Anda di halaman 1dari 80

LAPORAN KASUS

RESPIRATORY FAILURE, TUBERCULOSIS, EFUSI


PLEURA DAN KISTA HEPAR

Pembimbing:
dr. Andy, Sp.P(K)

Oleh:
Kelompok 25
Muhammad Alfarizi 220702110008
Daru Darma Prasojo 220702110012
Anis Khoirunnisa 220702110015
Nadiya Salma Kustiawan 220702110026
Vinsa Surya Amanda   220702110043

DEPARTEMEN PARU
RSUD KARSA HUSADA BATU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................8
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................8
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................9
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................9
BAB II.....................................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................10
2.1 Respiratory Failure.............................................................................................10
2.2.Tuberculosis.......................................................................................................24
2.3.Efusi Pleura........................................................................................................44
2.4.Kista Hepar........................................................................................................50
BAB III....................................................................................................................58
LAPORAN KASUS................................................................................................58
3.1 Identitas Pasien..................................................................................................58
3.2 Subjektif.............................................................................................................58
BAB IV....................................................................................................................77
PEMBAHASAN.....................................................................................................77
BAB V......................................................................................................................79
PENUTUP...............................................................................................................79
5.1 Kesimpulan........................................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................80

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Jenis Gagal Napas..................................................................................11


Gambar 2. Persentase orang terpajan kuman TB yang berkembang menjadi
penyakit TB........................................................................................................26
Gambar 3. Paru : apekx lobus superior dan apeks lobus inferior (PDPI,2021).......31
Gambar 4. Alur pengobatan TB-RO........................................................................39
Gambar 5. Alur diagnosis TB dan TB resisten di Indonesia....................................40
Gambar 6. Algoritma Diagnosis Efusi Pleura (Jany & Walte, 2019)......................47
Gambar 7. Bagan etiologi kista hepar......................................................................50

i
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Indikasi Intubasi (Dewi, 2017)...................................................................19


Tabel 2. Dosis OAT lepas lini pertama untuk pengobatan TB-SO..........................36
Tabel 3. Dosis OAT untuk pengobatan TB-SO menggunakan tablet kombinasi
dosis tetap (KDT)...............................................................................................37
Tabel 4. Pengelompokan obat TB-RO.....................................................................38
Tabel 5. Penyebab paling sering efusi pleura...........................................................44
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegagalan pernapasan (RF) adalah suatu kondisi di mana sistem
pernapasan gagal dalam melakukan fungsi pertukaran gasnya, yaitu oksigenasi
dan/atau eliminasi karbon dioksida. Secara konvensional ditentukan oleh
tekanan oksigen arteri (PaO2) < 8.0 kPa (60 mmHg), tekanan karbon dioksida
arteri (PaCO2) > 6,0 kPa (45 mmHg) atau keduanya (Roussos et al, 2003).
RF adalah sindrom yang disebabkan oleh banyak keadaan patologis; oleh karena
itu, epidemiologi proses penyakit ini sulit dipastikan. Namun pada tahun 2017 di
Amerika Serikat, insiden gagal napas ditemukan sebanyak 1.275 kasus per 100.000
orang dewasa (Shebl dan Bracken, 2021).
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex. Berdasarkan Global Tuberculosis
Report 2020 yang diterbitkan oleh WHO, diperkirakan pada tahun 2019
terdapat:
- Insidens kasus : 10 juta (8,9 – 11 juta)
- Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,2 juta (1,1 – 1,3 juta)
- Kasus meninggal (HIV positif) : 208.000(177.000- 242.000)
Jumlah kasus terbanyak adalah pada regio Asia Tenggara (44%), Afrika
(25%) dan regio Pasifik Barat (18%). Terdapat 8 negara dengan jumlah kasus
TB terbanyak yang mencakup dua pertiga dari seluruh kasus TB global yaitu
India (26%), Indonesia (8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,7%),
Nigeria (4,4%), Bangladesh (3,6%), dan Afrika Selatan (3,6%). Sebanyak 8,2%
kasus TB adalah HIV positif. Pada tahun 2019, diperkirakan sebanyak 3,3%
dari TB Paru kasus baru dan 18% dari TB Paru dengan riwayat pengobatan TB
sebelumnya merupakan TB multidrug-resistant atau rifampicin-resistant (TB
MDR/RR) dengan jumlah absolut sebanyak 465.000 (400.000 – 535.000) kasus
TB MDR/RR baru (PDPI, 2021). Di Indonesia sendiri diperkirakan pada tahun
2019 terdapat 845.000 (770.000 – 923.000) kasus baru TB Paru, sebanyak
19.000 kasus baru di antaranya merupakan kasus TB-HIV positif. Diperkirakan
terdapat 92.000 kematian pada kasus TB-HIV negatif dan 4.700 kematian pada
pasien TB-HIV positif (PDPI, 2021).
Kista hati didefinisikan sebagai lesi kecil berisi cairan abnormal yang
berkembang di dalam jaringan hati dan biasanya timbul dari dalam hepatosit, epitel sel
empedu, jaringan mesenkim, atau metastasis dari organ ekstrahepatik. Sebagian besar
kasus dapat ditangani dengan harapan idak memerlukan intervensi. Namun, dalam
beberapa kasus, kista yang cukup besar menimbulkan gejala dan memerlukan
intervensi medis atau bedah. Kista hepar lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan
wanita dengan rasio bervariasi antara 2:1 sampai 4:1. Setiap tahun diperkirakan
terdapat 782.000 kasus baru terjadi di dunia dan sebanyak 83% terjadi di negara
berkembang (Kemenkes, 2022).
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan melebihi
normal di dalam cavum pleura diantara pleura parietalis dan viseralis dapat berupa
transudat atau cairan eksudat. Efusi pleura merupakan penyakit sekunder terhadap
penyakit lain, jarang merupakan penyakit primer, secara normal ruang pleura
mengandungsejumlah kecil cairan (5-15ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleura bergerak tanpa adanya friksi (Halim, 2007).
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.
Sementara pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta
orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura (Lee, 2003).
Upaya promotif dan preventif penyakit pada pasien ini diperlukan untuk
meningkatkan kualitas hidup dari pasien, untuk menunjang hal tersebut untuk
seorang yang ahli di bidang kesehatan diperlukan pengetahuan dan wawasan
mengenai gagal nafas, TB, efusi pleura dan kista hepar. Selain itu kegiatan
laporan kasus dengan topik tersebut dapat menambah pengetahuan dan
wawasan penulis dan pembaca.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah penyakit Respiratory Failure pada kasus pasien ini?
2. Bagaimanakah penyakit Tubercolusis pada kasus pasien ini?
3. Bagaimana penyakit Efusi Pleura pada kasus pasien ini?
4. Bagaimana penyakit Kista Hepar pada kasus pasien ini?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Respiratory Failure
2. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Tubercolusis
3. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Efusi Pleura
4. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Kista Hepar

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respiratory Failure


1. Definisi
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi di mana sistem pernapasan
gagal dalam melakukan fungsi pertukaran gasnya, yaitu oksigenasi dan/atau
eliminasi karbon dioksida. Secara konvensional ditentukan oleh tekanan
oksigen arteri (PaO2) < 8.0 kPa (60 mmHg), tekanan karbon dioksida arteri
(PaCO2) > 6,0 kPa (45 mmHg) atau keduanya. Oleh karena itu, diagnosis
gagal napas adalah diagnosis laboratorium. Batas ini fleksibel, berfungsi
sebagai panduan yang dikombinasikan dengan anamnesis dan penilaian
klinis pasien dalam penegakan diagnosisnya (Roussos et al, 2003).
Respiratory failure atau gagal napas adalah kondisi klinis yang terjadi
ketika sistem pernapasan gagal mempertahankan fungsi utamanya, yaitu
pertukaran gas, di mana PaO2 lebih rendah dari 60 mmHg dan/atau PaCO2
lebih tinggi dari 50 mmHg. Gagal napas terjadi ketika sistem pernapasan
gagal mempertahankan pertukaran gas (Shebl dan Bracken, 2021).
2. Klasifikasi Gagal Napas
Sistem pernapasan dapat dikatakan terdiri dari dua bagian: paru (organ
pertukaran gas) dan pompa yang mengalirkan udara ke paru-paru. Pompa
terdiri dari dinding dada, termasuk otot pernapasan, pengontrol pernapasan
di sistem saraf pusat (SSP) dan jalur yang menghubungkan pengontrol pusat
dengan otot pernapasan (saraf tulang belakang dan perifer). Kegagalan
setiap bagian dari sistem mengarah ke entitas yang berbeda (Gambar 1).
Gambar 1. Jenis Gagal Napas
Secara umum, gagal paru yang disebabkan oleh berbagai penyakit paru
(misalnya pneumonia, emfisema, dan penyakit paru interstitial)
menyebabkan hipoksemia dengan normokapnia atau hipokapnia
(hipoksemik atau gagal napas tipe I). Kegagalan pompa (misalnya overdosis
obat) menyebabkan hipoventilasi alveolar dan hiperkapnia (hiperkapnia
atau gagal napas tipe II). Meskipun terjadi bersamaan dengan hipoksemia,
tanda kegagalan ventilasi adalah peningkatan PaCO2. Kedua jenis gagal
napas dapat terjadi bersamaan pada pasien yang sama, misalnya pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan retensi karbon
dioksida, atau pada pasien dengan edema paru berat atau krisis asma,
pertama kali mengalami hipoksemia dan, saat penyakit berlanjut atau
berkembang, muncul hiperkapnia (Roussos et al, 2003).
3. Epidemiologi Gagal Napas
Kegagalan pernapasan (RF) adalah sindrom yang disebabkan oleh banyak
keadaan patologis; Oleh karena itu, epidemiologi proses penyakit ini sulit
dipastikan. Namun pada tahun 2017 di Amerika Serikat, insiden gagal
napas ditemukan sebanyak 1.275 kasus per 100.000 orang dewasa (Shebl
dan Bracken, 2021).
4. Etiologi Gagal Napas
Penyebab dari gagal nafas diantaranya (Shebl dan Bracken, 2021):
1) Gangguan sistem saraf pusat (SSP)
Berbagai gangguan farmakologi, struktur dan metabolik pada SSP dapat
mendepresi dorongan untuk bernapas. Hal ini dapat menyebabkan gagal
napas hipoksemi atau hiperkapni yang akut maupun kronis. Contohnya
adalah tumor atau kelainan pembuluh darah di otak, overdosis narkotik
atau sedative.
2) Gangguan sistem saraf perifer, otot pernapasan dan dinding dada
Gangguan pada kelompok ini adalah ketidakmampuan untuk menjaga
tingkat ventilasi per menit sesuai dengan produksi CO2. Dapat
meyebabkan hipoksemi dan hiperkapni. Contohnya sindrom Guillan-
Barre, distropi otot, miastenia gravis.
3) Abnormalitas jalan napas
Obstruksi jalan napas yang berat adalah penyebab umum hiperkapni
akut dan kronis. Contonhnya epiglotitis, tumor yang mengenai trakea,
penyakit paru obstruktif kronis, asma dan kistik fibrosis
4) Abnormalitas alveoli
Penyakit yang ditandai oleh hipoksemi walaupun kompliksi hiperkapni
dapat terjadi. Contohnya adalah edema pulmoner kardiogenik dan
nonkardiogenik, pneumonia aspirasi, perdarahan paru yang massif.

5. Patofisiologi Gagal Napas


 Patofisiologi Gagal Napas Tipe 1
Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas
hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi
PaCO2 normal atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal
napas hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi
alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer
memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada ketinggian,
atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia
menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau
sirkulasi paru. Istilah hipoksemia dan hipoksia sering tumpang tindih
dalam patofisiologi gagal napas tipe hipoksemia. Yang dimaksudkan
dengan hipoksemia adalah, PO2 yang rendah di dalam darah arteri
(PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler,
vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan
rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam
hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke
jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan.
Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula
terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya
curah jantung, anemia, syok septic atau keracunan karbon monoksida,
dimana PaO2 dapat meningkat atau normal. Secara umum, tekanan
parsial O2 dalam darah arteri mencerminkan:
(1) Tekanan parsial O2 di gas inspirasi
(2) Menit ventilasi
(3) Jumlah darah yang mengalir melalui kapiler paru
(4) O2 saturasi hemoglobin dalam darah mengalir melalui kapiler paru
(efek metabolisme jaringan dan curah jantung)
(5) Difusi melintasi membran alveolar
(6) Cocok ventilasi-perfusi
Kegagalan tipe I ditandai dengan tekanan parsial abnormal rendah
dari O2 dalam darah arteri. Ini mungkin disebabkan oleh gangguan
yang menghasilkan daerah ventilasi-perfusi atau kanan ke kiri shunt
intrapulmonary dan ditandai oleh tekanan parsial rendah O2 dalam
darah arteri (PaO2).
 Patofisiologi Gagal Napas Tipe 2
Menurut definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia
mempunyai kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Ini disebabkan oleh
peningkatan CO2 dalam ruang alveolus, di mana O2 tersisih di alveolus
dan PaO2 menurun. Maka, biasanya pada pasien didapatkan
hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara inspirasi
diberikan tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada
pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama
mengenai bagian nonparenkim paru seperti dinding dada, otot
pernapasan, atau batang otak. PPOK yang parah sering mengakibatkan
gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru
stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory Distres syndrome) berat
dapat menunjukkan gagal napas hiperkapnia. Secara umumya, tekanan
parsial CO2 dalam darah arteri mencerminkan efisiensi mekanisme
ventilasi yang membersihkan (mencuci keluar) CO2 yang dihasilkan
selama metabolisme jaringan. Paru mungkin normal atau tidak pada
pasien dengan gagal napas hipercapnia dan hipoksemia bersama-sama
dan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu gangguan yang
menurunkan pernafasan pusat, mengganggu transmisi sinyal dari sistem
saraf pusat, atau menghambat kemampuan otot pernafasan untuk
memperluas paru-paru dan dinding dada. Jenis kegagalan pernafasan
tipe II ditandai dengan peningkatan abnormal pada tekanan parsial CO2
dalam darah arteri (PaCO2> 46 mm Hg), dan disertai dengan penurunan
simultan di PaO2 dan PaO2, karena itu PaO2 – Perbedaan PaO2 tetap
tidak berubah. Kegagalan pompa pada gagal napas tipe II
memperlihatkan tiga faktor utama; di antaranya adalah:
i) Output dari pusat pernapasan mengendalikan otot mungkin
tidak memadai (anestesi, overdosis obat dan penyakit medula),
sehingga drive pernapasan pusat yang tidak cukup untuk
permintaan, atau pusat-pusat pernapasan mungkin refleks
memodifikasi output mereka dalam rangka untuk mencegah
cedera otot pernapasan dan menghindari atau menunda
kelelahan. Ii) Probabilitas adanya cacat mekanik di dinding
dada, seperti trauma di dada, penyakit saraf autoimmune
(sindrom Guillain-Barre) dan sel anterior horn (poliomyelitis),
atau penyakit dari otot-otot pernapasan (miopati), hiperinflasi
parah, dengan diafragma datar mengurangi tindakan mekanis
dari otot-otot inspirasi, seperti dalam serangan asma akut,
merupakan salah satu penyebab paling umum dari kinerja
mekanik gangguan otot inspirasi.
ii) Beban inspirasi yang berlebihan menyebabkan otot-otot
inspirasi menjadi lelah, dan tekanan pleural yang memadai tidak
dapat dihasilkan sepenuhnya meskipun drive pernapasan pusat
sesuai dengan dinding dada utuh.10 Gangguan yang boleh
dimasukkan dalam kategori tersebut adalah:
A. Gangguan mempengaruhi ventilasi pusat
1. Infark batang otak atau perdarahan
2. Kompresi batang otak dari massa supratentorial
3. Overdosis obat, Narkotika, Benzodiazepin, agen anestesi
dan lain-lain lagi
B. Gangguan mempengaruhi transmisi sinyal ke otot-otot
pernafasan
1. Myasthenia Gravis
2. Amyotrophic Lateral Sclerosis
3. Sindrom Gullain-Barre
4. Cedera Spinal -Cord
5. Multiple sclerosis
6. Residual kelumpuhan (relaksan otot)
C. Gangguan otot-otot pernafasan atau dada-dinding
1. Distrofi otot
2. Polimiositis
3. Flail Chest

