Fokus utama rencana terapi pada IBD adalah upaya penghambatan kaskade proses
inflamasi (jika tidak dapat dihilangkan sama sekali). Secara umum prinsip terapi IBD
adalah mengobati peradangan aktif IBD dengan cepat sehingga tercapai remisi, mencegah
peradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin, mengobati serta
mencegah komplikasi.25
Kesulitan dalam pengobatan IBD diakibatkan adanya keraguan tentang etiologi
yang tepat. Pengobatan meliputi terapi konservatif, termasuk juga terapi bedah untuk
penderita yang tidak respon terhadap obat-obatan. Obat-obatan yang dipakai yaitu obat anti
inflamasi (mesalazine, kortikosteroid), imunosupresan (metotreksat, siklosporin, azatioprin,
23

dan 6-merkaptopurin), agen biologis (anti TNF alfa seperti infliksimab, adalimumab),
antibiotik (ciprofloksasin, metronidazol, ornidazol, klaritromisin) dan obat simptomatis.
Obat-obatan ini mempunyai variasi dalam mengontrol gejala penyakit, sebanding antara
tolerabilitas dan toksisitasnya. Tidak ada satupun pengobatan yang efektif untuk seluruh
penderita dan semua terapi dihubungkan dengan sejumlah kerugian termasuk efek samping
obat yang ditimbulkan. Hal ini sangat dibutuhkan pilihan terapi baru untuk mengobati IBD.
Oleh sebab itu, terapi di masa depan tidak hanya difokuskan untuk menghilangkan gejala
saja, tetapi juga difokuskan untuk memperbaiki gangguan fisiologi tubuh akibat komplikasi
jangka pendek dan jangka panjang.

2.7.1 Pengobatan umum


Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi dalam bentuk bakteri intralumen
usus dan komponen diet sehari-hari yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada
kelompok orang yang rentan, maka diusahakan untuk mengeliminasi hal tersebut dengan
cara pemberian antibiotik, lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja
usus, dan perubahan pola diet.1,2,3,5

2.7.2 Obat golongan kortikosteroid


Sampai saat ini obat golongan glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk PC
(untuk semua derajat) dan KU derajat sedang dan berat. Pada umumnya pilihan jatuh pada
prednison, metilprednisolon (bentuk preparat peroral) atau steroid enema. Pada keadaan
berat, diberikan kortikosteroid parenteral. Dosis rata-rata steroid yang banyak digunakan
untuk mencapai fase remisi adalah setara dengan 40-60 mg prednison, yang kemudian
dilakukan tappering dose setelah remisi tercapai dalam waktu 8-12 minggu. 1,2,3,5
Pada PC, kortikosteroid oral maupun intravena efektif dalam menginduksi remisi.
Dilaporkan bahwa 75-80% kasus respon pada pengobatan awal dengan steroid ini, tapi
hanya 25% yang kemudian dapat lepas dari obat ini. Sisanya menjadi refrakter atau
ketergantungan. Walaupun efektif dalam mencapi remisi, steroid tidak efektif dalam
24

pengobatan pemeliharaan. Jadi secepatnya dilakukan tappering dose setelah remisi tercapai.
Seperti juga pada PC, steroid sangat berguna dalam pengobatan fase akut pada KU yang
moderat-berat.1,2,3,5

2.7.3. Obat golongan asam amino salisilat


Obat yang sudah lama dipakai dalam pengobatan IBD adalah preparat sulfasalazin
yang merupakan gabungan sulpiridin dan aminosalisilat dalam ikatan azo. Preparat ini akan
dipecah di dalam usus menjadi sulfapiridin dan 5-acetil salicylic acid (5-ASA). Saat ini
telah ada preparat 5-ASA murni, baik dalam bentuk sediaan lepas lambat, di Indonesia
preparat ini tersedia dengan nama dagang Salofalk. Pada preparat lepas lambat, 5-ASA
akan dilepas pada situasi pH >5, Baik sulfasalazin maupun 5-ASA mempunyai efektifitas
yang relatif sama dalam pengobatan IBD, hanya efek samping lebih rendah pada 5-
ASA.1,2,3,5

2.6.4. Obat golongan imunosupresif


Obat ini dipakai bila dengan 5-ASA dan kortikosteroid gagal mencapai remisi, yang
termasuk dalam golongan ini seperti, 6-mercaptopurin (6-MP), azathioprine, siklosporin,
methotrexate dan obat golongan anti tumor necroting factor (TNF).1,2,3
25

