Pembimbing:
dr. Andy, Sp.P(K)
Oleh:
Kelompok 25
Muhammad Alfarizi 220702110008
Daru Darma Prasojo 220702110012
Anis Khoirunnisa 220702110015
Nadiya Salma Kustiawan 220702110026
Vinsa Surya Amanda 220702110043
DEPARTEMEN PARU
RSUD KARSA HUSADA BATU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................8
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................8
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................9
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................9
BAB II.....................................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................10
2.1 Respiratory Failure.............................................................................................10
2.2.Tuberculosis.......................................................................................................24
2.3.Efusi Pleura........................................................................................................44
2.4.Kista Hepar........................................................................................................50
BAB III....................................................................................................................58
LAPORAN KASUS................................................................................................58
3.1 Identitas Pasien..................................................................................................58
3.2 Subjektif.............................................................................................................58
BAB IV....................................................................................................................77
PEMBAHASAN.....................................................................................................77
BAB V......................................................................................................................79
PENUTUP...............................................................................................................79
5.1 Kesimpulan........................................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................80
i
DAFTAR GAMBAR
i
DAFTAR TABEL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
• Takipnea dan takikardi yang merupakan gejala nonspesifik
• Batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu napas, dan pulsus
paradoksus dapat menandakan risiko terjadinya gagal napas
• Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema akibat hiperkapnia
atau vasodilatasi cerebral
• Pada paru ditemukan gejala yang sesuai dengan penyakit yang
mendasari.
• Bila hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan
membran mukosa. Sianosis dapat diamati bila konsentrasi
hemoglobin yang mengalami deoksigenasi pada kapiler atau jaringan
mencapai 5 g/dL
• Disapnue dapat terjadi akibat usaha bernapas, reseptor vagal, dan
stimuli kimia akibat hipoksemia atau hiperkapnia
• Kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada kasus gagal
napas. Mioklonus dan kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat.
Polisitemia merupakan komplikasi lanjut dari hipoksemia
• Hipertensi pulmoner biasanya terdapat pada gagal napas kronik.
Hipoksemia alveolar yang disebabkan oleh hiperkapnia
menyebabkan konstriksi arteriol pulmoner (Murat dan Michael,
2012).
Kegagalan pernapasan dapat berhubungan dengan berbagai
manifestasi klinis namun, ini tidak spesifik, dan kegagalan pernafasan
yang sangat signifikan mungkin ada tanpa tanda-tanda atau gejala yang
signifikan. Pengukuran gas darah arteri pada semua pasien yang sakit
parah atau yang dicurigai gagal napas perlu dilakukan (Dewi, 2017).
Analisis gas darah arteri harus dilakukan untuk memastikan
diagnosis dan untuk membantu dalam perbedaan antara bentuk akut dan
kronis. Ini membantu menilai keparahan kegagalan pernapasan dan
membantu dalam penanganan. Hitung darah lengkap (CBC) dapat
menunjukkan anemia, yang dapat berkontribusi terhadap hipoksia
jaringan, sedangkan polisitemia mungkin menunjukkan kegagalan
pernafasan hipoksemia kroonis (Dewi, 2017).
Kelainan fungsi ginjal dan hati mungkin juga memberikan petunjuk
etiologi kegagalan pernafasan atau mengingatkan dokter untuk komplikasi
yang terkait dengan kegagalan pernafasan. Kelainan pada elektrolit seperti
kalium, magnesium, dan fosfat dapat memperburuk kegagalan pernapasan
dan fungsi organ lainnya (Dewi, 2017).
Serum creatine kinase dengan fraksinasi dan troponin I membantu
mengecualikan infark miokard pada pasien dengan gagal napas. Tingkat
creatine kinase meningkat dengan tingkat troponin I yang normal dapat
menunjukkan myositis, yang kadangkadang dapat menyebabkan
kegagalan pernafasan pada gagal napas hiperkapnia kronis, tingkat serum
thyroid-stimulating hormone (TSH) harus diukur untuk mengevaluasi
kemungkinan hipotiroidisme, yang berpotensi menyebabka kegagalan
pernapasan (Dewi, 2017).
Foto rontgen dada sangat penting. Echocardiography tidak rutin
dilakukan tetapi kadang kadang berguna. Tes fungsi paru jika
memungkinkan, dapat membantu. Elektrokardiografi (EKG) harus
dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab kardiovaskular
sebagai kegagalan pernafasan, tetapi juga dapat mendeteksi disritmia
akibat hipoksemia berat atau asidosis (Dewi, 2017).
2.2.Tuberculosis
2.2.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex.
2.2.2. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran
lebar 0,3 – 0,6 m dan panjang 1 – 4 m. Dinding M. Tuberculosis
sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. Tuberculosis adalah asam mikolat,
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut
cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam
virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang
(C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan
glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur
lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur
dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan M. Tuberculosis
bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam
– alkohol. Atas dasar karakteristik yang unik inilah bakteri dari genus
Mycobacterium seringkali disebut sebagai Bakteri Tahan Asam
(BTA) atau acidfast bacili (AFB). Dari analisis genetik tersebut,
diketahui bahwa M. Tuberculosis memiliki potensi untuk bertahan
hidup dalam lingkungan yang bervariasi, termasuk dalam lingkungan
dengan tekanan oksigen yang sangat rendah. Hal ini menyebabkan M.