6. Kriteria Diagnosis Gagal Napas


Gejala dan tanda hipoksemia :
• Dyspnea, iritabilitas
• Confusion, somnolen
• Takikardi, aritmia
• Takipnea
• Sianosis (Shebl dan Bracken, 2021).
Gejala dan tanda hiperkapnea :
• Nyeri kepala
• Change of behavior
• Koma
• Asterixis
• Papiledema
• Ekstremitas hangat (Shebl dan Bracken, 2021).
Anamnesis
Tanda dan gejala gagal napas akut menggambarkan adanya
hipoksemia atau hiperkapnia, atau keduanya, dan disertai dengan gejala
dari penyakit yang mendasarinya. Sesak merupakan gejala yang sering
muncul. Penurnan kesadaran merupakan gejala akibat adanya hipoksemia
ataupun hiperkapnia. Pasien dapat mengalami disorientasi. Pada
hiperkapnia pasien dapat mengalami penurunan kesadaran menjaid stupor
atau koma. Sakit kepala sering didapatkan pada gagal napas hiperkapnia.
Pathogenesis dari sakit kepala ini adalah adanya dilatasi pembuluh darah
cerebral akibat peningkatan PCO2 (Murat dan Michael, 2012).
Gejala hipoksemia bervariasi dan dapat melibatkan kelainan pada
sistem saraf pusat (confusion, gelisah, kejang), sistem kardiovaskular
(aritmia, hipotensi, atau hipertensi), sistem respirasi (disapnue, takipnue).
Gejala hiperkapnia meliputi somnolen, letargi, dan perubahan status
mental. Bila terdapat asidosis respiratori yang berat, dapat terjadi depresi
miokard yang mengakibatkan hipotensi. Hipoksemia dan hiperkapnia
dapat memperjelas gejala disapnue. Karena hipoksemia dan hiperkapnia
sering terjadi bersamaan maka seringkali didapatkan kombinasi dari gejala
ini. Asidosis laktat dapat terjadi bila terdapat penyebab lain terjadinya
reduksi distribusi oksigen yaitu cardiac output yang tidak adekuat, anemia
berat, atau redistribusi aliran darah (Murat dan Michael, 2012).
Sering kali didapatkan gejala dan tanda sesuai penyakit yang
mendasarinya. Misalnya batuk dan sputum pada pneumonia, nyeri dada
pada tromboemboli pulmoner dengan infark. Pada gagal napas yang
dicetuskan karena adanya edema pulmoner kardiogenik, terdapat riwayat
disfungsi ventrikel kiri atau gangguan katup. Riwayat penyakit jantung
sebelumnya, nyeri dada akut, paroksismal nocturnal dispnu, dan ortopnu
mengarahkan pada kecurigaan edema pulmoner kardiogenik. Edema
nonkardiogenik (ARDS) dapat timbul pada kasus sepsis, trauma,
pneumonia, pancreatitis, toksisitas obat ataupun transfusi multiple (Murat
dan Michael, 2012).

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
• Takipnea dan takikardi yang merupakan gejala nonspesifik
• Batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu napas, dan pulsus
paradoksus dapat menandakan risiko terjadinya gagal napas
• Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema akibat hiperkapnia
atau vasodilatasi cerebral
• Pada paru ditemukan gejala yang sesuai dengan penyakit yang
mendasari.
• Bila hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan
membran mukosa. Sianosis dapat diamati bila konsentrasi
hemoglobin yang mengalami deoksigenasi pada kapiler atau jaringan
mencapai 5 g/dL
• Disapnue dapat terjadi akibat usaha bernapas, reseptor vagal, dan
stimuli kimia akibat hipoksemia atau hiperkapnia
• Kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada kasus gagal
napas. Mioklonus dan kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat.
Polisitemia merupakan komplikasi lanjut dari hipoksemia
• Hipertensi pulmoner biasanya terdapat pada gagal napas kronik.
Hipoksemia alveolar yang disebabkan oleh hiperkapnia
menyebabkan konstriksi arteriol pulmoner (Murat dan Michael,
2012).
Kegagalan pernapasan dapat berhubungan dengan berbagai
manifestasi klinis namun, ini tidak spesifik, dan kegagalan pernafasan
yang sangat signifikan mungkin ada tanpa tanda-tanda atau gejala yang
signifikan. Pengukuran gas darah arteri pada semua pasien yang sakit
parah atau yang dicurigai gagal napas perlu dilakukan (Dewi, 2017).
Analisis gas darah arteri harus dilakukan untuk memastikan
diagnosis dan untuk membantu dalam perbedaan antara bentuk akut dan
kronis. Ini membantu menilai keparahan kegagalan pernapasan dan
membantu dalam penanganan. Hitung darah lengkap (CBC) dapat
menunjukkan anemia, yang dapat berkontribusi terhadap hipoksia
jaringan, sedangkan polisitemia mungkin menunjukkan kegagalan
pernafasan hipoksemia kroonis (Dewi, 2017).
Kelainan fungsi ginjal dan hati mungkin juga memberikan petunjuk
etiologi kegagalan pernafasan atau mengingatkan dokter untuk komplikasi
yang terkait dengan kegagalan pernafasan. Kelainan pada elektrolit seperti
kalium, magnesium, dan fosfat dapat memperburuk kegagalan pernapasan
dan fungsi organ lainnya (Dewi, 2017).
Serum creatine kinase dengan fraksinasi dan troponin I membantu
mengecualikan infark miokard pada pasien dengan gagal napas. Tingkat
creatine kinase meningkat dengan tingkat troponin I yang normal dapat
menunjukkan myositis, yang kadangkadang dapat menyebabkan
kegagalan pernafasan pada gagal napas hiperkapnia kronis, tingkat serum
thyroid-stimulating hormone (TSH) harus diukur untuk mengevaluasi
kemungkinan hipotiroidisme, yang berpotensi menyebabka kegagalan
pernapasan (Dewi, 2017).
Foto rontgen dada sangat penting. Echocardiography tidak rutin
dilakukan tetapi kadang kadang berguna. Tes fungsi paru jika
memungkinkan, dapat membantu. Elektrokardiografi (EKG) harus
dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab kardiovaskular
sebagai kegagalan pernafasan, tetapi juga dapat mendeteksi disritmia
akibat hipoksemia berat atau asidosis (Dewi, 2017).

7. Tatalaksana Gagal Napas


Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas (Dewi, 2017):
a. Atasi hipoksemia : terapi oksigen
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya
untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal
nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien
sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan
tidak terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap
hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien
dapat menjadi apnoe.
Pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-
benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus
jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat,
dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari
toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pasienpasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus
segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan
menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus
diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang
spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang
dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping.
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem
arus rendah dan sistem arus tinggi. Kateter nasal kanul merupakan alat
dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul
arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6
L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih
tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan
dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Alat oksigen
arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer
blenders. Pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe hipoksemia,
bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan
sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk
total kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan
oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan
pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal.
b. Atasi hiperkapnia : perbaiki ventilasi, perbaiki jalan nafas, bantuan
ventilasi: face mask, ambu bag atau ventilasi mekanik
Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan
pemberian obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan
pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan
napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas buatan seperti
endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas
buatan dibandingkan jalan napas alami.
Resiko jalan napas buatan adalah trauma insersi, kerusakan trakea
(erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi
mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja
pernapasan. Keuntungan jalan napas buatan adalah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan
obatobatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP,
memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik.
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada Tabel
berikut ini:
Tabel 1 Indikasi Intubasi (Dewi, 2017)

Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan


potensi manfaat ventilasi tekanan positif tanpa pipa trakea (ventilasi
tekanan positif non invasif).
Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut
kemulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka
berkantung (face mask atau ambu bag) dengan memompa kantungnya
untuk memasukkan udara ke dalam paru.
Hiperkapnia mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar.
Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak
adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu
berhubungan dengan asidosis respiratoris. Pasien dengan pemulihan
awal diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau face
mask merupakan alternatif yang efektif.
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas
(Tabel 1.1 dan tabel 1.2) atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal
napas (gawat nafas yang tidak segera teratasi). Kondisi yang
mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter,
hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah
pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan
oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana
PaCO2nya meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis.
Keputusan untuk memasang ventilator harus dipertimbangkan secara
matang. Sebanyak 75 % pasien yang dipasang ventilator umumnya
memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang terpasang
ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup keluar
dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil.
Secara umum bantuan napas mekanik (ventilator) dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator (IPPV),
dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi
terlebih dahulu dan Non Invasive Positive Pressure Ventilator
(NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator tidak
perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah efek samping akibat
tindakan intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil,
portabel, pasien saat alat terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa
diputus untuk istirahat.

c. Terapi suportif lain


Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari
sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga
untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik,
bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan
telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang
efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada, punggung,
dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang
diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.
Bronkodilator (beta-adrenergik agonis/simpatomimetik). Obat-obat
ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan
jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek
bronkodilatasi yang sama, efek samping secara inhalasi lebih sedikit
sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang
efektif mungkin membutuhkan jumlah beta-adrenergik agonis dua
hingga empat kali lebih banyak daripada yang direkomendasikan.
Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan
peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu)
sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan pada potensi,
efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara yang
tersedia adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Efek samping
meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek
kardiak pada pasien dengan penyakit jantung iskemik dapat
menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi.
Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan
kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartement
ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik.
Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap
obat antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis
intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi
jalan napas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis
kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan. Obat ini
direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan
bronkitis kronik. Antikolinergik pada pasien gagal nafas harus selalu
dikombinasikan dengan beta adrenergik agonis. Ipratropium bromida
tersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk
nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi,
dan retensi urin.
Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan
beta adrenergik agonis. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja
fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium,
antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas
anti inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah.
Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan
status mental dan kejang.
Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan
inflamasi jalan napas tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat
dan jumlah sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian
sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya
pada gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau
parenteral. Efek samping kortikosteroid parenteral adalah
hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid
akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan
psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan
kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non depolarisasi
telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan
menimbulkan kesulitan weaning.
d. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari
penyebab gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya,
sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan
(Irwin & Mark, 2006).

8. Komplikasi Gagal Napas


i) Paru: emboli paru, fibrosis paru, komplikasi sekunder akibat
penggunaan ventilator mekanik
ii) Kardiovaskular: hipotensi, penurunan curah jantung, kor pulmonal,
aritmia, perikarditis, dan infark miokard akut
iii) Gastrointestinal: perdarahan, distensi lambung, ileus, diare,
pneumoperitoneum dan ulserasi duodenum- yang disebabkan oleh stres
sering terjadi pada pasien dengan gagal napas akut
iv) Menular: pneumonia noskomial, infeksi saluran kemih, dan sepsis
terkait kateter. Biasanya terjadi dengan penggunaan perangkat mekanis.
v) Ginjal : gagal ginjal akut, kelainan elektrolit dan keseimbangan asam
basa.
vi) Nutrisi: malnutrisi dan komplikasi yang berhubungan dengan nutrisi
parenteral atau enteral dan komplikasi yang berhubungan dengan
penggunaan NG tube
9. Prognosis Gagal Napas
Prognosis pada gagal napas sangat bervariasi, tergantung dari penyebab
gagal napas, usia, dan cadangan fisiologis pada individu sebelum sakit.
Mortalitas dapat mencapai 60% pada kasus ARDS, umumnya berkisar
antara 40-45%. Mortalitas pada anak lebih rendah, yaitu kisaran 22-27%.
Mortalitas pada PPOK eksaserbasi akut berkisar 8-12%. Mortalitas pasien
PPOK yang membutuhkan ventilasi mekanik mencapai 25% pada tahun
pertama dan 70% pada tahun kelima.
Pada populasi remaja dan dewasa muda, pasien dapat pulih hingga ke
fungsi paru mendekati normal tanpa komplikasi.
Terutama pada pasien lansia, dapat terjadi komplikasi jangka panjang:
- Gangguan fungsi paru, misalnya gangguan paru restriktif
- Kelemahan otot karena lama tirah baring
- Gangguan kognitif