BAB III
PERAN VEDOLIZUMAB PADA PENYAKIT CROHN

INTEGRINS AS NEW DRUG TARGET FOR TREATMENT OF INFLAMMATORY


BOWEL DISEASE Earlier, integrins involved in cell adhesion were targeted with
natalizumab which is a monoclonal antibody directed against α4 integrin chain (blocks α4 β1
integrin and α4 β7 ). It is used to treat PC and multiple sclerosis, but is associated with risk
of developing progressive multifocal leukoencephalopathy (PML). It has been hypothesized
that preventing α4 β1 integrin binding to vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) may
result in decreased immune surveillance within the central nervous system, in turn increasing
the risk of developing PML. Unlike natalizumab, vedolizumab specifi cally targets α4 β7
and does not inhibit binding at VCAM-1.[1]

INTEGRINS SEBAGAI TARGET OBAT BARU UNTUK PENGOBATAN PENYAKIT


RADANG USUS
Sebelumnya, integrin yang terlibat dalam adhesi sel ditargetkan bersama natalizumab yang
merupakan antibodi monoklonal yang menghambat ikatan rantai integrin α4 (blok α4 β1
integrin dan α4 β7). Natalizumab digunakan untuk mengobati penyakit Crohn dan multiple
sclerosis, tetapi obat tersebut memiliki efek samping terhadap risiko terjadinya
leukoensefalopati multifokal progresif (PML). Telah dihipotesiskan bahwa penghambatan
ikatan integrin α4 β1 dengan molekul adhesi sel vaskular-1 (VCAM-1) dapat mengakibatkan
penurunan pengawasan kekebalan dalam sistem saraf pusat, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya PML. Tidak seperti natalizumab, vedolizumab secara spesifik menentukan target
α4 β7 dan tidak menghambat pengikatan pada VCAM-1. 10

Updated review on immune factors in pathogenesis of


Crohn’s disease
The traditional view is that CD is due to acquired Li N et al . Immune factors in CD
pathogenesis WJG|www.wjgnet.com 20 January 7, 2018|Volume 24|Issue 1| immune system
disorders, and Th1 cytokines are the main factors in the development of CD. However, only
some of them can be used in the treatment of CD, including IL-1, 2, 6, 12, 18, IFN-α, and
TNF-γ. They can act on intestinal epithelial cells and cause epithelial cell apoptosis by
activating lymphocytes. So far, the most successful example is the use of anti-TNF-α
antibodies for the treatment of refractory CD with fistula. Mannon et al[46]
Gangguan sistem kekebalan, dan sitokin Th1 adalah faktor utama dalam perkembangan CD.
26

Namun, hanya beberapa di antaranya yang dapat digunakan untuk pengobatan CD, termasuk
IL1, 2, 6, 12, 18, IFN. α, dan TNF γ. Mereka dapat bekerja pada sel epitel usus dan
menyebabkan apoptosis sel epitel dengan mengaktifkan limfosit. Sejauh ini, contoh paling
sukses adalah penggunaan antiTNF α antibodi untuk pengobatan CD tahan api dengan
fistula. Mannon dkk [ 46] melaporkan keamanan antibodi monoklonal antiIL12 subkutan
selama 7 minggu, dan meskipun jumlah kasus yang diteliti sedikit, respons klinis signifikan
ketika diberikan terapi antibodi monoklonal IL12 dosis tinggi (3 mg / kg berat badan).
Keamanan jangka Panjang merupakan masalah yang sangat penting karena sitokin Th1
merupakan faktor anti infeksi yang penting. Misalnya, penghambatan jangka Panjang dari
tanggapan pejamu terhadap tuberkulosis (TB) dengan pengobatan antibodi anti TNFalpha
dapat menyebabkan kambuhnya TB laten pada pasien; pengobatan antiIL12 harus
dipertimbangkan untuk kemungkinan
DAFTAR PUSTAKA

