Pembimbing:
dr. Diah Utari, Sp.N
Penyusun:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
RUMAH SAKIT PENDIDIKAN ANGKATAN LAUT
SURABAYA
2023
0
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT
ILMU PENYAKIT SARAF
TETANUS
Referat “Tetanus” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas
dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan sebagai Dokter Muda di Bagian
Ilmu Saraf di Rumah Sakit Pendidikan Angkatan Laut Surabaya.
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul ”Tetanus”. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas yang
penulis laksanakan selama mengikuti kepaniteraan di Departemen Saraf RSPAL
Dr. Ramelan Surabaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Diah Utari, Sp.N atas
bimbingan dan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa referat ini tidaklah sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan masukan untuk perbaikan kedepannya dan
semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat, kemudahan, dan kebaikan
dikemudian hari.
Penulis
2
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................1
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................4
DAFTAR TABEL ..................................................................................................5
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................7
2.1 Definisi .............................................................................................................. 7
2.2 Etiologi .............................................................................................................. 8
2.3 Epidemiologi ..................................................................................................... 9
2.4 Penilaian Derajat Tetanus.................................................................................. 10
2.5 Patofisiologi....................................................................................................... 13
2.6 Gambaran dan Tanda Klinis.............................................................................. 15
2.7 Diagnosis........................................................................................................... 19
2.8 Diagnosis Banding............................................................................................. 20
2.9 Tatalaksana ........................................................................................................ 20
2.10 Komplikasi....................................................................................................... 22
2.11 Prognosis.......................................................................................................... 23
2.12 Pencegahan....................................................................................................... 23
BAB 3 Kesimpulan……………...........................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Clostridium tetani masuk melalui luka terbuka pada kulit ............ 7
Gambar 2.2 Clostridium tetani dengan drumstick appearance ........................... 8
Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Tetanospasmin .................................................. 14
Gambar 2.12 Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun .................................... 24
4
DAFTAR TABEL
5
BAB 1
PENDAHULUAN
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah acute-toxic-mediated disease yang disebabkan oleh
Clostridium tetani. Pada kondisi anaerob, seperti pada luka nekrotik yang kotor,
bakteri ini menghasilkan tetanospasmin yaitu eksotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani yang merupakan suatu neurotoksin yang sangat kuat (Leman &
Tumbelaka, 2016). Toksin tetanus menghambat neurotransmitter inhibitor pada
sistem saraf pusat yang menyebabkan kekakuan otot dan kejang tetanus yang
tipikal (WHO, 2020). Tetanus yang terjadi pada ibu hamil di 6 minggu terakhir
kehamilan disebut Maternal Tetanus dan Tetanus pada 28 hari kehidupan pertama
disebut Neonatal Tetanus.
Spora Clostridium Tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka pada
kulit disebabkan terpotong, tertusuk, luka bakar, gigi berlubang, atau infeksi pada
tali pusat yang biasa dikenal sebagai tetanus neonatorum (Harum, 2014). Saat
terinfeksi, toksin ini akan menuju terminal syaraf sehingga menurunkan fungsi sel
saraf motorik yang bertanggung jawab mengaktifkan otot secara sadar. Gambaran
klinis tetanus diawali dengan kejang otot di sekitar luka, lemah, cemas, gelisah,
mudah tersinggung dan sakit kepala, kemudian kaku pada rahang (lockjaw), perut
dan punggung yang mengeras dan susah untuk menelan (Ade, 2016).
Gambar 2.1 Clostridium tetani masuk melalui luka terbuka pada kulit.
7
Tetanus sering juga disebut lockjaw karena ditandai kekakuan otot dan
spasme yang periodik dan berat yang diakibatkan suatu toksemia akut yang
disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh C. tetani. Tetanus memiliki
gejala dan tanda tanda yang khas yaitu keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot
yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan leher) dan spasme
otot menyeluruh tanpa penyebab lain, serta terdapat riwayat luka ataupun
kecelakaan sebelumnya (Bleck TP, 2005).