Tuberculosis dapat bertahan dormant di dalam tubuh dalam kondisi
yang tidak optimal dan dapat mengalami reaktivasi di kemudian hari
jika situasi lingkungan memungkinkan.7 Mycobacterium memiliki
120 spesies dengan delapan spesies di antaranya adalah M.
Tuberculosis complex. M. Tuberculosis complex terdiri dari delapan
spesies yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Caprae, M. Africanum,
M. Microti, M. Canneti, M. Pinnipedii.
2.2.3. Epidemiologi
Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2020 yang diterbitkan
oleh WHO, diperkirakan pada tahun 2019 terdapat:4 – Insidens
kasus : 10 juta (8,9 – 11 juta) – Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,2
juta (1,1 – 1,3 juta) – Kasus meninggal (HIV positif) :
208.000(177.000- 242.000) Jumlah kasus terbanyak adalah pada regio
Asia Tenggara (44%), Afrika (25%) dan regio Pasifik Barat (18%).
Terdapat 8 negara dengan jumlah kasus TB terbanyak yang mencakup
dua pertiga dari seluruh kasus TB global yaitu India (26%), Indonesia
(8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,4%),
Bangladesh (3,6%), dan Afrika Selatan (3,6%). Sebanyak 8,2% kasus
TB adalah HIV positif. Pada tahun 2019, diperkirakan sebanyak 3,3%
dari TB Paru kasus baru dan 18% dari TB Paru dengan riwayat
pengobatan TB sebelumnya merupakan TB multidrug-resistant atau
rifampicin-resistant (TB MDR/RR) dengan jumlah absolut sebanyak
465.000 (400.000 – 535.000) kasus TB MDR/RR baru.
Di Indonesia sendiri diperkirakan pada tahun 2019 terdapat
845.000 (770.000 – 923.000) kasus baru TB Paru, sebanyak 19.000
kasus baru di antaranya merupakan kasus TB-HIV positif.
Diperkirakan terdapat 92.000 kematian pada kasus TB-HIV negatif
dan 4.700 kematian pada pasien TB-HIV positif
2.2.4. Patofisiologi
Patogenesis dari TB terkait erat dengan respon imun dari inang
(host). Pada sebagian besar inang, invasi patogen TB akan direspon
secara adekuat oleh sistem imun, membatasi pertumbuhan bakteri, dan
mencegah terjadinya infeksi. Secara paradoks, sebagian besar
kerusakan jaringan yang ditimbulkan pada infeksi TB justru berasal
dari respon imun inang, misalnya pada kejadian nekrosis perkijuan
dan kavitas yang khas dilihat pada paru pasien TB. Pada pasien
dengan sistem imun yang inadekuat, misalnya pada pasien HIV, dapat
menghasilkan tanda dan gejala yang atipikal. Pada pasien TB-HIV,
penampakan kavitas biasanya tidak dijumpai pada foto toraks.
Meskipun demikian, meskipun tidak atau sedikit dijumpai kerusakan
jaringan akibat respon imun inang pada pasien TB-HIV, rendahnya
respon imun mengakibatkan bakteri TB lebih mudah berproliferasi
dan menyebar. Hal tersebut dapat dilihat dari gambaran foto toraks TB
miliar yang umum dijumpai pada pasien TB-HIV. Tidak semua orang
yang terpajan dengan patogen TB akan berkembang menjadi penyakit
TB. Secara skematis, persentase orang terpajan TB yang akan
berkembang menjadi penyakit TB dapat dilihat pada Gambar 1.
C. Epidemiologi
Efusi pleura adalah penyakit yang paling umum di antara semua penyakit
pleura dan mempengaruhi 1,5 juta pasien per tahun di Amerika Serikat. Berbagai
macam penyakit dapat muncul dengan efusi pleura seperti penyakit yang
terutama melibatkan paru-paru seperti pneumonia, paparan asbes, terutama
penyakit sistemik seperti lupus, artritis reumatoid, atau mungkin manifestasi
pleura dari penyakit yang terutama memengaruhi organ lain seperti gagal jantung
kongestif, pankreatitis, atau penyakit yang lokal pada pleura seperti infeksi pleura
dan mesotelioma.
D. Patofisiologi
Pada orang dewasa normal yang sehat, rongga pleura memiliki cairan yang
minimal berfungsi sebagai pelumas untuk kedua permukaan pleura. Jumlah
cairan pleura sekitar 0,1 ml/kg hingga 0,3 ml/kg dan terus-menerus mengalami
pertukaran. Cairan pleura berasal dari pembuluh darah permukaan pleura parietal
dan diserap kembali oleh limfatik di permukaan diafragma dan mediastinum
pleura parietal. Tekanan hidrostatik dari pembuluh darah sistemik yang
mensuplai pleura parietalis diduga mendorong cairan interstitial ke dalam rongga
pleura dan karenanya memiliki kandungan protein yang lebih rendah daripada
serum. Akumulasi kelebihan cairan dapat terjadi jika produksi berlebihan atau
penurunan penyerapan, atau keduanya melebihi mekanisme homeostatis normal.