2.2.Tuberculosis
2.2.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex.
2.2.2. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran
lebar 0,3 – 0,6 m dan panjang 1 – 4 m. Dinding M. Tuberculosis
sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. Tuberculosis adalah asam mikolat,
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut
cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam
virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang
(C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan
glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur
lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur
dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan M. Tuberculosis
bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam
– alkohol. Atas dasar karakteristik yang unik inilah bakteri dari genus
Mycobacterium seringkali disebut sebagai Bakteri Tahan Asam
(BTA) atau acidfast bacili (AFB). Dari analisis genetik tersebut,
diketahui bahwa M. Tuberculosis memiliki potensi untuk bertahan
hidup dalam lingkungan yang bervariasi, termasuk dalam lingkungan
dengan tekanan oksigen yang sangat rendah. Hal ini menyebabkan M.
Tuberculosis dapat bertahan dormant di dalam tubuh dalam kondisi
yang tidak optimal dan dapat mengalami reaktivasi di kemudian hari
jika situasi lingkungan memungkinkan.7 Mycobacterium memiliki
120 spesies dengan delapan spesies di antaranya adalah M.
Tuberculosis complex. M. Tuberculosis complex terdiri dari delapan
spesies yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Caprae, M. Africanum,
M. Microti, M. Canneti, M. Pinnipedii.
2.2.3. Epidemiologi
Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2020 yang diterbitkan
oleh WHO, diperkirakan pada tahun 2019 terdapat:4 – Insidens
kasus : 10 juta (8,9 – 11 juta) – Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,2
juta (1,1 – 1,3 juta) – Kasus meninggal (HIV positif) :
208.000(177.000- 242.000) Jumlah kasus terbanyak adalah pada regio
Asia Tenggara (44%), Afrika (25%) dan regio Pasifik Barat (18%).
Terdapat 8 negara dengan jumlah kasus TB terbanyak yang mencakup
dua pertiga dari seluruh kasus TB global yaitu India (26%), Indonesia
(8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,4%),
Bangladesh (3,6%), dan Afrika Selatan (3,6%). Sebanyak 8,2% kasus
TB adalah HIV positif. Pada tahun 2019, diperkirakan sebanyak 3,3%
dari TB Paru kasus baru dan 18% dari TB Paru dengan riwayat
pengobatan TB sebelumnya merupakan TB multidrug-resistant atau
rifampicin-resistant (TB MDR/RR) dengan jumlah absolut sebanyak
465.000 (400.000 – 535.000) kasus TB MDR/RR baru.
Di Indonesia sendiri diperkirakan pada tahun 2019 terdapat
845.000 (770.000 – 923.000) kasus baru TB Paru, sebanyak 19.000
kasus baru di antaranya merupakan kasus TB-HIV positif.
Diperkirakan terdapat 92.000 kematian pada kasus TB-HIV negatif
dan 4.700 kematian pada pasien TB-HIV positif
2.2.4. Patofisiologi
Patogenesis dari TB terkait erat dengan respon imun dari inang
(host). Pada sebagian besar inang, invasi patogen TB akan direspon
secara adekuat oleh sistem imun, membatasi pertumbuhan bakteri, dan
mencegah terjadinya infeksi. Secara paradoks, sebagian besar
kerusakan jaringan yang ditimbulkan pada infeksi TB justru berasal
dari respon imun inang, misalnya pada kejadian nekrosis perkijuan
dan kavitas yang khas dilihat pada paru pasien TB. Pada pasien
dengan sistem imun yang inadekuat, misalnya pada pasien HIV, dapat
menghasilkan tanda dan gejala yang atipikal. Pada pasien TB-HIV,
penampakan kavitas biasanya tidak dijumpai pada foto toraks.
Meskipun demikian, meskipun tidak atau sedikit dijumpai kerusakan
jaringan akibat respon imun inang pada pasien TB-HIV, rendahnya
respon imun mengakibatkan bakteri TB lebih mudah berproliferasi
dan menyebar. Hal tersebut dapat dilihat dari gambaran foto toraks TB
miliar yang umum dijumpai pada pasien TB-HIV. Tidak semua orang
yang terpajan dengan patogen TB akan berkembang menjadi penyakit
TB. Secara skematis, persentase orang terpajan TB yang akan
berkembang menjadi penyakit TB dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2. Persentase orang terpajan kuman TB yang berkembang


menjadi penyakit TB
Tuberkulosis adalah penyakit yang menular lewat udara (airborne
disease). Penularannya melalui partikel yang dapat terbawa melalui
udara (airborne) yang disebut dengan droplet nuklei, dengan ukuran 1
– 5 mikron.8 Droplet nuklei dapat bertahan di udara hingga beberapa
jam tergantung dari kondisi lingkungan. Droplet nuklei memiliki sifat
aerodinamis yang memungkinkannya masuk ke dalam saluran napas
melalui inspirasi hingga mencapai bronkiolus respiratorius dan
alveolus. Bila inhalasi droplet nuklei yang terinhalasi berjumlah
sedikit, kuman TB yang terdeposisi pada saluran napas akan segera
difagosit dan dicerna oleh sistem imun nonspesifik yang diperankan
oleh makrofag. Namun jika jumlah kuman TB yang terdeposit
melebihi kemampuan makrofag untuk memfagosit dan mencerna,
kuman TB dapat bertahan dan berkembang biak secara intraseluler di
dalam makrofag hingga menyebabkan pneumonia tuberkulosis yang
terlokalisasi. Kuman yang berkembang biak di dalam makrofag ini
akan keluar saat makrofag mati. Sistem imun akan merespon dengan
membentuk barrier atau pembatas di sekitar area yang terinfeksi dan
membentuk granuloma. Jika respon imun tidak dapat mengontrol
infeksi ini, maka barrier ini dapat ditembus oleh kuman TB. Kuman
TB, dengan bantuan sistem limfatik dan pembuluh darah, dapat
tersebar ke jaringan dan organ yang lebih jauh misalnya kelenjar
limfatik, apeks paru, ginjal, otak, dan tulang.
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut fokus primer. Fokus primer ini dapat timbul di bagian mana
saja dalam paru. Dari fokus primer akan terjadi peradangan saluran
getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut
diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Fokus primer bersamasama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer.
2.2.5. Klasifikasi TB
Kasus TB dibagi menjadi dua klasifikasi utama, yaitu:
Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis Yaitu pasien TB yang
ditemukan bukti infeksi kuman MTB berdasarkan pemeriksaan
bakteriologis. Termasuk di dalamnya adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan MTB positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat MTB positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik
dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan
yang terkena
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pasien TB terdiagnosis secara klinis Yaitu pasien TB yang tidak
memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis, namun
berdasarkan bukti lain yang kuat tetap didiagnosis dan ditata laksana
sebagai TB oleh dokter yang merawat. Termasuk di dalam klasifikasi
ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
b. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis
setelah diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor
risiko TB.
c. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
d. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Pasien TB yang
terdiagnosis secara klinis jika dikemudian hari terkonfirmasi
secara bakteriologis harus diklasifikasi ulang menjadi pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.
Selain berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis, terdapat beberapa
klasifikasi lain yang dapat digunakan untuk mempermudah
komunikasi antara petugas kesehatan dan pencatatan data.
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi infeksi:
1) Tuberkulosis paru: yaitu TB yang berlokasi di parenkim paru.
TB milier dianggap sebagai TB paru karena adanya
keterlibatan lesi pada jaringan paru. Pasien TB yang menderita
TB paru dan ekstraparu bersamaan diklasifikasikan sebagai TB
paru.
2) Tuberkulosis ekstra paru: TB yang terjadi pada organ selain
paru, dapat melibatkan organ pleura, kelenjar limfatik,
abdomen, saluran kencing, saluran cerna, kulit, meninges, dan
tulang. Jika terdapat beberapa TB ekstraparu di organ yang
berbeda, pengklasikasian dilakukan dengan menyebutkan
organ yang terdampak TB terberat.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Kasus baru TB: kasus yang belum pernah mendapatkan obat
anti tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT
dengan total dosis kurang dari 28 hari.
2) Kasus yang pernah diobati TB:
- Kasus kambuh: kasus yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis kembali
dengan TB.
- Kasus pengobatan gagal: kasus yang pernah diobati dengan
OAT dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
- Kasus putus obat: kasus yang terputus pengobatannya
selama minimal 2 bulan berturutturut.
- Lain-lain: kasus yang pernah diobati dengan OAT namun
hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Klasifikasi hasil uji kepekaan obat:
- TB Sensitif Obat (TB-SO)
- TB Resistan Obat (TB-RO):
1) Monoresistan: bakteri resisten terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama
2) Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium
tuberculosis resisten terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain.
3) Poliresistan: bakteri resisten terhadap lebih dari satu
jenis OAT lini pertama, namun tidak Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) bersamaan.
4) Multi drug resistant (TB-MDR): resistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan,
dengan atau tanpa diikuti resistensi terhadap OAT lini
pertama lainnya.
5) Pre extensively drug resistant (TB Pre-XDR):
memenuhi kriteria TB MDR dan resistan terhadap
minimal satu florokuinolon
6) Extensively drug resistant (TB XDR): adalah TB MDR
yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT
golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT grup A (levofloksasin, moksifloksasin,
bedakuilin, atau linezolid)
d. Klasifikasi berdasarkan status HIV:
- TB dengan HIV positif
- TB dengan HIV negatif
- TB dengan status HIV tidak diketahui

2.2.6. Gambaran klinis


Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala utama dan gejala tambahan:
1. Gejala utama
- Batuk berdahak ≥ 2 minggu
2. Gejala tambahan
- Batuk darah
- Sesak napas
- Badan lemas
- Penurunan nafsu makan
- Penurunan berat badan yang tidak disengaja
- Malaise
- Berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik
- Demam subfebris lebih dari satu bulan
- Nyeri dada
Gejala di atas dapat tidak muncul secara khas pada pasien dengan
koinfeksi HIV.
Selain gejala tersebut, perlu digali riwayat lain untuk
menentukan faktor risiko seperti kontak erat dengan pasien TB,
lingkungan tempat tinggal kumuh dan padat penduduk, dan orang
yang bekerja di lingkungan berisiko menimbulkan pajanan infeksi
paru, misalnya tenaga kesehatan atau aktivis TB.
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi
pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala
sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.

2.2.7. Pemeriksaan fisik


Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru
pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus
inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah
kasar/halus, dan/atau tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan
mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisis
tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi
ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi ditemukan suara napas
yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah
bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis
tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut
dapat menjadi “cold abscess”.
Gambar 3. Paru : apekx lobus superior dan apeks lobus inferior
(PDPI,2021)
2.2.8. Pemeriksaan Bakteriologis
a. Bahan pemeriksaan Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan
bakteri tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH).
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan
dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari. Untuk
pemeriksaan TCM, pemeriksaan dahak cukup satu kali.
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain Pemeriksaan bakteriologi
dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, feses, dan jaringan biopsi, termasuk
BJH) dapat dilakukan dengan cara: Mikroskopis dan Biakan.
d. Pemeriksaan mikroskopis
Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopis fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala
IUATLD (rekomendasi WHO). • Skala IUATLD (International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut
negatif.
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
basil yang ditemukan.
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +
(1+).
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++
(2+).
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++
(3+)
e. Pemeriksaan biakan bakteri TB
f. Pemeriksaan biakan bakteri merupakan baku emas (gold standard)
dalam mengidentifikasi M.tuberculosis. Biakan bakteri untuk
kepentingaan klinis umum dilakukan menggunakan dua jenis
medium biakan, yaitu:
1. Media padat (Lowenstein-Jensen)
2. Pada identifikasi Mycobacterium tuberculosis, pemeriksaan
dengan media biakan lebih sensitif dibandingkan dengan
pemeriksaan mikroskopis. Media Lowenstein-Jensen adalah
media padat yang menggunakan media berbasis telur. Media
Lowenstein-Jensen digunakan untuk isolasi dan pembiakan
Mycobacteria species. Pemeriksaan identifikasi M.
Tuberculosis dengan media LowensteinJensen ini
memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan
dipakai sebagai alat diagnostik pada program
penanggulangan tuberkulosis.
3. Media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube/MGIT)
4. Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT) menggunakan
sensor fluorescent yang ditanam dalam bahan dasar silicon
sebagai indikator pertumbuhan mikobakterium tersebut.
Tabung tersebut mengandung 4 ml kaldu 7H9 Middlebrook
yang ditambahkan 0.5 ml suplemen nutrisi dan 0.1 ml
campuran antibiotik untuk supresi pertumbuhan basil
kontaminasi. Mikobakterium yang tumbuh akan
mengkonsumsi oksigen sehingga sensor akan menyala.
Sensor tersebut akan dilihat menggunakan lampu ultraviolet
dengan panjang 365 nm.
g. Tes cepat molekuler
Uji tes cepat molekular (TCM) dapat mengidentifikasi MTB dan
secara bersamaan melakukan uji kepekaan obat dengan
mendeteksi materi genetik yang mewakili resistensi tersebut. Uji
TCM yang umum digunakan adalah GeneXpert MTB/RIF (uji
kepekaan untuk Rifampisin). Saat ini mulai umum dikenal uji
TCM lain meskipun belum dikenal secara luas.
h. Uji molekuler lain
1. MTBDRplus (uji kepekaan untuk R dan H)
2. MTBDRsl (uji kepekaan untuk etambutol, aminoglikosida, dan
florokuinolon)
3. Molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R)
4. PCR-Based Methods of IS6110 Genotyping
5. Spoligotyping
6. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
7. MIRU / VNTR Analysis
8. PGRS RFLP
9. Genomic Deletion Analysis
10. Genoscholar:
- PZA TB II (uji kepekaan untuk Z)
- NTM+MDRTB II (uji kepekaan untuk identifikasi spesies
Mycobacterium dan uji kepekaan H + R)
- FQ+KM-TB II (uji kepekaan florokuinolon dan
kanamisin)