2.2 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani yang ditemukan
di tanah, debu, atau kotoran hewan, yang merupakan basil anaerobik gram positif,
pembentuk spora, dan obligat. Bakteri dan sporanya ditemukan di seluruh dunia,
namun lebih sering ditemukan di daerah beriklim panas dan basah yang tanahnya
kaya bahan organik (Dong M, 2019).
8
C. tetani dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka tusuk, laserasi,
kerusakan kulit, atau inokulasi dengan jarum suntik atau gigitan serangga yang
terinfeksi. Sumber infeksi yang paling umum adalah luka yang sering kali kecil
dan lepas dari perhatian, seperti luka robek ringan akibat serpihan kayu atau
logam atau duri. Populasi berisiko tinggi mencakup mereka yang belum menerima
vaksinasi, pengguna obat-obatan terlarang, dan mereka yang mengalami
imunosupresi. Penyebab infeksi lainnya dapat terjadi melalui prosedur
pembedahan, suntikan intramuskular, patah tulang terbuka, infeksi gigi, dan
gigitan anjing (Dong M,2019).
Spora tetanus dapat bertahan dalam jangka waktu lama di lingkungan
tertentu. Sumber infeksi pada kebanyakan kasus adalah luka, biasanya akibat
cedera ringan. Tetanus seringkali terjadi pada orang yang tidak diimunisasi,
diimunisasi sebagian, atau diimunisasi lengkap tetapi tidak mendapat dosis
booster yang memadai. Bahkan mereka yang menerima vaksinasi pun akan
kehilangan kekebalan seiring bertambahnya usia (Fava JP, 2020).
2.3 Epidemiologi
Meskipun tetanus menyerang orang-orang dari segala usia; namun,
prevalensi tertinggi terlihat pada bayi baru lahir dan remaja (Belencowe H, 2011).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan peningkatan angka kematian
akibat tetanus, terkait dengan kampanye vaksinasi yang agresif dalam beberapa
tahun terakhir. WHO memperkirakan kematian akibat tetanus di seluruh dunia
pada tahun 1997 berjumlah sekitar 275.000 dan angka perbaikan pada tahun 2011
berjumlah 14.132 kasus. Namun, dari kasus-kasus tersebut, prevalensi tetanus
masih jauh lebih tinggi (beberapa penelitian menunjukkan 135 kali lebih tinggi) di
negara-negara dengan sumber daya rendah dibandingkan di negara maju, dengan
angka kematian akibat infeksi sebesar 20% hingga 45%. Tingkat kematian
bervariasi berdasarkan ketersediaan sumber daya, terutama ventilasi mekanis,
pemantauan tekanan darah invasif, dan pengobatan dini (Rushdy AA, 2000).
Di negara-negara dengan sumber daya tinggi, seperti Amerika Serikat, kasus
tetanus terjadi individu yang tidak diimunisasi atau pada orang lanjut usia yang
9
mengalami penurunan kekebalan seiring berjalannya waktu. Pengguna narkoba
suntik juga berisiko karena jarum suntik atau obat-obatan yang terkontaminasi.
Tetanus lebih prevalen di negara berkembang dan lebih sering ditemukan di daerah
dimana tanahnya ditanami, di daerah beriklim hangat, dan pada laki-laki. Penyakit
ini juga lebih sering terjadi pada neonatus dan anak-anak di negara yang tidak
memiliki program imunisasi (Fetuga, 2010).
Angka kejadian tetanus di Indonesia masih cukup tinggi. WHO
memperkirakan pada tahun 2008, 59.000 bayi baru lahir meninggal akibat tetanus
neonatorum. Pada tahun 2008, terdapat 46 negara yang masih belum eliminasi
Tetanus Maternal dan Neonatorum (TMN) di seluruh kabupaten, salah satunya
adalah Indonesia (Kemenkes RI,2012). Menurut data WHO yang dikeluarkan pada
tahun 2020 di Indoncsia, angka kematian akibat tctanus scbesar 0,16% dari total
kematian yaitu sebanyak 2,742 kasus yang meletakkan indonesia di peringkat 22 di
dunia (WHO, 2020).