Jika efusi pleura terutama disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik,
biasanya bersifat transudat. Peningkatan permeabilitas mesotel dan kapiler atau
gangguan drainase limfatik biasanya menyebabkan eksudat.
E. Manifestasi Klinis
Identifikasi efusi pleura umumnya dilakukan dengan menemukan gejala yang
dirasakan oleh pasien. Gejala yang timbul pada pasien dirasakan karena adanya
proses-proses seperti respon inflamasi pada pleura, resktriksi mekanis pulmonal,
atau adanya gangguan dalam pertukaran gas. Efusi yang sedikit dapat tidak
menunjukkan gejala apapun (asimptomatik). Seiring bertambahnya jumlah efusi,
gejala seperti dispneu, trepopnea (dispneu posisional dimana dispneu dirasakan
saat berbaring pada salah satu sisi), nyeri dada, atau batuk. Beratnya gejala
dispneu kadang tidak berhubungan dengan ukuran efusi pleura. Pasien dengan
efusi pleura akibat gangguan pada paru (misal, chronic obstructive pulmonary
disease, limfangitis karsinomatosa, dan emboli pulmonal) dengan gambaran efusi
yang sedikit mungkin mengalami dispneu berat.
Gejala paling umum yang timbul dari respon inflamasi pleura adalah nyeri
pleuritik, yang dimediasi oleh pleura parietal (pleura visceral tidak mengandung
nosiseptor atau serabut saraf nosiseptif). Rasa sakit biasanya dirasakan di daerah
kelainan patologis, dan sering dikaitkan dengan siklus pernafasan. Nyeri pleuritik
lokal seperti itu membaik atau hilang segera setelah timbul efusi pleura. Beberapa
pasien menggambarkan sensasi tekanan di dada yang menyebar dan menyakitkan
terutama ketika proses patologis secara langsung melibatkan pleura parietal,
misalnya dalam kasus empiema pleura, tumor ganas primer, atau karsinomatosis
pleura. Efusi pleura dalam situasi ini biasanya tipe eksudatif.
Gejala yang paling umum dari efusi pleura adalah dispnea. Tingkat keparahan
dispnea hanya berkorelasi longgar dengan ukuran efusi. Efusi pleura besar
mengambil ruang di dada yang biasanya diisi oleh parenkim paru dan dengan
demikian berhubungan dengan penurunan semua volume paru. Volume paru juga
tidak segera berubah ketika efusi pleura (bahkan yang besar) terkuras. Perbaikan
klinis yang cepat dari dispnea setelah efusi pleura dikeringkan mungkin
mencerminkan transisi ke kurva tegangan panjang otot pernapasan yang lebih
menguntungkan, terutama diafragma. Beberapa pasien mengeluhkan batuk kering,
yang dapat dijelaskan sebagai manifestasi radang pleura atau kompresi paru akibat
efusi yang banyak. Efusi pleura juga dapat sangat mengganggu kualitas tidur
F. Diagnosis
Karena efusi pleura adalah hasil dari berbagai penyakit, anamnesis dan
pemeriksaan fisik juga harus difokuskan pada penyebab efusi paru atau sistemik
yang mendasarinya. Setelah penentuan awal apakah ada efusi pleura unilateral atau
bilateral, riwayat klinis sangat penting. Pasien harus ditanya tentang infeksi
pernapasan di masa lalu, demam, penurunan berat badan, dan malaise. Perjalanan
temporal juga sangat relevan: Apakah gejalanya muncul dengan cepat atau dalam
waktu yang lebih lama, mungkin selama beberapa minggu? Penyakit kronis apa
lagi yang diderita pasien? Informasi tentang riwayat penyakit jantung sangat
penting, karena gagal jantung kongestif adalah yang paling umum penyebab efusi
pleura bilateral. Sekitar 75% pasien dengan emboli paru dan efusi pleura mengeluh
nyeri dada pleuritik. Komponen penting terakhir dari riwayat klinis adalah obat
yang saat ini dikonsumsi dan paparan asbes sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik bunyi napas uni atau bilateral basal paru berkurang atau
tidak ada dan perkusi basal redup. Takipnea mungkin ada jika efusinya besar.
Gesekan pleura terkadang terdengar pada tahap awal efusi parapneumonik. Secara
klinis, penentuan apakah efusi pleura adalah uni atau bilateral umumnya dibuat dari
rontgen dada. Anamnesis dan pemeriksaan fisik berfungsi sebagai panduan untuk
pengujian lebih lanjut dan sering dapat menyarankan dengan akurasi yang tinggi
apakah terdapat transudat atau eksudat. Jika, misalnya, pasien menunjukkan tanda-
tanda klinis gagal jantung kongestif, dengan edema perifer, takikardia, bunyi
jantung ketiga, distensi vena leher, dan redup bilateral pada perkusi di dasar paru,
maka efusi pleura yang berasal dari jantung sangat mungkin, dan dengan demikian
kita mungkin berurusan dengan transudat daripada eksudat. Dalam situasi ini,
sebuah keran pleura diagnostik umumnya dapat ditiadakan, dan pengobatan
penyakit yang mendasarinya adalah pertimbangan utama.