2.2.9. Pemeriksaan radiologi


Pemeriksaan radiologi standar pada TB paru adalah foto toraks
dengan proyeksi postero anterior (PA). Pemeriksaan lain atas indikasi
klinis misalnya foto toraks proyeksi lateral, top-lordotik, oblik, CT-
Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat menghasilkan
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular. • Bayangan bercak milier.
3. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed lung ):
1. Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru
yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran
radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, multikavitas, dan
fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan
aktivitas proses penyakit.
Pemeriksaan penunjang lain
1. Analisis cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan
pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif,
kesan cairan eksudat, terdapat sel limfosit dominan, dan jumlah
glukosa rendah.
Pemeriksaan adenosine deaminase (ADA) dapat digunakan
untuk membantu menegakkan diagnosis efusi pleura TB.
Adenosine deaminase adalah enzim yang dihasilkan oleh limfosit
dan berperan dalam metabolisme purin. Kadar ADA meningkat
pada cairan eksudat yang dihasilkan pada efusi pleura TB
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi.
3. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan terdapat infeksi
tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang
tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi, bula, atau ukuran indurasi yang
besar. Ambang batas hasil positif berbeda tergantung dari riwayat
medis pasien. Indurasi ≥5 mm dianggap positif pada pasien
dengan HIV, riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi TB
aktif, pasien dengan gambaran khas TB pada foto toraks, pasien
dengan imunosupresi, pasien dengan terapi kortikosteroid jangka
panjang, pasien dengan gagal ginjal stadium akhir. Indurasi ≥10
mm dianggap positif pada pasien yang tinggal di atau datang dari
(kurang dari 5 tahun) negara dengan prevalensi TB tinggi,
pengguna obat suntik, pasien yang tinggal di tempat dengan
kepadatan yang tinggi (misal penjara), staf laboratorium
mikrobiologi, pasien dengan risiko tinggi (misalnya diabetes,
gagal ginjal, sindrom malabsorpsi kronik), dan balita. Indurasi
≥15 mm dianggap positif pada semua pasien. Pada pasien dengan
malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil
negatif palsu.
2.2.10. Pengobatan TB
Pemberian OAT adalah komponen terpenting dalam penanganan
tuberkulosis dan merupakan cara yang paling efisien dalam mencegah
transmisi TB. Prinsip pengobatan TB yang adekuat meliputi:
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan obat yang meliputi
minimal empat macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
terhadap OAT.
2. OAT diberikan dalam dosis yang tepat.
3. OAT ditelan secara teratur dan diawasi oleh pengawas menelan
obat (PMO) hingga masa pengobatan selesai.
4. OAT harus diberikan dalam jangka waktu yang cukup, meliputi
tahap awal/ fase intensif dan tahap lanjutan. Pada umumnya lama
pengobatan TB paru tanpa komplikasi dan komorbid adalah 6
bulan. Pada TB ekstraparu dan TB dengan komorbid, pengobatan
dapat membutuhkan waktu lebih dari 6 bulan.
Pada tahap awal/fase intensif, OAT diberikan setiap hari.
Pemberian OAT pada tahap awal bertujuan untuk menurunkan
secara cepat jumlah kuman TB yang terdapat dalam tubuh pasien
dan meminimalisasi risiko penularan. Jika pada tahap awal OAT
ditelan secara teratur dengan dosis yang tepat, risiko penularan
umumnya sudah berkurang setelah dua minggu pertama tahap
awal pengobatan. Tahap awal juga bertujuan untuk memperkecil
pengaruh sebagian kecil kuman TB yang mungkin sudah resisten
terhadap OAT sejak sebelum dimulai pengobatan. Durasi
pengobatan tahap awal pada pasien TB sensitif obat (TB-SO)
adalah dua bulan. Pengobatan dilanjutkan dengan tahap lanjutan.
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan untuk membunuh sisa
kuman TB yang tidak mati pada tahap awal sehingga dapat
mencegah kekambuhan. Durasi tahap lanjutan berkisar antara 4 –
6 bulan.
A. Obat anti tuberculosis (OAT)
Paduan OAT untuk pengobatan TB-SO di Indonesia adalah:
2RHZE / 4 RH
Pada fase intensif pasien diberikan kombinasi 4 obat berupa
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), dan Etambutol
(E) selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian Isoniazid (H)
dan Rifampisin (R) selama 4 bulan pada fase lanjutan. Pemberian
obat fase lanjutan diberikan sebagai dosis harian (RH) sesuai
dengan rekomendasi WHO. Pasien dengan TB-SO diobati
menggunakan OAT lini pertama. Dosis OAT lini pertama yang
digunakan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 2. Dosis OAT lepas lini pertama untuk pengobatan TB-SO
Nama obat Dosis harian
Dosis (mg/kgBB) Dosis maksimum (mg)
Rifampicin (R) 10 (8-12) 600
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300
Pirazinamid (Z) 25 (20-30)
Etambutol (E) 15 (15-20)
Streptomisin 15 (12-18)
Untuk menunjang kepatuhan berobat, paduan OAT lini
pertama telah dikombinasikan dalam obat Kombinasi Dosis Tetap
(KDT). Satu tablet KDT RHZE untuk fase intensif berisi
Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan
Etambutol 275 mg. Sedangkan untuk fase lanjutan yaitu KDT RH
yang berisi Rifampisin 150 mg + Isoniazid 75 mg diberikan setiap
hari. Jumlah tablet KDT yang diberikan dapat disesuaikan dengan
berat badan pasien. Secara ringkas perhitungan dosis pengobatan
TB menggunakan OAT KDT dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 3. Dosis OAT untuk pengobatan TB-SO menggunakan
tablet kombinasi dosis tetap (KDT)
Fase intensif setiap hari
Fase lanjutan setiap hari
dengan KDT RHZE
Berat badan (Kg) dengan KDT RH (150/75)
(150/75/400/275)
Selama 8 minggu Selama 16 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet
≥55 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet

Penentuan dosis terapi Kombinasi Dosis Tetap 4 obat


berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO,
merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas
dosis terapi dan non toksik. Pada pasien yang mendapat OAT
KDT harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru /
fasilitas yang mampu menangani jika mengalami efek samping
yang serius.
B. Panduan obat anti tuberculosis
Pengobatan tuberkulosis standar dibagi menjadi:
1. Pasien baru
Paduan obat yang dianjurkan 2HRZE/4HR dengan pemberian
dosis setiap hari.
2. Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama,
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara
individual. Fasilitas kesehatan perlu melakukan uji kepekaan
obat, pasien dapat diberikan OAT kategori 1 selama
menunggu hasil uji kepekaan. Pengobatan selanjutnya
disesuaikan dengan hasil uji kepekaan.
3. Pengobatan pasien TB resisten obat (TB-RO)
Pengobatan TB RO harus bisa dimulai dalam waktu 7 hari
setelah diagnosis pasien ditegakkan. Pengobatan untuk pasien
TB RO diberikan dengan rawat jalan (ambulatory) sejak awal
dan diawasi setiap hari secara langsung oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO). Sesuai dengan rekomendasi WHO
tahun 2020, pengobatan TB RO di Indonesia saat ini
menggunakan paduan tanpa obat injeksi, yang terbagi
menjadi dua, yaitu paduan pengobatan jangka pendek (9–11
bulan) dan jangka panjang (18–20 bulan). Penggolongan obat
TB RO ini didasarkan pada studi mendalam yang dilakukan
WHO terkait manfaat dan efek samping dari obat-obat
tersebut. Pengelompokan obat TB RO yang saat ini
digunakan di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 4. Pengelompokan obat TB-RO
Grub A Levofloksasin/maxifloksasin Lfx / Mfx
Bedaquiline Bdq
Linezolid Lzd
Grub B Clofazimine Cfz
Sikloserin atau Cs
Terizidone Trd
Grub C Etambutol E
Delamanid Dlm
Pirazinamid Z
Imipenem-silastatin lpm-Cln
Meropenem Mpm
Amikasin atau Amk
Streptomisin S
Etionamid atau Eto
Protonamid Pto
p-aminoslicylic acid Pas
Penentuan paduan pengobatan pasien TB resistan obat
didasarkan pada berbagai kriteria dan kondisi pasien. Alur
pengobatan berikut (Gambar 3) merupakan acuan dalam
menentukan pilihan paduan pengobatan pasien TB RO
berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Program TB
Nasional.
Gambar 4. Alur pengobatan TB-RO
Keterangan:
a. Hasil LPA ditunggu maksimal 7 hari. Bila >7 hari hasil
LPA belum keluar, pengobatan harus segera dimulai
berdasarkan kriteria yang ada di kotak.
b. Resistansi INH dengan mutasi salah satu dari inhA atau
katG (tetapi tidak keduanya) dapat diberikan paduan
pengobatan jangka pendek
c. Yang termasuk kasus TB paru berat ialah:
- Kerusakan parenkimal luas (lesi sangat lanjut dengan
definisi luas lesi melebihi lesi lanjut sedang, tetapi
kavitas ukuran lebih dari 4 cm). Lesi lanjut sedang
didefinisikan sebagai luas sarang-sarang yang berupa
bercak tidak melebihi luas satu paru, bila ada kavitas
ukurannya tidak lebih 4 cm, bila ada konsolidasi tidak
lebih dari 1 lobus; atau
- Terdapat kavitas di kedua lapang paru.
d. Yang termasuk kasus TB ekstraparu berat ialah TB
meningitis, TB tulang (osteoartikular), TB spondilitis, TB
milier, TB perikarditis, TB abdomen.
e. Pasien dapat dipertimbangkan untuk pindah dari paduan
pengobatan jangka panjang ke paduan jangka pendek bila
bukan merupakan kasus TB RO paru/ekstraparu berat dan
pasien tidak hamil.
Gambar 5. Alur diagnosis TB dan TB resisten di Indonesia
Keterangan alur:
Prinsip penegakan diagnosis TB:
1. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih
dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan
bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis,
TCM, dan biakan.
2. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB,
sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan
dengan pemeriksaan mikroskopis.
3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat
menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
4. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan
serologis.
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi
baik secara bakteriologis maupun klinis adalah pemeriksaan HIV
dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi
misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll)

C. Efek samping obat


Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat. Jika efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatis, maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda gangguan pada
syaraf tepi berupa kesemutan, rasa terbakar di kaki dan tangan, dan
nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada
keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain yang
dapat terjadi adalah gejala defisiensi piridoksin (sindrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat
timbul pada kurang lebih 0,5% pasien.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simptomatis adalah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil, dan nyeri tulang.
- Sindrom dispepsia berupa sakit perut, mual, penurunan nafsu
makan, muntah, diare.
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah :
- Hepatitis imbas obat dan ikterik, bila terjadi maka OAT harus
diberhentikan sementara.
- Purpura, anemia hemolitik akut, syok, dan gagal ginjal. Bila
salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera
dihentikan dan jangan diberikan lagi meskipun gejala telah
menghilang.
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas.
Rifampisin dapat menyebabkan warna kemerahan pada air seni,
keringat, air mata, dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena
proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.
3. Pirazinamid
Efek samping berat yang dapat terjadi adlaah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri
sendi juga dapat terjadi dan dapat diatasi dengan pemberian antinyeri,
misalnya aspirin. Terkadang dapat terjadi serangan artritis Gout, hal ini
kemungkinan disebabkan penurunan ekskresi dan penimbunan asam
urat. Terkadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan, dan reaksi
kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah dan hijau.
Namun gangguan penglihatan tersebut tergantung pada dosis yang
dipakai, sangat jarang terjadi pada penggunaan dosis 15-25 mg/kg BB
perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan saraf okuler sulit untuk dideteksi, terutama pada anak
yang kurang kooperatif.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang
digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada
pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping
yang dapat dirasakan adalah telinga berdenging (tinitus), pusing, dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi. Jika pengobatan diteruskan
maka kerusakan dapat berlanjut dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul
tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah, dan eritema pada kulit. Efek
samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan
sekitar mulut dan telinga berdenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi
0,25gram. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak
boleh diberikan pada perempuan hamil karena dapat merusak fungsi
pendengaran janin.
2.3. Efusi Pleura
A. Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi cairan di antara pleura parietal dan visceral yang
disebut rongga pleura. Hal ini dapat terjadi karena infeksi, keganasan, atau
peradangan yang terjadi pada jaringan parenkim atau karena gagal jantung
kongestif. Akumulasi ini menandakan adanya ketidakseimbangan antara produksi
dengan drainase cairan pleura. Cairan pleura diproduksi utama oleh pleura
parietal dan direabsorbsi melalui limfatik pleura melalui stomata yang ada di
pleura parietal.
B. Etiologi
Cairan pleura diklasifikasikan sebagai transudat atau eksudat. Berdasarkan
kriteria Light yang dimodifikasi, cairan pleura dianggap sebagai efusi eksudatif
jika setidaknya salah satu kriteria terpenuhi.
1. Rasio protein cairan pleura/protein serum lebih dari 0,5
2. Rasio dehidrogenase laktat cairan pleura (LDH)/serum LDH lebih dari 0,6
3. LDH cairan pleura lebih dari dua pertiga batas atas nilai laboratorium normal
untuk LDH serum.
Penyebab umum transudat yaitu kondisi yang mengubah tekanan hidrostatik
atau onkotik di rongga pleura seperti gagal jantung kiri kongestif, sindrom
nefrotik, sirosis hati, hipoalbuminemia yang menyebabkan malnutrisi dan inisiasi
dialisis peritoneal.
Penyebab umum eksudat meliputi infeksi paru seperti pneumonia atau
tuberkulosis, keganasan, gangguan inflamasi seperti pankreatitis, lupus,
rheumatoid arthritis, chylothorax (karena obstruksi limfatik), hemothorax (darah
dalam ruang pleura) dan efusi pleura asbes jinak.
Beberapa penyebab efusi pleura yang kurang umum adalah emboli paru yang
dapat berupa eksudat atau transudat, akibat obat (misalnya metotreksat,
amiodaron, fenitoin, dasatinib, biasanya eksudat), pasca radioterapi (eksudat),
ruptur esofagus (eksudat) dan sindrom hiperstimulasi ovarium (eksudat).
Tabel 5. Penyebab paling sering efusi pleura