Selama 20 tahun insidensi tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan
cakupan imunisasi rutin yang dikombinasikan dengan vaksin lain, pertusis, dan
difteri (DPT). Terjadinya tetanus pada neonatus sebagian besar disebabkan oleh
ketidaklengkapan vaksinasi pada bayi. Pada tahun 2013, sekitar 84% anak-anak
berusia kurang dari 12 bulan mempunyai cakupan tetanus di seluruh dunia. Namun
demikian, hampir semua negara tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah
divaksinasi yang lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun
penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada
orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan
kesehatan rusak, misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak yang
lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih berisiko mengalami tetanus.
Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang sudah baik
sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi primer yang tidak lengkap
ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun seiring berjalannya waktu
(Stanfield & Galazka, 2002).
10
klasifikasi Ablett, skor Phillips, dan Dakar. Sistem skoring tetanus juga
sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis
11
Tabel 2.1 Skor Philip
Factor Score
Incubation Time
< 48 hours 5
2-5 days 4
5-10 days 3
10-14 days 2
> 14 days 1
Site of infection
State of protection
None 10
Possibly some or maternal immunisation on neonatal 8
patients Protected > 10 years ago 4
Protected < 10 years ago 2
Complete protection 0
Complicating factor
12
Dakar score 0−1, severitas ringan dengan mortalitas10%; 2−3, severitas
sedang dengan mortalitas 10%−20%; 4, severitas berat dengan mortalitas
20%−40%; 5−6, severitas sangat berat dengan mortalitas >50%..
2.5 Patofisiologi
13
masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga,
injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika
organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan
sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan
tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggung jawab
terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek
klinis yang masih kurang dipahami.
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat:
1. Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat.
2. Toksin mengalir melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan
saraf pusat.
14
muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus
dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak.
Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal
karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling
akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas
simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal
toksin sifatnya irreversibel, untuk pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal
saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit.
Trismus (93-98%)
Keegangan otot umum (94-95%)
Kekauan otot (96%)
Disfagia (83%)
Dispneu (7%)
Spasme otot (46-80%)
Suhu tubuh > 38.4°C (76%)
Nadi ≥ 120 kali / menit (34%)
Tabel 2.6 Tanda dan gejala pada pasien saat datang ke rumah sakit pada kasus
tetanus non-neonatal
Tetanus secara klasik dibagi menjadi empat tipe klinis: umum (generalized),
terlokalisasi (localized), sefalik (cephalic), dan neonatal. Klasifikasi ini adalah
perbedaan diagnostik dan prognostik yang penting namun lebih mencerminkan
faktor inang dan tempat inokulasi daripada perbedaan dalam aksi toksin. Istilah
15
yang menggambarkan tahap awal tetanus, yaitu periode inkubasi (waktu dari
inokulasi ke gejala pertama) dan periode onset (waktu dari gejala pertama hingga
kejang umum pertama). Semakin pendek periode-periode tersebut terjadi, semakin
buruk prognosisnya. Terdapat berbagai skala penilaian derajat keparahan tetanus
(Hodowanec, 2015). Periode asimtomatik setelah inokulasi, yang disebut periode
inkubasi umumnya terjadi dalam 7-10 hari. Hal ini diikuti dengan periode onset,
kurang lebih dalam 24-72 jam, dimana terjadi peningkatan gejala yang akhirnya
berujung pada spasme otot. Gejala awal yang umum muncul antara lain, trismus
(lockjaw), kekakuan otot, nyeri punggung, nyeri otot general (Thwaites dan Yen,
2014).