Jika pemeriksaan ditemukan asites pada pasien dengan sirosis hati bersama
dengan bukti efusi pleura bilateral, kemungkinan hidrotoraks hati.
Gambar 6. Algoritma Diagnosis Efusi Pleura (Jany & Walte, 2019)
G. Pemeriksaan Penunjang
Radiografi dada berguna untuk memastikan adanya efusi. Temuan efusi
bervariasi dengan jumlah efusi. Pada tampilan posteroanterior (PA) tegak, minimal
200 ml cairan diperlukan untuk menutupi sudut kostofrenikus, yang disebut tanda
meniskus efusi pleura. Namun, dalam pandangan lateral, 50 ml cairan dapat
didiagnosis dengan tanda ini. USG dada lebih sensitif dan berguna untuk diagnosis
efusi pleura dan juga membantu dalam perencanaan torakosentesis. Semua efusi
unilateral pada orang dewasa membutuhkan thoracentesis untuk menentukan
penyebab cairan pleura. Ini juga dikenal untuk memperbaiki gejala pasien dan
memfasilitasi pemulihan.
Menentukan apakah cairan itu eksudat atau transudat mempersempit
perbedaannya. Namun, kriteria Light harus ditafsirkan dalam konteks klinis karena
salah mendiagnosis 20% transudat sebagai eksudatif. Contohnya adalah pasien
yang mengalami diuresis kronis karena gagal jantung, dapat meningkatkan kadar
protein cairan pleura, dan dapat diklasifikasikan sebagai eksudat.
Tes yang biasa dilakukan pada cairan pleura untuk menentukan etiologi adalah
pengukuran pH cairan, protein cairan, albumin dan LDH, glukosa cairan,
trigliserida cairan, perbedaan jumlah sel cairan, pewarnaan dan kultur gram cairan,
dan sitologi cairan. Eksudat ditandai dengan peningkatan protein, peningkatan
LDH, dan penurunan glukosa. LDH cairan pleura lebih besar dari 1000 U/L dapat
terlihat pada tuberkulosis, limfoma, dan empiema. PH rendah (pH kurang dari 7,2)
menunjukkan efusi pleura kompleks dalam pengaturan pneumonia dan hampir
selalu membutuhkan pemasangan selang dada untuk drainase. Penyebab lain dari
pH rendah mungkin pecahnya kerongkongan dan rheumatoid arthritis.
Jumlah sel cairan dalam transudat menunjukkan sel-sel mesothelial yang
dominan. Pada efusi parapneumonik, lupus pleuritis, dan pankreatitis akut, terdapat
dominasi neutrofilik dalam jumlah sel. Beberapa penyebab efusi dominan limfosit
meliputi keganasan, limfoma, tuberkulosis, sarkoid, efusi pleura rheumatoid kronis,
dan keganasan. Eosinofilia pada efusi pleura jarang terjadi dan biasanya dengan
adanya udara (pneumothorax), darah (hemothorax), penyakit parasit, atau efusi
yang diinduksi obat.
Kehadiran organisme dengan pewarnaan gram atau biakan mengarah ke
diagnosis empiema dan memerlukan selang dada untuk drainase nanah. Sitologi
diperlukan untuk menentukan keberadaan sel ganas dalam cairan pleura.
Sensitivitas sitologi cairan pleura dengan adanya efusi ganas pada thoracentesis
pertama adalah sekitar 60%, dan hasilnya meningkat dengan upaya lebih lanjut,
mendekati 95% dengan tiga sampel pada hari yang berbeda. Namun, jika diduga
kuat efusi ganas dan sitologi negatif, maka torakoskopi medis dengan biopsi pleura
dapat dilakukan setelah dua hingga tiga thoracentesis untuk mendapatkan
diagnosis.
Tes lain yang dapat dilakukan pada cairan pleura untuk menentukan etiologi
termasuk adenosine deaminase (ADA), yang bila meningkat, dicurigai tuberkulosis
di daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. Pada ruptur esofagus, adanya
amilase dalam cairan pleura bersifat diagnostik. Pada gagal jantung, peningkatan
kadar NT- proBNP dapat terlihat pada cairan pleura. Kehadiran lebih dari 110
mg/dL trigliserida dalam cairan pleura menunjukkan chylothorax. Cairan pleura
biasanya berwarna seperti jerami, dan jika berwarna putih susu, maka harus
dicurigai adanya chylothorax. Diagnosis hemotoraks dapat ditegakkan bila
hematokrit cairan pleura lebih dari 0,5 kali hematokrit serum.
Rontgen dada dapat mengungkapkan pergeseran mediastinum ke rongga dada
kontralateral. Mungkin juga terjadi pergeseran trakea ke arah sisi ipsilateral jika
bronkus tersumbat. Ct scan berguna untuk mengetahui penyebabnya, seperti
keganasan.
H. Tatalaksana
Setelah etiologi efusi pleura ditentukan, manajemen untuk mengatasi penyebab
yang mendasarinya. Dalam kasus efusi parapneumonik kompleks atau empiema
(pH cairan pleura kurang dari 7,2 atau adanya organisme), drainase selang dada
biasanya diindikasikan bersama dengan antibiotik. Saluran kecil (10 G hingga 14
G) sama efektifnya dengan saluran besar untuk tujuan ini. Jika pasien tidak
menanggapi antibiotik yang tepat dan drainase yang memadai, mungkin diperlukan
dekortikasi atau debridemen torakoskopik. Instilasi fibrinolitik intrapleural dan
DNAse dapat digunakan untuk meningkatkan drainase dan pada mereka yang tidak
merespon terapi antibiotik yang memadai dan mereka yang bukan kandidat untuk
intervensi bedah.