C. Epidemiologi
Efusi pleura adalah penyakit yang paling umum di antara semua penyakit
pleura dan mempengaruhi 1,5 juta pasien per tahun di Amerika Serikat. Berbagai
macam penyakit dapat muncul dengan efusi pleura seperti penyakit yang
terutama melibatkan paru-paru seperti pneumonia, paparan asbes, terutama
penyakit sistemik seperti lupus, artritis reumatoid, atau mungkin manifestasi
pleura dari penyakit yang terutama memengaruhi organ lain seperti gagal jantung
kongestif, pankreatitis, atau penyakit yang lokal pada pleura seperti infeksi pleura
dan mesotelioma.
D. Patofisiologi
Pada orang dewasa normal yang sehat, rongga pleura memiliki cairan yang
minimal berfungsi sebagai pelumas untuk kedua permukaan pleura. Jumlah
cairan pleura sekitar 0,1 ml/kg hingga 0,3 ml/kg dan terus-menerus mengalami
pertukaran. Cairan pleura berasal dari pembuluh darah permukaan pleura parietal
dan diserap kembali oleh limfatik di permukaan diafragma dan mediastinum
pleura parietal. Tekanan hidrostatik dari pembuluh darah sistemik yang
mensuplai pleura parietalis diduga mendorong cairan interstitial ke dalam rongga
pleura dan karenanya memiliki kandungan protein yang lebih rendah daripada
serum. Akumulasi kelebihan cairan dapat terjadi jika produksi berlebihan atau
penurunan penyerapan, atau keduanya melebihi mekanisme homeostatis normal.
Jika efusi pleura terutama disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik,
biasanya bersifat transudat. Peningkatan permeabilitas mesotel dan kapiler atau
gangguan drainase limfatik biasanya menyebabkan eksudat.
E. Manifestasi Klinis
Identifikasi efusi pleura umumnya dilakukan dengan menemukan gejala yang
dirasakan oleh pasien. Gejala yang timbul pada pasien dirasakan karena adanya
proses-proses seperti respon inflamasi pada pleura, resktriksi mekanis pulmonal,
atau adanya gangguan dalam pertukaran gas. Efusi yang sedikit dapat tidak
menunjukkan gejala apapun (asimptomatik). Seiring bertambahnya jumlah efusi,
gejala seperti dispneu, trepopnea (dispneu posisional dimana dispneu dirasakan
saat berbaring pada salah satu sisi), nyeri dada, atau batuk. Beratnya gejala
dispneu kadang tidak berhubungan dengan ukuran efusi pleura. Pasien dengan
efusi pleura akibat gangguan pada paru (misal, chronic obstructive pulmonary
disease, limfangitis karsinomatosa, dan emboli pulmonal) dengan gambaran efusi
yang sedikit mungkin mengalami dispneu berat.
Gejala paling umum yang timbul dari respon inflamasi pleura adalah nyeri
pleuritik, yang dimediasi oleh pleura parietal (pleura visceral tidak mengandung
nosiseptor atau serabut saraf nosiseptif). Rasa sakit biasanya dirasakan di daerah
kelainan patologis, dan sering dikaitkan dengan siklus pernafasan. Nyeri pleuritik
lokal seperti itu membaik atau hilang segera setelah timbul efusi pleura. Beberapa
pasien menggambarkan sensasi tekanan di dada yang menyebar dan menyakitkan
terutama ketika proses patologis secara langsung melibatkan pleura parietal,
misalnya dalam kasus empiema pleura, tumor ganas primer, atau karsinomatosis
pleura. Efusi pleura dalam situasi ini biasanya tipe eksudatif.
Gejala yang paling umum dari efusi pleura adalah dispnea. Tingkat keparahan
dispnea hanya berkorelasi longgar dengan ukuran efusi. Efusi pleura besar
mengambil ruang di dada yang biasanya diisi oleh parenkim paru dan dengan
demikian berhubungan dengan penurunan semua volume paru. Volume paru juga
tidak segera berubah ketika efusi pleura (bahkan yang besar) terkuras. Perbaikan
klinis yang cepat dari dispnea setelah efusi pleura dikeringkan mungkin
mencerminkan transisi ke kurva tegangan panjang otot pernapasan yang lebih
menguntungkan, terutama diafragma. Beberapa pasien mengeluhkan batuk kering,
yang dapat dijelaskan sebagai manifestasi radang pleura atau kompresi paru akibat
efusi yang banyak. Efusi pleura juga dapat sangat mengganggu kualitas tidur
F. Diagnosis
Karena efusi pleura adalah hasil dari berbagai penyakit, anamnesis dan
pemeriksaan fisik juga harus difokuskan pada penyebab efusi paru atau sistemik
yang mendasarinya. Setelah penentuan awal apakah ada efusi pleura unilateral atau
bilateral, riwayat klinis sangat penting. Pasien harus ditanya tentang infeksi
pernapasan di masa lalu, demam, penurunan berat badan, dan malaise. Perjalanan
temporal juga sangat relevan: Apakah gejalanya muncul dengan cepat atau dalam
waktu yang lebih lama, mungkin selama beberapa minggu? Penyakit kronis apa
lagi yang diderita pasien? Informasi tentang riwayat penyakit jantung sangat
penting, karena gagal jantung kongestif adalah yang paling umum penyebab efusi
pleura bilateral. Sekitar 75% pasien dengan emboli paru dan efusi pleura mengeluh
nyeri dada pleuritik. Komponen penting terakhir dari riwayat klinis adalah obat
yang saat ini dikonsumsi dan paparan asbes sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik bunyi napas uni atau bilateral basal paru berkurang atau
tidak ada dan perkusi basal redup. Takipnea mungkin ada jika efusinya besar.
Gesekan pleura terkadang terdengar pada tahap awal efusi parapneumonik. Secara
klinis, penentuan apakah efusi pleura adalah uni atau bilateral umumnya dibuat dari
rontgen dada. Anamnesis dan pemeriksaan fisik berfungsi sebagai panduan untuk
pengujian lebih lanjut dan sering dapat menyarankan dengan akurasi yang tinggi
apakah terdapat transudat atau eksudat. Jika, misalnya, pasien menunjukkan tanda-
tanda klinis gagal jantung kongestif, dengan edema perifer, takikardia, bunyi
jantung ketiga, distensi vena leher, dan redup bilateral pada perkusi di dasar paru,
maka efusi pleura yang berasal dari jantung sangat mungkin, dan dengan demikian
kita mungkin berurusan dengan transudat daripada eksudat. Dalam situasi ini,
sebuah keran pleura diagnostik umumnya dapat ditiadakan, dan pengobatan
penyakit yang mendasarinya adalah pertimbangan utama.
Jika pemeriksaan ditemukan asites pada pasien dengan sirosis hati bersama
dengan bukti efusi pleura bilateral, kemungkinan hidrotoraks hati.
Gambar 6. Algoritma Diagnosis Efusi Pleura (Jany & Walte, 2019)
G. Pemeriksaan Penunjang
Radiografi dada berguna untuk memastikan adanya efusi. Temuan efusi
bervariasi dengan jumlah efusi. Pada tampilan posteroanterior (PA) tegak, minimal
200 ml cairan diperlukan untuk menutupi sudut kostofrenikus, yang disebut tanda
meniskus efusi pleura. Namun, dalam pandangan lateral, 50 ml cairan dapat
didiagnosis dengan tanda ini. USG dada lebih sensitif dan berguna untuk diagnosis
efusi pleura dan juga membantu dalam perencanaan torakosentesis. Semua efusi
unilateral pada orang dewasa membutuhkan thoracentesis untuk menentukan
penyebab cairan pleura. Ini juga dikenal untuk memperbaiki gejala pasien dan
memfasilitasi pemulihan.
Menentukan apakah cairan itu eksudat atau transudat mempersempit
perbedaannya. Namun, kriteria Light harus ditafsirkan dalam konteks klinis karena
salah mendiagnosis 20% transudat sebagai eksudatif. Contohnya adalah pasien
yang mengalami diuresis kronis karena gagal jantung, dapat meningkatkan kadar
protein cairan pleura, dan dapat diklasifikasikan sebagai eksudat.
Tes yang biasa dilakukan pada cairan pleura untuk menentukan etiologi adalah
pengukuran pH cairan, protein cairan, albumin dan LDH, glukosa cairan,
trigliserida cairan, perbedaan jumlah sel cairan, pewarnaan dan kultur gram cairan,
dan sitologi cairan. Eksudat ditandai dengan peningkatan protein, peningkatan
LDH, dan penurunan glukosa. LDH cairan pleura lebih besar dari 1000 U/L dapat
terlihat pada tuberkulosis, limfoma, dan empiema. PH rendah (pH kurang dari 7,2)
menunjukkan efusi pleura kompleks dalam pengaturan pneumonia dan hampir
selalu membutuhkan pemasangan selang dada untuk drainase. Penyebab lain dari
pH rendah mungkin pecahnya kerongkongan dan rheumatoid arthritis.
Jumlah sel cairan dalam transudat menunjukkan sel-sel mesothelial yang
dominan. Pada efusi parapneumonik, lupus pleuritis, dan pankreatitis akut, terdapat
dominasi neutrofilik dalam jumlah sel. Beberapa penyebab efusi dominan limfosit
meliputi keganasan, limfoma, tuberkulosis, sarkoid, efusi pleura rheumatoid kronis,
dan keganasan. Eosinofilia pada efusi pleura jarang terjadi dan biasanya dengan
adanya udara (pneumothorax), darah (hemothorax), penyakit parasit, atau efusi
yang diinduksi obat.
Kehadiran organisme dengan pewarnaan gram atau biakan mengarah ke
diagnosis empiema dan memerlukan selang dada untuk drainase nanah. Sitologi
diperlukan untuk menentukan keberadaan sel ganas dalam cairan pleura.
Sensitivitas sitologi cairan pleura dengan adanya efusi ganas pada thoracentesis
pertama adalah sekitar 60%, dan hasilnya meningkat dengan upaya lebih lanjut,
mendekati 95% dengan tiga sampel pada hari yang berbeda. Namun, jika diduga
kuat efusi ganas dan sitologi negatif, maka torakoskopi medis dengan biopsi pleura
dapat dilakukan setelah dua hingga tiga thoracentesis untuk mendapatkan
diagnosis.
Tes lain yang dapat dilakukan pada cairan pleura untuk menentukan etiologi
termasuk adenosine deaminase (ADA), yang bila meningkat, dicurigai tuberkulosis
di daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. Pada ruptur esofagus, adanya
amilase dalam cairan pleura bersifat diagnostik. Pada gagal jantung, peningkatan
kadar NT- proBNP dapat terlihat pada cairan pleura. Kehadiran lebih dari 110
mg/dL trigliserida dalam cairan pleura menunjukkan chylothorax. Cairan pleura
biasanya berwarna seperti jerami, dan jika berwarna putih susu, maka harus
dicurigai adanya chylothorax. Diagnosis hemotoraks dapat ditegakkan bila
hematokrit cairan pleura lebih dari 0,5 kali hematokrit serum.
Rontgen dada dapat mengungkapkan pergeseran mediastinum ke rongga dada
kontralateral. Mungkin juga terjadi pergeseran trakea ke arah sisi ipsilateral jika
bronkus tersumbat. Ct scan berguna untuk mengetahui penyebabnya, seperti
keganasan.
H. Tatalaksana
Setelah etiologi efusi pleura ditentukan, manajemen untuk mengatasi penyebab
yang mendasarinya. Dalam kasus efusi parapneumonik kompleks atau empiema
(pH cairan pleura kurang dari 7,2 atau adanya organisme), drainase selang dada
biasanya diindikasikan bersama dengan antibiotik. Saluran kecil (10 G hingga 14
G) sama efektifnya dengan saluran besar untuk tujuan ini. Jika pasien tidak
menanggapi antibiotik yang tepat dan drainase yang memadai, mungkin diperlukan
dekortikasi atau debridemen torakoskopik. Instilasi fibrinolitik intrapleural dan
DNAse dapat digunakan untuk meningkatkan drainase dan pada mereka yang tidak
merespon terapi antibiotik yang memadai dan mereka yang bukan kandidat untuk
intervensi bedah.
Jika pasien dengan efusi pleura ganas tidak menunjukkan gejala, drainase tidak
selalu diindikasikan kecuali ada dugaan infeksi yang mendasarinya. Untuk efusi
pleura ganas yang membutuhkan drainase yang sering, pilihan untuk manajemen
adalah pleurodesis (di mana ruang pleura dilenyapkan baik secara mekanis atau
kimiawi dengan menginduksi iritan ke dalam ruang pleura) dan penempatan kateter
pleura terowongan. chylous awalnya dikelola secara konservatif, tetapi sebagian
besar membutuhkan pembedahan.
Seseorang tidak boleh mengeluarkan lebih dari 1500 ml cairan selama satu
upaya karena dapat menyebabkan edema paru ekspansi ulang. Rontgen dada wajib
dilakukan setelah melakukan torakosentesis untuk menentukan sisa cairan dan
adanya pneumotoraks.
I. Prognosis
Prognosis tergantung pada penyebab efusi pleura. Efusi jinak dapat
disembuhkan, tetapi jika penyebabnya adalah keganasan, prognosisnya sangat
buruk. Fitur lain dari efusi pleura adalah kekambuhan yang juga dapat terjadi
dengan gangguan jinak seperti lupus, uremia, dan rheumatoid arthritis. Jika efusi
pleura tidak dibuang, dapat menyebabkan dispnea dan bahkan empiema.
2.4. Kista Hepar
2.4.1. Definisi
Kista hati didefinisikan sebagai lesi kecil berisi cairan abnormal yang
berkembang di dalam jaringan hati dan biasanya timbul dari dalam hepatosit,
epitel sel empedu, jaringan mesenkim, atau metastasis dari organ
ekstrahepatik. Sebagian besar kasus dapat ditangani dengan harapan idak
memerlukan intervensi. Namun, dalam beberapa kasus, kista yang cukup besar
menimbulkan gejala dan memerlukan intervensi medis atau bedah.
2.4.2. Etiologi
Kista hati berdasarkan etiologi dapat diklasifikasikan menjadi infeksius
dan non-infeksius. Infeksius dibagi menjadi parasit (Echinococcus dan kista
hidatidosa) dan non-parasit (abses piogenik dan jamur). Non-infeksius
meliputi jinak, neoplastik, dan traumatis.

Gambar 7. Bagan etiologi kista hepar


Sumber: (Alshaikhli,2022)