A. Generalized Tetanus
Tetanus umum atau generalized adalah bentuk yang paling umum dikenali
dan sering dimulai dengan risus sardonicus atau sardonic smile
(peningkatan tonus pada orbicularis oris) dan trismus ("lockjaw"; kekakuan
otot masseter). Kekakuan perut juga bisa terjadi. Kejang umum
menyerupai postur decorticate dan terdiri dari postur opistotonik dengan
fleksi lengan dan ekstensi kaki. Pasien tidak kehilangan kesadaran dan
mengalami nyeri hebat selama kejang. Kejang seringkali spontan atau
dipicu oleh rangsangan seperti suara keras, cahaya terang, atau manipulasi
fisik.
Selama kejang, jalan napas bagian atas dapat terhambat, dan kontraksi otot
umum juga dapat terjadi pada otot diafragma. Salah satu dari hal tersebut
dapat mengganggu respirasi, dan apabila berkepanjangan dapat berujung
kematian yang disebabkan karena asfiksia. Spasme laring termasuk pada
pita suara dapat terjadi pada fase awal penyakit dan dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi jalan napas. Aspirasi juga merupakan masalah khusus
pada tetanus, yang disebabkan karena sekresi berlebih dan
ketidakmampuan untuk menelan dikarenakan rigiditas otot faringeal.
Kedua hal ini menjelaskan mengapa hipoksia merupakan gejala umum
yang muncul pada pasien tetanus sedang atau berat Namun, di era modern
perawatan intensif, masalah pernapasan sudah lebih mudah ditangani.
Disfungsi otonom yang biasanya terjadi beberapa hari setelah gejala, telah
dianggap sebagai penyebab utama kematian (Hodowanec, 2015; Thwaites
16
dan Yen, 2014).
Penyakit ini dapat berlangsung selama sekitar 2 minggu, mencerminkan
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transportasi toksin, yang
sudah berada di intraaksonal ketika pengobatan antitoksin diberikan.
Pemulihan membutuhkan waktu satu bulan dan sembuh kecuali jika terjadi
komplikasi. Tetanus berulang dapat terjadi jika pasien tidak menerima
imunisasi aktif karena jumlah toksin yang dihasilkan tidak memadai untuk
menginduksi imunitas.
B. Localized Tetanus
Tetanus terlokalisasi atau localized melibatkan kekakuan otot yang terkait
dengan tempat inokulasi spora. Gejala mungkin ringan dan persisten dan
sering sembuh secara spontan. Disfungsi lower motor neuron (kelemahan
dan penurunan tonus otot) sering terjadi pada otot yang terlibat. Bentuk
kronis dari penyakit ini mencerminkan kekebalan parsial terhadap
tetanospasmin. Tetanus terlokalisasi umumnya merupakan awal dari
tetanus umum, yang terjadi ketika cukup toksin mendapatkan akses ke
sistem saraf pusat (Hodowanec, 2015).
C. Cephalic Tetanus
Kemudian yang ketiga, yaitu cephalic tetanus, merupakan bentuk khusus
penyakit lokal yang mempengaruhi otot-otot saraf kranial, hampir selalu
setelah luka kepala yang nyata. Meskipun laporan sebelumnya mengaitkan
tetanus cephalic dengan prognosis yang buruk, penelitian yang lebih baru
menunjukkan banyak kasus yang lebih ringan. Lesi pada lower motor
neuron sering menyebabkan kelemahan saraf wajah. Pada kasus cephalic
tetanus, adanya spasme pada otot laryngeal atau faringeal dapat
mengarahkan pada aspirasi dan obstruksi jalan nafas mendadak sehingga
memerlukan observasi yang ketat.
D. Neonatal Tetanus
Tetanus neonatal terjadi setelah infeksi umbilikal, paling sering disebabkan
oleh kegagalan teknik aseptik jika ibu tidak diimunisasi secara adekuat.