Jika pasien dengan efusi pleura ganas tidak menunjukkan gejala, drainase tidak
selalu diindikasikan kecuali ada dugaan infeksi yang mendasarinya. Untuk efusi
pleura ganas yang membutuhkan drainase yang sering, pilihan untuk manajemen
adalah pleurodesis (di mana ruang pleura dilenyapkan baik secara mekanis atau
kimiawi dengan menginduksi iritan ke dalam ruang pleura) dan penempatan kateter
pleura terowongan. chylous awalnya dikelola secara konservatif, tetapi sebagian
besar membutuhkan pembedahan.
Seseorang tidak boleh mengeluarkan lebih dari 1500 ml cairan selama satu
upaya karena dapat menyebabkan edema paru ekspansi ulang. Rontgen dada wajib
dilakukan setelah melakukan torakosentesis untuk menentukan sisa cairan dan
adanya pneumotoraks.
I. Prognosis
Prognosis tergantung pada penyebab efusi pleura. Efusi jinak dapat
disembuhkan, tetapi jika penyebabnya adalah keganasan, prognosisnya sangat
buruk. Fitur lain dari efusi pleura adalah kekambuhan yang juga dapat terjadi
dengan gangguan jinak seperti lupus, uremia, dan rheumatoid arthritis. Jika efusi
pleura tidak dibuang, dapat menyebabkan dispnea dan bahkan empiema.
2.4. Kista Hepar
2.4.1. Definisi
Kista hati didefinisikan sebagai lesi kecil berisi cairan abnormal yang
berkembang di dalam jaringan hati dan biasanya timbul dari dalam hepatosit,
epitel sel empedu, jaringan mesenkim, atau metastasis dari organ
ekstrahepatik. Sebagian besar kasus dapat ditangani dengan harapan idak
memerlukan intervensi. Namun, dalam beberapa kasus, kista yang cukup besar
menimbulkan gejala dan memerlukan intervensi medis atau bedah.
2.4.2. Etiologi
Kista hati berdasarkan etiologi dapat diklasifikasikan menjadi infeksius
dan non-infeksius. Infeksius dibagi menjadi parasit (Echinococcus dan kista
hidatidosa) dan non-parasit (abses piogenik dan jamur). Non-infeksius
meliputi jinak, neoplastik, dan traumatis.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Subjektif
Anamnesis
Keluhan Utama: Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Pasien rujukan RS. Prasetya Husada.
- Sesak dirasakan sejak 8 bulan yang lalu, keluhan dirasakan memberat
ketika pasien jalan sedikit dan berkurang dengan posisi duduk. Pasien
mengeluh sulit tidur saat malam hari karena sesak yang dirasakan.
Saat dirumah pasien tidur dengan menggunakan 3 bantal menumpuk
dan sesak terasa berkurang. Sesak memberat sejak tanggal 23/1/2023.
- Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 8 bulan yang lalu. Batuk yang
dirasakan pasien, batuk kering. Batuk memberat saat pasien MRS di
RS Karsa Husada (27 Januari 2023).
- Pasien mengeluhkan nyeri dada sebelah kanan, tidak tembus sampai
belakang. terkadang pasien mengeluh perut sampai dada sebelah
kanan terasa panas.
- Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan sejak pasien
mengeluh sakit.
- Pasien mengalami penurunan berat badan
- Tidak terdapat demam (-), dada berdebar (-), mual (-) muntah (-),
keringat malam hari (-)
- Sebelumnya, pasien sempat beberapa kali MRS di RS. Prasetya
Husada dengan keluhan sesak, asam lambung naik dan jantung
bengkak.