2.4.3. Kista Sederhana


Ini adalah bentuk kista hati yang paling umum. Etiologi yang
mendasari patogenesis tidak sepenuhnya dipahami. Sebagian besar kista
sederhana adalah bawaan lahir dan biasanya timbul dari saluran empedu
hiperplastik yang tidak terhubung ke sistem empedu.
Kista hati yang sering kali kita ketahui dari adanya gejala bawaan
sejak lahir karena adanya kelainan dari saluran empedu. Dari beberapa kasus
kista hati juga dapat disebabkan karena adanya komplikasi berat lainnya
seperti pada penyakit polikistik hati, kanker hati, penyakit caroli, dan fibrosis
hati bawaan.
Penyakit hati polikistik merupakan salah satu penyakit fibrokistik
yang bersifat herediter. Penyakit hati polikistik terjadi karena kegagalan
saluran empedu intralobular berinvolusi, dimana saluran intralobular
mengalami distorsi dan degenerasi menjadi kista.Biasanya tidak dijumpai
gangguan fungsi empedu. Penyakit Caroli adalah penyakit hepatobilier
kongenital langka yang ditandai dengan pelebaran segmental multifokal
saluran empedu intrahepatik yang memengaruhi seluruh atau sebagian hati.
2.4.4. Polycystic Liver Disease (PCLD)
Ada dua mekanisme yang digunakan untuk menjelaskan terjadinya
kista pada PCLD. Mekanisme pertama diperkirakan karena adanya duktus
empedu abnormal yang tertahan dari cabang empedu dan melebar secara
progresif, membentuk kista. Mekanisme lain yang disarankan adalah
gangguan silia di dalam cabang empedu, yang mengarah ke hiperproliferasi
kolangiosit dan pembentukan kista. PCLD bersifat bawaan dan biasanya
dikaitkan dengan Penyakit Ginjal Polikistik Dominan Autosomal (Autosomal
Dominant Polycystic Kidney Disease/ADPKD). Mutasi pada pasien ini telah
diidentifikasi pada (gen PKD1 dan PKD2).
Pada Penyakit Ginjal Polikistik Autosomal Resesif, pasien cenderung
meninggal tak lama setelah lahir karena komplikasi paru. Namun, mereka
yang bertahan hidup cenderung memiliki fibrosis hati daripada kista.
Kriteria Gigot untuk PCLD bergantung pada temuan pencitraan dan
terdiri dari 3 tipe:
Tipe I: adanya kurang dari 10 kista hati yang besar dan berdiameter
maksimum kurang dari 20 cm.
Tipe II: keterlibatan parenkim hati yang menyebar oleh beberapa kista dengan
area parenkim hati paten yang masih luas.
Tipe III: keterlibatan parenkim hati yang menyebar oleh kista hati dengan
ukuran yang berbeda dengan sedikit area parenkim hati yang normal.
Klasifikasi Qian bergantung pada jumlah kista dan digunakan
terutama untuk skrining anggota keluarga dan terdiri dari 5 tingkatan:
Tingkat 0: tidak ada kista.
Tingkat 1: 1-10 kista.
Tingkat 2: 11-20 kista.
Tingkat 3 > 20 kista.
Tingkat 4: > 20 kista dan hepatomegali bergejala.
2.4.5. Neoplastik
Cystadenoma bilier (BCA) adalah neoplasma yang tumbuh lambat
yang timbul dari saluran empedu. Patogenesis lesi ini masih belum diketahui-
dugaan teori cedera superfisial dan proses reaktif. Teori lain menyebutkan,
penyakit bawaan yang timbul dari sisa-sisa ektopik atau kelainan saluran
empedu embrionik. Teori lain adalah neoplasma ini adalah sekunder akibat
implantasi serta ekspresi berlebih dari reseptor estrogen dan progesteron.
2.4.6. Gejala
Sangat penting untuk menyelesaikan evaluasi menyeluruh dari
keadaan klinis seperti usia pasien, jenis kelamin, riwayat lengkap, dan
pemeriksaan fisik, penggunaan kontrasepsi hormonal, riwayat penyakit hati
kronis, dan riwayat perjalanan dapat memberikan petunjuk penting untuk
etiologi.
Namun, sebagian kecil pasien bermanifestasi dengan nyeri perut
kuadran kanan atas yang tumpul, rasa kenyang lebih awal, mual, muntah, dan
sesak napas, yang timbul akibat efek massa. Jarang, kista cukup besar untuk
menghasilkan massa perut yang dapat teraba dan berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang serius.
Selain itu, obstruksi saluran empedu yang muncul sebagai penyakit
kuning dan gatal-gatal, pecahnya kista dapat menyebabkan peritonitis bakteri
atau presentasi yang mirip dengan abses hati dalam bentuk demam, nyeri
perut, dan leukositosis. Hal ini juga dapat menyebabkan torsi akut pada kista
yang disajikan sebagai nyeri perut akut.
Deteksi kista hati multipel memerlukan anamnesis riwayat keluarga
yang ekstensif mengenai terjadinya ADPKD atau PCLD. Secara klinis, pasien
dapat menunjukkan hepatomegali pada pemeriksaan fisik, dan pasien jarang
berkembang menjadi fibrosis hati, hipertensi portal, dan gagal hati. Jarang,
kista hati akan menekan struktur pembuluh darah hati, yang menyebabkan
hipertensi portal dan perdarahan saluran cerna bagian atas dalam hal Varises
Esofagus. Pasien dengan kista hati juga dapat mengalami penekanan pada
vena Portal yang menyebabkan presentasi yang mirip dengan 'Sindrom Budd-
Chiari, yang menghalangi drainase vena dari hati.
Pada ADPKD, pasien yang datang dengan kista ginjal dengan
manifestasi ekstrarenal meliputi aneurisma otak, kista pankreas, penyakit
katup jantung, divertikula kolon, dinding perut, hernia inguinalis, dan kista
vesikula seminalis. Efusi pleura eksudatif kanan yang berulang telah
dilaporkan pada pasien dengan PCLD.
2.4.7. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya bersifat nondiagnostik dan sebagian besar
normal. Sebagian kecil pasien mungkin mengalami peningkatan ringan pada
enzim hati, sebagian besar umumnya dalam alkali fosfatase dan gamma-
glutamil transferase. Antigen karsinoembrionik (CEA) dan CA 19-9 mungkin
meningkat. CA 19-9 diekspresikan dalam lapisan epitel bagian dalam kista
sederhana; ini mungkin bermanfaat sebagai biomarker diagnostik atau tindak
lanjut. Dalam konteks PCLD, perubahan yang lebih signifikan pada hasil tes
fungsi hati ditemukan, tetapi gagal hati jarang terjadi. Hasil tes fungsi ginjal,
termasuk kadar nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin, sering kali tidak
normal dan harus dilakukan pada evaluasi awal dan ditindaklanjuti selama
perjalanan penyakit. Kadar enzim yang lebih tinggi pada BCA terjadi karena
invasi cabang empedu yang berdekatan.
Modalitas Pencitraan
HCS ditemukan secara tidak sengaja saat melakukan pembedahan.
Dokter memiliki beberapa pilihan untuk mencitrakan hati pada pasien dengan
HCS. Ultrasonografi Perut sudah tersedia, non-invasif, sangat sensitif, dan
tidak memiliki paparan radiasi yang berbahaya. CT scan sensitif dan lebih
mudah diinterpretasikan oleh sebagian besar dokter, terutama untuk
perencanaan pengobatan. Pencitraan resonansi magnetik (MRI), angiografi
hati, dan pemindaian kedokteran nuklir memiliki peran yang terbatas dalam
menangani kista hati.
Ultrasonografi umumnya dapat membedakan kista sederhana dari
kista yang rumit. Karakteristik yang berbeda untuk membedakan lesi ini. Pada
kista hepar sederhana, tampak anechoic, homogen, tidak ada septate, tipis,
dengan margin halus, dan ada peningkatan akustik posterior. Namun, kista
sederhana hemoragik dapat menyebabkan kebingungan dalam temuan U/S
antara kista sederhana dan neoplasma kistik berlendir.
Pada CT scan menunjukkan lesi hipodens homogen yang terdefinisi
dengan tajam. Lesi homogen yang berbatas tegas tidak meningkat setelah
pemberian kontras intravena. Secara radiologis, kista sederhana dan PCLD
memiliki temuan yang serupa. Tidak ada kriteria radiologis khusus untuk
membedakan kista hati pada kasus ADPKD dan PCLD yang terisolasi.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan adanya >20 kista hati yang diukur
dengan modalitas pencitraan. Ultrasonografi untuk mengidentifikasi kista di
hati dan ginjal direkomendasikan sebagai tes awal. ADPKD harus diuji dan
disingkirkan sebelum membuat diagnosis PCLD terisolasi; sayangnya, hingga
sepertiga pasien dengan PCLD terisolasi dapat memiliki beberapa kista ginjal,
sehingga sulit untuk membedakan keduanya. Kriteria diagnostik untuk
ADPKD untuk pasien berisiko tinggi dengan riwayat keluarga adalah dengan
adanya setidaknya dua kista pada 1 ginjal atau 1 kista pada setiap ginjal pada
pasien yang berusia kurang dari 30 tahun, setidaknya dua kista pada setiap
ginjal pada pasien yang berusia antara 30 hingga 59 tahun, dan setidaknya 4
kista pada setiap ginjal pada pasien yang berusia 60 tahun ke atas. Temuan
biopsi dan histologis tetap menjadi standar emas bagi BCA
Histologi dan Aspirasi Jarum
Pemeriksaan ini jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
karena kista memiliki tampilan sonografi yang khas. Pada kista sederhana,
cairan yang disedot biasanya steril. Warnanya bervariasi dari warna jerami
yang jernih hingga coklat. Kista PCLD secara mikroskopis mirip dengan kista
hati sederhana. Kadar antigen karsinoembrionik yang tinggi dalam cairan kista
telah dilaporkan pada kista neoplastik yang berhubungan dengan karsinoma
invasif, tetapi akurasi diagnostik dari temuan ini belum ditetapkan. Aspirasi
jarum halus cairan kista tidak lagi menjadi rekomendasi pertama untuk pasien
neoplastik karena peningkatan risiko penyemaian tumor dan perkembangan
karsinosis peritoneal.
BCA memiliki banyak septa pada spesimen kasar, dikelilingi oleh
kapsul fibrosa tebal yang mungkin termasuk kalsifikasi. Secara mikroskopis,
BCA memiliki tiga lapisan karakteristik, termasuk penghasil musin, dengan
lapisan epitel kuboid atau kolumnar tidak bersilia yang bertingkat atau semu
bertingkat; lapisan kedua stroma seluler; dan lapisan terdalam jaringan ikat
kolagen yang tebal. Lapisan ini terdiri dari bahan yang berdarah atau berwarna
cokelat.
Pengujian Genetik
PCLD memiliki pola pewarisan autosomal dominan, dan memiliki
risiko kekambuhan sebesar 50% pada generasi berikutnya. Namun, tes genetik
untuk pasien dengan ADPKD dan PCLD tersedia, tetapi biasanya tidak
dilakukan secara teratur karena tidak mengganggu manajemen. Namun, pasien
dengan riwayat keluarga ADPKD atau PCLD dapat mempertimbangkan
pengujian genetik molekuler. Skrining mutasi gen yang menyebabkan
ADPKD (PKD1 dan PKD2) atau PCLD terisolasi (PRKCSH dan SEC63)
dapat mengkonfirmasi diagnosis klinis. Prevalensi penyakit ini terlalu rendah,
sehingga tidak ada rekomendasi untuk skrining untuk populasi umum.
2.4.8. Tatalaksana
Kista Sederhana
Kista sederhana tanpa gejala tidak memerlukan intervensi selain
tindak lanjut rutin dengan pemeriksaan pencitraan dan manajemen kehamilan.
Tindak lanjut dengan Ultrasonografi dapat dilakukan dalam interval 3 hingga
12 bulan, dan jika kista stabil, tidak diperlukan tindak lanjut lebih lanjut. Kista
sederhana bahkan telah dilaporkan sembuh secara spontan pada masa tindak
lanjut tanpa intervensi yang diperlukan.
Pasien dengan gejala atau kista yang bertambah besar harus
meningkatkan kekhawatiran bahwa lesi tersebut bisa menjadi neoplastik.
Beberapa pendekatan terapeutik termasuk aspirasi jarum dengan atau tanpa
injeksi agen sklerosis seperti (tetrasiklin, etanol, atau etanolamin), drainase
internal yang luas, dan berbagai tingkat reseksi hati. Pendekatan laparoskopi
adalah standar perawatan saat ini, tetapi penelitian telah menunjukkan tingkat
kekambuhan yang bervariasi dari 4% hingga 41% pada masa tindak lanjut
setelah bedah laparoskopi. Dengan bantuan agen sklerosis, tingkat
kekambuhan menurun secara signifikan.
Polycystics Liver Disease
Penatalaksanaan difokuskan pada penurunan volume hati. Tidak ada
pedoman terbaru untuk mengelola PCLD secara sendirian. Namun, ada
pendekatan medis dan/atau bedah yang meliputi:
A. Terapi Medis
Antagonis reseptor somatostatin: Octreotide adalah antagonis reseptor
somatostatin yang memiliki efek positif pada pasien dengan PCLD.
Inhibitor mTOR: mTOR ditemukan diaktifkan secara tidak tepat pada
pasien dengan PCLD dan dianggap bertanggung jawab atas proliferasinya.
Sirolimus terbukti menghentikan proliferasi dan respons sintesis sel
polikistik yang tidak diatur.
Antagonis reseptor estrogen: Kepercayaan saat ini adalah bahwa estrogen
berperan dalam pertumbuhan kista, dan akibatnya, penyakit ini cenderung
lebih banyak menyerang wanita daripada pria. Namun, tidak ada uji klinis
yang dilakukan selain laporan anekdotal.
Antagonis reseptor vasopresin-2: penelitian menunjukkan bahwa aktivasi
reseptor vasopresin menyebabkan peningkatan produksi cAMP, yang
menyebabkan proliferasi kista. Penelitian telah menunjukkan bahwa
menggunakan blok tolvaptan. Reseptor ini dapat menyebabkan penurunan
laju perkembangan dan pertumbuhan kista. Namun, penelitian ini tidak
menganalisis efek tolvaptan pada kista hati. Meski begitu, ada beberapa
studi kasus yang menunjukkan bahwa tolvaptan dapat mengurangi volume
hati dan memperbaiki gejala pasien.
B. Terapi Bedah
Aspirasi Kista Perkutan yang diikuti dengan Skleroterapi: dapat
bersifat diagnostik dan/atau terapeutik. Hal ini dilakukan melalui aspirasi
kista di bawah panduan sonografi yang diikuti dengan injeksi agen
sklerosis yang merusak epitel lapisan, mencegah akumulasi cairan.
Tindakan ini terutama diindikasikan untuk pasien dengan kista hati
bergejala besar (>5 cm).
Fenestrasi Kista Laparoskopi: Prosedur ini melibatkan aspirasi
dan pengangkatan kista dalam satu prosedur. Keuntungan utama dari
prosedur ini adalah, beberapa kista dapat ditangani secara bersamaan.
Biasanya dilakukan ketika ada beberapa kista dominan yang besar di
anterior segmen lobus kanan atau segmen lateral kiri lobus hati.
Reseksi Hepatik Segmental: prosedur ini dipertimbangkan pada
pasien dengan kista hati yang masif, tetapi masih memiliki jaringan
parenkim hati yang cukup. Prosedur ini biasanya hanya dilakukan pada
pasien dengan hepatomegali masif dengan gejala yang parah, dan ketika
transplantasi hati tidak beralasan.
Transplantasi: Pasien dengan PCLD biasanya memiliki skor
MELD yang rendah karena tes fungsi hati yang normal. Namun, hal ini
jarang diindikasikan pada kasus gangguan fungsi hati dan di mana reseksi
tidak dianggap sebagai pilihan yang layak karena lesi kistik yang
menyebar.
Kista neoplastik
BCA dianggap sebagai lesi prakanker. Tumor tumbuh menjadi
besar dan memerlukan intervensi bedah pada sebagian besar laporan.
Meskipun temuan pencitraan mungkin bersifat sugestif, temuan ini sering
kali tumpang tindih dan tidak spesifik. Tidak ada pedoman yang
dipublikasikan tentang terapi yang tepat untuk BCA dan BCAC karena
terbatasnya jumlah kasus yang dilaporkan. Aspirasi cairan secara rutin
untuk mendekompresi lesi kistik tidak direkomendasikan karena
sensitivitasnya yang terbatas dan risiko penyebaran keganasan.
Reseksi bedah radikal lengkap dengan margin bedah yang lebar
(>2cm) merupakan tatalaksana pilihan mengingat risiko transformasi ganas
dan kekambuhan. Enukleasi BCA adalah penatalaksanaan yang tepat hanya
pada kasus-kasus di mana reseksi bedah lengkap tidak memungkinkan.
BCAC memiliki prognosis yang baik dibandingkan dengan keganasan hati
lainnya, karena menunjukkan perilaku klinis yang kurang agresif dengan
pertumbuhan yang lambat dan metastasis yang lebih jarang. Serum CA 19-
9 yang dapat dipantau pada interval yang teratur telah disarankan untuk
resolusi tumor pasca-bedah.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 51 tahun
Alamat : Batu
Pekerjaan : Supir
MRS : 27 Januari 2023, pukul 14.45 WIB

3.2 Subjektif
Anamnesis
Keluhan Utama: Sesak
 Riwayat Penyakit Sekarang:
- Pasien rujukan RS. Prasetya Husada.
- Sesak dirasakan sejak 8 bulan yang lalu, keluhan dirasakan memberat
ketika pasien jalan sedikit dan berkurang dengan posisi duduk. Pasien
mengeluh sulit tidur saat malam hari karena sesak yang dirasakan.
Saat dirumah pasien tidur dengan menggunakan 3 bantal menumpuk
dan sesak terasa berkurang. Sesak memberat sejak tanggal 23/1/2023.
- Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 8 bulan yang lalu. Batuk yang
dirasakan pasien, batuk kering. Batuk memberat saat pasien MRS di
RS Karsa Husada (27 Januari 2023).
- Pasien mengeluhkan nyeri dada sebelah kanan, tidak tembus sampai
belakang. terkadang pasien mengeluh perut sampai dada sebelah
kanan terasa panas.
- Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan sejak pasien
mengeluh sakit.
- Pasien mengalami penurunan berat badan
- Tidak terdapat demam (-), dada berdebar (-), mual (-) muntah (-),
keringat malam hari (-)
- Sebelumnya, pasien sempat beberapa kali MRS di RS. Prasetya
Husada dengan keluhan sesak, asam lambung naik dan jantung
bengkak.