Praktik budaya juga dapat berkontribusi. Ibu biasanya mengeluhkan kesulitan
dalam menyusui, dan kondisi yang terlihat pada neonates biasanya berupa
kelemahan umum, sedangkan kekakuan dan kejang terjadi kemudian. Tingkat
17
mortalitas melebihi 90%, dan keterlambatan perkembangan umum terjadi di
antara mereka yang selamat. Faktor prognostik yang buruk termasuk usia
lebih muda dari 10 hari, gejala kurang dari 5 hari sebelum ke rumah sakit,
dan adanya risus sardonicus atau demam. Apnea adalah penyebab kematian
utama di antara pasien tetanus neonatal pada minggu pertama kehidupan, dan
sepsis pada minggu kedua. Infeksi bakteri pada pusar menyebabkan sepsis
pada hampir separuh bayi dengan tetanus neonatal, yang berkontribusi
terhadap mortalitas meskipun telah diobati (Hodowanec, 2015; Thwaites dan
Thwaites, 2020).
2.7 Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
a. Anamnesa
• Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan atau patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang?
• Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan kejang yang pertama.
b. Pemeriksaan fisik
18
punggung,otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur
• Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya
hanya terjadi setelah dirangsang, misalnya dicubit, digerakkan secara kasar
atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat kejang semakin
pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
• Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan sebagai akibat
kejang yang terus-menerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat
menimbulkan anoksia dan kematian. Pengaruh toksin pada saraf autonom
menyebabkan gangguan sirkulasi dan dapat pula menyebabkan suhu badan
yang tinggi atau berkeringat banyak. Kekakuan otot sfingter dan otot polos
lain sehingga terjadi retentio alvi, retentio urinae, atau spasme laring. Patah
tulang panjang dan kompresi tulang belakang.
c. Laboratorium
• Lekositosis ringan
d. Penunjang lainnya
• Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram
positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
d. Trismus oleh karena proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses tonsilar,
biasanya asimetris.
2.9 Tatalaksana
Tatalaksana tetanus meliputi pemberian perawatan suportif untuk mengontrol
kejang otot dan potensi depresi pernafasan, netralisasi antibodi tetanus toksoid
yang tersisa, dan menyingkirkan bakteri di lokasi luka. Tanpa pengobatan, angka
Kematian tetap mendekati angka 100%, bahkan di wilayah yang kaya sumber
daya. Dengan pengobatan, tingkat kasus kematian turun menjadi 10% hingga
20%. Untuk tetanus umum, perawatan intensif modern, termasuk intubasi
endotrakeal, ventilasi mekanis, sedasi dalam, dan/atau kelumpuhan membutuhkan
perawatan suportif. Lingkungan pasien harus dikondisikan sedemikian rupa untuk
menghindari refleks kejang (rhinesmith, 2018).
A. Usahakan bangsal/lokasi untuk pasien tetanus harus terpisah. Pasien harus
ditempatkan di daerah yang teduh, tenang dan terlindungi dari stimulasi
sentuhan dan pendengaran sebanyak mungkin. Semua luka harus
dibersihkan dan didebridement (WHO, 2010).
B. Imunoterapi : berikan dosis tunggal HTIG 3000-6000 IU dengan injeksi
intramuskular atau intravena (tergantung pada persediaan) sesegera
mungkin. Pemberian HTIG dosis tunggal secara intramuskular dengan
dosis 500 IU ditambah dengan vaksin TT 0,5 cc intramuskular. Penyakit
Tetanus tidak menginduksi imunitas, oleh karena itu pasien tanpa riwayat
imunisasi TT primer harus menerima dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis
pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan kemudian. Dosis anti tetanus serum
20
(ATS) yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU intramuskular
dan 50.000 IU intravena. Pemberian ATS harus berhati-hati terhadap reaksi
anafilaksis. Pada anak yang mengalami tetanus, pemberian anti serum
dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah
sakit (hinfey et al,. 2016).