- Perkusi:
Anterior Posterior
D S D S
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
- - - -
+ + + +
Wheezing
Anterior Posterior
D S D S
- - - -
- - - -
- - - -
Abdomen:
- Inspeksi: Bekas operasi (-), linea nigra (-), striae gravidarum (-)
- Auskultasi: BU (+) 10x/menit
- Palpasi: Soefl pada seluruh lapang abdomen, undulasi (-), nyeri tekan -/-
- Perkusi: Timpani pada seluruh lapang abdomen, shifting dullness (-)
- Hepar: Tepi tajam
- Lien: Tidak ada pembesaran (hacket 0, schuffner 0)
Ekstremitas:
- Akral hangat kering merah
- Edema -/-
- CRT <2 detik
Pemeriksaan penunjang
EKG (27/1/23)
- Irama : Sinus takikardi
- Frekuensi : 107x/menit, reguler
- Axis Frontal : normoaxis
- Axis Horizontal : clockwise rotation
- Gelombang P : 0.08 s
- PR Interval : 0.20 s
- QRS Complex : 0.08 s
RVH (-) LVH (-)
RBBB (-) LBBB (-)
- ST Segmen : isoelektrik
- T Wave : normal
KESIMPULAN:
Sinus takikardi dengan Hr 107x/menit
Interpretasi :
Hepar : ukuran normal, sudut tajam, permukaan regular, echoparenchym homogen
normal, sistem porta/vesikuler/bilier tida melebar. Tampak kista dinding tipis pada
lobus kanan dan kiri
Vesika felea : ukuran normal, dinding tidak menebal, tak tampak batu/sludge, CBD
tidak melebar
Pancreas : ukuran normal, echoparenkim homogen normal, tidak tampak lesi
patologis
Lien : ukuran normal, tepi tajam, permukaan rata, echoparenkim homogen, vena
lienalis tidak melebar, tidak tampak lesi patologis
Ren D/S : ukuran D: ±9.5x3.6 cm; S: ±9.7x4.4 cm, echo cortex meningkat, batas
cortex medulla jelas. Sistema pelviocalyceal tidak melebar. Tidak tampak
batu/kista/ectasis
VU : terisi urine optimal, dinding tidak melebar, batu/massa (-)
Prostat : ukuran normal, echoparenkim homogen normal, tidak tampak lesi patologis
kalsifikasi
Tampak echo cairan bebas pada cav pleura D/S, fossa hepatorenal, splenorenal,
perivesia
Kesimpulan
Efusi pleura bilateral
Ascites
Parenchumatous renal disease bilateral
Kista simple hepar
Laboratorium (28/1/2023)
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Rujukan
Kimia darah
Albumin 2.50 (L) g/dL 3.2-5.5
Gula darah sewaktu 95 mg/dL <200
Elektrolit
Na+ 133.8 (L) mmol/L 135 – 145
K+ 3.46 (L) mmol/L 3.5 – 5.5
Cl- 102.4 mmol/L 98 - 108
Analisis gas darah
pH 7.432 7.350 – 7.450
PCO2 42.2 mmHg 35.0 – 45.0
PO2 62.0 (L) mmHg 80.0 – 100.0
TCO2 29 (H) mmol/L 23 - 27
HCO3 27.5 (H) mmol/L 22.0 – 26.0
BE ecf 3.0 (H) mmol/L -2 - +2
SO2 92 % 90 – 100
Kesimpulan Alkalosis metabolik tidak terkompensasi
URINALISA
Makroskopis
Warna Kuning Tua
Keadaan Agak keruh
PH 6.0
BJ 1.025
Albumin Trace
Reduksi Negatif
Urobiline Negatif
Bilirubine Negatif
Lekosit *(+2) / Positif 2
Nitrit Negatif
Blood Negatif
Keton Negatif
Sedimen
Silinder SIL. LEUKOSIT 1-2 sel/LPK
Leucocyt 8 – 10 Sel/LPB
Erythrocit 1 – 2 Sel/LPB
Ephitel (+)/EP. SQUAMOUS
Kristal (+)/CA. AXALAT
Lain-lain (+) BAKTERI
(+)/SPERMA
(+)/JAMUR
(+)/YEAST
(+)HYPHA
Laboratorium (30/1/2023)
Elektrolit
Na+ 132.8 (L) mmol/L 135 – 145
K+ 3.47 (L) mmol/L 3.5 – 5.5
Cl- 100.7 mmol/L 98 - 108
Laboratorium (03/2/2023)
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Rujukan
Kimia darah
Bilirubin total 8.70 (H) mg/dL 0.3-1.2
Bilirubin direk 5.35 (H) mg/dL 0.0-0.2
Bilirubin indirek 3.35 (H) mg/dL 0.0-1.0
Elektrolit
Na+ 129.5 (L) mmol/L 135 – 145
K+ 4.45 mmol/L 3.5 – 5.5
Cl- 102.4 mmol/L 98 - 108
POMR
Temporary Problem List Permanent Initial Planning
Problem List Diagnosis Dx Tx Mo
Tn. S/Lk/51 tahun 1. Respiratory 1.1 ec. - Kultur - O2 NRBM 10 - Keluhan
Anamnesis: Failure type 1 Community Sputum lpm saturasi klinis
- Sesak dirasakan sejak 8 Acquired >95% - TTV
bulan yang lalu, Pneumonia - IVFD NaCl (GCS, RR,
memberat tanggal 0,9% 20tpm SpO2)
23/1/23 - Inj. Ceftriaxone - BGA
- Sesak memberat saat 2x1gr
pasien jalan sedikit dan - Nebul
berkurang dengan posisi Salbutamol
duduk. Sulphate +
- Batuk sejak 8 bulan yang Ipratropium
lalu. Batuk memberat Bromide 3x1
saat MRS (27/1/23).
Batuk yang dirasakan
saat ini, batuk kering.