1. Friedman S, Blumberg RS. Disorder of the Gastrointestinal system: Inflammatory bowel


disease. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 20th ed. 2018; 319: 2258-70.
2. Djojonigrat D. Inflamatory Bowel Disease. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, edisi
6th. Jakarta Internal Publishing; 2014:1814-26
3. Djojonigrat D, Simadibrata M, Makmun D, Abdullah M, Fauzi A et al. Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Inflammatory Disease (IBD) Di Indonesia; 2011; 1-21
4. Torres J, Colombel JF, Mehandru S, Peyrin-Biroulet L. Crohn disease’s. The Lancet.
2017; 389: 1741–55
5. Lamb C, O’Byrne S, Keir M & Butcher E. Gut – Selective Integrin – Targeted Therapies
for Inflammatory Bowel Disease. J Crohn's and Colitis. 2018; 653–68.
6. Sandborn WJ, The Present and Future of Inflammatory Bowel Disease Treatment.
Gastroenterol Hepatol. 2016; 12(7):438-41.
7. Amiot A. Current, New and Future Biological Agents on the Horizon for the Treatment
of Inflammatory Bowel Diseases. Ther Adv Gastroenterol. 2015;8(2):66-82.
8. Park SC, Jeen YT. Anti-integrin therapy for inflammatory bowel disease. World J
Gastroenterol. 2018; 24(17): 1868-80.
9. Ng SC, Shi HY, Hamidi N, et al. Worldwide incidence and prevalence of inflammatory
bowel disease in the 21st century: a systematic review of population-based studies. Lancet.
2018;390:2769–78.
10. Shi HY, Ng SC. The state of the art on treatment of Crohn’s disease. J Gastroenterol.
2018;53:989–998.
11. Boyapati R, Satsangi J, Ho GT. Pathogenesis of Crohn’s disease. F1000Prime Reports.
2015;7:44
12. Singh H, Grewal N, Arora E, Kumar H, Kakkar AK. Vedolizumab: A novel anti-integrin
drug for treatment of infl ammatory bowel disease. J Nat Sc Biol Med 2016;7:4-9.
13. Ananthakrishnan AN. Epidemiology and risk factors for IBD. Nature Reviews
Gatroenterology and Hepatology. 2015;(12):205-17.
14. Ahluwalia B, Moraes L, Magnusson MK & Öhman L. Immunopathogenesis of
inflammatory bowel disease and mechanisms of biological therapies. Scandinavian J
Gastroenterology. 2018; 53(4):379-389.
15. Coskun M. Novel Targeted Therapies for Inflammatory Bowel Disease. Trends in
Pharmacological Sciences.2017;38(2):127-42.
16. Zhang YZ, Li YY. Inflammatory bowel disease: pathogenesis. World J Gastroenterol.
2014;20(1): 91-9.
17. Pratama N, Abdullah M, Kansera DD, Estherina J, Yaruntradhani R. Prevalence of
Crohn’s disease in endoscopic unit Cipto Mangunkusumo Hospital. The Indonesian Journal
of Gastroenterology, Hepatology and Digestive Endoscopy. 2011;12(2):85-8.

18. Persatuan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan


inflammatory bowel disease di Indonesia. Jakarta: PGI;2011.

27
19. Pan G, Fiocchi C, Lam S, et al. Special report: Management concensus of
inflammatory bowel disease for the asia-pacific region. J of Gastro and Hep.
2006;21:1772-82.

20. Pariente B, Mary J, Danese S. Development of the Lemann index to assess


digestive tract damage in patients with Crohn's disease. Gastroenterology 2015
21. Torres J, Caprioli F, Katsanos KH. Predicting outcomes to optimize disease
management in inflammatory bowel diseases. J Crohns Colitis 2016
22. Lichtenstein G R, Loftus E I, Kim L R, Miguel D G, Lauren B, Clinical
Guideline: Management of Crohn's Disease in Adults. American Journal of
Gastroenterology. 2018.
23. Satsangi J, Silverberg MS, Vermeire S, Colombel JF. The Montreal classification
of IBD disease: controversies, concensus, and implications. Gut. 2006 Jun; 55 (6):
749-53.
24. Maaser C, Sturm A, Vavricka SR, Kucharzik T, Fiorino G, Annese V, at al.
European Crohn’s and Colitis Organisation (ECCO). Guideline for Diagnostic
Assesment in IBD Part 1: initial diagnosis, monitoring of known IBD, detection of
complications. J Crohn’s Colitis. 2019.
25. Gomollon F, Dignass A, Annese V, Tilg H, Van Assche G, Lindsay JO, et
al.; ECCO. 3rd European Evidence-based Consensus on the Diagnosis and
Management of Crohn’s Disease 2016: Part 1: Diagnosis and Medical Management.
J Crohn’s Colitis. 2017 Jan;11(1):3–25.
26. Adamina M, Bonovas S, Raine T, Spinelli A, Warusavitarne J, Armuzzi A, et
al. ECCO Guidelines on Therapeutics in Crohn’s Disease: surgical Treatment. J
Crohn’s Colitis. 2020 Feb;14(2):155–6.
27. Satsangi J, Silverberg MS, Vermeire S, Colombel JF. The Montreal classification
of inflammatory bowel disease: controversies, consensus, and implications. Gut.
2006 Jun;55(6):749–53.

ii

Anda mungkin juga menyukai