C. Pengobatan antibiotik
- Pengobatan lini pertama yang digunakan adalah metronidazole 500 mg
setiap enam jam intravena atau secara peroral selama 7-10 hari. Pada
anak-anak diberikan dosis inisial 15mg/kgBB secara intravena peroral
dilanjutkan dengan dosis 30 mg/kgBB setiap 6 jam selama 7-10 hari.
- Lini kedua yaitu Penisilin G 1,2 juta unit/hari selama 10 hari.
(100.000-200.000 IU/kg/hari intravena, diberikan dalam 2-4 dosis
terbagi) (hinfey et al,. 2016).
- Tetrasiklin 2 gram/hari, makrolida, klindamisin, sefalosporin dan
kloramfenikol juga efektif.
D. Kontrol kejang : benzodiazepin sering digunakan. Untuk orang dewasa,
diazepam intravena dapat diberikan secara bertahap dari 5 mg, atau
lorazepam dengan kenaikan 2mg, titrasi untuk mencapai kontrol kejang
tanpa sedasi berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak-anak, mulai dengan
dosis 0,1-0,2 mg/kg setiap 2-6 jam, dititrasi ke atas sesuai kebutuhan).
jumlah besar mungkin diperlukan (sampai 600 mg/hari). Sediaan oral
dapat digunakan tetapi harus disertai dengan pemantauan untuk
menghindari depresi pernafasan (hinfey et al,. 2016).
Magnesium sulfat dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan
benzodiazepin untuk mengendalikan kejang dan disfungsi otonom yaitu 5 g
(atau 75 mg/kg) dosis intravena, kemudian 2-3 gram perjam sampai
kontrol kejang tercapai. Untuk menghindari overdosis, dapat memantau
reflex patela dimana jika arefleksia berkembang, dosis harus dikurangi.
Agen lain yang digunakan untuk mengendalikan kejang termasuk baclofen,
dantrolen (1-2mg/kg intravena atau/lewat oral setiap 4 jam), barbiturat
short acting (100-150 mg setiap 1-4 jam di orang dewasa : 6-10 mg/kg
pada anak-anak), dan chlorpromazine (50-150 mg secara intramuskular
setiap 4-8 jam pada orang dewasa dan 4- 12 mg intramuskular setiap 4-8
21
jam pada anak-anak) (hinfey et al,. 2016).
E. Kontrol disfungsi otonom: dengan magnesium sulfat atau morfin dengan
catatan : B-blocker seperti propranolol tidak digunakan karena dapat
menyebabkan hipotensi dan kematian mendadak; hanya esmalol saat ini
yang dianjurkan (soedarmo et al,. 2015).
F. Kontrol pernafasan: obat yang digunakan untuk mengontrol kejang dan
memberikan sedasi dapat mengakibatkan depresi pernafasan. Jika ventilasi
mekanik tersedia, ini dapat mengurangi masalah dan jika tidak, pasien
harus dipantau dengan cermat dan dosis obat disesuaikan. Kontrol
disfungsi otonom untuk menghindari kegagalan pernafasan. Ventilasi
mekanik seperti trakeostomi dianjurkan untuk mencegah terjadinya apneu
(soedarmo et al,. 2015).
G. Suplai cairan dan gizi harus memadai, kejang tetanus mengakibatkan
peningkatan aktivitas metabolisme yang bersifat katabolik. Suplai nutrisi
yang tercukupi akan meningkatkan harapan hidup (WHO, 2010).