Pemeriksaan Fisik:
GCS 456
TD: 110/82 mmHg
HR : 106x/menit
RR: 26x/menit
Spo2: 98% on NRBM
12lpm
T: 36,7°C
Dyspnea (+)
Pulmo: Bronchovesikuler
D/S, Rhonki (+) dilapang
paru basal D/S
Pemeriksaan Penunjang:
Foto Thorax AP:
Infiltrat (+) D/S,
Corakan Vaskular
meningkat di lapang
paru D/S
Lab:
LYMPH% 8.2 (L)
NEUT% 85.6
(H)
WBC 12.03
(H)
pH 7.436
PCO2 37.2
PO2 30.0
(L)
TCO2 26
HCO3 25.0
BE ecf 1.0
SO2 59 (L)
Tn. S/Lk/51th 2. Chronic lung 2.1 Tuberkulosi - Pemerik - OAT - TTV
Anamnesis infection s paru saan (GCS, TD,
- Sesak (+) sejak 8 bulan TCM SpO2, RR,
yll memberat sejak Nadi)
tanggal 23/1/23, suit - Klinis
tidur saat malam hari
karena sesak, tidur
dengan 3 bantal
- Batuk (+) sejak 8
bulan yll, memberat
saat MRS di RSKH
(27/1/23)
- Nyeri dada sebelah
kanan (+)
- Penurunan nafsu
makan, penurunan BB
- Merokok sejak 30
tahun IB 1.0444
(perokok berat)
- RPD: TB putus obat,
jantung
Pemeriksaan fisik
KU: Lemah
GCS: 456
TD : 110/82mmHg
HR : 106x/mnt
RR : 26x/mnt
SpO2: 98% on NRBM
12lpm
K/L : Dyspneu
Paru: Ronkhi (+) di basal
paru D/S
Pemeriksaan penunjang
CXR: Infiltrat (+) D/S,
konsolidasi (+) D
Lab: alkalosis metabolic
tidak terkompensasi
Tn. S/Lk/51th 3. Hiperbilirubi 3.1 ec. Kista - FNAB - Konsul Sp. PD - Keluhan
Anamnesis: n hepar - Cek - klinis
- Pasien mengeluhkan SGOT - TTV
nyeri dada sebelah SGPT (GCS, RR,
kanan, tidak tembus SpO2)
sampai belakang. - SGOT,
terkadang pasien SGPT
mengeluh perut
sampai dada sebelah
kanan terasa panas
- Pemeriksaan Fisik:
K/L: Sklera ikterik (+)
Pemeriksaan Penunjang:
USG Abdomen:
Hepar : Tampak kista
dinding tipis pada lobus
kanan dan kiri
Vesika felea : ukuran
normal, dinding tidak
menebal, tak tampak
batu/sludge, CBD tidak
melebar
Lab:
Bilirubin 8.87
total (H)
Bilirubin 5.00
direk (H)
Bilirubin 3.87
indirek (H)
Tn. S/Lk/51th 4. Efusi Pleura 4.1 Efusi Pleura - Analisis - Oksigenasi - TTV
Anamnesis Bilateral Bilateral ec. cairan NRBM 12 lpm (GCS, TD,
- Sesak dirasakan Pneumonia pleura - Thoracocentesis SpO2, HR,
sejak 8 bulan - Kultur - Inj. RR, Nadi)
yang lalu cairan Levofloksasin - Klinis
- Sesak memberat pleura 750 mg 3x1 - BGA
ketika pasien - Sitologi - Inj.
jalan sedikit dan cairan Methylpredniso
berkurang dengan pleura lon 2x62,5mg
posisi duduk
- Batuk sejak 8
bulan yang lalu.
Batuk yang
dirasakan pasien,
batuk kering
Pemeriksaan fisik
- Tekanan Darah: 110/82
mmHg
- HR: 106x/menit regular
- RR :26x/menit regular
- Temperatur Axila: 36,7oC
- SpO2 :98% on NRBM
12lpm
Pulmo: Stem fremitus
menurun basal paru D/S,
Perkusi redup basal D/S,
ronkhi (+/+), auskultasi
BV/BV
Pemeriksaan penunjang
CXR: Infiltrat (+) paru D/S
USG Thorax: Tampak
echo cairan dengan
internal echo pada cavum
pleura dextra, tampa echo
cairan bebas minimal pad
acavum pleura sinistra
Lab: WBC = 12,03 (H),
NEUT = 85,6 (H)
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki berusia 51 tahun mengeluhkan sesak yang memberat ketika pasien
jalan sedikit dan berkurang ketika duduk. Pasien juga mengeluhkan sulit untuk tidur malam
karena sesak yang dirasakan. Pasien juga mengeluhkan batuk kering yang memberat saat di
Rumah Sakit dan mengeluhkan nyeri dada sebelah kanan terasa panas. Sejak di Rumah Sakit
pasien merasa mengalami penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan namun untuk
BMI pasien masih tergolong normal yaitu 21,48 kg/m. Dari pemeriksaan fisik didapatkan stem
freminus menurun, perkusi redup, suara nafas bronkovaskuler, dan rhonki pada basal paru.
Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium darah
lengkap, fungsi hepar, fungsi ginjal, serum elektrolit, dan analisis gas darah didapatkan hasil hb
rendah, leukositosis, uremia, hipoalbumin, hipokalemia, hiponatremia, dan hipoksemia. Dari
xray thorax ditemukan kesimpulan yang mengarah pada pneumonia dan kardiomegali. Selain
itu dilakukan pemeriksaan USG Thorax dengan kesimpulan adanya cairan pada cavum pleura
kanan dan kiri. Dari hasil USG Abdomen didapatkan efusi pleural bilateral, asites,
parenchymatous renal diseases bilateral, dan kista hepar.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien terdiagnosis
dengan respiratory failure type 1, Tuberculosis, hipoalbumin, efusi pleura, kista hepar,
azotemia, dan electrolyte imbalance. Pasien terdiagnosis respiratory failure type 1 didapat dari
anamnesis pasien mengalami sesak dan batuk sejak 8 bulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
respiratory rate yang meningkat yaitu 26x/menit, dan rhonki pada basal paru. Pada pemeriksaan
analisis gas darah didapatkan nilai PO2 rendah yaitu 30 mmHg. Berdasarkan klasifikasi
respiratory failure, pasien mengalami hipoksemia karena nilai PO2 < 60 mmHg dengan PCO2
yang normal (37,2 mmHg) menandakan pasien mengalami respiratory failure type 1. Hal ini
bisa disebabkan oleh community acquired pneumonia yang ditandai adanya
infiltrate/airbronchogram pada foto thoraks pasien. Untuk mengatasi respiratory failure pada
pasien, diberi tatalaksana berupa pemberian oksigen NRBM 10 lpm, injeksi ceftriaxone 1gr 2
kali sehari, dan pemberian nebul ipratropium bromide + ssalbutamol sebanyak 3 kali sehari.
Pasien mengalami penurunan berat dan nafsu makan sejak sakit. Diketahui juga dari
Riwayat penyakit pasien, pasien telah terdiagnosis tb aktif sejak 5 bulan yang lalu dengan
pengobatan yang tidak tuntas karena putus obat. Pada foto thoraks didapatkan konsolidasi. Dari
pemeriksaan pasien curiga mengalami TB dan perlu dilakukan pemeriksaan TCM untuk
memaastikannya. Terapi OAT dapat diberikan ketika pasien positif terdapat BTA dan dapat
dimulai 7 hari setelah diagnosis TB ditegakkan.
Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan stem fremitus menurun pada basal paru kanan
dan kiri. Hal ini dapat menandakan adanya cairan pada paru. Dari hasil usg abdomen ditemukan
adanya efusi bilateral. Pada efusi Pleura untuk mengeluarkan cairan, perlu dilakukan
thoracocintesis. Hasil dari cairan pleura akan dilakukan analisis, kultur, dan sitologi untuk
mengetahui cairan pleura termasuk eksudat dan transudat sehingga dapat diberikan terapi
dengan tepat
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan adanya sklera ikterik pada mata pasien.
Selain itu dari pemeriksaan lab didapatkan bilirubin total yang tinggi yaitu 8.87. pada bilirubin
direk dan indirek juga didapatkan peningkatan yaitu 5 dan 3.87 masing-masing. Hal ini
menunjukkan terdapat masalah pad hepar pasien dalam metabolisme bilirubin. Dari
pemeriksaan USG Abdomen, didapatkan adanya kista pada lobus hepar kanan dan kiri tanpa
disertai adanya batu vesika felea dan pada CBD. Hal ini menandakan adanya kista hepar yang
menyebabkan terjadinya hiperbilirubin.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Masalah pada pasien ini adalah tuberculosis paru, efusi pleura, respiratory
failure dan kista hepar. Efusi pleura disebabkan karena adanya cairan yang berlebih
pada pleura sehingga ekspansi paru terganggu. Tuberculosis disebabkan karena
adanya infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis pada paru sehingga
menyebabkan pasien mengalami sesak, batuk, dan penurunan berat badan.
Respiratory failure tipe 1 sehingga pasien mengalami hipoksemia yang di tandai
dengan PaO2 menurun. Kista hepar menyebabkan pasien mengalami peningkatan
bilirubin serta ikterik di seluruh tubuh. Hal ini diperlukan penanganan dan terapi
yang tepat maka dari itu dibutuhkan kolaborasi dengan beberapa dokter spesialis
selain itu diperlukan KIE kepada pasien dan keluarga mengenai kepatuhan berobat
dan kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya. 2017. Diagnosis dan Penatalaksanaan Gagal Nafas Akut.
Sanglah: Fakultas Kedokteran Universitas UDAYANA.
Halim H. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Sudoyo AW, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007
Kemenkes Ri. Petunjuk Teknis, Penatalaksanaan Tuberculosis Resistan Obat Di
Indonesia. Jakarta: 2020.
Kemenkes RI. Petunjuk Teknis, Penatalaksanaan Tuberculosis Resistan Obat Di
Indonesia. Jakarta: 2020.
Lee Y. Textbook of pleural disease. USA: Hodder Arnold; 2003.
M, N. H., Perhusip, H., Sungkar, T., Lubis, M., Dairi, L. B., Sihombing, M., & Effendi,
R. (n.d.). 2016. POLYCYSTIC LIVER DISEASE DISERTAI MULTIPEL CYST
PANKREAS DAN POLYCYSTIC KIDNEY DISEASE. 129–130.
Wang, Z. X., Li, Y. G., Wang, R. L., Li, Y. W., Li, Z. Y., Wang, L. F., Yang, H. Y., Zhu,
Y., Wang, Y., Bai, Y. F., He, T. T., Zhang, X. F., & Xiao, X. H. (2015). Clinical
classification of Caroli’s disease: An analysis of 30 patients. Hpb, 17(3), 278–283.
https://doi.org/10.1111/hpb.12330