 Riwayat Penyakit Terdahulu:


- TB aktif dari 5 bulan yang lalu, putus obat.
- DM (-), HT (-), Asma (-), Alergi makanan (-), Alergi dingin (-)
disangkal
 Riwayat Keluarga:
- DM (-), HT (-), keluhan serupa (-), asma (-), TB (-) disangkal
 Riwayat Pengobatan:
- Pasien mengonsumsi obat jantung/hipertensi, namun keluarga pasien
lupa nama obatnya
- OAT 8/22 – 11/22
 Riwayat Sosial & Kebiasaan:
- Pasien merokok sejak 30 tahun yang lalu berhenti sejak 1 tahun yang
lalu, 1 hari 36 batang, IB = 1.0444 (perokok berat)
- Pasien terkadang juga minum jamu
- Kegiatan sehari-hari sebagai supir
3.3. Objektif
Pemeriksaan Fisik:
a. Status Generalis:
- Keadaan Umum : Lemah
- Kesadaran : Compos mentis
- GCS : 456
b. Status gizi:
- BB : 55 kg
- TB : 160 cm
- BMI Awal : 21,48 kg/m2 (Normoweight)
c. Vital Sign:
- Tekanan Darah : 110/82 mmHg
- HR : 106x/menit reguler
- RR : 26x/menit reguler
- Temperatur Axila : 36,7oC
- SpO2 : 98% on NRBM 12lpm
d. Status Lokalis:
Kepala/Leher:
- Mata: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+), pupil bulat isokor
diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)
- Hidung: Dyspnea (+), nafas cuping hidung (-)
- Mulut: Mukosa bibir kering, bibir cyanosis (+), pursed-lips breathing (-)
- Leher: JVP normal, deviasi trakea (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran
KGB (-)
Thorax:
Cor:
- Inspeksi: Ictus cordis invisible, scar (-), tanda inflamasi (-)
- Palpasi: Ictus cordis teraba di ICS 5 MCL 5
- Perkusi: Batas jantung kanan di ICS 4 PSL kanan, batas jantung kiri di
ICS 5 AAL kiri
- Auskultasi: S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo:
- Inspeksi:
Bentuk dinding dada normal
Dinamis D=S
Statis D=S
- Palpasi:
Pergerakan dinding dada D/S simetris
Pemeriksaan stem fremitus
Anterior Posterior
D S D S
N N N N
N N N N
↓ ↓ ↓ ↓

- Perkusi:
Anterior Posterior
D S D S
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor

Redup Redup Redup Redup


- Auskultasi:
Suara nafas utama
Anterior Posterior
D S D S
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Bronchovesikuler Bronchovesikule Bronchovesikuler Bronchovesikuler
r
Suara nafas tambahan
Rhonki
Anterior Posterior
D S D S
- - - -

- - - -

+ + + +
Wheezing
Anterior Posterior
D S D S
- - - -
- - - -
- - - -

Abdomen:
- Inspeksi: Bekas operasi (-), linea nigra (-), striae gravidarum (-)
- Auskultasi: BU (+) 10x/menit
- Palpasi: Soefl pada seluruh lapang abdomen, undulasi (-), nyeri tekan -/-
- Perkusi: Timpani pada seluruh lapang abdomen, shifting dullness (-)
- Hepar: Tepi tajam
- Lien: Tidak ada pembesaran (hacket 0, schuffner 0)

Ekstremitas:
- Akral hangat kering merah
- Edema -/-
- CRT <2 detik
Pemeriksaan penunjang
EKG (27/1/23)
- Irama : Sinus takikardi
- Frekuensi : 107x/menit, reguler
- Axis Frontal : normoaxis
- Axis Horizontal : clockwise rotation
- Gelombang P : 0.08 s
- PR Interval : 0.20 s
- QRS Complex : 0.08 s
RVH (-) LVH (-)
RBBB (-) LBBB (-)
- ST Segmen : isoelektrik
- T Wave : normal
KESIMPULAN:
Sinus takikardi dengan Hr 107x/menit

Foto thorax (27/1/23)


- Identitas pasien terpotong
- Foto thorax AP
- Simetris
- Terdapat marker R/L
- Inspirasi cukup
Interpretasi:
- SOFT TISSUE:
Tipis diameter <1 cm, massa (-), pembesaran KGB (-), emfisema subkutis (-)
- SKELETAL:
• Clavicula D/S : fraktur (-), osteoporotik (-)
• Costae D/S : fraktur (-), osteoporotik (-), osteolitik (-), mendatar -/-
• ICS D/S : dbn
• Vertebrae : deviasi (-)
- TRACHEA: di tengah, udara (+)
- HILUS D/S: normal
- JANTUNG:
• Site : normal
• Size : CTR >55% (CTR 65%)
• Shape : kesan cardiomegally
• Aorta : elongasi (-), dilatasi (+)
• Apex : tertanam
- HEMIDIAFRAGMA D/S:
• Dextra: SDE
• Sinistra: domeshape
- SUDUT COSTOFRENIKUS D/S:
• Dextra: tertutup perselubungan
• Sinistra: tajam
- PARU D:
• Infiltrat (+) di seluruh lapang paru, konsolidasi (+), cavitas (-)
• Corakan Vaskular: meningkat di medial dan basal paru
- PARU S:
• Infiltrat (+) di apex paru, konsolidasi (-), cavitas (-)
• Corakan Vaskular: meningkat di apex paru
Kesimpulan:
- Pneumonia
- Susp. Cardiomegaly
- Aorta diatasi

USG Thorax (30/1/2023)


Posisi sedikit membungkuk memeluk bantal
Interpretasi :
 Cavum pleura dextra: Tampak echo cairan dengan internal echo pada cavum pleura
dextra
 Cavum pleura sinistra : tampa echo cairan bebas minimal pad acavum pleura sinistra

USG abdomen (30/1/2023)

Interpretasi :
 Hepar : ukuran normal, sudut tajam, permukaan regular, echoparenchym homogen
normal, sistem porta/vesikuler/bilier tida melebar. Tampak kista dinding tipis pada
lobus kanan dan kiri
 Vesika felea : ukuran normal, dinding tidak menebal, tak tampak batu/sludge, CBD
tidak melebar
 Pancreas : ukuran normal, echoparenkim homogen normal, tidak tampak lesi
patologis
 Lien : ukuran normal, tepi tajam, permukaan rata, echoparenkim homogen, vena
lienalis tidak melebar, tidak tampak lesi patologis
 Ren D/S : ukuran D: ±9.5x3.6 cm; S: ±9.7x4.4 cm, echo cortex meningkat, batas
cortex medulla jelas. Sistema pelviocalyceal tidak melebar. Tidak tampak
batu/kista/ectasis
 VU : terisi urine optimal, dinding tidak melebar, batu/massa (-)
 Prostat : ukuran normal, echoparenkim homogen normal, tidak tampak lesi patologis
kalsifikasi
 Tampak echo cairan bebas pada cav pleura D/S, fossa hepatorenal, splenorenal,
perivesia
Kesimpulan
Efusi pleura bilateral
Ascites
Parenchumatous renal disease bilateral
Kista simple hepar

Pemeriksaan Laboratorium (27/1/2023)


Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Rujukan
Hematologi Lengkap
HGB 10.3 (L) g/dL 12.3-15.3
RBC 3.90 (L) 10^6/uL 4.1-5.1
HCT 31.8 (L) % 34.0-47.0
MCV 81.5 fL 80.0-97.0
MCH 26.4 (L) pg 26.5-33.5
MCHC 32.4 g/dL 31.5-35.0
RDW-SD 56.9 (H) fL 35-47
RDW-CV 21.6 (H) % 11.5-14.5
WBC 12.03 (H) 10^3/uL 4.4-11.3
Hitung Jenis
EO% 0.4 (L) % 2-4
BASO% 0.0 % 0-1
NEUT% 85.6 (H) % 50-70
LYMPH% 8.2 (L) % 25-40
MONO% 5.8 % 2-8
EO# 0.05 10^3/uL
BASO# 0.00 10^3/uL
NEUT# 10.29 (H) 10^3/uL
LYMPH# 0.99 (L) 10^3/uL
MONO# 0.70 10^3/uL
PLT 171 10^3/uL 150-450
PDW 13.8 fL 10-18
MPV 11.2 (H) fL 6.6-11
P-LCR 34.7 (H) % 15.0-25.0
PCT 0.19 % 0.150-0.400
LED 30 (H) mm/jam 0-15
Kimia Darah
SGPT 21.0 U/L <41
SGOT 28.0 U/L <37
Ureum 54.5 (H) mg/dL 20-40
Creatinin P 0.95 mg/dL < 1.3
Albumin 2.50 (L) g/dL 3.2-5.5
Glukosa Sewaktu 109 mg/dL < 200
Elektrolit
Na+ 134.3 (L) mmol/L 135 – 145
K+ 3.29 (L) mmol/L 3.5 – 5.5
Cl- 101.6 mmol/L 98 - 108
Analisis gas darah
pH 7.436 7.350 – 7.450
PCO2 37.2 mmHg 35.0 – 45.0
PO2 30.0 (L) mmHg 80.0 – 100.0
TCO2 26 mmol/L 23 - 27
HCO3 25.0 mmol/L 22.0 – 26.0
BE ecf 1.0 mmol/L -2 - +2
SO2 59 (L) % 90 – 100
Kesimpulan Dalam batas normal

Laboratorium Ke-2 (27/1/2023)


Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Rujukan
Kimia darah
Bilirubin total 8.87 (H) mg/dL 0.3-1.2
Bilirubin direk 5.00 (H) mg/dL 0.0-0.2
Bilirubin indirek 3.87 (H) mg/dL 0.0-1.0
Analisis gas darah
pH 7.505 (H) 7.350 – 7.450
PCO2 32.8 (L) mmHg 35.0 – 45.0
PO2 253.0 (H) mmHg 80.0 – 100.0
TCO2 27 mmol/L 23 - 27
HCO3 25.9 mmol/L 22.0 – 26.0
BE ecf 3.0 (H) mmol/L -2 - +2
SO2 100 % 90 – 100
Kesimpulan Alkalosis metabolik tidak terkompensasi

Laboratorium (28/1/2023)
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Rujukan
Kimia darah
Albumin 2.50 (L) g/dL 3.2-5.5
Gula darah sewaktu 95 mg/dL <200
Elektrolit
Na+ 133.8 (L) mmol/L 135 – 145
K+ 3.46 (L) mmol/L 3.5 – 5.5
Cl- 102.4 mmol/L 98 - 108
Analisis gas darah
pH 7.432 7.350 – 7.450
PCO2 42.2 mmHg 35.0 – 45.0
PO2 62.0 (L) mmHg 80.0 – 100.0
TCO2 29 (H) mmol/L 23 - 27
HCO3 27.5 (H) mmol/L 22.0 – 26.0
BE ecf 3.0 (H) mmol/L -2 - +2
SO2 92 % 90 – 100
Kesimpulan Alkalosis metabolik tidak terkompensasi
URINALISA
Makroskopis
Warna Kuning Tua
Keadaan Agak keruh
PH 6.0
BJ 1.025
Albumin Trace
Reduksi Negatif
Urobiline Negatif
Bilirubine Negatif
Lekosit *(+2) / Positif 2
Nitrit Negatif
Blood Negatif
Keton Negatif
Sedimen
Silinder SIL. LEUKOSIT 1-2 sel/LPK
Leucocyt 8 – 10 Sel/LPB
Erythrocit 1 – 2 Sel/LPB
Ephitel (+)/EP. SQUAMOUS
Kristal (+)/CA. AXALAT
Lain-lain (+) BAKTERI
(+)/SPERMA
(+)/JAMUR
(+)/YEAST
(+)HYPHA

Laboratorium (30/1/2023)
Elektrolit
Na+ 132.8 (L) mmol/L 135 – 145
K+ 3.47 (L) mmol/L 3.5 – 5.5
Cl- 100.7 mmol/L 98 - 108

Pemeriksaan Laboratorium (02/2/2023)


Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Rujukan
Hematologi Lengkap
HGB 10.0 (L) g/dL 12.3-15.3
RBC 3.970 (L) 10^6/uL 4.1-5.1
HCT 30.5 (L) % 34.0-47.0
MCV 810.5 fL 80.0-97.0
MCH 26.4 (L) pg 26.5-33.5
MCHC 32.8 g/dL 31.5-35.0
RDW-SD 58.7 (H) fL 35-47
RDW-CV 21.7 (H) % 11.5-14.5
WBC 4.42 10^3/uL 4.4-11.3
Hitung Jenis
EO% 1.8 % 2-4
BASO% 0.5 % 0-1
NEUT% 66.0 % 50-70
LYMPH% 18.8 % 25-40
MONO% 12.9 % 2-8
EO# 0.08 10^3/uL
BASO# 0.02 10^3/uL
NEUT# 2.92 10^3/uL
LYMPH# 0.83 (L) 10^3/uL
MONO# 0.57 10^3/uL
PLT 268 10^3/uL 150-450
PDW 13.3 fL 10-18
MPV 11.1 fL 6.6-11
P-LCR 33.7 (H) % 15.0-25.0
PCT 0.30 % 0.150-0.400
LED 12 mm/jam 0-15
Kimia Darah
Ureum 20.9 (H) mg/dL 20-40
Creatinin P 0.56 mg/dL < 1.3
Elektrolit
Na+ 129.3 (L) mmol/L 135 – 145
K+ 2.97 (L) mmol/L 3.5 – 5.5
Cl- 97.2 (L) mmol/L 98 - 108

Laboratorium (03/2/2023)
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Rujukan
Kimia darah
Bilirubin total 8.70 (H) mg/dL 0.3-1.2
Bilirubin direk 5.35 (H) mg/dL 0.0-0.2
Bilirubin indirek 3.35 (H) mg/dL 0.0-1.0
Elektrolit
Na+ 129.5 (L) mmol/L 135 – 145
K+ 4.45 mmol/L 3.5 – 5.5
Cl- 102.4 mmol/L 98 - 108

Pemeriksaan mikrobiologi klinik (01/2/23)