2.10 Komplikasi
Komplikasinya meliputi kontraksi otot pernapasan, pita suara, dan area
penting lainnya di tubuh. Aktivitas simpatik yang berlebihan merupakan penyebab
kematian paling signifikan pada pasien tetanus yang kritis. Komplikasi lebih
lanjut meliputi (Bunch et al., 2002):
• Kelumpuhan pita suara - menyebabkan gangguan pernapasan
• Disfungsi otonom - menyebabkan hipertensi
• Asfiksia
• Koma
• Kelumpuhan saraf
• Retensi urin
• Kejang
22
2.11 Prognosis
Tetanus terus menyebabkan kematian yang signifikan di negara
berkembang. Sekitar 2 dari setiap 10 orang yang mengidap penyakit ini tidak akan
bertahan hidup. Tetanus tidak memberikan kekebalan apa pun, mereka yang
bertahan hidup harus diimunisasi secara aktif. Tingkat kematian yang lebih rendah
kemungkinan besar dapat dicapai dengan diagnosis dini, pemberian pengobatan
yang tepat sebelum timbulnya kejang, dan dengan pemberian imunoglobulin
tetanus intratekal—selain intramuscular. Tetanus sefalik dan neonatal mempunyai
outcome yang buruk. Di antara pasien yang sembuh, sekitar 95% sembuh tanpa
gejala sisa jangka panjang (Bae C, 2023).
2.12 Pencegahan
Pencegahan tetanus adalah dengan imunisasi dengan tetanus toksoid sesuai
jadwal yang sudah ditetapkan. Vaksin tetanus dibuat dengan tetanus toksoid yang
sudah disterillkan, diolah dengan formaldehyde dan kemudian dikombinasikan
dengan adjuvant. Adjuvant yang digunakan adalah aluminium phosphate atau
aluminium hydroxide (England, 2013).
Tetanus toksoid biasanya diberikan secara rutin pada bayi dan anak-anak di
Amerika Serikat, dikombinasikan dengan vaksin pertusis dan toksoid difteri. Pada
anak di bawah usia 7 tahun, tiga dosis tetanus toksoid diberikan dengan interval
minimal 1 bulan, diikuti dengan dosis booster 1 tahun kemudian. Untuk anak
anak yang lebih dewasa dan orang dewasa, dosis ketiga diberikan setidaknya 6
bulan setelah dosis kedua, dan dosis keempat tidak diperlukan. Imunisasi bertahan
selama 5 sampai 10 tahun (Callison C, 2023).
23
Gambar 2.12 Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun
24
BAB 3
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
Brooks GF, Caroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzener TA. 2013. Jawetz, Edisi
International Microbiology Medis Melnick & Adelberg, 26ed. Perusahaan
McGraw-Hill, New York.
Blencowe H, Cousens S, Mullany LC, Lee AC, Kerber K, Wall S, Darmstadt GL,
Lawn JE. Clean birth and postnatal care practices to reduce neonatal
deaths from sepsis and tetanus: a systematic review and Delphi estimation
of mortality effect. BMC Public Health. 2011 Apr 13;11 Suppl 3(Suppl
3):S11.
Apte NM, Karnad DR. Short report: the spatula test: a simple bedside test to
diagnose tetanus. Am J Trop Med Hyg. 1995 Oct. 53(4):386-7. [Medline].
Bae C, Bourget D. Tetanus. 2023 May 31. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan–. PMID: 29083804.
Stanfield JP, Galazka A. 2002. A neonatal tetanus is the world today. Bull World
Health Organ. 62:647-9
Ade, Siam Wulandari. (2016). Laporan Tugas Akhir Asuhan Kebidanan
Komprehensif Pada Ny.” A” G2p1001 Dengan Anemia Ringan Wilayah
Kerja Puskesmas Graha Indah Balikpapan.
Harum, Aroma. (2014). Dental Caries as a Risk Factor of Tetanus. Jurnal Medula,
3(02),
Leman, Martinus M., & Tumbelaka, Alan R. (2016). Penggunaan Anti Tetanus
Serum dan Human Tetanus Immunoglobulin pada Tetanus Anak. Sari
Pediatri, 12(4), 283–288.
Callison C, Nguyen H. Tetanus Prophylaxis. 2023 Jan 23. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan–. PMID:
32644434.
Center for Disease Control and Prevention. Tetanus. Epidemiology and prevention
of vaccine-preventable disease 13th ed. [Intemet]. 2015 [cited 2015 May
29]: p. 341-51. Available from: http://www.cdc.gov/
vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
Dong M, Masuyer G, Stenmark P. Botulinum and Tetanus Neurotoxins. Annu Rev
Biochem. 2019 Jun 20;88:811-837.
26
England, p. H. 2013. Immunisation against infectious disease. Chapter 30 tetanus.
Fan, Z., Zhao, Y., Wang, S., Zhang, F. and Zhuang, C., 2019. Clinical
features and outcomes of tetanus: a retrospective study. Infection and drug
resistance, 12, p.1289.
Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lallo D, White NJ.2014. Penyakit
Tropis, Manson, Edisi dua puluh tiga. Elsevier, Philadhelpia.
Fava JP, Stewart B, Dudzinski KM, Baker M, Volino L. Emerging Topics in
Vaccine Therapeutics for Adolescents and Adults: An Update for
Immunizing Pharmacists. J Pharm Pract. 2020 Apr;33(2):192-205.
Fetuga BM, Ogunlesi TA, Adekanmbi FA. Risk factors for mortality in neonatal
tetanus: a 15-year experience in Sagamu, Nigeria. World J Pediatr. 2010
Feb;6(1):71-5.
Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, treatment, and the possibility of using
botulinum toxin against tetanus-induced rigidity and spasms. Toxins
(Basel). 2013; 5(1): 73-83.
Hodowanec A.& Bleck P. T. 2015. Tetanus (Clostrisium tetani). Mandell,
Douglas, and Bennett's Principles and Practice of Infectious Diseases (8"
Edition) Volume 2, Pages 2757-2762.e2
Muteya, m. M., a kabey, a. K., lubanga, t. M., tshamba, h. M. & a nkoy, a. M. T.
2013. Prognosis of tetanus patients in the intensive care unit of provincial
hospital jason sendwe, lubumbashi, dr congo. Pan african medical journal,
Nakajima M, Aso S, Matsui H, Fushimi K, Yasunaga H. 2018. Clinical features
and outcomes of tetanus: analysis using a national inpatient database in
Japan. J Crit Care; 44: 388-91.
Pusat Data dan Informasi. Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (MNTE) di
Indonesia. Bul Jendela Data dan Informasi Kesehatan Eliminasi Tetanus
Matemnal & Neonatal. 2012; 1: 1-22.
Qadir, M.I. and Komal, T., 2019. Public Awareness about Tetanus. Rushdy AA,
White JM, Ramsay ME, Crowcroft NS. Tetanus in England and Wales,
1984-2000. Epidemiol Infect. 2003 Feb;130(1):71-7.
Thwaites, c. & loan, h. 2015. Eradication of tetanus. British medical bulletin, 116,
69.
27
Thwaites, G.E.& Thwaites, C.L. 2020. Tetanus. Hunter's Tropical Medicine and
Emerging Infectious Diseases (10"h Edition). Pages 548-550
Wang, x., yu, r., shang, x., li, j.. gu, I., rao, r., han, x., chen, m., yang, j. & wu, j.
2020. Multicenter study of tetanus patients in fujian province of china: a
retrospective review of 95 cases. Biomed research intemational, 2020.
WHO. Current Recommendation for Treatment of Tetanus during Humanitarian
Emergencies. WHO Teach Note [internet]. 2020
Yen, L. M., & Thwaites, C. L. 2019. Tetanus. The Lancet. doi:10.1016/s0140
6736(18)33131-3
Zhou ZM et al. 2015. Risk factors of neonatal tentanus in Wenzhou, China: a
case-control study. Westem Pacific Surveillance and Response Journal,
2015,6(3). doi:10.5365/wpsar.6.1.020
Simanjuntak P, MANAGEMENT OF PEDIATRIC TETANUS INFECTION
Medical Student of Lampung University juke.kedokteran.unila.ac.id
Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological
aspects of tropical disease: tetanus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry.2000;69:292-301.
28