Biakan kultur : Escherichia coli (ESBL)
Hitung koloni urine : 3x103 cfu/mL
Antibiotic yang direkomendaidkan :
A. PENICILLIN & E. G. CARBAPEN
DERIVATNYA CEPHALOSPORIN
Penisilin G Cefepime R Meropenem S ≤1
Amoxycilin Cefpirome Imipenem I
Amoxycilin-clavulanate R Cefoperazone Doripenem
Ampisilin R Cefditoren Ertapenem
Ampisilin/sulbactam R Cefadroxil 30µg
Benzylpenicillin Cefotaxime R
Piperacillin R Ceftriaxone 30µg H.
TETRACYCLIN
E
Piperacillin/Tazobactam R Cefuraxim 30µg Tetracycline S ≤2
Oncacilin Cepharadine 30µg doxycycline
Cloxacillin Cefuxime
Cefazoline R Chloramphenicol
B. FOSFOMYCIN Cefixime Nalidixid acid
30µg
C. AMINOGLYCOSIDE Ceftazidime R Nitrofurantoin
S
Gentamycin R Ceftrizoxime Colistine
Gentamycin-syn Cefoxitin Cotrimoxazole
Netilmicin 30µg Vancomycin
Amikacin S 1 Linezolid
6
F. MACROLIDES Tigecycline
D. FLUOROQINOLON Eritromycin Rifampin
Ciprofloxacin R Lincomycin 10µg Trimetropim
Ofloxacin Clindamycin Trimetropim / S ≤
sulfamethaxazole 0,5/9,
5
Levofloxacin R Azithromycin Teicoplanin
Moxifloxacin R Clarithromycin Aztreonam R
Tobramycin Trimetropim
Fusidic acid
Quinoppritin-
dalfopriatin
Mupirocin
E. CEPHALOSPORI Mupirocin high
N level
G. CARBAPEN

POMR
Temporary Problem List Permanent Initial Planning
Problem List Diagnosis Dx Tx Mo
Tn. S/Lk/51 tahun 1. Respiratory 1.1 ec. - Kultur - O2 NRBM 10 - Keluhan
Anamnesis: Failure type 1 Community Sputum lpm  saturasi klinis
- Sesak dirasakan sejak 8 Acquired >95% - TTV
bulan yang lalu, Pneumonia - IVFD NaCl (GCS, RR,
memberat tanggal 0,9% 20tpm SpO2)
23/1/23 - Inj. Ceftriaxone - BGA
- Sesak memberat saat 2x1gr
pasien jalan sedikit dan - Nebul
berkurang dengan posisi Salbutamol
duduk. Sulphate +
- Batuk sejak 8 bulan yang Ipratropium
lalu. Batuk memberat Bromide 3x1
saat MRS (27/1/23).
Batuk yang dirasakan
saat ini, batuk kering.
Pemeriksaan Fisik:
GCS 456
TD: 110/82 mmHg
HR : 106x/menit
RR: 26x/menit
Spo2: 98% on NRBM
12lpm
T: 36,7°C
Dyspnea (+)
Pulmo: Bronchovesikuler
D/S, Rhonki (+) dilapang
paru basal D/S
Pemeriksaan Penunjang:
Foto Thorax AP:
 Infiltrat (+) D/S,
Corakan Vaskular
meningkat di lapang
paru D/S
Lab:
LYMPH% 8.2 (L)
NEUT% 85.6
(H)
WBC 12.03
(H)
pH 7.436
PCO2 37.2
PO2 30.0
(L)
TCO2 26
HCO3 25.0
BE ecf 1.0
SO2 59 (L)
Tn. S/Lk/51th 2. Chronic lung 2.1 Tuberkulosi - Pemerik - OAT - TTV
Anamnesis infection s paru saan (GCS, TD,
- Sesak (+) sejak 8 bulan TCM SpO2, RR,
yll memberat sejak Nadi)
tanggal 23/1/23, suit - Klinis
tidur saat malam hari
karena sesak, tidur
dengan 3 bantal
- Batuk (+) sejak 8
bulan yll, memberat
saat MRS di RSKH
(27/1/23)
- Nyeri dada sebelah
kanan (+)
- Penurunan nafsu
makan, penurunan BB
- Merokok sejak 30
tahun  IB 1.0444
(perokok berat)
- RPD: TB putus obat,
jantung
Pemeriksaan fisik
KU: Lemah
GCS: 456
TD : 110/82mmHg
HR : 106x/mnt
RR : 26x/mnt
SpO2: 98% on NRBM
12lpm
K/L : Dyspneu
Paru: Ronkhi (+) di basal
paru D/S
Pemeriksaan penunjang
CXR: Infiltrat (+) D/S,
konsolidasi (+) D
Lab: alkalosis metabolic
tidak terkompensasi
Tn. S/Lk/51th 3. Hiperbilirubi 3.1 ec. Kista - FNAB - Konsul Sp. PD - Keluhan
Anamnesis: n hepar - Cek - klinis
- Pasien mengeluhkan SGOT - TTV
nyeri dada sebelah SGPT (GCS, RR,
kanan, tidak tembus SpO2)
sampai belakang. - SGOT,
terkadang pasien SGPT
mengeluh perut
sampai dada sebelah
kanan terasa panas
- Pemeriksaan Fisik:
K/L: Sklera ikterik (+)
Pemeriksaan Penunjang:
USG Abdomen:
Hepar : Tampak kista
dinding tipis pada lobus
kanan dan kiri
Vesika felea : ukuran
normal, dinding tidak
menebal, tak tampak
batu/sludge, CBD tidak
melebar
Lab:
Bilirubin 8.87
total (H)

Bilirubin 5.00
direk (H)

Bilirubin 3.87
indirek (H)

Tn. S/Lk/51th 4. Efusi Pleura 4.1 Efusi Pleura - Analisis - Oksigenasi - TTV
Anamnesis Bilateral Bilateral ec. cairan NRBM 12 lpm (GCS, TD,
- Sesak dirasakan Pneumonia pleura - Thoracocentesis SpO2, HR,
sejak 8 bulan - Kultur - Inj. RR, Nadi)
yang lalu cairan Levofloksasin - Klinis
- Sesak memberat pleura 750 mg 3x1 - BGA
ketika pasien - Sitologi - Inj.
jalan sedikit dan cairan Methylpredniso
berkurang dengan pleura lon 2x62,5mg
posisi duduk
- Batuk sejak 8
bulan yang lalu.
Batuk yang
dirasakan pasien,
batuk kering
Pemeriksaan fisik
- Tekanan Darah: 110/82
mmHg
- HR: 106x/menit regular
- RR :26x/menit regular
- Temperatur Axila: 36,7oC
- SpO2 :98% on NRBM
12lpm
Pulmo: Stem fremitus
menurun basal paru D/S,
Perkusi redup basal D/S,
ronkhi (+/+), auskultasi
BV/BV
Pemeriksaan penunjang
CXR: Infiltrat (+) paru D/S
USG Thorax: Tampak
echo cairan dengan
internal echo pada cavum
pleura dextra, tampa echo
cairan bebas minimal pad
acavum pleura sinistra
Lab: WBC = 12,03 (H),
NEUT = 85,6 (H)

Tn. S/Lk/51th 5. Azotemia 5.1 susp. AKI - Kimia - Konsultasi - TTV


Anamnesis Darah Sp.PD - Klinis
- Penurunan nafsu - Urin
makan output
- Sesak
Pemeriksaan fisik
KU: Lemah
TD: 110/82mmHg
Pemeriksaan penunjang
Lab:
Ur : 54.5 (H)
Cr : 0.95
Tn. S/Lk/51th 6. Elektrolit 6.1 Hiponatremi - Serum - Inf NaCl - TTV
Anamnesis imbalance a elektrolit - Inf KCl - Klinis
- Penurunan nafsu 6.2 Hipokalemi - Konsultasi - Urin
makan a Sp.PD output
- Sesak
Pemeriksaan fisik
KU: Lemah
TD: 110/82mmHg
Pemeriksaan penunjang
Lab:
Na : 134.3 (L)
K : 3.29 (L)
CL : 109

BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki berusia 51 tahun mengeluhkan sesak yang memberat ketika pasien
jalan sedikit dan berkurang ketika duduk. Pasien juga mengeluhkan sulit untuk tidur malam
karena sesak yang dirasakan. Pasien juga mengeluhkan batuk kering yang memberat saat di
Rumah Sakit dan mengeluhkan nyeri dada sebelah kanan terasa panas. Sejak di Rumah Sakit
pasien merasa mengalami penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan namun untuk
BMI pasien masih tergolong normal yaitu 21,48 kg/m. Dari pemeriksaan fisik didapatkan stem
freminus menurun, perkusi redup, suara nafas bronkovaskuler, dan rhonki pada basal paru.
Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium darah
lengkap, fungsi hepar, fungsi ginjal, serum elektrolit, dan analisis gas darah didapatkan hasil hb
rendah, leukositosis, uremia, hipoalbumin, hipokalemia, hiponatremia, dan hipoksemia. Dari
xray thorax ditemukan kesimpulan yang mengarah pada pneumonia dan kardiomegali. Selain
itu dilakukan pemeriksaan USG Thorax dengan kesimpulan adanya cairan pada cavum pleura
kanan dan kiri. Dari hasil USG Abdomen didapatkan efusi pleural bilateral, asites,
parenchymatous renal diseases bilateral, dan kista hepar.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien terdiagnosis
dengan respiratory failure type 1, Tuberculosis, hipoalbumin, efusi pleura, kista hepar,
azotemia, dan electrolyte imbalance. Pasien terdiagnosis respiratory failure type 1 didapat dari
anamnesis pasien mengalami sesak dan batuk sejak 8 bulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
respiratory rate yang meningkat yaitu 26x/menit, dan rhonki pada basal paru. Pada pemeriksaan
analisis gas darah didapatkan nilai PO2 rendah yaitu 30 mmHg. Berdasarkan klasifikasi
respiratory failure, pasien mengalami hipoksemia karena nilai PO2 < 60 mmHg dengan PCO2
yang normal (37,2 mmHg) menandakan pasien mengalami respiratory failure type 1. Hal ini
bisa disebabkan oleh community acquired pneumonia yang ditandai adanya
infiltrate/airbronchogram pada foto thoraks pasien. Untuk mengatasi respiratory failure pada
pasien, diberi tatalaksana berupa pemberian oksigen NRBM 10 lpm, injeksi ceftriaxone 1gr 2
kali sehari, dan pemberian nebul ipratropium bromide + ssalbutamol sebanyak 3 kali sehari.
Pasien mengalami penurunan berat dan nafsu makan sejak sakit. Diketahui juga dari
Riwayat penyakit pasien, pasien telah terdiagnosis tb aktif sejak 5 bulan yang lalu dengan
pengobatan yang tidak tuntas karena putus obat. Pada foto thoraks didapatkan konsolidasi. Dari
pemeriksaan pasien curiga mengalami TB dan perlu dilakukan pemeriksaan TCM untuk
memaastikannya. Terapi OAT dapat diberikan ketika pasien positif terdapat BTA dan dapat
dimulai 7 hari setelah diagnosis TB ditegakkan.
Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan stem fremitus menurun pada basal paru kanan
dan kiri. Hal ini dapat menandakan adanya cairan pada paru. Dari hasil usg abdomen ditemukan
adanya efusi bilateral. Pada efusi Pleura untuk mengeluarkan cairan, perlu dilakukan
thoracocintesis. Hasil dari cairan pleura akan dilakukan analisis, kultur, dan sitologi untuk
mengetahui cairan pleura termasuk eksudat dan transudat sehingga dapat diberikan terapi
dengan tepat
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan adanya sklera ikterik pada mata pasien.
Selain itu dari pemeriksaan lab didapatkan bilirubin total yang tinggi yaitu 8.87. pada bilirubin
direk dan indirek juga didapatkan peningkatan yaitu 5 dan 3.87 masing-masing. Hal ini
menunjukkan terdapat masalah pad hepar pasien dalam metabolisme bilirubin. Dari
pemeriksaan USG Abdomen, didapatkan adanya kista pada lobus hepar kanan dan kiri tanpa
disertai adanya batu vesika felea dan pada CBD. Hal ini menandakan adanya kista hepar yang
menyebabkan terjadinya hiperbilirubin.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Masalah pada pasien ini adalah tuberculosis paru, efusi pleura, respiratory
failure dan kista hepar. Efusi pleura disebabkan karena adanya cairan yang berlebih
pada pleura sehingga ekspansi paru terganggu. Tuberculosis disebabkan karena
adanya infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis pada paru sehingga
menyebabkan pasien mengalami sesak, batuk, dan penurunan berat badan.
Respiratory failure tipe 1 sehingga pasien mengalami hipoksemia yang di tandai
dengan PaO2 menurun. Kista hepar menyebabkan pasien mengalami peningkatan
bilirubin serta ikterik di seluruh tubuh. Hal ini diperlukan penanganan dan terapi
yang tepat maka dari itu dibutuhkan kolaborasi dengan beberapa dokter spesialis
selain itu diperlukan KIE kepada pasien dan keluarga mengenai kepatuhan berobat
dan kontrol.
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya. 2017. Diagnosis dan Penatalaksanaan Gagal Nafas Akut.
Sanglah: Fakultas Kedokteran Universitas UDAYANA.
Halim H. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Sudoyo AW, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007
Kemenkes Ri. Petunjuk Teknis, Penatalaksanaan Tuberculosis Resistan Obat Di
Indonesia. Jakarta: 2020.
Kemenkes RI. Petunjuk Teknis, Penatalaksanaan Tuberculosis Resistan Obat Di
Indonesia. Jakarta: 2020.
Lee Y. Textbook of pleural disease. USA: Hodder Arnold; 2003.

M, N. H., Perhusip, H., Sungkar, T., Lubis, M., Dairi, L. B., Sihombing, M., & Effendi,
R. (n.d.). 2016. POLYCYSTIC LIVER DISEASE DISERTAI MULTIPEL CYST
PANKREAS DAN POLYCYSTIC KIDNEY DISEASE. 129–130.

Murat K, Michael R P. 2012. Respiratory Failure. Available from :http://


emedicine.medscape.com/article/167981-overview. 
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberculosis , Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: Pdpi, 2021.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberculosis , Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: Pdpi, 2021.
Roussos, C dan A. Koutsoukou. 2003. Respiratory Failure. European Respiratory
Journal. Dept of Critical Care and Pulmonary Services, University of Athens
Medical School, Evangelismos Hospital, Athens, Greece.
Shebl, Eman dan Brackern Burns. 2021. Respiratory Failure.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526127/. Diakses tanggal 19 Januari
2021

Wang, Z. X., Li, Y. G., Wang, R. L., Li, Y. W., Li, Z. Y., Wang, L. F., Yang, H. Y., Zhu,
Y., Wang, Y., Bai, Y. F., He, T. T., Zhang, X. F., & Xiao, X. H. (2015). Clinical
classification of Caroli’s disease: An analysis of 30 patients. Hpb, 17(3), 278–283.
https://doi.org/10.1111/hpb.12330

Anda mungkin juga menyukai